ANALISIS TEMATIK INGATAN KOLEKTIF PERISTIWA PENEMBAKAN MISTERIUS YANG TERJADI DI INDONESIA (1983 – 1985) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  ANALISIS TEMATIK INGATAN KOLEKTIF PERISTIWA PENEMBAKAN MISTERIUS YANG TERJADI DI INDONESIA (1983 – 1985) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Disusun Oleh: Diah Astuti Retnaning T. 049114035 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2012

  “Einmal ist keinmal, says Tomas to himself. What happens but once, says the German adage, might as well not have happened

at all. If we have only one life

to live, we might as well not have lived at all.” —Milan Kundera, The Unbearable Lightness of Being

  
 
 
 
 
 
 
 
 


  Untuk ayah tercinta

  Alm. Hari Soemarno

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, 3 April 2012 Penulis, Diah Astuti Retnaning T.

  

ANALISIS TEMATIK INGATAN KOLEKTIF PERISTIWA

PENEMBAKAN MISTERIUS YANG TERJADI DI INDONESIA

(1983 – 1985)

Diah Astuti Retnaning T.

  

ABSTRAK

Peristiwa penembakan misterius (petrus) yang terjadi di Indonesia pada tahun 1983

hingga 1985 merupakan sebuah langkah eksekusi terhadap para pelaku tindak kriminal (gali) tanpa

melalui jalur hukum. Berbagai penelitian yang telah diterbitkan mengenai peristiwa ini, biasanya

dilakukan melalui disiplin ilmu antropologi dan sejarah. Dari penelitian-penelitian tersebut muncul

kritik yang tajam atas diadakannya petrus, dimana pemerintah dianggap telah menggunakan

kekuasaannya dengan kejam dan sewenang-wenang. Dalam penelitian ini peneliti bermaksud

untuk melihat sisi lain peristiwa tersebut dengan sudut pandang psikologis, melalui rekaman

pengalaman mengenai peristiwa petrus yang masih ada di dalam ingatan masyarakat (collective

memory). Penelitian ini merupakan sebuah studi naratif dengan tujuan untuk menemukan makna-

makna (meaning) yang muncul dari pengalaman tentang peristiwa petrus. Pendekatan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif naratif dengan analisis tematik.

Subyek yang dipilih dalam penelitian ini tidak diarahkan dalam syarat keterwakilan jumlah

melainkan pada kecocokan konteks tujuan penelitian yang merepresentasikan karakter masyarakat

secara umum. Metode wawancara dalam penelitian ini adalah metode semi terstruktur. langkah-

langkah analisis data yang dilakukan dalam peneitian ini diawali dengan membuat transkrip

wawancara, mengidentifikasi tema-tema yang muncul (coding), dan kemudian melakukan

interpretasi dan pembahasan. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa pengalaman kolektif

mengenai petrus memiliki karakteristik traumatis, selain itu sebagai sebuah peristiwa silent event,

petrus menjadi sumber teror yang pada akhirnya menjadi bukti adanya relasi kekuasaan antara

negara (state) dan masyarakat (society ) yang tidak seimbang. kata kunci : memori kolektif, teror, trauma, gali, negara, relasi kekuasaan

  

THEMATIC ANALYSIS ON THE COLLECTIVE MEMORY OF THE

EVENT OF MYSTERIOUS KILLING IN INDONESIA (1983 – 1985)

Diah Astuti Retnaning T.

  

ABSTRACT

Penembakan misterius (“mysterious killings”) or “Petrus” is the series of extrajudicial

killings that took place from 1983 to 1985 in Indonesia. Operation petrus killed “suspected

criminals” without legal procedure. Several works on this topic has been done through

anthropological and historical approach. Based on those research, a substantial criticism is

addressed to petrus in wich government is considered misusing its power to mindlessly abuse its

people. In this research, the researcher purports to look at the other side of the event through

psychological approach, by examining records of the mysterious shooting stored in people’s

memory or collective memory. This research is a narrative study aiming at finding meanings

emerging from such an experience. Approach utilized in this research is qualitative narrative with

thematic analysis. Subjects being chosen in this research are not designed for meeting a minimum

representation, instead it is driven by the research contextual purpose to fit society’s character at

large. Method of interview in this research is semi-structured interview. Stages of data analysis are

as follows; drafting interview transcript, identifying emerging themes (coding), and then

interpretation on the data followed by discussion which results in the conclusion that collective

memory of petrus has traumatic characteristic. Besides that, as a silent event petruswas a source of

terror which acts as a solid proof of imbalance power relation between the state and the society. Keywords: collective memory, terror, trauma, criminals, the state, power relations

  

LEMBAR PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Mahasiswa Universitas Sanata Dharma NAMA : DIAH ASTUTI RETNANING T.

  NIM : 049114035 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada

  Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

  

ANALISISTEMATIK INGATAN KOLEKTIF PERISTIWA PENEMBAKAN

MISTERIUS YANG TERJADI DI INDONESIA (1983 – 1985)

  beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

  Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 3 April 2012 Yang menyatakan, Diah Astuti Retnaning T.

KATA PENGANTAR

  Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas segala berkat yang melimpah sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul

  “ANALISIS TEMATIK

INGATAN KOLEKTIF PERISTIWA

  

PENEMBAKAN MISTERIUS YANG TERJADI DI INDONESIA (1983 –

1985)” dengan baik.

  Suatu proses yang cukup panjang telah penulis lewati dalam penyusunan skripsi ini dengan melibatkan banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan yang sangat berarti. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dengan setulus hati kepada:

  1. Dr. Christina Siwi selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

  2. Ratri Sunar A., M.Si. selaku Kaprodi Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

  3. Dra. L. Pratidarmanastiti, MS. selaku dosen pembimbing akademik

  4. V. DidikSuryo HartokoS.Psi.,M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi

  5. Dr. Tjipto Susana, M.Si. dan C. Siswa Widyatmoko., M. Psi selaku dosen penguji

  6. Ibu Sylvia CMYM., M.Si. Selaku Dosen dan sahabat di kampus

  7. Ayah, Ibu, Mbak Eka, Vita, Mas Eko keluarga inti yang selalu mendukung saya

  8. Sahabat & teman saya: Hari Soemarno, Agus Heru, Ucup, Rosna, Papi Jati, Galih ‘upil’, Tessa ‘susu’, Paul Daley, Gamet, Mia, mas Bram & mbak Maya, Ruby, Alfan ‘kokom’, Iyok, Astrid Reza, Dalih, Bumi, Sigit Pius, Ithonk, Koko, Karel Dudesek, Lukas Birk, Yuno Baswir, Nindia & Heru, Jerry Jejor, Jeff, Kunz, Fera psi, Lala Psi, Mitha Psi, Guntur Psi, Cathax, Ndaru Marsha, Lars, Marto art, Ebe & Aam, Tejo Baskoro, Fajar Maulinda, Ulfa Aunila, Dewi ‘rajut’, Pak Yanto, Alia Swastika, Tobi, Emang, Tompel, Adam ‘bintang’, Mimi, Kokok Sancoko & mbak Lina, Popok T. Wahyudi, Jonathan Bossaer, mbak Putri, Pak BG, Naras, Randu Rini & Ahmad Moetaba, mbak Putri, Bambang ‘Rumah hantu’, Mbak Vini & Mbak Jupee, Pak Dom, Nunung, Jakfar, Lala Psi, Mitha Psi, Yoyok Psi, Pak Sal, Ndik, Arya Mahdi, Tonce, Gentur, Okky, Bintang krew, mas Pengky, Hans (alm), Eddie Hara, Heri Dono, Sherman Ong.

  9. Ketiga subjek penelitian saya yang sudi membagi waktu dan ceritanya kepada saya

  10. Teman teman saya di fakultas psikologi angkatan 2004

  11. Romo Banar dan Romo Baskoro di IRB

  12. Lita BM, Saut Situmorang, Rukman Rosadi,

  13. Leo Silitonga dan Helen Koeswoyo (Galeri Umah Seni)

  14. Supratiknya kelas seminar

  15. Pak Gik, Mas Gandung, Mas Doni, Mas Muji

  16. Bu Sarmi Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat. Yogyakarta, 3 April 2012 Penulis Diah Astuti Retnaning T.

  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ........................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii

HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ....................................................... vi

ABSTRAK ...................................................................................................... vii

ABSTRACT ................................................................................................... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .............. ix

KATA PENGANTAR ................................................................................... x

DAFTAR ISI .................................................................................................. xiii

DAFTAR TABEL .......................................................................................... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xvii

  BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1 A. Latar Belakang ..................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 7 D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 7 BAB II. LANDASAN TEORI ...................................................................... 8 A. Kajian Kepustakaan Tentang Peristiwa Petrus .................................... 8 B. Memahami Memori Kolektif ............................................................... 12

  1. Sebuah peristiwa yang terus dibicarakan dan dipikirkan .............. 13

  2. Silent event – collective memory ................................................... 14

  C. Narasi dalam Konteks Teror dan Trauma ........................................... 15

  1. Narasi Trauma ............................................................................... 16

  2. Narasi Teror ................................................................................... 18

  3. Trauma Sebagai Luka Kolektif ..................................................... 19

  4. Teror dan Relasi Kekuasaan .......................................................... 21

  D. Daftar Pertanyaan Empiris ................................................................. 23

  

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN .................................................. 24

A. Metode Naratif .................................................................................... 24 B. Subjek Penelitian ................................................................................. 26 C. Fokus Penelitian .................................................................................. 28 D. Metode Pengumpulan Data ................................................................. 28 E. Metode Analisis Thematic Narrative .................................................. 29

  1. Pengumpulan Data ........................................................................ 30

  2. Pengkodean (coding) ..................................................................... 30

  3. Intepretasi dan Pembahasan .......................................................... 31

  

BAB IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ................................... 32

A. Identifikasi Peristiwa Petrus Sebagai Pengalaman Kolektif .............. 32 B. Tema-tema yang Muncul dari Ingan Kolektif Mengenai Peritiwa Petrus38 C. Pembahasan ......................................................................................... 64

  

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 68

A. Kesimpulan .......................................................................................... 68 B. Saran ... ................................................................................................ 70

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 71

LAMPIRAN .. ................................................................................................ 77

  DAFTAR TABEL

  Tabel 1. Daftar Pertanyaan Empiris …………………………………………. 23

DAFTAR LAMPIRAN

  1. Transkrip Wawancara ..…………………………………………………. 61

  2. Coding ……………………………………………………………………. 66

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peristiwa Penembakan Misterius atau yang lebih dikenal dengan Petrus

  terjadi di Indonesia pada tahun 1983. Petrus ditandai dengan banyaknya mayat dengan luka tembak yang ditemukan di tempat-tempat umum. Dari berbagai pemberitaan yang berkembang di tengah masyarakat kala itu, terlihat adanya reaksi beragam dari masyarakat umum. Sebagian masyarakat merasa tidak setuju dan marah dengan petrus, namun ada juga yang memberikan dukungan terhadap petrus karena melihat korban petrus yang diidentifikasi sebagai penjahat, preman, gali (gabungan anak liar), bromocorah, residivis dan atau kaum kecu (Budiawan, 2007).

  Ada berbagai macam diskursus yang bisa digunakan untuk membaca peristiwa petrus, antara lain dilihat dari tendensi politik, aktivitas ekonomi, pengembangan pariwisata, pertahanan keamanan dan ketertiban, konspirasi politik dan “shock therapy”. Gambaran umum mengenai peristiwa ini diawali dengan pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia yang mengalami penurunan. Sementara itu, arus urbanisasi semakin meningkat dan menghasilkan masalah sosial (social problems) (Markum, 2009), seperti tingginya angka pengangguran di wilayah perkotaan yang berujung pada peningkatan angka kriminalitas. Tingginya perilaku kriminal yang seringkali disertai dengan kekerasan, semakin lama semakin meresahkan masyarakat. Oleh karenanya, di

  


  tahun itu juga pemerintah membuat skenario “petrus” terhadap orang-orang yang dianggap sebagai penjahat. Para penjahat tersebut ditindak dengan tegas, ditembak di tempat dan dengan sengaja memperlihatkannya kepada masyarakat dengan membuang mayat korban penembakan di tempat-tempat umum (Retnowati, 2007).

  Dalam buku biografinya, mantan presiden Soeharto membenarkan adanya operasi “petrus” ini sebagai bentuk terapi kejut untuk meredam kejahatan, dengan mengistilahkannya sebagai sebuah treatment (Soeharto, 1989). Memanfaatkan keresahan masyarakat terhadap kriminalitas dan respon positif mereka terhadap “petrus”, pihak keamanan negara (polisi dan militer) sebagai kepanjangan tangan pemerintah seolah mendapat legitimasi atas tindakan eksekusi tanpa melalui proses hukum (Ricklefs, 2007)

  Pihak militer dan kepolisian bahkan meminjam istilah-istilah “psikologi” untuk membenarkan aksi pembunuhan tersebut (Browne, 1999).

  Mohammad Hasbi memiliki pernyataan yang senada dengan Soeharto, seperti yang dikutip oleh Browne dalam desertasinya. Hasbi yang disebut-disebut sebagai penggagas diselenggarakannya OPK (operasi pemberantasan kejahatan— sebelum akhirnya berkembang menjadi petrus) di Yogyakarta, menyatakan:

  “OPK akan terus berjalan tanpa perduli…., ini adalah semacam metode ‘shock therapy‘ yang akan memberi hasil yang memuaskan” (Mohammad Hasbi dalam Browne, 1999).

  Shock therapy “Petrus” yang akhirnya menyebar secara sporadis di berbagai wilayah di tanah air ini terus-menerus berlangsung hingga tahun

  


  1984 dan dalam prosesnya berubah menjadi teror bagi masyarakat. Dalam kamus psikologi, teror disebut sebagai ketakutan yang bersifat ekstrim atau luar biasa. Teror juga diartikan sebagai perbuatan, pemerintahan dan sebagainya yang sewenang-wenang, kejam, bengis, dan sebagainya (Suharso & Retnoningsih, 2005). Ketakutan yang intens atau terus menerus tentunya akan mengakibatkan kekacauan psikis baik secara personal maupun kolektif (masyarakat). Pada kurun waktu 1983 hingga 1985, sudah menjadi hal yang biasa ketika kita menemukan mayat bertato dengan luka tembak. Mereka ada di pasar, sawah, dan juga jalan raya. Menurut laporan majalah Tempo, korban “petrus” mencapai angka 10.000 jiwa (“Ia Bicara Soal Petrus”, 1994).

  Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat setidaknya ada 11 provinsi di mana korban “petrus” berjatuhan, yakni Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Lampung Sumatra Selatan, Sumatra Utara, Bali, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.

  Masih dari sumber yang sama, diketahui bahwa jumlah mayat tak dikenal pada tahun 1982 di DKI tercatat 428 orang, pada 1983 terdapat 781 korban, dan 1984 tercatat 108 korban tak dikenal. Data lainnya, di seluruh Indonesia pada 1983, korban petrus tercatat 532 orang tewas. Dari jumlah tersebut, 367 tewas terdapat luka tembak. Sementara itu pada 1984, Kontras mencatat 107 tewas, 15 orang di antaranya luka tembak. Dan pada 1985, tercatat 74 tewas, 24 di antaranya akibat luka tembak (Kantor Berita Trijaya, wawancara, 2008 ).

  Gelombang protes berdatangan dari berbagai pihak. Kelompok Masyarakat yang tidak setuju dengan tindakan semena-mena tersebut

  


  mengklaim bahwa membunuh para pelaku kriminal yang diidentifikasikan sebagai mereka yang bertato atau narapidana yang melarikan diri dari penjara adalah sikap yang terlalu menyederhanakan persoalan (Retnowati, 2007). Para cendekiawan, politisi, dan pakar hukum turut melontarkan kecaman bahwa hukuman tanpa pengadilan adalah kesalahan serius. Bahkan, kecaman pun datang dari luar negeri, seperti pemerintah Amerika Serikat, Jerman Barat, Belanda, Kanada, Inggris, Vatikan, Australia, dan sebagainya. Mereka menyatakan petrus sebagai bentuk pelanggaran HAM yang sangat brutal dan transparan (Bourchier, 1990).

  Bagaimanapun buruknya tindakan kriminalitas yang terjadi pada saat itu, negara Indonesia tetaplah negara hukum yang harus tetap menjalankan konstitusi dan menjunjung tinggi asas hukumnya. Bathi Mulyono (salah satu mantan target petrus yang selamat) menyatakan bahwa petrus adalah bukti bahwa negara telah mengingkari aturan KUHAP yang dimaklumatkannya sendiri pada 31 Desember 1981. Landasan pokok KUHAP adalah adanya “Asas Praduga Tidak Bersalah”, dimana setiap individu yang diduga sebagai pelaku kejahatan jenis apapun memiliki hak untuk menjalani proses pengadilan dan mendapatkan pembelaan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.

  Peristiwa eksekusi berupa penembakan misterius terhadap anggota masyarakat berlabel kriminal tentunya menjadi bagian sejarah tersendiri bagi masyarakat yang menjadi saksi atas peristiwa tersebut. Hasil Penelitian sebelumnya mengenai kajian trauma (trauma studies) mulai memahami bahwa

  


  trauma bukan semata-mata gejala kejiwaan yang bersifat individual. Trauma muncul sebagai akibat dari saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan pribadi tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan (Thufail, 2005). Dalam konteks Negara Indonesia, masyarakat telah mengalami dan menjadi saksi atas berbagai macam sejarah kekerasan di setiap etape kekuasaan otoritarian, dari zaman feodal hingga era reformasi ini. Salah satu peristiwa kekerasan yang massif dan menjadi trauma kolektif adalah peristiwa pemberantasan anggota PKI paska 30 September 1965 yang menimbulkan banyak kematian.

  Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Radio Nederland Wereldomroep kepada Yosep Adi Prasetyo (Komnas HAM) menyebutkan bahwa peristiwa Petrus diselidiki karena adanya pengaduan dari masyarakat, dan permintaan dari keluarga korban. Selain itu, beberapa korban selamat kemudian mengadu ke Komnas HAM dan minta supaya peristiwa tersebut diungkap. Selanjutnya berdasarkan suatu tim yang dibentuk untuk mengkaji kembali apakah ada unsur-unsur pelanggaran HAM berat, ditemukan bahwa ada indikasi terpenuhinya unsur-unsur pelanggaran HAM berat seperti kejahatan ‘65.

  Melalui kajian naratif ini peneliti akan coba untuk mencatat narasi mengenai peristiwa petrus yang terekam dalam ingatan masyarakat umum untuk menggali makna-makna (meaning) yang muncul dari uraian sejarah tersebut. Makna-makna tersebut akan digali dengan menggunakan bantuan dari berbagai literatur yang memiliki kaitan dengan tema-tema yang muncul

  
 dari hasil wawancara.

  Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis tematik yang dengan fleksibilitasnya akan memberikan kesempatan pada keseluruhan tema ataupun sub-tema untuk saling dikaitkan dalam penyempurnaan analisis (Braun, 2006). Peneliti berharap bahwa hasil dari penelitian ini dapat memberikan sumbangan kepada usaha-usaha untuk memahami makna sebuah peristiwa yang menjadi fenomena di dalam sebuah masyarakat dan mengenali berbagai penokohan yang muncul dari cerita tersebut.

  Melakukan penelitian mengenai petrus sebagai sebuah memori yang disimpan secara kolektif akan membawa kita pada cara pandang yang melibatkan ilmu pengetahuan secara luas. Pennebaker (1997) menyebutnya sebagai ide-ide lintas disiplin di dalam psikologi, sosiologi, antropologi serta ilmu politik yang nantinya akan dirangkum dalam diskusi.

B. Rumusan Masalah

  Bagaimana masyarakat yang menjadi saksi atas peristiwa petrus, menceritakan kembali pengalaman mereka mengenai peristiwa tersebut dan apa makna-makna yang terkandung di dalam ingatan yang mereka ceritakan kembali.

  


  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa makna-makna yang tersirat dari narasi tentang petrus. Sehingga dapat diketahui bagaimana struktur dan hubungannya dengan konteks yang lebih luas.

  D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini akan dapat memberikan sumbangan teoritis dalam bidang psikologi, khususnya psikologi sosial mengenai posisi ingatan kolektif dalam konteks kajian naratif.

  2. Manfaat Praktis

  a. Bagi masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi masyarakat, sehingga dapat melihat fenomena tersebut dari sisi yang berbeda.

  b. Bagi LSM yang bergerak di bidang perlindungan HAM Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi agar dapat memahami pandangan masyarakat mengenai peristiwa tersebut, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu tinjauan dalam melakukan konseling dan pendampingan kepada keluarga korban petrus.

BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Kepustakaan Tentang Peristiwa Petrus Menanggapi tingkat kriminalitas yang semakin meningkat di tahun

  80-an, pemerintah segera melakukan pemberantasan kejahatan dengan mengagendakan ‘Pembunuhan Misterius’ atau yang sering dikenal dengan akronim Petrus. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yustina Devi Ardhiani (2008) sepanjang tahun 1983 banyak mayat-mayat korban petrus yang terbungkus karung goni dan bertanda bercak darah dibuang di pinggir jalan. Dalam penelitiannya juga diketahui bahwa terkadang ada warga yang dengan sukarela atau terpaksa menguburkan mayat yang mereka temukan di jalan, tetapi cukup sering mayat-mayat tersebut dibiarkan tergeletak di jalan sampai ada mobil patroli polisi yang mengambilnya.

  Petrus dengan segera menjadi sorotan publik di Indonesia, berbagai surat kabar menulis kisah-kisah tentang pembunuhan tersebut dan menjadikannya headline selama berbulan-bulan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pemberton (1994) terdapat banyak pernyataan publik mengenai pembunuhan-pembunuhan tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa cerita tersebut bermakna bagi masyarakat secara umum (Bråten, 2003).

  


  Dalam sebuah penelitian mengenai peristiwa petrus diperoleh berbagai macam opini dari masyarakat. Sebagian menyatakan bahwa angka kriminalitas menurun setelah ada petrus, namun diakui juga bahwa hal tersebut hanya berlangsung sebentar sampai akhirnya meningkat lagi.

  Opini yang lain menyebutkan bahwa selama peristiwa petrus terjadi, warga yang memiliki tato takut untuk keluar rumah, yang lain berpendapat bahwa mereka yang menjadi korban petrus sebenarnya hanya orang kecil (Browne, 1999). Secara sederhana dijelaskan bahwa di satu sisi oleh sebagian orang, petrus dianggap berhasil menjadi kontrol atas tingginya angka kriminalitas. Namun, oleh sebagian yang lain petrus juga dinilai sebagai cara pemerintah yang tidak humanis karena menghilangkan prosedur hukum yang berlaku dan menimbulkan banyak korban. Myers (1996) yang dikutip oleh Raymond A.I. Tambunan (2001) menjelaskan bahwa individu-individu dalam sebuah masyarakat bisa mengalami hal yang sama dengan individu-individu yang lain. Namun, pengalaman tersebut seringkali menghasilkan persepsi yang berbeda terhadap suatu kondisi.Setiap orang tidak begitu saja mengolah setiap peristiwa yang dialaminya, namun melakukan seleksi dan intepretasi terhadap pengalaman-pengalaman tersebut.

  Seorang antropolog yang banyak melakukan penelitian di Indonesia mengenai dinamika kekerasan Orde Baru, James T. Siegel menjabarkan peristiwa petrus memiliki nuansa politis dimana ribuan ‘penjahat’ yang sebelumnya banyak dipekerjakan oleh partai pemerintah,

  


  dibunuh dengan cara ‘menciduk’, menikam dan atau menembak para penjahat tersebut berkali-kali, kemudian menaruh mayat-mayatnya di jalanan atau sungai agar menjadi tontonan. Hal tersebut menurut Siegel merupakan eksistensi dari sebuah gagasan tentang kematian yang ingin dikontrol oleh Negara (Siegel, 1998).

  Menggarisbawahi penyataan Siegel tentang para gali yang sebelumnya banyak dipekerjakan oleh partai pemerintah tentunya akan menjadi kontroversi tersendiri sekaligus tanda tanya besar bagi masyarakat pada masa sekarang yang membaca hasil penelitiannya. Namun, hal tersebut nyatanya sejalan dengan penelitian-penelitian lain seperti Keeler (1987, dalam Slamet-Velsink, 1994) yang bahkan dengan sangat jelas menyebutkan bahwa gali atau jagoan memiliki fungsi yang sangat penting dalam sebuah partai politik, seperti yang dituliskan oleh Eldar Bråten sebagai berikut:

  Dan diketahui dengan baik bahwa Partai-partai politik, tidak ketinggalan pula partai berkuasa GOLKAR, mengandalkan pria-pria kuat lokal ini untuk menekan masyarakat agar mendukung pemerintah selama pemilihan umum. Biasanya gali atau jagoan memiliki hubungan erat dengan dunia kriminal, tak terbatas pada musim pemilihan umum (Guinness 1986, hlm.100 – 101)…

  Perihal mengapa pada akhirnya kekuatan serupa kaki tangan pemerintah tersebut dibasmi dan seolah memperoleh dukungan positif dari masyarakat dijelaskan oleh Nordholt bahwa: pertama, gali-gali yang disertakan dalam pemilu 1982 menjadi lebih berani dan menuntut imbalan yang lebih tinggi kepada penguasa yang dimenangkan. Faktor yang kedua adalah lemahnya sistem hukum itu sendiri. Secara luas diketahui bahwa

  


  aparatur peradilan begitu mudah menerima suap sehingga meloloskan (khususnya) gali-gali kelas kakap yang memiliki kemampuan membayar (Nordholt, 2003). Hal tersebut memunculkan rasa ketidakadilan pada diri rakyat kecil atau kelas menengah, terutama yang merasa dirugikan oleh keberadaan para gali. Namun dengan sistem hukum yang tidak bersih membuat masyarakat kehilangan kepercayaannya. Oleh karena itu, dengan menerapkan metode yang drastis, pemerintah mencoba untuk memulihkan wewenangnya sekaligus memperoleh kembali kepercayaan masyarakat.

  Bråten pada akhirnya menyimpulkan bahwa petrus memiliki dua sifat, pertama sebagai sebuah usaha aktif untuk membasmi ‘masalah’ dimana aparat memasuki dan menggunakan kekuatannya, tanpa pemberitahuan sebelumnya dan di luar kendali masyarakat. Kedua adalah sifat publik yang jelas, dimana petrus berlanjut dengan keterbukaan yang tidak biasa dengan pembuangan mayat-mayat di tempat-tempat umum yang dimaksudkan untuk berbicara kepada rakyat biasa (Bråten, 2003)

  Tentunya petrus hanya menjadi salah satu contoh kasus dari sekian banyak upaya rezim untuk mengendalikan masyarakat. Bukan sesuatu yang mengherankan jika Nordholt menyebutnya sebagai suatu psikologi rasa takut dalam rangka mempertahankan kekuasaan melalui sebuah pemerintahan teror (Nordholt, 2003).

  


B. Memahami Memori Kolektif

  Memori dapat diartikan sebagai ingatan, kenang-kenangan, fungsi mental yang kompleks untuk mengingat kembali apa yang pernah dialami atau dipelajari, bayangan tentang apa yang telah dipelajari atau dialami, penyimpanan informasi (Kartini & Dali Gulo, 1987). Ingatan (memory) juga didefinisikan sebagai sebuah proses mental yang berkaitan dengan penerimaan, penyimpanan, dan pemunculan kembali informasi yang pernah diterima (Frank, 1989).

  Ingatan akan sebuah peristiwa tertentu memiliki pengaruh dan sifat yang berbeda satu sama lain. Peristiwa-peristiwa yang secara khusus membutuhkan adaptasi psikologis memiliki sifat yang akan lebih mudah diingat oleh seseorang (Pillemer, Rhinehart, & White, 1986, dalam Pannebaker 1997), misalnya saja apabila peristiwa tersebut unik, membangkitkan reaksi emosional, diulang-ulang secara aktif, dan berhubungan dengan akibat berupa perubahan-perubahan dalam kelakuan atau kepercayaan (Pannebaker, 1997).

  Selain peristiwa-peristiwa tertentu secara khusus dapat diingat oleh seseorang, ingatan juga bukan hanya hal yang bersifat individual tetapi juga hal yang bersifat kolektif (Pennebaker & Banasik, 1997). Halbwachs berargumen bahwa hampir semua memori adalah kolektif, terutama karena memori-memori tersebut dibahas dengan orang lain (dalam Pennebaker & Banasik, 1997). Karakter memori yang selama ini kita kenal unik dan individual, ternyata memiliki sifat kolektif sebagai sesuatu yang diciptakan

  


  dan dianalisis oleh sekelompok orang (secara kolektif) yang berupaya untuk menyelidiki sifat sosial dari penciptaan-penciptaan ingatan itu sendiri (Haugh dalam Mc Graw, 2008). Sementara itu intepretasi sosial akan dikembalikan kepada individu untuk dimaknai kembali, seperti yang dijelaskan oleh Fentris dan Wickham, dimana setiap individu tetap saja secara aktif membuat atau mendefinisikan kembali masa lalu untuk dapat membuat penyesuaian dengan masa kini sehingga dapat mempengaruhi dinamika sosial yang ada (Pennebaker & Banasik, 1997). Hal tersebut dapat disimpulkan sebagai sebuah proses psikologis yang dinamis dari kemunculan dan bagaimana sebuah memori kolektif atas pengalaman historis tertentu dipertahankan.

  Berikut ini merupakan beberapa hal yang dapat mengindikasikan sebuah ingatan atas peristiwa tertentu dapat berkembang menajadi ingatan kolektif:

1) Sebuah peristiwa yang terus dibicarakan dan dipikirkan

  Memori kolektif dapat diindikasikan dengan proses pembicaraan dan pemikiran mengenai peristiwa tertentu oleh anggota-anggota dari suatu masyarakat yang berkorelasi dengan peristiwa tersebut (Pennebaker, 1997). Pada saat peristiwa besar terjadi, biasanya orang akan terbuka untuk mendiskusikan peristiwa tersebut. Tak hanya informasi faktual mengenai peristiwa yang terjadi tetapi juga muatan-muatan emosional yang dirasakan pada saat peristiwa tersebut terjadi (Rime & Veronique, 1997). Dari sana kita dapat melihat bagaimana unsur-unsur yang

  


  diperlukan pada saat proses berbagi pengalaman dan ingatan muncul ke permukaan. Orang-orang secara intens akan membicarakan kejadian besar tersebut dan menampung berbagai informasi yang terus menerus dan penuh dengan berbagai macam opini oleh media. Kebanyakan orang bisa saja menerima informasi terlebih dahulu lewat media kemudian dibicarakan dan dipikirkan atau memperolehnya melalui cerita dari orang lain untuk kemudian diperkuat oleh media dan kembali dipikirkan. Dengan adanya unsur-unsur dasar tersebut, sulit bagi orang-orang untuk tidak memiliki memori-memori serupa mengenai peristiwa yang sedang terjadi saat itu. Memori serupa itulah yang akhirnya disebut sebagai memori kolektif (Pennebaker & Banasik, 2007).

2) Silent event - collective memory

  Silent event adalah suatu kondisi dimana ada pembungkaman atau

  tekanan yang entah berasal dari dalam atau luar diri untuk tidak membicarakan atau bahkan memikirkan tentang sebuah peristiwa. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah kegagalan bicara yang bisa saja muncul karena pemerintah yang represif melalui polisi atau aparatur Negara yang lain. Rezim yang represif memiliki sebuah gagasan bahwa dengan menciptakan tekanan untuk tidak berbicara akan membuat orang melupakan sebuah kejadian, padahal kenyataan menunjukkan hal yang sebaliknya. Sebuah penelitian menemukan bahwa silent event adalah suatu unsur yang paling kuat dalam membentuk memori kolekif (Wegner, 1989 dalam Pennebaker, 1997). Hal tersebut terjadi karena orang biasanya gagal

  


  ketika mencoba untuk menekan pikiran-pikirn yang tidak diinginkan.Faktanya ingatan tersebut justru semakin dalam melekat.

  Kejadian-kejadian yang menjadi beban secara emosional, pada saat biasanya orang-orang enggan untuk membicarakannya akan memberikan pengaruh yang besar dengan meningkatkan tingkat keseringan mereka dalam memikirkan dan memimpikan kejadian-kejadian tersebut. Represi politis terhadap pembicaraan tentang suatu kejadian, selanjutnya, akan menghasilkan konsekuensi yang tidak diinginkan dalam mengkonsolidasikan memori kolektif yang terkait dengan kejadian yang direpresi.

C. Narasi dalam Konteks Teror dan Trauma

  Setiap individu memiliki berbagai cerita yang salah satunya tersusun dari peristiwa-peristiwa yang pernah dialami atau memori- memori yang menunjukkan berbagai hal pada masa kini atau pun berbagai hal pada masa lalu. Memori sebagai sesuatu yang direkonstruksi dan terus- menerus mengalami penyesuaian dengan keadaan, keyakinan, dan pengalaman, memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap narasi sebagai hasil intepretasi dan imajinasi kita sendiri.

  Ketika seseorang menceritakan kembali sebuah cerita, pembicaraan, maupun pengalaman pribadinya, terdapat suatu kecenderungan untuk melakukan rekonstruksi atas cerita ingatan tersebut. Ketika berusaha mengingat sebuah informasi yang kompleks, kita akan

  


  cenderung mengubah informasi tersebut menjadi masuk akal berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Karenanya memori menjadi sebuah rekonstruksi yang sangat besar (Bartlett, dalam Wade &Travis, 2008).

  Dalam psikologi narasi, kerja memori diidentikkan dengan suatu proses pembentukan identitas dimana memori menempati tiga fungsi, diantaranya:

  1. Memadukan hal-hal yang asing

  2. Memecahkan kontradiksi dan konflik

  3. Mengkonstruksi sebuah versi dari masa lalu, baik masa lalu yang menempatkan kita sebagai subjek di dalamnya atau masa lalu yang terlepas dari kita.

1) Narasi Trauma

  Rasa takut yang mengendap di dalam diri masing-masing individu di dalam masyarakat menjadi salah satu bentuk gangguan jiwa.Gangguan jiwa yang berlangsung lama seringkali tidak dapat diamati, kecuali gangguan tersebut menampakkan bentuknya dalam gejala yang sering disebut sebagai sindrom trauma.Trauma memiliki kaitan yang sangat erat dengan PTSD (Post Traumatic Syndrome

  Disorder). Menurut buku pegangan yang mengkategorikan jenis

  penyakit jiwa, PTSD muncul sesudah seseorang menjadi korban atau saksi terhadap suatu kejadian yang sangat mengerikan, misalnya kekerasan, kecelakaan, pemerkosaan, atau serangan teroris.Tanda-

  
 tanda PTSD meliputi ketakutan, ketidakberdayaan, dan rasa dihantui.

  Orang yang mengalami PTSD mengalami kembali peristiwa yang mengerikan dalam mimpi atau bayangan mereka. Biasanya mereka akan berusaha untuk mengurung diri dan menjauh dari hal-hal yang mengingatkan mereka pada kejadian yang sebenarnya.

  Dalam sebuah jurnal psikologi disebutkan bahwa gejala trauma dalam perspektif sosial klinis tampak sebagai sebuah usaha menghalau ingatan traumatik mengenai peristiwa traumatik. Teori Freud mengenai ingatan dan kaitannya dengan ‘melupakan’ didasari oleh konsep

  repression dimana seseorang secara tidak sadar (unconscious)

  menghalau informasi yang menyakitkan atau menimbulkan kecemasan (Baddeley, 1934). Hal tersebut merupakan sebuah reaksi umum pasca trauma, meskipun, pada akhirnya bayangan tentang kejadian tersebut tidak dapat dikubur di dalam ingatan dengan begitu saja.

  …..Konflik antara keinginan untuk mengingkarinya (denial) dengan dorongan untuk menceritakannya secara terbuka merupakan dialektika dari trauma psikologis ( Nurrachman, 2002)

  Herman (1992) menyebut pengingkaran (denial), represi bahkan disosiasi yang biasanya terjadi pada diri korban juga dapat terjadi pada level masyarakat, yang kemudian masuk dalam kumpulan kejadian- kejadian traumatik masa lalu (Nurrachman, 2002). Ingatan traumatik yang dimiliki oleh masyarakat secara kolektif akan menimbulkan dampak yang besar bagi kehidupan mereka sebagai individu maupun kelompok (Shiver dalam Pannebaker, 1997)

  


2) Narasi Teror

  Dalam kamus besar bahasa Indonesia, teror diterjemahkan sebagai perbuatan, pemerintahan, dan sebagainya yang sewenang-wenang, kejam, bengis, dan sebagainya.Bentuk kata meneror diartikan sebagai berbuat kejam (sewenang-wenang dan sebagainya) untuk menimbulkan rasa ngeri atau takut. Sedangkan dalam kamus psikologi, terror diterjemahkan sebagai ketakutan ekstrim atau ketakutan yang luar biasa hebatnya.

  Arti kata kekerasan adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan kerusakan, cidera, atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain (sumber: Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dalam kamus psikologi, kekerasan dikaitkan dengan agression atau agresi yang merupakan istilah umum yang berhubungan dengan perasaan-perasaan marah atau permusuhan.Agresi berfungsi sebagai suatu motif untuk melakukan respon berupa perlakuan kasar, penghinaan, dan frustasi (Kartini & Dali Gulo, 1987). Agresi juga dinyatakan sebagai:

  “ any sequence of behavior, the goal response to which is the injury of the person toward whom it is directed” ( Dollard, Doob, Miller, Mowrer , & sears, dalam Harvey, 2002)

  … rangkaian perilaku (respon) yang bertujuan untuk mengakibatkan luka pada orang yang menjadi target. Negara dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah daerah dalam lingkungan satu pemerintahan yang teratur. Masih dari sumber yang sama, sistem diartikan sebagai sekelompok bagian-bagian alat dan

  


  sebagainya yang bekerja bersama-sama untuk melakukan sesuatu maksud. Sistem juga bisa berarti cara atau metode yang teratur untuk melakukan sesuatu.

  Melalui beberapa tinjauan pustaka tersebut maka dapat disimpulkan bahwa teror sebagai sebuah sistem merupakan metode penciptaan rasa takut melalui perbuatan kejam atau kasar kepada pihak tertentu (yang menjadi target) oleh otoritas atas dasar kepentingan pengendalian masyarakat. Narasi tentang teror adalah cerita-cerita yang muncul sebagai tanda-tanda adanya situasi teror yang muncul dari cerita yang disampaikan oleh partisipan dimana tanda-tanda tersebut memiliki arah yang menjelaskan fungsi-fungsi teror yang datang dari pihak yang berkuasa dan represif kepada pihak yang tidak berkuasa. Pengalaman penderitaan akan bersifat personal dan sosial, sementara itu peristiwa-peristiwa yang bersifat kolektif dan menyebabkan orang-orang dalam suatu masyarakat yang hidup dengan perasaan gelisah dan rasa takut, akan muncul kembali sebagai teror (Browne, 1999).

3) Trauma Sebagai Luka Kolektif

  Trauma pada akhirnya mulai dipahami sebagai akibat dari saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan pribadi tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan dan tidak hanya sebagai peristiwa yang bersifat individual (Kantowitz dalam Bentül & Kantowitz, 2009). Telah dijelaskan sebelumnya bahwa masyarakat

  


  telah menyaksikan berbagai macam kekerasan selama orde baru.Selain dari kekerasan fisik dimana jutaan orang terbunuh dalam operasi 30/S/PKI, malari, atau pun Tanjung Priok yang sangat kuat muatan politiknya. Kekerasan juga muncul sebagai kekerasan struktural yang contohnya muncul sebagai kemiskinan, akses yang minim pada fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, hukum, dan lain sebagainya.