INTERAKSI PASANGAN SUAMI ISTRI PENGIDAP HIV/AIDS DENGAN MASYARAKAT : STUDI KASUS DI TENGAH MASYARAKAT DESA WONOASRI KECAMATAN WONOASRI KABUPATEN MADIUN.

(1)

INTERAKSI PASANGAN SUAMI ISTRI PENGIDAP HIV/AIDS DENGAN

MASYARAKAT

(Studi kasus di tengah Masyarakat Di Desa Wonoasri Kecamatan Wonoasri Kabupaten Madiun )

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.sos) dalam Bidang

Sosiologi

Disusun Oleh:

SISKA AYU AGUSTINA

NIM:B75212067

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JURUSAN SOSIOLOGI

SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Siska ayu agustina, 2016, Interaksi pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS dengan masyrakat ( studi kasus di tengah Desa Wonoasri Kecamatan Wonoasri Kabupaten Madiun) Skripsi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUIN Sunan Ampel Surabaya.

Kata kunci: Pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS, masyarakat dan Desa Wonoasri Kecamatan Wonoasri Kabupaten Madiun.

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini ada dua yaitu: 1) Interaksi sosial pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS dengan masyarakat Desa Wonoasri Kecamatan Wonoasri Kabupaten Madiun. 2) Persepsi masyarakat terhadap pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS di Desa Wonoasri Kecamatan Wonoasri Kabupaten Madiun.Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan tekhnik pengumpulan data observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teori yang digunakan dalam melihat interaksi sosial pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS dengan masyarakat adalah teori Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead.

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial yang dilakukan pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS di Desa Wonoasri Kecamatan Wonoasri Kabupaten Madiun menggunakan simbol tertentu. Jika mereka berinteraksi secara langsung, mereka melakukan interaksi secara wajar dan memperlakukan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) tersebut layaknya seperti masyarakat normal pada umumnya.Namun sesungguhnya mereka masih belum dapat menjalani interaksi secara terbuka, karena masih terdapat batasan-batasan tertentu yang harus mereka jaga.Begitupun sebaliknya, ODHA dihadapan masyarakat disekitarnya bergaul layaknya bagian dari masyarakat normal. Namun sebenarnya ia juga masihmerasa belum dapat diterima seutuhnya oleh masyarakat akibat penyakit yang ia derita. Faktor yang melatarbelakangi masayarakat sekitar masih enggan untuk tulus berinteraksi tanpa merasa risih dengan ODHA ada 3 yaitu.Pertama, adanya stigma negatif yang belum ada obatnya.Kedua, adanya ketakutan dari masyarakat, akan peristiwa yang pernah terjadi di Desa Wonoasri Kecamatan Wonoasri Kabupaten Madiun yaitu meninggalnya 1 orang pengidap penyakit HIV/AIDS dengan kondisi yang memprihatinkan. Ketiga, adanya perasaan risih ataupun jijik jika harus bergaul dengan ODHA karena masyarakat di desa tersebut menganggap penyakit tersebut sebagai penyakit yang “kurang bermoral”.


(6)

DAFTAR ISI

SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

PERNYATAAN DAN PERTANGGUNG JAWABAN PENULISAN SKRIPSI ... vii

ABTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan Masalah ... 4

C.Tujuan Penelitian ... 5

D.Manfaat Penelitian ... 5

E.Definisi Konseptual ... 5

1. Interaksi sosial ... 5

2. Deskripsi virus HIV/AIDS ... 6

F.Telaah Pustaka ... 8

1. Penelitian Terdahulu ... 8

2. Kajian Pustaka ... 10

G.Metode Penelitian ... 14

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 14

2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 15

3. Pemilihan Subjek Penelitian ... 15

4. Tahap-Tahap Penelitian ... 17

5. Tekhnik Pengupulan Data ... 18

6. Tekhnik Analisis Data ... 21

7. Tekhnik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 22

H. Sistematika Pembahasan ... 23

BAB IITEORI DRAMATURGI ERVING GOFFMAN... 26

A. Deskripsi Teori Dramaturgi Erving Goffman... 26

B. Interaksi sosial pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS dengan masyarakat secara front stage (panggung depan)………... 29


(7)

C. Interaksi sosial pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS dengan masyarakat secara back stage (panggung

belakang)………..……… 31

D. Proses interaksi sosial pasangan suami istri pengidap

HIV/AIDS dengan masyarakat……… 37

BAB III INTERAKSI SOSIAL PASANGAN SUAMI ISTRI

PENGIDAP HIV/AIDS DENGAN MASYARAKAT DESA WONOASRI KECAMATANA WONOASRI KABUPATEN MADIUN, JAWA TIMUR... 46 A.Deskripsi Umum Desa Wonoasri Kecamatan Wonoasri

Kabupaten Madiun ... 46 1. Geografi Desa Wonoasri Kecamatan Wonoasri

Kabupaten Madiun ... 46 2. Demografi Desa Wonoasri Kecamatan Wonoasri

Kabupaten Madiun ... 47 3. Perkembangan Perekonomian Desa

Wonoasri Kecamatan Wonoasri Kabupaten

Madiun ... 50 4. Sarana prasarana Desa Wonoasri Kecamatan

Wonoasri Kabupaten Madiun... 51 B.Interaksi sosial pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS

dengan masyarakat Desa Wonoasri ... 53 C.Persepsi masyarakat Desa Wonoasri terhadap pasangan suami

istri pengidap HIV/AIDS ... 65 D.Analisa Data ... 73

1. Analisis dramaturgi pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS di Desa Wonoasri Kecamatan Wonoasri Kabupaten Madiun ... 73 2. Interaksi sosial pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS

dengan masyarakat Desa Wonoasri Kecamatan Wonoasri Kabupaten Madiun ... 76 3. Persepsi masyarakat terhadap pasangan suami istri pengidap

HIV/AIDS di desa Wonoasri Kecamatan Wonoasri Kabupaten Madiun ... 80

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 84

B. Saran ... 85 DAFTAR PUSTAKA ... 87 Lampiran-lampiran


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Luas Wilayah Desa Wonoasri MenurutJenis Pemetaan Tanah ... 47 Table 3.2 Pemeluk Agama Penduduk Desa Wonoasri ... 48 Tabel 3.3 Jumlah Saran Pendidikan Di Desa Wonoasri ... 48 Tabel 3.4 Banyaknya Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Desa Wonoasri ... 49 Tabel 3.5 Struktur Mata Pencaharian Penduduk Desa Wonoasri ………….. 50 Tabel 3.6 Prasarana Tempat Ibadah Di Desa Wonoasri………. 56


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Pedoman Wawancara 2. Jadwal Penelitian 3. Surat Keterangan 4. Biodata Penulis


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan ini manusia diciptakan oleh Tuhan saling berpasang-pasangan dan saling menghormati satu sama lainnya. Tuhan telah memberikan kita sebuah kesempatan untuk melestarikan keturunan kita dengan melakukan hubungan diantara lawan jenis dengan prinsip-prinsip hukum yang telah dibuat oleh agama. Hal ini menghindarkan kita dari hawa nafsu yang akan menjerumuskan kita kepada dosa, seperti yang telah dilakukan oleh pasangan suami istri di Desa Wonoasri Kecamatan Wonoasri Kabupaten Madiun yakni Ibu.Sn dan Bapak.Ast.

Sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia itu sendiri, muncul suatu permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, yaitu adanya berita mengenai pasangan suami istri tersebut yang telah positif terkena virus HIV/AIDS. Fakta menunjukkan, tidak sedikit masyarakat Desa Wonoasri yang mulai menjauhi serta enggan untuk berinteraksi dengan

mereka. Akibatnya, pasangan suami istri tersebut dianggap sebagai “sampah masyarakat” dan

ODHA sendiri mengalami kecemasan,rasa minder serta rasa malu.

ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) dalam pandangan masyarakat sekitar merupakan

golongan minoritas dan keberadaanya terkesan “berbeda“ jika dibandingkan dengan masyarakat

lain yang tidak mengidap virus HIV/AIDS. Dari pandangan tersebut kiranya ODHA memiliki hambatan dalam berinteraksi dengan masyarakat lingkungan Desa Wonoasri dikarenakan mereka sudah terlanjur memberikan stigma negatif kepada para pengidap virus tersebut.

Proses interaksi secara naluri tumbuh dalam diri setiap individu. Didalam masyarakat proses itu akan senantiasa berjalan dinamis seiring dengan perkembangan manusia. Masyarakat merupakan wadah dalam proses interaksi tersebut, disinilah interaksi itu mulai dan berlangsung.


(11)

2

Seiring dengan perkembangan tersebut proses interaksi di masyarakat terkadang mengalami hambatan-hambatan yang datang dari dalam diri individu maupun di luar individu tersebut. Hambatan dari dalam individu inilah yang menjadikan proses interaksi berjalan tidak sesuai yang diharapkan individu tersebut. Salah satunya yaitu dari penyakit virus HIV/AIDS.

Dalam ruang gerak dan pergaulan yang terbatas, pasangan suami istri penyandang ODHA harus menjalani interaksi sosial di lingkungan Desa Wonoasri setiap harinya dengan berbagai macam hambatan dan cara yang berbeda. Kehidupan di lingkungan tersebut yang cenderung memandang ODHA merupakan suatu hal yang negatif, membuat posisi pasangan suami istri penyandang ODHA semakin tersudutkan. Karena mereka mudah mendapatkan hinaan dan perlakuan yang tidak menyenangkan dari lingkungan sekitarnya. Kenyataan ini memberikan sedikit gambaran bahwa ODHA tidak saja dihina dan direndahkan bila penyakitnya diketahui orang lain. ODHA selalu berharap agar stigma negatif tersebut segera hilang dari pikiran masyarakat, sehingga ODHA merasa nyaman dan tidak terbebani lagi saat berinteraksi. Beban tersebut memang tidak bisa dilihat kuantitasnya,namun tetap saja beban psikis lebih berat dibandingkan beban fisik karena hal tersebut dapat mengubah keseharian ODHA. Penderita tersebut mungkin akan berlangsung lama, karena stigma negatif tidak begitu saja cepat hilang dari pikiran masyarakat. Meskipun adanya stigma negatif tersebut menghambat interaksi namun ODHA tidak menutup diri dari pergaulan hidup di masyarakat.

Penelitian ini menjadi menarik karena pasangan suami istri yang sudah memiliki banyak beban (ekonomi menengah ke bawah) dan menanggung sulitnya hidup dalam keterbatasan, masih diharuskan menjalani hari-harinya sebagai pasangan suami istri penderita virus HIV/AIDS. Karena keberadaannya yang tergolong minoritas, penyandang ODHA memperoleh perlakuan diskriminatif dari masyarakat yang tinggal di lingkungan Desa


(12)

3

Wonoasri. Akibatnya permasalahan yang harus ODHA hadapi menjadi semakin banyak dan kompleks. Mengingat seluruh masyarakat Desa Wonoasri sudah mengetahui penyakit yang diderita pasangan suami istri tersebut. Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti ingin melihat bagaimana interaksi sosial yang dilakukan pasangan suami istri penyandang ODHA dengan oranng-orang yang berada di lingkungan Desa Wonoasri.

Hal yang menyebabkan pasangan suami istri terkena virus HIV/AIDS tersebut disebabkan oleh perilaku masa lalu suami yang melanggar norma. Yakni tindakannya yang sering berganti-ganti pasangan kekasih dan sering juga melakukan hubungan intim di masa mudanya. Hal tersebut yang menyebabkan beliau saat ini terjangkit virus HIV/AIDS. Sehingga istri beliau bisa terserang virus HIV/AIDS disebabkan oleh pernikahan dengan suami yang positif terkena virus HIV/AIDS. Dan virus tersebut menyebar akibat hubungan suami istri yang telah mereka lakukan, bahkan anak dari mereka juga terancam virus tersebut.

Kemajuan teknologi di bidang kesehatan tidak serta merta mampu memecahkan masalah ini, karena masih ada beberapa penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan belum ditemukan obatnya, yakni salah satu penyakit tersebut adalah virus HIV/AIDS. Sampai saat ini penyakit HIV/AIDS belum dapat ditemukan obat untuk menyembuhkan penyakit ini. Kalau pun ada itu hanya menghentikan atau memperlambat perkembangan virusnya saja.

B. Rumusan Masalah

Kondisi lingkungan masyarakat Desa Wonoasri yang telah mengetahui pasangan suami istri penderita HIV/AIDS tersebut semakin membuat ODHA mengalami kesulitan saat melakukan interaksi sosial dengan lingkungan sekitarnya. Hal itu disebabkan oleh stigma negatif


(13)

4

yang harus dipikulnya selama menjalani kehidupannya. Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana persepsi masyarakat dengan pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS ? 2. Bagaimana tipologi masyarakat dengan pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS ? C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilaksankannya penelitian ini adalah untuk mengetahui interaksi sosial yang dilakukan pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS selama menjalani kehidupannya di lingkungan Desa Wonoasri Kabupaten Madiun Jawa Timur.

D. Manfaat Penelitian

Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Secara teoritis, keinginan untuk menyumbanngkan pemikiran dalam hal patologi sosial,dan kajian Sosiologi,selain itu untuk membangkitkan minat penelitian tentang HIV/AIDS dan ODHA yang ada di sekitar kita.

2. Secara praktis, memberikan sumbangan pemikiran bagi Lembaga Permasyarakatan maupun instansi lain yang berinteraksi langsung dengan ODHA sehingga mereka melakukan interaksi dengan wajar dan tidak memperlakukan secara diskriminatif.

E. Definisi Konseptual 1. Interaksi Sosial

Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial, tidak akan mungkin ada kehidupan bersama.1 Bertemunya orang-perorangan secara badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang-orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara, dan seterusnya untuk mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian, dan lain sebagainya. Maka, dapat dikatakan bahwa

1

Kimball Young dan Raymond, W.Mack : Sociology and social Life, ( New York : American Book


(14)

5

interaksi sosial merupakan dasar proses sosial,yang menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis.

Interaksi sosial sangat berguna untuk menelaah dan mempelajari banyak masalah di dalam masyarakat. Sebagai contoh di Indonesia, dapat dibahas bentuk-bentuk interaksi sosial yang berlangsung antar perbagai suku bangsa, antara golongan-golongan yang disebut mayoritas dan minoritas, dan antara golongan terpelajar dengan golongan agama dan seterusnya. Interaksi sosial merupakan kunci semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial,tidak akan mungkin ada kehidupan bersama.2

Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial ( yang juga dapat dinamakan proses sosial ) karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Bentuk lain proses sosial hanya merupakan bentuk-bentuk khusus dari interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar orang-orang-perorangan, antar kelompok-kelompok manusia, maupun antar orang perorangan dengan kelompok manusia.3

Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu. Mereka saling menegur, berjabat tangan, saling bicara, atau bahkan berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk interaksi sosial. Walaupun orang-orang yang bertemu muka tersebut tidak saling berbicara atau tidak saling menukar tanda-tanda, interaksi sosial telah terjadi, karena masing-masing sadar akan adanya pihak lain yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam perasaan maupun syaraf orang-orang yang bersangkutan, yang disebabkan oleh misalnya bau keringat, minyak wangi, suara berjalan, dan sebagainya. Semuanya itu menimbulkan kesan di dalam pikiran seseorang yang kemudian menentukan tindakan apa yang akan dilakukannya.

2. Deskripsi Virus HIV/AIDS

HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. HIV merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel kekebalan tubuh manusia dan menghancurkan atau bahkan menggangu fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan tubuh secara terus-menerus yang mengakibatkan penurunan sistem kekebalan tubuh. Sistem

2

Soerjono Soekanto,:” Faktor-faktor Dasar Interaksi Sosial dan Kepatuhan pada Hukum.”Hukum Nasional, Nomor 25, 1974.

3

Gillin dan Gillin, Cultural Sociology, a revision of An Introduction to Sociology” ( New York: The Macmillan Company, 1954 ) hlm. 489


(15)

6

kekebalan tubuh dianggap menurun ketika sistem tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya memerangi infeksi maupun penyakit.4

Sementara itu AIDS adalah singkatan dari Acquired Immmnodeficiency Syndrome dan menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh. HIV telah ditetapkan sebagai AIDS. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan tolak ukur bahwa HIV telah berkembang menjadi AIDS.5 Sampai saat ini penderita HIV/AIDS masih mengandalkan obat ARV (antiretroviral) sebagai penekan virus HIV akan tetapi tidak mudah untuk membunuh virus HIV secara keseluruhan hanya untuk menekan perkembangbiakan virus tersebut. Untuk menekan biaya yang lebih tinggi karena obat tersebut harus diimpor, maka obat ARV mulai diproduksi dalam negeri oleh perusahaan farmasi pemerintahan yaitu PT.Kimia Farma.

Dapat disimpulkan bahwa HIV/AIDS merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dan belum ditemukan obat untuk menyembuhkan penyakit tersebut. Penyakit ini tidak hanya menyerang orang dewasa bahkan bisa menyerang anak-anak.

Penularan HIV/AIDS melalui perilaku beresiko perlu dihindari. Pencegahan positif dan kesadaran diri sendiri adalah cara yang paling sederhana dan tepat untuk mengurangi penyebaran HIV/AIDS, karena tidak dapat dipungkiri lagi penyakit ini merupakan epidemic yang sampai saat ini yang belum ditemukan obat untuk menyembuhkannya dan akan terus menyebar serta memberikan dampak yang buruk, tidak hanya berdampak pada penurunan kualitas kesehatan penderita, terdapat juga akibat yang ditimbulkan HIV/AIDS di dalam lingkungan, salah satu dampak yang terlihat adalah pemberlakuan hukuman sosial bagi penderita para HIV/AIDS, seperti tindakan penghindaran, pengasingan, penolakan, dan diskriminasi pada penderita

4

http://www.aidsindonesia.or.id/dasar-hiv-aids.com Diakses pada tanggal 14 September 2015 5


(16)

7

HIV/AIDS. Terkadang hukuman sosial ini juga ditimpakan pada orang-orang yang diduga terinfeksi HIV dan bahkan pada petugas kesehatan atau relawan yang terlibat dalam perawatan ODHA.

Akibat yang ditimbulkan HIV didalam lingkungan juga termasuk dampak dikalangan rumah tangga. Penderita HIV/AIDS tidak dapat melakukan pekerjaannya secara maksimal, atau bahkan harus kehilangan pekerjaan karena kondisi fisiknya yang kurang baik, sehingga berpotensi kehilangan pendapatan. Disamping itu, penderita HIV/AIDS harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk perawatan medis, sehingga untuk memenuhi kebutuhan biaya tersebut, beberapa diantara penderita HIV/AIDS harus mengalihkan anggaran dari pos pengeluaran lainnya, hal ini akan berdampak pada penurunan kualitas kehidupan penderita HIV/AIDS.

F. Telaah Pustaka

a. Penelitian Terdahulu

Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan beberapa hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti yang pernah penulis baca, diantaranya :

1.Penelitian yang di lakukan oleh M. Zuhri mahasiswa Fakultas Syari’ah yang berjudul “ Karantina sebagai salah satu usaha untuk mencegah penularan HIV/AIDS ditinjau dari hukum

Islam”.6

Membahas sikap hukum Islam dalam melaksanakan karantina sebagai usaha pencegahan penyebaran virus penyakit HIV/AIDS serta faktor-faktor yang mendasar dalam mensukseskan upaya pencegahan ini.

6

M. Zuhri,” Karantina sebagai salah satu usaha untuk mencegah penularan HIV/AIDS ditinjau dari hukum


(17)

8

Perbedaanya disini peneliti membahas apa saja yang menjadi faktor-faktor perubahan dalam interaksi masyarakat sekitar, sedangkan peneliti terdahulu membahas faktor-faktor untuk mencegah penularan virus HIV/AIDS. Meski disini sama membahas tentang virus HIV/AIDS.

2.Skripsi saudari Listiana dalam penelitiannya yang berjudul “ Kehidupan sosial dan interaksi orang dengan HIV/AIDS di Yogyakarta.”7

Peneliti membahas tentang kehidupan sosial dan interaksi ODHA dengan masyarakat yang notabene tidak mengetahui penyakit yang diderita pengidap HIV/AIDS sehingga proses interaksi masih dilakukan secara wajar dan natural. Selain itu, dalam penelitian Listiana juga membahas tentang peran LSM Victory Plus dalam menangani masyarakat ODHA agar dapat hidup lebih baik dan terhimpun dalam suatu wadah yang menjaga komunitas ODHA terhindar dari diskriminasi.

Sedangkan penelitian ini membahas tentang interaksi sosial yang dilakukan narapidana pengidap HIV/AIDS di lingkungan lapas tempat ia ditahan, yang mayoritas sudah mengetahui penyakit yang di derita narapidana ODHA tersebut. Oleh karena itu akan dilihat apakah interaksi sosial yang dilakukan narapidana ODHA di lingkungan lapas berjalan harmonis atau justru terjadi perlakuan diskriminatif terhadap narapidana yang mengidap HIV/AIDS tersebut.

Perbedaan antara peneliti dengan hasil penelitian terdahulu ialah lokasi yang diteliti, antara kehidupan di Lapas dengan kehidupan masyarakat di Desa Wonoasri. Meski keduanya membahas interaksi penyandang virus HIV dengan masyarakat atau orang lain disekitarnya.

3. Artikel di Jurnal yang ditulis oleh Sugeng Pujileksono tentang “ Masalah-masalah di penjara dalam studi sosial “.8

7

Listiana”,Kehidupan sosial dan interaksi orang dengan HIV/AIDS di Yogyakarta”, skripsi (Yogyakrta: Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora,UIN Sunan Kalijaga :2012)

8

Sugeng Pujileksono,”masalah-masalah di penjara dalam studi sosial”, (Surabaya, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Sosial Program Pascasarjana,Universitas Airlangga :2009), jurnal volume 12 nomor 2.


(18)

9

yang secara khusus mengkaji masalah-masalah yang terjadi di dalam lingkungan penjara. Seperti adanya relasi antara sipir, napi, dan keluarga, seksualitas, dan HIV/AIDS napi, bunuh diri di penjara, diskriminasi dan segregasi, kekerasan di penjara dan praktik nogoisasi dan implikasinya didalamnya. Walaupun penjara merupakan institusi yang terpisah dari budaya “normal” masyarakat, namun didalamnya juga ditemui permasalahan layaknya di luar penjara.

Dari paparan tulisan yang membahas tentang berbagai permasalahan yang ada di penjara tersebut, ada keterkaitan dengan penelitian yang ingin peneliti lakukan mengenai interaksi sosial yang dilakukan narapidana ODHA di lingkungan sekitar lapas. Karena dari jurnal tersebut banyak memaparkan tentang berbagai macam bentuk permasalahan yang dialami napi selama berada di dalam penjara seperti tindak kekerasan, dan perlakuan diskriminatif yang salah satunya diakibatkan oleh over capacity. Peneliti hanya akan lebih terfokus pada permasalahan tentang napi yang mengidap HIV/AIDS dengan interaksi sosial yang dilakukan.

Perbedaannya juga hanya terdapat pada lokasi penelitian dimana peneliti terdahulu melakukan di lingkungan penjara sedangkan peneliti melakukan di lingkungan masyarakat Desa Wonoasri. Dan artikel ini hanya membahas tentang masalah yang di terima oleh napi pengidap ODHA bukan melihat bagaimana interaksinya dalam lingkungan tersebut.

b. Kajian Pustaka

Kajian pustaka pada penelitian ini terdapat dua pokok bahasan yaitu interaksi sosial pasangan suaami istri ODHA dengan masarakat, terhadap dan persepsi masyarakat virus penyakit HIV/AIDS.

1. Interksi Sosial Pasangan Suami Istri ODHA Dengan Masyarakat

Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi pula di dalam masyarakat. Interaksi tersebut lebih mencolok ketika terjdi perbenturan antar kepentingan perorangan dengan


(19)

10

kepentingan kelompok. Interaksi sosial antar kelompok-kelompok manusia terjadi antara kelompok tersebut sebagai kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya. Interaksi sosial tak akan mungkin terjadi apabila manusia mengadakan hubungan yang langsung dengan sesuatu yang sama sekali tidak berpengaruh terhadap sistem syarafnya, sebagai akibat hubungan termaksud. Berlangsunya suatu proses interaksi didasarkan pada perbagai faktor, antara lain, faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati.

Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendir-sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan bergabung. Apabila masing-masing ditinjau secara mendalam, faktor imitasi misalnya mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses interaksi sosial. Salah satu segi positifnya adalah bahwa imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Namun demikian, imitasi mungkin pula mengakibatkan terjadinya hal-hal yang negatif dimana misalnya, yang ditiru adala tindakan-tindakan yang menyimpang. Selain itu mitasi juga dapat melemahkan atau bahkan mematikan pengemangan daya kreasi seseorang.

Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau sesuatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain. Jadi proses ini sebenarnya hampir sama dengan imitasi, tatepi titik tolaknya berbeda.berlangsungnya sugesti dapat terjadi karena pihak yang menerima dilanda oleh emosi, yang menghambat daya berfikirnya secara rasional.

Identifikasi sebenarnya merupakan kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada imitasi, karena kerena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini.


(20)

11

Dan interaksi yang terjadi di masyraakat Desa Wonoasri Kecamatan Wonoasri Kabupaten Madiun terlihat nyaman dan baik-baik saja jika dilihat dari luar saja. Namun jika peneliti menanyakan tentang interaksi masyarakat terhadap pengidap HIV/AIDS tersebut, mereka saling menggunakan topeng masing- masing. Dan dalam melakukan interaksi dalam kehidupan sehari-hari tampak seperti sandiwara dalam teater. Mereka saling menggunakan simbol-simbol dalam berinteraksi untuk menyampaikan pesan dan maksud mereka. Sehingga peneliti dapat menyimpulkan bahwa masyarakat dan ODHA dalam berinteraksi saling menjalankan peran masing-masing yang didukung dengan segala atribut serta simbol-simbol yang mendukung penampilannya.

2. Persepsi Masyarakat Terhadap Virus Penyakit HIV/AIDS

Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, dan secret vagina.9 Sebagain besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan seksusal. HIV juga mempunyai sejumlah gen yang dapat mengatur replikasi maupun pertumbuhan virus yang baru. Salah satu gen tersebut ialah tat yang dapat mempercepat replikasi virus sedemikian hebatnya sehingga terjadi penghancuran limfosit T4 secara besar-besaran yang akhirnya menyebabkan sistem kekebalan tubuh menjadi lumpuh. Kelumpuhan sistem kekebalan tubuh ini mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi oportunistik dan keganasan yang merupakan gejala-gejala klinis AIDS.

Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spectrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala pada stadium awal sampai pada gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi bahkan dapat lebih lama lagi. Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangannya infeksi HIV menjadi AIDS belum diketaui jelas. Diperkirakan infeksi HIV

9


(21)

12

yang berulang-ulang dan pemaparan terhadap infeks-infeksi lain mempengaruhi perkembangan kearah AIDS.

AIDS ( Acquired Immunodeficiency Syndrome ) adalah sindrom dengan gejala penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi HIV ( Human Immunodeficiency Virus ). Samapai saat ini belum ditemukan vaksin atau obat-obat yang efektif untuk mencega atau menyembuhkan AIDS /infeksi HIV, sehingga untuk menghindari terinfeksi HIV dan menekan penyebarannya cara yang utama adalah tindakan pencegahan melalui perubahan perilaku. Pencegahan penularan ditujukan terhadap kontak perorangan melalui hubungan seksual, penularan melalui darah, penularan perinatal, dan melalui jarum yang terkontaminasi.

Oleh karena itu penderita yang dirawat akhirnya akan sampai pada fase terminal sebelum datangnya kematian. Pada fase terminal, dimana penyakit sudah tak teratasi, pengobatan yang diberikan hanyalah bersifat simtomatik dengan tujuan agar penderita merasa cukup enak, bebas dari rasa mual, sesak, mengatasi infeksi yang ada dan mengurangi rasa cemas.

Dengan pengetahuan yang sangat minim tentang penyakit ini banyak masyarakat sekitar menganggap bahwa penyakit ini akan menjadi penderitaan seumur hidup bagi sang penderita. Dan keberadaan ODHA harus diasingkan dari masyarakat yang bebas dari HIV/AIDS.

Sehingga anggapan bahwa ODHA merupakan “sampah masyarakat” itu dibenarkan.

Dan persepsi masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS adalah mayoritas dari masyarakat sekitar beranggapan bahwa penyakit tersebut merupakan sebuah penyakit yang memalukan serta menjijikkan. Dan beranggapan bahwa orang yang terjakit penyakit tersebut mempunyai riwayat masa lalu yang buruk dan selalu berhubungan dengan hal yang menyimpang


(22)

13

dari nilai-nilai dan norma yang ada di masyarakat. Seperti seringnya berganti-ganti pasangan dalam melakukan hubungan seksual, pengguna narkoba bahkan berprofesi sebagai WTS.

Oleh karena itu masyarakat memandang bahwa orang yang terjangkit virus HIV/AIDS adalah orang yang harus dihindari dan dijauhi dengan melihat latar belakang timbulnya penyakit tersebut. Dan tidak heran jika penderita HIV/AIDS akan mendapatkan diskriminasi dari

masyarakat dan dianggap sebagai “sampah masyarakat”.

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, karena penelitian ini dipandang mampu menganalisis realitas sosial secara mendalam. Peneliti mendeskripsikan hasil temuan di lapangan dan melakukan analisis yang dikaitkan dengan teori yang digunakan oleh peneliti. Pendiskripsian dilakukan peneliti secara detail dengan tetap berpedoman pada realitas yang terjadi secara nyata di Desa Wonoasri Kabupaten Madiun Jawa Timur.

“Menurut Sugiyono,”bahwa penelitian kualitatif deskriptif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme yang biasanya digunakan untuk meneliti pada kondisi objektif yang alamiah dimana peneliti berperan sebagai instrument kunci”.10

“Sementara Nawawi dan Martini,” mendefinisikan metode deskriptif sebagai metode yang melukiskan suatu keadaan objektif atau peristiwa tertentu berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana mestinya yang kemudian diiringi dengan upaya pengambilan kesimpulan umum berdasarkan fakta-fakta historis tertentu.”11

Penelitian ini diajukan untuk menganalisis dan mengungkap fenomena kehidupan pasangan suami istri ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) dalam proses interaksi sosial dengan masyarakat Desa Wonoasri Kecamatan Wonoasri Kabupaten Madiun. Oleh karena itu pendekatan teori yang relevan dalam penelitian ini adalah teori Interaksionisme Simbolik George

10

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), hal. 15.

11


(23)

14

Herbert Mead. Teori Interaksionisme Simbolik mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Teori ini memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut.

2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Wonoasri Kabupaten Madiun Jawa Timur, karena di desa tersebut terdapat sebuah kelurga yang mana pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS. Sehingga dapat dilihat dengan jelas bagaimana interaksi sosial yang dilakukan oleh pasangan suami istri ODHA tersebut dengan masyarakat Desa Wonoasri yang tidak mengidap penyakit HIV/AIDS. Dan penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan September 2015 – Desember 2016, dimana peneliti akan terjun langsung di Desa Wonoasri untuk mendapatkan hasil yang benar-benar valid dan natural.

3. Pemilihan Subyek Penelitian

Pemilihan subyek penelitian pada penelitian ini adalah memiliki dua data sumber data yaitu berdasarkan penjelasan dalam penelitian, data mempunyai kategori. Yakni data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer terbentuk dari kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai yang dicatat melalui catatan tertulis atau melalui alat perekam (video/audio tapes).12 Dan data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan informan, data yang didapat dari hasil wawancara mendalam kepada pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS dan masyarakat sekitar yang dianggap mampu memberikan informasi. Sumber data primer diperoleh

12


(24)

15

dari orang pengidap HIV/AIDS, orang tokoh agama, orang yang tidak mengidap HIV/AIDS, dan orang staf perangkat desa di Desa Wonoasri Kecamatan Wonoasri Kabupaten Madiun Jawa Timur. Dan tercatat nama-nama informan sebagai berikut :

No. Nama Usia Keterangan

1. AA Kuncoro 46 Tahun Kepala Desa

2. Ibu Sn 43 Tahun ODHA

3. Bapak Ast 46 Tahun ODHA

4. Ibu Sr 68 Tahun Mertua ODHA

5. Dr. Arif Firman H 44 Tahun Kepala Puskesmas

6. Qomari Ismail 55 Tahun Tokoh Agama

7. Ibu Yanti 38 Tahun Warga Desa

8. Bapak Yono 54 Tahun Warga Desa

9. Ibu Marsiyam 61 Tahun Warga Desa

10. Ibu Hartini 52 Tahun Saudara ODHA

11. Ibu Sulami 44 Tahun Warga Desa

12. Bapak Mugiyono 47 Tahun Warga Desa

13. Ibu Astuti 46 Tahun Warga Desa

(sumber : Observasi dan wawancara,2015)

b. Data Sekunder

Sedangkan data sekunder diambil dari buku-buku perpustakaan dan dokumentasi yang berhubungan dengan judul penelitian. Serta data sekunder diperoleh dari dokumen resmi, data arsip desa, arsip rumah sakit yang berisi tentang jumlah pengidap HIV/AIDS, dan situs resmi


(25)

16

mengenai penyakit HIV/AIDS. Seperti dokumen terkait demografi desa yang diperoleh dari buku profil desa, situs-situs resmi dari internet yang membahas terkait virus HIV/AIDS, buku-buku di Perpustakaan kampus UIN Sunan Ampel Surabaya, serta arsip dan foto terkait pengidap HIV/AIDS dari Puskesmas Desa Wonoasri yang oleh narasumber tidak boleh dilampirkan dalam skripsi ini.

4. Tahap-Tahap Penelitian

Tahap-tahap penelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian ini ada dua,yakni : a. Tahap Pra Lapangan

1) Menyusun Rancangan Penelitian

“Dalam konteks ini, peneliti terlebih dahulu membuat rumusan permasalahan yang akan dijadikan obyek penelitian, untuk kemudian membuat matrik usulan judul penelitian sebelum melaksanakan penelitian hingga membuat proposal penelitian.”13

Dalam tahap ini peneliti membuat sebuah konsep awal dalam pembuatan proposal yang mana tidak lepas dari bimbingan dosen dan dibantu dengan buku panduan skripsi yang diterbitkan oleh pihak kampus dalam pembuatan skema.

2) Memilih Lapangan Penelitian

“Cara terbaik yang perlu ditempuh dalam penentuan lapangan penelitian adalah dengan jalan mempertimbangkan teori substantif, pergilah dan jajakilah lapangan untuk melihat apakah terdapat kesesuaian dengan kenyataan yang berada di lapangan.”14

Setelah peneliti mempunyai konsep dalam melakukan penelitian disini peneliti mulai menentukan dimana akan melakukan penelitian sesuai dengan tema dan judul skripsi yang akan dibahas dan dijabarkan.

13

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif…, hal. 86. 14


(26)

17

3) Mengurus Perizinan

“Setelah membuat usulan dalam bentuk proposal, peneliti mengurus izin pada atasan peneliti sendiri, ketua jurusan, dekan fakultas, kepala instansi seperti pusat dan lain-lain”.15

Ditahap ini peneliti membutuhkan dukungan surat perizinan agar dalam melakukan penelitian akan berjalan resmi dan ada penanggungjawab serta rasa aman dalam memperoleh informasi.

b. Tahap Orientasi

“Pada tahap ini, peneliti akan mengadakan pengumpulan data secara umum, melakukan observasi dan wawancara mendalam untuk memperoleh informasi luas mengenai hal-hal yang umum dari obyek penelitian. Informasi dari sejumlah responden di analisis untuk memperoleh hal-hal yang menonjol, menarik, penting dan berguna bagi penelitian selanjutnya secara mendalam. Informasi seperti itulah yang selanjutnya digunakan sebagai fokus penelitian.”16

Pada tahap ini peneliti memfokuskan diri mana yang akan dijadikan informan sebagai sumber data primer dan sekunder agar kelengkapan data yang diperoleh valid.

c. Tahap Eksplorasi

“Pada tahap ini, fokus penelitian lebih jelas sehingga dapat dikumpulkan data yang lebih terarah dan spesifik. Observasi ditujukan pada hal-hal yang dianggap ada hubungannya dengan fokus. Wawancara lebih terstruktur dan mendalam seingga informasi yang mendalam dan bermakna dapat diperoleh.”17 Pada tahap ini peneliti lebih memfokuskan diri yang mana data yang lebih terarah dan spesifik sesuai sumber data yang dibutuhkan.

15

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif…, hlm 86 16

Cik Hasan Bisri dan Eva Rufaida, Model Penelitian Agama dan Dinamika Sosial, (Jakarta: Raja Gravindo Persada, 2002), hal. 224.

17


(27)

18

5. Teknik Pengumpulan Data

Mengacu dari kerangka tulisan diatas, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:

a. Teknik Pengamatan (observasi)

“Teknik pengamatan (observasi) adalah suatu teknik pengumpulan data yang mengharuskan peneliti terjun langsung ke lapangan mengamati hal-hal yang berkaitan tentang tujuan peneliti, misalnya ruang, tempat, pelaku, peristiwa, kegiatan yang menjadi tempat penelitian.”18

“Menurut Black dan Champion observasi adalah mengamati dan mendengar perilaku seseorang selama beberapa waktu, tanpa melakukan manipulasi atau pengendalian serta mencatat penemuan yang memungkinkan atau memenuhi syarat untuk digunakan ke dalam tindakan analisis.”19

Untuk memperoleh data yang beragam, peneliti melakukan pengamatan fenomena yang terjadi di Desa Wonoasri Kabupaten Madiun Jawa Timur untuk melihat bagaimana interaksi yang dilakukan pasangan suami istri ODHA dengan orang-orang yang berada di lingkungan desa tersebut. Serta melihat secara langsung apa saja hambatan yang ditemui pasangan suami istri ODHA tersebut selama melakukan interaksi ditengah masyarakat yang tidak terjangkit penyakit HIV/AIDS.

Terkait dengan penelitian ini observasi dilakukan secara spontan dan terus-menerus di Desa Wonoasri. Di setiap harinya peneliti mengamati interaksi masyrakat sekitar terhadap ODHA. Dari situ nampak sebagian besar masyarakat jaga jarak dalam berinteraksi dengan ODHA dan itu sangat terlihat jelas.

18

Hamid Patilima,”Metode Penelitian Kualitatif”,(Bandung: Alfabeta,2007) hlm.60 19

James A. Black dan Dean J. Champion, Metode dan Masalah Penelitian Sosial, (Bandung: Refika Aditama,


(28)

19

b. Wawancara

“Interview atau wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal percakapan yang bertujuan memperoleh informasi.”20 “…dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah wawancara tidak terstruktur yaitu pedoman wawancara yang hanya memuat garis besar yang akan ditanyakan….”21

Dimana pewawancara berpedoman dari interview guide yang telah disusun sebelumnya. Penulis mengajukan pertanyaan yang dijawab oleh informan dengan bebas, jika jawaban dari informan mulai menyimpang dari arah pertanyaan, pewawancara mengalihkan pada alur yang telah ditentukan.

Dalam penelitian ini wawancara sangat diperlukan untuk mengungkap kehidupan ODH. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan kepada informan utama sebagai aktor atau orang dengan HIV/AIDS yaitu terdiri dari dua orang pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS di desa Wonoasri. Untuk memperkuat data wawancara juga dilakukan kepada beberapa informan pendukung yaitu masing-masing kepada masyarakat sekitar yang tidak mengidap HIV/AIDS, perangkat desa dan salah seorang petugas kesehatan di Puskesmas Wonoasri.

Terkait dengan rumusan masalah yang ada peneliti melakukan wawancara yang teratur dimana semua informan dipilih berdasarkan data yang diinginkan dan menggunakan pedoman wawancara.

c. Teknik Dokumentasi

“Dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan mencari data tentang hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah dan lain-lain.”22

Dokumentasi dalam penelitian ini, merupakan hal yang sangat penting sebagai pelengkap metode observasi dan wawancara catatan lapangan. Selain untuk mendapatkan data

20

Nasution,”Metode Research”, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1996), hlm.113 21

Suharsimi,”Prosedur Penelitian,” (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1993). hlm.197 22


(29)

20

tentang pola interaksi penyandang ODHA dengan masyarakat yang tidak mengidap penyakit HIV/AIDS.

“Menurut Arikunto,”studi documenter merupakan suatu teknik yang digunakan dalam mencari data mengenai hal-hal, catatan-catatan, buku-buku, surat kabar, prasasti, kajian kurikulum dan sebagainya.”23

Dokumentasi dalam penelitian ini, merupakan hal yang sangat penting sebagai pelengkap metode observasi dan wawancara. Selain untuk mendapatkan data kehidupan pasangan suami istri ODHA, juga terkait data-data virus HIV/AIDS. Adapun studi documenter yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah berbagai referensi berupa buku-buku, surat kabar, gambar, tulisan, serta cerita-cerita rakyat tentang pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS.

6. Teknik Analisis Data

“Secara umum teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode perbandingan tetap (constant comparative method).”24

Dalam analisis data perbandingan tetap, secara tetap membandingkan satu datum dengan datum yang lain, dan kemudian secara tetap membandingkan kategori dengan kategori lainnya. Dalam model ini proses analisis datanya mencakup :

1. Reduksi Data yaitu mengidentifikasi data dan membuat kode dari setiap data yang diperoleh. Proses mereduksi data merupakan bagian dari analisis untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data dengan baik sehingga proses kesimpulan akhir nanti terlaksana dengan baik.

Dalam penelitian ini, aspek-aspek yang direduksi adalah hasil observasi maupun wawancara menyangkut interaksionisme simbolik pasangan suami istri ODHA di Desa Wonoasri. Pemenuhan aspek-aspek dimaksud memudahkan dalam

23

Saharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hal. 236 24


(30)

21

melakukan penyajian data dan berujung pada penarikan kesimpulan dari hasil penelitian ini.

2. Kategorisasi yaitu memilah-milah setiap satuan ke dalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan. Hal pertama yang dilakukan dalam proses ini adalah menggambarkan secara umum hasil penelitian ini dimulai dari lokasi penelitian yaitu tempat tinggal pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS secara umum yang tergambar melalui aktifitas sosial, ekonomi, pendidikan, pekerjaan, agama dan kemudian dilanjutkan dengan realitas yang ada di Desa Wonoasri Kecamatan Wonoasri Kabupaten Madiun. Setelah penyajian gambaran umum lokasi penelitian dimaksud maka selanjutnya menyajikan atau mendeskripsikan interaksi sosial pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS dengan masyarakat Desa Wonoasri Kecamatan Wonoasri Kabupaten Madiun.

3. “Menyusun Hipotesis kerja yaitu merumuskan suatu pernyataan yang proporsional. Hipotesis kerja hendaknya juga terkait dan sekaligus menjawab pertanyaan penelitian….”25

peneliti mulai mencatat semua fenomena yang muncul dalam kehidupan pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS dan melihat sebab akibat yang terjadi sesuai dengan masalah penelitian ini. Dari berbagai aktifitas dimaksud maka, peneliti membuat kesimpulan berdasarkan data-data awal yang ditemukan itu, data-data dimaksud masih bersifat sementara. Penarikan kesimpulan ini berubah menjadi kesimpulan akhir yang akurat dan kredibel karena proses pengumpulan data oleh peneliti menemukan bukti-bukti yang kuat, valid dan konsisten dalam mendukung data-data awal dimaksud.

25


(31)

22

7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Teknik keabsahan data yang digunakan daalm penelitian ini,seperti yang dirumuskan ada tiga macam yaitu,antara lain :

a. Perpanjangan Keikutsertaan

Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data. Keikutsertaan tersebut tidak hanya dilakukan dalam waktu singkat, tetapi memerlukan perpanjangan keikutsertaan peneliti pada latar penelitian. Dalam konteks ini, upaya menggali data atau informasi yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, peneliti selalu ikut serta dengan informan utama dalam upaya menggali informasi yang berkaitan dengan fokus penelitian. Misalnya peneliti selalu bersama informan utama dalam melihat lokasi penelitian.

b. Ketekunan Pengamatan

Ketekunan pengamatan dilakukan dengan maksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang relevan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.

c. Triangulasi

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembandingan terhadap data itu.

“Menurut Stainback bahwa teknik triangulasi dalam penelitian kualitatif bertujuan bukan untuk mencari kebenaran tentang fenomena tetapi lebih pada peningkatan pemahaman peneliti terhadap apa yang telah ditemukan…”26

Kebenaran data yang dimaksud valid atau tidak maka harus dibandingkan dengan data lain yang diperoleh dari sumber lain. Oleh karena itu dalam penelitian ini diadakan pengecekan terhadap validasi data yang diperoleh dengan mengkonfirmasi antar data/ informasi yang

26


(32)

23

diperoleh dari sumber lain yaitu masyarakat Desa Wonoasri yang tidak terjangkit virus HIV/AIDS dan keluarga ODHA. Peneliti membandingkan data hasil wawancara dari subjek penelitian dengan data hasil observasi dan wawancara dan mencocokkannya kemudian menganalisis.

H. Sistematika Pembahasan

Untuk mendapatkan suatu kerangka penelitian dan menindaklanjuti penulisan selanjutnya, maka peneliti membuat sistematika sederhana, yang dikelompokkan menjadi beberapa bagian atau bab. Setiap bab terdiri dari beberapa sub bab yang merupakan suatu eksplorasi dari semua isi kandungan peneliti. Pembagian bab dan sub bab tersebut bertujuan untuk memudahkan pembahasan dalam penulisan dan menganalisa data, telaah masalah-masalah dan temuan-temuan yang ada, agar lebih mendalam dan komprehensif, sehingga artinya lebih mudah dipahami.

Sebagai upaya mempermudah penelitian dan pemaparan beberapa ide pokok yang menjadi landasan keseluruhan penulisan skripsi ini, maka penulis menyusunnya ke dalam satu sistematika pembahasan secara sedemikian rupa. Skripsi ini terdiri dari empat bab, setiap bab terdiri dari sub bab dengan kerangka penulisan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini menyatakan deskripsi yang menjelaskan tentang objek yang diteliti, menjawab pertanyaan apa, kegunaan penelitian serta alasan penelitian dilakukan. Oleh karena itu, maka bab ini terdiri dari Latar belakang, Rumusan masalah, Tujuan penelitian, Manfaat penelitian, Penelitian terdahulu, Definisi konseptual, Metode penelitian, Sistematika pembahasan.


(33)

24

BAB II : KAJIAN TEORI

Dalam pembahasan teori dan sub bab kedua yakni hasil penelitian yang relevan. Dalam bab ini berisi tentang gambaran umum Desa Wonoasri Kabupaten Madiun Jawa Timur, meliputi letak geografis, sarana dan fasilitas, dan klasifikasi penderita HIV/AIDS di lingkungan tersebut. Disamping itu juga harus memperhatikan relevansi teori yang akan digunakan dalam menganalisis masalah yang akan dipergunakan, teori yang akan digunakan dalam menganalisis masalah adalah Teori Interaksionisme Simbolik dari George Herbert Mead guna adanya implementasi judul penelitian interaksi sosial pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS dengan masyarakat Desa Wonoasri Kecamatan Wonoasri Kabupaten Madiun Jawa Timur.

BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

Yaitu penyajiam data, yang terdiri dari sub bab yakni yang pertama deskripsi umum obyek penelitian dan sub bab kedua deskripsi hasil penelitian. Dalam bab ini berisi tentang kondisi pengidap ODHA di Desa Wonoasri, interaksi sosial yang dilakukan pasangan suami istri pengidap ODHA dengan masyarakat di lingkungan Desa Wonoasri, dan faktor-faktor yang melatar belakangi masyarakat yang tidak mengidap HIV/AIDS enggan berinteraksi terhadap pasangan suami istri pengidap ODHA.

BAB IV : PENUTUP

Yaitu penutup yang terdiri dari kesimpulan yang ditutup dengan saran. Dalam bab ini disimpulkan hasil pembahasan untuk menjelaskan dan menjawab permasalahn yang ada dan memberikan saran-saran yang bertitik tolak pada kesimpulan.


(34)

BAB II

TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK

GEORGE HERBERT MEAD

A. Deskripsi Teori Interaksionisme Simbolik

Pemikiran-pemikiran George Herbert Mead mula-mula dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin yang menyatakan bahwa organisme terus-menerus terlibat dalam usaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. George Herbert Mead berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk uang paling rasional dan memiliki kesadaran akan dirinya. Disamping itu, George Herbert Mead juga menerima pandangan Darwin yang menyatakan bahwa dorongan biologis memberikan motivasi bagi perilaku atau tindakan manusia, dan dorongan-dorongan tersebut mempunyai sifat sosial.

Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, maka dalam kesehariannya tidak terlepas dari berbagai macam aktivitas yang melibatkan individu-individu lain untuk berkomunikasi dan saling bersosialisasi. Setiap saat mereka saling membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing, baik itu kebutuhan biologis seperti makan dan minum maupun kebutuhan psikologis seperti rasa kasih sayang, perhatian, dihargai, rasa aman dan dan nyaman, dan sebagainya.

Interaksi sosial sangat berguna untuk menelaah dan mempelajari banyak masalah di dalam masyarakat.

Interaksi sosial merupakan kunci semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan lainnya. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial dinamis yang menyangkut hubungan antar orang-perorangan, antar kelompok manusia, maupun antar orang perorang dengan


(35)

26

kelompok manusia. Interaksi adalah kunci dari semua kehidupan sosial. Oleh karena itu tanpa adanya interaksi sosial, maka kehidupan bersama tak akan pernah terjadi.29 Untuk melihat bentuk interaksi yang dilakukan didalam sebuah kehidupan bermasyarakat, peneliti menggunakan Teori Interaksionisme Simbolik dari George Herbert Mead sebagai alat analisis karena di lingkungan masyarakat di Desa Wonoasri interaksi sosial yang terjadi dapat dimaknai adanya komunikasi menggunakan simbol-simbol tertentu antar masayrakat sekitar.

Disamping itu, George Herbert Mead juga sependapat dengan Darwin yang menyatakan bahwa komunikasi adalah ekspresi dari perasaan George Herbert Mead juga dipengaruhi oleh idealisme. Hegel dan John Dewey. Gerakan adalah suatu perbuatan yang dilaukan oleh seseorang dalam hubungannya dengan pihak lain. Sehubungan dengan ini, George Herbert Mead berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk menanggapi diri sendiri secara sadar, dan kemampuan tersebut memerlukan daya pikir tertentu, khususnya daya pikir reflektif. Namun,ada kalanya terjadi tindakan manusia dalam interaksi sosial munculnya reaksi secara spontan dan seolah-olah tidak melalui pemikiran dan hal ini biasa terjadi pada binatang.

Bahasa atau komunikasi melalui simbol-simbol adalah merupakan isyarat yang mempunyai arti khusus yang muncul terhadap individu lain yang memiliki ide yang sama dengan isyarat-isyarat dan simbol-simbol akan terjadi pemikiran (mind). Manusia mampu membayangkan dirinya secara sadar tindakannya dari kacamata orang lain; hal ini menyebabkan manusia dapat membentuk perilakunya secara sengaja dengan maksud menghadirkan respon tertentu dari pihak lain.

29


(36)

27

“..Goffman lebih tertarik pada interaksi atau kehadiran bersama (copresence). Interaksi tatap muka itu diartikan sebagai individu yang saling mempengaruhi tindakan mereka satu sama lain ketika masing-masing berhadapan secara fisik...”30

“Dalam suatu situasi sosial, seluruh kegiatan yang ditampilkan oleh seluruh aktor disebut sebagai suatu penampilan (performance),sedangkan orang lain yang terlibat dalam situasi tersebut dikatakan sebagai pengamat…”31

Seorang aktor adalah mereka yang melakukan tindakan atau penampilan yang bersifat rutin (routine). Goffman menyatakan selama melakukan kegiatan rutin, sang aktor tersebut akan membawa sosok dirinya yang ideal sebagimana yang dituntut oleh status sosialnya. Ia juga akan menyembunyikan fakta-fakta yang tidak sesuai dengan citra dirinya demi menampilkan suatu peran yang sukses.32

Pengembangan diri sebagai konsep, oleh Goffman tidak terlepas dari pengaruh gagasan

Cooley tentang ‘the looking glass self’. Gagasan diri ala Cooley terdiri dari 3 komponen.

Pertama, ODHA mengembangkan bagaimana tampil bagi orang lain. Kedua, ODHA membayangkan bagaimana penilaian mereka atas penampilan ODHA. Ketiga, ODHA mengembangkan sejenis perasaan diri seperti kebanggaan atau rasa malu sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain tersebut. Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu gambaran tentang penampilan ODHA, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter masyarakat sekitar, dan sebagainya sehingga mereka semua dapat terpengaruh oleh pertunjukkan yang dilakukan oleh ODHA.

Jika dikaitkan dengan konteks masalah penelitian terhadap teori yang dipaparkan oleh George Herbert Mead dapat dikatakan bahwa lingkungan Desa Wonoasri yang terdiri dari masyarakat atau penduduk yang tidak mengidap HIV/AIDS beserta pasangan suami istri penyandang status ODHA sedang memainkan perannya masing-masing dalam sebuah komunikasi yang menggunakan simbol tertentu yang bersetting di Desa Wonoasri Kecamatan Wonoasri. Dalam melakukan interaksinya pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS yang

30

Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2010 ), hlm. 231. 31

David, Berry, Pokok-pokok Pikiran Dalam Sosiologi, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003 ), hlm. 232 32


(37)

28

bertindak sebagai penampil (performance) sedangkan orang lain yang terlibat dalam penampilan tersebut seperti masayarakat lingkungan Desa Wonoasri (perangkat desa dan tokoh agama) bertindak sebagai pengamat.

Mereka dalam interaksi yang berjalan secara rutin dan terbagi dalam 2 situasi, yakni dimana para pemain baik pasangan suami istri penyandang ODHA dan orang-orang di lingkungan Desa Wonoasri melakukan penampilan sesuai yang telah dipersiapkan sebelumnya. Dengan gaya, tutur kata, tingkah laku yang sudah diatur sesuai status sosialnya. Namun dibelakang saat mereka menjadi jati diri yang sesungguhnya, mereka berperilaku lebih santai, bebas, dan apa adanya tanpa harus memainkan peran yang harus mereka tampilkan.

Tertib masyarakat didasarkan pada komunikasi dan ini terjadi dengan menggunakan simbol-simbol. Proses komunikasi itu mempunyai implikasi pada suatu proses pengambilan peran (role talking). Komunikasi dengan dirinya sendiri merupakan suatu bentuk pemikiran (mind), yang pada hakikatnya merupakan kemampuan khas manusia.

Konsep diri menurut George Herbert Mead, pada dasarnya terdiri dari jawaban individu atas pertanyaan “Siapa aku”. Konsep diri terdiri dari kesadaran individu mengenai keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung. Kesadaran diri merupakan hasil dari suatu proses reflektif yang tidak kelihatan, dan individu itu melihat tindakan-tindakan pribadi atau yang bersifat potensial dari titik pandang orang lain dengan siapa individu ini berhubungan. Pendapat George Herbert Mead tentang pikiran, menyatakan bahwa pikiran mempunyai corak sosial, percakapan dalam batin adalah percakapan dalam batin adalah percakapan antara “aku” dengan “yang lain” di dalam aku. Untuk itu, dalam pemikiran saya memberi tanggapan kepada diri saya atas cara mereka akan memberi tanggapan kepada saya.


(38)

29

“Kedirian” (diri) diartikan sebagai suatu konsepsi individu terhadap dirinya sendiri dan konsepsi orang lain tehadap dirinya konsep tentang “diri” dinyatakan bahwa individu adalah subjek yang berperilaku dengan demikian maka dalam “diri” itu tidaklah semata-mata pada anggapan orang-orang secara pasif mengenai reaksi-reaksi dan definisi-definisi orang lain saja.

Menurut pendapatnya dir sebagai subjek yang bertindak ditunjukkan dengan konsep “ I” da diri

sebagai objek ditunjuk dengan konsep Me dan Mead telah menyadari diterminisme soal ini. Ia bermaksud menetralisasi suatu keberat sebelahan dengan membedakan di dalam “ diri” anatar

dua unsur konstitutifis yang satu disebut “Me” atau “ Daku” yang lain “I” atau “Aku”. Me adalah

unsur sosial yang mencangkup generalized other. Teori George Herbert Mead tentang konsep

diri yang terbentuk dari dua unsur, yaitu “I” (aku) dan “Me” (daku) itu sangat rumit dan sangat

sulit dipahami.

B.Interaksi sosial Pasangan Pengidap HIV/AIDS dengan masyarakat

Hal ini mengindikasikan bahwa interaksi sosial yang ditampilkan oleh pasangan suami istri ODHA dengan masyarakat lingkungan Desa Wonoasri terbagi menjadi 2 situasi. Yaitu pada saat berada saat berintraksi secara langsung atau saat bertatap muka, masyarakat Desa Wonoasri berinteraksi secara normal dan wajar dengan pasangan suami istri ODHA layaknya bagian dari komunitasnya. Namun pada saaat berada di rumah masing-masing mereka biasa saja merasa risih, takut, dan sebenarnya ingin menjauhi pasangan suami istri ODHA tersebut. Begitu sebaliknya, pasangan suami istri ODHA juga saat di depan masyarkat lingkungan Desa Wonoasri, ia berperilaku dan berinteraksi layaknya bagian dari kelompok agar ia dapat diterima sebagai bagian dari lingkungan masyarakat Desa Wonoasri yang tidak mengidap HIV/AIDS, namun saat berada di rumah masing-masing pasangan suami istri ODHA sebenarnya merasa enggan melakukan interaksi karena rasa minder yang mereka miliki.


(39)

30

Hal itu disebabkan oleh33Pertama, aktor mungkin ingin menyembunyikan kesenangan-kesenangan tersebunyi (misalnya sang ODHA merasa mendapat respon baik ketika berinteraksi dengan masyarakat ). Kedua, aktor mungkin ingin menyembunyikan kesalahan yang dibuat saat persiapan pertunjukan, langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki kesalahan tersebut ( misal ODHA sadar akan penyakit yang diderita dan ia ingin menutupi penyakit tersebut dari masyarakat dengan cara mencoba meyakinkan diri dan ikut serta aktif dalam kegiatan masyarakat ). Ketiga, aktor mungkin merasa perlu menunjukkan hanya produk akhir dan menyembunyikan proses memproduksinya ( misalnya ODHA menghabiskan waktu yang cukup lama untuk bisa berinteraksi dengan masyarakat sekitar, namun ODHA bersikap seolah-olah dapat berinteraksi dengan wajar tanpa dibebani oleh penyakit yang diderita ). Keempat, aktor mungkin perlu menyembunyikan ‘kerja kotor’ yang dilakukan untuk membuat produk akhir dari khalayak ( misalnya kerja kotor itu mungkin meliputi tugas-tugas ‘secara fisik kotor’, semi legal, dan menghinakan ). Kelima, dalam melaukan pertunjukan tertentu, aktor mungkin harus mengabaikan standart lain “(misalnya menyembunyikan hinaan, pelecehan, atau perundingan yang dibuat sehingga pertunjukkan dapat berlangsung).34 Mead mengamsumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain sebagai strategi yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu, ia menyebut upaya itu sebagai impression management atau pengelolaan kesan. Yaitu teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan tertentu, dalam situasi tertentu. Ketika berinteraksi atau berkomunikasi, seseorang akan mengelola dirinya agar tampak seperti apa yang dikehendakinya, sementara juga orang lain yang menjadi mitra komunikasinya melakukan hal yang sama. Oleh karena itu setiap orang melakukan pertunjukkan kepada orang lain, sehingga ia menjadi aktor untuk menunjukkan penampilannya untuk membuat kesan bagi lawan “People are actors, structuring their

performances to make impressions on audiences.” (Littlejohn, 1996: 169).

Pengelolaan kesan adalah upaya individu untuk menumbuhkan kesan tertentu di depan orang lain dengan cara menata perilaku agar orang lain memaknai identitas dirinya sesuai dengan apa yang ia inginkan. Dalam proses produksi identitas tersebut, ada suatu

33

Deddy Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2008), hal. 116. 34


(40)

31

pertimbangan yang dilakukan mengenai atribut simbol yang hendak digunakan sesuai dan mampu mendukung identitas yang ditampilkan secara menyeluruh.

Dalam membedakan antara setting dan front personal. Setting mengacu pada pemandangan fisik yang mana faktor itu harus ada ketika aktor menjalankan perannya, tanpa itu aktor tidak dapat memainkan perannya. Front personal terdiri dari berbagai macam barang perlengkapan yang bersifat menyatakan perasaan yang memperkenalkan penonton dengan aktor dan perlengkapan itu diharapkan penonton dimiliki oleh aktor. Goffman kemudian membagi front personal ini menjadi penampilan dan gaya. Penampilan meliputi berbagai jenis barang yang mengenalkan kepada kita status sosial aktor. Gaya mengenalkan pada penonton, peran macam apa yang diharapkan aktor untuk dimainkan dalam situasi tertentu (menggunakan gaya fisik, sikap). Tingkah laku kasar dan yang lembut menunjukkan jenis pertunjukan yang sangat berbeda. Umumnya kita mengharapkan penampilan dan gaya saling bersesuaian.

C.Tipologi Masyarakat Terhadap Pasangan Suami Istri Pengidap HIV/AIDS

Mead juga membahas dimana fakta disembunyikan di depan atau berbagai jenis tindakan informal mungkin timbul. Pelaku tak bisa mengharapkan anggota penonton di depan mereka muncul di belakang. Mereka terlibat dalam berbagai jenis pengelolaan kesan untuk memastikannya. Pertunjukan mungkin menjadi sulit ketika aktor tak mampu mencegah penonton memasuki pentas belakang.

Eksternalisasi dalam dialektika Berger dan Luckmann yaitu berupa penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. Penyesuaian diri dengan apa yang ada dalam kehidupan masyarakat sebagai sebuah produk dari manusia. Obyektivitas merupakan interaksi yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan. Interaksi yang terjadi dalam masyarakat merupakan sesuatu yang masuk ke dalam dunia intersubjektif, sehingga apa yang


(41)

32

terjadi di masyarakat secara terus menerus akan menjadi sebuah kesepakatan dalam diri dan institusi yang dipahami sebagai tahap internalisasi. Penyesuaian diri dengan stigma negatif yang ada di masyarakat merupakan suatu produk dari manusia, stigma tersebut dibenarkan dalam proses yang dilembagakan yaitu masyarakat, setelah itu akan ada kesepakatan dalam diri individu bahwa stigma negatif akan berlaku dalam masyarakat.

Hukuman sosial atau stigma oleh masyarakat diberbagai belahan dunia terhadap pengidap HIV/AIDS terdapat dalam berbagai cara, anatar lain tindakan-tindakan pengasingan, penolakan, diskriminasi dan penghindaran atas orang yang diduga terinfeksi HIV, diwajibkan uji coba HIV tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu atau perlindungan kerahasiaannya, dan penerapan karantina terhadap orang-orang yang terinfeksi. Kekerasan atau ketakutan, telah mencegah banyak orang untuk melakukan tes HIV/AIDS, memeriksa hasil tes mereka, atau berusaha untuk memperoleh perawatan, sehingga mungkin mengubah sakit kronis yang dapat dikendalikan menjadi “ hukuman mati” dan menjadikan meluasnya penyebaran HIV/AIDS.

Kemensos menyatakan seseorang terjangkit HIV/AIDS dapat berdampak sangat luas dalam hubungan sosial, dengan keluarga, hubungan dengan teman-teman, relasi dan jaringan kerja akan berubah baik kuantitas maupun kuantitas. Orang-orang yang terjangkit HIV/AIDS secara alamiah hubungan sosialnya akan berubah. Dampak yang paling berat dirasakan oleh keluarga dan orang-orang dekat lainnya. Perubahan hubungan sosial dapat berpangaruh positif atau negatif pada setiap orang. Reaksi masing-masing orang berbeda, tergantung sampai sejauh mana perasaan dekat atau jauh, suka dan tidak suka seseorang terhadap yang bersangkutan.

Upaya kuratif pada aspek sosial harus diterapkan kepada pengidap HIV/AIDS, hal itu dapat melihat bahwa pengidap HIV/AIDS mengalami proses “Labelling” oleh masyarakat


(42)

33

kuratif pada aspek sosial difokuskan dalam upaya mendorong pengidap HIV/AIDS agar menjadi produktif dan upaya kontribusi terhadap masyarakat, maka secara tidak langsung akan mengurangi stigma buruk di masayarakat. Selain hal-hal yang disebutkan diatas, ada hal lain yang perlu diperhatikan akibat dari kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit HIV/AIDS, kebanyakan masyarakat berasumsi ODHA itu berbahaya, pembawa sial, orang hina, tidak berguna, dan segala caci maki yang menusuk hati. Oleh karena itu, perlu sosialisasi tentang penyakit HIV/AIDS pada masyarakat umum, terutama pada masyarakat desa. Sosialisasi itu perlu agar masyarakat sadar dari persepsi masyarakat terhadap ODHA, dan yang terpenting adalah menghindari perilaku yang bisa menyebarluaskan epidemic HIV/AIDS terhadap masyarakat luas.

Sebagai suatu perumpamaan,kebutuhan, seseorang tidak mungkin secara keseluruhan terpenuhi apabila dia hidup bersama-sama rekan lainnya yang sesuku. Dengan demikian, kriteria yang utama bagi adanya suatu masyarakat setempat adalah adanya social relationships antara anggota suatu kelompok. Dengan mengambil pokok-pokok uraian diatas,

“…dapat dikatakan bahwa masyarakat setempat menunjuk pada bagian masyarakat yang bertempat tinggal di suatu wilayah ( dalam arti geografis ) dengan batas-batas tertentu dimana faktor utama yang menjadi dasar adalah interaksi yang lebih besar diantara para anggotanya,dibandingkan dengan penduduk diluar batas wilayahnya….” 35

“…Dapat disimpulkan secara singkat bahwa masyarakat setempat adalah suatu wilayah kehidupan sosial yang ditandai oleh suatu derajat hubungan sosial yang tertentu. Dasar-dasar masyarakat setempat adalah lokalitas dan perasaan semasyarakat setempat tersebut…”36

Hampir semua manusia pada awalnya merupakan anggota kelompok sosial yang dinamakan keluarga. Walaupun anggota-anggota keluarga tidak selalu menyebar, pada waktu-waktu tertentu mereka pasti akan berkumpul misalnya pada makan pagi, siang dan malam. Setiap anggota mempunyai pengalaman-pengalaman masing-masing dalam hubungannya dengan

35

Selo Soe ardja ,”So ial Cha ges i Yogyakarta”, ( New York: Corel University Press, Ithaca, 1962) hlm. 20

36


(43)

34

kelompok-kelompok sosial lainnya di luar rumah. Bila mereka berkumpul, terjadilah tukar-menukar pengalaman diantara mereka.

Pada saat demikian, yang terjadi bukanlah pertukaran pengalaman semata, tetapi para anggota keluarga tersebut mungkin telah mengalami perubahan-perubahan, walaupun sama sekali tidak disadari. Saling tukar-menukar pengalaman, yang disebut social experiences37 di dalam kehidupan berkelompok mempunyai pengaruh yang besar di dalam pembentukan kepribadian orang-orang yang bersangkutan.

Penelitian terhadap social experiences tersebut sangat penting untuk mengetahui sampai sejauh mana pengaruh kelompok terhadap individu dan bagaimana reaksi kelompok dan bagaimana pula reaksi individu terhadap pengaruh tadi dalam proses pembentukan kepribadian.

Seorang penderita HIV/AIDS setidaknya membutuhkan bentuk dukungan dari lingkungan sosialnya. Dimensi dukungan sosial meliputi tiga hal, yakni:

1) Emotional support, yakni meliputi perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan diperhatikan.

2) Cognitive support, yakni meliputi informasi, pengetahuan dan nasehat.

3) Materials support, yakni meliputi bantuan atau pelayanan berupa sesuatu barang dalam mengatasi suatu masalah.

Stigma HIV/AIDS lebih jauh dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu :

1) Stigma instrumental, yaitu refleksi ketakutan dan keprihatinan atas hal-hal yang berhubungan dengan penyakit mematikan dan menular.

2) Stigma simbolis, yaitu penggunaan HIV/AIDS untuk mengekspresikan sikap terhadap kelompok sosial atau gaya hidup tertentu yang dianggap berhubungan dengan penyakit tersebut.

3) Stigma kesopanan, yaitu hukuman sosial atas orang yang berhubungan dengan isu HIV/AIDS atau orang yang positif HIV/AIDS.

37


(44)

35

Stigma HIV/AIDS sering diekspresikan dalam satu atau lebih stigma, terutama yang berhubungan dengan homoseksualitas, biseksualitas, pelacuran, dan penggunaan narkoba melalui suntikan. Banyak Negara maju terdapat penghubungan antara HIV/AIDS dengan homoseksualitas atau biseksualitas, yang berkorelasi dengan tingkat prasangka seksual yang lebih tinggi, misalnya sikap-sikap anti homoseksual. Demikian pula terdapat anggapan adanya hubungan antara HIV/AIDS dengan hubungan seksual antar laki-laki, termasuk bila hubungan terjadi antara pasangan yang belum terinfeksi.

“…Pelacuran yang dijumpai di kota Jakarta misalnya ( dan juga di kota-kota besar lainnya ) dikatakan bukan masalah social utama karena pengaruhnya terhadap ekonomi Negara, stability politik, kebudayaan bangsa, atau kekuatan Nasional kecil sekali…”38

Sebab-sebab terjadinya pelacuran haruslah dilihat pada faktor-faktor endogen dan eksogen. Diantara faktor-faktor endogen dapat disebutkan nafsu kelamin yang besar, sifat malas, dan keinginan yang besar untuk hidup mewah. Diantara faktor-faktor eksogen yang utama adalah faktor ekonomis, urbanisasi yang tak teratur, keadaan perumahan yang tak memenuhi syarat, dan seterusnya. Sebab utama sebenarnya adalah konflik mental, situasi hidup yang tidak menguntungkan pada masa anak-anak, dan pola kepribadian yang kurang dewasa, ditambah dengan intelegensia yang rendah tarafnya.

Oleh sebab itu ODHA melakukan kontak sosial dalam hal bertatap muka/ saling membantu dan juga berkomunikasi dengan masyarakat karena hal tersebut adalah suatu kunci dari kehidupan sosial yang berjalan lancar. Hal ini dapat dilihat dari tiga premis, Pertama, manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu dalam hubungannya dengan mereka. Masyarakat terdiri dari manusia yang saling berinteraksi, ODHA sebagai salah satu anggota masyarakat bertindak bersama dengan masyarakat. Makna tersebut

38

C.L. Rudolph-Mardjono Reksodiputro, Beberapa catatan masalah pelacuran dalam hubungannya dengan rencana lokalisasi pelacuran oleh pemerintah DKI Jakarta, paper sumbangan pikiran kepada Pemerintah DKI Jakarta, 6 April 1968.


(45)

36

mencakup stimulus dan respon yang berupa bahasa yang digunakan untuk menutupi rahasianya dan hanya orang tertentu yang dapat merespon makna tersebut. Premis kedua, yaitu makna tersebut berasal dari interaksi dengan orang lain. Makna yang mencakup stimulus dan respon tersebut berasal dari interaksi ODHA dengan ODHA yang lain. Selain interaksi dari ODHA yang lain, ODHA juga memperoleh makna itu dari interaksi tidak langsung seperti menonton televisi atau membaca media cetak. ODHA menggunakan makna itu agar apa yang dibicarakan tidak diketahui oleh orang yang tidak ingin mereka tahu.

Premis ketiga, makna tersebut disempurnakan pada saat proses interaksi itu berlangsung. ODHA tidak hanya mengenal objek diluar dirinya, ODHA juga dapat melihat dirinya sebagai orang yang terjakit penyakit HIV/AIDS dalam hal ini orang yang menerima stigma negatif dari masyarakat. Tindakan yang berupa makna tersebut disempurnakan oleh ODHA dalam berinteraksi dengan masyarakat. Makna yang dimaksud dalam premis tersebut dapat dilihat dari kutipan percakapan. ODHA bahkan tidak pernah mengucapkan “ HIV/AIDS” dalam percakapan wawancara, misalnya kata yang seharusnya “ terkena HIV/AIDS” hanya menyebutkan kata “terkena”. Stimulus berupa kata-kata yang ODHA berikan hanya dapat direspon oleh sebagaian orang yang mengetahui tentang keadaannya. Makna kata tersebut mereka terapkan dalam berinteraksi yang dimaksudkan untuk menyamarkan atau menyembunyikan rahasianya, sehingga orang lain yang mendengar percakapan akan berfikir lain yang berbeda dari yang mereka bicarakan.

Kode tersebut merupakan salah satu simbol dari interaksi yang didalamnya memiliki makna tertentu. Kode-kode itu merupakan simbol lain diluar penyamaran kata, maksud dari pandangan tersebut, perilaku individu dalam hal ini ODHA harus dilihat sebagai proses yang


(46)

37

memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku dengan mempertimbangkan pandangan orang lain yang menjadi lawan interaksi.

Menurut Mead, ketika simbol tertentu sebelum dipergunakan oleh individu sebagai sebuah tindakan yang disadari berarti ia telah menjadikan dirinya sebagai orang lain karena ketika individu tersebut mencoba simbol-simbol yang tepat untuk mendukung identitasnya yang akan ditonjolkan, ada simbol-simbol lain yang disembunyikan atau dibuang ketika individu tersebut memanipulasi cerminan dirinya menjadi orang lain. Berarti ia telah memainkan sutau pola teateris, pengaktoran yang berarti ia merasa bahwa ada suatu panggung dimana ia harus mementaskan suatu tuntutan peran yang sebagaimana mestinya telah ditentukan dalam skenario, bukan lagi pada tuntutan interaksi dirinya, simbol-simbol yang diyakini dirinya mampu memberikan makna, akan terbentur pada makna audiens, tetapi bergantung pada orang lain. Artinya bukan dirinya lagi yang memaknai identitasnya, tetapi bergantung pada orang lain. Pengelolaan simbol-simbol pada bagian dari tuntutan lingkungan (skenario) sebagai dirinya. D.Proses Interaksi sosial Pasangan suami istri Pengidap HIV/AIDS dengan masyarakat

Melalui proses interaksi itulah ODHA akan belajar untuk menanggapi stimulus yang diterima dengan menginterpretasikan terlebih dahulu. ODHA dapat mengendalikan tindakannya dalam proses interaksi agar tidak merugikan dirinya dan tidak menerima dampak negatif dari perkataan maupun tindakannya.

Tindakan individu mengenai bagaimana tampilan dirinya yang ingin orang lain ketahui memang ditampilkan se-ideal mungkin. Perilakunya dalam interaksi sosial akan selalu melakukan permainan informasi agar orang lain menpunyai kesan yang lebih baik. Ketika individu menginginkan identitas lain yang ingin ditonjolkan dari indentitas yang sebenarnya, disinilah terdapat pemeranan karakter seorang individu dalam memunculkan simbol-simbol


(1)

83

keluarganya. Sebab pendapatan yang di dapat secara otomatis akan mengalami penurunan akibat dari kesulitan ODHA dalam mencari pekerjaan.

Oleh karena itu, stigma yang diperoleh ODHA dari masyarakat membuat kualitas hidup ODHA menurun. Pandangan masyrakat atas penyait yang di derita membuat ODHA semakin depresi, dan sangat membutuhkan sekali dukungan moral dari pihak keluarga maupun dari lembaga kesehatan.

Memang sangat sulit untuk mengubah pandangan/mainsed seseorang atas penyakit virus HIV/AIDS ini. Karena dari berbagai informasi menjelaskan bahwa penyakit ini timbul dari latar belakang yang hampir semua faktor penyebab penyakit ini adalah hal yang negatif. Ini semua alasan bagi masyarakat awam selalu menjauhi ODHA karena dianggap sebagai sesuatu yang menjijikkan.

Hal ini yang harus dihilangkan dari pemikiran masyarakat. ODHA juga manusia yang harus diberi semangat hidup, motivasi, bukan untuk dikucilkan dan dijauhi. Karena tindakan tersebut sangatlah tidak manusiawi. Karena mereka tidak berfikir bagaimana rasanya menjalani hidup sebagai ODHA. Mereka harusnya bersyukur diberi kesehatan dan diberi kesempatan untuk menyayangi keluarga serta lingkungan setempat. Peneliti prihatin dengan melihat bahwa tanggapan masyarakat tentang penyakit ini sangatlah tragis dan menakutkan meski sudah dilakukan sosialisasi.


(2)

84 BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari penelitian yang peneliti lakukan terkait masalah penelitian yaitu tentang interaksi sosial pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS di Desa Wonoasri Kecamatan Wonoasri Kabupaten Madiun, dapat disimpulkan menjadi 2 bagian sebagai berikut :

1. Interaksi sosial pasangan suami istri ODHA dengan masyarakat Desa Wonoasri Proses interaksi sosial pasangan suami istri pengidap HIV/AIDS di Desa Wonoasri dengan masyarakat saling menggunakan simbol tertentu agar mampu memahami makna yang ingin disampaikan.

Ketika ODHA bertatap muka secara langsung dengan masyarakat yang berada di lingkungan Desa Wonoasri mereka melakukan interaksi secara interaksionisme simbolik dan saling menutupi perasaan masing-masing dan ekspresi yang ditunjukkan masing-masing, tanpa memperlihatkan perasaaan takut, risih, jijik dan menunjukkan ekspresi yang dapat mendiskriminasikan ODHA. Sedangkan didalam lingkungan kelurga ODHA lebih memperlihatkan sifat dan sikap aslinya, yakni rasa minder atas penyakit yang dideritanya.

2. Persepsi masyarakat Desa Wonoasri dengan pasangan suami istri ODHA

Dalam hal ini masyarakat sekitar mempunyai persepsi bahwa penyakit yang diderita oleh pasangan suami istri tersebut merupakan penyakit yang sangat memalukan bagi penderitanya. Menurutnya penyakit ini tumbuh dari dalam diri seorang diakibatkan tindakan dan perilaku yang menyimpang. Sehingga orang yang mengidap penyakit virus HIV/AIDS harus dihindari bahkan dijauhi.


(3)

85

Faktor-faktor yang melatar belakangi masyarakat lingkungan Desa Wonoasri enggan berinteraksi terhadap ODHA adalah :

a. Faktor stigma negatif yang masih melekat pada diri seorang ODHA. Karena penyakit tersebut dianggap oleh masyarakat lingkungan Desa Wonoasri berasal dari gaya hidup yang melanggar etika dan norma.

b. Faktor ketakutan dari masyarakat di lingkungan Desa Wonoasri, akan peristiwa yang pernah terjadi yakni adanya ODHA yang meninggal di Desa Wonoasri. c. Faktor adanya perasaan risih yang mereka rasakan ketika harus bergaul dengan

seorang ODHA. Hal ini disebabkan oleh rasa ketakutan mereka akan kemungkinan dapat tertular penyakit HIV/AIDS tersebut.

B. Saran

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat dibuat suatu saran bagi perbaikan kedepan terkait dengan masalah penelitian yang sudah diteliti :

a. Untuk ODHA diharapkan lebih terbuka dan bersahabat dengan masyarakat di lingkungan Desa Wonoasri. Karena sebagai makhluk sosial, seluruh manusia pada dasarnya membutuhkan bantuan dan dukungan dari orang lain. Terlebih bagi seseorang yang membutuhkan penanganan khusus layaknya pasangan suami istri ini yang menderita penyakit HIV/AIDS yang haus perhatian dan pertolongan dari orang-orang di lingkungan sekitarnya.

b. Untuk masyarakat Desa Wonoasri diharapkan dengan adanya penyuluhan atau sosialisasi dan edukasi yang dilakukan oleh berbagai pihak, dapat mengurangi perlakuan dan tindakan yang bersifat melecehkan dan diskriminatif yang ditujukan kepada ODHA.


(4)

86

c. Untuk keluarga ODHA, agar lebih meningkatkan rasa persaudaraan dan kekerabatan diantar seluruh anggota keluarga dengan tidak melihat latar belakang status, kedudukan, bahkan penyakit yang diderita. Karena saat ini sudah dipersatukan untuk menjadi satu keluarga. Dengan memposisikan diri sebagai bagian dari anggota keluarga, diharapkan seluruh keluarga ODHA dapar memperlakukan ODHA sebagai bagian dari komunitasnya juga tanpa memberikan perlakuan yang berbeda.

d. Untuk kalangan akademisi penelitian ini dapat dijadikan referensi sebagai rujukan bagi penelitian yang akan datang, bila memiliki minat terkait dengan tema penelitian yakni interaksi social yang dilakukan ODHA di lingkungan Desa Wonoasri Kecamatan Wonoasri Kabupaten Madiun, sehingga diharapkan dapat memperluas khasanah keilmuan bila nantinya ada masukan dan tambahan dari penelitian yang bersangkutan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto,Suharsimi, Prosedur Penelitian, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1993.

Bisri, Cik Hasan dan Eva Rufida,” Model Penelitian Agama dan Dinamika Sosial”, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002.

Berger L. Peter,terj. Hartono,”Langit Suci Agama sebagai Realitas Sosial,” Jakarta : PT Pustaka LP3S.

Berger L. Peter dan Tomas Luckman,” Tafsir Sosial asas kenyataan”, Jakarta : PT Pustaka, LP3S.

Berry,David, Pokok-pokok Pikiran Dalam Sosiologi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Black James A. dan Dean J. Champion,” Metode dan Masalah Penelitian Sosial,” Bandung :

Refika Aditama, 2009.

Bogardus, Emory S.,” Sociology”, New York : The Macmillan Company, 1945.

DP, Francis, Chin J,The Prevention of AIDS in United States. JAMA 198; 257: 1357-66.

Gillin dan Gillin,” Cultural Sociology, a revision of An Introduction to Sociology,” New York: The Macmillan Company,1954.

http://www.aidsIndonesia.or.id/dasar-hiv-aids Diakses 14 September 2015

J. Moleong, Lexy, Metode Kualitatif Edisi Revisi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2009. Koentjoroningrat,Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : Gramedia, 1989.

Listiana, Kehidupan social dan interaksi orang dengan HIV/AIDS di Yogyakarta, Yogyakarta: skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora,UIN Sunan Kalijaga :2012.

M. Cholil, Mansyur ,” Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa”, Usaha Nasional Surabaya. Mulyana, Deddy,”Metode Penelitian Kualitatif”, Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 2008. Nasution, Metode Research, Jakarta: Bumi Aksara,1996.


(6)

88

Pujileksono,Sugeng,Masalah-masalah di penjara dalam studi sosial, jurnal volume 12 nomor 2, Surabaya,Mahasiswa Program Doktor Ilmu Sosial Program Pascasarjana,Universitas Airlangga :2009.

Pokja, Akademik, Pengantar Sosiologi, Yogyakarta : UIN Sunan kalijaga, 2006. Patilima, Hamid,Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta,2007.

Poloma, Margaret M., Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 2010. Ritzer,George,” Teori Sosiologi Modern (terj)”, Jakarta : Prenada Media, 2004.

Soemardjan, Selo,” Social Change in Yogyakarta”,( New York : Corel University Press, 1962. Soekanto, Soerjono,Faktor-faktor Dasar Interaksi Sosial dan Kepatuhan pada Hukum.Hukum

Nasional, Nomor 25, 1974.

Soedjitto,”Aspek Budaya dalam Pembangunan Pedesaan”, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1987. Soekanto, Soerjono,”Sosiologi Suatu Pengantar,” Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada,2012. Sugiyono,” Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kualitatif,Kuantatif dan R&D,

Bandung: Alfabeta, 2008.

www.lensiaIndonesia.com/2014/01/16 Diakses pada tanggal 14 September 2015

Young, Kimball dan Raymond,W.Mack, Sociology and social life, New York: American Book Company,1959.

Zuhri, M, Karantina sebagai salah satu usaha untuk mencegah penularan HIV/AIDS ditinjau dari hukum Islam, Yogyakarta: Skripsi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Fakultas Syariah,1997. Skripsi tidak diterbitkan.