MANAJEMEN SEKOLAH BERMUTU (Kontribusi Kepemimpinan Kepala Sekolah, Budaya Organisasi, Komitmen Guru dan Peranserta Masyarakat terhadap Mutu SMP Berkategori Rintisan Sekolah Standar Nasional di Kabupaten Indramayu.

(1)

PERNYATAAN... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian ... 12

D. Tujuan Penelitian ... 14

E. Manfaat Hasil Penelitian ... 15

F. Asumsi ... 15

G. Hipotesis ... 19

H. Kerangka Fikir Penelitian ... 20

I. Metode Penelitian ... 22

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 24

A. Konsep Sistem dan Mutu Pendidikan ... 24

1. Pendidikan sebagai Sistem ... 24

2. Mutu Pendidikan ... 29

3. Input, Proses dan Output Pendidikan ... 32

B. Manajemen Mutu Sekolah ... 45

1. Pengertian ... 45

2. Implementasi Manajemen Mutu Sekolah ... 49

3. Siklus Peningkatan Mutu Pendidikan ... 58

C. Konsep Kepemimpinan Kepala Sekolah ... 62

1. Ragam Pendekatan dalam Studi Kepemimpinan ... 62

2. Peran Kepemimpinan Kepala Sekolah ... 74

3. Kepemimpinan Manajerial Kepala Sekolah ... 89

D. Budaya Organisasi ... 94

1. Pengertian ... 94

2. Elemen Pembentuk Budaya Organisasi ... 97

3. Tipologi Budaya Organisasi ... 100

E. Komitmen Guru ... 104

1. Pengertian... 104

2. Strategi Membangun Komitmen Guru ... 106

3. Jenis-jenis Komitmen ... 109


(2)

1. Aspek Manajemen Sekolah... 119

2. Aspek Kurikulum dan Pembelajaran ... 126

G. Peranserta Masyarakat ... 134

H. Penelitian Terdahulu ... 146

BAB III METTODE PENELITIAN ... 151

A. Pendekatan dan Metode Penelitian ... 151

B. Definisi Operasional ... 154

C. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 161

D. Populasi dan Sampel Penelitian ... 162

E. Teknik Pengumpulan Data ... 164

F. Teknik Analisis Data... 174

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 183

A. Hasil Penelitian ... 183

1. Kepemimpinan Kepala Sekolah ... 183

2. Budaya Organisasi Sekolah ... 189

3. Komitmen Guru ... 193

4. Peranserta Masyarakat ... 197

5. Mutu Proses Pembelajaran ... 203

6. Mutu Sekolah ... 208

B. Analisis Hubungan Antar Variabel ... 213

C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 220

1. Makna Hubungan Antar-variabel ... 220

2. Dimensi Penting Temuan Penelitian ... 224

D. Model Alternatif Pengembangan SMP Rintisan Sekolah Standar Nasional244 1. Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah ... 246

2. Budaya Organisasi dan Etos Kerja Sekolah ... 248

3. Komitmen Profesional Guru ... 249

4. Prinsip Pemeliharaan Peranserta Masyarakat ... 250

5. Dampak Kepemimpinan Kepala Sekolah, Budaya Organisasi Sekolah dan Komitmen Guru terhadap Mutu Sekolah Berstandar Nasional ... 254

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI ... 257

A. Kesimpulan ... 257

B. Implikasi ... 259

C. Rekomendasi ... 261

DAFTAR PUSTAKA ... 263

LAMPIRAN... 267


(3)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan memiliki posisi strategis di dalam merespons perubahan dan tantangan yang diakibatkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, menurut Satmoko (1999: 221), pendidikan berperan penting dalam upaya peningkatan kualitas kehidupan manusia baik sosial dan spiritual maupun intelektual dan profesional.

Berkenaan dengan peran dan posisi strategis pendidikan itu, sekolah sebagai satuan pendidikan formal dituntut untuk menghasilkan lulusan yang berkemampuan akademis, keterampilan, dan sikap mental yang relevan dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemampuan tersebut harus bernilai-guna baik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi maupun untuk memasuki lapangan kerja.

Sekolah adalah sebuah pranata sosial yang bersistem, meliput berbagai komponen yang satu sama lain saling terkait dan saling mempengaruhi. Komponen-komponen yang dimaksud adalah siswa, pendidik dan tenaga kependidikan lainnya, kurikulum, dan fasiltias pendidikan. Komponen lain yang juga berpengaruh besar terhadap proses penyelenggaraan dan peningkatan mutu pendidikan, adalah pemangku kepentingan (stakeholders), terutama orangtua siswa dan masyarakat pengguna jasa pendidikan.

Sejalan dengan ungkapan di atas, Fattah (2004) berpendapat bahwa sekolah merupakan organisasi yang didisain untuk dapat berkontribusi terhadap


(4)

upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat suatu bangsa. Untuk itu, sekolah perlu diatur oleh sistem organisasi yang memiliki budaya akademik yang dapat diterima oleh stakeholders sekolah.

Di pihak lain, menurut Umaedi (2000), terdapat tiga faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Pertama, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan dan diatur secara birokratik sehingga menempatkan sekolah sebagai pelaksana pendidikan yang tergatung pada peraturan, instruksi, juklak, juknis, dan beragam keputusan birokrasi yang memiliki jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijaksanaan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Dengan demikian, sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya, termasuk perbaikan mutu pendidikan yang merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional.

Kedua, program pembangunan pendidikan lebih menekankan pada penyediaan input pendidikan seperti guru, kurikulum, fasilitas pendidikan, buku, dan alat peraga serta sumber belajar lainnya, dengan asumsi bahwa perbaikan mutu pendidikan akan terjadi dengan sendirinya apabila input pendidikan dipenuhi. Asumsi ini ternyata meleset, karena input tanpa proses manajemen yang baik tidak akan menghasilkan output yang diharapkan. Penyediaan komponen standar minimal penyelenggaraan memang penting, tetapi tidak dengan sendirinya akan meningkatkan mutu pendidikan.

Ketiga, peranserta masyarakat dan orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Pola penyelenggaraan


(5)

pendidikan selama ini telah menjauhkan lembaga pendidikan dari lingkungan masyarakatnya. Hal ini menyebabkan timbulnya persepsi bahwa penyelenggaraan pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah sepenuhnya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila peranserta masyarakat selama ini pada umumnya lebih banyak bersifat kewajiban untuk mendukung masukan tertentu (dana), tetapi tidak dalam proses pendidikan seperti pengambilan keputusan, pemantauan, pengawasan, dan akuntabilitas. Hal ini mengakibatkan sekolah tidak memiliki beban tanggung jawab atas hasil pelaksanaan pendidikan kepada orang tua.

Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa:

“Pelanggan, terutama siswa harus merupakan fokus dari semua kegiatan di sekolah. Artinya, semua input dan proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik. Konsekuensinya, penyiapan input dan proses belajar mengajar harus benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan siswa.”

Dari sudut pandang pengembangan budaya mutu di sekolah, Depdiknas (2001) merinci pula elemen-elemen budaya mutu yang harus mendapat perhatian sekolah, yaitu :

(a) informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (reward) atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis kerja sama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga sekolah merasa memiliki sekolah.


(6)

Sekolah yang bermutu memungkinkan layanan, proses, dan keluaran pendidikan yang bermutu pula. Oleh sebab itu, upaya menciptakan pendidikan yang bermutu haruslah berfokus pada peningkatan mutu sekolah. Peningkatan mutu pendidikan merupakan tugas yang tidak mudah karena dipengaruhi oleh berbagai faktor. Selain itu, peningkatan mutu pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan peningkatan mutu sumber daya manusia. Sehubungan dengan itu, pemerintah terus berupaya mewujudkan pendidikan yang bermutu, antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya.

Upaya pemerintah yang tidak kalah pentingnya adalah dirintisnya sekolah-sekolah yang berstandar nasional, yang dikenal dengan Rintisan Sekolah Standar Nasional (RSSN). Sesuai dengan namanya, sekolah berstandar nasional dikonsepsikan sebagai sekolah yang dapat memenuhi standar masukan, proses, dan keluaran pendidikan sebagaimana diatur oleh PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Salah satu pokok pikiran yang melandasi standar nasional pendidikan, dijelaskan dalam PP tersebut sebagai berikut:

Dalam rangka mewujudkan visi dan menjalankan misi pendidikan nasional, diperlukan suatu acuan dasar (benchmark) oleh setiap penyelenggara dan satuan pendidikan, yang antara lain meliputi kriteria dan kriteria minimal berbagai aspek yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan. Dalam kaitan ini, kriteria dan kriteria penyelenggaraan pendidikan dijadikan pedoman untuk mewujudkan: (1) pendidikan yang berisi muatan yang seimbang dan holistik; (2) proses pembelajaran yang demokratis, mendidik, memotivasi, mendorong kreativitas, dan dialogis; (3) hasil pendidikan yang bermutu dan terukur; (4) berkembangnya profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan;


(7)

(5) tersedianya sarana dan prasarana belajar yang memungkinkan berkembangnya potensi peserta didik secara optimal; (6) berkembangnya pengelolaan pendidikan yang memberdayakan satuan pendidikan; dan (7) terlaksananya evaluasi, akreditasi dan sertifikasi yang berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan.

Acuan dasar tersebut merupakan standar nasional pendidikan yang dimaksudkan untuk memacu pengelola, penyelenggara, dan satuan pendidikan agar dapat meningkatkan kinerjanya dalam memberikan layanan pendidikan yang bermutu. Selain itu, standar nasional pendidikan dimaksudkan pula sebagai perangkat untuk mendorong terwujudnya transparansi dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan memuat kriteria minimal tentang komponen pendidikan yang memungkinkan setiap jenjang dan jalur pendidikan untuk mengembangkan pendidikan secara optimal sesuai dengan karakteristik dan kekhasan programnya.

Di Kabupaten Indramayu, saat ini terdapat 22 SMP yang berkategori RSSN. Perubahan kategori tersebut tentu saja berimplikasi terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah-sekolah yang bersangkutan. Peningkatan mutu pendidikan mengharuskan adanya dukungan kepemimpinan dan kemampuan kreatif dari para pelaksana pendidikan di sekolah. Kepala sekolah melalui kemampuan kepemimpinannya, diharapkan memfungsikan dirinya sebagai pengelola sumber daya pendidikan menuju perbaikan mutu. Bersama seluruh unsur tenaga kependidikan di sekolah, kepala sekolah perlu mengembangkan solusi untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan.


(8)

Di dalam penerapan MBS, tuntutan akan fungsi kepemimpinan kepala sekolah adalah memberdayakan semua komponen sistem pendidikan di sekolah, yaitu:

Mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang ada. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu sejalan dengan esensi MBS, maka kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang tangguh agar mampu mengambil keputusan dan inisiatif/prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah (Ditjen Dikdasmen, 2002: 15).

Adapun unsur-unsur yang menjadi kewenangan dan tanggung jawab sekolah dalam kerangka MBS menurut Muhammad (2006: 21) meliputi: (1) proses belajar mengajar; (2) perencanaan dan evaluasi program sekolah; (3) pengelolaan kurikulum; (4) pengelolaan ketenagaan; (5) pengelolaan peralatan dan perlengkapan; (6) pengelolaan keuangan; (7) pelayanan siswa; (8) hubungan sekolah-masyarakat, dan (9) pengelolaan iklim sekolah.

Melalui pendayagunaan kapasitas kepemimpinannya, kepala sekolah dapat mendorong segenap sumber daya sekolah untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan sekolah melalui program-program yang dilaksanakan secara bertahap. Lebih jauh keseluruhan upaya kepala sekolah itu akan mempertinggi rasa tanggung jawab semua pihak terhadap keseluruhan program pendidikan di sekolah.

Selain kepemimpinan kepala sekolah, upaya perbaikan mutu pendidikan di sekolah akan bergantung pula pada budaya organisasi sekolah. Budaya organisasi berkenaan dengan asumsi, keyakinan, dan nilai-nilai yang disepakati


(9)

bersama oleh seluruh anggota organisasi, terutama mengenai cara melakukan pekerjaan dan kepada siapa pekerjaan itu ditujukan. Menurut Kast dan Rosenweight (1991), budaya organisasi secara individu berfungsi: (a) menyampaikan rasa identitas bagi organisasi; (b) memudahkan komitmen untuk sesuatu yang lebih besar bagi dirinya sendiri; (c) meningkatkan stabilitas sistem sosial; (d) menyediakan premis yang diakui dan diterima untuk pengambilan keputusan.

Salah satu faktor kunci dalam membangun mutu pendidikan adalah adanya komitmen guru dalam menyikapi tuntutan profesinya. Hal ini tidak diragukan lagi, bahwa di dalam perkembangan masyarakat yang semakin maju, guru berperan strategis terutama dalam membentuk watak peserta didik melalui perkembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan.

Membangun komitmen guru adalah upaya penting dalam konteks kebijakan pendidikan dan kehidupan sekolah yang mengalami perubahan secara berkelanjutan. Pilihan kebijakan apapun dalam kerangka mengarahkan perubahan itu menuju, hanya akan berhasil mencapai target apabila para guru telah memantapkan komitmennya. Komitmen akan mendorong rasa percaya diri dan semangat kerja mereka, sekaligus akan memperlancar pergerakan sekolah mencapai goal setting perubahan mutu pendidikan. Dengan demikian, komitmen guru akan menentukan peningkatan kualitas sekolah, baik fisik maupun psikologis sehingga segala sesuatunya menjadi menyenangkan bagi seluruh warga sekolah.


(10)

Melaksanakan perubahan untuk membangun mutu proses pendidikan, bukan hanya berkenaan dengan fasilitas yang diperoleh atau problematika yang diurai, atau penguasaan atas konsep-konsep yang hebat, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah implementasinya.

Setiap guru harus menampilkan perilaku terbaiknya sebagaimana yang dikemukakan oleh Tommy Belavele (2007) bahwa seorang guru yang baik seharusnya:

(1) memiliki misi; (2) memiliki suatu keyakinan positif; (3) mengenal bahwa pikiran dan perbuatannya ber dampak yang mendalam terhadap keberhasilan dirinya; (4)mengembangkan keterampilan pemecahan masalah yang memungkinkan guru untuk mengatasi setiap tantangan yang dihadapi; dan (5) mengetahui penggunaan waktu dan usaha untuk memperoleh hasil yang terbaik dan kepuasan di luar mengajar.

Keberadaan sekolah didorong oleh kebutuhan masyarakat sehingga tanggung jawab pendidikan di sekolah merupakan tanggung jawab masyarakat, keluarga, dan pemerintah. Oleh karena itu, pelembagaan peranserta masyarakat sebagai pendukung upaya-upaya pendidikan di sekolah adalah faktor penting dalam peningkatan mutu pendidikan.

Terdapat beberapa bentuk partisipasi yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan orangtua siswa terhadap usaha pendidikan di sekolah. Pertama, partisipasi gagasan yaitu sumbangan pikiran, pengalaman dan pengetahuan yang diberikan dalam petemuan sehingga menghasilkan suatu keputusan. Kedua, partisipasi tenaga yaitu memberikan tenaga untuk menghasilkan sesuatu yang telah diputuskan. Ketiga, partisipasi keterampilan atau keahlian yaitu bertidak sebagai ahli, penasihat atau narasumber yang diperlukan dalam kegiatan pendidikan di sekolah. Keempat, partisipasi harta


(11)

benda yaitu iuran atau sumbangan dalam bentuk benda atau uang secara tetap atau insidental.

Secara legal formal peranserta masyarakat di tingkat sekolah, saat ini telah dilembagakan dalam wadah komite sekolah. Mengacu kepada Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002, komite sekolah merupakan suatu badan atau lembaga nonpolitis dan nonprofit, dibentuk berdasarkan musyawarah yang demokratis oleh stakeholders pendidikan di tingkat sekolah, sebagai representasi dari bergai unsur yang bertanggung jawab terhadap peningkatan kualitas proses dan hasil pendidikan.

B. Identifikasi Masalah

Penyelenggaraan pendidikan di Kabupaten Indramayu dihadapkan pada situasi dan tantangan yang besar dalam upaya peningkatan mutu pengelolaan sekolah. Berbagai upaya mewujudkan sekolah yang mempriortitaskan proses menuju sekolah bermutu pada jenjang sekolah menengah pertama (SMP), terus dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku atau pelaksana pendidikan. Kompetensi semua pihak selalu menjadi harapan untuk dapat menyampaikan gagasan dan implementasinya.

Untuk itu peran kepala sekolah, peranserta masyarakat, para guru, dan komunitas budaya sekolah harus memiliki obsesi dan komitmen terhadap pendidikan yang bermutu, memiliki visi dan misi mutu yang difokuskan pada pemenuhan kebutuhan dan harapan para pelanggannya, baik pelanggan internal maupun eksternal.


(12)

Oleh karena itu, upaya mewujudkan sekolah yang bermutu terpadu dituntut untuk berfokus kepada peserta didik, adanya keterlibatan total semua warga sekolah, adanya ukuran baku mutu pendidikan, memandang pendidikan sebagai sistem dan mengadakan perbaikan mutu pendidikan berkesinambungan.

Pendidikan yang berfokus pada mutu menurut konsep Juran (2001) adalah bahwa dasar misi mutu sebuah sekolah mengembangkan program dan layanan yang memenuhi kebutuhan pengguna seperti siswa dan masyarakat. Masyarakat dimaksud adalah secara luas sebagai pengguna lulusan, yaitu dunia usaha, lembaga pendidikan lanjutan, pemerintah dan masyarakat luas, termasuk menciptakan usaha sendiri oleh lulusan.

Fiegenbaum (2002) mengartikan mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction). Dalam pengertian ini, maka yang dikatakan sekolah bermutu adalah sekolah yang dapat memuaskan pelanggannya, baik pelanggan internal maupun eksternal. Dasar pemikirannya adalah pentingnya upaya meningkatkan proses yang beorientasi pada mutu sekolah agar dapat menghasilkan lulusan sesuai dengan harapan para lulusan, orang tua, pendidikan lanjut, pemerintah dan dunia usaha serta masyarakat secara luas.

Pembahasan dalam tulisan ini dimulai uraian tentang sekolah bermutu terpadu, kepemimpinan sekolah bermutu terpadu, kriteria penghargaan bagi sekolah bermutu terpadu, manajemen mutu terpadu dalam pendidikan, penerapan prinsip mutu dalam pendidikan, mengorganisasikan mutu,


(13)

membentuk satuan tugas mutu, pemecahan masalah, biaya mutu, perbaikan berkesinambungan dan kesimpulan.

Pelibatan semua warga sekolah pada jenjang SMP itu harus berlangsung mulai dari planning, organizing, staffing, directing, commanding, coordinating, communicating, budgeting, leading, motivating, compensating dan sampai kepada controlling. Dengan pelibatan tersebut, maka mereka akan menjalankan tugas, peran dan fungsi serta pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab dan penuh komitmen. Pelibatan semua warga sekolah merupakan bentuk pemberian kepuasan kepada pelangan internal agar mereka mau dan mampu memberikan layanan pendidikan yang memuaskan bagi pelangan eksternalnya. Pelibatan warga sekolah itu dalam seluruh proses atau kegiatan.

Bentuk-bentuk keterlibatan guru dan karyawan sekolah dalam peningkatan mutu sekolah dapat berupa saran, baik secara pribadi maupun kelompok, baik atas permintaan pimpinan ataupun atas inisiatif sendiri, dibentuknya tim pemecahan masalah baik atas inisiatif kelompok maupun atas permintaan pimpinan, terbentuknya komite perbaikan mutu sekolah secara berkesinambungan, terbentuknya gugus kendali mutu sekolah dan terbentuknya kelompok-kelompok kerja dalam peningkatan mutu sekolah. Keberhasilan pemberdayaan guru dan karyawan pada suatu sekolah ditandai bahwa pekerjaan mereka milik mereka sendiri, meraka bekerja, menjalankan tugas dan fungsinya secara bertanggung jawab, mereka memahami betul posisi mereka berada dan mereka memiliki pengendalian atas pekerjaan mereka.


(14)

Berdasarkan pernyataan tersebut di atas dapat diidentifikasi aspek-aspek masalah penelitian sebagi berikut:

1. Permasalahan utama untuk menghadapi penyelenggaraan pendidikan tingkat SMP yang berkatagori Rintisan Sekolah Standar Nasional (RSSN) di Kabupaten Indramayu dalam menerapkan proses pengelolaan mutu pendidikan.

2. Paradigma, norma-norma dan keyakinan-keyakinan yang dapat dikembangkan sekolah untuk membangun budaya organisasi kerja di sekolah pada jenjang SMP yang berkatagori RSSN yang mampu berjalan dengan sumber daya yang dimiliki.

3. Pengembangan sekolah yang melibatkan semua komponen warga sekolah dalam pengelolaan proses pembelajaran yang berkompeten (competencies learning) pada SMP berkatagori RSSN di Kabupaten Indramayu yang dapat membantu peserta didik dalam mengembangkan keterampilan untuk bersaing dengan peserta didikn lainnya dalam berbagai kompetisi.

C. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Berdasar latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan diatas, penulis terdorong untuk meneliti faktor-faktor determinan yang memiliki pengaruh dalam mengembangkan mutu sekolah dari unsur kepemimpinan kepala sekolah, budaya organisasi sekolah, komitmen guru dan partisipasi masyarakat terhadap mutu proses pembelajaran dan mutu SMP berkategri RSSN di Kabupaten Indramayu.


(15)

Rumusan pokok masalah penelitian ini adalah: Apakah kepemimpinan kepala sekolah, budaya organisasi sekolah, komitmen guru, dan peranserta masyarakat merupakan faktor-faktor determinan yang signifikan terhadap mutu proses pembelajaran dan mutu SMP berkategori RSSN?

Sebagai bahan pengujian hipotesis dan pemodelan, selanjutnya pokok masalah tersebut penulis jabarkan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Seberapa besar pengaruh kepemimpinan kepala sekolah, terhadap mutu lulusan SMP berkategori RSSN dengan intervening mutu proses pembelajaran?

2. Seberapa besar pengaruh budaya organisasi, budaya organisasi terhadap mutu lulusan SMP berkategori RSSN dengan intervening mutu proses pembelajaran?

3. Seberapa besar pengaruh komitmen guru, terhadap mutu lulusan SMP berkategori RSSN dengan intervening mutu proses pembelajaran?

4. Seberapa besar pengarus peranserta masyarakat, terhadap mutu lulusan SMP berkategori RSSN dengan intervening mutu proses pembelajaran?

5. Seberapa besar pengaruh kepemimpinan kepala sekolah, buddaya organisasi, komitmen guru dan peran serta masyarakat secara simultan terhadap mutu proses pembelajaran SMP berkategori RSSN?

6. Seberapa besar pengaruh kepemimpinan kepala sekolah, budaya organisasi, komitmen guru dan peran serta masyarakat secara simultan terhadap mutu lulusan SMP berkategori RSSN?


(16)

7. Seberapa besar pengaruh kepemimpinan kepala sekolah, budaya organisasi, komitmen guru dan peran serta masyarakat secara simultan terhadap mutu lulusan SMP berkategori RSSN dengan intervening mutu proses pembelajaran?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan ruang lingkup permasalahan sebagaimana dirumuskan di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini: secara umum untuik mengetahui gambaran proses pengelolaan pendidikan pada jenjang sekolah menengah pertama yang memiliki program sekolah standar nasional (RSSN) di Kabupaten Indramayu. Secara lebih spasifik dari penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui pengaruh parsial dan pengaruh multipal variabel-variabel kepemimpinan kepala sekolah, budaya organisasi sekolah, komitmen guru, peranserta masyarakat, dan mutu ptoses pembelajaran mutu SMP berkategori RSSN Kabupaten Indramayu.

2. Menganalisis taraf keberartian pengaruh variabel-variabel kepemimpinan kepala sekolah, budaya organisasi sekolah, komitmen guru, peranserta masyarakat, dan mutu proses pembelajaran terhadap mutu SMP berkategori RSSN Kabupaten Indramayu.

3. Menelaah model empirik dan mengajukan model konseptual pengembangan SMP berkategori RSSN dari perspektif pembinaan kepemimpinan kepala sekolah, budaya organisasi sekolah, komitmen guru, peranserta masyarakat, dan mutu proses pembelajaran.


(17)

E. Manfaat Hasil Penelitian 1. Manfaat Teoretik

Mutu pendidikan di SMP berkategori RSSN, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari manajemen mutu pendidikan. Isu tersebut menjadi menarik apabila diposisikan dalam hubungannya dengan kepemimpinan kepala sekolah, budaya organisasi sekolah, komitmen guru dan pelembagaan peranserta masyarakat melalui organisasi komite sekolah. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan konseptual bagi perkembangan disiplin ilmu administrasi pendidikan, terutama aspek-aspek mutu pendidikan, kepemimpinan pendidikan, budaya sekolah, dan peranserta masyarakat dalam prbaikan mutu pendidikan.

2. Manfaat Praktik

Secara praktik, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan, penyelenggara, dan pengelola satuan-satuan pendidikan di daerah, terutama dalam meningkatkan dan mengembangkan mutu pendidikan di sekolah.

F. Asumsi

Penelitian ini didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut :

1. Mutu dalam pendidikan adalah tingkat keberhasilan pengelolaan pendidikan (Akdon, 2009). Manajemen mutu pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk mencari perubahan fokus sekolah, dari kelayakan jangka pendek menuju ke arah perbaikan mutu jangka panjang, serta dampaknya terhadap perubahan nilai-nilai budaya sekolah. Edward Sallis berpendapat


(18)

bahwa “manajemen mutu merupakan lingkaran perbaikan yang berkelanjutan dan sangat menekankan pada improvement and change”,

Untuk mengatasi kendala dalam implementasi manajemen mutu seperti diuraikan di atas, harus dilandasi oleh perubahan sikap dan cara bekerja semua personil.

2. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Pendapat Wildavsky yang dikutip oleh Danim (2002) menyatakan bahwa salah satu preposisi tentang kebijakan pendidikan bagi kepala sekolah memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam bidang keadministrasian sekolah; keterampilan hubungan manusiawi dengan staf, siswa dan masyarakat, dan keterampilan teknis instruksional dan non instruksional.

3. Budaya organisasi sekolah menjadi faktor penting yang terkait mutu proses pendidikan dan mutu sekolah. Hal ini didasari argumen definitif bahwa budaya organisasi merupakan seperangkat nilai, norma dan keyakinan yang dijadikan pedoman dalam berpikir dan bertindak; suatu sistem makna yang dimiliki bersama oleh suatu organisasi yang membedakannya dengan organisasi lain; juga sebagai pengalaman, sejarah, keyakinan dan norma-norma bersama yang menjadi ciri organisasi.

4. Komitmen guru terkait dengan penciptaan rasa kepemilikan terhadap organisasi. Untuk ini guru mengidentifikasi dirinya dalam organisasi,


(19)

mempercayai bahwa ada guna dan manfaatnya bekerja di organisasi, merasakan kenyamanan didalamnya, mendukung nilai-nilai, visi, dan misi organisasi dalam mencapai tujuannya. Kepemilikan ini lebih berupa meningkatnya kepercayaan di seluruh anggota organisasi bahwa mereka benar-benar diterima oleh manajemen sebagai bagian dari organisasi. 5. Sekolah sebagai institusi tidak dapat lepas dari masyarakat di lingkungan

sekolah tersebut berada. Sehubungan dengan hal ini, sekolah perlu melakukan beberapa aktivitas dalam melaksanakan manajemen peranserta masyarakat agar dapat mencapai hasil yang diharapkan dan memberdayakan masyarakat dan stakeholders lainnya (Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah). 6. Sekolah dianggap bermutu apabila berhasil mengubah sikap, perilaku dan

keterampilan peserta didik dikaitkan dengan tujuan pendidikannya. Mutu proses pembelajaran dapat dikatakan sebagai gambaran mengenai baik-buruknya layanan sekolah dalam proses membelajarkan peserta didik. Mutu pendidikan sebagai sistem selanjutnya tergantung pada mutu komponen yang membentuk sistem, serta proses pembelajaran yang berlangsung hingga membuahkan hasil. Engkoswara (1987) mengemukakan, bahwa “ mutu yang dilihat dari hasil belajar siswa adalah dalam bentuk-bentuk kognitif, afektif, konatif, konsep kepribadian, konsep diri, kreativitas, penyesuaian diri, kematangan kerja, dan tanggung jawab kemasyarakatan. Secara ringkas prinsip pembelajaran pada SSN (PP No.19/ 2005) adalah:


(20)

a. Berpusat pada peserta didik, yaitu bagaimana peserta didik belajar.

b. Menggunakan berbagai metode yang memudahkan peserta didik belajar.

c. Proses pembelajaran bersifat kontekstual.

d. Interaktif, inspiratif, menyenangkan, memotivasi, menantang dan dalam iklim yang kondusif.

e. Menekankan pada kemampuan dan kemauan bertanya dari peserta didik

f. Dilakukan melalui kelompok belajar dan tutor sebaya.

g. Mengalokasikan waktu sesuai dengan kemampuan belajar peserta didik

h. Melaksanakan program remedial dan pengayaan sesuai dengan hasil evaluasi formatif.

7. Sekolah bestandar nasional dirancang untuk menciptakan suasana belajar yang memungkinkan berkembangnya semua dimensi perilaku peserta didik, yang meliputi watak, kepribadian, intelektual, emosional dan sosial secara seimbang. Strategi pembelajaran yang sesuai untuk mencapai dimensi di atas, adalah strategi pembelajaran yang terfokus pada belajar bagaimana seharusnya belajar (Zamroni, 2000). Strategi ini harus menekankan pada perkembangan kemampuan intelektual tinggi, memiliki kepekaan (sensitif) terhadap kemajuan belajar dari tingkat konseptual rendah ke tingkat intelektual tinggi. Menurut Arends (2001) seorang guru dalam melaksanakan pembelajaran harus menampilkan tiga aspek penting, yaitu: (1) kepemimpinan; (2) pemberian instruksi melalui tatap muka dengan peserta didik; (3) bekerja dengan peserta didik, kolega, dan orang tua. Untuk membangun kelas dan sekolah sebagai organisasi belajar, ketiga aspek tersebut harus terpadu.


(21)

G. Hipotesis

Berdasarkan tujuan dan asumsi-asumsi, selanjutnya dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:

1. Kepemimpinan Kepala Sekolah berpengaruh secara kuat terhadap mutu lulusan dengan intervening mutu proses pembelajaran di SMP RSSN Kabupaten Indramayu.

2. Budaya organisasi berpengaruh secara kuat terhadap mutu lulusan dengan intervening mutu proses pembelajaran di SMP RSSN Kabupaten Indramayu.

3. Komitmen guru berpengaruh secara kuat terhadap mutu lulusan dengan intervening mutu proses pembelajaran di SMP RSSN Kabupaten Indramayu.

4. Peranserta masyarakat berpengaruh secara kuat terhadap mutu lulusan dengan intervening mutu proses pembelajaran di SMP RSSN Kabupaten Indramayu.

5. Kepemimpinan kepala sekolah, budaya organisasi, komitmen guru, dan peranserta masyarakat, secara simultan berpengaruh kuat terhadap mutu proses pembelajaran di SMP berkategori RSSN Kabupaten Indramayu. 6. Kepemimpinan kepala sekolah, budaya organisasi, komitmen guru, dan

peranserta masyarakat, secara simultan berpengaruh kuat terhadap mutu lulusan di SMP berkategori RSSN Kabupaten Indramayu.

7. Kepemimpinan kepala sekolah, budaya organisasi, komitmen guru, dan peranserta masyarakat, secara simultan berpengaruh kuat terhadap mutu


(22)

lulusan dengan intervening mutu proses pembelajaran di SMP berkategori RSSN Kabupaten Indramayu.

H. Kerangka Fikir Penelitian

Setiap penelitian ilmiah harus berorientasi dan berakhir pada kebenaran ilmiah. Untuk mendukung kebenaran tersebut diperlukan konstruksi teoretik dan pencarian bukti-bukti empirik. Kerja penelitian pada hakikatnya merupakan proses yang sistematik dan menggunakan metode tertentu guna memperoleh kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sehubungan dengan itu, perlu disusun kerangka pikir penelitian yang di dalamnya memuat sudut pandang peneliti, proses penelitian, orientasi dan hasil akhir yang diharapkan dari penelitian. Adapun kerangka pikir penelitian ini menggambarkan aspek-aspek berikut ini.

Pertama, konseptualisasi masalah penelitian, sebagaimana yang telah dituangkan di bagian muka. Konsep masalah tersebut selanjutnya penulis terangkan dengan bantuan sejumlah teori. Penjelasan teoretik dimaksudkan untuk memandu proses pemahaman masalah penelitian sekaligus mencegah kemungkinan tersesat di wilayah empirik. Sesuai dengan pandangan Sanusi (1998), penjelasan teoretik dalam penelitian ini identik dengan memfungsikan teori, yaitu: (1) mengkonfirmasi atau memfalsifikasi teori yang ada, dan hasilnya digunakan untuk mengidentifikasi dan mengurai unsur-unsur dari sesuatu satuan; (2) mendeskripsi; (3) menganalisis proses serta hubungan; (4) memprediksi; dan (5) membuat rencana, operasi, dan kontrol.


(23)

Kedua, mendeskripsikan dan menganalisis data lapangan. Setelah kategori masalah penelitian mendapat eksplanasi teoretik yang memadai, selanjutnya penulis memasuki wilayah empirik guna merekam data dan informasi yang mencerminkan gambaran senyatanya mengenai masalah penelitian ini. Kemudian, dilakukan pengujian hipotesis penelitian dan pemaknaan. Pada tingkat empirik, penelitian ini ingin mengungkapkan dan memaknai hasil pengujian hipotesis mengenai hubungan determinatif antarvariabel penelitian yang dihipotesiskan. Berdasarkan pengungkapan dan pemaknaan tersebut lebih lanjut akan dikedepankan sebuah existing model hubungan kepemimpinan kepala sekolah, budaya organisasi sekolah, dan fungsi komite sekolah dengan mutu pendidikan di sekolah-sekolah yang diteliti.

Ketiga, mengajukan model konseptual berdasarkan fakta empirik yang ditemukan di lapangan, hasil pengujian hipotesis penelitian, komparasi dengan telaah teoretik dan penelitian terdahulu. Dengan demikian, model konseptual tersebut merupakan skema pemikiran penulis mengenai perbaikan dan penyempurnaan terhadap temuan empirik. Secara ringkas, kerangka fikir penelitian ini disajikan dalam gambar 1.1.


(24)

TUNTUAN KEBIJAKAN PEMERINTAH

KONDISI AKTUAL

ANALISIS GAP

STANDAR PROSES PENGELOLAAN

SEKOLAH

KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH

BUDAYA ORGANISASI KOMITMEN GURU

PERANSERTA MSYARAKAT

MUTU PEMBELAJARAN

MUTU LULUSAN

MANAJEMEN SEKOLAH

RSSN

UMPAN BALIK

Gambar 1.1

KERANGKA FIKIR PENELITIAN

I. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan descriptive survey dan explanatory survey yang bertujuan menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesis (Singarimbun dan Effendi,1989). Rancangannya adalah deskriptif-verifikatif, yang dimaksudkan untuk menggambarkan kondisi ciri-ciri objek atau variabel-variabel penelitian sebagaimana adanya, dan menguji hipotesis.

Penelitian ini terdiri atas empat variabel bebas, yaitu kepemimpinan kepala sekolah (X1), budaya organisasi (X2), komitmen guru (X3), dan

peranserta masyarakat (X4); satu variabel intervening yaitu prose pembelajaran


(25)

Populasi penelitian ini adalah seluruh guru di 22 SMP Negeri yang berkategori RRSN di Kabupaten Indramayu, berjumlah 603 orang. Seluruh anggota populasi tersebut sekaligus penulis jadikan sampel. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik-teknik studi dokumentasi, observasi, wawancara dan angket. Teknik-teknik pengumpulan data yang disebut pertama lebih merupakan alat pengumpulan data sekunder sebagai bahan triangulasi dengan data primer. Khusus mengenai angket, diuji validitas, reliabilitas dan daya pembedanya.

Analisis data dan pengujian hipotesis menggunakan teknik olah data statistik berbantuan SPSS versi 11.0 for windows dan Eviews 4.1. Adapun tahap-tahap yang dilakukan meliputi pengolahan data dalam bentuk analisis regresi dan analisis jalur.


(26)

151

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan descriptive survey dan explanatory survey yang bertujuan menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesis (Singarimbun dan Effendi,1989). Rancangannya adalah deskriptif-verifikatif, yang dimaksudkan untuk menggambarkan kondisi ciri-ciri objek atau variabel-variabel penelitian sebagaimana adanya, dan menguji hipotesis.

Penelitian ini terdiri atas tiga variabel bebas, yaitu kepemimpinan kepala sekolah (X1), budaya organisasi (X2), komitmen guru (X3), dan peranserta

masyarakat (X4); satu variabel intervening yaitu prose pembelajaran (Y); dan

variabel terikat, yaitu mutu SMP berkategori RSSN (Z). Sesuai dengan penjelasan teoretik sebagaimana yang telah dikemukakan dalam bab kedua, dimensi dan indikator masing-masing variabel tersebut diringkaskan dalam tabel 3.1.

Tabel 3.1

KISI-KISI VARIABEL PENELITIAN

VARIABEL DIMENSI INDIKATOR

Kepemimpinan Kepala Sekolah (X1)

Tanggung jawab • Penataan lembaga • Pembinaan Akademik • Berani mengambil resiko Manajemen • Perencanaan Program

• Pengorganisasian Masalah • Pelaksanaan Program


(27)

Proses Komunikasi • Sistem komunikasi • Target komunikasi • Efektivitas komunikasi Otonomi pengelolaan • Peningkatan Mutu

• Efisiensi Pengelolaan • Relevansi pembelajaran Pemberdayaan Warga

sekolah •

Peran Guru

• Peran Tenaga Kependidikan • Memotivasi siswa

Budaya Organisasi (X2)

Karakteristik • Kerjasama • Penghargaan • Percaya diri • Inovatif

Penerapan • Membiasakan beretika • Adanya iklim kondusif • Meningkatkan peran • Meemperkuat prestasi

Nilai • Membentuk aturan

• Menerima nilai • Memahami tujuan

Menunjukkan Usaha • Membuat pilihan dan prioritas

• Menyesuaikan diri dengan misi organisasi. • Melakukan upaya sesuai harapan organisasi. Komitmen

Guru (X3)

Melaksankan tujuan

sekolah •• Mendukung kebijakan sekolah Melaksanakan peraturan sekolah • Menunjukkan profesionalisme kerja Tanggung jawab • Memiliki rasa kepemilikan

• Menciptakan semangat kerja • Mempertahankan kesuksesan • Kepercayaan

Melakukan

pengorbanan pribadi •• Menempatkan kepentingan organisasi Melakukan pengorbanan pribadi • Mendukung keputusan organisasi • Teguh terhadap aturan

Peranserta Masyarakat (X4)

Dukungan Masyarakat • Kemitraan dalam menyusun program • Memahami kepentingan sekolah • Mempertahankan keberhasilan sekolah • Mendukung pengembangan organisasi Kepengurusan • Anggota

• Pemilihan Pengurus • Pelaksanaan tugas • Mekanisme kerja Meningkatkan tanggung

jawab • Peningkatan Partisipasi Transparansi • Akuntabilitas

• Peduli kualitas • Akses Sumber daya Proses

Pembelajaran (Y)

Pencitraan belajar • Menegakkan aturan sekolah • Menjalankan tugas tepat waktu • Menegakkan aturan bealajar • Strategi mengajar yang bervariasi


(28)

Menekankan

keberhasilan • Melakukan hal terbaik untuk mencapai hasil belajar Selalu mencari bahan pembelajaran yang aktual • Memperoleh ketrampilan yang esensial

Penilaian • Penilaian PBM dilaksanakan dari berbagai segi • Memberikan penghargaan bagi yang berprestasi • Memberi penguatan terhadap perilaku positif siswa Peningkatan

layanan PBM • Peningkatan sarana pendidikan Pembelajaran yang efektif • Bimbingan khusus

• Pengembangan budaya belajar • Penanaman Nilai

Mutu Sekolah (Z)

Produktivitas • Mutu akademik • Mutu non Akademik • Peningkatan Akses • Akuntabilitas • Adanya penghargaan Mutu Lulusan

Content Knowledge

• Menguasai Bahan ajaran

• Mengembangkan hasil Pengajaran • Evaluasi Belajar tinggi

• Memiliki Pengayaan wawasan hasil belajar

Affective Skills • Memiliki daya saing

• Kinerja belajar tinggi • Mampu mengambil peluang • Siap mengambil resiko

Psychomotor Skill • Taqwa

• Berakhlak mulia • Berbudaya • Bekerjasama • Optimisme

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan pendekatan deskriptif analitik. Deskripsi adalah hal-hal yang nyata berdasarkan pengamatan, hasil penelitian kuantitatif lebih menekankan pada penyajian dalam bentuk deskripsi dengan menggunakan angka-angka statistik. Penelitian deskriptif analitik lebih menuturkan/menguraikan suatu secara sistematis tentang data atau karakteristik tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat, menganalisis serta menginterpretasikan data yang ada pada saat penelitian dilakukan. Dengan kata lain penelitian deskriptif analitik memusatkan pada masalah-masalah yang bersifat aktual, untuk melukiskan variabel atau kondisi apa yang ada dalam situasi tertentu.


(29)

Proses penelitian dengan pendekatan deskriptif analitis melalui metode kuantitatif menekankan, bahwa penentuan pemilihan subyek dari mana informasi atau data akan diperoleh, teknik yang digunakan untuk pengumpulan data, prosedur untuk pengumpulan bahan kajian yang ingin dijadikan penelitian sudah ada di lapangan. Oleh karena itu tidak diperlukan adanya suatu manipulasi ataupun kontrol terhadap variabel yang ada untuk mendapatkan informasi yang diperlukan. Penggunaan metode ini dirasakan tepat dan relevan, oleh karena data yang diperlukan dalam penelitian ini merupakan kejadian yang sedang berlangsung.

B. Definisi Operasional

Definisi operasional variabel adalah batasan yang digunakan untuk menguraikan makna dari beberapa variabel penelitian. Definisi operasional adalah definisi yang menjadikan variabel-variabel yang sedang diteliti menjadi bersifat operasional dalam kaitannya dengan proses pengukuran variabel-variabel tersebut. Definisi operasional memungkinan sebuah konsep yang bersifat abstrak menjadi operasional sehingga memudahkan peneliti dalam melakukan pengukuran (http://komunitasmahasiswa.info/tag/definisi-operasional). Pendapat lain mengatakan: definisi operasional dapat memberikan jawaban atas pertanyaan untuk menguji hipotesis, dapat dikatakan lebih tegas “operational definition tell the researcher and read what is necessary for answering the question or testing the hypothesis “ (MacMillan & Schumacher, 2001: 84)


(30)

1. Kepemimpinan Kepala Sekolah

Kepemimpinan merupakan proses pemimpin mempengaruhi pengikut untuk: (1) menginterpretasikan keadaan (lingkungan organisasi); (2) memilih tujuan organisasi; (3) pengorganisasian kerja dan memotivasi pengikut untuk mencapai tujuan organisasi; (4) mempertahankan kerjasama dan tim kerja; (5) mengorganisasi dukungan dan kerjasama orang dari luar organisasi. Dalam lingkungan pendidikan, secara spesifik kepemimpinan pendidikan dimaknai sebagai kemampuan mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan pendidikan.

Fungsi kepemimpinan pendidikan di sekolah sebagai kepemimpinan manajerial adalah pengelola mutu, yang meliputi perencanaan mutu, pengembangan produk dan proses yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhaan pelanggan. Oleh karena itu pemimpin pendidikan harus memiliki kemampuan sebagai berikut: (1) mengorganisasikan; (2) membangkitkan dan memupuk kepercayaan; (3) membina dan memupuk kerjasama dalam mengajukan dan melaksanakan program-program supervisi; dan (4) mendorong dan membimbing guru beserta staf agar bertanggungjawab pada setiap usaha untuk mencapai tujuan sekolah.

Proses kepemimpinan kepala sekolah meliputi: (1) mengambil keputusan; (2) mengembangkan imajinasi; (3) mengembangkan kesetiaan pengikutnya; (4) memprakarsai, menggiatkan, dan mengendalikan rencana; (5) melaksanaan keputusan dengan memberikan dorongan kepada para pengikutnya; (6) memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber-sumber


(31)

lainnya; (7) melaksanakan kontrol dan perbaikan-perbaikan atas kesalahan; (8) memberikan tanda penghargaan; (9) mendelegasikan wewenang kepada bawahannya.

Perilaku kepemimpinan kepala sekolah terhadap bawahannya dalam organisasi, meliputi: (1) iklim saling mempercayai; (2) penghargaan terhadap ide bawahan; (3) memperhitungkan perasaan bawahan; (4) perhatian pada kenyamanan kerja bagi para bawahan; (5) perhatian pada kesejahteraan bawahan; (6) pengakuan atas status para bawahan secara tepat dan profesional; (7) memperhitungkan faktor kepuasan kerja para bawahan dalam menyelesaikan tugas-tugas yang dipercayakan padanya.

2. Budaya Organisasi

Budaya organisasi adalah sistem makna bersama terhadap nilai-nilai primer yang dianut bersama dan dihargai organisasi, yang berfungsi menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, menciptakan rasa identitas bagi para anggota organisasi, mempermudah timbulnya komitmen kolektif terhadap organisasi, meningkatkan kemantapan sistem sosial, serta menciptakan mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu membentuk sikap dan perilaku para anggota organisasi.

Karakteristik budaya organisasi sebagai berikut: (1) peraturan-peraturan perilaku yang harus dipenuhi; (2) norma-norma; (3) nilai-nilai yang dominan; (4) filosofi; (5) aturan-aturan; dan (6) iklim organisasi.


(32)

Ada tiga tipe budaya organisasi, pertama budaya kuat dan budaya lemah, nilai-nilai, norma-norma dan asumsi-asumsi yang terinternalisasi dan dipegang teguh oleh para anggota organisasi dapat melahirkan perasaan tenang, committed, loyalitas, memacu kerja lebih keras, kohesivitas, keseragaman sasaran (goal alignment), dan mengendalikan perilaku anggota organisasi, serta produktivitas. Kekuatan budaya berhubungan dengan kinerja meliputi tiga gagasan, yaitu: (1) penyatuan tujuan; (2) menciptakan motivasi, komitmen, dan loyalitas luar biasa dalam diri pegawai; dan (3) memberikan kontrol yang dibutuhkan dan dapat menekan tumbuhnya motivasi serta inovasi.

Kedua budaya yang secara strategis cocok, budaya yang cocok dan serasi dengan kondisi objektif perusahaan dimana perusahaan itu berada. Semakin besar kecocokan dengan lingkungan, maka semakin baik kinerjanya, sebaliknya semakin kurang kecocokannya dengan lingkungan, maka semakin jelek kinerjanya. Ketiga budaya yang adaptif dan tidak adaptif. Yakni budaya yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan (adaptif), yang diasosiasikan dengan kinerja tinggi dalam periode waktu yang panjang. Kondisi ini mengarahkan budaya organisasi untuk senantiasa bersikap adaptif dan inovatif sesuai dengan perubahan lingkungan yang terjadi.

3. Komitmen Guru

Komitmen adalah keyakinan yang kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, keamanan menggunakan segala upaya untuk mewujudkan kepercayaan pada organisasi, serta sebuah keyakinan yang kuat untuk tetap


(33)

menjadi anggota organisasi. Ada tiga bentuk komitmen yaitu: 1) kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, 2) kemauan yang kuat untuk bekerja demi organisasi, 3) keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi.

Komitmen guru adalah pernyataan kesiapan diri menjadi seorang guru yang baik: (1) memiliki misi; (2) memiliki suatu keyakinan positif; (3) mengenal bahwa pemikirannya memiliki dampak yang mendalam terhadap keberhasilan; (4) mengembangkan keterampilan pemecahan masalah; (5) mengetahui penggunaan waktu dan usaha untuk memperoleh hasil yang terbaik.

Dimensi yang harus diperhitungkan dalam mengembangkan komitmen guru adalah keadaan psikologis individu yang berhubungan dengan keyakinan, kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai pendidikan, kemauan yang kuat untuk bekerja demi sekolah dan keinginan yang kuat untuk tetap menjadi bagian dari pengabdiannya sebagai pendidikmemberi keteladanan, terutama kejujuran. Seorang guru yang baik seharusnya: (1) memiliki misi; (2) memiliki suatu keyakinan positif; (3) mengenal bahwa pikiran yang dibuat memiliki dampak yang mendalam terhadap keberhasilan dirinya; (4) mengembangkan keterampilan pemecahan masalah yang memungkinkan bagi guru untuk mengatasi setiap tantangan yang dihadapi.


(34)

4. Peranserta Masyarakat

Peranserta masyarakat dapat dipahami dengan konsep Community Based Education (CBE), yang merupakan pendekatan inovatif bahwa sektor pendidikan harus dipandang dengan pendekatan: (1) kemanusiaan dengan asumsi bahwa manusia memiliki dinamika internal dan kapasistas yang tak terbatas; (2) kolaboratif dengan asumsi bahwa kerja sama antarlembaga dengan visi dan misi menolong masyarakat; (3) partisipatif dengan asumsi bahwa masyarakat setempat terlibat dalam pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen program sekolah; (4) berkelanjutan dengan asumsi bahwa CBE akan diterapkan secara berkesinambungan; (5) perpaduan program lembaga pendidikan yang ada dengan budaya setempadapat

Lebih jelas peranserta masyarakat dapat didefinisikan sebagai lembaga mandiri yang beranggota berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan. Sedangkan komite sekolah adalah lembaga mandiri yang beranggota orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.

Ada tujuh tingkatan peranserta masyarakat, yaitu: (1) peranserta dengan menggunakan jasa pelayanan yang tersedia; (2) peranserta dengan memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga; (3) peranserta secara pasif; (4) peranserta melalui adanya konsultasi; (5) peranserta dalam pelayanan; (6) peranserta sebagai pelaksana kegiatan; dan (7) peranserta dalam pengambilan keputusan.


(35)

5. Mutu Proses Pembelajaran

Mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Mutu proses pembelajaran yakni upaya yang mengarah pada tercapainya kurikulum dan suksesnya proses pembelajaran sangat terkit, tergantung dan dipengaruhi oleh delapan unsur/komponen/subsistem yang lainnya. Organisasi/lembaga sekolah akan dapat berdiri tegak jika, kurikulum dan pembalajaran, manajemen dan administrasi, keteganaan, peserta didik, pembiayaan, sarana dan prasarana, peranserta masyarakat dan iklim/budaya sekolah semuanya ada dan berjalan dengan baik

Mutu pembelajaran dapat dikatakan sebagai gambaran mengenai baik-buruknya hasil yang dicapai oleh peserta didik dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan. Sekolah dianggap bermutu bila berhasil mengubah sikap, perilaku dan keterampilan peserta didik dikaitkan dengan tujuan pendidikannya, mutu pembelajaran mengandung lima rujukan, yaitu: “(1) kesesuaian, (2) daya tarik, (3) efektivitas, (4) efisiensi dan (5) produktivitas pembelajaran

6. Mutu Hasil Pendidikan

Mutu pendidikan atau mutu sekolah tertuju pada mutu lulusan. Mutu dalam konteks "hasil pendidikan" yaitu mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil


(36)

pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan umum, UN atau US). Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya: komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible). Hasil belajar siswa merupakan kompetensi individu yang rasional sebagai harmoni dan pemilihan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dibutuhkan oleh tugas pekerjaan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dengan penuh keberhasilan.

Untuk mengukur kompetensi di sekolah dapat digunakan parameter akademik dan nonakademik. Kompetensi akademik meliputi pengetahuan, sikap, kemampuan, dan ketrampilan yang diperlukan untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan kompetensi nonakademik dapat ditelusuri dari minat dan kesungguhan siswa dalam mengikuti program pembelajaran di sekolah yang dapat ditinjau dari keikutsertaan siswa dalam mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.

C. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitianini dilakukan sejak bulan Maret sampai dengan Mei 2010 di Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat. Total SMP di Kabupaten Indramayu adalah ada 145 unit, terdiri atas 75 SMP Negeri dan 70 SMP Swasta. Dilihat dari kategorinya, SMP Negeri di kabupaten tersebut terdiri atas satu unit berkategori Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), 36 unit SMP Potensial, dan 15 SMP Rintisan USB dan SMPN Satu Atap. Objek


(37)

penelitan ini adalah SMP Negeri yang berkategori Rintisan Sekolah Standar Nasional (RSSN), berjumlah 22 unit, sebagaimana diperinci dalam tabel di bawah.

Sampel penelitian ini difokuskan pada SMP yang melaksanakan program Rintisan Sekolah Standar Nasional ( RSSN ), seperti tergambar dalam table 3.2.

Tabel 3.2

DAFTAR SMP PROGRAM RSSN DI KABUPATEN INDRAMAYU

No. Nama Sekolah Rombel Alamat Tipe

1 SMPN 1 Arahan 14 Jl. Raya Arahan Kec.Arahan B 2 SMPN 1 Balonga 24 Jl. Raya Balongan Kec. Balongan A 3 SMPN 1 Kedokanbunder 21 Jl. Kabonjati Kec, Kedokan Bunder B 4 SMPN 1 Cantigi 14 Jalan Cantigi Kec.Cantigi B 5 SMPN 1 Gabuswetan 21 Jalan Raya Gabuswetan No1 B 6 SMPN 1 Indramayu 24 Jl. Raya Pahlawan No 11 A 7 SMPN 1 Juntinyuat 21 Jl. Juntikebon Kec. Juntinyuat B 8 SMPN 1 Kandanghaur 27 Jl. Raya Kandanghaur No 38 A 9 SMPN 1 Karangampel 24 Jl. Raya Karangampel No 11 A 10 SMPN 1 Kroya 21 Jl. Raya Pejaten Kec. Kroya B

11 SMPN 1 Lelea 27 Jl. Larangan Kec. Lelea A

12 SMPN 1 Losarang 27 Jl. Raya Santing Kec. Losarang Kab. A 13 SMPN 1 Sindang 24 Jl. Murahnara No 1 Kec.Sindang A 14 SMPN Terisi 1, 2, 4 18/21/9 Jl. Pejagan Kec. Terisi Kab B/B/C 15 SMPN 1 Widasari 21 Jl. Widasari No 11 Kec. Widasari B 16 SMPN 2 Haurgeulis 20 Jl. Kertanegara No 8 Kec. Haurgeulis B

17 SMPN 2 Tukdana 9 Jl Tukdana Kec. Tukdana C

18 SMPN 3 Jatibarang 16 Jl Pasar Jatibarang Kec.Jatibarabg B 19 SMPN Kertasemaya 24 Jl. Bypas Kertasemaya Kec Kertasemaya A 20 SMPN Unggulan Sindang 24 Jl. Terusan- Sindang Indramayu A Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Indramayu, 2010

D. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh guru di 22 SMP Negeri yang berkategori RRSN di Kabupaten Indramayu, berjumlah 1200 orang. Dari seluruh anggota populasi tersebut yang dijadikan sampel penelitian berjumlah


(38)

603 orang. Karakteristik responden berdasarkan sekolah, tingkat pendidikan, dan masa kerja, disajikan dalam gambar-gambar berikut ini.

Gambar 3.1

PERSENTASE RESPONDEN BERDASARKAN SEKOLAH

Gambar 3.2


(39)

Gambar 3.3

PERSENTASE RESPONDEN BERDASARKAN MASA KERJA

E. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan teknik-teknik studi dokumentasi, observasi, wawancara dan angket. Teknik-teknik pengumpulan data yang disebut pertama lebih merupakan alat pengumpulan data sekunder sebagai bahan triangulasi dengan data primer.

Studi dokumentasi yaitu pengumpulan data dengan cara mempelajari, menelaah berbagai peraturan-peraturan, buku-buku, serta dokumentasi yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti. Observasi yaitu pengumpulan data dengan cara mengadakan pengamatan langsung di lapangan dan mencatat masalah-masalah penting yang ada hubungannya dengan penelitian.

Wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara mengajukan pertanyaan secara lisan kepada orang-orang yang dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu. Wawancara dapat dijadikan alat kontrol data yang dianggap


(40)

meragukan yang diperoleh melalui angket maupun observasi. Adapun wawancara dalam penelitian ini dilakukan khusus dengan para pejabat yang terkait dengan aspek-aspek yang menjadi fokus penelitian ini.

Angket merupakan instrumen utama untuk pengumpulan data primer. Angket memuat pertanyaan tertulis dengan lima alternatif jawaban. Setiap alternatif jawaban diberikan bobot nilai seperti berikut: Sangat Setuju (SS) dengan bobot nilai 5, Setuju (S) dengan bobot nilai 4, Ragu-ragu (R) dengan bobot nilai 3, Tidak Setuju (TS) dengan bobot nilai 2, dan Sangat Tidak Setuju (STS) dengan bobot nilai 1. Pemberian bobot ini sangat diperlukan sebagai langkah awal untuk kemudian dilakukan perhitungan secara statistik.

Pengujian validitas angket difokuskan kepada aspek item validity dengan maksud untuk mengetahui: (1) derajat kesesuaian antara suatu item dengan item-item lainnya; (2) ukuran validitas item adalah korelasi antara skor suatu item dengan skor total itemnya; dan (3) makna validitas item sebagai daya pembeda suatu item (Suryabrata, 2000). Rumus yang digunakan adalah Pearson’s Correlation, yang berfungsi untuk menafsirkan: (1) signifikansi tingkat kepercayaannya dengan harga r-kritis pada tabel acuan statistika; (2) koefisien-determinasi (r2), menjelaskan proporsi/persentase tingkat kecermatan prediksi pada kedua pihak varian-variabel yang akan berkorelasi.

Pengujian reliabilitas angket dimaksudkan untuk memastikan bahwa angket tersebut cukup baik untuk mengungkap data yang dapat dipercaya. Selain itu, agar angket benar-benar merupakan alat pengumpul data yang bercirikan: (1) memiliki validitas yang baik; (2) tidak tendensius mengarahkan


(41)

responden untuk memilih jawaban-jawaban tertentu; dan (3) apabila datanya benar-benar sesuai dengan kenyataannya, maka keterandalannya akan bersifat ajeg (Arikunto, 1998). Reliabilitas pengukuran menunjukkan sejauh mana perolehan skor setiap subjek ukur memiliki taraf keajegan ukuran (Suryabrata, 2000). Pengujian reliabilitas angket menggunakan rumus Alpha Cronbach:

n ∑ V i

n - 1 V t

α

= x 1 -

α : Koefisien Reliabilitas;

n : Banyak Item; Vi : Varian Skor-Item; Vt : Varian Skor-Total

Untuk memperkecil pengukuran pada peningkatan harga koefisien realiabilitasnya, digunakan rumus standard error of measurement:

(

n

)

x

m S σ 1 r

SE = −

SEM : standard error of measurement, Sx : standard deviasi skor,

rn : koefisien realibilitas ( α )

TABEL 3.3

HASIL PENGUJIAN VALIDITAS DAN RELIABILITAS

Variabel X1 Pearson's Correlations

Matrix Items

Validity Stat Validity Stat

Total X1

01 0.454 Val 0.577 Val

02 0.500 Val 0.658 Val

03 0.508 Val 0.650 Val

04 0.558 Val 0.655 Val

05 0.581 Val 0.710 Val

06 0.549 Val 0.674 Val

07 0.537 Val 0.621 Val

08 0.483 Val 0.595 Val

09 0.503 Val 0.635 Val

10 0.538 Val 0.671 Val

11 0.517 Val 0.587 Val

12 0.585 Val 0.695 Val

13 0.575 Val 0.671 Val

14 0.490 Val 0.600 Val


(42)

16 0.577 Val 0.684 Val

17 0.632 Val 0.690 Val

18 0.594 Val 0.642 Val

Listwise N=603

rkritis 95% >=0.080

Reliability Stat Reliability Stat Cronbach's Alpha

N of Items

0.971 Real 0.918 Real

83 18

Variabel X2

Pearson's Correlations Matrix Items

Validity Stat Validity Stat

Total X2

01 0.443 Val 0.536 Val

02 0.601 Val 0.662 Val

03 0.605 Val 0.646 Val

04 0.597 Val 0.647 Val

05 0.455 Val 0.535 Val

06 0.552 Val 0.656 Val

07 0.622 Val 0.724 Val

08 0.590 Val 0.710 Val

09 0.653 Val 0.735 Val

10 0.590 Val 0.688 Val

11 0.579 Val 0.644 Val

12 0.501 Val 0.593 Val

13 0.634 Val 0.672 Val

14 0.654 Val 0.665 Val

Listwise N=603

rkritis 95% >=0.080

Reliability Stat Reliability Stat Cronbach's Alpha

N of Items

0.971 Real 0.894 Real

83 14

Variabel X3

Pearson's Correlations Matrix Items

Validity Stat Validity Stat

Total X3

01 0.592 Val 0.679 Val

02 0.632 Val 0.679 Val

03 0.457 Val 0.653 Val

04 0.518 Val 0.717 Val

05 0.610 Val 0.689 Val

06 0.566 Val 0.706 Val

07 0.614 Val 0.767 Val

08 0.573 Val 0.674 Val

09 0.574 Val 0.711 Val

10 0.563 Val 0.640 Val

11 0.600 Val 0.716 Val

Listwise N=603


(43)

Reliability Stat Reliability Stat Cronbach's Alpha

N of Items

0.971 Real 0.891 Real

83 11

Variabel X4

Pearson's Correlations Matrix Items

Validity Stat Validity Stat

Total X4

01 0.563 Val 0.700 Val

02 0.591 Val 0.715 Val

03 0.567 Val 0.802 Val

04 0.646 Val 0.780 Val

05 0.582 Val 0.702 Val

06 0.531 Val 0.757 Val

07 0.552 Val 0.796 Val

08 0.588 Val 0.718 Val

09 0.548 Val 0.715 Val

10 0.624 Val 0.755 Val

11 0.623 Val 0.740 Val

12 0.590 Val 0.746 Val

Listwise N=603

rkritis 95% >=0.080

Reliability Stat Reliability Stat Cronbach's Alpha

N of Items

0.971 Real 0.927 Real

83 12

Variabel Z Pearson's Correlations

Matrix Items

Validity Stat Validity Stat

Total Z

01 0.609 Val 0.623 Val

02 0.650 Val 0.710 Val

03 0.639 Val 0.684 Val

04 0.530 Val 0.662 Val

05 0.486 Val 0.655 Val

06 0.448 Val 0.599 Val

07 0.556 Val 0.654 Val

08 0.633 Val 0.675 Val

09 0.496 Val 0.643 Val

10 0.552 Val 0.655 Val

11 0.513 Val 0.604 Val

12 0.558 Val 0.679 Val

13 0.518 Val 0.621 Val

14 0.604 Val 0.687 Val

15 0.646 Val 0.686 Val

Listwise N=603

rkritis 95% >=0.080

Reliability Stat Reliability Stat Cronbach's Alpha

N of Items

0.971 Real 0.902 Real


(44)

Selain validitas dan reliabilitasnya, angket penelitian ini diuji pula daya pembedanya. Pengujian aspek ini bertujuan untuk memastikan bahwa unit ukuran yang diberlakukan pada setiap unit item atau unit variabel memiliki kemampuan membedakan antarsubjek responden, terutama pada kelompok skor teratas terhadap skor terbawahnya.

Proses penentuan daya pembeda sebagai berikut: (1) berdasar skor total seluruh perangkat subjek dikelompokkan menjadi kelompok atas, kelompok tengah, kelompok bawah, dengan proporsi kelompok sbb; atas 27%, bawah 27% dan tengah 46%; (2) dihitung perbedaan rerata pasangan kelompok atas terhadap kelompok bawah; (3) validitas daya pembeda diuji pada tabel t-test satu ujung, dan diberlakukan baik pada setiap unit-item atau unit-bentukan variabelnya. Perbedaan rerata perbedaan kelompok dihitung dengan rumus t-test:

S2A S2B

NA NB

t =

+

Ö( )

MA - MB

MA = Rerata Kelompok Atas MB = Rerata Kelompok Bawah S2A = Varian Kelompok Atas S2B = Varian Kelompok Bawah NA = Jumlah Subjek Kelompok Atas NB = Jumlah Subjek Kelompok Bawah


(45)

Tabel 3.4

HASIL PENGUJIAN DAYA PEMBEDA

Items Group N Mean Std.

Deviation t

t 0.95 (1-tail) >=

1.645

X1_01

tinggi 164 3.89 .024

13.212 discriminative

rendah 164 3.25 .042

X1_02

tinggi 164 3.98 .012

13.629 discriminative

rendah 164 3.19 .056

X1_03

tinggi 164 3.86 .027

16.979 discriminative

rendah 164 3.10 .035

X1_04

tinggi 164 3.93 .020

19.564 discriminative

rendah 164 3.20 .032

X1_05

tinggi 164 3.92 .021

17.850 discriminative

rendah 164 3.12 .039

X1_06

tinggi 164 3.88 .025

16.005 discriminative

rendah 164 3.12 .041

X1_07

tinggi 164 3.90 .025

16.092 discriminative

rendah 164 2.99 .050

X1_08

tinggi 164 3.93 .029

13.666 discriminative

rendah 164 3.29 .037

X1_09

tinggi 164 3.85 .028

14.956 discriminative

rendah 164 3.12 .040

X1_10

tinggi 164 3.86 .034

14.678 discriminative

rendah 164 3.11 .038

X1_11

tinggi 164 3.91 .031

15.690 discriminative

rendah 164 3.12 .039

X1_12

tinggi 164 3.87 .034

18.670 discriminative

rendah 164 3.00 .032

X1_13

tinggi 164 3.91 .023

19.976 discriminative

rendah 164 3.07 .035

X1_14

tinggi 164 3.78 .039

12.585 discriminative

rendah 164 3.03 .045

X1_15

tinggi 164 3.90 .023

19.893 discriminative

rendah 164 3.06 .035

X1_16

tinggi 164 3.95 .018

18.174 discriminative

rendah 164 3.18 .038

X1_17

tinggi 164 3.95 .017

22.494 discriminative

rendah 164 3.07 .035

X1_18

tinggi 164 3.85 .031

18.244 discriminative

rendah 164 2.91 .041


(46)

rendah 164 55.93 .311

X2_01

tinggi 164 3.59 .047

10.015 discriminative

rendah 164 2.83 .060

X2_02

tinggi 164 3.74 .041

16.192 discriminative

rendah 164 2.76 .045

X2_03

tinggi 164 3.91 .023

20.100 discriminative

rendah 164 3.10 .033

X2_04

tinggi 164 3.71 .038

16.005 discriminative

rendah 164 2.85 .038

X2_05

tinggi 164 3.81 .031

11.293 discriminative

rendah 164 3.24 .040

X2_06

tinggi 164 3.85 .028

15.943 discriminative

rendah 164 3.01 .045

X2_07

tinggi 164 3.92 .030

23.398 discriminative

rendah 164 2.95 .029

X2_08 tinggi 164 3.90 .023 24.279 discriminative

rendah 164 2.99 .029

X2_09 tinggi 164 3.88 .027 20.579 discriminative

rendah 164 2.88 .040

X2_10

tinggi 164 3.82 .030

16.843 discriminative

rendah 164 2.96 .041

X2_11

tinggi 164 3.85 .028

19.051 discriminative

rendah 164 3.05 .031

X2_12

tinggi 164 3.76 .041

12.601 discriminative

rendah 164 3.05 .038

X2_13

tinggi 164 3.94 .019

21.272 discriminative

rendah 164 3.10 .035

X2_14

tinggi 164 3.92 .021

22.730 discriminative

rendah 164 2.97 .036

X2

tinggi 164 53.62 .194

40.704 discriminative

rendah 164 41.74 .218

X3_01

tinggi 164 3.90 .023

22.369 discriminative

rendah 164 3.06 .030

X3_02

tinggi 164 3.93 .020

22.822 discriminative

rendah 164 2.99 .036

X3_03

tinggi 164 3.88 .026

11.804 discriminative

rendah 164 3.33 .039

X3_04

tinggi 164 3.88 .025

14.752 discriminative

rendah 164 3.16 .042

X3_05

tinggi 164 3.89 .024

20.164 discriminative


(47)

X3_06

tinggi 164 3.87 .027

17.620 discriminative

rendah 164 3.13 .032

X3_07

tinggi 164 3.93 .020

23.659 discriminative

rendah 164 3.10 .028

X3_08

tinggi 164 3.87 .026

19.236 discriminative

rendah 164 2.98 .038

X3_09

tinggi 164 3.84 .036

15.085 discriminative

rendah 164 2.95 .048

X3_10

tinggi 164 3.85 .035

19.262 discriminative

rendah 164 3.06 .021

X3_11

tinggi 164 3.91 .022

18.127 discriminative

rendah 164 3.08 .041

X3

tinggi 164 42.76 .137

36.135 discriminative

rendah 164 33.96 .201

X4_01

tinggi 164 3.76 .035

19.022 discriminative

rendah 164 2.83 .034

X4_02

tinggi 164 3.72 .036

17.144 discriminative

rendah 164 2.77 .042

X4_03

tinggi 164 3.74 .034

15.537 discriminative

rendah 164 2.81 .049

X4_04

tinggi 164 3.91 .022

21.137 discriminative

rendah 164 2.90 .043

X4_05

tinggi 164 3.83 .029

18.395 discriminative

rendah 164 2.94 .038

X4_06

tinggi 164 3.81 .031

18.067 discriminative

rendah 164 2.80 .046

X4_07

tinggi 164 3.81 .034

18.270 discriminative

rendah 164 2.85 .040

X4_08

tinggi 164 3.83 .029

18.988 discriminative

rendah 164 2.91 .038

X4_09

tinggi 164 3.77 .041

15.104 discriminative

rendah 164 2.90 .041

X4_10

tinggi 164 3.79 .033

17.919 discriminative

rendah 164 2.87 .039

X4_11

tinggi 164 3.77 .033

16.845 discriminative

rendah 164 2.81 .046

X4_12

tinggi 164 3.85 .028

17.863 discriminative

rendah 164 2.88 .046

X4

tinggi 164 45.59 .196

28.629 discriminative

rendah 164 34.27 .344


(48)

rendah 164 3.12 .035

Y_02 tinggi 164 3.91 .022 23.460 discriminative

rendah 164 3.05 .030

Y_03 tinggi 164 3.90 .024 23.566 discriminative

rendah 164 3.03 .028

Y_04 tinggi 164 3.72 .039 14.506 discriminative

rendah 164 2.96 .035

Z_05 tinggi 164 3.66 .039 12.258 discriminative

rendah 164 2.92 .046

Y_06 tinggi 164 3.74 .034 13.937 discriminative

rendah 164 3.05 .035

Y_07 tinggi 164 3.89 .032 16.537 discriminative

rendah 164 3.15 .031

Y_08 tinggi 164 3.94 .019 22.886 discriminative

rendah 164 3.05 .034

Y_09 tinggi 164 3.78 .039 14.540 discriminative

rendah 164 3.07 .030

Y_10 tinggi 164 3.90 .024 17.793 discriminative

rendah 164 3.17 .033

Y_11 tinggi 164 3.61 .043 14.401 discriminative

rendah 164 2.71 .046

Y_12 tinggi 164 3.81 .032 16.687 discriminative

rendah 164 3.00 .037

Y_13 tinggi 164 3.74 .038 15.105 discriminative

rendah 164 2.69 .058

Y_14 tinggi 164 3.95 .018 22.410 discriminative

rendah 164 3.12 .032

Y_15 tinggi 164 3.85 .028 21.405 discriminative

rendah 164 2.91 .034

Y tinggi 164 57.30 .206 40.457 discriminative

rendah 164 45.00 .223

Z_01 tinggi 164 3.51 .061 10.510 discriminative

rendah 164 2.62 .059

Z_02 tinggi 164 3.77 .034 16.912 discriminative

rendah 164 2.83 .044

Z-03 tinggi 164 3.58 .054 12.052 discriminative

rendah 164 2.71 .048

Z_04 tinggi 164 3.70 .044 14.133 discriminative

rendah 164 2.76 .049

Z_05 tinggi 164 3.72 .035 15.082 discriminative


(1)

dalam menunjang komitmen mereka terhadap sekolah di mana mereka bekerja. Hal ini dapat diupayakan apabila guru merasakan adanya keamanan dan kepuasan di dalam sekolah tempat ia bekerja. Komitmen guru mencakup: (1) rasa mengidentifikasikan dengan tujuan organisasi, (2) rasa keterlibatan dengan tugas organisasi, dan (3) rasa kesetiaan kepada organisasi.

Di dalam konteks peran guru sebagai agen pembelajaran, komitmen guru berkenaan dengan aspek-aspek: (1) komitmen terhadap siswa dan belajar siswa; (2) memahami pokok materi yang mereka ajarkan dan cara mengajarkannya kepada siswa; (3) bertanggung jawab mengelola dan memonitor belajar siswa; (4) berfikir sistematik dan belajar dari pengalaman; (5) merupakan anggota masyarakat belajar

C. Rekomendasi

Merujuk pada temuan penelitian dan model konseptual yang penulis ajukan, berikut ini dikemukakan rekomendasi untuk pengembangan mutu proses pendidikan dan mutu SMP-SMP yang berkategori RSSN, khususnya di daerah penelitian.

Pertama, di sekolah harus dikembangkan iklim sekolah yang

merepresentasikan harapan peserta didik, ketertiban dan disiplin, sistem penjadwalan dan sistem pembelajaran, ganjaran dan intensif, dan sebagainya. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah mengembangkan, kapibilitas tenaga kependidikan, fleksibilitas dan otonomi paedagogik, dan lamanya keberadaan di sekolah.


(2)

262

Kedua, kepala sekolah harus memberdayakan dirinya melalui penerapan

model kepemimpinan transformasional. Model kepemimpinan tersebut berkemampuan mentrasformasi dan memotivasi para pengikutnya dengan cara: (1) membuat mereka lebih sadar mengenai pentingnya suatu pekerjaan; (2) mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi daripada kepentingan diri sendiri; dan (3) mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan pengikut pada taraf yang lebih tinggi seperti aktualisasi diri.

Ketiga, budaya organisasi, nilai, dan etos kerja di sekolah harus

dimanifestasikan ke dalam perilaku kerja utama yang sanggup menjadi basis keberhasilan baik di tingkat pribadi, organisasional maupun sosial. Perilaku kerja tersebut meliputi bekerja tulus, bekerja tuntas, bekerja benar, bekerja keras, bekerja serius, bekerja kreatif, bekerja unggul, dan bekerja sempurna.

Keempat, sekolah harus memupuk kemampuannya memadukan berbagai

komponen sumber daya potensial pendidikan sebagai kekuatan bagi terselenggaranya pendidikan, pentingnya mewujudkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat sebagai manifestasi dari konsep community

based education, dan pentingnya kemampuan menciptakan lulusan yang

kompetitif.

Keenam, pengembangan sekolah menuju kategori standar nasional berarti

memberdayakannya agar selalu berfokus kepada pelanggan, adanya keterlibatan total semua warga sekolah, adanya ukuran baku mutu pendidikan, memandang pendidikan sebagai sistem, dan memperbaiki mutu pendidikan secara berkelanjutan.


(3)

263

DAFTAR PUSTAKA

Anak Agung Gede Agung, Hubungan Kepemimpinan Transformasional, Kelelahan Emosional, Karakteristik Individu, Budaya Organisasi, dan Kepuasan Kerja dengan Komitmen Organisasional para Guru SMA di

Kota Denpasar. (Disertasi)

Anderson, Lorin W. 1989. The Effective Teacher. New York: McGraw Hill Book Company.

Armanu, Thoyib, Hubungan Kepemimpinan, Budaya, Strategi, dan Kinerja:

Pendekatan Konsep ( Disertasi )

Balitbangdikbud. 1993/1994. Seri Kebijaksanaan Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan: Pendidikan Dasar, Jakarta : Depdikbud

Beeby, C.E. 1979. Assesment of Indonesian Education. A Guide in Planning.

Wellington: Oxford University.

Bloom, B. S. 1977. Human Characteristic and School Learning. New York:

McGraw Hill.

BPPN dan Bank Dunia. 1999. School Based Manajemen. Jakarta: BPPN dan Bank Dunia.

Bruner, J. 1960. The Process of Education. Cambridge: Harvard University

Press.

Burhanudin. 1999. Impikasi Otonomi Daerah di Bidang Manajemen

Pendidikan. Malang: Universitas Negeri Malang.

Danim, Sudarwan. 2002. Inovasi Pendidikan dalam Upaya Peningkatan

Profesionalisme Tenaga Kependidikan, Bandung: CV Pustaka Setia.

Darmaningtyas. 1999. Pendidikan pada dan setelah Krisis. Jakarta: LPIST dan

Pustaka Pelajar.

Depdibud. 1995. Perbandingan Pendidikan di Indonesia dengan Negara Lain. Jakarta: Pusat Informatika.

Depdikbud. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Depdikbud. 1993. Himpunan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia Bidang Pengelolaan Keuangan. Jakarta: Sekjen Biro

Keuangan.

Depdikbud. 1999. Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan Menjelang Era

Tinggal Landas. Jakarta. Depdikbud.


(4)

264

Dwi Siwi Andari, Peran Kepala Sekolah dan Masyarakat serta Kreativitas Komite Sekolah dalam Merekonstruksi sekolah Pasca Gempa: Studi

Kasus Sekolah Daerah pasca Gempa Kabupaten Klaten ( Disertasi )

Engkoswara. 1988. Dasar-Dasar Administrasi Pendidikan. Jakarta: Dirjen

Dikti Depdikbud.

Fattah, Nanang. 2000. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: remaja Rosda Karya.

Fiske, Edward B. 1996. Decentralization of Education: Politics and

Concencus. Washington DC: The World Bank.

Fraenkel and Walle. 1983. How to Design and Evaluate Research in Education.

New York; McGraw Hill Inc.

Gaffar. Fakry. 1989. Perencanaan Pendidikan Teori dan Metodologi. Jakarta:

P2LPTK.

Guilford, J.P. Fundamental Statistics in Psychology and Education, New York

1965, edition 4th, Page 145

Hidayat, Setia. 2000. Antisipasi Pengembangan Pendidikan Dalam Rangka

Otonomi Daerah. Bandung: UPI.

Hopkins, D dan Reynold, D(ed). 1994. School Development Series: Improving

Education. London: Cassel.

Ishikawa, Kooru. 1994. Introduction Quality Control. Chiyodaku Tokyo: Juse Press.

Iskandar, Phillip Suprstono. 1988. Peran Serta Masyarakat di Sekolah Dasar.

Bandung: Mimbar Pendidikan.

Jalal, Fasli dan Supriadi, Dedi. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks

Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adi Cita.

Kaho, Josef Riwu. 1997. Prospek Otonomi daerah di Negara Republik

Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Lipham, M. dan Hoeh, James A. 1987. The Principalship, Foundation and

Functions. New York: Harver and Row Publisher.

Mantja, W. 1999. Mencari Format Desentralisasi di Bidang Manajemen

Pendidikan Menyongsong Otonomi Daerah. Malang: Universitas Negeri

Malang.

Maslow, A. 1970. Motivation and Personality. New York: Harper and Row. Mattulada. 1990. Desentralisasi Pendidikan dalam Pelaksanaan Manajemen

Pembangunan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Morphet. 1975. The Economics and Financing of Education. New Jersey: Prentice-Hall Inc.


(5)

Muhadjir, Noeng. 1992. Perencanaan dan Kebijakan Pengembangan Sumber

Daya Manusia. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.

Nasution. 1990. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bina Aksara.

Nurhadi, Mulyani A. 1999. Pokok-pokok Pikiran Mengenai Pengelolaan Bidang Pendidikan dan Kebudayaan dalam Rangka Pelaksanaan

Undang-Undang RI No. 22. Jakarta: Makalah Seminar.

Pidarta, Made. 1988. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Sahertian. 1990. Supervisi Pendidikan dalam Rangka Program Inservice Education. Jakarta: Rineke Cipta.

Sanusi, Achmad. 1998. Pendidikan Alternatif. Yogyakarta: Grafindo Media

Pratama.

Satori, Djam’an. 1999. Analisis Kebijakan dalam Konteks Desentralisasi dan

Otonomi Pendidikan. Jakarta: Biro Perencanaan Sekjen Depdikbud.

Satori, Djam’an. 1999. Manajemen Berbasis Sekolah (School Based

Management). Bandung: Basic Education Project.

Schlechty, Philip C. 1997. Inventing Better Schools: an Action Plan for

Educational Reform. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.

Sergiovanni, Thomas J. et.al. 1987. Educational Governance and

Administration. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Siagian, Sondang P. 1994. Manajemen Strategik. Jakarta: Bumi Aksara.

Sidi, Indra Djati. 2000. Kebijakan Penyelenggaraan Otonomi Daerah Bidang

Pendidikan (makalah). Bandung: PPS UPI.

Soedijarto. 1999. Pendidikan sebagai Sarana Reformasi Mental dalam Upaya

Pembangunan Bangsa. Jakarta: Balai Pustaka.

Soelaeman, M.I. 1985. Menjadi Guru. Bandung: Diponegoro.

Soepardi. 1988. Dasar-dasar Administrasi Pendidikan. Jakarta: P2LPTK.

Soetopo, Hendayat. 1999. Desentralisasi Manajemen Pendidikan Dalam

Kerangka Otonomi Daerah. Malang: Universitas Negeri Malang.

Stewart, Aileen Mitchell. 1994. Empowering People. Singapore: Institute of Manajement.

Sukmadinata, Nana Syaodih, Ayi Novi J., dan Ahman. 2006. Pengendalian

Mutu Pendidikan Sekolah Menengah (Konsep, Prinsip dan Instrumen).

Bandung: Penerbit RafikaAditama.

Sumitro (penyunting). 1990. Desentralisasi Pendidikan dalam Pelaksanaan

Manajemen Pembangunan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Suryadi, Ace. 1996. Peningkatan Profesionalisasi Jabatan Guru. Jakarta: Pusat


(6)

266

Sutisna, Oteng. 1993. Administrasi Pendidikan; Dasar Teoritis dan Praktek

Profesional. Bandung: Angkasa.

Tilaar, H.A.R. 1994. Manajemen Pendidikan Nasional. Kajian Pendidikan

Masa Depan. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Tilaar, H.A.R. 1996. 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945 –

1995: Suatu Analisis Kebijakan. Jakarta: Grasindo.

Umaedi. 2000. Pengawasan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah dalam

Kerangka Otonomi Daerah. Jakarta: Dirjen Dikdasmen Depdiknas.

Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang Otonomi Daerah. 1999. Jakarta: Sinar Grafika.

Vaizey, John. 1962. The Economic of Education. London: Feber Limited.

Wahab, A. Azis. 1996. Pengelolaan Pendidikan Dasar. Jakarta: Dirjen

Dikdasmen.

Waliono, Hasan. 1996. Pengelolaan Pendidikan Dasar. Jakarta: Dirjen

Dikdasmen.

White, John and Barber, Michael Ed. 1997. Perspectives on School

Effectiveness and School Improvement. London: Institut of Education.

White, John. 1990. Educational and The Good Life. London: Educatioanl