Kontrol Sipil Terhadap Militer Pasca Orde Baru di Indonesia

(1)

BAB II

SEJARAH DAN PRAKTEK HUBUNGAN SIPIL-MILITER DI MASA ORDE BARU

2.1 Lahirnya Orde Baru

Orde Baru adalah tonggak sejarah baru setelah periode pemerintah Soekarno. Diawali dengan adanya pemberontakan G 30 S/PKI yang secara cepat dapat diatasi oleh ABRI dan rakyat, kemudian diperburuk lagi dengan adanya krisis politik yang tidak menentu akibat Soekarno enggan untuk menyelesaikan kasus G 30 S/PKI, krisis ekonomi menjadi semakin parah, masyarakat menjadi gelisah dan tidak puas sehingga akhirnya terjadilah demontrasi-demontrasi mahasiswa yang mengajukan 3 tuntutan atau yang dikenal aksi Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) 10 Januari 1966, yaitu :

1. Bubarkan PKI

2. Turunkan harga, dan

3. Retool kabinet Dwikora26

ABRI sebagai kekuatan sosial politik mengeluarkan pernyataan bahwa ABRI tetap patuh dan taat pada Pimpinan Besar Revolusi/Panglima Tertinggi ABRI dan menyerukan agar memelihara kekompakan sesama ABRI dan kekompakan antara rakyat-ABRI. Hal ini dilakukan oleh ABRI mengingat adanya kekuatan-kekuatan ABRI yang terpecah-pecah dalam dua kelompok, yaitu :


(2)

1. Pendukung gerakan atau aksi mahasiswa yang menuntut dibubarkannya PKI yang antara lain adalah RPKAD (Resimen Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat) dan Kostrad (Komando Strategis dan Cadangan TNI Angkatan Darat).

2. Kelompok yang memebela barisan Soekarno seperti KKO AL dibawah Mayjen

KKO Hartono dan Brimob-Polri.27

Untuk mengatasi krisis nasional yang semakin parah tersebut, maka pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden Soekarno memerintakan kepada Menteri/PANGDAM Letjen Soeharto untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi mengambil segala tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan, ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi serta menjamin keselamatan pribadi dan wibawa kepemimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima angkata lainnya dengan sebaik-baiknya. Surat Perintah yang dikeluarkan pada tanggal 11 Maret 1966 itulah yang dikenal dengan ‘’Supersemar’’ (Surat Perintah Sebelas Maret) kemudian dianggap sebagai titik awal Orde Baru.

Dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret ini, secara politik dimanfaatkan oleh Lenjen Soeharto untuk tidak ada alasan lagi untuk membubarkan PKI karena

27

Sayidiman Suryohardiprojo, Kepemimpinan ABRI dalam Sejarah dan Perjuangannya, Intermasa,1996, hal 220-222.


(3)

dianggap sebagai sumber ketidakamanan serta ketidaktentraman masyarakat. Disinilah peranan ABRI semakin besar dalam perpolitikan di Indonesia terutama karena Letjen Soeharto menjadi pemegang Supersemar.

Sementara itu, dorongan kalangan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia semakin keras untuk mendesak pimpinan TNI AD untuk mengambil langkah-langkah pergantian kepemimpinan nasional. Namun Letjen Soeharto berpedoman pada ketentuan bahwa segala sesuatu harus berdasarkan konstitusi, karena ABRI menghendaki kembali pada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Maka berdasarkan hal itu, segera dilaksanakan pelaksanaan Sidang MPRS (pada waktu itu belum ada MPR yang sebenarnya, karena sejak Indonesia kembali ke UUD 1945 belum pernah ada Pemilu, yang ada baru MPRS yang anggotanya diangkat) untuk membicarakan keadaan negara yang semakin kacau.

Dalam sidang tersebut menghasilkan beberapa ketetapan penting, diantaranya adalah ketetapan tentang pengukuhan Supersemar (Tap MPRS No.IX/1966), pembubaran PKI (Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966), pembentukan Kabinet Ampera (Tap MPRS No.XIII/MPRS/1966) pelaksanaan Pemilu dalam tempo dua tahun (Tap MPRS No.XI/MPRS/1966), koreksi politik luar negeri agar kembali pada politik


(4)

bebas-aktif yang tetap anti-imprialisme dan kolonialisme (Tap MPR

No.XII/MPRS/1966).28

2.2 Konsep dan Landasan Dwi Fungsi ABRI

Militer merupakan alat pertahanan negara sebenarnya telah mempunyai konsep yang baik dalam perannya menjaga stabilitas politik dan keamanan di Indonesia, yaitu dengan Dwi-fungsi ABRI. Dwi Fungsi ABRI adalah sebuah konsep dasar militer dalam menjalankan peran sosial politik mereka di negeri ini. Dwi Fungsi ABRI yang diketahui masyarakat luar lingkungan ABRI merupakan sebagai bentuk militerisme, intervensi militer dalam permasalahan urusan politik, campur tangan militer dalam permasalahan negara yang penting dalam menyangkut hidup orang banyak.Dwi fungsi ABRI dilihat dari capur tangan militer dan legitimasi militer untuk melakukan tindak kekerasan terhadap masyarakatnya. Yang artinya masuknya militer dalam posisi-posisi jabatan penting pemerintahan sehingga mengurangi porsi masyarakat sipil. Keadaan tersebut membuat kondisi masyarakat sipil yang cenderung stagnasi dalam proses regenerasi dan kaderisasi untuk melanjutkan tonggak pemerintahan yang baru.

Konsepsi Dwi fungsi ABRI pada dasarnya muncul sebagai bentuk konsep “Jalan Tengah” yang diusulkan oleh Jendral A.H. Nasution. Pemimpin TNI-AD pada saat itu, kepada Presiden Soekarno dalam peringatan Ulang Tahun Akademi Militer


(5)

Nasional di Magelang, Jawa Tengah pada 13 November 1958 yang memberrikan peluang bagi peranan terbatas TNI di dalam pemerintahan sipil.

Kalau melihat arti kata Dwi Fungsi dalam bahasa Sansekerta, berarti Dwi diartikan sebagai dua, secara konotasi berarti ganda. Jadi, Dwi Fungsi adalah doktrin di lingkungan militer Indonesia yang menyebutkan bahwa militer memiliki dua tugas yaitu sebagai menjaga keamanan dan keterlibatan negara dan memegang kekuasaan negara. Dengan adanya peran ganda tersebut, militer Indonesia diizinkan untuk memegang posisi di dalam pemerintahan.

Dengan adanya Dwi Fungsi ABRI tersebut maka militer mengambil jalan tengah diantara dua hal tugas ganda yang diembankan secara konsepsi diatas. Seperti ABRI tidak melibatkan dirinya kedalam politik dengan kudeta , tetapi tidak pula menjadi penonton dalam konstalasi politik. Perwira tinggi militer harus diberikan kesempatan melakukan partisipasinya dalam pemerintahan atas dasar pedoman konsepsi dasar tersebut.

Dwi Fungsi ABRI mempunyai beberapa landasan yang dapat menguatkan

perannya dalam politik. Landasan tersebut yaitu :29

1. Tap MPRS No. II/MPRS/1960 dibuat sebelum masa orde baru dan

menyebutkan :


(6)

“tentara dan polisi diikutsertakan dalam proses produksi dengan tidak tugas utama masing-masing, golongan-golongan di dalam masyarakat wajib berusaha mencapai tujuan nasional dan tak terkecuali juga tentara dan polisi turut memikul tanggung jawab mereka terhadap negara, peran dan kegiatan tentara dan polisi dibidang produksi membuat pendekatannya dengan rakyat menjadi lebih intensif dalam proses pembangunan terutama dalam industrialisasi.”

Ketetapan MPRS diatas telah memberikan peluang kepada militer untuk ikut serta dalam masalah ekonomi, produksi dan industrialisasi.itu jelas posisi dan peran yang sangat luas bagi militer, yang memerlukan tenaga dan pikiran yang tidak ringan. Tentu saja akan merugikan bagi usaha meningkatkan profesionalismenya dalam mengemban tugas diluar lingkungan militer.

2. UU No. 20 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertahan keamanan

negara. Pada pasal 26 menyebutkan :

“Angkatan Bersenjata mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sebagai kekuatan sosial.”

Dalam Undang-Undang ini tidak disebutkan “politik” tetapi hanya sosial. Namun dalam prakteknya, militer menjadi kekuatan pertahanan keamanan dan kekuatan sosial politik.


(7)

3. UU No. 20 tahun 1982 pasal 28, menyebutkan :

“Angkatan bersenjata diarahkan agar secara aktif mampu meningkatkan dan memperkokoh ketahanan nasional dengan ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai masalah kenegaraan dan pemerintahan, mengembangkan demokrasi Pancasila dan kehidupan konstitusional berdasarkan UUD1945 dalam segala kegiatan dan usaha pembangunan nasional.”

4. UU No. 2 tahun 1988 tentang prajurit ABRI. Pasal 3 ayat 2 menyebutkan :

“Prajutir ABRI bersumpah setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.”

Ini berarti tentara harus setia kepada pemerintah selama pemerintah setia dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945. Membela, melindungi dan memperjuangkan kepentingan rakyat, serta didukung oleh rakyat.

5.UU No. 2 tahun 1988 pasal 6 yang berbunyi :

“Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mengemban Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yaitu sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan dan sosial politik.”

2.3 Praktek Dwi Fungsi ABRI

Pada masa orde baru, peran militer yang begitu kuat melampaui spesifikasinya di bidang pertahanan nasional. Keterlibatan militewr di bidang politik biasanya di sebut dengan intervensi. Akan tetapi, begitu besarnya peran militer dalam politik


(8)

tidak serta merta bisa dikatakan lagi dengan intervensi dikarenakan begitu sederhananya bahasa tersebut. Namun, pada sisi lain politikus di masa orde lama dan orde baru cenderung menggunakan kekuatan militer demi terwujudnya kepentingan politik yang ada.

Salah satu perwujudan Dwi Fungsi ABRI yang paling nyata di masa orde baru adalah penugasan prajurit tentara dalam lembaga, instansi, badan atau jajaran diluar lingkungan ABRI. Alasan utamanya tentunya untuk menghempang kekuatan politik komunis di Indonesia. Tetapi, alasan tersebut berlanjut menjadi konsepsi pembanguan di masa orde baru.

Praktek yang tidak seluas dengan spesialisasi fungsi militer di atas dibenarkan dengan mengeksploitasi tafsiran sejarah, ideologi dan konstitusi. Peran yang begitu sangat dominan dikatakan selaras dengan kenyataan bahwa militer adalah tentara rakyat, dimana adanya dikotomisasi bahwa militer memiliki hubungan dan kedekatan yang sangat erat dengan rakyat.

Keadaan tersebut membuat kokohnya budaya militer dalam kehidupan sipil, melalui peran sosial dan politik. Secara struktural organisasi ABRI disusun mengikuti struktur organisasi pemerintahan sipil, dimulai dari Bintara Pembinaan Desa,atau Babinsa di Tingkat Kelurahan, Komando Rayon Militer (Koramil) di Tingkat Kecamatan, Komando Distrik Militer (Kodim) di Tingkat Kotamadya/Kabupaten,


(9)

Komando Resor Militer (Korem) di Tingkat Karesidenan, Komando Daerah Militer di Tingkat Provinsi.

Militer dijadikan alat kekuasaan oleh Soeharto yang berakibat kurangnya simpati masyarakat terhadap militer. Soeharto juga mendayagunakan peran sosial dan politik ABRI untuk mewujudkan stabilitas ekonomi dan politik dengan membentuk format politik orde baru dengan menonjolkan politik yang sentralistik di tangan eksekutif, intervensi terhadap partai politik, menjadikan Partai Golkar sebagai kekuatan di parlemen, peran ABRI dalam legislatif dan kontrol terhadap birokrasi. Dalam prakteknya untuk mengkontrol dan menjalankan status quo pemerintahan pada saat itu dilakukan beberapa tindakan yaitu :

2.3.1 ABRI dan Kelahiran Golkar

Kelahiran Golkar tidak terlepas dari peran dan dukungan dari militer sebagai reaksi atas meningkatnya kampanye PKI. Milter menggalang kekuatan poltik memalui unsur-unsur golongan fungsional (golongan yang tidak berafiliasi pada suatu partai, termasuk militer) yang kemudian disatukan dalam suatu federasi bernama Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Pembentukan Sekber Golkar pertama kali ditujukan untuk merespon PKI dan kekuatan sayap kiri lainnya, bukan menjadikan partai politik untuk mengatur negara. Hanya setelah kudeta PKI tahun 1965, Sekber Golkar secara berangsur-angsur berubah menjadi semacam partai politik. Apalagi setelah kudeta PKI 1965 dapat digagalkan oleh militer, maka militer


(10)

muncul menjadi satu-satunya kekuatan sosial dan politik yang sangat berpengaruh

dalam pemerintahan.30

Ketika orde baru muncul, Sekber Golkar menjadi pilihan pemerintah Orde Baru, karena menganggap tidak ada satu pun partai politik yang mewakili

Sebenarnya sebagai golongan fungsional (untuk membedakan dengan istilah Golongan Karya yang dikembangkan tahun 1959) organisasi ini dapat ditelusuri lebih jauh sebelum kemerdekaan. Konsep Golongan Fungsional ini sudah ada pada zaman Belanda sebgaia golongan yang duduk di volksraad yaitu semamacam parlemen pada masa itu. Setelah kemerdekaan, terutama dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), golongan fungsional ini duduk mewakili kelompok tani dan buruh. Kehadiran golongan fungsional dalam lembaga-lembaga tersebut belum sepenuhnya mencerminkan peran politik yang lebih luas.

Dalam perjuangannya, ABRI sendiri menyadari sepenuhnya bahwa terjadinya instabilitas keamanan dalam negeri yang berupa pemberontakan bersenjata di setiap daerah. Oleh karena itu, ABRI pada tahun 1958 mengambil langkah-langkah politik dengan tujuan merangkul dan membina kekuatan dalam bentuk kerjasama dalam upaya stabilitas keamanan dalam negeri. Militer juga membentuk organisasi massa untuk menghempang kekuatan PKI yang dipimpin oleh perwira militer seperti Soski, Kosngoro, MKGR dll.


(11)

kepentingan militer. Partai politik lebih mementingkan kepentingan kelolmpoknya sendiri seperti NU, Masyumi, PNI dan Parkindo. Oleh karena itu, pemerintah menjatuhkan pilihannya kepada Sekber Golkar sebagai alat untuk menjamin posisi dominasi militer di dalamnya.

Militer mulai memaikan peranan politiknya dengan memberikan dukungan dan mitra seperjuangan kepada Sekber Golkar sewaktu melawan PKI. Pada tanggal 30 Juli 1966, Jenderal Soeharto sebagai ketua presidium Kabinet memberikan pidato tertulis dalam “Pekan Latihan Sekber Golkar” dengan mengungkapkan bahwa golkar harus mempunyai misi. Sejak itulah dimulai revitalisasi Sekber Golkar yang

ditujukan untuk melegitimasi sekaligus menjamin posisi dominasi militer.31

Dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I tanggal 9-11 Desember 1965 sekber golkar masih berkutat pada masalah konsolidasi dan pembentukan pengurus baru. duduknya orang yang masih pro terhadap Soekarno menjadi hambatan terbesan organisasi ini. Sehingga pada Mukernas II orang yang pro terhadap Soekarno berhasil disingkirkan barulah militer berhasil mendominasi struktur kepengurusan yang ada. Untuk memuluskan jalan militer menggapai kekuasaan dengan sekber golkarnya maka dibuatlah ketentuan bahwa keanggotaan yang berada dilingkungan MPRS dan DPRGR haruslah orang golongan fungsional murni yang artinya tidak berafiliasi terhadap suatu partai politik manapun.


(12)

Munculnya kekuatan Golkar sebagai kekuatan baru sering dianggap sebagai kekuatan bulduzer orde baru karen dalam kaitan ini, Golkar didukung oleh tiga kekuatan dominan orde baru yaitu, ABRI sebagai kekuatan kunci untuk melakukan tekanan atas kekuatan sipil yang coba mengganggu kekuatan Golkar, monoloyalitas birokrasi yang dibangun, dan Golkar dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui formulasi yang dianggap demokrasi dengan tata cara prosedur pemilihan

umum.32

Setelah Sekber Golkar berhasil meraih kemenangan Pemilu tahun 1971, maka dipandang sudah waktunya untuk mengadakan konsolidasi lebih lanjut. Dalam hal ini, dipandang perlu untuk merubah bentuk organisasi dari federasi menjadi bentuk kesatuan, sebagai langkah awalnya dilakukanlah perubahan sekber golkar menjadi Golkar.

Sebagai kekuatan bulduzer orde baru hubungan antara Golkar, ABRI, dan pemerintah ditata sedemikian rupa sehingga semua unsur itu harus mempunyai peran dalam suatu sinergi untuk memenangkan Golkar dalam pemilihan umum. Hubungan tersebut dilakukan untuk melawan kekuatan politik yang warisan Orde Lama seperti NU, Masyumi PNI dan barisan kiri. Sinergisitas yang terbangun itu untuk menciptakan format politik dari pusat hingga daerah untuk mengusir lawan politiknya dengan harapan dapat menciptakan mayoritas tunggal.


(13)

2.3.2 Intervensi Militer dalam Partai-Partai Politik Menjelang Pemilu

pada awalnya pemimpin-pemimpin Organisasi Induk (Kino) mempunyai pandangan yang berbeda mengenai strategi menghadapi Pemilu 1971. Ada yang berpendapat bahwa masing-masing Kino berdiri sendiri-sendiri dengan tanda gambar sendiri pula dan hasilnya digabung dalam satu fraksi di badan-badan perwakilan. Ada pula Pimpinan Kino yang menginginkan agar semua Kino memasuki Pemilu dengan satu tanda gambar. Meskipun demikian, akhirnya Jenderal Soeharto sebagai Pembina Utama Sekber Golkar memutuskan agar semua Kino memasuki Pemilu dengan satu tanda gambar. Dengan demikian konsolidasi organisasi menjelang Pemilu 1971 dapat

berhasil dengan lancar.33

Disamping melakukan usaha konsolidasi internal organisasi Sekber Golkar, Jenderal Soehatro juga melakukan operasi-operasi keluar yang yang ditujukan kepada partai-partai peserta pemilu tahun 1971. Dalam rangka usaha ini, Jenderal Soeharto menugaskan Ali Moertopo untuk melakukan tugas apa yang disebut dengan penggalangan dalam konteks pengamanan Pancasila dari bahaya kekuatan extrem manapun. Sejarah mencatat bahwa operasi Ali Moertopo melalui Operasi Khusus (Opus) memaikan peran yang sangat menonjol serta begitu disegani dan ditakuti,


(14)

sekaligus dibenci karena dianggap sebagai sesuatu kekuatan yang ingin memaksakan

kehendak.34

Peranan politik Ali Moertopo didasarkan pada pengalamanya di masa lalu yaitu masa orde lama, di mana negara tidak bisa melaksanakan pembanguna di bidang ekonomi dikarenakan terlalu sibuk mengurusi masalah-masalah politik, terutama dalam perebutan kekuasaan antara paratai politik. Berdasarkan pengalaman ini, maka orde baru berusaha untuk bagaimana membangun sistem politik yang dapat stabil sehingga menunjang pembangunan ekonomi. Operasi yang dilakukan seperti

pelemahan partai politik dan di pihak lain memperkuat posisi Sekber Golkar.35

Operasi tersebut dilakukan melalui intervensi pemerintah dan militer pada rapat-rapat dan kemudian memanipulasi konvensi-konvensi yang pada gilirannya pemerintah berkesempatan mendorong pemimpin yang akomodatif dengan pemerintah. Target

utama Opsus adalah Partai nasionalis terbesar yaitu PNI.36

Campur tangan militer terhadap PNI terjadi hampir di semua wilayah yang mempunyai basis massa pendukung kuat PNI. PNI mejadi sasaran disebabkan kedekatan yang sangat erat dengan Presiden Soekarno di masa lalu. PNI mempunyai basis massa besar, khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Para pengikut PNI diperkirakan akan mendapatkan dukungan besar dari bekas-bekas PKI yang telang

34

Ikrar Nusa Bhakti, Opcit hal 132

35

Arif Yulianto, Opcit hal 267


(15)

menjadi partai terlarang. Oleh karena itu, bagi kalangan militer serta sekutunya menentang keras adanya PNI bahkan meminta untuk pemerintah melarangnya. Namun, Jenderal Soeharto berpandangan lain yaitu dengan cara tetap mempertahankan PNI untuk sementara waktu, dengan maksud menjadikannya sebagai penghubung antara pemerintah dan sebagian besar rakyat, juga sebagai

penyeimbang terhadap partai-partai islam.37

Langkah awal Soeharto tersebut dalam intervensi terhadap PNI adalah dengan mendesak PNI agar melakukan kongres. Dengan singkatnya kongres dapat dilakukan “Kongres Persatuan” tanggal 24-27 April 1966, dalam kongres tersebut pihak pemerintah melalui militernya berhasil memunculkan sosok atau pimpinan baru Osa Maliki Wangsadinata sebagai ketua umun dan Usep Ranuwidjajasebagai Sekretaris Jenderal yang sangat anti-komunis dan besebrangan dengan kubu Ali Sastromidjaja

(yang setuju tentang NASAKOM).38

Intervensi pemerintah melalui militernya untuk mendapatkan pemimpin yang sejalan dengan konsep orde baru, dibarengi juga dengan langkah-langakh untuk mengawasi partai Islam yang didirikan tahun 1968, yaitu Partai Muslimin Indonesi (Permusi). Tidaklah mengherankan jika pemerintah melalui Opusnya perlu mengintervensikan susunan personalia dalam kepengurusan partai Islam seperti

37

Ibid hal 186


(16)

Parmusi, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama guna mendapatkan kepemimpinan yang pro

terhadap pemerintah.39

Dari ketidaksiapan pemerintah tersebut mengakibatkan pemilu tidak bisa dilakukan sesuai dengan TAP MPRS No. XIII/MPRS/1966, sehingga pemerintah memperpanjangnya sampai tahun 1971. Ketakutan pemerintah Orde Baru dapat dilihat sampai bulan Oktober 1969 di mana pemerintah belum menjelaskan kepada

Berbeda dengan PNI dan Parmusi, Nahdlatul Ulama tidak merasa direndajkan oleh adanya intervensi Opus kedalam urusan-urusan partainya. Dikarenakan pemimpin militer mengubah strateginya, yaitu dengan tidak lagi intervensi atau pembersihan partai pendukung Orde Lama, tetapi lebih menekankan menggalang kerjasama seperti militer memberikan bantuan dana untuk melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan.

Pada saat menjelang Pemilu partai-partai politik antusias menanggapinya, bahkan di tingkat elite partai politik seperti NU dan PNI menghendaki pemilu lebih dipercepat sehingga menghasilkan TAP MPRS No. XIII/MPRS/1966 yang menyerukan pelaksanaan Pemilu dalam tempo 2 tahun selambat-lambatnya sebelum 5 Juli 1968. Pemerintah dan kalangan militer justru ragu-ragu dan khawatir apakah Sekber Golkar yang dibentuk dapat menang dalam pemilu. Masalah yang dihadapi pada waktu itu adalah masih rapuhnya kekuatan pendukung pemerintah Orde baru.


(17)

pemimpin-pemimpin partai apakah pemilu akan dilaksanankan. Maksud sebenarnya pemerintah mengadakan pemilu adalah memberikan rasa berperan serta kepada partai-partai di dalam sistem politik tanpa mengancam kekuasaan militer khususunya

Angkatan Darat atas pemerintahan.40

Pemerintah Orde Baru semakin ragu memutuskan untuk mengadakan pemilu karena ada masukan bahwa hasil pemilihan umum nanti hanya akan memperkuat status quo parlemen yang kira-kira 60% kursinya diduduki oleh wakil-wakil partai. Meskipun pemerintah telah membentuk dan mengembangkan Sekber Golkar menjadi partainya, begitu juga melalui intervensi dalam Operasi Khusus terhadap partai lain, seperti NU, PNI dan Parmusi. Namun, tampaknya pemerintah tidak begitu berharap dapat menciptakan mesin pemilihan umum yang benar-benar mampu menyusutkan

arti partai-partai yang telah mapan.41

Disamping melalui Operasi Khusus atau intervensi terhadap partai-partai politik dalam mendapatkan kepemimpinan partai yang pro-pemerintah, berbagai usaha lain juga dilaksanakan untuk memenangkan Sekber Golkar. Sekber Golkar menggunakan cara yang berbeda-beda dalam menanggapi setiap lawannya. Menghadapi PNI, Golkar menggunakan Kokarmendagri, suatu organisasi karyawan dari Departemen Dalam Negeri, dari mana dulu PNI mendapatkan banyak dukungan. Pada tahun 1970 rupannya Menteri Dalam Negeri Amir Machmud memutuskan

40

Harold Crouch, Opcit hal 196


(18)

bahwa departemen akan menjadi tulaang punggung Sekber Golkar, sehingga perwujudannya PNS ditekan untuk mendatangi loyalitas tunggal kepada pemerintah yaitu Sekber Golkar. Walaupun Menteri selalu mengatakan bahwa mereka yang mementingkan partai akan dipecat dan keanggotaan partai menjadi penghambat

kenaikan pangkat.42

Usaha pemerintah untuk memenangkan pemilu ditujukan juga kepada partai-partai islam. Dalam tahun 1970, pemerintah dan militer melakukan usaha untuk menarik simpati para kyai-kyai yang berpengaruh dengan membiayai perjalanan-perjalanan keluar negeri dan menyediakan dana-dana untuk pesantren-pesantren mereka. Pada bulan Januari 1971 Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI) yang hampir mati dihidupkan kembali setelah lebih dari delapan ratus kyai diundang untuk menghadirin konfrensi yang menunjuk Mayjen Sudjono Humardani yang jelas “abangan” sebagai pelindung. Hal tersebut dilakukan untuk menarik dan

merangkut umat islam untuk mendukung Golkar.43

Tindakan-tindakan pemerintah dan kalangan militer untuk memperkuat Sekber Golkar ternyata sengat efektif dari perkiraan semula. Para pimpinan partai politik baru menyadari bahwa tindakan yang dilakukan Sekber Golkar menggunakan cara yang tidak fair dalam kampanyenya. Keadaan tersebut menjadi berubah di mana

42

Kompas, 29 september 1970, sebagaimana dikutip Arif Yulianto hal 278.


(19)

munculkan perlawanan yang mengatasnamakan anti-Sekber Golkar dan menyerukan kepada umat islam untuk memilih partai islam saja.

Berdasarkan UU No. 15 tahu 1969 akhirnya pemilu dapat dilaksanakan pada tanggal 3 juli 1971. Pemilu itu diadakan untuk mengisi kekosongan keanggotaan Badan-Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang susunan dan kedudukannya diatur dalam UU No. 16 tahun 1969. Pemilihan ini mempunyai arti penting dalam pemerintahan orde baru yang menjadi tanggung jawab ABRI dan kekuatan-kekuatan sosial poltik pendukung Orde Baru lainnya. Dan akhirnya Sekber Golkar muncul sebagai pemenang yang meyakinkan dengan suara 62,8% atau 236 kursi yang diperebutkan sehingga memberikan mayoritas luarbiasa didalam DPR. Dari sembilan partai lainnya yang masih dapat bertahan adalah NU yang memperoleh 18,7% suara,

PNI memperoleh 6,9% suara dan Parmusi 5,3%.44

44 Ibid hal 281

Terlepas dari kemenangan tersebut, Sekber Golkar pada dasarnya merupakan hasil bentukan atau ciptaan para penguasa militer dan tidak dapat terpisah dari identitas militernya. Sekber Golkar yang tidak berlandaskan suatu organisasi partai dan tidak memiliki akar sama sekali di masyarakat adalah sebuah federasi yang majemuk yang dimobilisasi oleh militer.


(20)

2.3.3 Difusi Partai-Partai Politik

Sejalan dengan pengintegrasian dari Kino yang berbentuk federasi menjadi kesatuan di bawah nama Golkar, pemerintah juga bermaksud untuk melakukan perubahan struktur politik dalam bentuk penyederhanaan partai politik. Sebenarnya penyederhanaan partai politik sudah muncul pada awal kekuasaan Soeharto sehingga kekuatan politik pendukungnya mulai mensosialisasikan gagasan penyederhanaan partai politik dalam dua bentuk afiliasi, yaitu kelompok material-spiritual dan kelompok spiritual-material.

Penyederhanaan partai ini dilanjutkan dengan digolkannya ketetapan MPRS Nomor 22 tahun 1966 tentang pengaturan kembali struktur politik. Kemudian pada tanggal 20 Februari 1970, di hadapan sembilan pimpinan partai politik dan Sekber Golkar yang akan ikut dalam pemilihan umum 1971, Presiden Soeharto mengungkapkan saran-sarannya mengenai pengelompokan partai. Petama, golongan nasionalis, kedua golongan spiritual dan ketiga Golongan Karya. Gagasan ini

kemudian mendapat sambutan positif dari berbagai pemimpin-pemimpin partai.45

Setelah kekuatan politik Orde Baru mantap dan Golkar menjadi pemenang pemilu, maka dipastikan bahwa pelaksanaan restrukturisasi partai politik akan dilakukan. Jalan mulus melakukan ini didukung oleh strategi pemerintah tentang susunan dan kedudukan MPR/DPR. Dari 460 anggota DPR yang diatur dalam UU


(21)

No. 15 tentang undang – undang pemilu 1969 dan undang – undang No. 16 Tahun 1969 tentang susunan dan kedudukan DPR/MPR, 100 orang diangkat oleh Presiden untuk wakil angkatan darat. MPR yang mencakup 460 anggota DPR, juga terdiri atas 207 anggota yang ditunjuk presiden (seperti dari keseluruhan), dan 253 anggota tambahan mewakili daerah (dan dipilih oleh DPRD) serta kelompok lain yang oleh

presiden dianggap tidak mewakili DPR.46

Upaya penggarapan pemerintah maupun militer terhadap partai politik, ternyata mempunyai tujuan untuk memuluskan restruktur politik. Hal tersebut dapat dilihat dari dua kasus partai politik yang digarap, yaitu Parmusi dan PSSI yang Dengan demikian Golkar telah menjadi kekuatan mayoritas dalam kekuasaan sehingga dorongan untuk melakukan restrukturisasi politik kembali didengungkan oleh pemerintah sebagai bentuk kontrol partai politik yang ada.

Bagi kalangan partai politik restrukturisasi dengan cara difusi ini dianggap melemahkan posisi mereka karena dengan menghimpun partai yang berbeda-beda kedalam satu wadah akan timbuh perpecahan. Namun demikian, menjadi keuntungan dikalangan islam yang mengganggap ini menjadi momentum yang baik untuk menyatukan kekuatan politik mereka.


(22)

mendatangi difusi kedalam tubuh PPP. Pemerintah akan memberikan restu kepada

para pemimpin yang akomodatif terhadap pemerintah orde baru. 47

Rekonstruksi partai politik berhasil dilakukan, dari sembilan partai politik menjadi dua partai baru, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Empat partai Islam yaitu NU, Parmusi, Partai Syarikat Islam dan Persatuan Tarbiyah Islam Indonesia difusi ke dalam PPP. Sedangkan lima partai lainnya, yakni PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik melebur

kedalam PDI.48

2.3.4 Hubungan ABRI dalam Golkar

Pada dasarnya partai politik tiidak hanya merasa dirugikan dengan adanya UU Partai Politik dan Golkar tersebut, tetapi dengan adanya restruktur tersebut juga membawa masaalah di internal partai. Jika sebelum difusi masing-masing partai bertikai antar partai, namun setelah itu menjadi konflik internal. Hal ini disebabkan berbedanya kepentingan-kepentingan masing-masing dan ideologi.

Struktur politik yang terbangun di masa orde baru dapat dikatakan bahwa hubungan ABRI dan Golkar tak terpisahkan. Hali in dapat dipahami kkarena ABRI lah yang membidani lahirnya Golkar. ABRI dan Golkar dapar diibaratkan sebagai mesin pelanggeng kekuasaan Orde Baru. ABRI sebgai mesin politik untuk

47

Syamsudin Haris, PPP dan politik orde baru, grasindo, jakarta 1991. Hal 4-6


(23)

melakukan represif dan intimidasi, sedangkan Golkar merupakan mesin politik melalui pemilihan umum. Kesuksesan yang diraih Golkar dalam pemilu merupakan kesuksesan yang berhasil dilakukan ABRI dalam mempertahankan kekuasaan.

Peran ABRI pada Munas I Golkar tahun 1973 sangatlah besar baik sebagai alat pengamanan, juga sebgai alat dukungan politis untuk menegakkan kewibawaan Golkar di mata partai-partai lain. Dukungan lain juga diberikan dalam hal yang bersifat kelembagaan, yakni dengan terintegrasinya seluruh keluarga besar ABRI (KBA) kedalam jajaran pendukung utama Golkar dalam setiap Pemilu. Bahkan, erat hubungannya tercermin dari jumlah perwira aktif yang duduk di jajaran kepengurusan

Golkar.49

Struktur organisasi Golkar dalam Munas I juga mengalami perubahan, selain menetapkan Munas sebagai lembaga pembuat keputusan yang diselenggarakan tiap lima tahun sekali dan menetapkan Dewan Pimpinan sebagai Badan Eksekutif. Dewan Pada Munas I Golkar di Surabaya, 4-9 september 1973, ABRI mampu menempatkan perwira aktif kedalam Dewan Pengurus Pusat. Selain itu hampir seluruh daerah tingkat I dan tingkat II jabatan ketua Golkar selalu dipegang oleh ABRI yang masih aktif. Untuk daerah tingkat II rata-rata mereka berpangkat perwira menengah setingkat kolonel, sedangkan untuk tingkat I mereka berpangkat perwira tinggi bintang satu.


(24)

Pimpinan terdiri atas Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Tingkat I dan II. Setiap pimpinan dilengkapi dengan satu Dewan Pembina dipimpin oleh militer. Menjelang menjelang akhir tahun Munas II 1978, dilaporkan bahwa komandan militer daerah secara otomatis menjadi Ketua Dewan Pembina

Daerah.50

Pada waktu Jenderal M. Yusuf menjabat sebagai Panglima ABRI, mulai adanya upaya penataan ulang tentang jarak hubungan antara militer dengan Golkar. Pada Munas Golkar di Denpasar 1978, disetujui keputusan penting tentang ABRI yang masih aktif dilarang untuk menjadi pengurus Golkar, bahkan purnawiran harus menunggu sepuluh tahun untuk menjadi pengurus DPP Golkar dan juga Dewan Pembina di tingkat Provinsi dan kabupaten diganti dengan kepala wilayah masing-masing. Jika dicermati lebih dalam, kebijakan tersebut sebagai upaya meredam sejumlah kritikan yang muncul tentang besar intervensi militer terhadap sipil.

Tidak hanya dominasi dikepengurusan DPP Golkar, tetapi juga menajdi sumber finansial bagi Golkar. Dukungan militer terhadap Golkar juga tercermin dalam banyaknya penggunaan kekerasan politik oleh aparat militer pada masyarakat dalam berbagai pelaksanaan pemilu dan gerakan-gerakan yang dianggap separatis seperti PKI.

51

50

Leo Suryadinata, Opcit hal 56.

51 Ikrar Nusa Bhakti. Opcit hal 173


(25)

Namun pada Munas II 1978, Golkar kembali mengadakan perubahan struktur organisasi. Jabatan Pembina Utama dan Pembina Kedua yang dipegang oleh Presiden dan Wakil Presiden dihapuskan. Hanya Dewan Pembina Pusat yang dipertahankan dan Soerharto dipilih sebagai Ketua Badan Pembina yang berhak untuk membekukan anggota dan pengurus. Kebijaksanaa ini dianggap sebagai awal sentralistik kekuasaan Golkar di tangan Soeharto. Struktur baru juga membentuk Dewan Pemimpin Harian yang terdiri sebelas orang dan tetap diketuai oleh militer yaitu Jenderal M.

panggabean.52

Meskipun Golkar telah mengalami kemajuan yang pesat dalam perolehan suara dalam pemilu maupun dalam keorganisasi, namun dengan seperti itu juga tidak memuaskan dahaga Golkar. Peningkatan simbol keagamaan dan primordial yang berlangsung tahun 1982, menjadikan golkar harus berhitung dengan cermat untuk mempertimbangkan kedua hal tersebut. Ketakutan akan ancaman menguatnya simbol-simbol islam berakibat pada akan menurunnya perolehan suara, untuk ini pemerintah melakukan persiapan secara komprehensif untuk konsolidasi sistem politik melalui pengesahan UU Pertahanan Keamanan 1982 dan Lima Paket RUU Politik.53

Dalam Munas III, ada perubahan penting dalam anggaran dasar yaitu: pertama, Pasal 3 AD yang menyatakan bahwa Golkar adalah kekuatan sosial politik

52

Kompas, 27 Oktober 1978, sebagaimana yang dikutip Ikrar Nusa Bhakti hal 174


(26)

yang merekrut sekelompok kader dari setiap tingkatan tanpa memperhatikan latarbelakang sosial, kesukuan ataupun keyakinan agama, sejauh mereka setia pada ideologi negara, Pancasila dan program pembangunan. Kedua, Pasal 6 AD menyatakan bahwa Golkar akan semakin meningkatkan kerja sama dengan ABRI, terutama dalam hal dwifungsi, demi terwujudnya persatuan antara ABRI dan rakyat. Ketiga, Pasal 7 menyatakan bahwa Golkar berdasarkan sistem keanggotaan individual anggota Golkar adalah kader-kader bangsa. Dalam hal ini, Untuk pertama kalinya komposisi di DPP di dominasi oleh kalangan sipil tetapi ini buakanlah

kemenangan sipil.54

54 Ikrar Nusa Bhakti, Opcit hal 179

Dominasi sipil dalam kepengurusan pusat hanyalah strategi atas isu yang banyak berkembang bahwa militer terlalu banyak intervensi, sikap itu tercermin dari pemilihan umum 1987. ABRI berusaha tampil sebagai wasit yang lugas, bahkan ada suara dari ABRI yang diam-diam diberikan kepada PDI. Meskipun dukungan ABRI kepada Golkar terkesan setengah hati dalam pemilihan umum 1987 tetap saja Golkar mayoritas dalam pemilu. Hal itu dikarenakan, mesin birokrasi pemerintah masih menjadi tulang punggung kekuatan Golkar. Kedurnya intervensi militer didasarkan pada menurunnya ancaman pada azas tunggal pancasila dan berefek pada berkurangnya juga intimidasi terhadap masyarakat.


(27)

Mulai merosotnya perolehan suara pada pemilihan umum 1992 menjadikan para anggota ABRI berpikir ulang untuk melepaskan Golkar. Namun pada tahun 1966, Jenderal R. hartono justru secara terbuka menyatakan bahwa ABRI merupakan kader Golkar. Munculnya isu demokratisasi pada waktu itu juga sangat mempengaruhi penampilan Golkar dalam pemilihan umum 1992. Dengan adanya isu yang semakin santer tersebut, maka Golkar mengubah penampilannya dengan memunculkan tokoh yang mengejutkan yaitu terpilihnya Harmoko dalam Munas ke-5

sebagai ketua umum Golkar.55

Terpilihnya Harmoko juga menimbulkan banyak kritik terutama datang justru dari Keluarga Besar ABRI (KBA). Salah satu kritikan muncul dari purnawirawan ABRI yang menduduki jabatan penting di DPR yang menyatakan tidak puas akan terpilihnya Harmoko dikarenakan adanya dugaan aliansi Harmoko-Habibie akan

memunculkan kekuatan politik baru.56

Kehkawaitran ABRI akan bayang-bayang kekalahan Golkar menjadikan ABRI semakin represif untuk melakukan intervensi kepada partai politik diluar Golkar. Salah satu intervensi tersebut terjadi pada PDI yang dipimpin oleh Megawati

ditumbangkan melalui insiden berdarah yang dikenal dengan insiden 27 juli.57

55

Arif yulianto, Opcit hal 321

56

Leo Suryadinata, golkar dan kekuasaan, tempo 13 november 1993


(28)

Meskipun Golkar kembali meraih suara mayoritas dalam pemilihan umum 1997, pemberontakan anti Golkar terjadi di mana-mana. Kemenangan Golkar dan pencalonan kembali Soeharto menjadi presiden mengundang gelombang protes dari berbagai kalangan. Dengan dalih untuk mengamankan Sidang Umum MPR dan pemilihan presiden, militer melakukan segala cara untuk membendung protes rakyat,

termasuk kasus penculikan beberapa aktivis pro-demokratis.58

2.3.5 Peran ABRI dalam Lembaga Legislatif

Meskipun gelombang protes datang dari berbagai kalang, pelantikan Soeharto dan Habibie sebgai peresiden dan wakil presiden berjalan mulus.

Akan tetapi, badai krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sejak Juli 1997, serta desakan yang dimotori mahasiswa mejadikan Soeharto undur diri pada tanggal 21 Mei 1998. Lensernya Soeharto tentunya membuat kalangkabut Golkar karena selama 32 tahun identik dengan Soeharto. Muslub dilakukan untuk menentukan nasib dewan pembina, sebagai motor utama di Golkar, dan Akbar tanjung terpilih sebagai ketua umum Golkar.

Keterlibatan ABRI dalam proses politik dan pemerintahan tidak saja terjadi di sektor eksukutif atau di Golongan Karya, melainkan juga dalam badan legislatif. Sekalipun militer bukan kekuatan politik yang ikut serta dalam pemilihan umum,


(29)

namun mereka memiliki wakil dalam jumlah besar dalam DPR dan MPR melalui Fraksi Karya ABRI.

Ada alasan mengapa ABRI memiliki wakil di DPR melalui pengangkatan Mayjen TNI (Purn) Soebijono, manta anggota DPR RI masa keanggotaan 1977-1982,

1982-1987, dan 1987-1992, memberikan alasan bahwa :59

“Memang lebih demokratis, apabila masuknya wakil-wakil ABRI itu melalui pemilihan umum, seperti halnya warga negara lainnya. Tapi perlu diingat bahwa ABRI juga bertugas pokok sebgai kekuatan yang harus mempertahankan kedaulatan negara dan bangsa, harus menjadi pengawal Pancasila dan UUU 1945. Tugas ini hanya bisa dilaksanakan dengan berhasil jika ABRI itu kompak dan bersatu padu, tidak berbeda sikap dan tindakan. Jika ABRI ikut memilih dalam pemilihan umum yang dilakukan secara bebas, maka dalam lingkungan ABRI akan terjadi pengelompokan atas dasar pilihan dan dukungan masyarakat. Hal ini dapat mengurangi persatuan dan kesatuan ABRI. Kalau ABRI dipilih (mencalonkan diri untuk dipilih) maka nama calon ABRI harus masuk dalam daftar calon organisasi peserta pemilu, hal demikian itu memungkinkan ABRI akan rebutan diantara partai-partai politik dan organisasi golongan karya ikut pemilu. Hal ini dapat menimbulkan penyimpangan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Bagaimana ABRI mempunyai

59

Soebijono, Dwi Fungsi ABRI : perkembangan dan peranannya dalam kehidupan politik di indonesia, Gajah Mada university Press, Jakarta 1997. Hal 142-143


(30)

tanda gambar sendiri? Jika ini terjadi maka pemilu tidak akan demokratis. Ada sebagian ABRI menjadi calon, ada sebagian yang lain yang harus mengamankan agar pemilu berlangsung tertib teratur, jujur dan adil. Kenyataan situasi seperti itu tidak akan mungkin terjadi, karena disamping sebagai pengaman pemilu, juga sebagai calon, sehingga ABRI tidak akan bertindak objektif dalam pengamanan, bahkan akan berpihak pada kontestan ABRI sendiri. Dengan demikian meskipun sifatnya lebih demokratis dan tidak diskriminatif, akan lebih menimbulkan banyaknya kerugian daripada keuntungannya. Oleh karena itu, diputuskan lebih baik ABRI masuk dalam Badan Permusyawaratan Perwakilan Rakyat melalui pengangkatan daripada melalui pemilihan umum.”

Dengan adanya ketentuan tersebut, kemudian muncul permasalahan berapa jumlah ABRI yang diangkat. Selah melaluia perhelatan yang alot, akhirnya diputuskan bahwa : anggota (Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat) ada yang diangkat, disamping ada yang dipilih; 2) yang diangkat adalah BARI dan non ABRI, yang non ABRI harus dari organisasi yang non massal ; 3) untuk MPR jumlah yang diangkat adalah 100, dari 460 anggota. Semua konsesus-konsesus itu dirumuskan dalam RUU tentang Susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penentuan bahwa jumlah sepertiga dari seluruh anggota MPR diangkat adalah demi pengamanan agar penggunaan pasal 37 UUD 1945 tidak terlalu mudah dipergunakan. Dengan menggunakan pedoman itu, maka dalam DPR hasil pemilu 1971 sampai dengan


(31)

1982, ABRI mempunyai 75 wakil melalui jalur pengangkatan. Jika dijumlahkan dengan 25 orang yang diangkat mewakili Fraksi Karya Non-ABRI maka seluruh anggota DPR personalia Fraksi ABRI di DPR adalah 100 oarang berbanding dengan

460 orang seluruh anggota DPR.60

Pada tahap perkembangan berikutnya adalah dikeluarkannya UU No. 2/1985 yang menyebutkan jumlah perwakilan ABRI adalah seperlima dari 500 orang, yaitu 100 orang. Sedangkan jumlah fraksi di MPR adalah 100 orang dari DPR ditambah dengan anggota tambahan sebanyak 51 orang menjadi 151 orang. Di DPRD I minimal seperlima dari 45 anggota yaitu 9 orang dan maksimal seperlima dari 100 orang yaitu 20 orang. Sedangkan di DPRD II jumlah minimal adalah seperlima dari

20 orang, yaitu 4 orang danmaksimal seperlima dari 45 orang adalah 9 orang. 61

Fraksi ABRI sebagai pelaksana fungsional sosial politk ABRI di lembaga Permusyawaratan Perwakilan Rakyat merupakan ujung tombak ABRI dalam memperjuangkan konsepsi tentang pembangunan nasional di segala bidang. Dalam ketentuan pokok Hankamneg disebutkan bahwa ABRI berfungsi sebagai dimisator dan stabilisator bersama-sama fraksi lain memikul tugas menyukseskan oerjuangan

bangsa dan meningkatakan kesejahteraan rakyat.62

60

Arif Yulianto, Opcit hal 327

61

Soebijono. Opcit hal 144

62 Ibid hal 146


(32)

Keberadaan ABRI dalam DPR terbukti efekti dalam rangka mengamankan kebijakan eksekutif dan meminimalisir kekuatan kontrol DPR terhadap eksekutif.

Efektifitas ini diperoleh melalui :63

1. Adanya hubungan duet Fraksi ABRI dan Fraksi Karya Pembangunan dalam

proses kerja DPR, yang merupak pembawa nilai dan kepentingan eksekutif.

2. Adanya perangkat aturan kerja DPR yang dalam batas tertentu membatasi

aktualisasi anggota melalui mekanisme fraksi dan membatasi peran satu fraksi secara otonom.

Keadaan yang hampir sama juga terjadi di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Jumlah militer yang cukup banyak dalam MPR memberikan peluang besar bagi kalangan militer untuk dapat menjalankan dan mengamankan kepentingan eksekutif dalam kebijakan-kebijakan yang besar oleh MPR.

2.3.6 Penugaskarya Prajurit ABRI

Pada masa orde baru dibawah presiden Soeharto, peran militer melalui Dwi Fungsi ABRI sangat didominasi peran sosial politiknya daripada peran militer yang sebenarnya yaitu pertahanan keamanan. Salah satu perwujudan dari fungsi ABRI sebagai kekuatan sosial politik dalam usaha menegakkan cita-cita Orde Baru ialah penugaskaryaan ABRI dalam lembaga/instansi diluar jajaran ABRI sebagai pelaksana Dwi Fungsi ABRI. Tujuan dari penugasan tersebut adalah pengamanan politik


(33)

ideologis terutama pada saat awal orde baru dan menyukseskan pembangunan nasional, untuk menjamin tercapainya sasaran program-program pembangunan yang

termaktub dalam Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun).64

Pengamanan tersebut jelas dapat dilihat dalam pidato kenegaraan Pejabat

Presiden Soeharto pada tanggal 16 Agustus 1967, yang menyebutkan bahwa :65

Penempatan Prajurit ABRI kepada jabatan-jabatan sipil sebenarnya sudah sejak dari zaman kemerdekaan dilakukan, bahkan sudah ada petunjuk dari pimpinan Tentara Rakyat Indonesia (TKR) pada waktu itu menekankan bahwa jika para pamong praja sudah meninggalkan tempat atau hilang, maka mereka diganti oleh TKR yang yang sesuai dengan tingkat pangkatnya, sebagai contoh : Kepala Desa diganti oleh Komandan Regu, Cmat diganti oleh Komandan Seksi/Peleton.

“dalam perkembangan politik dan kenegaraan dengan asas demokrasi Pancasila, golongan karya yang potensial dan mempunyai peranan ABRI itu tergantung pada bahaya yang mengancam keselamatan rakyat, kesatuan dan persatuan bangsa, serta kelangsungan hidup negara, baik bahaya itu datang dari luar maupun dari dalam.”

66

64

Ibid Hal 329-330

65

Soebijono. Opcit Hal 135

66

Nugroho Notosusanto, Pejuang dan Prajurit : Konsepsi dan Implementasi Dwi Fungsi ABRI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991. Hal 42


(34)

Dalam pandangan Orde Baru, penugaskaryaan diluar instansi ABRI, pada dasarnya bukan untuk memberikan pekerjaan kepada yang bersangkutan melainkan untuk memenuhi misi. Oleh karena itu, prosesnya sangat selektif dan berdasarkan pertimbangan yang matang antara lain kualitas moral, keahlian teknis dan menejerial

serta aseptabilitas di lingkungan kerja.67

Penugaskaryaan ABRI pada masa orde baru selalu mendapat reaksi dan kritikan yang tajam oleh masyarakat baik sipil maupun militer itu sendiri, adapun

kritikannya antara lain :68

1. Jumlah anggota ABRI yang ditugaskan dilingkungan non-ABRI terlalu banyak

2. Penempatannya tidak selalu pada jabatan-jabatanb yang rawan politik, tetapi

justru ada di tempat-tempat yang secara politis dan ekonomi yang mapan

3. Anggota ABRI yang dikaryakan dianggap tidak memiliki keahlian yang

dibutuhkan oleh jabatan yang diembannya

4. Terlalu banyak penempatan jabatan yang sebenarnya tidak sangat memerlukan

seorang prajurit ABRI sehingga menimbulkan kesan sebagai penyaluran

5. Adanya kesan bahwa penerimaan kriteria atas pihak yang memerluak tidak

selalu murni, bahkan adanya rekayasa untuk kepentingan ABRI itu sendiri

6. Penugasan ABRI dianggap sebgai menghambat karir pejabat sipil yang telah

dirintis dari bawah, dan

67

Soebijono. Opcit Hal 138


(35)

7. Hubungan kerja anggota ABRI dan sipil di mana anggota ABRI ditempatkan tidak harmonis karena perbedaan karekter dan terlalu dominasi.

2.3.7 ABRI dan Birokrasi

Pada awal Orde Baru, pemerintah di bawah Presiden Soeharto segera melakukan usaha-usaha pemulihan dengan melakukan pembangunan di segala bidang. Model pembangunan pada masa oede baru cenderung bercorak teknokratis dan birokratis. Kecenderungan ini tampaknya dibentuk secara sekaligus oleh kebutuhan objektif berupa krisis ekonomi, politik, sosial dan kebutuhan subjektif

penguasa untuk melanggengkan rezim berkuasa.69

Salah satu konsekuensi dari penciptaan model pembangunan tersebut adalah terjadinya pembesaran birokrasi, birokrasi menjadi alat pembangunan yang sangatlah penting untuk tujuan teknis membantu formulasi dan realisasi kebijakan pembangunan pemerintah. Akan tetapi hal ini, juga bertujuan untuk menjaga stabilitas kekuasaan negara secara internal dan melakukan penguasaan masyarakat

secara eksternal.70 Terdapat sekurang-kurangnya tiga ciri khas birokrasi orde baru

yaitu :71

69

R. Eep saefulloh Fattah, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta. Hal 133.

70

Hans-Dieter dan Tilman Schiel, Kelompok-Kelompok Strategis, terjemahan dari Aan Affendi, Yayasan Obor Indonesia. Hal 63.


(36)

1. Melakukan pembesaran jumlah anggota birokrasi secra kuantitatif, seperti dalam dua puluh tahun jumlah anggota birokrasi bertambah menjadi lima kali lipat dari 393.000 orang menjadi 2.047.000 orang

2. Memberikan kewenangan besar kepada birokrasi untuk menjadi perpanjangan

tangan negara dalam mengontrol masyarakat, dan

3. Memasukkan kekuatan militer dalam birokrasi, baik pusat maupun daerah.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada masa orde baru terjadi pemebesaran peran birokrasi terutama militer. hal ini dikarenakan penguasaan militer terhadap birokrasi dianggap sebagai strategi yang paling tepat dalam rangka mengamankan pembangunan dan kelangsungan kekuasaan.

Di awal masa orde baru, dari 27 anggota kabinet yang diangkat pada bualan Juli 1966, terdapat 12 atau 44% menteri yang merupakan anggota ABRI, yaitu 6 berasal dari TNI AD dan 6 menteri lainnya merupakan panglima-panglima dari angkatan lain. Meskipun wakil-wakil sipil lebih banyak (53%) yang duduk di kabinet tetapi penempatannya tidak dalam posisi yang strategis. Pada tahun 1968, komposisi anggota ABRI yang duduk dalam kabinet berubah, dari 23 anggota kabinet, 4 anggota berasal TNI AD dan dua angkatan lainnya (TNI AL dan TNI AU) mendapatkan jatah masing-masing satu orang. Setelah Pemilihan Umum 1971


(37)

komposisi berubah lagi turun dari 4 anggota kabinet TNI AD menjadi 3 anggota,

walaupun kemudian pada tahun 1973 ditambah 1 orang lagi.72

Kedudukan kekuasaan para menteri sipil dalam departemen semakin dibatasi pula dengan diangkatnya para perwira militer untuk menduduki birokrasi sipil tingkat Sekertaris Jenderal dalam Departemen. Tahun 1966, posisi sekjen yang berurusan dengan sipil ini, dari 20 separtemen terdapat 11 angota ABRI yang menduduki Sekretaris Jenderal. Sementara pada tingkat lokal atau daerah tingkat I pada tahun 1966, dari 24 Gubernur terdapat 12 (50%) di daerah tingkat I berasal dari militer. Pada tahun 1968, jumlah Gubernur yang bersal dari kalangan militer berubah naik daari 12 menjadi 17 Gubernur. Begitu juga pada tingkat Kabupaten, jumlah Bupati yang dulu diduduki oleh orang sipil telah banyak diganti oleh kalangan militer.

Pada dasarnya komposisi jumlah anggota kabinet mayoritas orang sipil, tetapi mereka tidaklah mendapatkan dukungan politik yang cukup untuk melaksananakn kekuasaan yang sebenarnya. Hal ini disebabkan karena mayoritas sipil yang diangkat menjadi menteri tersebut bukanlah orang-orang yang mewaliki partai melainkan orang-orang teknokrat yang tidak berafiliasi kepada partai manapun.

73

72

Harold Crouch. Opcit hal 269

73 Ibid hal 272.

Hal ini disebabkan sebagai langkah pembersihan dari keterkaitan dengan PKI yang ada di daerah.


(38)

Keterlibatan militer dalam birokeasi lokal yang lebih menonjol lagi selain jabatan Bupati dan Gubernur adalah keterlibatan pimpinan militer melalui Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) di tingkat Kabupaten dan Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) di tingkat kecamatan. Pimpinan militer terlibat banyak dalam pengendalian kehidupan masyarakat di daerah terutama dalam kegiatan-kegiatan politik.

Meskipun secara umum posisi kekuasaan dibagi dengan orang-orang sipil, namun sipil harus menyesuaikan diri dengan sistem di mana kekuasaan terletak di tangan militer. Meskipun pemerintah mengklaim menganut sistem demokrasi namun yang terjadi malah sebaliknya, pola hubungan sipil-militer menganut kontrol militer terhadap sipil dengan alasan stabilitas politik dan keamanan untuk suksesnya pembangunan ekonomi.


(1)

ideologis terutama pada saat awal orde baru dan menyukseskan pembangunan nasional, untuk menjamin tercapainya sasaran program-program pembangunan yang termaktub dalam Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun).64

Pengamanan tersebut jelas dapat dilihat dalam pidato kenegaraan Pejabat Presiden Soeharto pada tanggal 16 Agustus 1967, yang menyebutkan bahwa :65

Penempatan Prajurit ABRI kepada jabatan-jabatan sipil sebenarnya sudah sejak dari zaman kemerdekaan dilakukan, bahkan sudah ada petunjuk dari pimpinan Tentara Rakyat Indonesia (TKR) pada waktu itu menekankan bahwa jika para pamong praja sudah meninggalkan tempat atau hilang, maka mereka diganti oleh TKR yang yang sesuai dengan tingkat pangkatnya, sebagai contoh : Kepala Desa diganti oleh Komandan Regu, Cmat diganti oleh Komandan Seksi/Peleton.

“dalam perkembangan politik dan kenegaraan dengan asas demokrasi Pancasila, golongan karya yang potensial dan mempunyai peranan ABRI itu tergantung pada bahaya yang mengancam keselamatan rakyat, kesatuan dan persatuan bangsa, serta kelangsungan hidup negara, baik bahaya itu datang dari luar maupun dari dalam.”

66

64

Ibid Hal 329-330

65

Soebijono. Opcit Hal 135

66

Nugroho Notosusanto, Pejuang dan Prajurit : Konsepsi dan Implementasi Dwi Fungsi ABRI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991. Hal 42


(2)

Dalam pandangan Orde Baru, penugaskaryaan diluar instansi ABRI, pada dasarnya bukan untuk memberikan pekerjaan kepada yang bersangkutan melainkan untuk memenuhi misi. Oleh karena itu, prosesnya sangat selektif dan berdasarkan pertimbangan yang matang antara lain kualitas moral, keahlian teknis dan menejerial serta aseptabilitas di lingkungan kerja.67

Penugaskaryaan ABRI pada masa orde baru selalu mendapat reaksi dan kritikan yang tajam oleh masyarakat baik sipil maupun militer itu sendiri, adapun kritikannya antara lain :68

1. Jumlah anggota ABRI yang ditugaskan dilingkungan non-ABRI terlalu banyak 2. Penempatannya tidak selalu pada jabatan-jabatanb yang rawan politik, tetapi

justru ada di tempat-tempat yang secara politis dan ekonomi yang mapan

3. Anggota ABRI yang dikaryakan dianggap tidak memiliki keahlian yang

dibutuhkan oleh jabatan yang diembannya

4. Terlalu banyak penempatan jabatan yang sebenarnya tidak sangat memerlukan seorang prajurit ABRI sehingga menimbulkan kesan sebagai penyaluran

5. Adanya kesan bahwa penerimaan kriteria atas pihak yang memerluak tidak selalu murni, bahkan adanya rekayasa untuk kepentingan ABRI itu sendiri 6. Penugasan ABRI dianggap sebgai menghambat karir pejabat sipil yang telah

dirintis dari bawah, dan

67

Soebijono. Opcit Hal 138


(3)

7. Hubungan kerja anggota ABRI dan sipil di mana anggota ABRI ditempatkan tidak harmonis karena perbedaan karekter dan terlalu dominasi.

2.3.7 ABRI dan Birokrasi

Pada awal Orde Baru, pemerintah di bawah Presiden Soeharto segera melakukan usaha-usaha pemulihan dengan melakukan pembangunan di segala bidang. Model pembangunan pada masa oede baru cenderung bercorak teknokratis dan birokratis. Kecenderungan ini tampaknya dibentuk secara sekaligus oleh kebutuhan objektif berupa krisis ekonomi, politik, sosial dan kebutuhan subjektif penguasa untuk melanggengkan rezim berkuasa.69

Salah satu konsekuensi dari penciptaan model pembangunan tersebut adalah terjadinya pembesaran birokrasi, birokrasi menjadi alat pembangunan yang sangatlah penting untuk tujuan teknis membantu formulasi dan realisasi kebijakan pembangunan pemerintah. Akan tetapi hal ini, juga bertujuan untuk menjaga stabilitas kekuasaan negara secara internal dan melakukan penguasaan masyarakat secara eksternal.70 Terdapat sekurang-kurangnya tiga ciri khas birokrasi orde baru yaitu :71

69

R. Eep saefulloh Fattah, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta. Hal 133.

70

Hans-Dieter dan Tilman Schiel, Kelompok-Kelompok Strategis, terjemahan dari Aan Affendi, Yayasan Obor Indonesia. Hal 63.


(4)

1. Melakukan pembesaran jumlah anggota birokrasi secra kuantitatif, seperti dalam dua puluh tahun jumlah anggota birokrasi bertambah menjadi lima kali lipat dari 393.000 orang menjadi 2.047.000 orang

2. Memberikan kewenangan besar kepada birokrasi untuk menjadi perpanjangan tangan negara dalam mengontrol masyarakat, dan

3. Memasukkan kekuatan militer dalam birokrasi, baik pusat maupun daerah.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada masa orde baru terjadi pemebesaran peran birokrasi terutama militer. hal ini dikarenakan penguasaan militer terhadap birokrasi dianggap sebagai strategi yang paling tepat dalam rangka mengamankan pembangunan dan kelangsungan kekuasaan.

Di awal masa orde baru, dari 27 anggota kabinet yang diangkat pada bualan Juli 1966, terdapat 12 atau 44% menteri yang merupakan anggota ABRI, yaitu 6 berasal dari TNI AD dan 6 menteri lainnya merupakan panglima-panglima dari angkatan lain. Meskipun wakil-wakil sipil lebih banyak (53%) yang duduk di kabinet tetapi penempatannya tidak dalam posisi yang strategis. Pada tahun 1968, komposisi anggota ABRI yang duduk dalam kabinet berubah, dari 23 anggota kabinet, 4 anggota berasal TNI AD dan dua angkatan lainnya (TNI AL dan TNI AU) mendapatkan jatah masing-masing satu orang. Setelah Pemilihan Umum 1971


(5)

komposisi berubah lagi turun dari 4 anggota kabinet TNI AD menjadi 3 anggota, walaupun kemudian pada tahun 1973 ditambah 1 orang lagi.72

Kedudukan kekuasaan para menteri sipil dalam departemen semakin dibatasi pula dengan diangkatnya para perwira militer untuk menduduki birokrasi sipil tingkat Sekertaris Jenderal dalam Departemen. Tahun 1966, posisi sekjen yang berurusan dengan sipil ini, dari 20 separtemen terdapat 11 angota ABRI yang menduduki Sekretaris Jenderal. Sementara pada tingkat lokal atau daerah tingkat I pada tahun 1966, dari 24 Gubernur terdapat 12 (50%) di daerah tingkat I berasal dari militer. Pada tahun 1968, jumlah Gubernur yang bersal dari kalangan militer berubah naik daari 12 menjadi 17 Gubernur. Begitu juga pada tingkat Kabupaten, jumlah Bupati yang dulu diduduki oleh orang sipil telah banyak diganti oleh kalangan militer.

Pada dasarnya komposisi jumlah anggota kabinet mayoritas orang sipil, tetapi mereka tidaklah mendapatkan dukungan politik yang cukup untuk melaksananakn kekuasaan yang sebenarnya. Hal ini disebabkan karena mayoritas sipil yang diangkat menjadi menteri tersebut bukanlah orang-orang yang mewaliki partai melainkan orang-orang teknokrat yang tidak berafiliasi kepada partai manapun.

73

72

Harold Crouch. Opcit hal 269

73 Ibid hal 272.

Hal ini disebabkan sebagai langkah pembersihan dari keterkaitan dengan PKI yang ada di daerah.


(6)

Keterlibatan militer dalam birokeasi lokal yang lebih menonjol lagi selain jabatan Bupati dan Gubernur adalah keterlibatan pimpinan militer melalui Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) di tingkat Kabupaten dan Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) di tingkat kecamatan. Pimpinan militer terlibat banyak dalam pengendalian kehidupan masyarakat di daerah terutama dalam kegiatan-kegiatan politik.

Meskipun secara umum posisi kekuasaan dibagi dengan orang-orang sipil, namun sipil harus menyesuaikan diri dengan sistem di mana kekuasaan terletak di tangan militer. Meskipun pemerintah mengklaim menganut sistem demokrasi namun yang terjadi malah sebaliknya, pola hubungan sipil-militer menganut kontrol militer terhadap sipil dengan alasan stabilitas politik dan keamanan untuk suksesnya pembangunan ekonomi.