KOMPARASI POTENSI DAN PEMANFAATAN BENTAN

KOMPARASI POTENSI DAN PEMANFAATAN BENTANGLAHAN KAWASAN YOGYAKARTA UNTUK PEMBELAJARAN GEOGRAFI LAPORAN

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Tahap II Departemen Pendidikan Geografi Sebagai Hasil Kajian di Kawasan Yogyakarta

Disusun Oleh:

Mahasiswa Pendidikan Geografi (2014) DEPARTEMEN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan Laporan

KKL Tahap II ini dengan tema “Komparasi P otensi dan Pemanfaatan

Bentanglahan Kawasan Yogyakarta untuk Pembelajaran Geografi ”. Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan dan penyusunan laporan ini bertujuan untuk memperkenalkan keindahan dan potensi yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai tempat yang berpotensi dengan segala karakteristik fisik, sosial-ekonomi, dan budayanya.

Terlaksananya kegiatan ini, tidak terlepas dari dukungan pihak-pihak yang terus mendukung kami. Dengan rasa hormat, kami ucapkan terima kasih kepada:

1) Ketua Departemen : Dr. Ahmad Yani, M.Si.

2) Sekretaris Departemen : Dr. rer. nat Nandi, S.Pd., MT., M.Sc.

3) Ketua Panitia KKL : Prof. Dr. Darsiharjo, MS.

4) Seluruh dosen pembimbing, dan

5) Rekan-rekan mahasiswa Pendidikan Geografi 2014. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, semua kritik dan saran yang konstruktif akan sangat penulis harapkan.

Akhir kata, semoga seluruh proses penyusunan laporan ini dapat memberi pembelajaran yang berharga dan dapat berkontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang studi Geografi serta membawa manfaat bagi penyusun dan berbagai pihak yang membacanya.

Bandung, 1 Agustus 2016

Penyusun

Abstrak

Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu dari 34 provinsi di wilayah Indonesia dan terletak di bagian tengah-selatan Pulau Jawa. Secara geografis terletak pada 109º 40' - 111º 0' Bujur Timur dan 8º 30' - 7º 20' Lintang Selatan. Terdapatnya bentukan muka bumi yang variatif dan beragamnya kondisi fisik dan sosial-ekonomi yang berbeda menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta begitu menarik untuk diteliti. Penelitian ini mengkaji mengenai aspek fisik dan sosial- ekonomi yang meliputi wilayah Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Kulon Progo. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif komparatif dengan pendekatan kualitatif. Adapun penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 9 –

16 Mei 2016. Daerah kajiannya meliputi Parangtritis, Hutan Wanagama, Desa Kelor, Goa Pindul, Selokan Mataram, Cangkringan, Pasar Kenteng, Waduk Sermo, dan Pantai Glagah. Berdasarkan data dan informasi hasil kajian dan pembahasan yang diperoleh dari gejala dan fenomena di lapangan, maka bisa disimpulkan bahwa setiap wilayah kajian memiliki potensi dan pemanfaatan lahannya tersendiri terkait dengan pola keruangannya. Artinya, 4 (empat) wilayah kajian KKL ini, yaitu Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Kulon Progo memiliki sumberdaya yang mendukung untuk membangun daerahnya sesuai dengan karakteristik bentangalam dan bentanglahan yang tersedia.

Kata Kunci: Yogyakarta, Bantul, Gunungkidul, Sleman, Kulon Progo.

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Koordinat Kajian KKL di Kabupaten Bantul ...................................... 60 Tabel 3.2. Koordinat Kajian KKL di Kabupaten Gunungkidul ............................ 61 Tabel 3.3. Koordinat Kajian KKL di Kabupaten Sleman ..................................... 62 Tabel 3.4. Koordinat Kajian KKL di Kabupaten Kulon Progo ............................ 63

Tabel 4.1. Karakteristik Lahan Kajian KKL ......................................................... 95 Tabel 4.2. Karakteristik Lahan Kajian KKL (Lanjutan) ....................................... 95 Tabel 4.3. Penggunaan dan Pemanfaatan Lahan ................................................. 105 Tabel 4.4. Potensi Lahan Kajian KKL ................................................................ 114 Tabel 4.5. Potensi Lahan Kajian KKL (Lanjutan) .............................................. 114

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Alam semesta beserta isinya yang disebut geosfer merupakan laboratorium raksasa geografi dengan segala fenomena yang terjadi di dalamnya, sehingga teori tidak akan berarti tanpa disandingkan dengan pengetahuan langsung di lapangan. Dengan demikian, pengamatan langsung di lapangan sangat diperlukan bagi seorang geograf. Dalam hal ini adalah Mahasiswa Pendidikan Geogarfi 2014 yang meramu semuanya ke dalam satu tahapan kegiatan lapangan yang disebut dengan KKL (Kuliah Kerja Lapangan). Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Pendidikan Geografi UPI adalah suatu kegiatan pengamatan langsung di lapangan berupa implementasi dari materi perkuliahan di kelas.

Setiap muka bumi tentunya memiliki ragam ciri yang berbeda sehingga menarik untuk dijadikan objek kajian ilmu pengetahuan, salah satunya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu daerah di Indonesia yang masih teguh dalam memegang budaya asli leluhurnya. Daerah ini terletak di bagian tengah-selatan Pulau Jawa. Secara geografis terletak pada 109º 40' - 111º 0' Bujur Timur dan 8º 30' - 7º 20' Lintang Selatan. Berdasarkan bentang alamnya, wilayah D.I.Y dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) satuan fisiografi, yaitu satuan fisiografi Gunungapi Merapi, satuan fisiografi Pegunungan Sewu atau Pegunungan Seribu, satuan fisiografi Pegunungan Kulon Progo, dan satuan fisiografi Dataran Rendah. Kondisi fisiografi tersebut dapat membawa pengaruh terhadap persebaran penduduk, ketersediaan prasarana dan sarana wilayah, dan kegiatan sosial-ekonomi penduduk, serta kemajuan pembangunan antarwilayah yang timpang. Daerah- daerah yang relatif datar, seperti wilayah dataran fluvial yang meliputi

Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul (khususnya di wilayah Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta) merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi, dan memiliki kegiatan sosial-ekonomi dengan intensitas tinggi, sehingga umumnya merupakan wilayah yang relatif lebih maju dan berkembang daripada daerah lain di sekitarnya. Bentukan muka bumi yang variatif dan beragamnya kondisi sosial-ekonomi dan budaya yang juga diakibatkan oleh bentukan fisik yang berbeda inilah yang menjadi keunikannya tersendiri, sehingga menimbulkan rasa ingin tahu kami untuk dapat terjun langsung mengamati fenomena-fenomena geosfer yang terjadi di sekitarnya.

Berdasarkan hal tersebut, kami bermaksud untuk melakukan penelitian terhadap kajian fisik dan sosial-ekonomi dari objek kajian dalam KKL tahap II yang meliputi 4 (empat) wilayah kajian, yaitu daerah Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Kulon Progo. Pada KKL ini diberikan tema mengenai “ Komparasi Potensi dan Pemanfaatan Bentanglahan di Kawasan Yogyakarta untuk Pembelajaran Geografi ”. Adapun KKL ini dilaksanakan sejak tanggal 9 – 14 Mei 2016.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang bisa diperoleh dari latar belakang tersebut, yaitu:

1) Bagaimana kajian fisik dan sosial-ekonomi di Kabupaten Bantul?

2) Bagaimana kajian fisik dan sosial-ekonomi di Kabupaten Gunungkidul?

3) Bagaimana kajian fisik dan sosial-ekonomi di Kabupaten Sleman?

4) Bagaimana kajian fisik dan sosial-ekonomi di Kabupaten Kulon Progo?

1.3. Tujuan Penelitian

Beberapa tujuan yang harus dicapai dalam penelitian ini yaitu:

1) Mendeskripsikan kajian fisik dan sosial-ekonomi di Kabupaten Bantul.

2) Mendeskripsikan kajian fisik dan sosial-ekonomi di Kabupaten Gunungkidul.

3) Mendeskripsikan kajian fisik dan sosial-ekonomi di Kabupaten Sleman.

4) Mendeskripsikan kajian fisik dan sosial-ekonomi di Kabupaten Kulon Progo.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang bisa diperoleh melalui penulisan ini, baik untuk kami maupun untuk pembaca, yaitu:

1) Manfaat Teoretis

a. Untuk kontribusi pengembangan keilmuan di bidang studi Geografi.

b. Untuk meningkatkan wawasan kajian ilmiah di bidang studi Geografi.

2) Manfaat bagi Mahasiswa Mahasiswa diharapkan dapat mengidentifikasi dan mengomparasikan fenomena-fenomena Geografis di lapangan dengan teori-teori yang telah dipelajari di perkuliahan.

3) Manfaat bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para mahasiswa atau dosen peneliti dalam mengukur sejauh mana kemampuan dalam mengimplementasikan metode-metode penelitian di lapangan, khususnya dalam bidang studi Geografi.

1.5. Sistematika Penulisan

Adapun laporan ini terdiri dari 5 (lima) bab yang juga dilengkapi dengan kata pengantar, abstrak, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar, daftar lampiran, dan daftar pustaka sebagai informasi untuk mempermudah dalam mencari pokok bahasan yang ada dalam laporan ini. Adapun sistematika penulisan dalam laporan praktikum ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

1.3. Tujuan Penelitian

1.1. Latar Belakang

1.4. Manfaat Penelitian

1.2. Rumusan Masalah

1.5. Sistematika Penulisan

BAB II KAJIAN TEORETIS

BAB V PENUTUP BAB III METODE

DAFTAR PUSTAKA

3.3. ......................................

LAMPIRAN-LAMPIRAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II KAJIAN TEORETIS

2.1. Kajian Umum

2.1.1. Bentanglahan ( Landscape )

Landscape/lansekap secara umum memiliki makna yang hampir sama dengan istilah bentanglahan atau fisiografis dan lingkungan . Perbedaan di antara ketiganya terletak pada aspek interpretasinya. Bentanglahan yang di dalamnya terdapat unit-unit bentuklahan ( landforms ) merupakan dasar lingkungan manusia dengan berbagai keseragaman (similaritas) maupun perbedaan (diversitas) unsur-unsurnya. Kondisi bentanglahan seperti ini memberikan gambaran fisiografis atas suatu wilayah. Wilayah yang mempunyai karakteristik dalam hal bentuklahan, tanah vegetasi dan atribut (sifat) pengaruh manusia, yang secara kolektif ditunjukkan melalui kondisi fisiografis dikenal sebagai suatu lansekap (Vink, 1983).

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka bentanglahan atau lansekap adalah panorama atas suatu hamparan daratan yang terdiri atas berbagai keadaan alam, baik alami maupun buatan manusia.

“ Landscape comprises the visibel features of an area of land, including physical elements such as landforms, living elements of flora

and fauna, abstract elements like lightning and weather conditions, and human elemments like human activity and the built environment ”.

Bentuk alam di permukaan bumi yang terjadi karena proses tertentu dan melalui serangkaian evolusi tertentu pula (Marsoedi, 1996). Sukmantalya (1995) menjelaskan bahwa bentuklahan merupakan suatu proses alami, memiliki komposisi tertentu karakteristik fisikal dan visual dengan julat tertentu yang terjadi di manapun bentuklahan tersebut Bentuk alam di permukaan bumi yang terjadi karena proses tertentu dan melalui serangkaian evolusi tertentu pula (Marsoedi, 1996). Sukmantalya (1995) menjelaskan bahwa bentuklahan merupakan suatu proses alami, memiliki komposisi tertentu karakteristik fisikal dan visual dengan julat tertentu yang terjadi di manapun bentuklahan tersebut

Berdasarkan apa yang dirangkum dari Bintarto (1991), Rangkuti (1996), Yuwono (2005) bahwa secara umum lansekap meliputi:

1) Natural Landscape : Bentanglahan alami sebagai fenomena/ perwujudan di muka bumi, misalnya gunung dan laut. Kategori ini memiliki batasan yang sangat umum, dan dapat disamakan dengan istilah pemandangan menurut terminologi umum.

2) Physical Landscape : Bentanglahan yang masih didominasi oleh unsur-unsur alam, yang di selang-seling oleh kenampakan budaya. Sistem kehidupan berikut komponen alami dan nonalami terwadahi dalam bentanglahan ini.

3) Social Landscape : Bentanglahan dengan kenampakan fisik dan sosial yang bervariasi karena adanya heterogenitas adaptasi dan persebaran penduduk terhadap lingkungannya, misalnya kota dan desa dengan berbagai fasilitas individual maupun publiknya. Selain mencerminkan pola adaptasi, bentanglahan ini juga memvisualisasikan persepsi penduduk terhadap lingkungan sekitarnya. dengan demikian, bentang sosial melupakan zona-zona yang menggambarkan struktur kehidupan sosial-ekonomi penduduk.

4) Economical Landscape : Bentanglahan yang didominasi oleh bangunan beragam yang berorientasi ekonomis, seperti daerah industri, daerah perdagangan, daerah perkotaan, dan daerah perkebunan.

5) Cultural Landscape : Bentanglahan yang merupakan hasil interaksi manusia dengan lingkungannya. Misalnya: daerah permukiman dengan kelengkapan sawah, kebun, dan pekarangannya.

2.1.2. Lahan Kritis ( Critical Land )

Lahan kritis didefinisikan sebagai lahan yang mengalami proses kerusakan fisik, kimia dan biologi karena tidak sesuai penggunaan dan kemampuannya, yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial-ekonomi dan lingkungan. Isu lahan kritis di Indonesia telah muncul ke permukaan dan menjadi masalah ketika terjadi bencana alam berupa banjir dan kekeringan di tengah-tengah kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang sedang terpuruk.

Gambar 2.1. Kenampakan Lahan Kritis

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1997) telah mengklasifikasikan lahan kritis menggunakan empat parameter lahan, yaitu: (1) kondisi penutupan vegetasi, (2) tingkat korehan/kerapan drainase, (3) penggunaan lahan, dan (4) kedalaman tanah. Sesuai dengan parameter-parameter lahan tersebut, lahan kritis dibedakan ke dalam empat tingkat kekritisan lahan, yaitu: potensial kritis, semi kritis, kritis, dan sangat kritis.

Kegagalan program rehabilitasi lahan kritis masa lalu disebabkan karena pola pendekatan yang digunakan pada pelaksanaan rehabilitasi lahan kritis kurang tepat, peraturan dan penegakan hukum masih lemah, dampak negatif pembukaan hutan, perambahan hutan serta kuatnya konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian, permukiman dan industri serta kerusakan kawasan hutan oleh usaha penambangan. Di samping itu, masih banyak stakeholder yang memperoleh manfaat dari perdagangan kayu kehutanan dan hasil tambang di hutan, kurang peduli pada keseimbangan ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS). Hal ini dapat dilihat dari kerusakan gunung akibat penambnagan dan praktek pertanian yang tidak memperhatikan aspek konservasi tanah.

Program rehabilitasi lahan kritis harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ( Sustainable Development ) dan penerapan model kemitraan Public Private P artnership (PPP). Model kemitraan ini telah dilaksanakan di sebagian besar masyarakat dunia. Di Indonesia, model ini merupakan kemitraan antara Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Oleh karena itu, pelaksanaan rehabilitasi lahan kritis hendaknya mengacu pada prinsip pembangunan berkelanjutan dan model kemitraan PPP.

1. Rehabilitasi Lahan Kritis di Kawasan Lindung

Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya hutan. Kawasan lindung memiliki skor >125 menurut SK MENTAN Nomor 837/Kpts/Unit/11/1980. Kawasan lindung terdiri dari Kawasan Hutan dan Kawasan Non- Hutan, sedangkan kawasan hutan terdiri dari hutan konservasi dan hutan lindung. Kawasan non-hutan terdiri dari perkebunan dan lahan dengan nilai skor >125, kawasan resapan air, kawasan sekitar waduk dan kawasan sekitar mata air. Untuk mewujudkan proporsi kawasan Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya hutan. Kawasan lindung memiliki skor >125 menurut SK MENTAN Nomor 837/Kpts/Unit/11/1980. Kawasan lindung terdiri dari Kawasan Hutan dan Kawasan Non- Hutan, sedangkan kawasan hutan terdiri dari hutan konservasi dan hutan lindung. Kawasan non-hutan terdiri dari perkebunan dan lahan dengan nilai skor >125, kawasan resapan air, kawasan sekitar waduk dan kawasan sekitar mata air. Untuk mewujudkan proporsi kawasan

a. Pengukuhan kawasan lindung.

b. Rehabilitasi dan konservasi lahan di kawasan lindung guna mengembalikan dan meningkatkan fungsi lindung.

c. Pengendalian kawasan lindung.

d. Pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung.

e. Peningkatan pemanfaatan potensi sumberdaya hutan.

f. Pengembangan pola insentif dan disinsentif pengelolaan kawasan lindung.

Rehabilitasi dan konservasi lahan di kawasan lindung dilakukan melalui kegiatan penghijauan di seluruh kawasan lindung. Rehabilitasi lahan adalah usaha memperbaiki, memulihkan kembali dan meningkatkan kondisi lahan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal. Baik sebagai unsur produksi, media pengatur tata air maupun sebagai unsur perlindungan alam dan lingkungannya. Konservasi lahan adalah pengelolaan lahan yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara serta meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Pengukuhan kawasan lindung.

2. Rehabilitasi Lahan Kritis di Kawasan Budidaya

Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudi dayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan. Kawasan budidaya terdiri dari hutan produksi, hutan rakyat dan pertania lahan basah. Hutan produksi mempunyai fungsi pokok sebagai penghasil produk-produk hutan, baik kayu maupun hasil hutan bukan kayu (HHBK). Kegiatan rehabilitasi pada hutan produksi Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudi dayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan. Kawasan budidaya terdiri dari hutan produksi, hutan rakyat dan pertania lahan basah. Hutan produksi mempunyai fungsi pokok sebagai penghasil produk-produk hutan, baik kayu maupun hasil hutan bukan kayu (HHBK). Kegiatan rehabilitasi pada hutan produksi

1) Pada hutan produksi yang dibebani hak, rehabilitasi hutan dan lahan kritis menjadi tanggung jawab pemegang hak atas tanah.

2) Pada hutan produksi yang tidak dibebani hak, rehabilitasi hutan dan lahan kritis menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Daerah Hutan Rakyat ( Private Forest ) merupakan penanaman kayu di atas tanah milik rakyat. Menurut UU No. 41/1999 Hutan Rakyat (HR) adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah, yaitu hak milik, sedangkan hak guna usaha dan hak pakai disebut hutan Hak.

Dalam istilah tersebut, terkait pengertian tentang hutan yang menurut UU Nomor 41/1999 tersebut adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam kesatuan alam lingkungannya, yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Tanaman kayu yang berada di Jawa kadang- kadang berada dalam jumlah dan luas yang kecil, sehingga belum dapat memenuhi kriteria sebagai hutan, mungkin baru merupakan Tanaman Kayu Rakyat. Luas minimum suatu kawasan yang ditumbuhi kayu yang memenuhi kreteria sebagai hutan belum ditetapkan dalam peraturan (Sadikin, 2003). Dalam UU Nomor 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan disebutkan bahwa luas minimum adalah 0,25 ha. Walaupun masih banyak tanaman kayu rakyat yang belum dapat Dalam istilah tersebut, terkait pengertian tentang hutan yang menurut UU Nomor 41/1999 tersebut adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam kesatuan alam lingkungannya, yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Tanaman kayu yang berada di Jawa kadang- kadang berada dalam jumlah dan luas yang kecil, sehingga belum dapat memenuhi kriteria sebagai hutan, mungkin baru merupakan Tanaman Kayu Rakyat. Luas minimum suatu kawasan yang ditumbuhi kayu yang memenuhi kreteria sebagai hutan belum ditetapkan dalam peraturan (Sadikin, 2003). Dalam UU Nomor 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan disebutkan bahwa luas minimum adalah 0,25 ha. Walaupun masih banyak tanaman kayu rakyat yang belum dapat

a) Aspek Sosial-Ekonomi

Memenuhi kebutuhan kayu untuk bahan bangunan, industri kecil, menunjang pengembangan ekonomi kerakyatan serta meningkatkan kesempatan kerja di perdesaan.

b) Aspek Ekologi

Mengatur tata air, mencegah erosi dan banjir kelestarian lingkungan.

c) Aspek Estetika

Memperbaiki keindahan alam Konsepsi Rehabilitasi hutan dan Lahan Kritis pada hutan rakyat (di luar kawasan) hendaknya berorientasi pada pemberdayaan ekonomi kerakyatan.

Pada program operasionalnya, hendaknya menerapkan pola insentif dan disinsentif menurut penjelasan atas Perda Nomor 2 tahun 2003. Pola insentif adalah pengaturan yang bertujuan untuk memberikan rangsangan terhadap kegiatan pengelolaan kawasan lindung, sedangkan pola disinsentif adalah pengaturan yang bertujuan untuk membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan pengelolaan kawasan lindung. Rehabilitasi lahan kritis pada hutan rakyat diarahkan untuk terbentuknya hutan rakyat yang produktif dan pemulihan lahan untuk usaha tani konservasi, yang akan berfungsi untuk mengurangi risiko terjadinya banjir dan kekeringan. Pemilihan teknologi budidaya dan jenis tanaman diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat. Untuk meningkatkan pendapatan petani hendaknya dipilih jenis-jenis pohon yang cepat tumbuh dari jenis kayu unggulan yang bernilai ekonomi tinggi. Untuk mencegah penebangan kayu secara intensif namun Pada program operasionalnya, hendaknya menerapkan pola insentif dan disinsentif menurut penjelasan atas Perda Nomor 2 tahun 2003. Pola insentif adalah pengaturan yang bertujuan untuk memberikan rangsangan terhadap kegiatan pengelolaan kawasan lindung, sedangkan pola disinsentif adalah pengaturan yang bertujuan untuk membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan pengelolaan kawasan lindung. Rehabilitasi lahan kritis pada hutan rakyat diarahkan untuk terbentuknya hutan rakyat yang produktif dan pemulihan lahan untuk usaha tani konservasi, yang akan berfungsi untuk mengurangi risiko terjadinya banjir dan kekeringan. Pemilihan teknologi budidaya dan jenis tanaman diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat. Untuk meningkatkan pendapatan petani hendaknya dipilih jenis-jenis pohon yang cepat tumbuh dari jenis kayu unggulan yang bernilai ekonomi tinggi. Untuk mencegah penebangan kayu secara intensif namun

2.1.3. Hutan ( F orests )

Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undang-Undang tersebut, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Dari definisi hutan yang disebutkan, terdapat unsur-unsur yang meliputi:

1. Suatu kesatuan ekosistem.

2. Berupa hamparan lahan.

3. Berisi sumberdaya alam hayati beserta alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.

4. Mampu memberi manfaat secara lestari.

Gambar 2.2. Kenampakan Hutan

Keempat ciri pokok dimiliki suatu wilayah yang dinamakan hutan, merupakan rangkaian kesatuan komponen yang utuh dan saling ketergantungan terhadap fungsi ekosistem di bumi. Eksistensi hutan sebagai sub-ekosistem global menempati posisi penting sebagai paru-paru dunia (Zain, 1996). Sedangkan kawasan hutan lebih lanjut dijabarkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan, yaitu wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Dari definisi dan penjelasan tentang kawasan hutan, terdapat unsur-unsur meliputi:

1. Suatu wilayah tertentu.

2. Terdapat hutan atau tidak terdapat hutan.

3. Ditetapkan pemerintah (menteri) sebagai kawasan hutan.

4. Didasarkan pada kehutanan serta kepentingan masyarakat. Dari unsur pokok yang terkandung di dalam definisi kawasan hutan,

dijadikan dasar pertimbangan ditetapkannya wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan hutan. Kemudian, untuk menjamin diperolehnya manfaat yang sebesar-besarnya dari hutan dan berdasarkan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat serta berbagai faktor pertimbangan fisik, hidrologi dan ekosistem, maka luas wilayah yang minimal harus dipertahankan sebagai kawasan hutan adalah 30 % dari luas daratan.

Berdasarkan kriteria pertimbangan pentingnya kawasan hutan, maka sesuai dengan peruntukannya, menteri menetapkan kawasan hutan menjadi:

1. Wilayah yang berhutan perlu dipertahankan sebagai hutan tetap.

2. Wilayah tidak berhutan yang perlu dihutankan kembali dan dipertahankan sebagai hutan tetap.

Pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi-fungsinya dengan kriteria dan pertimbangan tertentu, ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah RI No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 5 ayat (2), sebagai berikut:

1. Kawasan Hutan Konservasi yang terdiri dari kawasan suaka alam (Cagar Alam dan Suaka Margasatwa), Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam), dan Taman Buru.

2. Hutan lindung.

3. Hutan produksi. Hutan memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat.

Salah satunya adalah dapat meningkatkan perkonomian masyarakat. Peranan hutan dalam rangka peningkatan ekonomi masyarakat direalisasikan dalam bentuk antara lain:

1. Hutan Kemasyarakatan

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 677/Kpts-II/1998, hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh menteri untuk dikelola oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitikberatkan kepentingan menyejahterakan masyarakat.

Pengusahaan hutan kemasyarakatan bertumpu pada pengetahuan, kemampuan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri ( Community Based Forest Management ). Oleh karena itu, prosesnya berjalan melalui perencanaan bawah-atas, dengan bantuan fasilitas dari pemerintah secara efektif, terus menerus, dan berkelanjutan (Dephutbun, 1999).

Pengusahaan hutan kemasyarakatan dikembangkan berdasarkan keberpihakan kepada rakyat, khususnya rakyat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan, dengan prinsip-prinsip:

a. Masyarakat sebagai pelaku utama.

b. Masyarakat sebagai pengambil keputusan.

c. Kelembagaan pengusahaan ditentukan oleh masyarakat.

d. Kepastian hak dan kewajiban semua pihak.

e. Pemerintah sebagai fasilitator dan pemandu program.

f. Pendekatan didasarkan pada keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya.

Berdasarkan jenis komoditas, pengusahaan hutan kemasyarakatan memiliki pola yang berbeda untuk setiap status kawasan hutan, disesuaikan dengan fungsi utamanya:

a. Pada kawasan hutan produksi, dilaksanakan dengan tujuan utama untuk memproduksi hasil hutan berupa kayu dan non kayu serta jasa lingkungan, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk diusahakan.

b. Pada kawasan hutan lindung, dilaksanakan dengan tujuan utama tetap menjaga fungsi perlindungan terhadap air dan tanah (hidrologis), dengan memberi pemanfaatan hasil hutan berupa hasil hutan non kayu dan jasa rekreasi, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk diusahakan. Tidak diperkenankan pemungutan hasil hutan kayu.

c. Pada kawasan pelestarian alam, dilaksanakan dengan tujuan utama untuk perlindungan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yang pada hakekatnya perlindungan terhadap plasma nutfah. Oleh karena itu, pada kawasan ini kegiatan hutan kemasyarakatan terbatas pada pengelolaan jasa lingkungan khususnya jasa wisata.

Menurut Kepala Pusat Informasi Kehutanan, untuk tahun 2003 ditetapkan 22 lokasi yang tersebar di 17 provinsi dengan luas masing- masing 2.500 hektar. Lokasi yang menjadi pengembangan hutan kemasyarakatan ini merupakan bekas HPH/HTI, taman nasional, areal HPH/HTI aktif, hutan lindung, serta lokasi pemberdayaan masyarakat yang telah dikembangkan sebelumnya.

2. Hutan Rakyat

Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas minimal 0.25 ha. Penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan, dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang (Dephutbun, 1999).

Penanaman pepohonan di tanah milik masyarakat oleh pemiliknya, merupakan salah satu butir kearifan masyarakat dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Dengan semakin terbatasnya kepemilikan tanah, peran hutan rakyat bagi kesejahteraan masyarakat semakin penting. Pengetahuan tentang kondisi tanah dan faktor-faktor lingkungannya untuk dipadukan dengan pengetahuan jenis-jenis pohon yang akan ditanam untuk mendapatkan hasil yang diharapkan oleh pemilik lahan, merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan hutan rakyat.

Pada hutan ini dilakukan penanaman dengan mengombinasikan tanaman perkayuan dengan tanaman pangan/palawija yang biasa dikenal dengan istilah agroforestry . Pola pemanfaatan lahan seperti ini banyak manfaatnya, antara lain:

a. Pendapatan per satuan lahan bertambah.

b. Erosi dapat ditekan.

c. Hama dan penyakit lebih dapat dikendalikan.

d. Biaya perawatan tanaman dapat dihemat.

e. Waktu petani di lahan lebih lama.

Ada beberapa tanaman perkayuan yang dikembangkan di hutan rakyat, seperti: Sengon ( Paraserianthes falcataria ), kayu putih ( Melaleuca leucadendron ), Aren ( Arenga pinata ), Sungkai ( P eronema canescens ), Akasia ( Acacia sp .), Jati putih ( Gmelina arborea ), Johar ( Cassia siamea ), Kemiri ( Aleurites moluccana ), Kapuk randu ( Ceiba petandra ), Jabon ( Anthocepallus cadamba ), Mahoni ( Swietenia macrophylla ), Bambu ( Bambusa ), Mimba ( Azadirachta indica ), Cemara pantai ( Casuarina equisetifolia ), dan Kaliandra ( Calliandra calothyrsus ). Dari beberapa jenis pohon tersebut, terdapat 4 (empat) pohon serba guna karena memiliki kemampuan beradaptasi di berbagai kondisi tapak, cepat tumbuh, dan menghasilkan banyak produk, seperti kayu bakar berkualitas tinggi, kayu pertukangan berdiameter kecil, dan pakan ternak. Pohon tersebut adalah: Akasia ( Acacia auriculiformis ), Mimba ( Azadirachta indica ), Cemara pantai ( Casuarina equisetifolia ), dan Kaliandra ( Calliandra calothyrsus ).

2.1.4. Airtanah ( Groundwater )

Ada banyak pengertian atau definisi mengenai airtanah. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air (UU No. 7/2004) mendefinisikan airtanah sebagai air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Sementara beberapa ahli di dalam buku-buku teks memberikan definisi seperti berikut:

Airtanah adalah sejumlah air di bawah permukaan bumi yang dapat dikumpulkan dengan sumur-sumur, terowongan atau sistem drainase atau dengan pemompaan. Dapat juga disebut aliran yang secara alami mengalir ke permukaan tanah melalui pancaran atau rembesan (Bouwer, 1978; Freeze dan Cherry, 1979; Kodoatie, 1996). Sedangkan menurut Soemarto (1989) airtanah adalah air yang menempati rongga- rongga dalam lapisan geologi. Lapisan tanah yang terletak di bawah permukaan tanah dinamakan lajur jenuh ( Saturated Zone ), dan lajur tidak Airtanah adalah sejumlah air di bawah permukaan bumi yang dapat dikumpulkan dengan sumur-sumur, terowongan atau sistem drainase atau dengan pemompaan. Dapat juga disebut aliran yang secara alami mengalir ke permukaan tanah melalui pancaran atau rembesan (Bouwer, 1978; Freeze dan Cherry, 1979; Kodoatie, 1996). Sedangkan menurut Soemarto (1989) airtanah adalah air yang menempati rongga- rongga dalam lapisan geologi. Lapisan tanah yang terletak di bawah permukaan tanah dinamakan lajur jenuh ( Saturated Zone ), dan lajur tidak

Gambar 2.3. Lapisan Airtanah

Air yang berada pada lajur jenuh adalah bagian dari keseluruhan air bawah permukaan yang biasa disebut airtanah ( groundwater ). Air bawah bawah tanah ( underground water dan sub-terranean water ) adalah istilah lain yang digunakan untuk air yang berada pada lajur jenuh, namun istilah yang lazim digunakan adalah airtanah (Johnson, 1972). Pada kedalaman tertentu, pori-pori tanah atau batuan mulai terisi air dan mulai jenuh. Batas atas lajur jenuh air disebut dengan muka airtanah ( Water Table ). Air yang tersimpan pada lajur jenuh disebut dengan airtanah, yang kemudian bergerak sebagai aliran airtanah melalui batuan dan lapisan- lapisan tanah yang ada di bumi sampai air tersebut keluar sebagai mata air, atau terkumpul masuk ke kolam, danau, sungai, dan laut (Fetter, 1994).

Air bawah permukaan adalah segala bentuk aliran air hujan yang mengalir di bawah permukaan tanah sebagai akibat struktur perlapisan geologi, beda potensi kelembapan tanah, dan gaya gravitasi bumi. Air Air bawah permukaan adalah segala bentuk aliran air hujan yang mengalir di bawah permukaan tanah sebagai akibat struktur perlapisan geologi, beda potensi kelembapan tanah, dan gaya gravitasi bumi. Air

Airtanah mempunyai 3 (tiga) fungsi bagi manusia (Toth, 1990 dalam Kodoatie dan Sjarief, 2005) yaitu:

1. Sebagai sumber alam yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia.

2. Bagian dari hidrologi dalam tanah yang mempengaruhi keseimbangan siklus hidrologi global.

3. Sebagai anggota/agen dari geologi.

Ada 2 (dua) sumber airtanah yaitu:

1. Air hujan yang meresap ke dalam tanah melalui pori-pori atau retakan dalam formasi batuan dan akhirnya mencapai muka airtanah.

2. Air dari aliran air permukaan seperti sungai, danau, dan reservoir yang meresap melalui tanah ke dalam lajur jenuh.

Airtanah dan air permukaan merupakan sumber air yang mempunyai ketergantungan satu sama lain. Airtanah adalah sumber persediaan air yang sangat penting, terutama di daerah-daerah di mana Airtanah dan air permukaan merupakan sumber air yang mempunyai ketergantungan satu sama lain. Airtanah adalah sumber persediaan air yang sangat penting, terutama di daerah-daerah di mana

2.1.5. Pesisir ( Coast )

Dahuri et al. (2004) mendefinisikan kawasan pesisir sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai ( coast line ), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas, yaitu : batas yang sejajar garis pantai ( long shore ) dan batas yang

tegak lurus terhadap garis pantai ( cross shore ).

Dalam suatu kawasan pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem dan sumber daya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami ataupun buatan ( manmade ). Ekosistem alami yang terdapat di kawasan pesisir antara lain : terumbu karang ( coral reef ), hutan mangrove, padang lamun,

pantai berpasir ( sandy beach ), formasi pes-caprae, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sementara itu, ekosistem buatan antara lain: tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, agroindustri dan kawasan pemukiman (Dahuri et al., 2004).

Gambar 2.4. Kenampakan Daerah Pesisir

Sumber daya di kawasan pesisir terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih dan sumberdaya alam yang tidak dapat pulih. Sumberdaya yang dapat pulih antara lain meliputi sumberdaya perikanan (plankton, bentos, ikan, moluska, krustacea, mamalia laut); rumput laut; padang lamun; hutan mangrove; dan terumbu karang. Sumberdaya yang tidak dapat pulih dapat berupa minyak dan gas, bijih besi, pasir, timah, bauksit dan mineral serta bahan tambang lainnya. Pada kelompok sumberdaya yang dapat pulih, hidup dan berkembang berbagai macam biota laut, sehingga dengan keanekaragaman sumberdaya tersebut diperoleh potensi jasa-jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk perkembangan wisata (Dahuri et al., 2004).

Menurut Nybakken (1992), ekosistem laut dapat dilihat dari segi horizontal dan vertikal. Secara horizontal kawasan pelagik terbagi menjadi dua yaitu laut pesisir (zona neritik) yang mencakup daerah paparan benua dan laut lepas (lautan atau zona oseanik). Zonasi perairan laut dapat pula dilakukan atas dasar faktor – faktor fisik dan penyebaran komunitas biotanya. Seluruh daerah perairan terbuka disebut kawasan pelagik dan kawasan bentik adalah kawasan di bawah kawasan pelagik atau dasar laut. Organisme pelagik adalah organisme yang hidup di laut terbuka dan lepas dari dasar laut. Zona dasar laut beserta organismenya disebut daerah dan organisme bentik. Secara vertikal wilayah laut dibagi berdasarkan intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan. Zona fotik adalah bagian kolom perairan laut yang masih mendapat cahaya matahari, disebut juga zona epipelagis. Zona afotik berada dibawah zona fotik, yaitu daerah yang secara terus menerus berada dalam keadaan gelap dan tidak mendapatkan cahaya matahari.

2.1.6. Pantai ( Beach )

Pantai adalah suatu barisan sedimen atau endapan yang muncul mulai dari garis air terendah sampai ke tebing atau sampai ke zona dengan tumbuhan permanen. Pantai memiliki bentuk dan diantaranya yaitu berikut ini:

a) Spit, yaitu pantai yang salah satu ujungnya bersambung dengan daratan.

b) Baymouth, yaitu bukit endapan pada pantai yang memotong teluk dengan lautan.

c) Tambolo, yaitu bukit endapan pada pantai yang menghubungkan pulau dengan pulau utama.

Gambar 2.5. Kenampakan Daerah Pantai Garis pantai merupakan suatu garis batas pertemuan (kontak) antara

daratan dengan air laut. Posisinya bersifat tidak tetap, dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi. Pantai terletak antara garis surut terendah dan air pasang tertinggi (Bengen, 2001). Prasetya et al. (1994) , menyatakan bahwa berdasar asal daratan dengan air laut. Posisinya bersifat tidak tetap, dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi. Pantai terletak antara garis surut terendah dan air pasang tertinggi (Bengen, 2001). Prasetya et al. (1994) , menyatakan bahwa berdasar asal

1. Pantai tenggelam ( sub-emergence ): Terbentuk oleh genangan air laut padadaratan yang tenggelam.

2. Pantai timbul ( emergence ): Terbentuk oleh genangan air laut pada daratan yang sebagian terangkat.

3. Pantai netral: Pembentukannya tidak tergantung pada pengangkatan atau penurunan daratan, melainkan pengendapan aluvialnya. Pantai ini dicirikan dengan pantai pada ujung delta yang dalam dengan bentuk pantai sederhana atau melengkung.

4. Pantai campuran ( compound ): Terbentuk oleh proses pengangkatan dan penurunan daratan, yang diindikasikan oleh adanya daratan pantai ( emergence ) dan teluk-teluk ( sub-emergence ).

Karakteristik bentuk pantai berbeda-beda antara tempat yang satu dengan tempat lainnya. Ada pantai yang berlumpur, berpasir yang datar dan landai, berbatu dan terjal. Keadaan topografi dan geologi wilayah pesisir mempengaruhi perbedaan bentuk pantai.

Ada beberapa langkah penting yang bisa dilakukan dalam mengamankan garis pantai seperti pemecah gelombang dan pengembangan vegetasi di pantai. Untuk mengatasi abrasi/penggerusan garis pantai dari gelombang/ombak dapat digunakan pemecah gelombang yang berfungsi untuk memantulkan kembali energi gelombang. Berbagai cara yang ditempuh untuk memecahkan gelombang di antaranya dengan menggunakan tumpukan tetrapod yang terbuat dari beton pada jarak tertentu dari garis pantai.

Hutan bakau dapat membantu mengatasi gelombang serta sekaligus bermanfaat untuk kehidupan binatang serta tempat berkembang biak ikan- ikan tertentu. Hutan bakau disebagian besar pantai Utara sudah hilang Hutan bakau dapat membantu mengatasi gelombang serta sekaligus bermanfaat untuk kehidupan binatang serta tempat berkembang biak ikan- ikan tertentu. Hutan bakau disebagian besar pantai Utara sudah hilang

2.1.7. Gumuk Pasir ( Sand Dunes )

Gumuk pasir adalah gundukan bukit atau igir dari pasir yang terhembus angin. Gumuk pasir dapat dijumpai pada daerah yang memiliki pasir sebagai material utama, kecepatan angin tinggi untuk mengikis dan mengangkut butir-butir berukuran pasir, dan permukaan tanah untuk tempat pengendapan pasir, biasanya terbentuk di daerah arid (kering).

Gambar 2.6. Kenampakan Gumuk Pasir

Gumuk pasir cenderung terbentuk dengan penampang tidak simetri. Jika tidak ada stabilisasi oleh vegetasi gumuk pasir cenderung bergeser ke arah angin berhembus, hal ini karena butir-butir pasir terhembus dari depan ke belakang gumuk. Gerakan gumuk pasir pada umumnya kurang dari 30 meter/tahun. Bentuk gumuk pasir bermacam-macam tergantung Gumuk pasir cenderung terbentuk dengan penampang tidak simetri. Jika tidak ada stabilisasi oleh vegetasi gumuk pasir cenderung bergeser ke arah angin berhembus, hal ini karena butir-butir pasir terhembus dari depan ke belakang gumuk. Gerakan gumuk pasir pada umumnya kurang dari 30 meter/tahun. Bentuk gumuk pasir bermacam-macam tergantung

Secara global gumuk pasir merupakan bentuklahan bentukan asal proses angin (aeolian). Bentuklahan bentukan asal proses ini dapat berkembang dengan baik apabila terpenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Tersedia material berukuran pasir halus hingga kasar dalam jumlah yang banyak.

b. Adanya periode kering yang panjang dan tegas.

c. Adanya angin yang mampu mengangkut dan mengendapkan bahan pasir tersebut.

d. Gerakan angin tidak banyak terhalang oleh vegetasi maupun obyek lain.

Endapan oleh angin terbentuk oleh adanya pengikisan, pengangkutan dan pengendapan bahan-bahan tidak kompak oleh angin. Endapan karena angin yang paling utama adalah gumuk pasir (sand dunes) dan endapan debu ( loose ). Kegiatan angin mempunyai dua aspek utama, yaitu bersifat erosif dan deposisi. Bentuklahan yang berkembang terdahulu mungkin akan berkembang dengan baik apabila di padang pasir terdapat batuan. Bentuk gumuk pasir bermacam-macam tergantung pada faktor-faktor jumlah dan ukuran butir pasir, kekuatan dan arah angin, dan keadaan vegetasi. Bentuk gumuk pasir pokok yang perlu dikenal adalah bentuk sabit (barchans), melintang (transverse), memanjang (longitudinal dune), parabola (parabolik), bintang (star dune).

Kerja angin mempunyai 2 aspek, yaitu erosif dan akumulatif. Akumulatif seperti yang terjadi di daerah pantai berpasir sangat dipengaruhi oleh ukuran butir dari materialnya. Bentuk-bentuk gumuk pasir seperti barchan, parabolik, longitudinal dan transversal merupakan Kerja angin mempunyai 2 aspek, yaitu erosif dan akumulatif. Akumulatif seperti yang terjadi di daerah pantai berpasir sangat dipengaruhi oleh ukuran butir dari materialnya. Bentuk-bentuk gumuk pasir seperti barchan, parabolik, longitudinal dan transversal merupakan

Beberapa ciri khusus antara lain berstruktur sedimen permukaan gelembur gelombang (ripple mark) akibat pergeseran butiran pasir pengaruh arah angin, perlapisan horisontal di bagian dalam, lapisan bersusun dan silang siur. Rona cerah, tekstur halus-seragam, pola teratur dan banyak sungai bermuara dan melebar akibat pertemuan dengan laut. Kadang terbentuk danau tapal kuda ( oxbow lake), sungai berpindah dan akumulasi material pasir di depan tebing penghalang.

2.1.8. Sabo (Dam Penahan Sedimen)

Lahar yang terdapat pada lereng bagian hulu Gunung Merapi dan curah hujan yang sangat deras dalam waktu lama dengan intensitas tinggi, dapat menyebabkan bahaya banjir lahar dingin atau bahaya sekunder. Bahaya sekunder diakibatkan oleh mengalirnya air yang membawa endapan berupa material yang sebelumnya menumpuk pada lereng bagian hulu. Endapan awan panas pada lereng bagian hulu merupakan endapan material yang lepas yang sewaktu terjadi hujan akan hanyut ke hilir dalam bentuk banjir lahar. Hujan dengan kondisi 50 mm/jam sudah perlu diwaspadai akan terjadinya banjir lahar. Kecepatan aliran lahar dapat mencapai 36 km/jam dan konsentrasi endapan material sedimen yang diendapkan dapat mencapai 40 %. Dengan kecepatan yang cukup besar dan kandungan yang besar tersebut, aliran akan bersifat merusak terhadap apapun yang dilalui aliran tersebut. Oleh karena itu untuk mengurangi Lahar yang terdapat pada lereng bagian hulu Gunung Merapi dan curah hujan yang sangat deras dalam waktu lama dengan intensitas tinggi, dapat menyebabkan bahaya banjir lahar dingin atau bahaya sekunder. Bahaya sekunder diakibatkan oleh mengalirnya air yang membawa endapan berupa material yang sebelumnya menumpuk pada lereng bagian hulu. Endapan awan panas pada lereng bagian hulu merupakan endapan material yang lepas yang sewaktu terjadi hujan akan hanyut ke hilir dalam bentuk banjir lahar. Hujan dengan kondisi 50 mm/jam sudah perlu diwaspadai akan terjadinya banjir lahar. Kecepatan aliran lahar dapat mencapai 36 km/jam dan konsentrasi endapan material sedimen yang diendapkan dapat mencapai 40 %. Dengan kecepatan yang cukup besar dan kandungan yang besar tersebut, aliran akan bersifat merusak terhadap apapun yang dilalui aliran tersebut. Oleh karena itu untuk mengurangi

1. Menampung endapan sedimen di daerah hulu dan mengurangi produksi sedimen dari alur sungai dan tebing sungai dengan membangun dam penahan sedimen ( sabo dam ).

2. Menahan endapan sedimen di daerah endapan dengan membangun kantong-kantong lahar dan tanggul.

3. Mengarahkan aliran banjir di daerah hilir dengan pembuatan dam konsolidasi, tanggul, dan perbaikan alur sungai.

Gambar 2.7. Sabo (Dam)

Upaya penganggulangan masalah erosi dan sedimentasi telah lama dilakukan di Indonesia dengan menitikberatkan pada upaya pencegahan dengan menggunakan teknologi sederhana berupa penghutanan dan bendung pengendali sedimen. Teknologi sabo mulai dikenalkan di Indonesia sejak kedatangan tenaga ahli sabo dari Jepang, Mr. Tomoaki Yokota, pada tahun 1970. Sabo berasal dari bahasa Jepang yang terdiri Upaya penganggulangan masalah erosi dan sedimentasi telah lama dilakukan di Indonesia dengan menitikberatkan pada upaya pencegahan dengan menggunakan teknologi sederhana berupa penghutanan dan bendung pengendali sedimen. Teknologi sabo mulai dikenalkan di Indonesia sejak kedatangan tenaga ahli sabo dari Jepang, Mr. Tomoaki Yokota, pada tahun 1970. Sabo berasal dari bahasa Jepang yang terdiri

Ada beberapa macam bangunan sabo antara lain:

1. Dam konsolidasi: Untuk mengurangi produksi sedimen dari alur dan tebing sungai.

2. Check dam : Untuk menampung dan mengendalikan sedimen.

3. Sandpocket : Untuk menahan endapan sedimen di daerah endapan.

4. Tanggul: Untuk mengarahkan aliran banjir dan mengurangi pengikisan tebing.

Jenis pekerjaan sabo terbagi atas dua bagian, yaitu:

1. Pekerjaan langsung, yaitu pemantapan lereng bukit sebagai upaya pencegahan terjadinya erosi, antara lain sengkedan, penghutanan, bendung pengendali sedimen, dan lain-lain.

2. Pekerjaan tidak langsung, sebagai upaya pengendalian aliran sedimen, sedimen luruh ( debris flow ), antara lain bendung penahan sedimen, kantong sedimen, normalisasi/kanalisasi alur, tanggul dan lain-lain.

Aliran debris adalah aliran sedimen (lahar) dalam jumlah yang banyak akibat erupsi lahar yang disertai awan panas dan mengalir ke sungai berdasarkan kemiringan gunung.

2.1.9. Karst