PUTUSAN KHUL’I YANG DALAM ACARA PEMBUKTIANNYA TANPA DIHADIRI SAKSI-SAKSI (Studi Analisis putusan No.0850Pdt.GPA.SAL) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam

  

PUTUSAN KHUL’I YANG DALAM ACARA

PEMBUKTIANNYA TANPA DIHADIRI SAKSI-SAKSI

(Studi Analisis putusan No.0850/Pdt.G/PA.SAL)

SKRIPSI

  

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum Islam

Oleh

SRI KUSRINI

  

NIM 21209007

JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHISYYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

  

SALATIGA

PERSETUJUAN PEMBIMBING

  Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka Skripsi saudara: Nama : Sri Kusrini NIM : 21209007 Jurusan : Syari’ah Program Studi : Ahwal Al Syakhiyyah Judul : Putusan khul’i yang dalam acara pembuktiannya tanpa dihadiri saksi-saksi (Studi

  Analisis Putusan No.0850/Pdt.G/PA.SAL) Telah kami setujui untuk dimunaqosahkan

  Salatiga, 12 Juni 2012 Pembimbing Heni Satar Nurhaida, S.H.,M.Si NIP.19701127199903 2 001

  

SKRIPSI

PUTUSAN KHUL’i DALAM ACARA PEMBUKTIANNYA TANPA

DIHADIRI SAKSI-SAKSI (STUDI ANALISIS PUTUSAN No.

  

850/Pdt.G/2010/PA.SAL)

DISUSUN OLEH

SRI KUSRINI

NIM. 21209007

  Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal 28 Juni 2012 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1 Hukum

  Islam. Susunan Panitia Penguji

  Ketua Penguji : Drs. Mubasirun, M.Ag Sekretaris Penguji : Dra. Siti Zumrotun, M.Ag Penguji I : Prof. Dr. H. Muh. Zuhri, MA Penguji II : Tri Wahyu Hidayati, M.Ag Penguji III : Heni Satar Nurhaida, SH., M.Si

  Salatiga, 10 Juli 2012 Ketua STAIN Salatiga Dr. Imam Sutomo, M.Ag NIP. 19580827 198303 1 002

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

  Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Sri Kusrini NIM : 21209007 Jurusan : Syari’ah Program Studi : Ahwal Al Syakhiyyah

  Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutup atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

  Salatiga, 12 Juni 2012 Yang menyatakan,

  Sri Kusrini

MOTTO DAN PERSEMBAHAN MOTTO

  ·

  Ketika kesempitan sudah sampai pada puncaknya, maka saat itulah datang kelapangan dan ketika musibah telah menyempitkan tenggorokan, maka saat itulah datang kemudahan

  ·

  Seluruh wadah akan menyempit dengan apa yang diletakkan di dalamnya, kecuali wadah ilmu, karena ia sesungguhnya akan bertambah luas

  PERSEMBAHAN

  Yang tercinta suami (Wiyana),anakku (Adika dan Nadia) terimakasih atas pengertian pengorbanan waktu, tenaga yang kalian berikan untukku Yang saya sayangi ibu dan ayah serta kakak-kakak dan adikku di Bengkulu doa dan dukungan kalian membuat aku bersemangat

  Teman-teman ku ekstensi dan reguler terimakasih atas motifasi yang kalian berikan untukku Orang –orang disekitarku yang tak bisa tersebut namanya satu persatu yang menyayangiku, membenciku kalian membuat aku tegar dalam menjalani hidup ini

  Keluarga besar Ahs’2009 Karya ini kupersembahkan

  

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

  Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah, dan

inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik

mungkin. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi

Besar M uhammad SAW, keluarga, sahabat, serta orang-orang yang senantiasa di

jalan-Nya.

  Dalam proses penyelesaian karya ilmiah ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulis melibatkan bantuan berbagai pihak baik berupa masukan, pengarahan, bimbingan, dukungan, serta dorongan sehingga pada akhirnya karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu dengan ketulusan dan kerendahan hati, penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada:

  1. Bapak Imam Sutomo, M.Ag., selaku Ketua STAIN Salatiga

  2. Bapak Drs.Mubasirun, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Syari’ah

  3. Bapak Ilyya Muhsin S.H.I.,M.Si., selaku ketua Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah

  4. Ibu Heni Satar Nurhaida, SH.,M.Si selaku dosen pembimbing

  5. Bapak Moh. Khusen.,S.Ag.,M.Ag selaku Pembimbing Akademik

  6. Ibu Dra.Hj. Farida,MH selaku Hakim Pengadilan Agama Salatiga

  7. Ibu Dra.Widad selaku panitera pengganti di Pengadilan Agama Salatiga

  8. Seluruh karyawan dan staf Pengadilan Agama Salatiga

  9. Bapak ibu Dosen STAIN yang telah memberikan pengetahuan kepada penulis semoga Allah melimpahkan rahmat dan hidayahnya lebih baik kepada mereka.

  10. Seluruh staf dan karyawan STAIN Salatiga Salatiga, 12 Juni 2012

  Penulis Sri Kusrini

  

ABSTRAK

  Kusrini, Sri. 2012 Putusan Khul’i yang dalam acara pembuktiannya tanpa

  dihadiri saksi-saksi. (Studi analisis putusan No. 0850/Pdt.G/PA.SAL)

  pada Pengadilan Agama Salatiga. Skripsi. Jurusan Syariah Program Studi Ahwal AI Syakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Heni Satar Nuraida SH.M.Si

  Kata kunci: Acara pembuktian tanpa saksi saksi Pembuktian dengan saksi pada dasarnya diperbolehkan dalam segala hal kecuali Undang-Undang menentukan lain, kesaksian mengenai suatu peristiwa atau kejadian harus dikemukakan oleh para saksi didalam persidangan secara lisan dan pribadi oleh orang yang terkait dalam perkara Dalam sidang perkara perdata Hakim secara “exofficio” dapat memerintahkan saksi untuk datang sesuai dengan

  pasal 135 HIR atau pasal 165 RBg pada ketentuan pasal 76 bahwasannya saksi bersifat ” imperatif” karena pada pasal tersebut terdapat kata “ harus “ yakni yang dekat dengan suami istri tersebut. Ini bearti pemeriksaan keluarga dan orang- orang terdekat dengan suami istri “wajib” atau “mesti” diperiksa lebih dahulu sebelum hakim menjatuhkan putusan, Oleh karena pemeriksaannya bersifat imperatif, maka apabila dilalaikan tata cara memeriksa dan mengadili perkara menurut tata cara yang ditentukan Undang-Undang mengakibatkan pemeriksaan dan putusan batal demi hukum.

  Dalam perkara percaraian dengan alasan pertengkaran dan perselisihan terus menerus dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga seperti yang diatur dalam pasal 22 PP No.9/1975 pasal 76 Undang-Undang No.7/1989 dengan ketentuan secara khusus dengan memeriksa keluarga atau orang-orang terdekat dengan suami dan istri:

  “Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus (syiqoq) maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengarkan keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang terdekat dengan suami istri”

  Maka dalam putusan No.0850/Pdt.G/PA.SAL hakim telah lalai untuk menghadirkan para saksi yang mengakibatkan pemeriksaan belum memenuhi syarat yang ditentukan undang- undang maka pemeriksaan dan putusan batal demi hukum.

  

Canon MP Navigator EX 3.0. lnk

  DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ............................................................................. i PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... iii LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... iv PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN............................................... v MOTTO DAN PERSEMBAHAN .......................................................... vi KATA PENGANTAR ........................................................................... vii ABSTRAKSI ......................................................................................... ix DAFTAR ISI ......................................................................................... x

  BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1 B. Pembatasan masalah ........................................................... 4 C. Rumusan Masalah........................................................... 4 D. Tujuan Penelitian ............................................................ 4 E. Manfaat Penelitian .......................................................... 5 F. Telaah Pustaka ................................................................ 6 G. Metode Penelitian ........................................................... 10 H. Sistematika Penulisan ..................................................... 14 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Talak Khul’I dalam Hukum Islam …...………………... 16 B. Tinjauan umum tentang tata cara penyelesaian perkara di Pengadilan Agama ........................................................... 21

  2. Tata cara pemeriksaan Cerai gugat ................................ 26

  C. Tata cara perceraian yang diatur secara khusus di Pengadilan Agama ............................................................................... 29

  1. Tata cara khuluk ........................................................ 29

  2. Tata cara Li’an .......................................................... 30

  D. Pembuktian yang disertai alasan dalam perkara perceraian yang harus menghadirkan saksi-saksi ............................... 31

  1. Tata cara penyelesaian dengan alasan siyqoq............. 31

  2. Tata cara penyelesain dengan alasan istri mendapat cacat badan ............................................................... 33

  3. Tata cara penyelesaian dengan alasan suami meninggalkan istri selama 6 bulan berturut- turut ...... 33

  4. Tata cara penyelesaian dengan alasan istri murtad ..... 34

  E. Peran saksi dalam pembuktian perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus .......... 34

  BAB III HASIL PENELITIAN A. Gambaran umum Pengadilan Agama Salatiga ................... 37 B. Hasil putusan khul’i yang dalam acara pembuktiannya tanpa dihadiri saksi-saksi ........................................................... 47 C. Pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam putusan khul’i yang di dalam hukum acaranya tanpa dihadiri saksi-saksi . 57

  BAB IV ANALISIS PUTUSAN PERKARA PERCERAIAN NOMOR

  A. Analisis putusan perkara cerai gugat dengan putusan khul’iyang dalam acara pembuktiannya tanpa dihadiri saksi- saksi ................................................................................. 59

  B. Analisis pertimbangan dan dasar hukum Hakim dalam putusan Nomor.0850/Pdt.G/PA.SAL ................................ 61

  BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................... 64 B. Saran-saran ...................................................................... 66 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saksi dalam hukum acara perdata termasuk dalam hukum pembuktian. Pembuktian diperlukan oleh hakim untuk mencari kebenaran fakta dan

  peristiwa yang dijadikan dalil gugatan oleh penggugat dalam menuntut haknya. Pembuktian diperlukan apabila timbul suatu perselisihan terhadap suatu hal di muka Pengadilan, dimana seseorag mengaku bahwa sesuatu hal tersebut adalah haknya, sedangkan pihak lain menyangkal terhadap pengakuan yang dikekemukakan oleh seseorang itu. Jadi, pembuktian itu adalah untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan seseorang dalam suatu sengketa.

  Salah satu alat bukti dalam hukum pembuktian adalah saksi, alat bukti saksi dalam hukum Islam disebut dengan syahid (saksi laki-laki) atau

  syahidah (saksi perempuan) yang terambil dari kata musyahadah yang artinya

  menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Jadi saksi yang dimaksud adalah saksi hidup dasar alat bukti yang terdapat dalam pasal 1902 B.W yang isinya: “Ditetapkannya suatu pembuktian dengan tulisan - tulisan namun jika ada suatu permulaan pembuktian dengan tertulis diperkenankan pembuktian dengan saksi-saksi kecuali apabila tiap-tiap pembuktian lain dikecualikan, selain dengan tulisan.

  Pada pasal 1912 yang isinya: “Orang- orang yang belum mencapai usia genap limabelas tahun begitu pula orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan karena dungu, sakit ingatan atau mata gelap ataupun selama perkara sedang bergantung, atas perintah hakim telah dimasukkan dalam tahanan, tidak dapat diterima sebagai saksi………..(Kurdianto:1991:46)

  Adapun menurut Islam, dasarnya ialah Al Quran, surat Al –Baqarah ayat 282 yang berbunyi:

  È b $s?r&z öD$#ur ×@ã_ t sù û÷ün=ã_ u‘ È $tRqä3 tƒ öN© 9 b Î*sù ( öNà6 Ï9% y` Íh‘ ` ÏB ûø È ïy‰‹Íky (#r ß ‰Îhô± tFó™$#ur  

  ­

4 3“ t ÷z W { $# $yJ ß g1y‰÷n Î) t Å e2 x‹ çFsù $yJ ß g1y‰÷n Î) ¨@Å Ò s? b r& Ïä!#y‰pk’¶ 9$# z` ÏB tb öq|Ê ö s? ` £J ÏB

    

  4 (#qãã ß Š $tB #sŒÎ) âä!#y‰pk’¶ 9$# z> ù'tƒ Ÿ w ur

  Artinya: …Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang

  

lelaki (di antaramu) Jika tidak ada dua orang lelaki maka boleh seorang

lelaki bersama dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu sukai,

supaya jika yang seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya dan

janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka

dipanggil ……

  Sayid Sabiq (1971:1927) mengemukakan bahwa saksi tidak boleh memberikan keterangan kesaksian kecuali apa yang ia lihat dan alami sendiri seperti ia mengetahui terangnya matahari dengan mata kepalanya sendiri. Lebih lanjut Ibnu Rusyd (1960:462) mengatakan bahwa secara garis besar ada lima sifat saksi yang harus dipegangi oleh hakim dalam memeriksa kesaksiannya yaitu adil, dewasa, Islam, merdeka dan bukan budak, mempunyai iktikad baik dalam memberi kesaksian di dalam persidangan.

  Pada penelitian penulis putusan No.0850/Pdt.G/PA.SAL di dalam acara pembuktiann cerai gugat di Pengadilan Agama Salatiga, hakim dengan mudah memberikan putusan hanya berdasarkan pada bukti akta nikah dan pengakuan tergugat, tanpa menghadirkan saksi-saksi untuk menguatkan apa yang menjadi hak kedua belah pihak yang bersengketa.

  Kehadiran seorang saksi dalam proses persidangan tidak dijadikan sebagai suatu bahan pertimbangan hakim dalam memberikan keputusan, dan hakim tidak memberikan beban pembuktian pada para pihak untuk mendukung dan menguatkan apa yang menjadi alasan perceraian, sebagaimana yang terjadi di Pengadilan Agama Salatiga dengan adanya Putusan Nomor 850/Pdt.G/2010/PA.SAL dengan sebuah putusan yang sudah final namun pada pembuktian pada hukum acaranya tidak dihadiri oleh saksi- saksi baik dari pihak penggugat maupun tergugat, sehingga muncul pertanyaan dalam diri peneliti mengapa Pengadilan Agama Salatiga dalam perkara itu memutus perkara cerai gugat yang didalam acara pembuktiannya tanpa dihadiri saksi-saksi. Kiranya atas dasar itulah peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini yang akan dituangkan dalam bentuk penulisan Skripsi dengan judul “PUTUSAN KHUL’I DALAM ACARA

  PEMBUKTIANNYA TANPA DIHADIRI SAKSI-SAKSI (STUDI ANALISIS PUTUSAN No. 850/Pdt.G/2010/PA.SAL)”.

B. Pembatasan Masalah

  Agar lebih terarah pada inti permasalahan yang akan diteliti maka menganggap perlu untuk mengadakan pembatasan masalah, agar tidak menyimpang dari pokok permasalahan. Dalam hal ini yang akan diteliti mengenai proses persidangan dengan perkara cerai gugat dalam putusan No.850/Pdt/PA.SAL yang dalam acara pembuktiannya tanpa dihadiri saksi- saksi.

C. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis dapat memberikan perumusan masalah sebagai berikut:

  1. Bagaimanakah hasil putusan cerai gugat dengan putusan No.850./ Pdt.G/PA.SAL yang dalam acara pembuktiannya tanpa dihadiri saksi- saksi?

  2. Apa yang menjadi pertimbangan hakim dan dasar hukum dalam memutuskan perkara dengan tanpa dihadiri saksi-saksi dalam putusan No.850/Pdt.G/PA.SAL di Pengadilan Agama Salatiga? D.

   Tujuan Penelitian

  Agar tidak menyimpang dari rumusan masalah yang diutarakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini yaitu:

  1. Untuk mengetahui proses persidangan cerai gugat dengan putusan khul’i No.850/Pdt.G/PA.SAL yang dalam acara pembuktiannya tanpa dihadiri

  2. Untuk mengetahui apa yang menjadi pertimbangan hakim dan dasar hukum dalam memutuskan perkara dengan tanpa dihadiri saksi-saksi dalam putusan No.850/Pdt.G/PA.SAL di Pengadilan Agama Salatiga ? E.

   Manfaat Penelitian

  Suatu penelitian yang dilaksanakan harus dapat memberikan manfaat adapun manfaat yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Manfaat Teoritik Diharapkan dengan adanya penulisan skripsi ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang Studi Analisis Putusan No.

  850/Pdt.G/PA.SAL yang dalam acara pembuktiannya tampa menghadirkan saksi-saksi.

  2. Manfaat Praktis Dengan tersusunnya skripsi ini, diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran bagi masyarakat dalam masalah yang berkaitan dengan adanya Putusan No.850/Pdt.G/PA.SAL dengan cerai gugat yang dalam acara pembuktiannya tanpa dihariri saksi-saksi.

F. Telaah Pustaka

  Skripsi M. Syaipul Alam yang berjudul Sumpah Li’an dalam sistem

  

Pembuktian Perceraian di Pengadilan Agama 2005 (studi kasus di

Pengadilan Agama Purworejo tahun 1996) yang menjelaskan tentang:

  1. Sumpah li’an yang terjadi dalam perkara perceraian akibat zina memiliki kekuatan hukum mutlak, hal ini sesuai dengan kewenangan absolut.

  Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara perdata tertentu bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam yang diatur dalam Undang-undang No 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Pengadilan.

  2. Sumpah li’an dalam hukum acara persidangan merupakan alat bukti sumpah tambahan yang diperintahan oleh hakim secara ex officio kepada Penggugat karena penggugat belum bisa memenuhi bukti saksi dalam keadaan qodzaf atau inflarante atau saksi empat orang yang benar-benar melihat kejadian zina hal yang dijadikan hakim dalam mengambil keputusannya.

  a. Pasal 38 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No 9 Tahun 1975 pasal 19 huruf a pasal 70 ayat 1 pasal 87 dan 88 Undang-undang No 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, pasal 116 huruf a kompilasi hukum Islam.

  b. Sistem dan tata cara pembuktian perceraian akibat zina dilakukan dengan cara majelis hakim menyuruh penggugat dan tergugat tergugat, hakim berdasarkan pada keyakinannya dan Undang-undang

  pasal 1915 B.W sumpah li’an dilakukan oleh pemohon dan termohon dengan cara menghadap kiblat dihadapan hakim yang menyumpah, keduannya saling me-li’an sebagaimana dilakukan di Masjid Agung Darul Mutaqin Purworejo.

  Pada skripsi Sayipul Alam, saksi tidak dapat dihadirkan dikarenakan kesulitan dalam menghadirkan empat orang saksi yang menyaksikan perbuatan zina tersebut sehingga, pada acara pembuktian upaya yang hakim lakukan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusannya adalah dengan sumpah li’an sebagai pengganti bukti.

  Pada penelitian penulis dengan judul studi analisis putusan No.850/Pdt.G/PA.SAL pada perkara cerai gugat dengan pada acara pembuktiannya hakim tidak menghadirkan saksi-saksi sebagai bahan pertimbangan dalam putusannya.

  Menurut Yahya Harahap, S.H (1989:321) apabila suami menuduh istrinya berbuat zina dan istrinya menyangkal tuduhan tersebut, maka suami wajib menbuktikan dengan empat orang saksi, bila suami tidak dapat menghadirkan empat orang saksi maka ia akan dihukum dera delapan puluh kali karena menuduh istrinya berbuat zina (qadzaf) tanpa alat bukti untuk menghindari hukuman dera tersebut, Al Qur’an memberi jalan keluar upaya dengan upaya li’an sebagai penganti qadzaf begitupun pihak istri untuk menghindarkan diri dari ancaman dera dibenarkan oleh hukum melakukan dimana pada ayat Al Quran an-Nur mengandung asas “inflagrante delicto” yakni pembuktian tuduhan berbuat zina dengan saksi, para saksi tersebut harus benar-benar menyaksikan peristiwa zina yang dilakukan dalam keadaan tertangkap basah, sedang berhubungan kelamin secara fisik dan biologis.

  Sebagaimana sumpah yang lain, maka untuk dapat dilaksanakan sumpah li’an diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Syarat formal sumpah li’an:

  a. Tuduhan istri berbuat zina tercantum atau dimuat secara kronologis dalam surat permohonan.

  b. Istri menyanggah tuduhan suami bahwa dirinya telah berbuat zina dengan laki-laki lain c. Sumpah li’an dilaksanakan atas perintah hakim yang memeriksa perkara tersebut.

  2. Syarat materil sumpah li’an

  a. Suami tidak dapat melengkapi bukti-bukti atas tuduhan zina kepada istri b. Sumpah suami tersebut diucapkan dalam sidang Majelis Hakim yang dihadiri oleh istri pemohon c. Sumpah Mula’anah (saling melaknat) menurut teks sumpah yang telah ditentukan. (Manan, 2006: 270)

  Tri Astuti skripsi “sikap hakim mengenai hukum pembuktian pada

  

proses perkara perceraian di Pengadilan Agama Salatiga 2005 yang

  1. Sesuai hukum pembuktian dalam acara perdata hakim Pengadilan Agama Salatiga menerapkan hukum pembuktian dalam tahap pembuktian, karena tidak akan memutus suatu perkara tanpa didahului adanya pembuktian.

  2. Dalam tahap pembuktian Pengadilan Agama Salatiga telah menerapkan asas-asas hukum acara perdata sesuai hukum acara yang berlaku

  3. Sikap hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam menilai alat bukti pada proses perkara perceraian yaitu dengan menggunakan pembuktian formil menuju kepembuktian materil artinya apabila dalam proses pembuktian telah terbukti memenuhi syarat formil maka hukum masih menuju kepada pembuktian materil yaitu dengan menghadirkan saksi dengan tujuan supaya rasa keadilan kedua belah pihak dapat terwujud.

  Pada skripsi Tri Astuti hakim akan memproses perkara tersebut apabila syarat-syarat yang dijadikan sebagai pembuktian formil dan materil dapat diajukan di persidangan maka perkara tersebut akan dilanjutkan pada tahap putusan. Pada penelitian penulis dengan Putusan No.850/Pdt.G/PA.SAL dengan putusan yang sudah final hakim tidak menghadirkan saksi-saksi sebagaimana yang sudah dituliskan pada skripsi Tri Astutin apabila syarat formil dalam pembuktian sudah terbukti maka hakim masih menuju kepada tahap pembuktian materil dimana peran saksi dan alat bukti lain sangat menentukan dalam memutus perkara persidangan.

  Skripsi Elia Indriyani yang berjudul Cerai Talak Akibat Istri Tidak

  

Menjalankan Kewajiban dalam Rumah Tangga (Studi Putusan Pengadilan

  1. Putusan hakim terhadap putusan cerai talak akibat istri tidak menjalankan kewajiban dalam rumah tangga yaitu hakim memutus tali perkawianan antara penggugat dan tergugat dengan perceraian yang berkaitan dengan PP No. 9 Tahun 1975 pasal 19 huruf f karena tergugat nusyuz.

  2. Putusan cerai ini di dasarkan pada pembuktian mengenai hal yang disangkal oleh pihak lawan terbukti dan hakim menggunakan dasar PP No. 9 Tahun 1975 pasal 19 huruf f, pasal 116 huruf f KHI dan pembuktian ini merupakan landasan materiil.

  Skripsi Elia Indriyani perceraian ini berakhir dengan putusan cerai yang didasarkan pada pembuktian yang disangkal oleh pihak lawan terbukti, maka hakim mempunyai alasan yang kuat sebagai bahan pertimbangan dalam putusannya karena pada dasarnya siapa yang mengemukakan suatu hak ia harus dibebani dengan pembuktian, sedangkan peristiwa yang menghapuskan hak harus dibuktikan oleh pihak yang membantah itu. Pada penelitian penulis pada acara pembuktian hingga berakhir dengan putusan, saksi-saksi tidak dihadirkan sebagai bahan pertimbangan hakim dalam putusannya.

G. Metode Penelitian

  Untuk mencapai sasaran yang tepat bagi penelitian, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

  1. Metode pendekatan Metode pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada suatu ketentuan hukum (peraturan yang berlaku) dengan fenomena atau kenyataan yang terjadi di lapangan serta dalam prakteknya sesuai dengan yang terjadi yang sebenarnya. (Nawawi, 1991: 11)

  2. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk pada penelitian analisis yurisprudensi.

  Dalam system common law, yurisprudensi diterjemahkan sebagai suatu ilmu pengetahuan hukum positif dan hubungan-hubungannya dengan hukum lain. Sedangkan dalam system statute law dan civil law, diterjemahkan sebagai putusan-putusan Hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap dan diikuti oleh para hakim atau badan peradilan lain dalam memutus perkara atau kasus yang sama (Simorangkir, 1987: 78). Alasan menggunakan penelitian yurisprudensi ini adalah untuk memberikan gambaran dan segala sesuatu yang berhubungan dengan studi analisis putusan No. 850/Pdt.G/PA.SAL.

  3. Kehadiran Penelitian Penelitian ini bersifat observasi non partisipasi yang dimaksud dengan observasi non partisipasi adalah observasi yang dalam pelaksanaannya tidak melibatkan peneliti sebagai partisipasi atau kelompok yang diteliti.

  4. Lokasi Penelitian Sesuai dengan judul skripsi yang telah penulis ajukan, maka untuk memperoleh data yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas, penulis mengambil lokasi di Pengadilan Agama Salatiga.

  5. Sumber Data Sumber data penelitian ini berasal dari :

  a. Sumber data primer Sumber data putusan PA No. 850/Pdt.G/PA.SAL ini diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak Pengadilan Agama Salatiga.

  b. Sumber data sekunder Sumber data ini diperoleh tidak dengan secara langsung dari yang memberikan data atau informasi, tetapi sumber data ini diperoleh melalui studi kepustakaan yang meliputi buku-buku, arsip-arsip, dan peraturan-peraturan yakni Al Qur’an, Al-hadist, fiqh, KUHP, Undang- Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, PP No 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksanaan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Jo Undang-Undang Nomor. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 3 tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989 Undang-Undang Nomor. 14 tahun 1970 yang telah ditambah dan diubah dengan Undang- Undang Nomor. 35 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama. Oleh karena itu, dengan sumber data tersebut diharapkan dapat menunjang serta melengkapi data-data yang akan dibutuhkan untuk penyusunan penelitian ini.

  6. Metode Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data dari sumber data primer, maka penyusun akan menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut: a. Studi Pustaka

  Yaitu dengan jalan mempelajari buku-buku kepustakaan terhadap teori-teori hukum dan untuk memperoleh data sekunder dilakukan dengan cara mempelajari, membaca, mengutip dari buku-buku literatur, arsip, peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan skripsi.

  b. Wawancara (interview) Merupakan hal penting untuk memperoleh data putusan PA No.

  850/Pdt.G/PA.SAL. Dalam wawancara ini dilakukan secara terarah dengan menanyakan hal-hal yang diperlukan untuk memperoleh data- data yang lebih mendalam kepada pihak yang berkompeten dengan penulisan ini yaitu dengan para pihak di Pengadilan Agama Salatiga.

  Dengan demikian, penulis dapat lebih mudah untuk menganalisis dan mengembangkan data yang dihasilkan dari wawancara tersebut.

  7. Metode Analisis Data Dalam metode analisis data yang akan digunakan, maka penulis menggunakan metode analisis data kualitatif yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data yang diperoleh yang kemudian dihubungkan dengan literatur yang ada atau teori-teori yang berhubungan dengan ditentukan hasil akhir dari penelitian tersebut yang berupa kesimpulan- kesimpulan.

H. Sistematika Skripsi

  Untuk mempermudah mencari laporan penelitian ini perlu adanya sistematika penulisan. Skripsi ini terbagi dalam lima bab yang tersusun secara sistematika, didalam tiap-tiap bab memuat pembahasan yang berbeda-beda, tetapi merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Secara lengkap sistematika penulisan ini adalah sebagi berikut:

  Bab I: Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

  pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan skripsi, manfaat penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika skripsi.

  Bab II: Kajian Pustaka berisi tentang tinjauan umum tata cara

  penyelesaian perkara perceraian di Pengadilan Agama Salatiga dan peran saksi dalam penyelesaian perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus (syiqoq).

  Bab III: Hasil Penelitian yang memuat gambaran umum Pengadilan Agama Salatiga, yang berisi sejarah Pengadilan Agama Salatiga, kewenangan Pengadilan Agama Salatiga, dan hasil putusan khul’i yang dalam acara pembuktiannya tanpa dihadiri saksi-saksi. Bab IV: Analisis Putusan yang membahas analisis putusan perkara

  cerai gugat dengan putusan khul’i yang dalam acara pembuktiannya tanpa dihadiri saksi-saksi dan Analisis pertimbangan dan dasar hukum majelis hakim dalam putusan Nomor.0850/Pdt.G/PA.SAL

Bab V: Penutup yang berisi kesimpulan dari uraian-uraian yang telah dibahas, saran-saran dan penutup.

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Talak Khul’i dalam Hukum Islam

  1. Pengertian Khul’i Khul’i berasal dari kata َﻊَﻠَﺧ (khala’a) yang artinya menanggalkan. Dapat juga dinamakan juga dengan tebusan, yaitu isteri menebus dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa yang pernah diterimanya (mahar). Isteri memisahkan diri dari suaminya dengan memberikan ganti rugi (Sayid Sabiq, 1994: 95).

  Khul’i menurut istilah fiqh berarti menghilangkan atau membuka

  buhul akad nikah dengan kesediaan isteri membayar iwadl kepada

  pemilik akad nikah (suami) dengan menggunakan perkataan cerai atau khuluk. Iwadl dapat berupa pengembalian mahar atau sejumlah barang, uang atau sesuatu yang dipandang mempunyai nilai yang telah disepakati oleh kedua suami isteri. Khul’i bukanlah talak dalam arti yang khusus atau faskh atau semacam sumpah, tetapi khuluk adalah semacam perceraian yang mempunyai unsur-unsur talak, faskh dan sumpah.

  Dikatakan mempunyai unsur talak karena suamilah yang menentukan jatuh tidaknya khul’i, isteri hanyalah orang yang mengajukan permohonan kepada suaminya agar suaminya mengkhuluknya (Kamal Mukhtar, 1987: 181-182)

  Khul’i merupakan penyerahan harta yang dilakukan oleh isteri Mughniyah, 2002: 456). Khuluk disebut juga dengan talak tebus yang terjadi atas persetujuan suami isteri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan cara itu. Penebusan atau pengganti yang diberikan isteri kepada suami disebut juga dengan iwadl (Soemiyati, 1986: 110-111).

  2. Ketentuan, Persyaratan dan Akibat Khul’i Menurut Hukum Islam Dalam menjalani kehidupan suami isteri, adakalanya terjadi suami tidak lagi menyenangi dan membenci isterinya dan sebaliknya juga mungkin terjadi isteri tidak lagi menyenangi dan membenci suaminya atau bahkan keduanya sama-sama saling tidak menyukai dan saling membenci satu sama lain. Ketika kebencian itu menjadi semakin membesar perpecahan tidak dapat dielakkan dan ketenangan rumah tangga akan lenyap sehingga berakibat mengganggu sendi-sendi kehidupan rumah tangga dan pemenuhan hak dan kewajiban dalam rumah tangga. Jika krisis rumah tangga ini sampai pada tahap tidak bisa didamaikan lagi maka jalan keluarnya, jika kebencian ada pada suami ia bisa menggunakan hak talaq yang ada padanya, dan jika kebencian ada pada isteri ia dimungkinkan untuk menebus dirinya dengan jalan khuluk, yaitu mengembalikan mahar kepada suaminya untuk mengakhiri ikatan perkawinan diantara mereka.

  Dasar dibolehkannya Khul’i adalah al-Qur’an Surat al-Baqarah

  

žw r& !$sù$sƒs† b r& H w Î) $º«ø ‹x© £` èd qß J çF÷ s?#uä !$£J ÏB (#r ä‹ è{ ù's? b r& öNà6 s9 ‘@Ïts† w ur Ÿ .....

  

$uK‹Ïù $yJ ÍköŽn=tã yy $oYã_ Ÿ x sù «! $# yŠr ß ‰ãn $uK‹É ) ムžw r& ÷Läêø ÿÅ z ÷b Î*sù ( «! $# yŠr ß ‰ãm $yJ ŠÉ ) ãƒ

  ...... ¾ÏmÎ/ ôN y‰tGø ù$# Artinya: “…dan tidak halal bagi kalian (suami-suami) meminta kembali

  

sedikitpun apa yang telah diberikan kepada mereka (isteri-isteri),

kecuali bila keduanya khawatir tidak dapatmenegakkanhukum Allah,

jika kalian khawatir tidak dapat menegakkan hukum Allah, maka tidak

ada salahnya bagi mereka berdua (suami-isteri) tentang tebusan isteri

kepadanya…” .

  Pada dasarnya al-Qur’an menggantungkan kebolehan membayar tebusan pada kekhawatiran terjadinya kemaksiatan (tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah) manakala perkawinan dipertahankan (Muhammad Jawad Mughniyah, 2002: 457).

  Menurut Sayid Sabiq, ketetapan suami menerima tebusan dalam khul’i merupakan hukum yang adil dan tepat, karena jika sebab umumnya suamilah yang memberikan mahar, biaya perkawinan dan nafkah kepada isterinya. Keadaan isteri yang ingkar dan meminta pisah darinya merupakan hukum yang pantas dan adil jika isteri diharuskan mengembalikan apa yang pernah diterimanya. Khul’i berarti memutuskan tali perkawinan dengan imbalan harta, sehingga adanya ganti rugi merupakan syarat mutlak dalam khuluk, jika ganti rugi tidak ada maka khuluknya juga tidak sah. Ganti rugi hendaknya secara umum dapat dinilai dengan barang (uang), disamping syarat umum lainnya dalam akad nikah yang sama dengan syarat dalam akad jual beli, yaitu dapat diserahterimakan dan merupakan hak milik yang sah dan bukan merupakan barang-barang yang haram (Sayyid Sabiq, 1994: 94 dan 97- . 98)

  Mengenai nilai dan jumlah tebusan, berdasarkan Surat al-Baqarah ayat 229, tidak ada ketentuan yang pasti sehingga ada perbedaan pendapat ulama mengenai bolehkah suami menetapkan atau menerima tebusan melebihi dari maharnya ketika menikah, karena adanya dua versi hadits yang membolehkan dan melarang suami memperoleh tebusan melebihi nilai maharnya. Tetapi menurut kitab Bidayah al-

  

Mujtahid jika khuluk disamakan dengan hukum muamalah maka jumlah

  tebusan tergantung kepada kerelaan pembayarnya, tetapi jika berpegang kepada hadits yang melarang jumlah tebusan melebih mahar, itu dapat dipandang sama dengan mengambil harta orang lain dengan tidak sah (Sayid Sabiq, 1994: 99-101). Tetapi ulama mazhab sepakat bahwa nilai tebusan hendaknya mempunyai nilai dan jumlahnya boleh sama, kurang atau lebih banyak dari mahar (Muhammad Jawad Mughniyah, 2002: 457)

  Khul’i hanya dibolehkan dengan adanya alasan yang benar, semisal suami cacat badan, buruk akhlaknya atau tidak memenuhi kewajibannya sehingga isteri khawatir akan melanggar hukum Allah.

  Khul’i dapat terjadi dengan persetujuan suami isteri, namun jika persetujuan tidak tercapai maka pengadilan dapat menjatuhkan khuluk kepada suami. Menurut jumhur ulama, apabila suami telah menyetujui khuluk isterinya itu berarti isteri berkuasa atas dirinya sendiri dan suami suami mengembalikan tebusannya dan isteri bersedia menerimanya, jika tidak begitu maka tidak ada artinya tebusan isteri yang sudah diserahkan.

  Akan tetapi suami boleh mengawini isteri yang telah mengkhuluknya dengan persetujuannya dan dengan aqad nikah yang baru (Sayid Sabiq, 1994: 101 dan 105).

  Seluruh imam mazhab sepakat bahwa pengucapan khuluk harus menggunakan kata-kata yang jelas, berupa kata thalaq, khuluk, faskh,

  mufada’ah (tebusan) ataupun dengan lafaz kinayah yang jelas semisal

  “saya lepas dan jauhkan engkau dari sisiku”. Atau menurut Imam Hanafi dan Imam Syafii boleh dilakukan dengan mengucapkan akad seperti akad dalam jual beli (Muhammad Jawad Mughniyah, 2002: 462-3).

  Perempuan yang dikhuluk iddahnya satu kali haid, berdasarkan hadits Nabi riwayat Nasa’i mengenai Tsabit yang mengkhuluk isterinya dan Nabi menyuruh isteri Tsabit beriddah satu kali haid dan dikembalikan kepada keluarganya. Menurut Ibnu Taimiyah alasannya adalah, Iddah ditetapkan sebanyak tiga kali haid agar masa rujuk cukup lama dan suami bisa berpikir panjang dan mendapat kesempatan untuk rujuk selama masa iddah ini. Tetapi kalau kesempatan untuk rujuk tidak ada, (dalam khul’i) maka tujuan masa iddah hanya untuk memastikan kebersihan rahim dari kehamilan sehingga cukup satu kali haid saja (Sayid Sabiq, 1994: 111-112).

  B.

  

Tinjauan Umum Tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Perceraian di

  Perceraian itu didukung oleh bukti yang otentik (berkekuatan pembuktian), Pada garis besarnya perceraian dikelompokkan kepada dua bentuk, yaitu perceraian yang diajukan oleh suami disebut dengan “Cerai

  

Talak ” dan perceraian yang diajukan oleh pihak istri yang disebut

  dengan Cerai Gugat”, lain halnya dengan “pembatalan nikah” (fasid nikah) yang pengajuannya dilakukan oleh orang diluar pasangan suami-istri. perceraian dengan Cerai Talak maupun perceraian dengan Cerai Gugat diatur pada Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 PP No. 9 Tahun 1975 untuk menindaklanjuti pengaturan Pasal 38 sampai dengan Pasal 40 Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

  Untuk perceraian yang disebut dengan “Cerai Talak” yang berdasarkan ketentuan Pasal 66 sampai dengan Pasal 72 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Jo. Pasal 129, 130, dan 131 KHI (Inpres No.1 Tahun 1991), sedangkan perceraian dengan “Cerai Gugat” diatur prosesnya berdasarkan ketentuan Pasal 73 sampai dengan pasal 79 Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Jo. Pasal 132 - 137 KHI (Inpres No.1 Tahun 1991) (Harahap, 1993:229)

  Kewenangan untuk mengadili perkara perceraian menurut kompetensi Absolutnya adalah Pengadilan Agama bagi umat Islam dan Pengadilan Agama yang berwenang berdasarkan kompetensi relatifnya berada ditempat tinggal istri baik untuk Cerai Talak maupun untuk Cerai Gugat, kecuali istri yang meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa seizin suami hal ini diatur pada Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang No.7

  Sengketa perceraian yang diatur didalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Mengenai tata cara perceraian pada pasal 129 - 148 Kompilasai Hukum Islam telah diklasifikasikan bentuk percaraian yaitu cerai talak dan cerai gugat dan dapat dijelaskan bahwa: 1.

   Tata cara pemeriksaan Cerai Talak (Pemohon suami, Termohon istri)

  Seorang suami yang akan mengajukan permohonan, baik lisan, maupun tertulis, kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri, dan dengan alasannya, serta Seorang suami yang akan mengajukan talak kepada isterinya harus meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu, permohonan dalam perkara cerai talak, berpedoman pada ketentuan pasal 67 dan pasal 66 ayat 5 diperbolehkannya menggabung dua gugatan dalam satu proses pemeriksaan namun jika gugatan permohonan murni sebagai gugat cerai talak maka cukup berisi identitas pemohon (suami) dan termohon istri berupa nama, umur dan tempat kediaman pada posita gugat yakni alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak sebagai mana yang dirinci secara liminatif dalam pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 jo. Penjelasan pasal 39 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 sebagai berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya.

  c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 Tahun atau hukuman yang berat setelah perkawinan berlangsung.

  d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap yang lain.

  e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

  f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.(Hamami, 2003: 203)

  Pada rumusan pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dalam pasal tersebut memuat alasan–alasan cerai yang disebut dalam pasal 19 PP No.9 Tahun 1975 ada dua poin yang ditambahkan pada huruf “g” berupa alasan suami melanggar taklik taklak dan pada huruf “h” dicantumkan alasan peralihan agama atau murtat yang menjadikan ketidakrukunan dalam rumah tangga. Adapun mengenai asas asas pemeriksaan perkara percaraian yang telah diatur didalam ketentuan Undang-Undang adalah:

  a. Pemeriksaan oleh Majelis Hakim Asas pertama Pemeriksaan permohonan cerai talak yang sekurang-kurangnya tiga orang hakim kecuali apabila Undang- Undang menentukan lain, yang diatur didalam pasal 68 ayat 1 yang merupakan pelaksanaan pasal 15 Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 1970.

  b. Pemeriksaan dalam sidang tertutup Pemeriksaan perkara cerai talak yang dilakukan dalam sidang

  “tertutup” yang diatur dalam pasal 68 ayat 2 dan pasal 80 ayat 2 yang sama dengan ketentuan pasal 33 PP No.9 Tahun 1975 dimana ditegaskan bahwa apabila tidak tercapai perdamaian, pemeriksaan gugatan maka perceraian dilakukan dalam sidang tertutup, yang meliputi segala pemeriksaan termasuk pemeriksaan saksi-saksi, dalam ketentuan pasal 18 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 jo. Pasal 81 Undang-Undang No.7 Tahun 1989 yang menegaskan sekalipun pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup untuk umum namun putusan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Dokumen yang terkait

Realitas Sosial dan Nilai-Nilai Pendidikan Islam (Studi Analisis Deskriptif Pada Film Peekay) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

1 23 119

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

0 0 102

NILAI-NILAI KEDISIPLINAN DALAM NOVEL ANAK SEJUTA BINTANG SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam

0 1 156

KONSEP ETOS KERJA ISLAMI DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam

0 0 221

PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA KAWIN PAKSA (Studi Analisis Putusan No.1465Pdt.G2014PA.Bi) SKRIPSI Diajukan untuk Memenui Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

0 0 82

NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER YANG TERKANDUNG DALAM NOVEL ANAK RANTAU KARYA AHMAD FUADI SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam

0 8 123

PENOLAKAN PENGADILAN TERHADAP GUGATAN PERCERAIAN DENGAN ALASAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDI ANALISIS PUTUSAN NOMOR: 666Pdt.G2011PA.Sal) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam

0 1 165

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

0 0 121

KESAKSIAN NON MUSLIM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA BOYOLALI SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam

0 0 85

Susukan Tahun 2010 ) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

0 0 84