PENGARUH EARNING PER SHARE EPS DAN TINGK

BUNGA TERHADAP HARGA SAHAM (STUDI EMPIRIS PADA PERUSAHAAN FOOD AND BEVERAGE YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK JAKARTA)

Disusun oleh: ADITYA KESUMA NIM. 0210230003 SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemain saham atau investor perlu memiliki sejumlah informasi yang berkaitan dengan dinamika harga saham agar bisa mengambil keputusan tentang saham perusahaan yang layak untuk dipilih. Cates (1998:59-62) dalam Mulyono (2000:99) melihat perlunya informasi yang sahih tentang kinerja keuangan perusahaan, manajemen perusahaan, kondisi ekonomi makro, dan informasi relevan lainnya untuk menilai saham secara akurat. Studi Utami & Suharmadi (1998:255-268) dalam Mulyono (2000:99) menunjukkan bahwa faktor fundamental perusahaan memegang peranan penting dalam proses pengambilan keputusan.

Penilaian saham secara akurat bisa meminimalkan resiko sekaligus mambantu investor mendapatkan keuntungan wajar; mengingat investasi saham di pasar modal merupakan jenis investasi yang cukup berisiko meskipun menjanjikan keuntungan yang relatif besar (Widoatmodjo,1996:84) dalam Mulyono (2000:99).

Investasi di pasar modal sekurang-kurangnya perlu memperhatikan dua hal, yaitu: keuntungan yang diharapkan dan risiko yang mungkin terjadi. Ini berarti investasi dalam bentuk saham menjanjikan keuntungan sekaligus risiko. Kelaziman yang sering dijumpai adalah bahwa semakin besar return yang diharapkan (expected), semakin besar pula peluang risiko yang terjadi. Bolten & Weigand (1998:77-84) dalam Mulyono (2000:100) mengatakan bahwa ekspektasi untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar di masa mendatang berpengaruh positif terhadap harga saham.

Variasi harga saham ditentukan oleh banyak faktor, baik yang berasal dari lingkungan eksternal maupun internal perusahaan. Menurut Sjahrir (1996:18) dalam Mulyono (2000:100), pergerakan saham di pasar modal Indonesia tergantung pada perkembangan ekonomi makro dan stabilitas politik. Sedangkan Usman (1990:154-155) dalam Mulyono (2000:100) mengamati bahwa harga saham-sebagai indikator nilai akan dipengaruhi secara langsung maupun tidak langsung oleh faktor fundamental dan faktor teknikal.

Investor saham mempunyai kepentingan terhadap informasi tertentu tentang EPS dan tingkat bunga dalam penentuan harga saham. Karena itu dirasa perlu untuk mengkaji pengaruh Earning Per Share (EPS) dan tingkat bunga terhadap harga saham, mengingat pasar modal Indonesia semakin menuju ke arah yang efisien sehingga semua informasi yang relevan bisa dipakai sebagai masukan untuk menilai harga saham (Husnan, 1996:256). Sebab, variasi harga saham dipengaruhi kedua faktor tersebut.

1.2 Masalah Penelitian

1. Apakah Earning Per Share (EPS) dan tingkat bunga (interest rate) secara bersama-sama (simultan) mempunyai pengaruh nyata (signifikan) terhadap harga saham perusahaan Food and Beverage yang go public di Bursa Efek Jakarta (BEJ) ?

2. Dari kedua faktor yang diteliti, faktor manakah yang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap harga saham perusahaan Food and Beverage yang go public di Bursa Efek Jakarta (BEJ) ?

1.3 Motivasi Penelitian

Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian (Mulyono, 2000) dengan perbedaan pada sampel penelitian yang terdiri dari perusahaan Food and Beverage yang listing di BEJ. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati apakah Earning Per Share (EPS) dan tingkat bunga (interest rate) secara bersama-sama (simultan) mempunyai pengaruh nyata (signifikan) terhadap harga saham. Disamping itu juga penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor manakah yang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap harga saham Food and Beverage yang go public di Bursa Efek Jakarta (BEJ).

Alasan dilakukan penelitian mengenai Earning Per Share (EPS) dan tingkat bunga (interest rate) sebagai variabel dependen dalam Mulyono (2000:100) adalah sebagai berikut: Pertama, kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih per lembar saham merupakan indikator fundamental keuangan perusahaan, yang seringkali dipakai sebagai acuan untuk mengambil keputusan investasi dalam saham (Purnomo, 1998:33-38); Kedua, fluktuasi tingkat bunga akan mempengaruhi investasi dalam saham apakah dalam bentuk deposito atau tabungan (Nopirin, 1993:122) dan Ketiga, semakin berkembangnya pasar modal Alasan dilakukan penelitian mengenai Earning Per Share (EPS) dan tingkat bunga (interest rate) sebagai variabel dependen dalam Mulyono (2000:100) adalah sebagai berikut: Pertama, kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih per lembar saham merupakan indikator fundamental keuangan perusahaan, yang seringkali dipakai sebagai acuan untuk mengambil keputusan investasi dalam saham (Purnomo, 1998:33-38); Kedua, fluktuasi tingkat bunga akan mempengaruhi investasi dalam saham apakah dalam bentuk deposito atau tabungan (Nopirin, 1993:122) dan Ketiga, semakin berkembangnya pasar modal

Sedangkan alasan dipilihnya perusahaan Food and Beverage sebagai sampel penelitian karena perusahaan-perusahaan Food and Beverage lebih stabil dan tidak mudah terpengaruh oleh kondisi perekonomian (seperti: inflasi). Selain itu kelancaran industri Food and Beverage lebih terjamin karena dalam kondisi apapun konsumen tetap membutuhkan makanan dan minuman (costumer good).

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi dunia pendidikan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan literatur akuntansi dan memperkaya referensi bagi pembaca.

2. Bagi dunia praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi investor untuk pengambilan keputusan dalam pemilihan saham yang layak.

3. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat menjadi bahan perbandingan untuk mengadakan penelitian lebih lanjut.

BAB II TINJAUAN LITERATUR DAN HIPOTESIS

2.1 Pasar Modal

Secara formal pasar modal didefinisikan sebagai pasar untuk berbagai instrumen keuangan atau sekuritas jangka panjang yang dapat diperjualbelikan baik dalam bentuk hutang maupun modal sendiri, baik yang diterbitkan oleh pemerintah, public authorities, maupun perusahaan swasta. Dengan demikian pasar modal merupakan konsep yang lebih sempit dari pasar keuangan (financial market). Menurut Husnan (1996:3) pasar modal didefinisikan sebagai pasar untuk berbagai instrumen keuangan (sekuritas) jangka panjang, baik dalam bentuk modal sendiri (stock) maupun hutang (bonds), baik yang diterbitkan oleh pemerintah (public authorities) maupun oleh perusahaan swasta (private sectors).

Darmadji dan Fakhruddin (2001:1) mendefinisikan pasar modal sebagai pasar berbagai instrumen keuangan jangka panjang seperti saham, obligasi, warrant, dan right yang diperjualbelikan baik dalam bentuk hutang maupun modal sendiri. Saham-saham dalam pasar modal lebih beragam daripada dalam pasar uang. Jadi pasar modal dapat dikatakan memiliki pengertian yang lebih sempit dalam hal sekuritas yang diperdagangkan. Hal ini disebabkan pasar modal hanya memperdagangkan sekuritas jangka panjang (yang lebih beragam).

Selanjutnya Sunariyah (2004:4) mengatakan secara umum pasar modal adalah suatu sistem keuangan yang terorganisasi, termasuk di dalamnya adalah bank komersial dan semua lembaga perantara dua bidang keuangan, serta seluruh surat berharga yang beredar.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pasar modal menjalankan fungsi ekonomi dan keuangan dalam perekonomian suatu negara. Sehingga dapat dikatakan bahwa kinerja pasar modal merupakan salah satu indikator dari kondisi ekonomi suatu negara. Ini berarti pada saat kondisi ekonomi suatu negara sedang mengalami pertumbuhan, maka kinerja pasar modal akan meningkat seiring dengan peningkatan kondisi ekonomi tersebut. Sebaliknya, pada saat kondisi ekonomi sedang menurun, kinerja pasar modal juga akan menurun. Dasar pemikiran dari hubungan sebab akibat ini adalah jika kinerja ekonomi secara makro menurun, maka perusahaan yang menerbitkan saham Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pasar modal menjalankan fungsi ekonomi dan keuangan dalam perekonomian suatu negara. Sehingga dapat dikatakan bahwa kinerja pasar modal merupakan salah satu indikator dari kondisi ekonomi suatu negara. Ini berarti pada saat kondisi ekonomi suatu negara sedang mengalami pertumbuhan, maka kinerja pasar modal akan meningkat seiring dengan peningkatan kondisi ekonomi tersebut. Sebaliknya, pada saat kondisi ekonomi sedang menurun, kinerja pasar modal juga akan menurun. Dasar pemikiran dari hubungan sebab akibat ini adalah jika kinerja ekonomi secara makro menurun, maka perusahaan yang menerbitkan saham

2.2 Earning Per Share (EPS)

2.2.1 Pengertian Earning Per Share (EPS)

Investasi di pasar modal memerlukan ketelitian dan kehati-hatian dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan saham. Oleh sebab itu, penilaian saham secara akurat sangat diperlukan untuk meminimalkan risiko sekaligus membantu investor mendapatkan keuntungan wajar, mengingat investasi di pasar modal merupakan jenis investasi yang cukup berisiko tinggi meskipun menjanjikan keuntungan yang relatif besar.

Investor mempunyai kepentingan yang cukup erat dengan kondisi keuangan perusahaan yang berguna dalam pengambilan keputusan dalam melakukan investasi saham, sehingga investor perlu menganalisa kondisi keuangan perusahaan. Untuk mengevaluasi kondisi keuangan perusahaan, investor dapat melakukannya dengan menghitung rasio keuangan perusahaan. Salah satu perhitungan yang dapat digunakan oleh investor adalah dengan menggunakan Earning Per Share (EPS), yaitu jumlah pendapatan yang diperoleh dalam satu perioda untuk tiap lembar saham yang beredar. Earning Per Share (EPS) merupakan indikator utama yang digunakan para pemodal dalam melihat daya tarik suatu saham. apabila Earning Per Share (EPS) mempunyai pertumbuhan bagus maka para pemodal akan tertarik untuk membeli saham sehingga akan menaikkan harga saham.

Kieso (1995:202) mendefinisikan Earning Per Share (EPS) sebagai suatu rasio yang biasa digunakan dalam prospektus, bahan penyajian, dan laporan tahunan kepada pemegang saham yang merupakan laba bersih dikurangi dividen (laba tersedia bagi pemegang saham biasa) dibagi dengan rata-rata tertimbang dari saham biasa yang beredar yang akan menghasilkan laba per saham. Sehingga Earning Per Share (EPS) merupakan jumlah pendapatan yang diperoleh dalam satu perioda untuk tiap lembar saham yang beredar. Sedangkan tingkat perumbuhan Earning Per Share (EPS) dapat ditunjukkan dari nilai EPS Kieso (1995:202) mendefinisikan Earning Per Share (EPS) sebagai suatu rasio yang biasa digunakan dalam prospektus, bahan penyajian, dan laporan tahunan kepada pemegang saham yang merupakan laba bersih dikurangi dividen (laba tersedia bagi pemegang saham biasa) dibagi dengan rata-rata tertimbang dari saham biasa yang beredar yang akan menghasilkan laba per saham. Sehingga Earning Per Share (EPS) merupakan jumlah pendapatan yang diperoleh dalam satu perioda untuk tiap lembar saham yang beredar. Sedangkan tingkat perumbuhan Earning Per Share (EPS) dapat ditunjukkan dari nilai EPS

Widoatmodjo (1996:49) dalam Hidayati (2005:21) lebih lanjut mengatakan bahwa angka Earning Per Share (EPS) diperoleh dengan cara membagi keuntungan yang diperoleh emiten (yang dimaksud adalah keuntungan setelah dipotong pajak, namun sebelum dibayarkan dividen) dengan jumlah saham biasa yang beredar. Darmadji dan Fakhruddin (2001:139) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Earning Per Share (EPS) adalah rasio yang menunjukkan seberapa besar keuntungan (return) yang diperoleh investor atau pemegang saham per saham. Sedangkan menurut Jones (2000:51) dalam Kharisma (2003:29) dalam Fananni (2004:32) menjelaskan bahwa Earning Per Share (EPS) menggunakan rasio berikut:

Net Income after Taxes

EPS =

Shar es Outs tan ding

Tujuan perhitungan Earning Per Share (EPS) menurut Machfoedz (2000:356) dalam Hidayati (2005:21) adalah untuk melihat progres dari operasi perusahaan, menentukan harga saham, dan menentukan besarnya dividen yang akan dibagikan. Pada umumnya pemegang saham tertarik dengan Earning Per Share (EPS) yang besar karena hal itu merupakan salah satu indikator keberhasilan perusahaan. Selanjutnya Syamsudin (1994:136) dalam Nawati (2004:32) mengatakan bahwa pada umumnya para pemegang saham tertarik dengan Earning Per Share (EPS) yang besar karena hal tersebut merupakan salah satu indikator keberhasilan perusahaan.

Sejalan dengan pemikiran di atas, maka tingkat pertumbuhan Earning Per Share (EPS) tergantung dari kemampuan perusahaan menghasilkan laba. Perusahaan dikatakan mengalami pertumbuhan positif Earning Per Share (EPS) apabila terdapat peningkatan Earning Per Share (EPS) dari satu perioda ke perioda berikutnya. Jadi, tingkat pertumbuhan Earning Per Share (EPS) adalah perubahan Earning Per Share (EPS) dari satu perioda ke perioda berikutnya. Dapat disimpulkan bahwa Earning Per Share (EPS) merupakan pendapatan per lembar saham biasa yang dihitung dari total laba bersih setelah dibagi dengan jumlah lembar saham biasa yang beredar. Sedangkan tingkat pertumbuhan Earning Per Share (EPS) menunjukkan peningkatan atau penurunan yang terjadi dari perioda satu ke perioda berikutnya.

2.2.2 Hubungan Earning Per Share (EPS) dan Harga Saham

Salah satu penyebab mengapa Earning Per Share (EPS) sangat popular adalah karena adanya anggapan bahwa Earning Per Share mengandung informasi yang penting untuk melakukan prediksi mengenai besarnya dividen dan tingkat harga saham dikemudian hari. Olsen (1996) dalam Mulyono (2000:101) mengemukakan bahwa informasi tentang laba perusahaan sangat diperlukan dalam melakukan penilaian terhadap saham. Besarnya Earning Per Share (EPS) yang diharapkan akan mempengaruhi tingkat kepercayaan investor terhadap investasi pada perusahaan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku investor terhadap saham dipengaruhi olaeh informasi laba yang dalam hal ini diwakili oleh Earning Per Share (EPS) sebagai cerminan kinerja perusahaan selama perioda tertentu.

Menurut Prastowo (1995:71) seorang investor membeli dan mempertahankan saham suatu perusahaan dengan harapan akan memperoleh dividen atau capital gain. Dalam hal ini laba biasanya menjadi dasar penentuan pembayaran dividen dari kenaikan harga saham biasa yang akan datang. Oleh karena itu para investor biasanya tertarik dengan angka Earning Per Share (EPS) yang dilaporkan perusahaan.

Pernyataan di atas menyiratkan bahwa Earning Per Share (EPS) memiliki hubungan yang erat dengan harga saham. Peningkatan Earning Per Share (EPS) mempengaruhi hasil pengembalian yang berhak diperoleh investor dalam bentuk dividen dan capital gain.

Widoatmodjo (1996:96) dalam Hidayati (2005:23) mengatakan bahwa di dalam perdagangan saham Earning Per Share (EPS) sangat berpengaruh pada harga pasar saham. Semakin tinggi Earning Per Share (EPS) semakin mahal suatu saham, dan sebaliknya, karena Earning Per Share merupakan salah satu bentuk rasio keuangan untuk menilai kinerja perusahaan, maka Earning Per Share (EPS) mempunyai hubungan positif dengan harga pasar saham. Jika permintaan saham meningkat sedangkan penawarannya relatif tetap akan menyebabkan turunnya harga pasar saham. Perubahan harga pasar saham atau fluktuasi harga pasar saham ini akan mendatangkan capital gain atau capital loss bagi investor. Selanjutnya Husnan (1996:38) dalam Resmi (2002:279) dalam Fananni (2004:36) menngatakan bahwa tingkat pendapatan perusahaan yang tercermin dari Earning Per Share (EPS) terkait erat dengan peningkatan harga Widoatmodjo (1996:96) dalam Hidayati (2005:23) mengatakan bahwa di dalam perdagangan saham Earning Per Share (EPS) sangat berpengaruh pada harga pasar saham. Semakin tinggi Earning Per Share (EPS) semakin mahal suatu saham, dan sebaliknya, karena Earning Per Share merupakan salah satu bentuk rasio keuangan untuk menilai kinerja perusahaan, maka Earning Per Share (EPS) mempunyai hubungan positif dengan harga pasar saham. Jika permintaan saham meningkat sedangkan penawarannya relatif tetap akan menyebabkan turunnya harga pasar saham. Perubahan harga pasar saham atau fluktuasi harga pasar saham ini akan mendatangkan capital gain atau capital loss bagi investor. Selanjutnya Husnan (1996:38) dalam Resmi (2002:279) dalam Fananni (2004:36) menngatakan bahwa tingkat pendapatan perusahaan yang tercermin dari Earning Per Share (EPS) terkait erat dengan peningkatan harga

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan Earning Per Share (EPS) menyebabkan peningkatan dividen dan harga saham. sedangkan peningkatan harga pasar saham menyebabkan timbulnya capital gain. Pertumbuhan Earning Per Share (EPS) akan mempengaruhi hasil pengembalian yang akan diperoleh investor dalam bentuk capital gain atau capital loss dan dividen.

2.3 Tingkat Bunga (Interest Rate)

Bunga (interest) dari sisi permintaan adalah biaya atas pinjaman, sedangkan dari sisi penawaran merupakan pendapatan atas pemberian kredit. Tingkat bunga dinyatakan sebagai presentase uang pokok per unit waktu. Bunga merupakan suatu harga ukuran sumberdaya yang digunakan oleh debitur yang dibayarkan kepada kreditur. Unit waktu biasanya dinyatakan dalam satuan tahun (satu tahun investasi) atau bisa lebih pendek dari satu tahun.

Salah satu sifat tingkat bunga adalah mudah berubah-ubah; yang terjadi dalam yang terjadi dalam kurun waktu yang relatif singkat bunga berjangka waktu pendek. Tingkat bunga jangka panjang relatif kurang berfluktuatif.

2.3.1 Fungsi Tingkat Bunga dalam Suatu Perekonomian

Tingkat bunga terbentuk di pasar akibat interaksi kekuatan pasar uang dan modal. Dalam suatu negara, pemerintah terkadang melakukan campur tangan dalam menentukan tarip bunga di pasar keuangan. Tingkat bunga mempunyai beberapa fungsi pada suatu perekonomian, antara lain:

1. Sebagai daya tarik bagi para penabung baik individu, institusi, atau lembaga yang mempunyai dana lebih untuk diinvestasikan.

2. Tingkat bunga dapat digunakan sebagai alat kontrol bagi pemerintah terhadap dana langsung atau investasi pada sektor-sektor ekonomi.

3. Tingkat bunga dapat digunakan sebagai alat moneter dalam rangka mengendalikan penawaran dan permintaan uang yang beredar dalam

suatu perekonomian.

4. Pemerintah dapan memanipulasi tingkat bunga dengan mengendalikan produksi, sebagai akibatnya tingkat bunga dapat digunakan untuk mengontrol tingkat inflasi.

2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Bunga

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan tingkat bunga menurut Dahlan Siamat (1995) dalam Feba (2002:22) adalah:

1. Perkiraan tingkat inflasi yang terjadi.

2. Adanya pergeseran dalam sisi supply dan demand dari loanable funds. Apabila garis supply bergeser ke kanan, tingkat bunga akan turun dan bila bergeser ke kiri maka tingkat bunga akan naik. Bila kurva demand bergerak ke kanan maka tingkat bunga akan naik, sedangkan bila bergeser ke kiri, tingkat bunga akan turun.

3. Pendapatan agregat (agregate income). Pendapatan mempengerahi penawaran, permintaan, dan tingkat bunga dengan berbagai cara. Antara lain melalui permintaan uang. Apabila pendapatan naik maka permintaan naik. Hal ini meningkatkan kekurangan uang dan meningkatkan pinjaman.

2.3.3 Teori Tingkat Bunga

Ada beberapa teori yang membahas dan menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat bunga dalam suatu ekonomi atau pasar modal. Tiap- tiap teori memiliki keterkaitan dengan kekuatan dalam pasar keuangan. Dengan demikian penting bagi pelaku pasar untuk mengetahui teori-teori tingkat bunga agar mengerti bagaimana operasionanya dan relevansinya terhadap pasar modal.

2.3.3.1 Teori Suku Bunga Klasik

Menurut ekonom klasik dalam Feba (2002:23), permintaan dan penawaran investasi pada pasar modal menentukan tingkat bunga. Tingkat bunga akan menentukan tingkat keseimbangan antara jumlah tabungan dan permintaan investasi. Adapun tingkat bunga sendiri ditentukan oleh:

1. Penawaran Tabungan Tabungan dalam teori ekonomi klasik merupakan fungsi dari tingkat suku bunga. Tabungan adalah selisih antara pendapatan dan konsumsi. Dengan asumsi tingkat pendapatan adalah sama, maka konsumen dengan tingkat konsumsi rendah akan mempunyai tabungan yang lebih besar.

Tingkat bunga diasumsikan mempunyai peranan penting untuk menentukan jumlah tabungan. Semakin tinggi tingkat suku bunga, maka Tingkat bunga diasumsikan mempunyai peranan penting untuk menentukan jumlah tabungan. Semakin tinggi tingkat suku bunga, maka

2. Permintaan investasi modal terutama dari sektor bisnis. Jumlah dana yang dapat digunakan untuk investasi merupakan faktor penentu tingkat bunga. Tinggi rendahnya penawaran dan investasi ditentukan oleh tinggi rendahnya tabungan masyarakat. Jika tingkat bunga di pasar menarik bagi investor, maka unit bisnis akan melakukan permintaan dana untuk investasi. Jadi tinggi rendahnya tingkat suku bunga menentukan pengeluaran investasi yang berarti mempengaruhi penghasilan investor. Fluktuasi pada tingkat suku bunga juga mempengaruhi keuntungan investor. Jatuhnya tingkat suku bunga secara normal baik untuk bisnis dan

keuntungan perusahaan, sementara kenaikan tingkat suku bunga berdampak pada kerugian, keuntungan dan mempengaruhi harga saham.

Ekonomi klasik berpendapat bahwa tingkat harga bunga di pasar ditentukan oleh keseimbangan antara penawaran tabungan dan permintaan investasi. Titik perpotongan antara tabungan dan total investasi menunjukkan bahwa dimungkinkan adanya peminjaman dan meminjamkan dana. Jika tingkat suku bunga berada pada posisi di bawah keseimbangan (equilibrium), pengusaha menginginkan dana lebih banyak dari yang telah siap disediakan oleh penabung dan kompetisi ini akan memaksa tingkat suku bunga naik.

Jika tingkat suku bunga berada di bawah tingkat keseimbangan, para penabung akan meminjam lebih banyak daripada yang akan diinvestasikan oleh pengusaha, dan kompetisi ini akan memaksa biaya pinjaman menurun. Kondisi ini ditunjukkan pada gambar 2.1 di bawah sebagai berikut:

Tingkat bunga

investment

Equilibrium Rate

Below Equilibrium Rate

saving

Saving, investment

Sumber: Lawrence S. Ritter and William L. Silber, 1986, hal. 172 dalam Y. A. Feba (2002:24)

Gambar 2.1 Tingkat Suku Bunga Equilibrium Pada Teori Suku Bunga Klasik

2.3.3.2 Teori Preferensi Likuiditas Suku Bunga

Teori ini berhubungan dengan ekonom Inggris John Maynart Keyness. Keyness dalam Feba (2002:26) mengatakan bahwa tingkat bunga merupakan pembayaran untuk penggunaan sebuah sumber daya yang langka (uang). Tingkat bunga adalah harga yang dikeluarkan debitur yang mendorong seorang kreditur memindahkan sumber daya tersebut.

Tingkat bunga dalam teori Keynessian ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor permintaan terhadap uang dan penawaran akan uang. Karena nilai uang juga ditentukan oleh kedua faktor tersebut, maka suku bunga juga ditentukan oleh faktor-faktor tersebut. Faktor permintaan terhadap uang tunai oleh Keyness disebut “liquidity preference”. Jadi tingkat bunga ditentukan oleh liquidity

preference dan jumlah permintaan dan penawaran uang. Tingkat bunga naik jika jumlah uang sedikit dan permintaan terhadapnya besar, sebaliknya tingkat bunga turun bila jumlah uang besar dan tingkat permintaan terhadapnya sedikit.

Menurut Keyness dalam Feba (2002:26), ada tiga motif yang dapat mendorong orang melakukan permintaan terhadap uang. Ketiga permintaan tersebut adalah:

1. Motif transaksi Jumlah uang yang dibutuhkan untuk motif transaksi berhubungan dengan dengan employment dan jumlah pendapatan, dengan kata lain

tergantung pada tingkat umum aktivitas perusahaan. Permintaan uang pada motif ini untuk membeli barang dan jasa.

2. Motif berjaga-jaga Kebutuhan uang tunai untuk keperluan tak terduga disebut alasan berhati-hati, yang menurut Keyness tergantung pada sifat perusahaan, kemajuan pasar.

3. Motif spekulasi Motif spekulasi didefinisikan sebagai tujuan untuk memperoleh keuntungan meskipun belum mengetahui pasar dengan lebih baik. Di mana belum tentu akan memperoleh keuntungan di masa depan.

Jadi, motif spekulasi sangat mempengaruhi tingkat suku bunga. Di mana jumlah uang yang ada pada motif spekulasi tersebut merupakan kelebihan dari jumlah uang yang diminta dalam motif transaksi dan motif berjaga-jaga. Apabila liquidity preference untuk motif spekulasi meningkat maka suku bunga akan naik, sebaliknya apabila liquidity preference untuk motif spekulasi berkurang maka suku bunga akan turun.

Grafik A

Grafik B

Rate of Curve Liquidity

Income

I’ I”

Interest Preference

Y”

I’

Y’

I”

Y”

Y’ Amount of Money

Amount of Money

M ’ M” M”

Sumber: Alfred W. Stonier and Douglas C. Hague, 1969, hal. 305 dalam Y. A. Feba (2002:27)

Gambar 2.2 Tingkat Suku Bunga Pada Teori Preferensi Likuiditas

Suku Bunga

Grafik 2.2 menunjukkan hubungan antara tiga variabel yaitu jumlah uang (M), tingkat suku bunga (I), dan pendapatan (Y). Pada Grafik A kurva Y’ menunjukkan liquidity preference ketika pendapatan adalah Y’ pada tingkat suku bunga yang beragam; dengan kata lain menunjukkan jumlah uang yang diminta oleh masyarakat pada tingkat suku bunga yang beragam ketika pendapatan adalah Y’. Kurva Y” juga menggambarkan keadaan yang sama. Kurva Y” menunjukkan jumlah uang yang diminta masyarakat pada tingkat suku bunga yang beragam ketika pendapatan adalah Y”. Y” menjadi lebih besar dari Y’.

Pada Grafik B, selain menggambarkan mengenai tingkat pendapatan yang diberikan pada masing-masing kurva, juga menggambarkan tingkat suku bunga yang diberikan. Jadi kurva I’ menunjukkan jumlah uang yang diminta ketika pandapatan pada tingkatan yang beragam dan tingkat suku bunga adalah I’. Kurva I” juga menggambarkan keadaan yang sama. Kurva I” menunjukkan jumlah uang yang diminta pada tingkatan-tingkatan pendapatan yang sama ketika tingkat suku bunga lebih rendah dari I”. Grafik B memberikan versi alternatif dari rencana liquidity preference.

2.3.4 Hubungan Tingkat Bunga dan Harga Saham

Martin J. Pring (1988) dalam Feba (2002:30) menyebutkan bahwa perubahan tingkat bunga dapat mempengaruhi tingkat saham karena tiga alasan berikut:

1. Fluktuasi pada harga yang dikenakan pada uang mempengaruhi pendapatan atau profit yang bisa didapat oleh perusahaan sehingga mempengaruhi harga saham yang akan dibeli oleh investor.

2. Pergerakan tingkat bunga mengubah antara aset-aset finansial yang saling bersaing, di mana hubungan antara pasar obligasi atau pasar saham menjadi sangat penting.

3. Sejumlah ekuitas yang berarti dibeli dengan uang pinjaman sehingga perubahan-perubahan dalam biaya hutang tersebut, seperti tingkat bunga, memengaruhi keinginan dalam memegang saham.

2.4 Saham

Suad Husnan (1996:27) mendefinisikan sekuritas sebagai secarik kertas yang menunjukkan hak pemilik kertas tersebut untuk memperoleh bagian dari prospek atau kekayaan perusahaan yang menerbitkan sekurirtas tersebut dan Suad Husnan (1996:27) mendefinisikan sekuritas sebagai secarik kertas yang menunjukkan hak pemilik kertas tersebut untuk memperoleh bagian dari prospek atau kekayaan perusahaan yang menerbitkan sekurirtas tersebut dan

2.4.1 Analisis Saham

Terdapat bemacam-macam pendekatan untuk menganalisis saham, namun pada dasarnya semua pendekatan tersebut merupakan salah satu dari dua pendekatan yang umum. Menurut Sunariyah (2004:168) untuk menganalisis saham dengan pendekatan tradisional digunakan dua analsis, yaitu analisis teknikal dan analisis fundamental.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara garis besar terdapat dua metode yang digunakan untuk menganalisis saham, yaitu:

1. Analisis fundamental yaitu analisis yang berasumsi bahwa suatu sekuritas mempunyai nilai intrinsik yang sebanding dengan nilai saat ini (present value) dari semua aliran kas aset pemilik yang diharapkan akan diterima. Jadi dapat dikatakan bahwa faktor-faktor fundamental dapat berasal dari dalam perusahaan seperti tingkat penjualan dan laba usaha perusahaan, siklus usaha perusahan, dan rasio-rasio keuangan perusahaan.

2. Analisis teknikal yaitu analisis yang dilakukan dengan mempelajari harga pasar saham sebagai usaha untuk memprediksi pergerakan harga saham di masa yang akan datang.

2.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Saham

Menurut Darmadji dan Fakhruddin (2001:10) dalam Fananni (2004:23) mengatakan bahwa harga saham dibentuk karena adanya pemintaan dan penawaran atas saham. permintaan dan penawaran tersebut terjadi karena adanya banyak faktor, baik yang sifatnya spesifik atas saham tersebut (kinerja perusahaan dan industri dimana perusahaan tersebut bergerak) maupun faktor yang sifatnya makro seperti kondisi ekonomi negara, kondisi sosial dan politik, maupun informasi-informasi yang berkembang. Selanjutnya, Husnan dan Pudjiastuti (1998:134) mengatakan apabila kemampuan perusahaan menghasilkan laba meningkat, harga saham akan meningkat. Dengan kata lain, profitabilitas akan mempengaruhi harga saham.

Sedangkan Marzuki Usman (1990:166) Feba (2002:36) berpendapat bahwa dari sudut pandang pemegang saham, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap harga saham dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:

1. Faktor yang bersifat fundamental Merupakan faktor yang memberikan informasi tentang kinerja perusahaan dan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhinya. Faktor- faktor ini meliputi:

a. Kemampuan manajemen dalam mengelola kegiatan operasional perusahaan.

b. Prospek bisnis perusahaan di masa datang.

c. Prospek pemasaran dari bisnis yang dilakukan.

d. Perkembangan teknologi yang digunakan dalam kegiatan operasi perusahaan.

e. Kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan.

2. Faktor yang bersifat teknis Faktor teknis menyajikan informasi yang menggambarkan pasaran suatu efek baik secara individu maupun secara kelompok. Para analis teknis dalam menilai harga saham banyak memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Perkembangan kurs.

b. Keadaan pasar modal.

c. Volume dan frekuensi transaksi suku bunga.

d. Kekuatan pasar modal dalam mempengaruhi harga saham perusahaan.

3. Faktor sosial politik

a. Tingkat inflasi yang terjadi.

b. Kebijaksanaan moneter yang dilakukan oleh pemerintah.

c. Kondisi perekonomian.

d. Keadaan politik suatu negara.

Menurut Mead Press tam Work dalam Feba (2002:26), faktor-faktor yang mempengaruhi harga saham adalah:

1. Kebijakan pemeritah dan dampaknya. Kebijakan pemerintah yang berkaitan langsung dengan bidang bisnis perusahaan emiten sangat berpengaruh terhadap harga saham misalnya swastanisasi perusahaan negara.

2. Pergerakan suku bunga. Suku bunga yang tinggi menyebabkan peningkatan proporsi operating. Dari sisi perbankan, peningkatan suku bunga SBI memberikan peluang pendapatan dari simpanannya di bank sentral dan menaikkan biaya usaha. Dengan naiknya SBI, menaikkan suku bunga deposito dan mengakibatkan meningkatnya suku bunga kredit (karena pendapatan andalan bank di Indonesia adalah pendapatan bunga) yang menyebabkan emiten sulit untuk mengembalikan pinjamannya sehingga cash flow terganggu dan harga saham menjadi terkoreksi amat tinggi.

3. Fluktuasi nilai tukar. Melambungnya kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika secara otomatis meningkatkan volume hutang luar negeri perusahaan-perusahaan emiten. Hal ini memperburuk kinerja keuangan dan meningkatkan proporsi financial leverage. Indeks pasar di BEJ cenderung mengikuti pergerakan bursa internasional karena domonasi dana asing dan pemodal lokal cenderung menggunakan strategi follower terhadap aksi pemodal asing.

4. Rumor dan sentimen pasar. Sentimen pasar terbentuk oleh pemicu seperti kebijaksanaan pemerintah atau pernyataan pejabat-pejabat tertentu.

2.5 Hubungan Antar Variabel

2.5.1 Hubungan antara Earning Per Share (EPS) dan Tingkat Bunga terhadap Harga Saham

Analisa terhadap nilai saham merupakan langkah mendasar yang harus dilakukan oleh investor sebelum melakukan investasi (Sivy, 1998:29-30) dalam Mulyono (2000:101). Ada dua model yang lazim digunakan dalam menganalisis saham, yaitu model fundamental dan model teknikal (Fischer & Jordan,

1995:510-512) dalam Mulyono (2000:101). Model fundamental mencoba memperkirakan harga saham di masa datang melalui dua cara (Husnan, 1996:285) yakni: pertama melakukan estimasi nilai-nilai faktor yang fundamental yang mempengaruhi harga saham di waktu mendatang; dan kedua menerapkan hubungan faktor-fakto tersebut sehingga diperoleh taksiran harga saham. Oleh karena itu, untuk melakukan evaluasi dan proyeksi terhadap harga saham, diperlukan informasi tentang kinerja fundamental keuangan perusahaan (Purnomo, 1998:33-38) dalam Mulyono (2000:101).

Sedangkan penilitian yang mengkaji mengenai pengaruh EPS terhadap harga saham antara lain dilakukan Purnomo (1998:33-38) dalam Mulyono (2000:101), yang mengkaji keterkaitan kinerja keuangan dengan harga saham pada 30 emiten di BEJ pada perioda waktu 1992-1996. Penelitiannya melaporkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara harga saham dengan indikator kinerja keuangan emiten seperti earning per share (EPS), price equity ratio (PER), return on equity (ROE), dan devidend per share (DPS). Eddy & Seifert (1992:207-217) dalam Mulyono (2000:101) melakukan penelitian tentang reaksi pasar saham terhadap pengumuman dividen dan laba dengan mengambil sampel penelitian sebanyak 1111 perusahaan dan perioda waktu penelitiannya mulai tahun 1983 sampai 1985. Mereka berkesimpulan bahwa pengumuman dividen dan laba secara bersamaan mendapat reaksi positif signifikan lebih kuat dari harga saham dibandingkan jika hanya mengumumkan laba atau dividen saja. Ewijaya & Indriantoro (1999:53-65) dalam Mulyono (2000:101) menunjukkan bahwa dividen dan perubahan dividen memberikan pengaruh yang positif signifikan terhadap harga saham, sedangkan variabel laba per saham dan perubahan laba per saham tidak memberikan pengaruh yang signifikan.

Di samping EPS, variabel lain yang berpengaruh terhadap harga saham adalah tingkat bunga. Abelson (1998:3-4) dalam Mulyono (2000:102) melihat adanya hubungan yang erat antara tingkat bunga dan harga saham. Du Bois (1996:10-11) dalam Mulyono (2000:102) mengatakan bahwa tingkat bunga merupakan kunci penentu dalam perkembangan harga saham.

Penelitian antara tingkat bunga dan harga saham antara lain dilakukan Silalahi (1991) dalam Mulyono (2000:102), yang menganalisa beberapa faktor yang mempengaruhi peruahan harga saham pada 38 perusahaan yang listing di BEJ untuk perioda tahun 1989 sampai 1990. ia menunjukkan bahwa total rate of Penelitian antara tingkat bunga dan harga saham antara lain dilakukan Silalahi (1991) dalam Mulyono (2000:102), yang menganalisa beberapa faktor yang mempengaruhi peruahan harga saham pada 38 perusahaan yang listing di BEJ untuk perioda tahun 1989 sampai 1990. ia menunjukkan bahwa total rate of

Di samping itu, menurut Bolten & Weigand (1998:77-84) dalam Mulyono (2000:102) ada beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa harga saham berhubungan negatif dengan tingkat bunga; pada saat tingkat bunga rendah membawa pengaruh yang positif terhadap harga saham. Dengan demikian, pada saat suku bunga tinggi hasrat individu untuk menginvestasikan uang dalam tabungan dan deposito akan meningkat sedangkan investasi dalam bentuk saham akan berkurang sehingga permintaan terhadap saham akan menurun yang mana hal ini akan berakibat pada penurunan harga saham. Oleh karena itu, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

H 1 : Terdapat pengaruh nyata secara bersama-sama earning per share (EPS) dan tingkat bunga terhadap harga Food and Beverage yang go public di Bursa Efek Jakarta (BEJ)

H 2 : Terdapat pengaruh nyata secara individual (parsial) dari kedua faktor tersebut (earning per share dan tingkat bunga) terhadap harga saham Food and Beverage yang go public di Bursa Efek Jakarta (BEJ).

2.6 Rerangka Penelitian

Earning per share (EPS)

Harga saham

Tingkat bunga (interest rate)

Variabel yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Dependent variable (Y) yang dalam hal ini adalah harga saham pada setiap perusahaan objek penelitian dalam setiap semester.

2. Independent variable (X) merupakan variabel-variabel yang diduga mempengaruhi variabel terkait Y (harga saham) perusahaan yang diteliti.

Variabel bebas tersebut terdiri dari X 1 = Earning Per Share (EPS) dan X 2 = Tingkat Bunga (Interest Rate). Harga saham yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah harga saham semesteran perusahan sampel penelitian, dengan periode waktu dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2004. Harga saham merupakan indikator nilai perusahaan yang melakukan go public di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Data mengenai harga saham ini diukur dengan satuan rupiah dan berskala rasio.

Earning per share (EPS) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Earning per share (EPS) semesteran dari masing-masing perusahaan sampel, yaitu mulai dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2004. Informasi tentang Earning Per Share (EPS) tahunan diperoleh dari Bursa Efek Jakarta (BEJ) tempat perusahaan melakukan go public. Data mengenai EPS ini diukur dengan satuan rupiah dan berskala rasio.

Tingkat bunga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat bunga deposito semesteran Bank-bank Pemerintah, yang sumber informasinya diperoleh dari laporan Bank Indonesia dengan perioda waktu tahun 2002 sampai dengan tahun 2004. Tingkat bunga merupakan variabel yang dapat dijadikan pedoman oleh investor untuk menentukan investasi atas dana yang dimiliki. Data mengenai tingkat bunga deposito diukur dengan angka presentase dan berskala rasio.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk menganalisis pengaruh earning per share (EPS) dan tingkat bunga terhadap harga saham, maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksplanatoris. Menurut Singarimbum dan Effendi (1995:5) dalam Arifin (2004:37), explanatory research adalah penelitian yang membahas hubungan antar variabel penelitian dan menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya dengan fokus terletak pada penjelasan hubungan antar variabel yang terdapat dalam model penelitian.

3.2 Pemilihan Sampel dan Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data skunder yang diperoleh dari data yang dipublikasikan oleh Bursa Efek Jakarta (BEJ), Indonesia Capital Market Directory, literatur, jurnal ilmiah, hasil penelitian, dan laporan Bank Indonesia yang dipandang relevan dengan topik penelitian. Penelitian ini dilakukan terhadap perusahaan yang masuk dalam kelompok Food and Beverage. Sebab, perusahaan kelompok ini memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap perkembangan Pasar Modal Indonesia. Disamping itu, pembatasan kelompok perusahan dimaksudkan agar sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu mengamati fluktuasi harga saham hanya pada satu kelompok perusahaan saja.

Dari perusahaan kelompok Food and Beverage yang dijadikan sebagai populasi penelitian, selanjutnya dilakukan pengambilan sampel dengan menggunakan metode purposive sampling. Menurut Sekaran (1992:235), purposive sampling terkadang sangat penting digunakan dalam mencari informasi sasaran yang spesifik, karena tipe-tipe khusus dari objek penelitian dapat memberikan informasi yang diperlukan, dan mereka merupakan kelompok yang bisa memberikan informasi yang dibutuhkan.

Djarwanto dan Subagyo (1993:114-115) menyatakan bahwa purposive sampling merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan cara non- random sampling memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan non-random sampling; Pertama, penyediaan biaya yang terbatas karena obyek atau data Djarwanto dan Subagyo (1993:114-115) menyatakan bahwa purposive sampling merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan cara non- random sampling memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan non-random sampling; Pertama, penyediaan biaya yang terbatas karena obyek atau data

Sesuai dengan pernyataan di atas, bahwa kelebihan dari penyampelan dengan non-random sampling adalah faktor kepraktisan (kecepatan waktu dan biaya yang murah) yang merupakan pertimbangan pokok dalam pemilihan sampel secara tidak acak, sedangkan kelemahan pada metode ini adalah hasil analisis yang kemampuan generalisasinya rendah.

Sedangkan syarat yang perlu diperhatikan untuk penyampelan secara purposive, menurut Hadi (1983:83) dalam Mulyono (2000:104) adalah didasarkan pada:

1. Informasi yang mendahului (previous knowledge) tentang kondisi populasi, dan informasi ini harus akurat.

2. Sampel penelitian tersebut mempunyai keterkaitan yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya di mana penentuan sampel didasarkan pada kelompok kunci (key areas, key groups, dan key clusters).

Bertolak dari pernyataan di atas, maka secara umum ciri-ciri dan sifat-sifat perusahaan yang menjadi sampel penelitian adalah sebagai berikut:

1. Terdaftar sebagai anggota Bursa Efek Jakarta selama periode penelitian.

2. Memasarkan sahamnya melalui Bursa Efek Jakarta.

3. Bergerak dalam bidang Food and Beverage.

4. Transaksi saham dipengaruhi oleh mekanisme pasar modal dan juga dipengaruhi oleh informasi-informasi yang berlaku bagi seluruh perusahaan yang go public.

5. Selama periode penelitian perusahaan tidak melakukan stock split dan reserve split.

6. Menerbitkan laporan keuangan semesteran selama periode penelitian. Dari umum ciri-ciri dan sifat-sifat perusahaan yang menjadi sampel penelitian maka terdapat 16 perusahaan yang menjadi sampel penelitian :

1. PT. Ades Water Indonesia Tbk.

2. PT. Aqua Golden Mississippi Tbk.

3. PT. Cahya Kalbar Tbk.

4. PT. Delta Djakarta Tbk.

5. PT. Indofood Sukses Makmur Tbk.

6. PT. Mayora Indah Tbk.

7. PT. Multi Bintang Indonesia Tbk.

8. PT. Prashida Aneka Niaga Tbk.

9. PT. Sekar Laut Tbk.

10. PT. Siantar Top Tbk.

11. SMART Tbk.

12. PT. Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk.

13. PT. Tunas Baru Lampung Tbk.

14. PT. Ultrajaya Milk Tbk. Kemudian dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data dokumenter dan mengumpulkan data sebanyak 84 dari hasil pengumpulan data tersebut.

3.3 Pengukuran Variabel

3.3.1 Analisis Regresi

3.3.1.1 Uji F

Uji ini merupakan pengujian terhadap koefisien regresi secara bersama- sama, yakni melihat pengaruh dari seluruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. H 0 :  1 =  2 = 0, artinya bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan (nyata) dari seluruh variabel bebas (X 1 dan X 2 ) terhadap variabel terikat (Y).

2. H A :  1 =  2 

0, artinya bahwa terdapat pengaruh yang signifikan (nyata) dari seluruh variabel bebas (X 1 dan X 2 ) terhadap variabel terikat (Y).

Adapun rumus F hitung adalah sebagai berikut (Gujarati, 1995:258):

R 2 /( k  1 )

F hitung 

( 1  R ) /( n  k )

Sedangkan untuk menentukan F ta b el digunakan taraf signifikan sebesar 5% dan derajad kebebasan df = (k – 1) dan (n – k). Selanjutnya dilihat apabila F hitung

lebih dari F ta b el ( F hitung > F ta b el ), maka terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel bebas secara simultan terhadap variabel terkait, atau dengan kata lain

H 0 ditolak dan hipotesis H A diterima. Sebaliknya jika F hitung kurang dari F ta b el ( F hitung > F ta b el ), maka H 0 diterima dan hipotesis H A ditolak, artinya tidak terdapat pengaruh nyata secra simultan dari variabel bebas terhadap variabel

terikat. Kelebihan dari pengujian hipotesis dengan uji F adalah hasil pengujian antara pengaruh variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen memiliki tingkat keakuratan yang baik. Sedangkan, kelemahan dari uji ini adalah hasil regresi yang tidak bisa digeneralisasi dengan model variabel lain yang tidak termasuk dalam model penelitian, karena pengujian ini hanya menggunakan model variabel yang telah ditentukan. Sehingga hasil dari regresi tidak akan sama bila menggunakan variabel-variabel lain yang tidak termasuk dalam model penelitian.

3.3.1.2 Uji t

Uji t digunakan untuk menguji koefisien regresi secara parsial dari variabel bebas terhadap variabel terikat, di mana hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. H 0 :  1 = 0, artinya tidak terdapat pengaruh yang signifikan) dari seluruh variabel bebas X i terhadap variabel terikat Y.

2. H A :  1  0, artinya terdapat pengaruh yang signifikan dari seluruh variabel bebas X i terhadap variabel terikat Y.

Untuk menentukan t ta b el , taraf signifikan yang digunakan sebesar 5% dengan derajad kebebasan, df = (n – k – 1) di mana k merupakan jumlah variabel bebas. Penghitungan H 0 dilakukan dengan rumus sebagai berikut:

koefisien regresi β i

t hitung 

standard deviasi  i

H 0 ditolak atau X i diterima, bilamana t hitung lebih besar dari t ta b el , artinya terdapat pengaruh signifikan dari variabel bebas secara parsial terhadap variabel terikat.

Kelebihan dari pengujian hipotesis dengan uji t adalah hasil pengujian yang memiliki tingkat signifikansi yang akurat hanya pada masing masing variabel independen yang terdapat dalam model penelitian. Sedangkan, kelemahan dari uji t adalah hasil regresi yang tidak bisa digeneralisasi karena pengujian ini hanya menggunakan model variabel yang telah ditentukan, sehingga hasil dari regresi tidak akan sama apabila penelitian menggunakan variabel-variabel lain yang tidak terdapat dalam model penelitian ini.

3.3.2 Uji Asumsi Klasik

Untuk melihat kejelasan pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat (harga saham), maka peneliti menggunakan ordinary least square (OLS) yang didasarkan pada polling data. Persamaan umum model tersebut adalah sebagai berikut:

Untuk memperoleh nilai koefisien  1 , yang tidak bias, model harus memenuhi asumsi-asumsi klasik berikut: tidak ada multicollinearity, tidak ada gejala

heteroskedastisitas, dan tidak ada autokorelasi (Gujarati, 1995:313). Yang dimaksud dengan multicollinearity adalah situasi karena adanya korelasi antara variabel bebas yang satu dengan variabel bebas lainnya. Ada beberapa cara yang bisa dipakai mendeteksi ada tidaknya gejala multicollinearity, Gujarati (2003) dalam Ghozali (2005:91-92) cara untuk mendeteksi terjadinya multicollinearity diantaranya dengan melihat nilai dari (1) nilai tolerance dan lawannya (2) variance inflation factorI (VIF). Nilai cutoff yang heteroskedastisitas, dan tidak ada autokorelasi (Gujarati, 1995:313). Yang dimaksud dengan multicollinearity adalah situasi karena adanya korelasi antara variabel bebas yang satu dengan variabel bebas lainnya. Ada beberapa cara yang bisa dipakai mendeteksi ada tidaknya gejala multicollinearity, Gujarati (2003) dalam Ghozali (2005:91-92) cara untuk mendeteksi terjadinya multicollinearity diantaranya dengan melihat nilai dari (1) nilai tolerance dan lawannya (2) variance inflation factorI (VIF). Nilai cutoff yang