CITRA PEREMPUAN DALAM NOVEL TRAGEDI GADIS PARIJS VAN JAVA KARYA GANU VAN DORT
CITRA PEREMPUAN DALAM NOVEL TRAGEDI GADIS PARIJS VAN JAVA KARYA GANU VAN DORT
Dewi Muliana [email protected]
Abstrak
Yang melatarbelakangi penelitian ini adalah hadirnya karya sastra khususnya novel yang di dalamnya menceritakan tentang tokoh perempuan. Dalam sebuah novel pengarang mencoba memberikan gambaran atau wujud tokoh perempuan yang berperan di dalamnya. Hal tersebut berkaitan dengan citra perempuan. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah citra perempuan dalam novel Tragedi Gadis Parijs van Java karya Ganu van Dort. Tujuan penelitian ini adalah mendekripsikan dan menganalisis citra perempuan dalam novel Tragedi Gadis Parijs van Java karya Ganu van Dort.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan. Data dalam penelitian ini adalah data tertulis berupa teks cerita yang berhubungan dengan citra perempuan dalam novel Tragedi Gadis Parijs van Java Karya Ganu van Dort. Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Novel Tragedi Gadis Parijs Van Java Karya Ganu van Dort yang diterbitkan oleh penerbit Endelweiss, tahun 2012 dengan jumlah Halaman 398. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini teknik baca dan catat. Data dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan feminisme.
Berdasarkan penelitian maka disimpulkan bahwa citra perempuan dalam novel Tragedi Gadis Parijs van Java Karya Ganu van Dort digambarkan melalui citra fisik, psikis, dan sosial. Citra fisik yaitu perempuan cantik. Citra psikis yaitu perempuan yang mengalami beban batin, perempuan tabah, perempuan setia, dan perempuan yang mengalami kekerasan. Citra sosial yaitu perempuan berpendidikan, perempuan pejuang, dan perempuan yang peduli terhadap orang lain. Novel ini dapat dijadikan sebagai media dalam pembelajaran sastra di sekolah untuk mengetahui hal-hal menarik yang dikemukakan dalam novel tersebut.
Pendahuluan
Karya sastra merupakan suatu perwujudan dari suatu pikiran atau ide-ide kreatif yang memiliki kedalaman dan kekayaan makna dengan bahasa sebagai medianya. Karya sastra bersifat imajinatif atau fiktif di mana karya sastra berangkat dari daya khayal pengarang. Namun karya sastra juga digunakan pengarang untuk menyampaikan pikirannya tentang sesuatu yang ada dalam realitas yang dihadapinya. Realitas ini adalah salah satu faktor penyebab pengarang menciptakan karya, di samping unsur imajinasi atau daya khayal, karya sastra memiliki unsur-unsur yang membangun yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik merupakan unsur yang membangun cerita dari dalam, sedangkan unsur ekstrinsik merupakan unsur yang membangun cerita dari luar.
Karya sastra apapun bentuknya mengandung unsur pesan yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca. Dengan adanya pesan/amanat tersebut sebuah karya sastra memiliki nilai lebih dari tulisan bentuk lain. Amanat merupakan isi/pesan dari pengarang kepada pembaca melalui sebuah karya sastra. Karya sastra merupakan fenomena sosial budaya yang melibatkan kreativitas manusia. Sastra mengungkapkan pengalaman batin yang dialami pengarang kepada penikmat karya sastra (masyarakat).
Karya sastra yang baik adalah sebuah karya yang dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat. Karya sastra memiliki peran yang penting dalam masyarakat karena karya sastra merupakan ekspresi sastrawan berdasarkan pengamatannya terhadap kondisi masyarakat sehingga karya sastra itu menggugah perasaan orang untuk berpikir tentang kehidupan.
Sastra memiliki karakteristik penggunaan bahasa yang indah serta dijadikan sebagai media untuk menyampaikan amanat berupa ajaran dan berbagai pesan moral yang disampaikan dalam karya sastra dengan bahasa yang indah, sehingga pembaca bisa mendapatkan kenikmatan, dan keharuan dari bahasa sastra dan manfaat dibalik bahasa tersebut.
Salah satu jenis karya sastra yaitu novel. Novel merupakan cerita fiksi yang berbentuk prosa, dalam bentuk tulisan atau kata-kata dan mempunyai unsur intrinsik dan ekstrinsik. Sebuah novel biasanya menceritakan tentang kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sesamanya. Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif; biasanya dalam bentuk cerita. Novel lebih panjang dan lebih kompleks dari cerpen, dan tidak dibatasi oleh keterbatasan struktural dan metrikal sandiwara atau sajak. Umumnya sebuah novel bercerita tentang tokoh-tokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam suatu cerita, khususnya novel memiliki tokoh atau pemeran yang dibutuhkan untuk melakukan adegan-adegan dalam cerita. Terdapat beberapa tokoh yang berperan dalam suatu cerita, salah satunya dikenal dengan sebutan tokoh utama. Tokoh utama merupakan salah satu tokoh yang memiliki peran penting, karena tokoh utama merupakan tokoh yang menjadi pusat pembicaraan dalam suatu cerita atau novel. sehubungan dengan hal itu, tokoh utama sangat penting dianalisis citranya karena tokoh utama merupakan tokoh yang paling tinggi tingkat keterlibatannya di dalam peristiwa- peristiwa yang membangun cerita, dibandingkan dengan tokoh lain yang berperan dalam novel tersebut.
Dalam sebuah novel tidak jarang yang menjadi tokoh utama adalah seorang perempuan. kaum perempuan awalnya identik dengan posisinya sebagai manusia yang kedudukannya berada di bawah kaum laki-laki. Namun, dengan lahirnya pandangan feminisme, posisi perempuan sudah mulai berkembang, di mana perempuan tidak hanya bergelut dengan pekerjaan dalam rumah, namun perempuan juga bisa menjajaki dunia luar atau dunia publik. Kajian yang membahas perempuan dikenal dengan kajian feminisme.
Faham feminisme lahir dan mulai berkobar pada sekitar akhir 1960-an di Barat, dengan beberapa faktor penting yang mempengaruhinya. Gerakan ini mempengaruhi banyak segi kehidupan dan mempengaruhi setiap aspek kehidupan perempuan (Sugihastuti dan Suharto, 2005: 6).
Menurut Sugihastuti dan Suharto (2005: 15) dasar pemikiran dalam penelitian sastra berprespektif feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra. Pertama, kedudukan dan tokoh para perempuan seperti tercermin dalam karya sastra Indonesia menunjukkan masih didominasi oleh laki- laki. Dengan demikian, upaya pemahamannya merupakan keharusan untuk mengetahui ketimpangan gender dalam karya sastra, seperti terlihat dalam realitas sehari-hari masyarakat. Kedua, dari presepsi pembaca karya sastra Indonesia, secara sepintas terlihat bahwa para tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia tertinggal dari laki-laki, misalnya dalam hal latar sosial pendidikannya, pekerjaannya, perannya dalam masyarakat dan pendeknya derajat mereka sebagai bagian integral dan susunan masyarakat. Perspektif feminis bahwa perempuan mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang Menurut Sugihastuti dan Suharto (2005: 15) dasar pemikiran dalam penelitian sastra berprespektif feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra. Pertama, kedudukan dan tokoh para perempuan seperti tercermin dalam karya sastra Indonesia menunjukkan masih didominasi oleh laki- laki. Dengan demikian, upaya pemahamannya merupakan keharusan untuk mengetahui ketimpangan gender dalam karya sastra, seperti terlihat dalam realitas sehari-hari masyarakat. Kedua, dari presepsi pembaca karya sastra Indonesia, secara sepintas terlihat bahwa para tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia tertinggal dari laki-laki, misalnya dalam hal latar sosial pendidikannya, pekerjaannya, perannya dalam masyarakat dan pendeknya derajat mereka sebagai bagian integral dan susunan masyarakat. Perspektif feminis bahwa perempuan mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang
Perempuan
dapat ikut
serta dalam segala aktivitas kehidupan kemasyarakatan bersama laki-laki. Dalam arti leksikal, feminisme adalah gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki (Moeliono, dkk dalam Sugihastuti dan Suharto, 2005: 18).
Feminisme lahir dengan tujuan mencari keseimbangan antara laki-laki dengan perempuan. Feminisme merupakan gerakan perempuan untuk menolak sesuatu yang dimarginalisasikan, direndahkan, dinomorduakan, dan disubordinasikan oleh kebudayaan, sosial, baik dalam bidang publik maupun bidang domestik. Dengan lahirnya gerakan feminisme ini, masyarakat mulai terbuka dan sadar akan kedudukan perempuan yang inferior.
Adapun ragam kritik sastra menurut Soenarjati Djajanegara, pertama, kritik sastra feminis ideologis yaitu kritik sastra yang melibatkan perempuan sebagai pembaca dengan memusatkan perhatian pada citra dan stereotipe perempuan dalam karya sastra. Kedua, ginokritik yaitu kritik sastra feminis yang mengkaji penulis-penulis perempuan, termasuk tentang sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur tulisan perempuan. Jenis kritik sastra feminis ini meneliti perbedaan mendasar antara penulis laki-laki dengan penulis perempuan. Ketiga, kritik sastra feminis Marxis, yaitu meneliti tokoh-tokoh perempuan dari sudut pandang sosial, kelas-kelas masyarakat, dan mengungkapkan bahwa perempuan merupakan kelas masyarakat yang tertindas. Keempat, kritik sastra feminis psikoanalitik, kritik ini cenderung diterapkan pada tulisan perempuan yang menampilkan tokoh-tokoh perempuan. Dengan mengkaji penulis serta tokoh-tokoh perempuan yang ditampilkan dari sisi feminim seperti affective, empathic, dan nurturant, maka akan diperoleh contoh bagaimana cara penulis dan pembaca perempuan memasuki teks untuk mengidentifikasikan diri. Kelima, kritik sastra feminis- lesbian yang meneliti penulis dan tokoh perempuan, dengan tujuan mengembangkan suatu definisi yang cermat tentang makna lesbian Keenam, kritik sastra feminis ras atau etnik, yaitu kritik sastra yang ingin membuktikan keberadaan sekelompok penulis etnik beserta karya-karyanya (Djajanegara, 2000: 28-32).
Feminisme mempunyai banyak ragam. Namun ragam feminisme yang releven dengan penelitian ini adalah feminisme ideologis menurut Djajanegara. Di dalam penelitian ini digunakan feminisme ideologis, dikarenakan feminisme ini melibatkan para perempuan dalam kisah ceritanya. Adapun yang menjadi pusat perhatian pembaca perempuan dalam penelitiannya adalah citra dan stereotipe perempuan dalam karya sastra. Sehubungan dengan itu, Citra perempuan yang dimaksud dalam uraian ini ialah semua wujud gambaran mental spiritual dan tingkah laku keseharian yang terekspresi oleh tokoh perempuan. Baik itu sebagai makhluk individu yang mencakup aspek fisik dan psikologisnya, maupun citra wanita dalam aspek sosial (Sugihastuti, 2000: 7). Citra perempuan dapat dilihat melalui peran yang dimainkan perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila hal tersebut terdapat dalam karya sastra, khususnya dalam bentuk prosa, maka citra perempuan dapat dilihat dari kehidupan tokoh utama perempuan dan juga melalui tokoh-tokoh lain yang terlibat dalam kehidupan tokoh perempuan yang ditampilkan dalam karya sastra tersebut. Banyak karya sastra khususnya novel yang menceritakan tentang tokoh perempuan, salah satunya adalah novel Tragedi Gadis Parijs van Java. Novel ini menceritakan tentang tokoh perempuan yang memiliki citra pejuang dalam menghadapi tragedi-tragedi yang mengancam kehidupannya. Tokoh utama dalam novel ini bernama Laura Hessel yang merupakan keturunan Belanda. Laura Hessel berjuang dalam menjalani hidupnya di masa penjajahan.
Novel ini sangat menarik karena menceritakan tentang kehidupan seorang tokoh utama perempuan berdarah Belanda yang hidup di Bandung pada masa penjajahan, dan Novel ini sangat menarik karena menceritakan tentang kehidupan seorang tokoh utama perempuan berdarah Belanda yang hidup di Bandung pada masa penjajahan, dan
Penelitian mengenai citra perempuan pernah diteliti sebelumnya oleh Sarti (2015) dengan judul citra wanita dalam novel Juragan Keadilan Karya Pipiet Senja. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa citra wanita dalam novel Juragan Keadilan terdiri atas citra fisik dan citra nonfisik. Citra fisik meliputi perempuan cantik, postur tubuh perempuan, dan penampilan perempuan. citra nonfisik meliputi citra wanita yang pemberani, citra wanita yang soleha, citra wanita yang tegas, citra wanita yang tegar, dan citra wanita yang mulia. La Dupu (2014) dengan judul citra tokoh pejabat dalam cerpen Tepuk Tangan dan Sumpah Jabatan Karya Lukman Ali. Hasil penelitian tersebut menjelaskan tentang citra buruk tokoh pejabat dalam birokrasi pemerintahan Negara RI sejak masa pemerintahan orde baru sampai sekarang. Citra buruk tokoh pejabat itu meliputi (a) sikap dan perilaku tokoh pejabat yang menempatkan jabatan sebagai prestise, (b) komersialisasi jabatan, (c) kebiasaan latah-latahan dan kecapan, (d) memperkaya diri dengan melanggar sumpah jabatan.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti bermaksud menelaah citra perempuan dalam novel Tragedi Gadis Parijs van Java karya Ganu van Dort. Novel Tragedi Gadis Parijs van Java dapat pula dijadikan pembelajaran sastra pada jenjang pendidikan sekolah menengah atas (SMA) kelas XI semester II dengan kompetensi dasar mengungkapkan hal-hal yang menarik yang dapat diteladani dari tokoh, dengan indikator siswa mampu mengungkapkan hal-hal menarik tentang tokoh dalam novel yang dibaca dan mampu menemukan hal-hal yang bisa diteladani dari tokoh tersebut.
Metode dan Teknik Penelitian
Penelitian ini tergolong dalam penelitian kepustakaan, karena penelitian ini didukung oleh referensi berupa buku-buku teks yang berhubungan dengan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Metode deskriptif merupakan metode yang memberikan gambaran yang utuh berdasarkan data yang terdapat dalam novel Tragedi Gadis parijs van Java karya Ganu van Dort Dikatakan kualitatif karena peneliti ini menjelaskan konsep-konsep yang berkaitan satu sama lain dengan menggunakan kata-kata atau kalimat yang berpedoman pada teori sastra yang relevan.
Data dalam penelitian ini adalah data tertulis berupa teks novel yang menyangkut tentang citra perempuan dalam novel Tragedi Gadis Parijs van Java karya Ganu van Dort, terutama yang berhubungan dengan pandangan feminisme menurut Djajanegara, yaitu feminisme ideologis, di mana yang menjadi fokus penelitian adalah citra perempuan.
Data dalam penelitian ini bersumber dari novel Tragedi Gadis Parijs van Java Karya Ganu van Dort yang diterbitkan oleh penerbit Endelweiss, tahun 2012 dengan jumlah Halaman 398.
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini teknik baca dan catat. Teknik baca yaitu membaca novel Tragedi gadis Parijs van Java Karya Ganu van Dort secara cermat dan berulang-ulang sehingga peneliti mampu memahami seluruh isi novel yang menjadi objek penelitian ini. Teknik catat yaitu mencatat data-data yang diperoleh dari hasil bacaan novel Tragedi Gadis Parijs van Java Karya Ganu van Dort.
Untuk menguji keabsahan data, peneliti menggunakan trianggulasi. Teknik triangulasi yang dapat digunakan menurut Patton (dalam Sutopo, 2006: 92) meliputi: a) triangulasi data; b) triangulasi peneliti; c) triangulasi metodologis; d) triangulasi teoretis. Tianggulasi yang digunakan peneliti dalam penelitian ini yaitu triangulasi teoretis. Triangulasi jenis ini dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji (Patton dalam Sutopo, 2006: 98). Oleh karena itu, dalam melakukan jenis triangulasi ini, peneliti harus memahami teori- teori yang digunakan dan keterkaitannya dengan permasalahan yang diteliti sehingga mampu menghasilkan simpulan yang mantap.
Data dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan Feminisme. Analisis data dilakukan dengan cara mendeskripsikan citra perempuan dalam novel Tragedi Gadis Parijs van Java Karya Ganu van Dort melalui tiga kegiatan yaitu kegiatan kategorisasi, tabulasi, dan inferensi. Kategorisasi digunakan untuk mengelompokkan data berdasarkan kategori yang telah ditetapkan. Tabulasi digunakan untuk merangkum keseluruhan data dalam bentuk tabel. Inferensi digunakan untuk menginterpretasikan dan menyimpulkan hasil penelitian sesuai dengan permasalahan penelitian.
Hasil dan Pembahasan
Sastra berspektif feminisme dikenal dengan kajian sastra yang melibatkan perempuan, baik sebagai pembaca maupun sebagai penulis. Dalam penelitian ini melibatkan perempuan sebagai pembaca. Sastra feminis aliran perempuan sebagai pembaca (women as reader) memfokuskan pada kajian citra dan stereotipe perempuan dalam sastra, pengabaian dan kesalahpahaman tentang perempuan dalam kritik sebelumnya, dan celah-celah dalam sejarah sastra yang dibentuk oleh laki-laki. Showalterdalam wiyatmi (2012: 25). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Djajanegara (2000: 28-39) mengenai feminisme ideologis yaitu kritik sastra feminis yang melibatkan perempuan, khususnya kaum feminis sebagai pembaca. Adapun yang menjadi pusat perhatian pembaca perempuan dalam penelitiannya adalah citra dan stereotipe perempuan dalam karya sastra. Maka yang menjadi hasil dalam penelitian novel Tragedi Gadis Parijs van Java berhubungan dengan citra perempuan.
Citra perempuan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu citra fisik, psikis, dan sosial perempuan Si tokoh utama yang bernama Laura Hessel yang pada akhirnya berganti nama menjadi Fatimah setelah Ia memeluk agama Islam.
Gambaran Umum Novel
Novel Tragedi Gadis Parijs van Java Karya Ganu van Dort menceritakan tentang kisah seorang tokoh utama yang bernama Laura Hessel yang lahir di Bandung pada tanggal 17 Februari 1920. Ia merupakan gadis keturunan Belanda. Ayahnya bernama Jansens Kloosmayer dan Ibunya bernama Mien Getrudes Kloosmayer. Laura Memiliki wajah yang cantik. Kecantikannya merupakan warisan gen dari orangtuanya. Ayahnya yang ganteng keturunan Belanda-Prancis dan ibunya yang cantik keturunan Belanda-Jerman. Ayah Laura merupakan seorang dokter. Karena kecantikannya, Laura mendapat julukan dari Sang bibi yaitu “ Si Wajah Berlian”. Wanita pemilik wajah berlian merupakann lambang tradisional khas wanita Eropa. Laura bersekolah di HBS. HBS merupakan sekolah menengah atas untuk anak-anak Belanda, tapi anak pribumi bisa juga diterima di sekolah tersebut jika menunjukkan akta kelahiran keturunan ningrat atau ayahnya pegawai tinggi di kantor-kantor milik pemerintahan Belanda dengan menunjukkan bukti berupa kartu yang dinamakan Gelijkseterden yang artinya status kewarganegaraan pemegang kartu itu disamakan dengan orang Belanda atau Eropa.
Bandoeng de mooiste stad van java, “ Bandung kota terindah di Pulau Jawa”. Tapi tidak untuk Laura Hessel, Bandung bagaikan neraka untuknya. Kekerasan dan kepiluan selalu menguntit dirinya. Saat laura sudah menduduki jenjang tingkat akhir di HBS, laura mengalami peristiwa yang membuat dirinya merasakan duka yang sangat berat. Peristiwa itu adlah pembunuhan kedua orangtuanya. Akibat peristiwa tersebut, Laura menjadi sangat syok, hingga membuatnya hampir putus asa dan tidak memiliki semangat hidup. Namun dengan banyaknya dorongan semangat dari keluarganya terutama dari sang bibi yang bernama Josephine, semangat Laura bisa bangkit kembali. dan Ia kembali melanjutkan sekolah.
Kejadian pilu yang di alami Laura tidak hanya itu, saat merayakan kelulusannya di HBS, Laura juga mengalami kejadian yang cukup membuatnya trauma dan takut yaitu sang kekasih yang bernama Jantje memaksanya untuk melakukan hubungan intim. Ia memaksa Laura dengan kasar. Laura menolak keinginan kekasihnya. Ia berlari berusaha mencari pertolongan. Ia ditolong oleh seorang pemuda bernama Djadja. Djadja adalah seorang pemuda pribumi yang merupakan teman sekolah Laura di HBS. Djadja sangat pandai beladiri. Hal tersebut membuat Laura menjadi kagum kepada Djadja. Sejak kematian kedua orangtuanya Laura menjadi sangat waspada jika Ia berada di luar rumah. Hal itulah yang membuat Laura meminta kepada Djadja untuk menjadi pengawalnya selama Ia masih berada di Bandung. Hal itu dilakukan Laura karena Ia merasa bahwa selama di Bandung, dia selalu di ikuti oleh orang asing.
Saat Laura dan Djadja sedang mengemudi mobil, terjadi lagi peristiwa yang mengancam nyawa Laura. Sebuah mobil sedan hitam membayangi terus laju mobil yang dikemudikan oleh Laura. Laura menjerit kaget ketika tiba-tiba saja mobil itu memepet mobil mereka yang hendak berbelok ke pinggir jembatan. Pengemudi mobil sedan hitam dengan gesit melompat dari sedannya, dan langsung menuju kea rah Laura yang masih syok setelah hampir saja kendaraannya bergesek dengan mobil sedan hitam itu. Pengemudi mobil sedan itu adalah seorang laki-laki memakai topeng dan membawa golok. Golok tersebut ditempelkan pada leher Laura. Tubuh Laura seketika menggigil ketakutan. Djadja mencoba menolong Laura dengan mengeluarkan jurus beladirinya. Lelaki bertopeng itu kini telah kehilangan goloknya. Namun ia masih mencengkram Laura dan meloncat ke bawah sungai sambil menyeret Laura. Djadja kemudian ikut terjun ke dalam sungai untuk menolong Laura. Beruntung Djadja berhasil menemukan Laura.
Setelah kejadian itu, Laura memutuskan untuk berpidah ke Batavia untuk kuliah di Geneeskundige Hooge School (Sekolah Tinggi Kedokteran). Ia mengambil jurusan kedokteran. Bulan Februari 1938, Laura resmi menjadi Mahasiswi kedokteran di Geneeskundige Hooge School. Sedangkan Djajda melanjutkan sekolahnya dengan berkuliah di Ksatriaan Institut. Pada bulan Januari tahun 1941, Laura telah memiliki gelar dokter. Sedangkan Djadja bekerja di kantor De Vrije Pers. Djadja banyak mengkritik tentang pemerintahan Hindia Belanda.
Setelah menyelesaikan kuliahnya, Laura pergi berlibur ke Bandung untuk mengunjungi Paman, Bibi, dan saudara-saudaranya. Ia merasa berutang budi pada mereka. Kereta api yang membawa laura dari Batavia tiba pkl.11.30. Di luar stasiun, Ia mencari mobil sewaan. Sebuah sedan De Soto menghampirinya. Sedan itu meluncur meninggalkan pelataran stasiun. ketika De Soto meninggalkan pelataran stasiun, sebuah sedan Buick hitam mengikuti mobil sewaan yang ditumpangi Laura. Laura curiga ketika melihat sebuah mobil sedang mengikuti mobilnya. Ia mulai cemas, begitu menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, ia merasa jiwanya terancam lagi. Untuk itu Ia segera menghubungi Djadja. Djadja kemudian mengatur rencana untuk menjebak si penguntit. Rencana Djadja berhasil. Ia berhasil menjebak si penguntit.
Setelah beberapa peristiwa yang mengancam nyawa Laura, Ia semakin takut dan tidak ingin berpisah dengan Djadja. Djadja kemudian mengajak Laura ke rumah orangtuanya di Wanajasa. Laura disambut Hangat oleh keluarga Djadja. Tujuan Djadja mengajak Laura ke rumahnya adalah untuk memperkenalkan kekasihnya itu kepada orangtuanya. Namun djadja belum bisa menikahi Laura karena mereka berbeda keyakinan. Djadja meninggalkan Laura di Wanajasa dan Ia kembali ke Bandung. Selama di Wanajasa ternyata Laura belajar tentang Agama Islam. Kini Ia memutuskan untuk memeluk agama Islam. Nama Laura berubah mnjadi Fatimah. Setelah memeluk agama Islam, Laura (Fatimah) menikah.
Setelah menikah, kehidupan Laura (Fatimah) masih tetap diselimuti kekhawatiran. Ia khawatir akan nasib suaminya yang di asingkan ke Suriname akibat tulisan-tulisannya yang mengkritik pemerintahan Hindia Belanda. Apa yang dikhawatirkan oleh Laura menjadi kenyataan. Suaminya dikabarkan tewas pada saat kapal yang mengangkut suaminya dan para tawanan politik lainnya telah dibom oleh bangsa Jepang yang hendak ingin menguasai Indonesia. Hati Laura kembali diselimuti kesedihan. Setelah kehilangan kedua orangtuanya, kini ia kehilangan suaminya. Kedamaian seolah tak pernah singgah pada dokter Laura (Fatimah). Sejak periode Hindia Belanda, zaman keganasan tentara Jepang, sampai masa peperangan merebut kemerdekaan Indonesia.semua itu gara-gara kode formula MAPKK. Formula rahasia itu ciptaan ayah Fatimah, Profesor Jansens Kloosmayer. Unit 731, bagian dari misi rahasia tentara Jepang dan Intelijen militer dari negeri fasis lainnya, pada masa Perang Dunia II, mengincar formula itu. Dan seorang agen Belanda pun, berupaya mati-matian merebut formula itu, untuk menjualnya pada spion asing. Agen Belanda itu ternyata adalah paman Fatimah sendiri yang bernama Hansens yang merupakan saudara dari ayahnya.
Alur dan Pengaluran (Sekuen)
Alur merupakan rangkaian rentetan peristiwa. Rangkaian peristiwa tersebut berusaha memecahkan konflik yang terdapat dalam sebuah cerita. Analisis alur dianggap perlu dilakukan untuk mengetahui satuan urutan cerita (sekuen) sekaligus mengklasifikasi dan mengidentifikasinya, sehingga dapat diperoleh tentang jalinan peristiwa yang diceritakan dalam novel secara baik. Berikut ini disajikan peristiwa yang diurut berdasarkan sekuen:
1. Di sebuah Bar Vogel Pool, Seorang pria keturunan Belanda dan seorang pria pribumi berbicara mengenai siasat jahat.
2. Di rumah Laura, Perayaan pesta keberhasilan ayah Laura yang diangkat menjadi guru besar di Geneeskundige Hooge School.
3. Terbunuhnya orang tua Laura.
4. Laura merasakan duka yang dalam atas kematian kedua orangtuanya.
5. Laura tidak masuk sekolah.
6. Laura diajak tinggal bersama bibinya yang bernama Josephine Meelhuysen dan pamannya yang bernama Hansens Roosmale.
7. Josephine, bibi Laura mencoba memulihkan batin Laura dengan memberikan nasehat-nasehat kehidupan.
8. Laura mendengarkan nasehat dari bibinya.
9. Batin Laura mulai pulih.
10. Laura kembali bersekolah di HBS.
11. Laura dinyatakan Lulus dari jenjang sekolah menengah (HBS).
12. Laura disukai oleh teman sekolahnya bernama Jantje.
13. Laura diajak kencan oleh Jantje mengelilingi kota Bandung.
14. Jantje ingin melakukan hubungan intim dengan Laura.
15. Laura memberontak dan menendang pintu mobil Jantje lalu Laura kabur menjauhi Jantje.
16. Laura bertemu teman sekelasnya bernama Djadja
17. Djadja menolong Laura dari kejaran Jantje.
18. Laura dan Djadja menjadi dekat.
19. Laura meminta pertolongan kepada djadja untuk menjadi pengawalnya selama masih berada di Bandung.
20. Laura bercerita kepada djadja mengenai dirinya yang selalu dibuntuti oleh seseorang.
21. Djadja menjadi pengawal Laura.
22. Laura dan Djadja dimata-matai oleh Madhapi.
23. Madhapi menyerempet mobil yang ditumpangi oleh Laura dan Djadja.
24. Madhapi meloncat ke sungai dengan menyeret Laura.
25. Djadja ikut lompat ke sungai, karena ingin menolong Laura.
26. Laura terselamatkan.
27. Laura memutuskan untuk melanjutkan studinya dengan kuliah jurusan kedokteran di Geneeskundige Hooge.
28. Laura Lulus dari Geneeskundige Hooge.
29. Laura diajak oleh Djadja untuk ke Wanajasa.
30. Djadja memperkenalkan Laura kepada keluarganya.
31. Laura belajar tentang Islam.
32. Laura memeluk agama islam, dan namanya berubah menjadi Fatimah.
33. Laura menikah dengan Djadja.
34. Djadja mengkritik pemerintahan Hindia Belanda, dan tulisannya diterbitkan di surat kabar.
35. Djadja menjadi buronan pemerintah Belanda yang berada di Bandung.
36. Djadja berhasil ditangkap oleh tentara Belanda.
37. Djadja dikenai hukuman yaitu diasingkan ke Suriname.
38. Laura hidup terpisah dengan Suaminya.
39. Laura melanjutkan hidupnya dengan bekerja sebagai pembawa acara kesehatan Doktersurtje.
40. Belanda berhasil ditaklukkan oleh Jepang. Jepang mulai menduduki Indonesia.
41. Laura disekap oleh tentara Jepang.
42. Laura hendak dijadikan budak seks oleh seorang tentara jepang bernama Akira.
43. Laura berhasil diselamatkan oleh seorang Jenderal Jepang bernama Suzuki.
44. Suzuki ingin menikahi Laura.
45. Laura menikah dengan Suzuki untuk menyelamatkan dirinya dari perbuatan jahat para prajurit Jepang.
46. Laura hendak dibawa oleh Suzuki ke Jepang.
47. Laura melarikan diri dari Suzuki dan memilih untuk tetap berada di Indonesia dan membantu pejuang Indonesia dalam merebut kemerdekaan Indonesia.
48. Laura bertemu kembali dengan suaminya (Djadja) setelah sekian lama terpisah.
49. Laura dan Djadja memutuskan untuk makan siang bersama.
50. Djadja mati tertembak oleh Agen Belanda.
51. Laura kembali ke Negara asalnya yaitu Belanda.
Citra Perempuan dalam Novel Tragedi Gadis Parijs van Java Karya Ganu van Dort
Penelitian ini akan menganalisis tentang citra perempuan dalam Novel Tragedi Gadis Parijs van Java Kaya Ganu van Dort. Citra perempuan adalah semua wujud gambaran mental spiritual dan tingkah laku keseharian yang terekspresi oleh perempuan dalam berbagai aspeknya yaitu aspek fisik dan psikis sebagai citra diri perempuan serta Penelitian ini akan menganalisis tentang citra perempuan dalam Novel Tragedi Gadis Parijs van Java Kaya Ganu van Dort. Citra perempuan adalah semua wujud gambaran mental spiritual dan tingkah laku keseharian yang terekspresi oleh perempuan dalam berbagai aspeknya yaitu aspek fisik dan psikis sebagai citra diri perempuan serta
Citra Perempuan Ditinjau dari Segi Fisik
Citra perempuan ditinjau dari segi fisik dapat berupa penggambaran fisik tokoh oleh pengarang, berupa jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri muka, dan sebagainya yang berhubungan dengan fisik tokoh. Penggambaran citra fisik tokoh Laura Hessel oleh pengarang sangat jelas tergambar dalam kutipan-kutipan novel. Sugihastuti (2000: 7) menjelaskan bahwa wujud fisik secara lahiriah meliputi kecantikan, postur tubuh, penampilan, dan sebagainya. Selain penggambaran oleh pengarang, citra fisik tokoh juga diungkapkan pengarang melalui tokoh-tokoh yang berperan dalam novel.
Perempuan Cantik
Citra perempuan cantik melekat pada diri tokoh yang bernama Laura Hessel. Hal itu sesuai dengan penggambaran tokoh yang dilakukan oleh pengarang yang dilihat oleh kutipan berikut:
“Nama lengkapnya Laura Hessels Getrude Kloosmayer. Gadis ini sungguh beruntung. Ia mewarisi kecantikan, paduan dari dua Gen, Ayahnya yang ganteng berdarah campuran Belanda-Prancis dan ibunya yang cantik keturunan Belanda-
Jerman”. (Dort: 2012: 31)
Berdasarkan kutipan di atas, pengarang menggambarkan tokoh Laura Hessels sebagai perempuan yang memiliki citra cantik. Kecantikan yang dimiliki oleh Laura merupakan turunan dari gen kedua orangtuanya. Penggambaran citra fisik Laura juga ditandai pada kutipan berikut:
“Tidak seperti gadis Belanda pada umumnya yang memiliki hidung besar, hidung Laura ideal, mancungnya be rukuran tipis”. (Dort, 2012: 31) Berdasarkan kutipan di atas, penggambaran fisik tokoh sangat jelas dikemukakan
oleh pengarang, bahwa Laura Hessel memiliki ukuran hidung yang ideal. Tidak seperti gadis Belanda pada umumnya yang memiliki ukuran hidung yang besar. Selain bentuk hidung, pengarang juga menggambarkan fisik Laura melalui warna rambutnya dan warna bola mata. Hal itu terbukti dalam kutipan berikut:
“Hup..! sekali jangkau, rambut pirang itu berhasil digenggamnya. Laura tersentak, jeritannya tercekat di kerongkongan . . .” (Dort, 2012: 35) “Bola mata gadis cantik yang biru muda itu menatap pada si bajingan, seakan meratap minta dikasihani” (Dort, 2012: 36)
Berdasarkan kutipan di atas, pengarang menggambarkan fisik Laura yang mempunyai rambut pirang dan memiliki bola mata yang berwarna biru muda. Kecantikan Laura dalam novel Tragedi Gadis Parijs Van Java digambarkan oleh pengarang melalui pernyataan-pernyataan tokoh lain yang terdapat dalam novel tersebut. Salah satu tokoh yang mengungkapkan kecantikan Laura adalah Josephine.
Laura Hessel digambarkan sebagai tokoh yang memiliki bentuk wajah yang cantik seperti berlian sehingga Laura dijuluki „si wajah berlian‟. Sebagaimana terdapat dalam kutipan berikut ini:
“Laura memiliki bentuk wajah seperti „berlian‟. Menurut Josephine, bentuk wajah keponakannya yang cantik itu seperti pola bentuk berlian atau berbentuk “Laura memiliki bentuk wajah seperti „berlian‟. Menurut Josephine, bentuk wajah keponakannya yang cantik itu seperti pola bentuk berlian atau berbentuk
Berdasarkan kutipan di atas, penggambaran citra fisik Laura Hessel dikemukakan oleh tokoh Josephine. Josephine merupakan bibi dari Laura yang pandai membaca karaktek dan nasib seseorang berdasarkan bentuk wajah. Laura digambarkan sebagai sosok yang memiliki wajah cantik seperti berlian. Wajah berlian juga merupakan lambang tradisional khas wanita Eropa. Hal itu dilihat dalam kutipan berikut ini:
“Wanita pemilik „Wajah Berlian‟, lambang tradisional khas wanita Eropa, Laura. Dalam darahmu mengalir beberapa gen ras Eropa, Belanda, Jerman, dan Prancis,” jelas bibinya waktu itu. (Dort, 2012: 53)
Berdasarkan kutipan di atas, Laura dijuluki sebagai wanita pemilik wajah berlian yang merupakan lambang tradisional khas wanita Eropa, karena Laura merupakan turunan asli dari bangsa Eropa. Pada diri Laura mengalir beberapa gen ras Eropa, Belanda, Jerman, Dan Prancis.
Selain melalui pernyataan Josephine, citra Laura sebagai seorang perempuan cantik juga diungkapkan oleh tokoh Madhapi. Hal itu ditandai dalam kutipan berikut: “Hmm… kalung imitasi yang selalu dikenakan si cantik itu rupanya dipercaya buat keberuntungannya. Ya… seperti akar bahar dan batu cincinku ini. Baiklah, kali ini kau tidak akan beruntung, Nona Laura!” (Dort, 2012: 182)
Selain dari Madhapi, kecantikan Laura juga diakui oleh tokoh yang bernama Djadja. Hal itu di tandai dalam kutipan berikut: “Satu-satunya yang berputar-putar dalam benak djaja adalah laura, yang diam- diam ia kagumi dan dikatakan pada doedoeng, gadis belanda itu cantik laksana dewi venus” (dort, 2012: 145) Berdasarkan kutipan di atas, kecantikan Laura juga diakui oleh Djadja. Djadja
ternyata diam-diam mengagumi kecantikan Laura. Karena kecantikan yang dimiliki oleh Laura, Djadja mengibaratkan kecantikan Laura ibarat Dewi Venus.
Berdasarkan beberapa kutipan di atas, disimpulkan bahwa citra Laura Hessel ditinjau dari segi fisik, Laura Hessel digambarkan sebagai sosok perempuan yang memiliki fisik aura wajah yang cantik, ia mendapat warisan gen dari kedua orang tuanya. Dia mewarisi kecantikan dari gen ayah dan ibunya yang merupakan garis keturunan Eropa, Belanda, jerman, dan Prancis. Sehingga ia mendapat julukan yang diberikan oleh bibinya yang bernama Josephine dengan sebutan „Si Wajah Berlian‟. Citra fisik Laura memang digambarkan secara jelas oleh pengarang. Baik dari pengarang sendiri maupun melalui tokoh-tokoh yang berperan dalam novel Tragedi Gadis Parijs Van Java. Citra fisik Laura yang tergambarkan dalam novel tersebut berupa bentuk wajah, warna rambut, dan warna bola mata.
Citra Perempuan Ditinjau dari segi psikis
Citra perempuan ditinjau dari segi psikis yaitu gambaran tentang perempuan yang dilihat dari segi psikologisnya atau kejiwaannya.
Perempuan yang Mengalami Beban Batin
Citra perempuan ditinjau dari segi psikis digambarkan pengarang melalui tokoh utama Laura Hessel. Laura digambarkan sebagai sosok perempuan yang mengalami Beban batin. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa peristiwa yang membuat ia Citra perempuan ditinjau dari segi psikis digambarkan pengarang melalui tokoh utama Laura Hessel. Laura digambarkan sebagai sosok perempuan yang mengalami Beban batin. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa peristiwa yang membuat ia
“Kami harap Nona bisa tabah, kami berjanji akan menangkap hidup-hidup keparat itu. Laura hanya bisa menganggukan kepala, ia tampak sedih sekali dan
sangat tertekan”. (Dort, 2012: 41)
Berdasarkan kutipan di atas, pengarang mencoba menggambarkan citra psikis seorang tokoh bernama Laura Hessel, dimana dia sangat terpukul saat kedua orangtuanya dibunuh. Dia menjadi gadis yang lebih sering murung dan sedih ketika mengingat kedua orangtuanya. Hal tersebut sangat berbeda dengan karakter Laura yang sebelumnya. Sebelum kedua Orangtuanya meninggal karena dibunuh, Laura merupakan gadis pemilik wajah berlian yang memiliki karakter ceria. Hal itu dilihat dalam kutipan berikut:
“Tapi malam itu tak mampu membuat hati Laura mencair. Ia masih berpenampilan murung, tatapan matanya kosong. Sungguh bertolak belakang dengan karakter aslinya yang menurut Josephine, pemilik „wajah berlian‟ itu berbinar dan ceria. (Dort, 2012: 46)
Berdasarkan kutipan di atas, awalnya Laura merupakan sosok yang ceria, namun setelah kematian kedua orangtuanya, Laura menjadi gadis yang sering murung bahkan terkadang tatapan matanya kosong. Hal itu menandakan bahwa Laura mengalami penderitaan batin yang sangat mendalam. Ia bahkan hampir tak lagi memiliki gairah hidup seperti sebelum orangtuanya meninggal. Penderitaan batin yang dialami oleh Laura tidak berhenti sampai di situ saja, setelah kedua orangtuanya meninggal, ia merasa bahwa ada orang yang selalu menguntitnya. Hal tersebut dilihat dalam kutipan berikut:
“Aku takut, Dja. Aku merasa seperti selalu ada yang mengutitku” (Dort, 2012: 123) “. . . sebuah sedan Buick hitam mengikuti mobil sewaan yang ditumpangi oleh Laura. Laura curiga ketika melihat kaca spion sebuah Buick sedang menguntit mobilnya” (Dort, 2012: 181)
berdasarkan kutipan di atas, dijelaskan bahwa Laura mengalami beban batin. Ia merasa selalu ada orang yang menguntitnya. Hal itu membuat ia menjadi takut. Ia takut jika orang yang menguntitnya adalah orang yang membunuh orangtuanya. Ia selalu merasa bahwa jiwanya terancam. Sejak tragedi pembunuhan orangtuanya, Laura menjadi sosok perempuan yang fobia. Ia menjadi takut jika akan bepergian keluar rumah seorang diri.
Beban batin yang diderita oleh Laura tidak berhenti. Setelah menikah pun, Laura masih saja mengalami beban batin. Ia harus hidup terpisah dengan suaminya, karena suaminya harus diasingkan ke Suriname akibat tulisan-tulisannya yang mengkritiki pemerintahan Hindia-Belanda. Hal tersebut ditandai dalam kutipan berikut:
“Fatimah tak kuasa membendung air mata, dipeluknya suaminya itu erat-erat. Hukuman yang amat kejam sekali. Suriname sebuah negeri kecil jajahan Belanda di kawasan Karibia , Amerika Selatan”. (Dort, 2012: 239)
Berdasarkan kutipan di atas, Fatimah tak kuasa menahan air matanya ketika suaminya dinyatakan bersalah dalam persidangan. Suaminya dituduh menyebarkan pemberontakan melalui tulisan-tulisannya, hingga akhirnya suaminya harus menjalani hukuman dengan diasingkan ke Suriname. Laura sangat menderita batin. Laura harus hidup terpisah dengan suaminya. Kedamaian seolah tak pernah singgah di kehidupan
Laura. Ketika suami Laura hendak diberangkatkan ke suriname, Laura mendapat kabar bahwa kapal yang membawa para tahanan ke Suriname, telah di bom oleh tentara Jepang. Hal itu membuat batin Laura menjadi sangat terpukul. Hal itu ditandai dalam kutipan berikut:
“Saat itu juga tiba-tiba pandangan Fatimah berkunang-kunang, studio dilihatnya terasa bergerak bagaikan komedi putar, ia melihat Van Couperus dan Jantje yang seperti terbalik, dan sejenak memandang padanya dengan raut wajah iba. Gravitasi seperti menarik cepat tubuhnya ke lantai. Kini gelap total dan ia tak ingat apa-apa l agi”.
Berdasarkan kutipan di atas, dijelaskan bahwa Fatimah mengalami beban batin yang sangat mendalam yang membuat dirinya pingsan. Tubuhnya seketika jatuh ke lantai pada saat mendengar kabar tentang kapal yang memuat suaminya dan para tahanan politik lainnya di Bom oleh Jepang.
Berdasarkan beberapa kutipan di atas, disimpulkan bahwa Laura digambarkan sebagai sosok perempuan yang mengalami beban batin. Beban batin pertama yang dialami oleh laura adalah saat kedua orangtuanya meninggal karena terbunuh. Kemudian, setelah orangtuanya meninggal, Laura selalu merasa bahwa ada seseorang yang selalu menguntitnya. Setelah menikahpun Laura masih tetap mengalami beban batin karena harus hidup terpisah dengan suaminya. Ketiga hal itu cukup memberikan gambaran bahwa Laura mengalami beban batin yang sangat berat.
Perempuan Tabah
Citra sebagai perempuan tabah melekat pada diri Laura. Banyaknya tragedi- tragedi yang terjadi pada diri Laura, membuat ia menjadi sosok perempuan yang tabah dalam menjalani kehidupannya. Saat kedua orangtuanya meninggal, Laura mengalami penderitaan batin. Ia bahkan nyaris tidak memiliki semangat untuk hidup lagi. Namun seiring bergulirnya waktu dan banyaknya dukungan yang didapatkan oleh Laura dari keluarganya terutama dari sang bibi, batin Laura kembali hidup dan ia mulai bisa tersenyum kembali. hal tersebut dilihat dalam kutipan berikut:
“Mulai tampak perubahan pada raut wajah Laura. Bola matanya mulai memancarkan sinar-sinar kehidupan. Tampaknya ia sangat tertarik pada penjelasan bibinya itu. Sebuah senyum mengembang di bibir gadis anak itu” (Dort, 2012: 51) “Nah, Anakku, jika seandainya kamu tidak memulai hari ini dengan senyuman, belum terlambat untuk mencobanya pada esok hari, bukan?” (Dort: 2012: 51) “Tidak, Bu. Mengapa harus besok. Sekarang saya sudah tersenyum seperti Ibu lihat” (Dort, 2012: 52) Berdasarkan kutipan di atas menunjukan bahwa Laura Hessel digambarkan
sebagai sosok perempuan yang tabah. Ia mulai menerima kenyataan akan kematian orangtuanya. Senyum sudah kembali terpancar di bibirnya. Ia tidak mau berlarut-larut dalam rasa duka dan kesedihan, Ia juga sadar bahwa kejadian yang menimpah keluarganya bukanlah akhir dari hidupnya. Ia harus tetap melanjutkan hidupnya walaupun tanpa kedua orangtuanya. Ia masih harus meneruskan sekolahnya untuk dapat mencapai cita-cita yang diinginkannya yaitu menjadi seorang dokter.
Banyaknya tragedi yang terjadi pada diri Laura, tidak membuat Ia menjadi putus asa. Saat suaminya dinyatakan bersalah dan akan diasingkan di Suriname, Ia tetap melanjutkan hidup dengan tetap bekerja sebagai pembawa acara di acara Doktersurtje. Hal itu terbukti dalam kutipan berikut:
“Fatimah masih ada waktu setengah jam lagi, sebelum membuka acara Doktersurtje, acara kesehatan itu. Ia lalu mengisi waktu dengan membuka-buka
kamus kedokteran” (Dort, 2012: 255)
Berdasarkan kutipan diatas, ketika Laura (Fatimah) hidup terpisah dengan suaminya. Ia tetap bekerja di sebuah acara kesehatan. Hal ini membuktikan bahwa Laura merupakan sosok perempuan yang memiliki citra sebagai perempuan yang Tabah. Ia tetap melanjutkan hidupnya dengan tetap bekerja, walaupun terpisah dengan suaminya.
Berdasarkan beberapa kutipan di atas, disimpulkan bahwa citra perempuan tabah ialah perempuan yang berhasil bertahan hidup walaupun mengalami beban batin yang sangat berat.
Perempuan Setia
Selain tabah, Laura digambarkan sebagai sosok yang setia. Perempuan dikatakan setia apabila seorang perempuan memiliki pendirian yang tetap terhadap sesuatu hal. Hal ini dilihat dalam kutipan berikut:
“Kamu masih setia pada cita-citamu menjadi dokter seperti papa?” “tentu, papa!” (Dort, 2012: 30)
Berdasarkan kutipan di atas, Laura hessel digambarkan sebagai sosok perempuan yang memiliki kesetiaan dalam hal cita-citanya. Ia bercita-cita menjadi seorang dokter. Walaupun kedua orangtuanya telah meninggal, hal itu tidak membuat dirinya goyah akan cita-cita yang ingin dicapainya. Ia terus berusaha belajar agar dapat meraih cita-cita menjadi seorang dokter seperti jejak sang ayah.
Selain setia dalam hal cita-citanya, Laura juga setia dalam hal menentukan pilihan untuk hidupnya. Ia tetap memilih berjuang untuk pasukan Indonesia dibandingkan berjuang untuk pasukan NICA. Hal ini dilihat dengan kutipan berikut:
“Ketika iring-iringan melewati jejeran rumah penduduk, tiba-tiba Fatimah meloncat dari jip dan sekuat tenaga ia berlari ke arah salah satu rumah penduduk”(Dort, 2012: 324) “. . . biarkan saja dia, kita tidak bisa memaksakan suatu keyakinan. Nyonya itu memang seorang Republiken” (Dort, 2012: 325)
Berdasarkan kutipan di atas, Laura (Fatimah) digambarkan sebagai sosok yang mempunyai kesetiaan akan sesuatu hal yang telah dipilihnya sejak dulu. Ketika Ia diajak oleh pihak pasukan NICA untuk kembali ke Markas pasukan NICA di Bandung, Ia melarikan diri dan kembali bergabung dengan pasukan Indonesia. Namun saat Ia ingin bergabung dengan pasukan Indonesia, Ia tidak langsung dipercaya dan dianggap sebagai mata-mata penjajah. Ia berusaha membuktikan kepada para pejuang Indonesia bahwa Ia lebih memilih untuk berjuang membela Republik, karena Ia lahir di Indonesia, walaupun Ia bukan keturunan Indonesia.
Berdasarkan beberapa kutipan di atas, disimpulkan bahwa Fatimah merupakan sosok perempuan yang setia dalam berbagai hal. Perempuan setia merupakan perempuan yang memiliki pendirian yang tetap.
Perempuan yang Mengalami Kekerasan
Tidak selamanya memiliki wajah cantik akan dipandang positif oleh orang lain. Terkadang wajah cantik dapat membawa malapeta bagi pemiliknya. Karena kecantikannya, Laura Mengalami Kekerasan pada saat Ia disekap. Laura (Fatimah) akan Tidak selamanya memiliki wajah cantik akan dipandang positif oleh orang lain. Terkadang wajah cantik dapat membawa malapeta bagi pemiliknya. Karena kecantikannya, Laura Mengalami Kekerasan pada saat Ia disekap. Laura (Fatimah) akan
“Sersan itu mengaku terus terang kalau ia telah menyekap dokter wanita itu dan memperlakukannya sebagai Jugun Ianfu ”. “Rencananya Akira akan menjual Fatimah ke Singapura untuk dijadikan Jugun Ianfu bagi seorang Jenderal Jepang di Singapura”(Dort, 2012: 283)
Berdasarkan kutipan di atas, kecantikan yang dimiliki oleh Laura Hessel (Fatimah) menyebabkan ia diculik oleh seorang seorang sersan Akira Mitsuru. Sersan Akira Mitsuru telah menjadikan Fatimah sebagai wanita piaraan atau budak seks. Fatimah dipaksa untuk melayani nafsu birahi sersan Akira Mitsuru. Selain itu, bukan hanya dipaksa untuk melayani nafsu birahi dari sersan Akira Mitsuru saja, namun Fatimah juga akan dijual ke Singapura untuk dijadikan sebagai budak seks bagi seorang jenderal Jepang yang berada di Singapura. Jugun Ianfu merupakan istilah jepang tentang perempuan yang dipaksa untuk menjadi pemuas nafsu birahi atau pemuas kebutuhan seksual tentara jepang. Laura Hessel tidak menyangka bahwa kecantikan yang dimilikinya membuat dia mengalami hal buruk. Hal itu membuat Laura Hessel menjadi syok. Apa lagi seperti yang diketahui bahwa pada situasi perang seperti saat itu, sangat banyak terjadi pemerkosaan, penculikan, dan perdagangan seks.
Pada zaman perang, perempuan banyak mengalami kekerasan. Mereka dipaksa untuk menjadi seorang Jugun Ianfu. Jugun Ianfu merupakan seorang budak seks bagi para jenderal Jepang dan tentara penjajah. Mereka dipaksa untuk melayani nafsu birahi para tentara Jepang. Jika mereka tidak mau menuruti nafsu para tentara, maka mereka akan disiksa, bahkan akan dibunuh.