STUDI EVALUASI PROGRAM PELATIHAN KERJA MENURUT PERSPEKTIF NARAPIDANA RESIDIVIS Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  STUDI EVALUASI PROGRAM PELATIHAN KERJA MENURUT PERSPEKTIF NARAPIDANA RESIDIVIS Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Disusun oleh : Fransiscus Xaverius Galih Widyawan NIM : 079114143 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2013

  

HALAMAN MOTO

AD MAIOREM DEI GLORIAM rampungkan yang belum rampung, tuntaskan yang belum tuntas

AJA RUMANGSA ISA, TAPI ISA RUMANGSA

  NARAPIDANA BUKANLAH ORANG JAHAT, MEREKA HANYALAH ORANG TERSESAT (Dr. Saharjo)

HALAMAN PERSEMBAHAN

  Karya ini aku persembahkan kepada Sang Kreator Agung Sang Hyang Widhi Kepada Orang Tua dan Keluarga Kepada Rekan dan Sahabat

  Kepada para Narapidana

  

STUDI EVALUASI PROGRAM PELATIHAN KERJA MENURUT

PERSPEKTIF NARAPIDANA RESIDIVIS

Fransiscus Xaverius Galih Widyawan

ABSTRAK

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisa evaluasi

program pelatihan kerja di Lembaga Pemasyarakatan menurut perspektif narapidana residivis serta

untuk mengetahui rekomendasi terhadap program pelatihan kerja yang dinilai tepat dalam pelaksanaan

rehabilitasi narapidana residivis. Kedua fokus tersebut dinilai perlu untuk dibahas karena masih banyak

mantan narapidana yang kembali melakukan pelanggaran kriminal sehingga terjadi pemenjaraan

berulang. Pendekatan kualitatif deskriptif dipilih untuk menjawab kedua pertanyaan penelitian

tersebut. Penelitian ini melibatkan 4 subjek narapidana residivis. Subjek dipilih menggunakan criterion

sampling, yaitu dipilih dengan kriteria yang sudah pernah mengikuti program pelatihan kerja pada

masa hukuman sebelumnya. Mengacu pada kedua fokus penelitian, hasil evaluasi dalam penelitian ini

menunjukkan bahwa program pelatihan kerja untuk narapidana dalam rehabilitasi narapidana belum

sepenuhnya memodali narapidana untuk menuju bebas dan kembali ke masyarakat. Hal ini

dikarenakan narapidana tidak mempunyai hak konstitusional dalam pengambilan keputusan mengenai

program pelatihan yang akan diselenggarakan, adanya prisonisasi dalam rehabilitasi, dan kesulitan

mendapatkan pekerjaan setelah bebas sebagai akibat dari stigmatisasi masyarakat kepada mantan

narapidana serta tidak adanya kontrol dan pengawasan bagi mantan narapidana. Rekomendasi yang

diberikan adalah memberikan hak konstitusional kepada narapidana dalam pengambilan keputusan

mengenai program yang akan dilaksanakan, memberikan bantuan penyaluran kerja setelah bebas serta

meningkatkan kontrol dan pengawasan kepada mantan narapidana setelah bebas dan kembali ke

masyarakat Kata Kunci : Pelatihan Kerja, Rehabilitasi, Evaluasi, Rekomendasi

  

EVALUATIVE STUDY ON OCCUPATIONAL TRAINING PROGRAM

ACCORDING TO RECIDIVIST PERSPECTIVE

Fransiscus Xavierius Galih Widyawan

ABSTRACT

  This study aims to determine, describe and analyze the evaluation on occupational training

programs in prisons according to inmates's perspectives and to provide recommendations on the

occupational training program that is considered appropriate in rehabilitation recidivist prisoners.

Those two focuses are needed to be discussed because there are many ex-convicts who returned doing

criminal offense resulting in repeated detainment. Descriptive qualitative approach was chosen to

answer two research questions. This study involves four recidivist convicts. Subjects were selected

using criterion sampling, which is selected by criteria whether the one have completed job training

programs during the previous sentence. Referring to those two focuses of the study, the results of the

evaluation in this study indicates that job-training program for inmates in the rehabilitation of

prisoners has not been fully preparing the inmates to go free and return to the community. This

happened because inmates have no constitutional rights in choosing the training program to be held,

the prisonization in rehabilitation, and the difficulties of getting a job after his/her release as a result

of stigmatization society to former prisoners and the lack of control and oversight for former inmates.

It is recommended to give constitutional rights to inmates in choosing which programs will be

implemented, providing work after the release and improving the control and supervision of the ex-

inmates after his release and return to the community. Keywords: Occupational Training, Rehabilitation, Evaluation, Recommendation

KATA PENGANTAR

  Tidak ada kata yang lebih tepat kecuali hatur sembah nuhun kepada Sang

Hyang Widhi Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, peneliti

dapat menyelesaikan skripsi ini. Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, peneliti

menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan berbagai pihak, baik dari masa

perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi, sangatlah sulit bagi peneliti untuk

menyelesaikan tugas akhir ini. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terimakasih

kepada :

  

1. Ibu Monica Eviandaru Madyaningrum., App. Psych selaku dosen pembimbing

skripsi yang selalu memberikan bimbingan dan pengarahan dengan saran dan pendapat yang sangat bermanfaat bagi penelitian ini. Terimakasih atas bimbingan, kesabaran dan diskusi yang mengantarkan pemikiran dan penalaran dalam mengembangkan pola pikir.

  

2. Bapak Djoko Setiyono, Bc.IP, SH, MM selaku Kepala Divisi Pemasyarakatan

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kantor Wilayah Jawa Tengah yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di dalam Lembaga Pemasyarakatan di wilayah Jawa Tengah.

  

3. Bapak Toga Efendi selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kota Magelang yang telah memberikan ijin, dukungan dan pengarahan untuk melakukan penelitian di dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kota Magelang.

  

4. Bapak Kardi selaku Kepala Staff Bimbingan Kerja Narapidana Lembaga

Pemasyarakatan yang telah membantu untuk mencari subjek yang diperlukan dan memberikan pengarahan dan bimbingan selama proses pengambilan data di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kota Magelang.

  

5. Ibu Dr. Crhistina Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta dan Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. selaku wakil dekan sekaligus pejabat pengampu dekan sementara.

  

6. Segenap dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah

mendidik dan mengajar peneliti selama proses perkuliahan.

  

7. Segenap staf kesekretariatan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Mas

Gandung, Bu Nanik dan Pak Gie serta staf laboratorium Mas Muji dan Mas Doni yang membantu peneliti dalam pengurusan berkas-berkas, pengarsipan data dan praktikum selama perkuliahan.

  

8. Orang tua dan keluarga yang telah memberikan dukungan baik moral maupun

materi selama proses perkuliahan sampai pengerjaan skripsi ini.

  

9. Mas YL, Mas A, Mas HH dan Mas MM yang telah bersedia menjadi subjek

dalam penelitian ini secara sukarela. Terimakasih atas informasi yang diberikan sebagai data dalam penelitian skripsi ini.

  

10. Teman-teman dekat dan sahabat khusunya Chandra “Sukun”, Danang “Jampez”,

Chacha dan Chici sebagai sahabat seperjuangan dari awal kuliah. Rio, Yosi, Tiok “Botak” sebagai sahabat yang senantiasa menemani selama ini.

  

11. Semua pihak yang senantiasa memberikan dukungan dan doa untuk keberhasilan

peneliti dalam menyelesaikan tugas dan tanggung jawab sebagai mahasiswa, yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam tulisan ini.

  Akhir kata, peneliti berharap Tuhan Yang Maya Esa berkenan membalas

segala kebaikan dan kemurahan hati semua pihak yang telah memberi bantuan,

dukungan dan doanya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki

keterbatasan dan kekurangan. Oleh karena itu, saran, tanggapan dan kritik dari para

pembaca sangat diharapkan untuk memperbaiki skripsi ini. Peneliti berharap semoga

skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di

bidang Psikologi.

  Yogyakarta, Juni 2013 Penulis

  DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................. iii

HALAMAN MOTTO .......................................................................................... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................ vi

ABSTRAK .......................................................................................................... vii

ABSTRACT ........................................................................................................ viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ..................... ix

KATA PENGANTAR........................................................................................... x

DAFTAR ISI........................................................................................................ xii

DAFTAR TABEL ............................................................................................. xvii

DAFTAR SKEMA ........................................................................................... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xix

  

BAB I PANDAHULUAN...................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah........................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................... 11 C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 12 D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 12

  1. Manfaat Teoritis ............................................................................ 12

  2. Manfaat Praktis ............................................................................. 12

  

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 14

A. Kajian Umum Tentang Perkembangan Rehabilitasi Narapidana ............. 14

  1. Perkembangan Rehabilitasi Narapidana ............................................. 14

  a. Sejarah Perkembangan Sistem Hukum di Indonesia .................... 14

  b. Kajian Tentang Kelahiran Sistem Pemasyarakatan ...................... 23

  2. Pemasyarakatan dan Rehabilitasi Narapidana .................................... 28

  a. Pemasyarakatan Sebagai Proses.................................................... 28

  b. Rehabilitasi Narapidana Dalam Proses Pemasyarakatan .............. 38

  B. Pelatihan Kerja dan Kaitannya Dengan Program Rehabilitasi ................. 40

  C. Kajian Tentang Narapidana dan Residivis ................................................ 44

  1. Pengertian Narapidana .................................................................. 44

  2. Pengertian Residive (Residivis) .................................................... 45

  3. Pengertian Narapidana Residivis ................................................. 48

  D. Correctional Psychology........................................................................... 48

  E. Evaluasi Program Pelatihan ...................................................................... 55

  F. Studi Evaluasi Program Pelatihan Kerja Menurut Perspektif Narapidana Residivis ............................................... 57

  

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 63

A. Metodologi Penelitian ............................................................................... 63 B. Fokus Penelitian ........................................................................................ 64 C. Subjek Penelitian....................................................................................... 64 D. Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 65 E. Prosedur Analisis Data .............................................................................. 67 F. Kredibilitas dan Reliabilitas Penelitian ..................................................... 69

  1. Kredibilitas Penelitian......................................................................... 69

  2. Reliabilitas Penelitian.......................................................................... 70

  

BAB IV PELAKSANAAN, HASIL DAN PEMBAHASAN .......................... 772

A. Proses Penelitian ....................................................................................... 72

  1. Persiapan Penelitian ............................................................................ 72

  2. Pelaksanaan Penelitian ........................................................................ 75

  3. Proses Analisis Data............................................................................ 77

  4. Jadwal Pengambilan Data ................................................................... 78

  B. Hasil Penelitian ......................................................................................... 84

  1. Profil Subjek ....................................................................................... 84

  2. Kategorisasi Tema Temuan................................................................. 93

  C. Pembahasan Umum................................................................................. 106

  

BAB V PENUTUP............................................................................................. 116

  A. Kesimpulan ............................................................................................. 116

  B. Keterbatasan Penelitian ........................................................................... 117

  C. Saran........................................................................................................ 118

  1. Bagi Peneliti Selanjutnya .................................................................. 118

  2. Bagi Institusi Lembaga Pemasyarakatan .......................................... 118

  3. Bagi Trainer Pelatihan Kerja dan Psikolog Koreksional .................. 119

  4. Bagi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma........................ 119

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 120

LAMPIRAN....................................................................................................... 124

  DAFTAR TABEL Tabel 1 Panduan Wawancara tentang Evaluasi Pelatihan Kerja, Proses Rehabilitasi Narapidana dan Rekomendasi yang Diberikan oleh Subjek ....................................... 66

Tabel 2 Jadwal Wawancara Subjek 1 (YL)........................................................... 78

  

Tabel 3 Jadwal Wawancara Subjek 2 (A) ............................................................. 80

Tabel 4 Jadwal Wawancara Subjek 3 (HH) .......................................................... 81

Tabel 5 Jadwal Wawancara Subjek 4 (MM)......................................................... 82

Tabel 6 Profil Subjek ........................................................................................... 92

  DAFTAR SKEMA

Skema 1. Sejarah Perkembangan Rehabilitasi Narapidana di Indonesia .............. 37

Skema 2. Studi Evaluasi Program Pelatihan Kerja

  Untuk Narapidana Menurut Perspektif Narapidana Residivis Dalam Pelaksanaan Rehabilitasi Narapidana ................... 62

Skema 3. Alur proses pelatihan kerja di lapangan .............................................. 114

Skema 4. Bagan evaluasi pelatihan kerja yang diteliti........................................ 115

  DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Koding Wawancara Subjek 1 ......................................................... 124

Lampiran 2. Koding Wawancara Subjek 2 ......................................................... 178

Lampiran 3. Koding Wawancara Subjek 3 ......................................................... 225

Lampiran 4. Koding Wawancara Subjek 4 ......................................................... 278

Lampiran 5. Surat Permohonan Ijin Penelitian Dari Dekan Fakultas Psikologi

  Universitas Sanata Dharma............................................................ 326 Lampiran 6. Surat Ijin Penelitian Dari Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kantor Wilayah Jawa Tengah ....................................................... 328

  

Lampiran 7. Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara Oleh Subjek................. 330

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persatuan Narapidana dan Mantan Narapidana Indonesia (NAPI Indonesia) dalam deklarasinya pada tanggal 17 September 2006 menyebutkan

  bahwa pemerintah tidak menunjukkan keseriusan dalam mengoptimalkan pembinaan narapidana, yang terbukti dari banyaknya produk-produk hukum yang mengebiri hak-hak narapidana dan seolah-olah merupakan pengakuan secara tidak langsung bahwa pemerintah telah gagal membina narapidana. Di sisi lain, pengabaian hak-hak narapidana disebabkan oleh kondisi pemerintah yang belum mampu menyediakan dana yang memadai untuk membina narapidana. Hal inilah yang menurut NAPI Indonesia menyebabkan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia menjadi “sekolah kejahatan”. Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan yang tidak maksimal menumbuhkan dendam sosial dalam diri narapidana. Dalam deklarasinya tersebut, NAPI Indonesia juga menyebutkan bahwa bilamana kondisi sosial tidak berubah, tidak sedikit mantan narapidana yang kembali melakukan pelanggaran pidana dengan skala lebih besar.

  Pengelolaan Lapas yang over capacity dan pembinaan narapidana merupakan persoalan yang harus dihadapi Kementrian Hukum dan HAM

  2 Kemenkumham mengajukan dana sekitar RP 1,6 Triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2011. Jumlah dana yang diusulkan hampir sama dengan dana untuk Program Keluarga Harapan (PKH) tahun 2011 sebesar 1,614 triliun untuk 1.116.000 Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). Jumlah ini juga jauh lebih besar daripada anggaran untuk pengembangan pendidikan nasional yang hanya sebesar 1 triliun rupiah.

  Dana sebesar itu diusulkan oleh Menteri Hukum dan HAM (menkumham) Patrialis Akbar untuk memperbaiki Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan rumah tahanan (rutan) yang telah melebihi kapasitas atau over capacity.

  Perbandingan dana-dana layanan publik di atas menunjukkan betapa dana pengelolaan Lembaga Pemasyarakatan cukup membebani APBN.

  Apabila dana tersebut tidak benar-benar dimanfaatkan secara tepat, maka bisa diandaikan bahwa negara justru membiayai kriminalitas. Pada tahun 2011 terdapat 219 lapas yang melebihi kapasitas di 24 Kantor Wilayah (Kanwil) di seluruh Indonesia (“Kemenkumham minta tambahan”, 2011). Daya tampung lembaga pemasyarakatan seluruh Indonesia hanya 80.000 orang sedangkan jumlah narapidana di seluruh Indonesia mencapai 135.000 sampai 140.000 narapidana (“Lembaga Pemasyarakatan Muaro Padang”, 2011). Dengan demikian terjadi kelebihan kapasitas sebesar 55.000 sampai 60.000 narapidana. Kemenkumham telah menghabiskan biaya sebesar Rp 710 Miliar untuk membangun 31 lapas baru pada tahun 2010 yang dilanjutkan pada

  3 mencapai 45.000 narapidana (“Perbaiki Lapas, Menkumham minta”, 2011).

  Jumlah narapidana sebanyak itu selain menghabiskan anggaran negara di sektor infrastruktur juga menghabiskan anggaran di sektor pemeliharaannya.

  Jatah bahan makanan untuk narapidana per hari pada tahun 2010 sebesar Rp 8.025,00. Kenaikan harga bahan makanan tiap tahun semakin membebani anggaran negara untuk pemeliharaan narapidana. Oleh karena itu, negara memotong jatah bahan makanan per hari untuk narapidana di tahun 2011 menjadi Rp 7.670,00. Meskipun anggaran makan narapidana dipotong, apabila dikalikan dengan jumlah narapidana saat ini tetap akan menghasilkan angka yang tidak sedikit. Beban anggaran negara yang dikeluarkan tidak berhenti sampai di pemeliharaan narapidana saja. Negara masih harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan pembinaan dan pembimbingan narapidana.

  Persoalan di atas semakin lebih rumit ketika mencermati bahwa adanya residivis juga berkontribusi pada tingginya angka penghuni Lembaga Pemasyarakatan. Di Lembaga Pemasyarakatan Kota Magelang contohnya, berdasarkan data yang diperoleh pada akhir Desember 2011 terdapat 81 residivis dari 507 penghuni Lembaga Pemasyarakatan. Sementara itu, kapasitas Lembaga Pemasyarakatan Kota Magelang hanya untuk 368 orang.

  Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa tanpa adanya residivis jumlah narapidana penghuni Lembaga Pemasyarakatan sudah melebihi kapasitas.

  4 dalam mengurangi kepadatan penghuni Lembaga Pemasyarakatan. Di sinilah terlihat pentingnya program rehabilitasi atau pembinaan yang benar-benar tepat sasaran sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya kasus pemenjaraan berulang. Diandaikan apabila program pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan bisa dengan efektif menyiapkan narapidana beradaptasi dengan situasi di luar penjara, maka potensi seorang narapidana untuk mengulang tindakan yang melanggar hukum setelah bebas akan dapat ditekan.

  Menurut wawancara dengan petugas Lembaga Pemasyarakatan Kota Magelang (16 Januari 2012), residivis muncul dikarenakan adanya dua faktor, yaitu faktor stigmatisasi masyarakat dan faktor prisonisasi di dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan. Faktor stigmatisasi masyarakat adalah pandangan masyarakat mengenai mantan narapidana yang buruk sehingga masyarakat cenderung menolak kehadiran mantan narapidana. Torkis (2009) menyebutkan bahwa stigmatisasi muncul dikarenakan adanya rasa ketakutan dan kekhawatiran masyarakat dimana mantan narapidana akan mempengaruhi orang lain untuk melanggar hukum. Sedangkan faktor prisonisasi merupakan terjadinya penyimpangan di dalam kehidupan penjara yang diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan yang merusak kehidupan para penghuni penjara. Dalam prisonisasi tersebut terdapat proses sosialisasi dalam tembok penjara yang menunjukkan bahwa situasi di dalam tembok

  5 tersebut dirasakan menekan dan menindas sehingga menghambat seorang narapidana menjadi warga yang baik. Hal ini dikarenakan sistem sosial narapidana yang mendukung dan melindungi narapidana yang mendalami pola tingkah laku kriminal, namun tidak mendukung bahkan menindas yang dirasakan mengancam narapidana yang menunjukkan loyalitasnya pada dunia non kriminal. Romli (1982) menyatakan bahwa prisonisasi merupakan suatu proses interaksi antar narapidana untuk menjadi lebih kriminil dari pada sebelumnya narapidana tersebut masuk penjara.

  Implikasi negatif dari kelebihan kapasitas turut menyumbang proses prisonisasi dalam kehidupan sosial narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan prisonisasi itu sendiri secara potensial menimbulkan dampak negatif karena dengan adanya prisonisasi tujuan pembinaan kepada narapidana cenderung berbelok ke arah yang menyimpang karena terpengaruh kekuatan-kekuatan yang merusak dan terdapat dalam interaksi sesama narapidana ( Didin dalam Azriadi, 2011). Dengan demikian, prisonisasi membukakan pintu munculnya residivis karena selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan narapidana mendalami perilaku kriminal dari sesama penghuni penjara. Oleh karena itu, Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak dari proses pemasyarakatan narapidana perlu melakukan pembinaan yang tepat untuk mencegah pengulangan tindak pidana (Torkis, 2009).

  6 menjadi “sekolah tinggi kejahatan” tetapi benar-benar sebagai tempat rehabilitasi bagi narapidana. Beberapa tahun ini pemerintah dan para praktisi menyadari pentingnya penelitian untuk menentukan tindakan apa yang akan diimplementasikan dalam program pemasyarakatan (Visher, 2006). Pada kenyataannya, setiap narapidana pasti akan dibebaskan dari penjara dan petugas pemasyarakatan kesulitan untuk memfasilitasi proses transisi narapidana dengan baik (Petersilia, 2004). Penelitian mengenai re-entry program beberapa tahun belakangan menurut Travis (dalam Visher, 2006) menunjukkan terdapat “banyak rintangan dalam perjalanan dari penjara kembali ke rumah”. Sementara itu, Visher (2006) menyimpulkan bahwa masih terdapat banyak kendala dalam merancang dan mengimplementasikan intervensi dari re-entry program, sedangkan hasil penelitian-penelitian tersebut akan melancarkan jalan untuk membantu narapidana keluar dari penjara dan kembali ke rumah. Perhatian dalam bidang re-entry narapidana telah menimbulkan antusiasme terhadap penemuan baru bagi program rehabilitasi (Petersilia, 2004). Para pelaksana pemasyarakatan bekerja keras untuk mengidentifikasi dan mengimplementasikan program yang mengurangi kasus pelanggaran kembali setelah dari penjara. Selanjutnya Petersilia (2004) juga menjelaskan bahwa pada waktu yang bersamaan kaum akademisi mencoba untuk menghimpun pemikiran-pemikiran yang dapat menjadi pedoman bagi para praktisi untuk memilih program. Akan tetapi, tidak jarang

  7 belum tentu dapat diterapkan karena berbenturan dengan kebijakan pemerintah. Sebaliknya, kebijakan pemerintah tidak selalu tepat dikarenakan belum tentu kebijakan tersebut dibangun berdasarkan pada proses penelitian pendahuluan yang memadai. Oleh karena itu, Visher (2006) mengatakan bahwa sudah saatnya para pelaksana dan peneliti bekerjasama untuk merancang dan mencoba pembaharuan berdasarkan penelitian tentang re- entry program.

  Penelitian mengenai re-entry program itu sendiri di Indonesia masih kurang mendapatkan perhatian. Hal ini seiring dengan masih minimnya penelitian dalam bidang psikologi hukum di Indonesia (“Seminar Nasional : Penelitian Psikologi Hukum”, 2011). Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor) Yusti Probowati dalam seminar bertema Mengenal Psiokologi Forensik di Universitas Muhammadiyah Lampung mengatakan penelitian dalam bidang psikologi hukum di luar negeri sudah banyak dilakukan. Kajian bidang psikologi hukum telah dibagi dalam bidang psychology and criminology, psychology of court room, investigative psychology, dan correctional psychology yang di dalamnya mencakup kajian re-entry program. Dalam kesempatan yang sama Yusti juga menambahkan bahwa penerapan Psikologi Hukum di Indonesia belum berkembang seperti di luar negeri. Meskipun demikian, beberapa kasus kriminal telah diupayakan berbagai pendekatan penyelidikan melalui Psikologi Forensik.

  8 ini khususnya akan difokuskan pada topik re-entry program. Saat ini, salah satu bentuk re-entry program yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia untuk melakukan pembinaan dan pembimbingan bagi narapidana untuk memasyarakatkan kembali narapidana setelah keluar dari penjara adalah dengan memberikan pelatihan kerja (re-entry training) kepada narapidana.

  Noe mendefinisikan pelatihan (dalam Anggraini, 2007) sebagai suatu kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh suatu perusahaan atau institusi sebagai sarana untuk memfasilitasi proses belajar karyawan untuk mencapai kompetensi dalam pekerjaannya. Kompetensi tersebut meliputi pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang dianggap penting untuk mencapai kinerja yang tinggi. Tujuan dari pelatihan tersebut adalah supaya karyawan dapat menguasai pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang dilatihkan dalam program pelatihan sehingga dapat diaplikasikan dalam kegiatan mereka sehari-hari. Apabila pengertian tersebut diimplementasikan bagi narapidana, maka pelatihan kerja pada narapidana merupakan bentuk pelatihan kerja yang diberikan kepada narapidana selama menjalani hukuman pidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Pelatihan kerja tersebut bertujuan memberikan pengetahuan, keterampilan dan perilaku kerja yang dilatihkan bagi narapidana sebagai upaya untuk mengembalikan mereka ke masyarakat dalam dunia kerja. Pelaksanaan program tersebut berawal dari pembaharuan

  9 Kehakiman, Sahardjo menegaskan bahwa terpidana adalah orang tersesat yang perlu untuk dilindungi, dibina, dan dijadikan orang berguna bahkan menjadi aktif dan produktif di masyarakat (Petrus & Wiwik, 2008). Dalam perkembangan selanjutnya pelaksanaan program tersebut sebagai wujud dari sistem pemasyarakatan semakin mantap setelah diberlakukannya Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

  Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 15 UU No. 12 tahun 1995 yang menyebutkan bahwa narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu. Menurut wawancara yang dilakukan dengan petugas (16 Januari, 2012), pelatihan kerja yang dilakukan di dalam Lapas diselenggarakan baik oleh pemerintah, Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri, pihak ketiga atau instansi lain maupun kerjasama di antaranya. Pelaksanaan program tersebut mengacu pada pasal 9 UU No.12 tahun 1995 bahwa dalam rangka penyelenggaraan pembimbingan dan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan, Menteri dapat mengadakan kerjasama dengan instansi pemerintah terkait, atau perorangan yang kegiatannya seiring dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan. Pada kesempatan wawancara yang sama, petugas juga menjelaskan bahwa desain program pelatihan kerja yang di selenggarakan di setiap Lembaga Pemasyarakatan tidak sama karena disesuaikan dengan kemampuan masing-masing Lembaga Pemasyarakatan.

  Di Lembaga Pemasyarakatan Kota Magelang desain pelatihan biasanya

  10 dasarnya setiap narapidana boleh mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh Lembaga Pemasyarakatan, namun diutamakan peserta pelatihan adalah narapidana yang menjelang bebas. Prioritas diberikan kepada narapidana yang menjelang bebas dengan tujuan agar jeda waktu antara pelatihan dan kebebasan narapidana tidak terlalu lama sehingga narapidana setelah bebas nanti masih ingat dan paham tentang isi dari pelatihan yang diberikan. Petugas juga menambahkan bahwa lamanya pelatihan tergantung dari materi dan isi pelatihan yang diberikan, namun pada umumnya sudah diprogram setiap tahun ada tiga kali pelatihan dan masing- masing pelatihan tersebut diselenggarakan selama satu bulan.

  Meski program tersebut telah menjadi program wajib sejak diberlakukan UU No.12 tahun 1995, namun masih jarang dilakukan evaluasi untuk melihat keefektifan program. Evaluasi yang ada biasanya dilakukan oleh petugas (wawancara dengan petugas, 29 Februari 2012). Masyarakat juga diberikan kesempatan untuk memberikan evaluasi dengan mengisi kuesioner yang diberikan ketika menjadi konsumen dari pekerjaan para narapidana. Namun, isi kuesioner tersebut cenderung pada kepuasan masyarakat sebagai konsumen atas pelayanan dan hasil kerja narapidana.

  Sedangkan evaluasi yang diberikan oleh narapidana adalah evaluasi secara langsung dengan memberikan masukan tentang peralatan yang diperlukan.

  Evaluasi semacam ini dalam amatan peneliti dinilai kurang efektif karena

  11 pemenjaraan berulang. Narapidana sebagai subjek dan peserta perlu diberikan kesempatan untuk memberikan evaluasi mengenai program pelatihan kerja secara lebih mendalam. Hal ini dikarenakan pelatihan kerja merupakan kebutuhan narapidana sebagai bekal untuk kembali ke masyarakat setelah bebas dan habis masa pidananya.

  Mengingat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya residivis ditentukan oleh banyak hal, penelitian ini berfokus pada evaluasi program pelatihan kerja. Fokus penelitan ini dipilih oleh peneliti karena keterbukaan akses pada bidang pelatihan kerja di Lembaga Pemasyarakatan serta mengikuti kemampuan kompetensi peneliti yang menempuh pendidikan di tingkat strata satu. Menimbang situasi tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui evaluasi program pelatihan kerja di Lembaga Pemasyarakatan dari perspektif narapidana residivis.Oleh karena itu, untuk mengkaji permasalahan tersebut secara empiris, peneliti mengambil tema “Studi Evaluasi Program Pelatihan Kerja Narapidana Menurut Perspektif Narapidana Residivis”.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

a. Bagaimana evaluasi program pelatihan kerja di Lembaga Pemasyarakatan

  12

  b. Apa saja rekomendasi terhadap program pelatihan kerja yang dinilai tepat dalam pelaksanaan rehabilitasi menurut narapidana residivis?

C. Tujuan Penelitian

  Mengacu pada rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah :

  a. Untuk mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisa evaluasi program pelatihan kerja di Lembaga Pemasyarakatan menurut perspektif narapidana residivis.

b. Untuk mengetahui rekomendasi terhadap program pelatihan kerja yang dinilai tepat dalam pelaksanaan rehabilitasi menurut narapidana residivis.

D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khasanah ilmu Psikologi, khususnya di bidang Psikologi Sosial, Psikologi Forensik dan Kriminologi khususnya Correctional Psychology dan Re-enty Training Program yang secara khusus mengkaji program pelatihan kerja di Lembaga Pemasyarakatan, baik sebagai penelitian lanjutan maupun penelitian lain yang menggunakan subjek Narapidana.

  2. Manfaat Praktis

  a. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai evaluasi perogram pelatihan kerja di Lembaga Pemasyarakatan dari perspektif

  13

  b. Berguna bagi Lembaga Pemasyarakatan dan pihak-pihak yang terkait sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam memberikan program pelatihan kerja yang sesuai dengan kebutuhan Narapidana.

c. Memberi dukungan bagi Narapidana untuk lebih termotivasi mengikuti program pelatihan kerja di Lembaga Pemasyarakatan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Umum Tentang Perkembangan Rehabilitasi Narapidana

1. Perkembangan Rehabilitasi Narapidana

a. Sejarah Perkembangan Sistem Hukum di Indonesia

  Sejarah perkembangan rehabilitasi narapaidana dapat ditinjau dengan mengacu pada perkembangan sistem hukum pidana di Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia saat ini merupakan salah satu dari sistem hukum yang diwariskan oleh pemerintahan kolonial Belanda (Bahiej, 2006). Selanjutnya, Bahiej (2006) menjelaskan tentang sejarah pemberlakuan hukum pidana di Indonesia ke dalam tiga bagian.

1. Masa Sebelum Penjajahan Belanda

  Masyarakat Indonesia telah mengenal dan menerapkan hukum adat yang pada umumnya tidak tertulis, bersifat lokal dan hanya berlaku di wilayah adat tertentu. Hukum adat tersebut belum mengenal adanya pemisahan yang jelas antara hukum pidana dan hukum perdata (Kanter & Sianturi dalam Bahiej, 2006). Pemisahan antara hukum perdata yang besifat privat dengan hukum pidana yang bersifat publik di Indonesia merupakan pengembangan dari

  15

2. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan belanda

  1. Masa Vereenigde Oost Indishe Compagnie (VOC) tahun 1602- 1799 Pemberlakuan hukum pidana Barat di Indonesia dimulai sejak kadatangan VOC ke Indonesia. VOC memaksakan aturan-aturan hukum yang dibawa dari Eropa untuk ditaati oleh orang-orang pribumi sebagai usaha untuk memperbesar keuntungan. Peraturan-peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat yang dilepas setelah diumumkan namun tidak tersimpan dalam arsip sehingga tidak ada kejelasan antara peraturan mana yang masih berlaku dan yang tidak berlaku.

  Oleh karena itu, VOC mengumpulkan kembali peraturan- peraturan tersebut dan menyusunnya ke dalam Statuten van Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642 (Kanter & Sianturi dalam Bahiej, 2006). Meskipun pada tahun 1766 Statuta Batavia direvisi dan menghasilkan Statuta Batavia Baru yang berlaku bagi pribumi maupun orang asing, namun belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis.

  Setelah VOC dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799, kependudukan Belanda di Indonesia digantikan oleh

  16 pemerintahannya, Rafles tidak melakukan perubahan-

perubahan terhadap hukum yang telah berlaku.

  2. Masa Besluiten Regering (Tahun 1814-1855) Belanda kembali menduduki wilayah Indonesia setelah Inggris meninggalkan Indonesia tahun 1810. Besluiten Regering yang berdasarkan pasal 36 UUD Belanda merupakan landasan dasar bagi raja untuk mempunyai kekuasan mutlak dan tertinggi atas daerah jajahan. Dalam implementasinya, raja mengangkat komisaris jendral untuk melaksanakan pemerintahan di Hindia Belanda. Para komisaris jendral yang pernah menjabat tidak pernah melakukan perubahan peraturan dan tetap memberlakukan peraturan yang berlaku pada masa Inggris karena menunggu kodifikasi hukum.

  3. Masa Regering Reglement (1855-1926) Perubahan sistem pemerintahan di Belanda dari monarki konstitusional menjadi monarki parlementer merupakan awal masa Regering Reglement. Selama berlakunya masa Regering Reglement, beberapa kodifikasi hukum pidana berhasil diundangkan, yaitu : a. Wetboek van Strafrecht voov European yang disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Eropa yang

  17

  b. Aglemene Politie Strafreglement yang deisebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pribumi yang diundangnan dengan Staatblad No.58 tahun 1872.

c. Politie Strafreglement yang diberlakukan bagi orang bukan Eropa.

  d. Wetbook van Strafrecht voor Netherlandsch-Indie yang disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Hindia-Belanda yang diundangkan dengan Staatblad No. 732 tahun 1915 dan mulai berlaku 1 Januari 1918.

  4. Masa Indische Staatregeling (1926-1942) Pada masa ini sistem hukum di Indonesia semakin jelas keberadaannya karena dalam pasal 131 jo. pasal 163 telah dilakukan pembagian golongan penduduk Indonesia beserta hukum yang berlaku. Indische Staatregeling merupakan dasar bagi hukum pidana Belanda (Wetbook van Strafrecht voor Netherlands-Indie ) untuk tetap diberlakukan pada seluruh penduduk Indonesia.

  5. Masa Pendudukan Jepang Pemerintahan tentara Jepang tidak melakukan perubahan sistem hukum yang signifikan yang sebelumnya berlaku di Indonesia karena dianggap tidak bertentangan

  18 yang diberlakukan tetap menggunakan hukum pidana Belanda

yang berdasarkan pada pasal 131 jo. pasal 163.

  Pada masa ini terdapat dualisme hukum pidana karena wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian dibawah penguasaan militer yang tidak saling membawahi. Angkatan Laut Jepang menguasai wilayah Indonesia timur yang berkedudukan di Makasar sedangkan Angkatan Darat Jepang menguasai Wilayah Indonesia barat yang berkedudukan di Jakarta (Kanter dan Sianturi dalam Bahiej, 2006).

3. Masa Setelah Kemerdekaan

  Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, pemberlakuan hukum pidana di Indonesia dibagi ke dalam empat masa dengan mengacu pada berlakunya empat konstitusi di Indonesia, yaitu :

  1. Tahun 1945-1949 Pada masa ini, konstitusi yang berlaku adalah konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Pada awal kemerdekaan ini, sistem hukum yang berlaku sementara tetap menggunakan peraturan-peraturan yang sudah ada dan berlaku sejak Indonesia belum merdeka. Kemudian pada tahun 1946 dikeluarkan UU No.1 tahun 1946 yang dijadikan dasar yuridis

  19 telah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka, namun secara de facto Indonesia masih berada dalam penjajahan Belanda. Pada tanggal 22 September 1945 NICA Belanda mengeluarkan aturan pidana yang berjudul Tijdelijke Biutengewonge Bepalingen van Strafrecht (Ketentuan- Ketentuan Sementara yang Luar Biasa Mengenai Hukun Pidana). Kedua hukum yang dikeluarkan oleh pemerintahan Indonesia dan pemerintahan Belanda diberlakukan secara bersama-sama di wilayah Indonesia. Oleh karena itu, masa ini disebut juga masa dualisme KUHP (Wantjik dalam Bahiej, 2006).

  2. Tahun 1949-1950 Pada masa ini konstitusi UUD 1945 tidak berlaku lagi dan digantikan Konstitusi Republik Indonesia. Berdasarkan pada pasal 192 RIS, maka secara praktis hukum pidana yang berlaku tetap Wetboek van Strafrecht yang disebut juga sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Meskipun demikian, dualisme KUHP masih berlangsung dalam masa ini.

  3. Tahun 1950-1959 Pada tahun 1950 Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sehingga Indonesia kembali menjadi negara republik

  20 142 UUD Sementara, peraturan hukum yang dipakai tidak mengalami perubahan dan tetap menggunakan KUHP. Pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda juga mengakhiri dualisme KUHP di Indonesia. Hal ini secara tegas ditetapkan dalam UU No.73 tahun 1958 yang menyatakan bahwa UU No.1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia.

  4. Tahun 1959-sekarang Dekrit Preiden tanggal 5 Juli 1959 memberlakukan kembali UUD 1945 sehingga Indonesia menjadi negara kesatuan yang berbentuk republik dengan UUD 1945 sebagai konstitusinya. Pada masa ini pemberlakuan sistem hukum pidana tetap berdasarkan pada UU No.1 tahun 1946 dan berlanjut sampai sekarang. Meskipun Indonesia setelah merdeka mengalami empat kali perubahan konstitusi, namun sumber hukum pidana tetap mengacu pada Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-Undang Pidana) walaupun pemberlakuannya tetap mendasarkan diri pada ketentuan peralihan setiap konstitusi.

  Sebagaimana Bahiej, Intan (2009) juga menjelaskan sejarah pemidanaan di Indonesia ke dalam tiga bagian yang intinya sama

  21

  1. Sistem kepenjaraan (1945-1964) Sistem kepenjaraan yang berlaku merupakan sistem kepenjaraan di Eropa yang diterapkan oleh Belanda dengan memberlakukan Gestichten Reglement (Reglement Penjara).