Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upacara Tradisi Perkawinan Suku Dayak Kayong : Studi Kasus Desa Betenung, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat T1 152007003 BAB IV

(1)

26 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Desa Betenung, Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

1. Letak geografis

Desa Betenung merupakan salah satu wilayah administrasi dari Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang. Jarak Desa Betenung menuju Ibukota Kabupaten Ketapang cukup jauh, hampir memakan waktu 4-5 jam. Secara geografis luas wilayahnya sekitar 328 km persegi, yang terdiri dari pegunungan, dataran rendah, serta rawa-rawa.

Desa Betenung terdiri dari 4 Dusun, yakni : Dusun Sandung Tinggi, Dusun Sekembar, Dusun Sungai Demit dan Dusun Kayong mekar, yang terdiri dari 13 Rukun Tetangga (RT). Prasarana jalan menuju Desa Betenung maupun Dusun yang ada di wilayah Desa sudah beraspal halus. Demikian juga dengan penerangan dan komunikasi mudah diakses.

Desa Betenung memiliki batas-batas geografis sebagai berikut : a. Utara berbatasan dengan Kecamatan Nanga Tayap

b. Timur berbatasan dengan Desa Kayong Hulu dan Provinsi Kalimantan Tengah

c. Selatan berbatasan dengan Desa Batu Mas dan Kecamatan Tumbang Titi


(2)

27 2. Demografi

Menurut catatan data dari Kepala Desa Betenung jumlah penduduk sebanyak 4.076 jiwa. Terdiri dari laki-laki 1.890 jiwa dan 2.186 jiwa perempuan. Warga masyarakat Desa Betenung umumnya bermata pencaharian sebagai petani dengan presentase 70%, sedangkan 30% sisanya dibagi menjadi berbagai macam profesi yaitu PNS, pedagang dan guru. Jadi sebagian besar penduduknya adalah petani.

Dari sudut religi mereka mayoritas beragama Katolik dengan jumlah pemeluk sebanyak 2.011 jiwa, sedangkan Islam 978 jiwa, Protestan berjumlah 1.031 jiwa dan Budha 58 jiwa.

Data Desa Betenung bisa dilihat berdasarkan tabel jenis kelamin sebagai berikut :

Tabel jumlah penduduk Desa Betenung

No. Laki-laki Perempuan Jumlah

1 1.890 2.186 4.076

Sumber : monografi Desa Betenung tahun 2005

Penduduk Desa Betenung berdasarkan tabel pekerjaan adalah sebagai berikut:

Tabel jumlah penduduk di Desa Betenung berdasarkan tingkat pekerjaan

No. Pekerjaan %

1 Petani 70

2 Pedagang 15

3 Guru honorer 10

4 Pegawai negri sipil 5


(3)

28 Penduduk Desa Betenung dilihat dari kepercayaan, agama yang diyakini lihat tabel sebagai berikut :

Tabel jumlah penduduk di Desa Betenung berdasarkan kepercayaan, agama yang diyakini

No. Agama Jumlah 1 Khatolik 2.011 2 Kristen Protestan 1.031

3 Islam 978

4 Budha 56

Sumber : monografi Desa Betenung tahun 2005 3. Pola perkampungan

Pola perkampungan penduduk khususnya Suku Dayak mempunyai ciri-ciri khusus disebabkan karena adanya hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitar yang masih mempercayai hal-hal gaib. Masyarakat yang mendiami Desa Betenung ini didominasi oleh orang Dayak, hanya beberapa saja yang bukan merupakan orang Dayak.

Desa Betenung ini sangat luas sehingga terbagi dua, yang satunya disebut Semakong. Pemukiman atau tempat tinggal warga sebagian berada di tepi jalan lintas Kalimantan Barat, dan juga di dekat pegunungan sehingga rumah warga berlapis-lapis dan sangat padat. Sedangkan di tengah perkampungannya terdapat sungai besar, sehingga dibangun jembatan tol sebagai penghubung.

Berbeda dengan di Semakong rumah warga sangat tersusun rapi karena mengelilingi lapangan bola yang besar sehingga tidak berlapis-lapis. Rumah penduduk di Semakong ini tidak terlalu padat. Jika terjadi


(4)

29 banjir, sungai yang terdapat di tengah perkampungan itu akan meluap dan menggenangi Desa Betenung, namun bagian Semakong tidak terkena banjir, hanya saja jalan menuju Betenung terputus dan tidak bisa dilewati sehingga harus menggunakan perahu atau rakit.

4. Sistem mata pencaharian hidup dan ekonomi

Masyarakat Kalimantan khususnya di Desa Betenung adalah petani. Setiap harinya mereka menghabiskan waktu untuk bekerja di hutan. Ada 3 jenis pertanian yang sering dilakukan masyarakat Desa Betenung, yang mampu menunjang kehidupan ekonomi mereka.

a. Pertanian Gunung

Pertanian di Kalimantan khususnya di Desa Betenung adalah pertanian di ladang, atau biasa disebut ladang gunung. Pada awalnya masyarakat setempat harus membuka hutan terlebih dahulu dan membersihkannya. Pohon-pohon yang ada ditebangi dan dibiarkan kering sampai kira-kira 15 hari. Setelah pohon yang ditebangi tersebut sudah kering mulailah masyarakat kembali bergotong royong untuk membakar lahan tersebut, tujuannya supaya tanah yang sudah dibakar akan menjadi subur.

Setelah proses itu selesai, mulailah mereka menanam padi, selain itu juga menanam jagung, ketimun, labu, terong dan menanam apa saja yang menjadi kebutuhan sehari-hari. Semua proses dari awal sampai padi bisa dipanen, masyarakat melakukannya secara bergotong royong atau disebut dengan istilah Begawi.


(5)

30 Begawi adalah penanaman yang dilakukan secara bersama-sama seluruh anggota masyarakat dan anggota keluarga namun tidak dipungut biaya, pemilik tanah hanya menyiapkan makanan selama bekerja saja. Kegiatan begawi ini dilakukan secara bergantian. Setelah panen, lahan yang sudah kosong tersebut kemudian ditanami dengan pohon karet, sehingga dengan sistem seperti ini membuat masyarakat sering berpindah-pindah untuk mencari lahan yang baru. b. Pertanian sawah

Pertanian sawah bisanya dilakukan dilahan-lahan yang basah dan cara penanamnya masih bersifat tradisional. Namun pertanian sawah ini jarang dilakukan oleh masyarakat Kalimantan khususnya Desa Betenung. Mereka lebih senang membuka lahan di pegunungan, karena setelah panen tanahnya dapat digunakan untuk penanaman pohon karet. Karena pohon karet ini sangat bermanfaat dalam menunjang perekonomian mereka.

c. Pertanian karet

Selain berladang yang dilakukan setahun sekali oleh masyarakat Kalimantan, kegiatan masyarakat sehari-harinya adalah menoreh atau melukai pohon karet yang sudah berukuran besar untuk mendapatkan getahnya, getah dari pohon karet tersebut dimasukkan dalam kotak persegi panjang lalu dipadatkan dengan cuka sehingga menjadi karet yang padat dan dapat dijual.


(6)

31 Kegiatan menoreh ini tidak bisa dilakukan setiap hari, karena getahnyan akan berkurang, biasanya setelah menoreh selama 2 hari dan hari ketiganya harus distirahatkan, supaya airnya tetap banyak, setelah diistirahatkan hari keempatnya masyarakat kembali menoreh lagi. Kegiatan menoreh ini hanya bisa dilakukan jika pohon karetnya kering, jika sedang hujan kegiatan ini tidak bisa dilakukan. Dengan menoreh inilah masyarakat bisa mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

5. Sistem Kepercayaan atau Religi

Suku Dayak Kayong memiliki sebuah konsep agama yang bukan datang dari luar komunitas mereka, karena agama asli yang mereka yakini adalah kepercayaan dinamisme yang disebut juga dengan nama Preanimisme. Kepercayaan ini mengajarkan bahwa roh nenek moyang, tiap-tiap benda atau makhluk hidup mempunyai daya dan kekuatan yang diyakini mampu memberikan manfaat atau marabahaya.

Menurut keyakinan mereka bahwa arwah nenek moyang selalu memperhatikan dan melindungi mereka, tetapi juga akan menghukum mereka jika melakukan pelanggaran adat. Juga kepercayaan terhadap semua benda yang terdapat dalam alam semesta mempunyai kekuatan seperti: hutan, tanah, air, sungai, danau, gunung, bukit, batu, kayu, dan benda-benda buatan manusia lainnya juga diyakini mempunyai kekuatan gaib seperti ponti’ (patung) dan jimat.


(7)

32 Manusia menjadi yakin bahwa ada kehidupan lain sesudah kematian dan itu merupakan alam gaib ( supranatural ). Karena manusia menginginkan kehidupan yang tentram dan bahagia di dunia dan akhirat, maka manusia selalu berusaha dalam suatu keadaan yang sesuai dengan kehendak Tuhan.

Di dalam sistem religi juga termasuk berbagai aktifitas upacara religius serta sarana yang berfungsi melaksanakan komunikasi antara manusia dengan kekuatan dalam alam gaib yaitu dengan cara sesaji dengan menyediakan makanan seperti telur ayam kampung, sirih, pinang dan rokok.

Tetapi seiring dengan kemajuan jaman tradisi agama asli ini telah ditinggalkan oleh sebagian besar masyarakat suku Dayak Kayong, karena saat ini mayoritas masyarakat Suku Dayak Kayong telah memeluk agama Kristen Katolik.

6. Kesenian

a. Seni Pahat dan Seni Ukir

Seni patung dalam masyarakat Dayak Kayong biasa disebut pantak. Pantak ini merupakan simbol penting dalam pemujaan sebagai penggambaran arwah nenek moyang yang telah meninggal. Pantak berfunngsi sebagai penolak bala.

Seni ukir merupakan salah satu bentuk simbolis yang paling menonjol dalam kebudayaan Dayak. Karakter kehidupan dan budaya masyarakat tergambar dalam kesenian tersebut. Hal ini karena


(8)

33 kesenian tradisional tumbuh sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat di wilayahnya, dengan demikian ia mengandung sifat-sifat atau ciri-ciri yang khas dari masyarakat pula.

Seni ukir biasanya terdapat pada tiang utama rumah panjang , terdapat pada sarung parang, dan juga pada tiang sandung. Sandung adalah kayu belian yang didirikan dan di atasnya terdapat tajau yang berisi tulang belulang orang yang sudah meninggal. Sandung ini didirikan di depan rumah warga sebagai lambang keperkasaan seseorang, dikatakan demikian karena seseorang tersebut semasa hidupnya menjadi dukun atau petua kampung yang sangat disegani atau dihormati sehingga setelah mati ornamen yang digambarkan pada tiang sandungnya berbentuk naga yang melingkar, ini melambangkan keperkasaan semasa hidupnya.

Di Desa Betenung Sandung ini disebut dengan Sandung Tinggi. Karena memang ukuranya sangat tinggi sekali. (sumber wawancara dengan bapak Sedia).

Ketika arus modernisasi masuk dalam kehidupan orang Dayak, seni ukir ini hampir tidak ditemukan lagi, seiring dengan musnahnya rumah panjang dan pengaruah agama baru. Seni ukir yang dianggap tidak lagi dapat mengatasi masalah kehidupan ekonomi masyarakat akan ditinggalkan dan diganti dengan aktifitas lain yang dianggap mampu mengatasi masalah mereka.


(9)

34 Selain itu tidak ada pengenalan dan pembelajaran kepada generasi berikutnya mengenai kesenian tersebut, sehingga kaum muda Dayak Kayong tidak banyak yang mengetahui tentang seni ukir yang pernah ada dalam kebudayaan mereka.

b. Seni anyam

Kegiatan kreatif bagi masyarakat Dayak Kayong adalah seni anyam. Seni anyam ini sudah lama diwariskan secara turun temurun, dan sampai sekarang masih banyak ditemukan. Bahannya kebanyakan dari rotan, bambu yang berukuran kecil (tinggil). Hasilnya berupa bakul, tikar, sandangan (tempat untuk menyimpan padi), keranjang, kursi yang bentuk dan ukurannya bervariasi.

Masuknya modernisasi menyebabkan pekerjaan tenun telah ditinggalkan masyarakat. Hal ini karena perkembangan zaman menuntut masyarakat untuk bersaing disegala bidang kehidupan yang berorientasi pada peningkatan ekonomi. Mereka menganggap bahwa pekerjaan menenun banyak memboroskan waktu dan hasilnya tidak dapat dijadikan penunjang perekonomian, sehingga pekerjaan ini ditinggalkan.

Akhirnya kesenian yang sebenarnya berpotensi besar bagi penunjang kehidupan ekonomi dan budaya telah tenggelam ditinggalkan oleh pemiliknya sendiri. Hal ini juga mengakibatkan generasi muda sekarang tidak mengetahui cara menenun, bahkan mereka menganggap hasil tenunan itu sudah kuno, dan tidak modern.


(10)

35 c. Seni Kerajinan Kulit Kayu

Masyarakat suku Dayak Kayong juga memiliki kerajinan yang khas yaitu kerajinan tangan yang dibuat dari kulit kayu. Torap merupakan pohon yang sangat bagus kulitnya untuk dijadikan berbagai macam kebutuhan seperti baju, topi, selendang, pengikat kepala atau untuk hiasan dinding rumah.

Pohon Torap ini kulitnya tidak gampang sobek dan mempunyai serat yang saling berhubungan. Cara membuatnya, pertama masyarakat Dayak pergi ke hutan untuk mencari pohon Torap tersebut, kemudia pohon itu dipotong sesuai ukuran yang diinginkan dan dipukuli sampai kulitnya terpisah dari batangnya, kumudian kulit yang telah terpisah tadi dipukul kembali sampai kulit kerasnya hancur dan tinggal menyisakan kulit dalam yang berserat saja. Proses selanjutnya kulit yang telah halus itu direndam dengan air selama kurang lebih tiga hari dan dikeringkan dan mulailah dibentuk kerajinan sesuai keinginan.

Biasanya hasil dari kerajinan ini digunakan untuk kegitan upacara adat, sehingga semuanya dibuat dengan pola-pola khas motif Dayak. d. Seni Tari

Seni tari Dayak Kayong umumnya dibagi dua kelompok yaitu tarian untuk upacara ritual dan tarian untuk kesenian. Perbedaan yang mendasar dari kedua bentuk tarian ini terletak pada proses penggunaanya, sebagai tarian ritual khusus dibawakan pada upacara


(11)

36 ritual. Tarian tersebut dianggap sakral dan harus digunakan pada waktu dan tempat yang tepat.

Tarian kesenian tradisional, walaupun terkadang sama-sama diperuntukkan dalam konteks upacara, namun hanya sebagai hiburan yang dibawakan sesudah upacara inti selesai dan dapat digunakan pula dalam konteks lain. Ada beberapa jenis tarian upacara ritual dalam masyarakat Dayak Kayong, salah satunya adalah tarian dalam upacara perkawinan. Tarian ini digunakan setelah selesai upacara perkawinan, dengan diiringi musik tradisional.

Penggunaan tarian tersebut disesuaikan dengan upacara, sehingga masyarakat Dayak Kayong mempunyai jenis tarian dan yeng terkait erat dengan setiap upacara. Meskipun demikian, hampir semua kelompok mempunyai ciri-ciri dasar sama antara satu dengan yang lainnya, dimana hal itu pada umumnya ditampilkan sebagai bagian upacara besar dalam setiap upacara tradsional.

Kesenian Dayak Kayong sebagai refleksi keindahan, menjadi satu kesatuan dengan upacara yang diikutinya. Hilangnya salah satu unsur penting upacara menyebabkan berubahnya nilai yang telah ada sejak awal pembentukanya. Berubahnya nilai akan merubah pula arti dasar upacara yang dapat menyebabkan disintegrasi fungsi bagi masyarakat. Lambat laun masyarakat dapat saja tidak lagi membutuhkan kesenian tersebut, karena tidak sesuai lagi dengan adat dan budaya mereka. Oleh karena itu upacara adat, serta segala elemen di


(12)

37 dalamnya harus dipandang sebagai kesatuan yang tidak terpisahkan oleh waktu yang terus berjalan sehingga suatu tradisi tidak akan terlupakan.

Keterkain antara upacara, kesenian, sesaji dan kepercayaan masyarakat dapat dipandang sebagai wujud kebudayaan yang tidak terpisahkan. Kebudayaan ideal dan adat akan memberi arah kepada tindakan manusia, seperti pikiran dan ide-ide. Selanjutnya tindakan dari ide-ide itu akan menghasilkan karya, seperti kesenian dan sesaji. Hal ini berhubungan dengan pendapat Koentjaraningrat mengenai tiga wujud kebudayaan, yaitu :

a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia.

c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud pertama (cultural system) adalah wujud ideal dari kebudayaan dan sifatnya abstrak yang terdapat dalam alam pikiran manusia. Wujud kedua (social culture) adalah tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Wujud ketiga (physical culture) adalah hasil dari tindakan atau karya manusia dalam bentuk fisik.

Semua unsur kebudayaan, seperti kepercayaan, upacara dan sesaji dalam upacara dapat dipandang sebagai wujud kebudayaan untuk memperjelas kedudukannya “ artinya suatu kepercayaan dan tradisi yang


(13)

38 telah dijalankan tidak boleh dihilangkan ”. Sebagai contoh kepercayaan dan adat yang menjadi landasan upacara adalah kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan peraturan yang berhubungan dengan tata cara pemujaan dalam suatu upacara.

Semua realisasi norma dan peraturan dalam bentuk tingkah laku, seperti menari, membaca mantra, dan memainkan alat musik dalam upacara dapat dilihat sebagai kompleks aktivitas dan tindakan berpola yang terkait dengan kehidupan serta budaya masyarakatnya. Semua bentuk karya manusia sebagai hasil dari aktifitas, seperti sesaji, tempat sesaji, properti upacara, alat, bahkan itu sendiri merupakan bentuk dari wujud fisik kebudayaan.

Meskipun tidak berbentuk fisik, namun sesajen ini merupakan hasil karya manusia yang lahir dari tingkah laku tertentu. Di sini dipandang sebagian dari karya, bukan tingkah laku, karena merupakan bunyi yang dihasilkan dari tingkah laku manusia.

Kebanyakan upacara besar yang dilaksanakan masyarakat Dayak Kayong disertai dengan penampilan seni, seperti dalam upacara pernikahan dan upacara kematian. Kesenian tersebut dimainkan hampir disetiap proses upacara.

Tanpa adanya suatu upacara ritual seperti ini maka kegiatan tradisi tersebut tidak bisa dilakukan karena bisa menyalahi aturan adat. Dalam masyarakat Dayak Kayong antara tarian, sesaji dan upacara merupakan


(14)

39 kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Melaksanakan tradisi dalam sebuah upacara merupakan keharusan.

Penyajian irama musik tradisional masyarakat Dayak Kayong kebanyakan digunakan untuk mengiringi vokal mantra dan menari, tari-tarian itu tidak bisa lepas satu dengan lainnya. Seni tari dan ritus-ritus tertentu, semua itu saling berhubungan erat satu sama yang lain. Keberadaan tradisi Dayak Kalimantan dianggap mempunyai peranan penting sebagai pengekpresian hubungan manusia dengan alam gaib.

Hal ini dilatarbelakangi oleh lahirnya tradisi tersebut sebagai ritual untuk mengiringi jalannya upacara serta menari dan membacakan mantra dalam setiap upacara. Pada sisi lain masyarakat menganggap bahwa tradisi ini dapat memenuhi kebutuhan mereka terhadap tuntutan batin akan nilai keindahan, sehingga keberadaannya dapat memberi arti penting secara menyeluruh terdapat kehidupan masyarakat, baik sebagai hiburan maupun sebagai penunjang keberadaan masyarakat itu sendiri.

B. Asal mula Suku Dayak Kayong

Suku Dayak Kayong, adalah suku yang mendiami kabupaten Ketapang provinsi Kalimantan Barat, yang tersebar di kecamatan Tumbang Titi, kecamatan Nanga Tayap, kecamatan Sandai dan Aur Kuning.

Nama Kayong menurut penuturan masyarakat di sana berasal dari nama sungai yang bernama Muara Kayong yang berada di Kecamatan Nanga Tayap. Pusat Tanah Kayong sebenarnya teletak di Desa Betenung,


(15)

40 Kecamatan Nanga Tayap. Tanah Kayong sendiri terbagi menjadi 7 bagian yang disebut dengan Kayong 7, diataranya adalah: Desa Betenung, Sekembar, Tebuar, Tanjung Asam , Riam Batu, Batu Bulan, Sungai Demit

Bahasa Kayong adalah salah satu bahasa dari 50 bahasa yang ada di Kabupaten Ketapang. Termasuk ke dalam kelompok rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Kayong terdiri dari beberapa dialek tergantung wilayah perkampungan masing-masing, tetapi walaupun begitu diantara penduduk beberapa kampung tersebut dapat berkomunikasi dengan baik. Mereka berbicara satu sama lain dengan logat bahasa mereka masing-masing tetapi tetap bisa dipahami tanpa menimbulkan kebingungan satu sama lain.

Masyarakat Dayak Kayong memiliki kepala adat sendiri sebagai kepala adat tertinggi yang bergelar Domong Adat atau Pateh ( Pemimpin adat). Kepala adat ini mengatur dalam menyelesaikan berbagai perkara adat dan juga mengatur upacara-upacara yang menyangkut kepercayaan masyarakat setempat.

Masyarakat Dayak Kayong tidak terlepas dengan kehidupan masa lalunya yang akrab dengan kehidupan hutan. Segala sesuatu yang ada di hutan akan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mereka berburu, membuka ladang di tengah hutan, mencari kayu, menanam pohon karet untuk diambil getahnya, mencari rotan dan tengkawang.

Hubungan orang Dayak Kayong dengan hutan merupakan hubungan timbal balik. Alam memberikan kemungkinan bagi perkembangan budaya orang Dayak, di lain pihak orang Dayak senantiasa mengubah wajah hutan


(16)

41 sesuai dengan pola budaya yang dianutnya. Orang Dayak Kayong sangat ramah dan terbuka dengan masyarakat etnik lain yang tinggal di wilayah mereka seperti orang Jawa, Tiong Hoa, Batak dan Melayu.

C. Pembagian sub-sub Etnis Suku Dayak

Kelompok etnis suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan Barat mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, antara daerah yang satu dengan yang lain, misalnya adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas tiap daerah. Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang J. U. Lontaan dalam bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar yaitu Dayak Iban, Dayak Bahau, Dayak Kenyah, Dayak Kenayan, Dayak Ngaju dan 405 sub suku kecil, yang menyebar diseluruh pulau Kalimantan.

Meskipun terbagi dalam ratusan sub-rumpun, namun kelompok suku Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut sekaligus menjadi faktor penentu apakah suatu sub suku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak. Ciri-ciri tersebut antara lain adalah rumah panjang, hasil budaya meterial seperti; mandau, sumpit, beliung (kapak Dayak), serta pandangan terhadap alam dan mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari.


(17)

42 D. Syarat Adat Perkawinan Dayak Kayong

Untuk menikah secara adat Dayak Kayong hukum adatnya sangat kuat, laki-laki yang bukan berasal dari Suku Dayak Kayong harus menyediakan persyaratan adat yang sudah ditentukan. Supaya bisa melangsungkan pernikahan secara adat Kayong, laki-laki yang bukan berasal dari Suku Dayak Kayong terlebih dahulu harus menyedakan 10 buah tajau dan tetawak setotak (satu buah gong) serta barang-barang lainnya yang sudah ditentukan adat setempat.

Gong tersebut diukur lingkarannya menggunakan kilan atau jengkal (jari), satu jengkalnya senilai Rp 1.000.000. Ukuran gong ini bervariasi ada yang 12 kilan, 6 kilan dan yang paling kecil 5 kilan. Dalam perkawinan adat ini gong yang diguanakan adalah yang berukuran 12 kilan. Adat ini tidak boleh diabaikan jika ingin melangsungkan pernikahan secara Adat Dayak Kayong, namun karena barang-barang seperti tajau dan gong sudah jarang ditemukan apalagi dalam jumlah yang banyak, maka tidak ada masalahnya jika diganti dengan uang, namun ada beberapa barang yang tidak boleh diganti dengan uang, supaya nilai adatnya tetap terasa.

Sedangkan laki-laki yang berasal dari Dayak Kayong sendiri ia tetap dikenakan adat, namun adat yang harus ditanggung berbeda dengan laki-laki yang bukan berasal dari Dayak Kayong. Adat yang ditentukan hanya 1 buah tajau dan perlengkapan lainnya.

Namun berbeda dengan perempuan, baik yang berasal dari Suku Dayak Kayong maupun yang bukan berasal dari Suku Dayak Kayong,


(18)

43 Perempuan-perempuan ini tidak akan dikenakan persyaratan adat. Karena persyaratan adat tesebut hanya diperuntukkan bagi laki-laki sebagai bentuk tanggung jawabnya.

E. Adat Pinang Pintak ( Meminang )

Setiap orang yang akan memulai hidup berkeluarga haruslah melewati berbagai tahap menuju kejenjang perkawinan. Dalam adat Dayak, perkawinan merupakan suatu yang sangat sakral sehingga dinilai dengan penghargaan dan penghormatan yang sangat layak, karena setiap nafas orang Dayak berada di dalam genggaman Jubata, Betara, Penompa, Sangiang dan sebagainya, sehingga segala kegiatan selalu didasarkan kepada yang kuasa. Seperti umumnya orang Dayak di Kalimantan, Dayak Kayong yang berada di Kecamatan Tanga Tayap, Kabupaten Ketapang juga masih melakukan adat istiadat dalam setiap upacara termasuk upacara perkawinan. (http://www.kebudayaan-dayak.org/index.php?title=Upacara_Adat_

Perkawinan_Dayak_Linoh_Belayong)

Dalam upacara itu yang perlu dilakukan pertama adalah pinang pintak. Pinang pintak adalah pihak lelaki harus meminang pihak wanita. Sebelum meminang kedua belah pihak saling bertanya terlebih dahulu, kalau ada kecocokan dan sama-sama mau, dan apabila sudah matang pembicaraan baru meminang. Adat pengikatnya adalah satu buah pinggan dan golang sebontok (satu buah gelang). Dalam meminang sudah tidak diperbolehkan ingkar. Kalau ada pihak ingkar (laki-laki) maka yang bersangkutan mendapat


(19)

44 hukuman adat berupa tiga buah tajau, jika pihak wanita yang ingkar dikenakan hukum dua buah tajau dan adat pengikat harus dikembalikan.

Apabila ada kesepakatan maka pihak yang sudah saling menyukai akan melangsungkan pertunangan. Alat pengikat dalam bertunangan adalah satu buah cincin, kain dan perangkat kosmetik serta alat mandi, dan sebagainya sesuai kemampuan laki-laki. Sama seperti waktu meminang, jika pasangan sudah bertunangan maka tidak diperbolehkan ingkar. Kalau ada pihak ingkar maka yang bersangkutan mendapat hukuman. Dan hukum disini merupakan hukum adat karena dalam upacara pertunangan sudah melibatkan domong kampung dan seluruh warga msyarakat yang dalam bahasa adatnya berbunyi “ Manok balang mati, tuak balang tumpah “. Yang aratinya segala hewan yang sudah disiapkan (ayam) tidak jadi mati atau disembelih dan tuak tidak jadi diminum.

Hukum adatnya adalah jika pihak laki-laki yang ingkar hukumnya adalah tajau 3 (tiga) serta barang pengikat tidak boleh diambil. Sedangkan pihak wanita yang ingkar hukumnya tajau 2 (dua) dan barang pengikat harus dikembalikan kepada pihak laki-laki.

Setelah acara pertunangan, kembali keluarga besar laki-laki dan perempuan bermufakat untuk menentukan tanggal pernikahan. Apabila sudah ada kesepakatan maka pihak yang sudah saling menyukai akan melangsungkan perkawinan di gereja. Malam harinya atau beberapa hari berdasarkan hasil kesepakatan dilangsungkan Upacara Adat atau Perkawinan


(20)

45 Adat. Upacara ini biasanya dilangsungkan malam hari karena sekaligus dilanjutkan dengan acara begendang.

(http://www.kebudayaan-dayak.org/index.php?title=Upacara_Adat_ Perkawinan_Dayak_ Tamambaloh)

Bagi suku Dayak Kayong dan suku-suku Dayak lainnya, ritual pernikahan secara adat merupakan keharusan agar sang pengantin beserta keturunannya terhindar dari murka sang penguasa alam (menurut cerita orang-orang tua dan diakui kebenarannya), namun disisi lain sebagai upaya pelestarian adat istiadat budaya yang telah turun-temurun mentradisi dan mendarah daging dalam segala aspek kehidupan mereka.

Bahasa aslinya : tulah atau kualat jika perkawinan tersebut tidak dilaksanakan secara adat. Tulah atau kualat disini mengandung arti mendapat sial atau sandungan bagi sang pengantin beserta keturunannya dalam mengarungi kehidupan berumah tangga, misalnya kehidupan mereka tidak bahagia, selalu bertengkar, baik dengan pasangannya maupun pihak lain, juga kehidupan perekonomian keluarga selalu kurang dan sebagainya.

F. Proses Ritual Upacara Perkawinan Suku Dayak Kayong

Tradisi upacara perkawinan adat pada suku Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Upacara perkawinan ini melibatkan seluruh masyarakat setempat demi terciptanya keselamatan bersama. Dalam masyarakat Dayak Kayong ada dua jenis adat perkawinan yaitu disebut dengan pepalet matah dan perkawinan duduk di gerantong nyandar di tajau.


(21)

46 Perkawinan yang duduk di gerantong bagi orang Dayak merupakan perkawinan adat yang besar dan sakral, sedangkan pepalet matah hanyalah perkawinan adat biasa yang sangat sederhana, namun tetap mempunyai nilai adat. Dalam upacara pepalet matah ini proses ritual adatnya sama persis dengan perkawinan adat duduk di gerantong, yang membedakan hanyalah tempat duduknya saja yaitu penganten hanya duduk di lantai biasa. Pepalet matah dilaksanakan karena pihak laki-laki belum bisa membayar adat perkawinan yang sudah ditetapkan oleh kepala adat setempat. Sehingga apabila kedua pasangan belum punya persiapan, tapi sudah hidup dalam satu rumah selama berbulan-bulan atau pasangan yang sudah hamil biasanya akan menikah secara adat yang disebut dengan pepalat matah.

Biasanya dalam kehidupan orang Dayak, mereka mempercayai bahwa penguasa alam atau penunggu kampung akan marah jika pasangan yang belum menikah secara adat tapi sudah hidup dalam satu rumah bahkan sudah hamil, sehingga terjadi hujan, petir, guntur yang tiada henti-hentinya sampai kedua pasangan tersebut menikah secara adat (pepalet matah). Adat perkawinan dalam pepalet matah ini sama dengan adat perkawinan duduk di gerantong, yaitu tajau 10 dan tetawak setotak, namun karena belum ada persiapan dari pihak laki-laki maka pembayaran adatnya boleh ditunda sampai laki-laki tersebut siap.


(22)

47 Sedangkan perkawinan adat dudok di gerantong nyandar di belange akan dibahas di bawah ini :

1. Persiapan Upacara dan Makan bersama

Apabila ada warga Dayak yang ingin menikah secara adat, maka keluarga akan memepersiapkan segala sesuatunya dengan bantuan masyarakat disekelilingnya. Jika perlengkapan sudah siap, maka gong panggil akan dibunyikan untuk memberitahukan kepada warga setempat bahwa acara perkawinan akan segera dilaksanakan. Dengan demikian para keluarga dan undangan serta warga kampung akan berdatangan menuju rumah yang telah dibunyikan gong panggil tersebut. Biasanya perkawinan adat ini dilaksanakan malam hari, sesudah menikah secara Gereja.

Di rumah tersebut telah disiapakn makanan yang akan dimakan bersama. Biasanya Demung adat dan Dukun kampung akan duduk disebelah kanan dalam satu barisan yang disebut “Domong ditotai Manter dibaresan”. Setelah semua warga berdatangan dan berkumpul di rumah tersebut mulailah demung adat atau dukun kampung menjelaskan makan apa saja yang ada dihadapan mereka, sambil membaca mantra (berdoa) sebelum mereka makan.

2. Tahapan Persiapan

Setelah acara makan bersama sudah selesai, para wanita mulai membersihkan rumah tersebut, dan para lelaki mempersiapkan atau memasang gong untuk dimainkan pada acara pernikahan. Gong yang


(23)

48 digunakan ini sangat banyak serta bervariasi bentuk dan ukurannya. Acara ini disebut begendang. Selain itu pula ada yang mempersiapkan tempat duduk penganten, dan segala keperluannya pada saat upacara perkawinan. 3. Ritual Upacara perkawinan

Sesudah semua perlengkapan telah siap, maka upacara perkawinan adat segera dilangsungkan oleh demung kampung dan dukun. Selama proses upacara ini Demung dan Dukun berbicara menggunakan bahasa adat Dayak Kayong. Kedua pasangan yang akan menikah, dipersilakan untuk duduk di gerantong (gong yang berukuran besar) dan menyandar di tajau yang sudah dibungkus dengan kain. Setelah penganten duduk domong mengatakan: ” Hondak urang due olek urang sikok, duduk di gerantong nyandar di belange”, yang artinya Perkawinan terjadi atas kehendak berdua, dan jika bercerai adalah keinginan salah satu dari pasangan, oleh karena itu penganten dipersilakan duduk di gong dan menyandar di tajau.

Kemudian Demung adat memberikan garam dan beliung untuk digigit oleh penganten. Sambil menyuapkan garam dan beliung pada penganten, Demung berteriak sambil mengatakan garam rasanya apa ? dan serentak warga masyarakat mengatakan asin, beliung rasanya apa ? kembali orang yang ada di rumah itu serentak mengatakan keras. Tujuan demung memberi garam dan beliung untuk digigit penganten adalah agar penganten merasakan garam yang asin dan beliung yang keras, hal tersebut menggambarkan kehidupan berkeluarga yang tidak mudah untuk


(24)

49 dijalani, banyak hambatan-hambatan yang harus dilalui bersama. hal tersebut juga menunjukkan bahwa adat dayak yang masih sangat kuat.

Setelah ritual menggigit garam dan beliung, Dukun melakukan ritual “pepalet betanar dengan darah manok”. Artinya dukun memberkati penganten dengan mempercikan darah ayam ke arah penganten. Pepalet ini merupakan ritual yang sangat penting dalam perkawinan adat dayak. Setelah diperciki dengan darah ayam tersebut, menurut orang Dayak perkawinan adat ini telah sah.

Setelah dukun kampung selesai memberikan pepalet, Kemudian Demung adat manaruh “ koyen di kepale tajau ke buhu kepada penganten supaya kocek bedame bosar bergelar . Maksudnya adalah orang yang sudah diresmikan dalam pernikahan adat, akan diberi gelar atau nama adat sebagai penghormatan.

“Sohet susi pakau genggalang Piring 6 Gelas 6” artinya adalah untuk matrai bahwa perkawinan telah sah, gelas dan piring tersebut akan dibagikan ke 6 dusun yang ada di desa kayong. Hal ini sebagai bukti perkawinan yang sah. Kalau terjadi sarak isah pakau puah (perceraian) siapa yang membuang atau menceraikan maka yang bersangkutan akan dikenakan hukum adat Dayak Kayong.

4. Acara begendang

Selama upacara perkawinan adat berlangsung, para pemain gong mulai memainkan gongnya dengan suara yang khas. Untuk menambah nilai seninya, selama gong dibunyikan para wanita dipersilakan untuk


(25)

50 menari. Tarian ini bukanlah tarian sembarangan melainkan tarian yang memang untuk acara perkawinan dengan jumlah penari 4 orang wanita, yang saling berhadapan disebelah kiri dan disebelah kanan, Kemudian satu laki-laki di arah pintu masuk rumah dan yang satunya di sebelah ujung rumah. Terlebih dahulu yang akan menari atau bersilat adalah kedua laki-laki tersebut, berjalan ke arah wanita yang berdiri disebelah kiri dan kanan tadi. Kemudian duduk bersila dan mengambil minuman (arak atau tuak ) yang telah disediakan.

Setelah itu barulah para wanita menari dengan tangan direntangkan dan saling bertukar posisi dengan pasangan yang ada di depannya secara bergantian, setelah itu bertukar posisi secara silang dan bersamaan. Setelah para wanita sudah bertukar posisi sebanyak dua kali, gong akan dihentikan dan para wanita tadi dipersilakan untuk minum tuak atau arak. Kegiatan begendang dan menari ini terus dilakukan sampai tengah malam dan sampai acara selesai.

5. Penulaan Tamu

Setelah acara perkawinan adat selesai, keesokan harinya sekitar pukul 9 pagi, gong panggil kembali dibunyikan, dan sama seperti waktu acara perkawinan mau dimulai, para demung kampung dan masyarakat serta para undangan kembali berkumpul untuk mengadakan makan bersama sebelum mereka pulang ke kampung masing-masing.

Dalam adat Dayak Kayong, pada acara penulaan tamu ini, mereka akan kembali bersenang-senang seperti begendang, menari bahkan


(26)

51 mereka akan bercanda atau bergurau dalam bahasa adat atau pun dalam bahasa biasa. Dan tuan rumah juga sudah menyediakan bekal untuk dibawa pulang para tamu undangan yang dalam bahasa adatnya disebut “Pulang bebokal balek besangu”. Biasanya yang menerima bekal tersebut adalah demung kampung daerah masing-masing. Bekal ini menunjukan ucapan terima kasih tuan rumah kepada tamu-tamu yang sudah datang dalam Upacara Perkawinan tersebut.

Makanan atau bekal tersebut berupa : nasi lemang (nasi yang dimasak di dalam bambu), beras, telur, pinang, sireh (sirih), dan gorek api.

Tujuan dan fungsi dari bekal ini antara lain adalah nasi supaya tidak kelaparan dijalan, telur sebagai lauk, pinang dan sireh sebagai simbol orang dayak, yang sampai sekarang masih suka makan pinang dan sirih, sedangkan korek api supaya penerangan jika kemalaman diperjalanan.

6. Hukum Adat

Hukum adat adalah cetusan jiwa masyarakat itu sendiri dan telah menjadi alam kehidupan yang ia sendiri tidak dapat menentangnya. walaupun hukumnya tidak tertulis namun masyarakat Dayak tetap melaksanakanya. Hukum adat ini masih dipertahankan dan masih selalu dipakai dalam setiap upacara adat sebagai mana terurai dibawah ini :


(27)

52 1. Adat untuk pernikahan

Seperti yang sudah terulis di atas bahwa laki-laki yang bukan berasal dari kalangan Dayak Kayong dan ingin menikah dengan wanita Dayak Kayong maka ia harus menyediakan :

10 buah tajau, 1 buah tajau senilai Rp 3.000.000 x 10 tajau = Rp 30.000.000.

tetawak setotak (1 buah gong). Gong ini diukur lingkarannya

menggunakan jari (kilan), satu jari atau satu kilan senilai Rp 1.000.000, tergantung berapa besar lingkarannya. Namun dalam

hal ini ditetapkan 12 kilan. Jadi 12 x Rp 1.000.000 = Rp 12.000.000.

Tuak untuk adat terdiri dari 3 buah tajau yang berisi sekitar 60 liter, maka 180 x 12.000 = Rp 2.160.000.

5 ekor babi x berat 20 kg = 100 kg babi x Rp 30.000 = Rp 3.000.000 3 ekor ayam x 1kg = 3 kg ayam x Rp 35.000 = Rp 105.000

Piring 6 dan gelas 6, adat ini tidak boleh diganti dengan uang. Dengan demikian nilai adat yang harus dibayar oleh laki- laki yang bukan berasal dari Suku Dayak Kayong adalah Rp 47.265.000 dan piring 6 gelas 6.

2. Adat jika terjadi perceraian

Jika pihak laki-laki yang mencerai maka ia akan dikenakan tajau 3 dan tidak boleh membawa harta dari rumah berupa apapun. Jika


(28)

53 sanksi adat tersebut diganti dengan uang maka 1 tajau senilai Rp 3.000.000 x 3 tajau = Rp 9.000.000 (sembilan juta rupiah).

jika istri yang mencerai maka ia dikenakan tajau 2 dan tidak boleh membawa harta dari rumah berupa apapun. Jika sanksi adat tersebut diganti dengan uang maka 1 tajau senilai Rp 3.000.000 x 2 tajau = Rp 6.000.000 (enam juta rupiah).

Dan orang yang merebut istri akan dikenakan hukum adat tajau 10, tetawak setotak. Jika diganti dengan uang maka 1 tajau senilai Rp 3.000.000 x 10 tajau = Rp 30.000.000 ( tiga puluh juta rupiah ). Sedangkan tetawak setotak atau 1buah gong diukur lingkarannya penggunakan jari (kilan atau jengkal), satu kilan atau satu jengkalnya dihargai Rp 1.000.000, tergantung berapa besar lingkarannya, namun dalam hukum ini tetawak tersebut lingkarannya harus 12 kilan. Jadi 12 x Rp 1.000.000 = Rp 12.000.000 ( dua belas juta rupiah ).

Jadi totalnya Rp 30.000.000 + Rp 12.000.000 = Rp 42.000.000 (empat puluh dua juta rupiah).

Sedangkan orang yang merebut suami, akan dikenakan hukum adat tajau 6 dan sang suami ini juga akan dikenakan tajau 6. Jadi jumlah tajau 12. Jika diganti dengan uang maka 1 tajau senilai Rp 3.000.000 x 12 tajau = Rp 36. 000.000 (Tiga puluh enam juta rupiah).


(29)

54 G. Makna dan simbol dalam Upacara Tradisi Perkawinan

1. Makna Upacara Tradisi

a. Pelestarian tradisi. Upacara adat perkawinan ini adalah ajaran leluhur, oleh karena itu mempraktekkan ajaran ini secara tidak langsung merupakan salah satu upaya dalam melestarikan tradisi leluhur.

b. Melanjutkan sejarah suku. Salah satu tujuan perkawinan adalah mencetak generasi penerus. Dengan generasi yang terus berlanjut, maka sejarah dan kebudayaan bangsa tersebut akan bertahan dan berkembang.

c. Pelestarian sastra tradisional. Nilai ini terlihat dari ungkapan-ungkapan atau bahasa adat yang diucapkan saat upacara perkawinan.

d. Mempererat dan memperluas hubungan keluarga. Nilai ini tercermin dari tujuan perkawinan itu sendiri, yakni menyatukan kedua belah keluarga menjadi satu keluarga besar

e. Memperbanyak jumlah anggota suku. Dengan perkawinan jumlah keluarga akan bertambah begitu juga dengan jumlah anggota suku. (http://pontianak.tribunnews.com/2012/05/21/selasa-digelar-upacara-perkawinan-adat-dayak-taman)


(30)

55 2. Makna Sosial

a. Untuk pemotongan hewan kurban khususnya ayam, masyarakat setempat akan mempersilakan orang yang beragama muslim untuk memotongnya, supaya makanan tersebut bisa dimakan bersama pada waktu acara pernikahan.

b. Masyarakat setempat tanpa terkecuali ikut ambil bagian untuk terselenggaranya upacara perkawinan tersebut.

c. Masyarakat setempat dengan sendirinya akan datang ke tempat perkawinan dengan membawa bantuan sesuai dengan kemampuannya, biasanya bantuan tersebut berupa : ayam kampung, babi, beras, nasi, rokok, gula, kopi dan tuak/arak.

d. Dalam setiap melaksanakan upacara adat di Dayak Kayong ini sangat nampak sikap gotong royong, sikap kerukunan anatar agama, sikap saling menghormati, dan saling menghargai tanpa memandang status, derajat dan kedudukan.

3. Perlengkapan Upacara

Dalam Upacara Perkawinan Suku Dayak terdapat perlengkapan sebagai berikut :

a. Gerantong (gong yang berukuran besar) dan Tajau b. Tombak

c. Beliung (kapak Kalimantan) dan Garam d. Mangkok yang berisi darah ayam e. Kain


(31)

56 4. Makna Simbol

a. Gerantong; adalah gong yang berukuran besar yang digunakan untuk tempat duduk penganten. Tajau di letakkan di belakang gerantong supaya tempat bersandar penganten. Pada zaman dulu tajau digunakan untuk menyimpan tulang-tulang orang yang sudah meninggal, dan gerantong tersebut di letakkan di atas tajau sebagai penutupnya. Sehingga bentuknya menyerupai payung. Tulang-tulang yang di masukkan ke dalam tajau tersebut merupakan tulang orang yang semasa hidupnya mempunyai kekuatan gaib. Karena bentuknya menyerupai payung itulah, orang Dayak Kayong juga mengunakannya pada upacara perkawinan. Supaya dalam perjalanan hidup berumah tangga, selalu mendapat perlindungan dari arwah nenek moyang. b. Tombak adalah sebuah senjata yang sering digunakan masyarakat

Dayak Kayong dalam berburu. Tombak ini melambangkan kesatriaan laki-laki Dayak Kayong. Oleh karena itu laki-laki Dayak Kyong dalam Upacara Perkawinan memegang tombak.

c. Beliung merupakan kapak Kalimantan yang sampai saat ini masih banyak ditemukan. Beliung yang digunakan dalam Upacara Perkawinan tidak mempunyai tangkai. Beliung ini dalam Upacara Perkawinan akan akan digigit penganten, tujuanya supaya penganten merasakan betapa kerasnya beliung tersebut sebagai suatu tanda bahwa dalam menjalani kehidupan tidak mudah. Sedangkan garam mempunyai rasa yang sangat asin. Garam tersebut juga akan digigit


(32)

57 penganten. Beliung dan garam ini melambangkan semangat hidup orang Dayak. Mereka selalu mengajarkan bahwa kita harus bisa melewati kehidupan yang sangat keras dan berbagai macam cobaan. d. Mangkok berisi darah ayam adalah untuk dipercikkan kepada

penganten, tujuannya supaya pernikahan tersebut sah.

e. Kain yang digunakan dalam Upacara Perkawinan ini harus kain yang baru. Dan digunakan untuk membungkus gerantong dan tajau supaya menjadi satu. Selain itu juga ditaruh di atas kepala penganten pada saat upacara pemberian gelar kepada penganten sebagai tanda penghormatan.


(1)

52 1. Adat untuk pernikahan

Seperti yang sudah terulis di atas bahwa laki-laki yang bukan berasal dari kalangan Dayak Kayong dan ingin menikah dengan wanita Dayak Kayong maka ia harus menyediakan :

10 buah tajau, 1 buah tajau senilai Rp 3.000.000 x 10 tajau = Rp 30.000.000.

tetawak setotak (1 buah gong). Gong ini diukur lingkarannya

menggunakan jari (kilan), satu jari atau satu kilan senilai Rp 1.000.000, tergantung berapa besar lingkarannya. Namun dalam

hal ini ditetapkan 12 kilan. Jadi 12 x Rp 1.000.000 = Rp 12.000.000.

Tuak untuk adat terdiri dari 3 buah tajau yang berisi sekitar 60 liter, maka 180 x 12.000 = Rp 2.160.000.

5 ekor babi x berat 20 kg = 100 kg babi x Rp 30.000 = Rp 3.000.000 3 ekor ayam x 1kg = 3 kg ayam x Rp 35.000 = Rp 105.000

Piring 6 dan gelas 6, adat ini tidak boleh diganti dengan uang. Dengan demikian nilai adat yang harus dibayar oleh laki- laki yang bukan berasal dari Suku Dayak Kayong adalah Rp 47.265.000 dan piring 6 gelas 6.

2. Adat jika terjadi perceraian

Jika pihak laki-laki yang mencerai maka ia akan dikenakan tajau 3 dan tidak boleh membawa harta dari rumah berupa apapun. Jika


(2)

53 sanksi adat tersebut diganti dengan uang maka 1 tajau senilai Rp 3.000.000 x 3 tajau = Rp 9.000.000 (sembilan juta rupiah).

jika istri yang mencerai maka ia dikenakan tajau 2 dan tidak boleh membawa harta dari rumah berupa apapun. Jika sanksi adat tersebut diganti dengan uang maka 1 tajau senilai Rp 3.000.000 x 2 tajau = Rp 6.000.000 (enam juta rupiah).

Dan orang yang merebut istri akan dikenakan hukum adat tajau 10, tetawak setotak. Jika diganti dengan uang maka 1 tajau senilai Rp 3.000.000 x 10 tajau = Rp 30.000.000 ( tiga puluh juta rupiah ). Sedangkan tetawak setotak atau 1buah gong diukur lingkarannya penggunakan jari (kilan atau jengkal), satu kilan atau satu jengkalnya dihargai Rp 1.000.000, tergantung berapa besar lingkarannya, namun dalam hukum ini tetawak tersebut lingkarannya harus 12 kilan. Jadi 12 x Rp 1.000.000 = Rp 12.000.000 ( dua belas juta rupiah ).

Jadi totalnya Rp 30.000.000 + Rp 12.000.000 = Rp 42.000.000 (empat puluh dua juta rupiah).

Sedangkan orang yang merebut suami, akan dikenakan hukum adat tajau 6 dan sang suami ini juga akan dikenakan tajau 6. Jadi jumlah tajau 12. Jika diganti dengan uang maka 1 tajau senilai Rp 3.000.000 x 12 tajau = Rp 36. 000.000 (Tiga puluh enam juta rupiah).


(3)

54 G. Makna dan simbol dalam Upacara Tradisi Perkawinan

1. Makna Upacara Tradisi

a. Pelestarian tradisi. Upacara adat perkawinan ini adalah ajaran leluhur, oleh karena itu mempraktekkan ajaran ini secara tidak langsung merupakan salah satu upaya dalam melestarikan tradisi leluhur.

b. Melanjutkan sejarah suku. Salah satu tujuan perkawinan adalah mencetak generasi penerus. Dengan generasi yang terus berlanjut, maka sejarah dan kebudayaan bangsa tersebut akan bertahan dan berkembang.

c. Pelestarian sastra tradisional. Nilai ini terlihat dari ungkapan-ungkapan atau bahasa adat yang diucapkan saat upacara perkawinan.

d. Mempererat dan memperluas hubungan keluarga. Nilai ini tercermin dari tujuan perkawinan itu sendiri, yakni menyatukan kedua belah keluarga menjadi satu keluarga besar

e. Memperbanyak jumlah anggota suku. Dengan perkawinan jumlah keluarga akan bertambah begitu juga dengan jumlah anggota suku. (http://pontianak.tribunnews.com/2012/05/21/selasa-digelar-upacara-perkawinan-adat-dayak-taman)


(4)

55 2. Makna Sosial

a. Untuk pemotongan hewan kurban khususnya ayam, masyarakat setempat akan mempersilakan orang yang beragama muslim untuk memotongnya, supaya makanan tersebut bisa dimakan bersama pada waktu acara pernikahan.

b. Masyarakat setempat tanpa terkecuali ikut ambil bagian untuk terselenggaranya upacara perkawinan tersebut.

c. Masyarakat setempat dengan sendirinya akan datang ke tempat perkawinan dengan membawa bantuan sesuai dengan kemampuannya, biasanya bantuan tersebut berupa : ayam kampung, babi, beras, nasi, rokok, gula, kopi dan tuak/arak.

d. Dalam setiap melaksanakan upacara adat di Dayak Kayong ini sangat nampak sikap gotong royong, sikap kerukunan anatar agama, sikap saling menghormati, dan saling menghargai tanpa memandang status, derajat dan kedudukan.

3. Perlengkapan Upacara

Dalam Upacara Perkawinan Suku Dayak terdapat perlengkapan sebagai berikut :

a. Gerantong (gong yang berukuran besar) dan Tajau b. Tombak

c. Beliung (kapak Kalimantan) dan Garam

d. Mangkok yang berisi darah ayam e. Kain


(5)

56 4. Makna Simbol

a. Gerantong; adalah gong yang berukuran besar yang digunakan untuk tempat duduk penganten. Tajau di letakkan di belakang gerantong supaya tempat bersandar penganten. Pada zaman dulu tajau digunakan untuk menyimpan tulang-tulang orang yang sudah meninggal, dan gerantong tersebut di letakkan di atas tajau sebagai penutupnya. Sehingga bentuknya menyerupai payung. Tulang-tulang yang di masukkan ke dalam tajau tersebut merupakan tulang orang yang semasa hidupnya mempunyai kekuatan gaib. Karena bentuknya menyerupai payung itulah, orang Dayak Kayong juga mengunakannya pada upacara perkawinan. Supaya dalam perjalanan hidup berumah tangga, selalu mendapat perlindungan dari arwah nenek moyang.

b. Tombak adalah sebuah senjata yang sering digunakan masyarakat Dayak Kayong dalam berburu. Tombak ini melambangkan kesatriaan laki-laki Dayak Kayong. Oleh karena itu laki-laki Dayak Kyong dalam Upacara Perkawinan memegang tombak.

c. Beliung merupakan kapak Kalimantan yang sampai saat ini masih banyak ditemukan. Beliung yang digunakan dalam Upacara Perkawinan tidak mempunyai tangkai. Beliung ini dalam Upacara Perkawinan akan akan digigit penganten, tujuanya supaya penganten merasakan betapa kerasnya beliung tersebut sebagai suatu tanda bahwa dalam menjalani kehidupan tidak mudah. Sedangkan garam mempunyai rasa yang sangat asin. Garam tersebut juga akan digigit


(6)

57 penganten. Beliung dan garam ini melambangkan semangat hidup orang Dayak. Mereka selalu mengajarkan bahwa kita harus bisa melewati kehidupan yang sangat keras dan berbagai macam cobaan. d. Mangkok berisi darah ayam adalah untuk dipercikkan kepada

penganten, tujuannya supaya pernikahan tersebut sah.

e. Kain yang digunakan dalam Upacara Perkawinan ini harus kain yang baru. Dan digunakan untuk membungkus gerantong dan tajau supaya menjadi satu. Selain itu juga ditaruh di atas kepala penganten pada saat upacara pemberian gelar kepada penganten sebagai tanda penghormatan.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Karungut : nyanyian sastra lisan Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah T1 852010029 BAB IV

0 22 34

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upacara Tradisi Perkawinan Suku Dayak Kayong : Studi Kasus Desa Betenung, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat T1 152007003 BAB I

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upacara Tradisi Perkawinan Suku Dayak Kayong : Studi Kasus Desa Betenung, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat T1 152007003 BAB II

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upacara Tradisi Perkawinan Suku Dayak Kayong : Studi Kasus Desa Betenung, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat T1 152007003 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upacara Tradisi Perkawinan Suku Dayak Kayong : Studi Kasus Desa Betenung, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat

0 1 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upacara Tradisi Perkawinan Suku Dayak Kayong : Studi Kasus Desa Betenung, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Aruh (Suatu Kajian Terhadap Makna Tradisi Aruh di Masyarakat Dayak Pitap Kalimantan Selatan) T1 712007051 BAB IV

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Perjanjian Perkawinan Adat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah T2 752009012 BAB IV

0 0 14

Suku dayak dan madura 1

0 0 1

SUKU DAYAK selako kalimantan barat

0 2 8