Penguatan Nilai Kearifan Lokal sebagai Basis Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance) (Studi Kasus di Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta).

(1)

PENGUATAN NILAI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI BASIS TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE)

(Studi Kasus di Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta)

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pada Departemen Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana

Universitas Pendidikan Indonesia

Oleh

Lusiana Rahmatiani 1302544

DEPARTEMEN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2 0 1 5


(2)

(Studi Kasus di Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta)”

Oleh Lusiana Rahmatiani

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Departemen Pendidikan Kewarganegaraan

Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

@ Lusiana Rahmatiani 2015 Universitas Pendidikan Indonesia

Juni 2015

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian dengan dicetak ulang, difotocopy atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis


(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Lusiana Rahmatiani (NIM. 1302544). Penguatan Nilai Kearifan Lokal sebagai Basis Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance) (Studi Kasus di Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta)

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh sejumlah permasalahan yang muncul dalam praktik pembangunan di Indonesia. Pertama, perjalanan demokrasi yang sudah berjalan belum mampu secara maksimal menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik; Kedua, peran pemerintah dalam melaksanakan pembangunan berbasis potensi dan kondisi sosial kultural masyarakat masih minim. Ketiga, tergerusnya nilai-nilai kearifan lokal yang ada dalam masyarakat seiring terjadinya tarik-menarik antara nilai lokal dan global; Keempat, berpikir global dan berperilaku lokal (think globally, act locally) yang sering digemborkan dalam menjawab tantangan global masih sebatas konsep semata. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Lokasi penelitian terletak di Kantor Pemerintahan Daerah Kabupaten Purwakarta yang beralamat di Jl. Gandanegara No. 25 Purwakarta dan wilayah administratif Kabupaten Purwakarta. Subjek penelitian terdiri dari tiga elemen, meliputi pemerintah, akademisi, dan masyarakat. Hasil penelitian menunjukan; (1) implementasi pembangunan daerah berbasis nilai kearifan lokal di Kabupaten Purwakarta dilakukan atas dasar kecintaan dan penghargaan terhadap lingkungan dan alam tempat hidup manusia yang dimanifestasikan dalam wujud pembangunan infrastruktur (tata ruang kota) dan suprastruktur (pemberdayaan masyarakat); (2) kekuatan utama pembangunan berbasis nilai kearifan lokal terletak pada prinsip “sauyunan”, disertai dengan penerapan konsepsi silih asah, silih asuh, silih asih, serta mengkolaborasikan antara kekuatan pikiran, badan, dan batin (cing caringcing pageuh kancing dan set saringset pageuh iket); (3) Tantangan dalam menempatkan nilai kearifan lokal sebagai basis tata kelola pemerintahan yang baik, meliputi; perbedaan cara berpikir terhadap orientasi pembangunan, banyaknya anggapan bahwa pembangunan berwawasan lokal merupakan suatu kemunduran demokrasi, kedaerahan, dan cenderung tradisional (kuno), pembangunan kurang mempertimbangkan karakteristik masyarakat religius (muslim) yang ada di Kabupaten Purwakarta, serta kurangnya sinergitas antara pemerintah, masyarakat dan swasta dalam melaksanakan pembangunan; (4) model pembangunan daerah berbasis kearifan lokal harus mampu mensinergiskan pemerintah, swasta, dan masyarakat yang menempatkan prinsip “sauyunan” sebagai dasar dalam pembangunan daerah. Karena itu, rekomendasi yahng ditawarkan adalah; (1) internalisasi dan pelembagaan prinsip “sauyunan”perlu dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara; (2) Perlu peningkatan kegiatan advokasi dan komunikasi dengan masyarakat dan swasta untuk menumbuhkan komitmen serta kesepahaman mengenai orientasi pembangunan di Kabupaten Purwakarta; (3) Masyarakat hendaknya lebih responsif terhadap setiap program yang dilaksanakan pemerintah Kabupaten Purwakarta.


(6)

Lusiana Rahmawati, 2015

Wisdom As A Basic of Good Governance (Case Study in Local Government of Purwakarta)

This research is motivated by a several problems that arise in practice of development in Indonesia. First, existing democratic journey has not been able to create good governance optimally; Second, the role of government to implementation of development based on social and cultural potential is still minimal. Third, degradation of local wisdom values in the community as attraction between local and global values; Fourth, think globally and act locally is often advocated in responding to global challenges is still a mere concept. This study used a qualitative approach with case study method. Data collected through interviews, observation, and documentation study. Research location in The Office of Purwakarta Government is located at Jl. Gandanegara No. 25 Purwakarta and administrative area of Purwakarta. Research subjects consisted of three elements, including government, academia, and society. The results showed; (1) implementation of regional development based on the value of local wisdom in Purwakarta carried out on the basis of love and respect for the natural environment and place of human life that manifested in the form of infrastructure development (urban planning) and superstructure (empowerment); (2) The main strength of development based on local wisdom value lies in the principle of "sauyunan", accompanied by implementation concept of silih asah, silih asuh, silih asih, and collaborate between the power of mind, body, and inner (cing caringcing pageuh kancing and set saringset pageuh iket); (3) The challenge in putting the local wisdom values as a basic of good governance, include; the differences paradigm of development orientation, many assumption that the local development minded is a setback democracy, regionalism, and traditional (outmoded), the development of less characteristics of religious communities (muslim) in Purwakarta, as well as the lack of government, communities and the private sector synergy in implementing development; (4) model of regional development based on local wisdom to be able to synergize government, private sector, and community that puts the principle of "sauyunan" as a basis for regional development. Therefore, recommendations are offered; (1) internalization and institutionalization the principle of "sauyunan" needs to be done in the social life of nation and state; (2) Increase advocacy and communication with the public and private sectors to foster commitment and understanding of the orientation development in Purwakarta is needed; (3) The community should be responsive to government program are implemented Purwakarta local government.


(7)

(8)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN PLAGIARISME………. i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN………. . xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 11

1. Identifikasi Masalah ... 11

2. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

1. Tujuan Umum ... 12

2. Tujuan Khusus ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 13

1. Secara Teoretis ... 13

2. Secara Praktis ... 13

E. Struktur Organisasi Tesis ... 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 15

A. Paradigma Pemerintahan yang Baik (Good Governance) ... 15

1. Konsepsi Pemerintahan yang Baik (Good Governance) ... 15

2. Prinsip-Prinsip Pemerintahan yang Baik (Good Governance) .... 23

B. Makna dan Hakikat Kearifan Lokal ... 32

1. Konsep Kearifan Lokal ... 32

2. Urgensi Penguatan Nilai Kearifan Lokal dalam Kehidupan ... 37

C. Kajian Nilai Budaya dan Makna Kesundaan ... 40

1. Hakikat Nilai ... 40

2. Konsep Budaya ... 44

3. Wujud Kebudayaan ... 45

4. Makna Nilai Kesundaan ... 49

5. Filosofi Hidup Orang Sunda ... 54

D. Keterhubungan Nilai Kearifan Lokal dengan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance) ... 56

E. Penelitian Terdahulu ... 61


(9)

BAB III METODE PENELITIAN ... 66

A. Desain Penelitian ... 66

B. Partisipan dan Tempat Penelitian ... 67

C. Definisi Operasional ... 69

D. Instrumen Penelitian ... 69

E. Teknik Pengumpulan Data ... 70

1. Wawancara ... 70

2. Observasi ... 71

3. Studi Dokumentasi ... 71

F. Teknik Analisis Data ... 72

1. Reduksi Data ... 72

2. Penyajian Data ... 72

3. Kesimpulan/Verifikasi ... 73

G. Validitas Data ... 73

1. Pengujian Kredibilitas ... 73

2. Pengujian Transferability ... 75

3. Pengujian Dependability ... 75

4. Pengujian Konfirmability ... 75

H. Isu Etik……… 76

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN ... 77

A. Gambaran Umum Kabupaten Purwakarta ... 77

B. Temuan Penelitian ... 80

1. Bagaimana Implementasi Tata Kelola Pemerintahan Berbasis Nilai Kearifan Lokal ... 80

2. Sejauhmana Relevansi Nilai Kearifan Lokal dalam Mendukung Tercapainya Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance) ... 91

3. Tantangan Menempatkan Nilai Kearifan Lokal Sebagai Basis Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance) Ditengah Terpaan Globalisasi ... 104

4. Model Alternatif Penguatan Nilai Kearifan Lokal dalam Menciptakan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance) ... 115

C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 119

1. Implementasi Tata Kelola Pemerintahan Berbasis Nilai Kearifan Lokal ... 119

2. Relevansi Nilai Kearifan Lokal dalam Mendukung Tercapainya Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance) ... 128

3. Tantangan Menempatkan Nilai Kearifan Lokal Sebagai Basis Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance) Ditengah Terpaan Globalisasi ... 133

4. Model Alternatif Penguatan Nilai Kearifan Lokal dalam Menciptakan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance) ... 137


(10)

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI ... 142

A. Simpulan ... 142

1. Simpulan Umum ... 142

2. Simpulan Khusus ... 143

B. Implikasi ... 144

C. Rekomendasi ... 144

1. Bagi Pemerintah Kabupaten Purwakarta ... 144

2. Bagi Masyarakat Kabupaten Purwakarta ... 145

3. Bagi Departemen Pendidikan Kewarganegaraan ... 145

4. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 146

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN BIODATA PENELITI


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Hubungan Tiga Domain dalam Good Governance ... 21

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran ... 65

Gambar 3.1 Triangulasi Sumber ... 74

Gambar 3.2 Triangulasi Teknik ... 74

Gambar 3.3 Triangulasi Waktu ... 75

Gambar 4.1 Peta Administratif Kabupaten Purwakarta ... 78

Gambar 4.2 Patung Badak di Situ Buleud ... 89

Gambar 4.3 Patung “Egrang” di Pasar Jumaah ... 89

Gambar 4.4 Patung Keramik di Plered ... 89

Gambar 4.5 Pola Pembangunan Berbasis Kearifan Lokal ... 127


(12)

BAB I PENDAHULUAN

Bab I membahas pendahuluan yang mendesripsikan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan struktur organisasi tesis.

A. Latar Belakang Masalah

Penelitian mengenai tata kelola pemerintahan yang baik (good goernance) berbasis kearifan lokal penting untuk dilakukan penelitian karena sejumlah alasan. Pertama, buruknya citra pemerintahan dikalangan masyarakat yang diakibatkan maraknya tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme dikalangan pejabat pemerintah. Kedua, maraknya praktek tersbeut menjadikan meningkatnya ketidakpercayaan publik pada pemerintah baik pusat maupun daerah. Ketiga, munculnya ketidakpercayaan terhadap pemerintah menjadikan munculnya rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Keempat, adanya tarik-menarik antara kepentingan nasional disatu sisi dengan kepentingan global disisi lain memerlukan adanya penguatan jatidiri bangsa untuk dapat menghadapi berbagai tantangan yang memerlukan perhatian serius semua pihak.

Karena itu, salah satu isu yang digulirkan pemerintah pasca reformasi adalah pelaksanaan konsep good governance dalam pembangunan bangsa. Mardiasmo (dalam Tangkilisan, 2005, hlm. 114) menjelaskan bahwa orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan kepemerintahan yang baik (good governance). Kondisi ini berupaya untuk menciptakan suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab sejalan prinsip demokrasi, efisien, pencegahan korupsi, baik secara politik maupun administratif. Sedarmayanti (2009) menjelaskan bahwa:

ketidakpercayaan masyarakat akan pemerintah dipicu oleh penyalahgunaan wewenang aparatur pemerintah, sentralistik, top-down, self-oriented, monopolistik, represif dan kurang peka terhadap aspirasi masyarakat yang mendorong suburnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (hlm, 271).


(13)

2

Berangkat dari pendapat di atas, maka kesalahan-kesalahan dalam manajemen pemerintahan berimplikasi pada munculnya ketidakpercayaan masyarakat akan kinerja pemerintah. Karena itu, muncullah berbagai inisiatif untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dari mulai tingkat lokal sampai nasional.

Penerapan kebijakan otonomi daerah sebagai salah satu bentuk inisiatif yang dilandasi keinginan kuat mempercepat proses pembangunan nasional dalam prakteknya tidak secara spontan dapat memenuhi sisi ideal yang diharapkan, hal tersebut amat bergantung pada keberhasilan setiap elemen daerah dalam menjalankan konsepsi sebagaimana yang dicanangkan. Pemerintah yang meliputi kepala daerah dan perangkatnya (SKPD), DPRD serta masyarakat harus senantiasa berkerja keras, terampil, disiplin, dan berperilaku sesuai dengan nilai, norma dan moral yang berkembang dimasyarakat, serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kebijakan otonomi daerah yang mulai hangat diperbincangkan sejak awal tahun 2001, secara filosofis dapat dilihat sebagai bagian dari suatu proses perubahan menuju kemandirian daerah dalam pembangunan. Akan tetapi, apabila proses perubahan tersebut hanya ditumpukan pada Pemerintah Daerah maka dapat dipastikan demokrasi tidak akan pernah terwujud. Karena itu, untuk mendukung ketercapaian pembangunan di era otonomi daerah diperlukan partisipasi aktif masyarakat dalam mendukung program pembangunan. Dijelaskan Dijelaskan Sedarmayanti (2012, hlm. 3) bahwa:

pemerintahan yang baik hanya dapat tercipta apabila dua kekuatan saling mendukung, yakni warga yang bertanggungjawab, aktif dan memiliki kesadaran bersama dengan pemerintah yang terbuka, tanggap, mau mendengar, dan mau melibatkan.

Berangkat dari pendapat di atas, maka kolaborasi dan sinergitas antara masyarakat dan pemerinatah amat diperlukan dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik. Karena itu, kebijakan desentralisasi pemerintahan merupakan salah satu upaya untuk menciptakan hal tersebut.

Desentralisasi yang merupakan salah satu asas penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana dijelaskan pada Pasal 5 Ayat 4 UU No 24


(14)

Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mempunyai potensi terciptanya transparansi dan akuntabilitas serta menjadi modal tumbuhnya demokrasi di daerah. Akan tetapi, realitas menunjukkan bahwa kebijakan ini di dalamnya tidak secara otomatis mengandung prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) karena belum mampu secara optimal membuka peran serta masyarakat dalam praktek pemerintahan. Mengacu pada pendapat Sedarmayanti (2009, hlm. 270) bahwa potensi demokratisnya desentralisasi sangat mungkin tercapai apabila terdapat institusionalisasi peran serta masyarakat di tingkat lokal, jika tidak maka pemerintah yang terdesentralisasi dapat mengakibatkan kalangan elit lokal mendapatkan kekuasaan baru dan berpotensi mendapat keuntungan bagi dirinya.

Partisipasi masyarakat dalam setiap proses pembuatan kebijakan merupakan hal penting sebagai cermin perjalanan demokrasi di suatu negara. Hal ini menjadi sangat tepat ketika partisipasi publik kemudian diangkat menjadi salah satu prinsip yang harus dijalankan oleh pemerintah dalam upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Pentingnya partisipasi publik pada gilirannya memperoleh momentum yang tepat seiring berkembangnya otonomi daerah di Indonesia yang memberikan keleluasaan yang lebih besar bagi daerah untuk merancang dan menentukan sendiri jenis pelayanan yang paling dibutuhkan dan merefresentasikan harapan masyarakat. Hal tersebut dapat diasumsikan bahwa kepemerintahan yang baik tidak dapat tercapai tanpa didukung oleh keberadaan masyarakat yang kuat sebagai modal sosial paling utama.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan daerah. Sebagaimana Bastian (2006, hlm. 338) yang menjelaskan bahwa tujuan program otonomi daerah adalah menciptakan kehidupan politik yang lebih demokratis, menciptakan sistem yang lebih menjamin pemerataan dan keadilan, memungkinkan setiap daerah menggali potensi natural dan kultural yang dimiliki, dan kesiapan menghadapi tantangan globalisasi.


(15)

4

Akan tetapi, harapan-harapan sebagaimana diungkap di atas sampai saat ini masih menemui berbagai kendala. Hal tersebut didasarkan pada hasil pengamatan dan telaah terhadap beberapa informasi yang diperoleh dari media massa dan beberapa referensi ditemukan sejumlah masalah dalam kaitannya dengan pemberlakuan otonomi daerah. Pertama, otonomi daerah berdampak pada munculnya “raja-raja kecil” yang seakan menguasai daerah yang dipimpinnya. Kedua, pemahaman Pemerintah Daerah mengenai konsepsi otonomi daerah masih kurang. Ketiga, adanya tindakan sewenang-wenang dari Pemerintah Daerah dalam menjalankan roda pemerintahan di daerah. Keempat, terjadinya perebutan batas wilayah antar daerah yang satu dengan daerah yang lainnya yang berujung pada konflik vertikal maupun horizontal. Kelima, pembangunan daerah belum sepenuhnya sesuai dengan karakteristik dan potensi yang ada di daerah.

Asumsi demikian senada dengan pendapat Ihsan (2011, hlm. 12) dalam papernya “perlunya percepatan pembangunan di era otonomi daerah” yang menjelaskan sejumlah permasalahan dalam otonomi daerah di Indonesia, sebagai berikut:

1. Munculnya penguasa baru di wilayah NKRI, 2. Adanya eksploitasi pendapatan daerah,

3. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum mantap,

4. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai, 5. Kondisi aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya

pelaksanaan otonomi daerah, 6. Banyaknya korupsi di daerah, dan

7. Adanya potensi munculnya konflik antardaerah

Melihat adanya ketimpangan antara das sollen (harapan) dan das sein (kenyataan) sebagaimana dijelaskan di atas, maka perlu kiranya dilakukan sebuah langkah lanjutan untuk menemukenali permasalahan yang secara faktual muncul ke permukaan sampai dapat menemukan solusi alternatif untuk memecahkan permasalahan yang ditemui tersebut. Munculnya penguasa-penguasa baru pasca diberlakukannya otonomi daerah atau yang oleh peneliti disebut sebagai “raja-raja kecil” sebenarnya merupakan hal yang tidak semestinya terjadi jika pemahaman akan konsepsi otonomi daerah sudah mencapai titik maksimal.


(16)

Sekalipun terjadi pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah, tidak lantas diakui adanya kedaulatan pada daerah karena sebagai negara yang didasarkan atas prinsip negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan nasional. Karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan akan tetap ada ditangan pemerintah pusat. Sekaitan dengan itu, kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Poin penting yang menjadi pembedanya terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan.

Maka dengan demikian, daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum diberikan otonomi untuk mengatur dan mengurus daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum. Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus kehidupan warganya maka Pemerintah Pusat dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya Daerah ketika membentuk kebijakan Daerah baik dalam bentuk Perda maupun kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan kepentingan nasional. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara kepentingan nasional yang sinergis dan tetap memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.

Tuntutan good governance dalam rangka efektifitas dan efisiensi pembangunan daerah dalam kerangka otonomi sangat identik dengan adanya prasyarat berupa tata pemerintahan yang baik dan bersih dengan tujuan utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita Bangsa dan Negara. Sekaitan dengan itu, dijelaskan Sedarmayanti (2003, hlm. 2) bahwa perlu diperhatikan mekanisme untuk meregulasi akuntabilitas pada setiap instansi pemerintah dan memperkuat peran kapasitas parlemen, serta tersedianya akses yang sama pada informasi bagi masyarakat luas karena pada dasarnya terdapat tiga pilar utama dalam mewujudkan good governance, meliputi akuntabilitas, transparasi, dan partisipasi.


(17)

6

Isu governance mulai memasuki perdebatan pembangunan di Indonesia didorong oleh adanya dinamika yang menuntut adanya perubahan, baik di lingkungan pemerintah, dunia usaha swasta maupun masyarakat. Peran pemerintah sebagai pembangun maupun penyedia jasa pelayanan dan infrastuktur akan bergeser menjadi badan pendorong terciptanya lingkungan yang mampu memfasilitasi pihak lain dalam komunitas masyarakat dan sektor swasta ikut untuk aktif melakukan upaya tersebut.

Sebagian besar otonomi daerah (tugas dan kewenangan mengatur daerah sendiri) diberikan kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota atas dasar pertimbangan budaya, politik (demokrasi), dan ekonomi lokal. Perubahan atau pergeseran pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik dalam Undang-undang membawa dampak yang sangat signifikan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah terutama di berbagai daerah di Indonesia yang memiliki kemajemukan, karakteristik, sosial, budaya, adat, letak geografi dan wilayah serta kemampuan daerah yang berbeda-beda.

Malau (2013, hlm. 3) menjelaskan tujuan utama penerapan otonomi daerah adalah:

Pertama, adanya partisipasi masyarakat lokal dalam pemerintahan daerah. Kedua, memiliki sistem pemerintahan yang lebih responsif dan representative. Ketiga, lebih demokratis di tingkat lokal dalam menampung aspirasi masyarakat lokal. Keempat, untuk menciptakan kesejahteraan rakyat di daerah sebagai tujuan bangsa dan negara.

Menilik penjelasan tersebut, maka penciptaan good governance dalam kerangka otonomi daerah memberikan porsi yang besar bagi masyarakat lokal disertai dengan nilai-nilai budaya dan adat kebiasaan yang dimilikinya untuk berkontribusi atau bahkan menjadi aspek yang dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan. Implementasi good governance bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah berbasis local wisdom sebagai tujuan governance akan memberikan warna the ultimate goal of autonomy dan partisipasi serta pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan otonomi daerah.

Kita mengetahui dengan pasti bahwa kearifan lokal merupakan suatu kecenderungan umum masyarakat Indonesia yang telah menerima otonomi daerah sebagai pilihan politik terbaik, dimana pemerintah bersama masyarakat


(18)

bersatu-padu membangkitkan nilai-nilai daerah untuk kepentingan pembangunan memberikan makna bagi perjuangan daerah untuk mencapai prestasi terbaik. Indonesia sebagai negara yang kaya akan ragam budaya masyarakat mempunyai ratusan suku yang tersebar dari Sabang sampai Merauke yang pada akhirnya merujuk pada satu kebudayaan nasional dan menjadikannya sebagai identitas diri bangsa Indonesia.

Berbicara mengenai karakteristik masyarakat, tidak hanya terbatas pada pembicaraan mengenai kekayaan budaya bangsa melainkan lebih ditekankan pada saratnya nilai-nilai kebijaksanaan dan kebaikan yang tercermin pada setiap praktik kehidupan sehari-hari. Kebudayaan lokal atau dalam konteks penelitian ini disebut dengan istilah kearifan lokal lahir karena pengaruh sejarah dan kebiasaan masa lalu yang berjalan secara sistematis dan turun-mrnurun. Kandungan nilai dalam setiap budaya masyarakat menjadikannya harus dipertahankan bahkan menjiwai setiap derap langkah masyarakat dan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan.

Daya dukung kearifan lokal dalam meningkatkan pembangunan dan kemajuan bangsa semakin mendapatkan perhatian yang sangat serius. Kearifan lokal (local wisdom) merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat untuk menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Pemahaman tersebut senada dengan Saini (dalam Suryadi & Kusnandi, 2010, hlm. 602) yang menjelaskan kearifan lokal sebagai sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya yang memberikan kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah di mana komunitas itu berada. Karena itu, bicara mengenai kearifan lokal maka akan bertuju pada tatanan nilai moral budaya suatu masyarakat.

Kearifan lokal sebagai bagian dari konstruksi budaya dijelaskan Haba (2007, hlm. 330) mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikenal, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat. Indonesia sebagai salah satu Negara besar dengan beragam


(19)

8

warisan kebudayaan yang memiliki peran yang cukup penting dalam memindahkan unsur-unsur kebudayaan dari generasi ke generasi penerus guna memelihara identitas dan melawan pengaruh westernisasi (budaya barat) yang semakin gencar menyelimuti segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia, dengan kembali pada nilai kearifan lokal sebagai budaya asli masyarakat serta kembali mempelajari dan memahami kearifan lokalnya dengan harapan bahwa pada masa depan masyarakat akan mendapat kesesuaian hidup dan pandangan secara luas bahwa kearifan lokal sangatlah penting untuk keseimbangan hidup di masa yang akan datang dan bisa dipahami secara menyeluruh oleh lapisan masyarakat Indonesia akan pentingnya menanamkan dan mengenal kembali nilai kearifan lokal.

Adanya desakan dan pengaruh budaya asing dalam iklim globalisasi menjadikan pentingnya menjaga dan memperkuat kearifan lokal yang sarat nilai dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam bidang pemerintahan dan pembangunan. Salah satu daerah yang mereduksi kearifan lokal dalam menjalankan pembangunannya adalah Kabupaten Purwakarta yang terletak di Provinsi Jawa Barat. Dimana sejak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah oleh pemerintahan pusat, Kabupaten Purwakarta memberikan suatu inovasi didalam sistem pemerintahan kearah yang lebih baik untuk menjadi lebih mandiri didalam mengelola dan meningkatkan kualitas di semua sektor bidang melalui kearifan lokal sebagai basis untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) yang tentunya melibatkan semua instansi pemerintahan, aparatur daerah juga masyarakat untuk membangun daerahnya menjadi lebih baik.

Sebagaimana dijelaskan Mulyadi (tersedia dalam http//www. purwakartakab.com diakses tanggal 15 Maret 2015) bahwa pembangunan di Kabupaten Purwakarta dilakukan atas dasar kearifan lokal yang menghargai alam, menyantuni alam, dan mengikuti pola kerja alam. Melalui program “berseka” nya Mulyadi menjelaskan bahwa alam adalah rumah bagi setiap insan manusia, bahkan dapat dikatakan sebagai sumber hidup manusia karena tanpa alam maka tidak akan ada kehidupan. Dilain pihak dikemukakan oleh Mulyadi bahwa keberpihakan dirinya pada tradisi, bukan dengan niatan menolak agama sebagai


(20)

basis kehidupan. Ia percaya bahwa agama merupakan keyakinan, sedangkan tali paranti karuhun adalah cara yang menggenapi syariat agama.

Kearifan lokal yang menjadi basis pembangunan di Kabupaten Purwakarta berangkat dari budaya Sunda sebagai karakteristik masyarakat Jawa Barat yang sarat akan nilai. Dikatakan demikian karena berdasarkan pandangan yang dijelaskan Rosidi (2010, hlm. 50) bahwa:

pandangan hidup orang Sunda menganjurkan agar rukun, mendahulukan kebersamaan (karageman), mempunyai pertimbangan yang adil, mempunyai pandangan kedepan sehingga selalu siap kalau pada suatu waktu menghadapi kesukaran, harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, harus bijaksana sehingga dapat mencapai hasil tanpa menimbulkan ketegangan atau kekeruhan, suka tolong-menolong, hemat serta pandai mengatur rizki, tahu diri, tahu aturan, kalau berkata tidak sembarangan sehingga tak mudah berubah-ubah, sabar dan tekum dalam mengerjakan sesuatu dan lain-lain.

Mengacu pada argumen di atas, maka jelas bahwa kearifan lokal budaya Sunda sebagai basis pembangunan daerah amat relevan dengan upaya pencapaian suatu tata kelola penerintahan yang baik (good governance) karena tidak satupun nilai yang terkandung di dalamnya bertentangan dengan nilai-nilai etika dan keutamaan. Selain itu, kearifan lokal dapat pula dimanfaatkan sebagai pendekatan dalam menghadapi berbagai konflik yang terjadi dalam masyarakat karena kita sadari betul bahwa kondisi sosial kultural masyarakat yang beragam amat potensial terjadinya konflik.

Hal tersebut dijelaskan Haba (2007, hlm. 334-335) berdasarkan inventarisasi kearifan lokal dan signifikansinya dengan salah satu bentuk pendekatan dalam menyelesaikan sebuah konflik. Pertama, sebagai penanda identitas sebuah komunitas. Kedua, elemen perekat lintas warga, lintas agama dan kepercayaan. Ketiga, kearifan lokal tidak bersifat memaksa atau dari atas, tetapi sebuah unsur kultural yang ada dan hidup dalam masyarakat. Karena itu, daya ikatnya lebih mengena dan bertahan. Keempat, kearifan lokal memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas. Kelima, local wisdom akan mengubah pola pikir, dan hubungan timbal balik individu dan kelompok, dengan meletakkannya di atas commond ground/kebudayaan yang dimiliki. Keenam, kearifan lokal dapat berfungsi mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebuah


(21)

10

mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir, bahkan merusak, solidaritas komunal, yang dipercayai berasal dan tumbuh diatas kesadaran bersama, dari sebuah komunitas terintegrasi.

Berdasarkan hasil pra penelitian yang dilakukan peneliti melalui observasi, ditemukan bahwa pengelolaan pembangunan berbasis kearifan lokal di Kabupaten Purwakarta selain memberikan nuansa “nyentrik” jika dilihat dari sisi infrastruktur tata ruang kota, juga dinilai mengingatkan akan sejarah dan jatidiri masyarakat Sunda yang sauyunan. Selain itu, tulisan-tulisan yang menghiasi beberapa gapura di Kabupaten Purwakarta menggunakan bahasa Sunda telah mengingatkan kita mengenai arti penting melestarikan bahasa daerah sebagai kekayaan bangsa.

Akan tetapi, bicara kearifan lokal sebagaimana dimaksud dalam penelitian ini bukan hanya yang simbolik terlihat dari bentuk dan arsitektur bangunan semata, melainkan lebih kepada pelestarian nilai-nilai adiluhung sebagai ciri karakteristik orang Sunda yang patut diteladani. Karena itu, pembangunan daerah berbasis kearifan lokal bukan terletak pada pembangunan fisik saja melainkan lebih kepada pembangunan sumber daya manusia Sunda yang berkualitas yang pada akhirnya mampu mendukung tercapainya tata kelola pemerintahan yang baik.

Dijelaskan Rosidi (2010, hlm. 23) bahwa masyarakat Sunda adalah yang paling lama dijajah oleh Belanda, oleh karenanya amat kental dengan budaya feodal yang selalu menempatkan diri berada di bawah. Istilah “heurin ku letah” merupakan salah satu implikasi dari kentalnya budaya feodal di kalangan masyarakat Sunda, yang menunjukkan adanya ketakutan terhadap penguasa sehingga tidak adanya keberanian untuk mengemukakan pikiran dan atau pendapat baik secara lisan maupun tulisan. Hal demikian itu, merupakan sesuatu yang amat dihindari dalam iklim demokrasi yang sarat dengan nilai-nilai kebebasan sepanjang itu tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.

Pengutamaan pembangunan mentalitas dalam mencapai tata kelola pemerintahan yang baik berbasis kearifan lokal harus mampu menjadi cikal bakal pembangunan bangsa dan negara yang demokratis karena dilain pihak orang Sunda dikenal dengan karakternya yang mendahulukan kebersamaan


(22)

(karageman). Hal ini penting dikembangkan, karena pembangunan hanya akan tercapai dengan mudah apabila ada sinergitas antara pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan.

Urgensi pentingnya dikembangkan pembangunan yang berorientasi pada manusia dijelaskan Rosidi (2010, hlm. 24) bahwa pembangunan daerah harus mengutamakan pembangunan manusia. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa sosok manusia Sunda yang diperlukan dalam pembangunan ialah manusia kreatif yang berani mengemukakan keyakinan dan menuntut haknya di pihak rakyat dan manusia yang menganggap jabatan yang dipercayakan kepadanya bukan sebagai alat untuk memperlihatkan kekuasaan secara sewenang-wenang, melainkan sebagai amanat yang harus dlaksanakan penuh pengabdian pada masyarakat di pihak elit politik dan elit pelaksana administratif.

Mengacu pada pemikiran diatas, maka penulis merasa tertarik untuk mengkaji dan menganalisis lebih dalam ikhwal tata kelola pemerintahan yang menempatkan nilai kearifan lokal sebagai basis pembangunannya. Karena itu, penulis mengangkat hal tersebut ke dalam suatu studi penelitian dengan judul “Penguatan Nilai Kearifan Lokal sebagai Basis Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance) (Studi Kasus di Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta)”. Penelitian ini dinilai penting karena pada hakikatnya pembangunan nasional di era otonomi daerah harus senantiasa memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dan berkembang di daerah-daerah otonom untuk mencapai tata kelola pemerintahan yang baik yang pada akhirnya dapat mendukung tercapainya sasaran pembangunan nasional.

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Terkait dengan penelitian yang akan dilakukan, penulis mengidentifikasi permasalahan dalam penelitian ini antara lain : Pertama, perjalanan demokrasi tidak dibarengi dengan upaya maksimal dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik; Kedua, masih rendahnya kepercayaan masyarakat bahwa kebijakan otonomi daerah dinilai dapat mempercepat proses pembangunan (munculnya “raja-raja kecil”); Ketiga, tergerusnya nilai-nilai kesundaan yang ada


(23)

12

dalam masyarakat seiring terjadinya tarik-menarik antara nilai-nilai lokal dan global; Keempat, peran pemerintah dalam melaksanakan pembangunan berbasis potensi dan kondisi sosial kultural masyarakat masih minim yang artinya bertolak belakang dengan asas desentralisasi dalam otonomi daerah. Kelima, berpikir global dan berperilaku lokal (think globally, act locally) yang sering digemborkan para pemikir, pemerhati dan praktisi pendidikan kewarganegaraan dalam menjawab tantangan global masih sebatas konsep semata. Oleh karena itu, fokus permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah penguatan nilai kearifan lokal sebagai basis tata kelola pemerintahan yang baik.

2. Perumusan Masalah

Untuk menjawab permasalahan sebagaimana diidentifikasi di atas, maka penulis merincinya ke dalam beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana implementasi tata kelola pemerintahan berbasis nilai kearifan lokal dalam kaitannya dengan pandangan hidup orang Sunda?

b. Sejauhmana relevansi nilai-nilai kearifan lokal dalam mendukung tercapainya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance)?

c. Tantangan apa sajakah yang dihadapi dalam menempatkan nilai kearifan lokal sebagai basis tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) ditengah terpaan arus globalisasi?

d. Bagaimana model alternatif penguatan nilai kearifan lokal dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance)?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan menganalisis penguatan nilai kearfian lokal sebagai basis tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang pada akhirnya hasil penelitian tersebut dapat digunakan oleh para pemerhati, pengembang dan para pemangku kebijakan dalam menumbuhkembangkan nilai kearifan lokal dalam pembangunan daerah sebagai upaya menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dalam mendukung perjalanan demokrasi di Indonesia.


(24)

2. Tujuan Khusus

Secara khusus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Mendeskripsikan implementasi tata kelola pemerintahan berbasis nilai kearifan lokal dalam kaitannya dengan pandangan hidup orang Sunda. b. Mengkaji dan menganalisis relevansi nilai-nilai kearifan lokal dalam

mendukung tercapainya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

c. Mengidentifikasi tantangan yang dihadapi dalam menempatkan nilai kearifan lokal sebagai basis tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) ditengah terpaan arus globalisasi.

d. Merancang suatu model alternatif penguatan nilai kearifan lokal dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoretis

Secara teoritis hasil penelitian dapat dijadikan referensi bagi pengembangan keilmuan pendidikan kewarganegaraan, terutama dalam bidang politik dan kebijakan publik yang menempatkan nilai kearifan lokal sebagai basis tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

2. Secara Praktis

Selain memberikan manfaat secara teoritis, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat secara praktis, sebagai berikut :

a. Bagi Pemerintah, sebagai masukan dalam penyusunan master plan pembangunan daerah yang menempatkan nilai kearifan lokal sebagai basis tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

b. Bagi Masyarakat, hasil penelitian dapat digunakan sebagai stimulus mengenai pentingnya mengembangkan dan membudayakan nilai kearifan lokal dalam kehidupan sehari-hari sebagai cermin bangsa yang berbudaya dan berkarakter, sehingga nilai lokal dapat terpelihara dan menjadi penyaring terhadap pengaruh global yang masuk secara masif.


(25)

14

c. Bagi peneliti lainnya, hasil penelitian dapat dijadikan referensi bagi penelitian berikutnya terutama bagi peneliti yang tertarik untuk melakukan kajian mengenai pengembangan nilai kearifan lokal (local wisdom).

E. Struktur Organisasi Tesis

Tesis ini dibagi menjadi lima bab, sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan, merupakan alasan rasional yang menjelaskan pentingnya penelitian ini dilakukan. Isi dari bab ini meliputi; a) Latar belakang penelitian, b) Identifikasi dan perumusan masalah, c) Tujuan penelitian, d) Manfaat penelitian dan e) Struktur organisasi tesis. Bab II Kajian Pustaka, mempunyai peran yang sangat penting karena

merupakan gambaran berbagai konsep, generalisasi dan teori yang digunakan dalam penelitian. Isi dari bab ini meliputi; a) Paradigma tentang kearifan lokal, b) Kajian tentang nilai budaya dan makna kasundaan, c) Hakikat tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), d) Kerangka pemikiran dan e) Penelitian terdahulu. Bab III Metodologi Penelitian, merupakan penjabaran secara rinci mengenai

metode penelitian yang digunakan. Isi dari bab ini meliputi; a) Lokasi dan subjek penelitian, b) Desain penelitian dan justifikasi penggunaan desain tersebut, c) Metode penelitian dan justifikasi penggunaan metode tersebut, d) Definisi operasional, e) Instrumen penelitian, f) Teknik pengumpulan data serta g) Teknik pengolahan dan analisis data.

Bab IV Temuan dan Pembahasan, merupakan gambaran data yang di peroleh di lapangan untuk kemudian di analisis menggunakan berbagai teori yang relevan. Isi dari bab ini meliputi; a) Gambaran umum lokasi penelitian, b) Deskripsi hasil penelitian dan c) Analisis hasil penelitian.

Bab V Simpulan, Implikasi dan Rekomendasi, merupakan jawaban dari aspek yang di teliti.


(26)

BAB III

METODE PENELITIAN

Bab III membahas tentang metode penelitian. Adapun sub bab yang dibahas dalam bab ini mencakup Desain penelitian, partisipan dan tempat penelitian, definisi operasional, instrument penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, validitas data, dan isu etik.

A. Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain penelitian kualitatif, karena akan menghasilkan data deskriptif berdasarkan hasil analisa terhadap keterangan dan perilaku objek penelitian. Miles & Huberman (2007, hlm. 2) mengemukakan bahwa dengan data kualitatif kita dapat mengikuti dan memahami alur peristiwa secara kronologis, menilai sebab-akibat dalam lingkup pikiran orang-orang setempat, dan memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat. Melalui pendekatan ini, diharapkan peneliti dapat melakukan kajian secara komprehensif berkaitan dengan masalah penelitian.

Penelitian kualitatif memfokuskan pada pemberian makna terhadap realitas yang teramati, sebagaimana ditegaskan Alwasilah (2012, hlm. 66) bahwa para peneliti naturalis berupaya untuk lebih memahami proses (daripada produk) kejadian atau kegiatan yang diamati. Pendekatan kualitatif dipilih karena penelitian yang akan dilakukan merupakan analisis terhadap hasil pembicaraan dengan pihak-pihak yang menjadi objek penelitian yang ditunjang dengan hasil pengamatan terhadap perilaku. Sebagaimana Alwasilah (2012, hlm. 64-67) yang menjelaskan ciri pendekatan kualitatif yang membedakan dengan pendekatan lainny, meliputi; pemahaman makna, pemahaman konteks tertentu, identitas alamiah dan pengaruh tidak terduga, kemunculan teori berbasis data (grounded theory), pemahaman proses, dan penjelasan sababiyah (casual explanation).

Mengacu pada pendapat sebagaimana tersurat di atas, dapat dijelaskan bahwa penelitian kualitatif mamfokuskan pada pemberian makna terhadap realitas yang teramati. Karena itu, penelitian kualitatif lebih menekankan pada kajian secara komprehensif terhadap hasil penelitian daripada hanya sekedar memaknai hasil penghitungan kuantitatif.


(27)

67

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Melihat karakteristik masalah dalam penelitian, maka peneliti memilih studi kasus sebagai metode yang digunakan. Pemilihan metode ini dikarenakan penelitian dilakukan untuk menemukenali suatu masalah yang sifatnya khas dan terbatas. Hal tersebut senada dengan pendapat Gay dkk (2009, hlm. 426) yang menjelaskan metode studi kasus sebagai berikut:

case study research is a qualitative approach to studying a phenomenon, focused on a unit af study or a bounded system, not a methodological choice, but a choice of what to study, an all-encompassing research method

Mengacu pada pendapat tersebut, penelitian studi kasus dilakukan untuk mempelajari fenomena, terfokus atau terbatas pada satu unit penelitian, serta merupakan metode penelitian yang mencakup secara keseluruhan penelitian. Lebih lanjut, Alwasilah (2015, hlm.75-76) mengungkapkan ciripamerlain dari studi kasus diantaranya; (1) satu kasus, kejadian dan objek kajian, (2) studi yang mendalam, (3) berfokus pada hubungan dan proses, (4) bersifat kaffah (holistik), (5) menggunakan sumber dan metode yang jamak, serta (6) tempat kejadian perkara (TKP) yang alami. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dijelaskan bahwa metode studi kasus digunakan untuk meneliti secara seksama dan terperinci mengenai hal-hal yang diteliti. Penelitian ini akan menghasilkan sesuatu yang khas karena merupakan penelitian yang tertuju pada suatu unit, yakni terkait gambaran riil mengenai penguatan nilai kearifan lokal sebagai basis tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) di Kabupaten Purwakarta.

B. Partisipan dan Tempat Penelitian

Subjek dalam penelitian ini terdiri dari tiga kategori, yakni manusia, proses dan latar. Penentuan ketiga kategori tersebut didasarkan pada pandangan Alwasilah (2012, hlm. 102) yang menjelaskan bahwa dalam penelitian pemilihan sampel bukan saja diterapkan pada manusia sebagai responden, melainkan juga latar (setting), serta kejadian dan proses. Subjek penelitian dari unsur manusia yang dijadikan responden, peneliti bagi menjadi tiga unsur, meliputi unsur pemerintah, akademisi dan masyarakat.


(28)

Subjek yang berasal dari unsur pemerintahan meliputi Sekretaris Daerah yang diwakili oleh Mohammad Rifa’i (Assisten Sekretaris Daerah bidang Pemerintahan Kabupaten Purwakarta) dan Kepala BAPPEDA Kabupaten Purwakarta yang diwakili oleh Purwanto (Kepala Bagian Sosial Budaya) dan Muhamad Roni (Kasubid Pemerintahan dan Kesejahteraan Masyarakat). Subjek dari unsur akademisi merupakan pengamat dalam bidang pemerintahan/dosen yang mengampu mata kuliah kebijakan publik dan sistem pemerintahan daerah serta pakar kebudayaan. Dosen kebijakan publik yang menjadi subjek penelitian adalah Prayoga Bestari dan dari pakar budaya dan kesenian sunda adalah Suherman. Sedangkan dari unsur masyarakat yang berdomisili di wilayah Kabupaten Purwakarta, subjek penelitian terdiri dari lima orang; Epin Saepudin, Topan Dizkri, Asep Suhendar, Arif Prasetyo, dan Dede.

Semua subjek tersebut diseleksi berdasarkan kompetensi, tugas, pokok dan fungsi yang diembannya serta dianggap dapat memberikan sejumlah informasi terkait degan penelitian mengenai penguatan nilai kearifan lokal sebagai basis tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), sehingga dapat diperoleh gambaran mengenai sejauhmana kontribusi yang telah diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta dalam proses pembangunan dengan menempatkan nilai kearifan lokal sebagai basis tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Selanjutnya, latar meliputi konten komunikasi peneliti dengan pejabat pemerintah terkait dengan pola pembangunan di Kabupaten Purwakarta, komunikasi dengan masyarakat tentang keterlibatan dalam pelaksanaan pembangunan, serta komunikasi dengan para pakar mengenai pola pembangunan berbasis nilai kearifan lokal dipandang dari aspek teoritis. Sedangkan dari sisi kejadian dan proses, peneliti menempatkan pembangunan infratruktur (tata kota), tata kelola pemerintahan, sistem pemerintahan desa, dan aktivitas pelayanan publik.

Lokasi penelitian terletak di Kantor Pemerintahan Daerah Kabupaten Purwakarta yang beralamat di Jl. Gandanegara No. 25 Purwakarta dan wilayah administratif Kabupaten Purwakarta. Pemilihan lokasi penelitian di dasarkan pada hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti bahwa Pemerintah Daerah


(29)

69

Kabupaten Purwakarta menerapkan nilai kearifan lokal sebagai basis pembangunan daerahnya.

C. Definisi Operasional

Untuk lebih memfokuskan kajian penelitian, diperlukan suatu definisi operasional yang bertujuan untuk menjelaskan maksud dan batasan penelitian. Definisi operasional merupakan sperangkat petunjuk yang lengkap mengenai apa yang harus diamati serta bagaimana mengukur suatu konsep sebagai berikut:

1. Kearifan lokal yang di maksud mengacu pada pandangan hidup orang Sunda menurut Ekadjati (dalam Rosidi, 2009, hlm. 59-64) mengemukakan sejumlah falsafah atau pandangan hidup orang Sunda yang tercermin dalam tradisi lisan dan sastera Sunda yang kemudian dikelompokan menjadi lima bagian meliputi : 1) pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi, 2) pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyaratakat, 3) pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan alam, 4) pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan tuhan, dan 5) pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lhiriah dan kepuasan batiniah.

2. Pemerintahan yang baik (Good Governance) yang di maksud dalam penelitian ini, serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintahan dengan masyarakat dalam bidang pemerintahan yang dijalankan dengan menjunjung sejumlah prinsip menurut UNDP (dalam Sedarmayanti, 2013, hlm. 283) menjelaskan prinsip-prinsip yang harus dipatuhi dalam good governace meliputi; partisipasi (participation), kepastian hukum (rule of low), transparansi (transparency), tanggung jawab (responsiveness), berorientasi pada kesepakatan (consensus orientation), keadilan (equity), efektivitas dan efisiensi (effectiveness and efficiency), akuntabilitas (accountability), visi strategik (strategic vision).

D. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan sebuah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data atau informasi yang bermanfaat untuk menjawab permasalahan penelitian. Penelitian kualitatif dilakukan pada latar yang alami


(30)

(natural setting), lebih memperhatikan proses daripada hasil semata, yang terpenting ialah berusaha memahami makna dari suatu kejadian atau berbagai interaksi dalam situasi yang wajar. Oleh karena itu, instrumen yang digunakan bukanlah kuesioner atau tes, melainkan peneliti itu sendiri.

Manusia sebagai instrumen dalam penelitian kualitatif dijelaskan oleh Moleong (2000, hlm.132) “bagi peneliti kualitatif manusia adalah instrumen utama karena ia merupakan perencana, pelaksana, pengumpul data, analisis, sekaligus penafsir yang pada akhirnya menjadi pelapor penelitiannya sendiri”. Hal ini berarti, peneliti bebas menginterprestasikan hal-hal yang ia peroleh berdasarkan hasil wawancara, observasi dan studi dokumentasi.

E. Teknik Pengumpulan Data 1. Wawancara

Menurut Meleong (2000, hlm.150) wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan yang di wawancarai yang memberikan jawaban atas mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaaan itu. Teknik wawancara merupakan usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula dengan ciri utama berupa kontak langsung dengan tatap muka (face to face relationship) antara si pencari informasi dengan sumber informasi.

Melalui teknik ini peneliti dapat memperoleh informasi yang berguna bagi penelitian berdasarkan keterangan narasumber secara terperinci karena wawancara akan memberikan keleluasaan kepada peneliti untuk memperoleh berbagai informasi untuk mempertanyakan berbagai hal yang dilakukan berkaitan dengan objek penelitian yang akan di teliti.

Wawancara dilakukan terhadap pemerintah, pakar kebijakan publik, pakar seni dan budaya, serta masyarakat. Wawancara kepada pemerintah dimaksudkan untuk menggali informasi berkaitan dengan pembanguan yang telah, sedang dan akan dilakukan di Kabupaten Purwakarta kaitannya dengan penguatan nilai kearifan lokal. Wawancara dengan pakar kebijakan publik dimaksudkan untuk menggali pola pembangunan berbasis kearifan lokal dalam menciptakan good


(31)

71

governance ditinjau dari perspektif teoritik. Wawancara dengan pakar seni dan budaya dimaksudkan untuk mengetahui nilai-nilai kearifan lokal yang merupakan karakteristik masyarakat Sunda. Wawancara dengan masyarakat dimaksudkan untuk mengetahui respon masyarakat akan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Purwakarta.

2. Observasi

Craswell (2008, hlm.221) mengemukakan bahwa “observation is a process of gathering open-ended, firsthand information by observing people and

places at a research site”. Menurutnya observasi adalah suatu proses

pengumpulan data secara terbuka yang memperoleh informasi dengan cara mengamatai orang-orang dan tempat-tempat di lokasi penelitian.

Beberapa informasi yang akan diperoleh dari hasil observasi adalah ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu, dan perasan. Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistik perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan, dan untuk evaluasi yaitu melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu melakukan umpan balik terhadap pengukuran tersebut. Aspek yang diobservasi meliputi; bangunan-bangunan yang ada di Kabupaten Purwakarta, tata kota, serta perilaku keseharian pegawai pemerintah.

3. Studi Dokumentasi

Peneliti dalam penelitian kualitatif bertindak sebagai instrument utama, oleh karena itu peneliti dapat memanfaatkan sumber-sumber lain berupa catatan dan dokumen. Dikemukakan Lincoln dan Guba (1985, hlm. 276-277) catatan dan dokumen ini dapat dimanfaatkan sebagai saksi dari kejadian-kejadian tertentu atau sebagai bentuk pertanggungjawaban.

Menurut Sugiyono (2008:83) studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif. Bahkan kredibilitas hasil penelitian kualitatif ini akan semakin tinggi jika melibatkan atau menggunakan studi dokumen dalam metode penelitian kualitatif, hal ini senada diungkapkan Bogdan sebagaimana dikutip Sugiyono (2012, hlm. 5) menjelaskan


(32)

observasi “ in most tradition of qualitative research, the phrase personal document is used broadly lo refer to any first person narrative produce by an individual which describes his or her own actions, experience, and beliefs”.

Dapat ditarik benang merahnya bahwa peneliti akan mengumpulkan dokumen yang merupakan sumber data untuk melengkapi penelitian, baik berupa sumber dokumen tertulis, gambar atau foto, dan karya-karya monumental lainnya yang semua itu akan membantu memberikan informasi untuk proses penelitian. Kajian dokumen di fokuskan pada aspek materi yang berkaitan dengan penguatan nilai kearifan lokal sebagai basis tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dokumen yang digunakan meliputi dokumen adanya Perda, Perbup, dan RPJMD Kabupaten Purwakarta serta hasil wawancara intensif dengan Bupati Purwakarta.

F. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus-menerus. Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/ verifikasi (Miles dan Huberman, 2007, hlm. 16-18).

1. Reduksi Data

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, serta dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya apabila diperlukan. Reduksi data dimaksudkan untuk memilah informasi-informasi yang diperoleh dari narasumber yang berkaitan dengan topik penelitian, karena seringkali diperoleh jawaban-jawaban yang kurang relevan. 2. Penyajian Data

Penyajian data adalah sekumpulan informasi yang akan memberikan gambaran penelitian secara menyeluruh dan terperinci dengan mencari pola hubunganya. Penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya. Menurut Miles dan Huberman, yang


(33)

73

paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.

Dengan adanya penyajian data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, dan merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. Selanjutnya oleh Miles dan Huberman disarankan agar dalam melakukan display data (penyajian data), selain dengan teks yang naratif, juga dapat berupa grafik, matrik, network (jaringan kerja), dan chart.

3. Kesimpulan/Verifikasi

Kesimpulan merupakan kegiatan yang dilakukan dengan tujuan mencari arti, makna, penjelasan yang dilakukan teradap data yang telah dianalisis dengan mencari hal-hal penting. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau bahkan gelap, sehingga setelah diteliti menjadi jelas. Kesimpulan ini dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, maupun hipotesis atau teori.

G. Validitas Data

Suatu hasil penelitian dapat dianggap sah apabila dapat memenuhi kriteria valid, realibel, dan obyektif. Menurut Sugiyono (2007, hlm.366) uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi; uji credibility (validitas internal), transferability (validitas eksternal), dependability (reabilitas), dan confirmability (objektivitas) sebagai berikut:

1. Pengujian Kredibilitas

Uji kredibilitas data ini merupakan kepercayaan terhadap data hasil penelitian. Ada beberapa macam cara pengujian kredibilitas data dalam penelitian kualitatif yaitu: (a) perpanjangan pengamatan, (b) peningkatan ketekunan, (c) triangulasi, (d) diskusi dengan teman, (e) member check sebagai berikut: a) Perpanjangan Pengamatan

Perpanjangan pengamatan di lapangan dilakukan untuk mengurangi kesalahan data, karena dengan waktu yang lebih lama peneliti akan mengetahui keadaan lebih mendalam, dan dapat menguji ketidakbenaran data baik yang disebabkan oleh peneliti maupun oleh subjek penelitian.


(34)

b) Peningkatan Ketekunan

Peningkatan ketekunan dilakukan untuk memperoleh gambaran nyata tentang situasi dan kondisi di lapangan.

c) Triangulasi

Menurut Sugiyono (2007, hlm.125) “triangulasi dalam pengujian kredibilitas data diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagaicara dan berbagai waktu” sebagai berikut:

Gambar 3.1 Triangulasi Sumber

Sumber: Diolah oleh Peneliti (2015)

Gambar 3.2 Triangulasi Teknik

Sumber: Diolah oleh Peneliti (2015) Pemerintah Daerah

Akademisi Masyarakat

Wawancara


(35)

75

Gambar 3.3 Triangulasi Waktu

Sumber: Diolah oleh Peneliti (2015)

d) Member Check

Menurut Sugiyono (2010, hlm.276) member check adalah “proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data dengan tujuan untuk mengetahui seberapa jauah data yang diperoleh sesuai dengan data yang diberikan informan”.

2. Pengujian Transferability

Uji transferability menunjukan derajat ketepatan atau dapat tidaknnya diterapkannya hasil penelitian ke populasi di mana sampel tersebut diambil. Oleh karena itu, menurut Sugiyono (2007, hlm. 367) agar hasil penelitian ini dapat diterapkan pada konteks dan situasi lain, maka perlu dibuatnya laporan yang rinci, jelas, sistematis dan dapat dipercaya.

3. Pengujian Dependability

Uji dependability ialah pengujian reabilitas. Menurut Sugiyono (2007, hlm. 377) suatu penelitian yang reabel adalah ketika orang lain dapat mengulangi atau mereplikasi proses penelitian tersebut. Jadi, dalam hal ini pengujian dependabilitas ini untuk membuktikan bahwa hasil penelitian dapat ditemukan dengan hasil yang sama kembali oleh peneliti lainnya.

4. Pengujian Konfirmability

Pengujian konfirmability merupakan uji obyektivitas penelitian. Penelitian dikatakan obyektif tatkala hasil penelitiannya telah disepakati banyak orang. Dalam penelitian kualitatif, uji konfirmability mirip dengan uji dependability, sehingga pengujiannya dapat dilakukan secara bersamaan (Sugiyono, 2007,

Minggu I


(36)

hlm.377). Hal ini berkaitan dengan pelaksanaan penelitian yang dilakukan oleh peneliti di lapangan. Keberlangsungan proses penelitian sebisa mungkin harus dapat dibuktikan oleh peneliti.

Melalui tahap-tahap sebagaimana dijelaskan di atas, peneliti dapat meyakinkan pada khalayak bahwa sekalipun instrumen utama adalah peneliti yang disinyalir sarat nuansa subjektivitas karena telah memenuhi kelayakan keabsahan data.

H. Isu Etik

Penelitian ini di laksanakan di kabupaten purwakarta, dengan informan yaitu Asda bidang pemerintahan, Bappeda melalui Subid Pemerintahan, Kabid Sosbud, Pakar kebijakan Publik, Pakar budaya, dan beberapa masyarakat kabupaten purwakarta, karen informan ini dan dapat membantu untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan ole peneliti.

Pada saat penelitin berlangsung, untuk melakukan suatu wawancara kepada informan peneliti terlebih dahulu datang ke tempat informan untuk meminta izin serta menunjukan surat izizn penelitian, setela itu baru membaut janji dengan informan sesuai dengan kesedian dan waktu informan tersebut.

Berdasarkan kesedian informan peneliti melakukan observasi dan wawancara, wawancara berlangsung berapa lama tergantung dari waktu yang di tentukan. Proses wawancara tersebut tidak mengganggu aktivitas informan, tidak ada tindak paksaan, dan tidak ada unsur kekerasan, semua atas kesepakatan bersama. Untuk pengambilan dokumentasi atau foto lokasi peneliti juga harus meminta izin, kalau tidak diperbolehkan mengambil foto penelitik tidak akan mengambil foto, agar tidak memberatkan salah satu pihak.

Setelah selesai melakukan wawancara peneliti memberikan ucpan terima kasih dan memberikan penghargaan, serta sudah terdapat kesepakatan antara peneliti dengan semua informan bahwa data penelitian hanya dipergunakan untuk kepentingan ilmiah dan seluruh informan di tulis dengan nama samara. Dengan demikian penelitian ini dapat berlangsung dengan lancer tanpa ada memberatkan, menyulitkan, dan mengganggu waktu informan.


(37)

142

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis terhadap temuan penelitian yang diperoleh melalui wawancara, observasi, studi dokumentasi, dan studi literatur, maka dapat disimpulkan beberapa hal baik secara umum maupun secara khusus.

1. Simpulan Umum

Nilai kearifan lokal merupakan salah satu aspek yang harus menjelma dan dilakukan dalam setiap aktivitas manusia, termasuk di dalamnya sebagai arah, orientasi, dan paradigma pembangunan di era otonomi daerah. Pembangunan berbasis nilai kearifan lokal menjadi trend positif dalam upaya mempercepat terlaksananya pembangunan, baik infrastruktur maupun suprastruktur. Keunggulan nilai kearifan lokal sebagai landas pijak pembangunan terletak dari makna yang terkandung di dalam nilai dimaksud.

Nilai sauyunan yang hidup dan berkembang pada masyarakat Sunda menyiratkan bahwa dalam pembangunan perlu ada kebersamaan dan kolaborasi kekuatan antarelemen pembangunan (pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat) yang berjalan secara sistematis dan sinambung. Selain itu, pelaksanaan pembangunan harus mampu mengimplementasikan pepatah silih asah, silih asuh, silih asih dan cing caringcing pageuh kancing, set saringset pageuh iket dalam arti bahwa pembangunan harus merupakan kolaborasi antara cinta dan kasih sayang serta tidak lepas dari dukungan pola pikir yang mumpuni dan terarah pada terciptanya kesejahteraan masyarakat.

Nilai lain yang tak kalah pentingnya untuk dikembangkan dalam pembangunan adalah religiusitas yang mempertegas bahwa Indonesia bukan sebagai negara sekuler, nilai kerelaan yang menyiratkan bahwa pembangunan yang dilaksanakan oleh berbagai pihak harus dilaksanakan secara sukarela demi

terwujudnya kemandirian bangsa, dan pepatah “hade goreng ku basa”

menyiratkan bahwa komunikasi menjadi aspek pendukung kelancaran pembangunan, karena tanpa komunikasi dan koordinasi adalah tidak mungkin tercipta pembangunan yang maksimal.


(38)

2. Simpulan Khusus

Secara khusus penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai jawaban dari masalah yang dikaji, sebagai berikut:

Pertama, implementasi pembangunan daerah berbasis nilai kearifan lokal di Kabupaten Purwakarta menggunakan filosofi persenyawaan nilai dasar tanah, air, udara dan matahari yang secara terintegrasi sebagai basis penciptaan manusia yang tercermin dari tata kota dan bangunan, tata kelola pemerintahan, tata kehidupan masyarakat yang berorientasi pada kemanunggalan, keparipurnaan dan kemuliaan dan senantiasa didasarkan pada kepercayaan dan keyakina terhadap Tuhan YME. Pembangunan di Kabupaten Purwakarta dilakukan atas dasar kecintaan dan penghargaannya terhadap lingkungan dan alam tempat hidup manusia yang dimanifestasikan dalam wujud pembangunan infrastruktur (tata ruang kota) dan suprastruktur (pemberdayaan masyarakat)

Kedua, relevansi nilai kearifan lokal dalam kaitannya dengan pembangunan daerah kekuatan utama terletak dari prinsip “sauyunan” sebagai jatidiri dan karakteristik masyarakat Sunda, disertai dengan penerapan konsepsi silih asah, silih asuh, silih asih, serta mengkolaborasikan antara kekuatan pikiran,

badan, dan batin sebagaimana tercermin dalam pepatah Sunda “cing caringcing

pageuh kancing” dan “set saringset pageuh iket”. Untuk menciptakan hal tersebut, maka pemerintah dalam aktivitasnya senantiasa menerapkan prinsip-prinsip dalam good governance, meliputi; transparansi, akuntabilitas, partisipasi dan kesesuaian dengan lingkungan masyarakat.

Ketiga, tantangan yang muncul dalam menempatkan nilai kearifan lokal sebagai basis tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) ditengah terpaan globalisasi, meliputi; perbedaan cara berpikir antarelemen (pemerintah maupun masyarakat) terhadap orientasi pembangunan, masih banyaknya anggapan bahwa pembangunan berwawasan lokal merupakan suatu kemunduran demokrasi, kedaerahan, dan cenderung tradisional (kuno). Selain itu, masalah yang muncul dalam praksisnya adalah terdapat satu unsur yang terlewatkan oleh pemerintah kaitannya dengan pembangunan, yakni karakteristik masyarakat religius (muslim) yang ada pada masyarakat Purwakarta. Selain itu, masih


(39)

144

minimnya sinergitas antara pemerintah, masyarakat dan swasta dalam melaksanakan pembangunan turut serta terhambatnya proses pembangunan.

Keempat, model pembangunan daerah berbasis kearifan lokal harus mempu mensinergiskan pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam menjalankan program pembangunan. Sinergisitas tersebut harus berangkat dari sejumlah nilai yang mencirikan karakteristik masyarakat Sunda, meliputi; religiusitas, kerelaan, kemuliaan, komunikasi sosial, interaksi sosial, menyadari lingkungan sebagai sumber kehidupan. Kesemua nilai tersbeut hanya dapat tercipta apabila prinsip

“sauyunan” dijadikan dasar dalam bergerak.

B. Implikasi

Berdasarkan kajian pustaka, temuan penelitian dan pembahasan hasil penelitian, maka penelitian mempunyai sejumlah implikasi sebagai berikut:

1. Penguatan nilai kearifan lokal sebagai basis tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) selama ini belum banyak dikaji, karena itu hasil penelitian semakin memperkokoh posisi Pendidikan Kewarganegaraan sebagai disiplin ilmu terintegrasi dan multidimensional.

2. Penelitian ini semakin mempertegas perlunya penguatan konsep“sauyunan” dalam kehidupan sehari-hari sebagai kekuatan utama penggerak pembangunan yang selain memperkuat nilai lokal juga memperkuat jatidiri bangsa Indonesia, yaitu gotong-royong.

3. Hasil penelitian semakin mempertegas perlunya sinergitas triple helix yakni pelibatan unsur masyarakat dan sektor swasta dalam pembangunan, dalam hal ini pembangunan bukan hanya manjadi tanggungjawab pemerintah melainkan seluruh komponen yang ada dalam masyarakat.

C. Rekomendasi

Untuk menutup hasil penelitian yang dilakukan, peneliti mengajukan beberapa hal yang setidaknya dapat dijadikan rekomendasi dalam melaksanakan pembangunan berbasis kearifan lokal.

1. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta

a. Bagi lembaga legislatif, prinsip “sauyunan” mempunyai makna yang mendalam karena itu perlu dikembangkan dan diinternalisasikan dalam


(40)

kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini, dalam pembahasan berbagai rencana kebijakan pembangunan harus mampu mengesampingkan kepentingan partai, melainkan harus mengedepankan kepentingan bersama atas nama masyarakat.

b. Bagi lembaga eksekutif, perlunya visualisasi nilai kearifan lokal dalam bentuk tindakan pemerintah, karena masyarakat akan lebih menerima dan memahami substansi nilai kearifan lokal apabila melihat pemerintahnya mampu merealisasikannya dalam kehidupan (keteladanan). Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan kegiatan advokasi dan komunikasi dengan masyarakat dan swasta untuk menumbuhkan komitmen bersama serta membangun kesepahaman mengenai orientasi pembangunan di Kabupaten Purwakarta

c. Bagi lembaga yudikatif, korupsi, kolusi dan nepotisme masih besar berpeluang besar terjadi dalam praksis pembangunan, oleh karena itu diperlukan pengawasan yang lebih intensif terutama dalam penggunaan APBD agar dapat tercapai apa yang menjadi target pembangunan.

2. Bagi Masyarakat Kabupaten Purwakarta

a. Bagi masyarakat umum, hendaknya harus lebih responsif terhadap setiap program yang dilaksanakan pemerintah Kabupaten Purwakarta. Selain itu, peningkatan pemahaman, pemaknaan dan pembiasaan nilai kearifan lokal harus terus dilakukan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. b. Bagi tokoh pemuda, pembangunan memerlukan kekuatan dan pemikiran

kreatif generasi muda, karena itu para tokoh pemuda harus lebih responsif terhadap setiap aktivitas pembangunan yang dilaksanakan.

c. Bagi tokoh desa, pelestarian akan tradisi dan nilai kearifan lokal Sunda perlu dilakukan terlebih di era globalisasi seperti sekarang, sehingga jatidiri orang Sunda tidak hilang tergeser oleh nilai global.

3. Bagi Departemen Pendidikan Kewarganegaraan

a. Departemen pendidikan kewarganegaraan hendaknya lebih dalam mengkaji dan mengembangkan berbagai dimensi dalam kaitannya dengan kewarganegaraan Indonesia yang pada hakikatnya tidak dapat lepas dari


(41)

146

akar budaya lokalnya, sehingga pendidikan kewarganegaraan yang ada menunjukkan corak ke-Indonesiaannya.

b. Mata kuliah pada Departemen Pendidikan Kewarganegaraan yang relevan dengan penelitian ini adalah kebijakan publik dan sistem pemerintahan daerah, karena itu melalui mata kuliah ini mahasiswa harus didorong untuk melakukan pengkajian akan nilai-nilai lokal yang ada di setiap daerah sebagai basis tata kelola pemerintahan di era otonomi daerah. c. Pengabdian pada masyarakat merupakan salah satu aspek yang harus

dilaksanakan sebagai wujud tridarma perguruan tinggi. Kaitan dengan itu, maka dapat dilakukan suatu format P2M yang mengarah pada pengembangan proyek pembangunan misalnya dengan melakukan kegiatan dialog interaktif yang memfasilitasi pertemuan tiga pilar pembangunan (pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam satu meja untuk membicarakan persoalan dan prospek pembangunan daerah.

d. Untuk bidang penelitian, dapat dikembangkan penelitian-penelitian dalam upaya mendukung pembangunan dari sisi pemikiran, misalnya dengan melakukan penelitian tentang kontribusi perguruan tinggi dalam pembangunan daerah yang dilakukan untuk mengukur sejauhmana perguruan tinggi telah memberikan pemikirannya terhadap pembangunan riil di masyarakat (bukan hanya konsep semata).

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai implementasi model penguatan kearifan lokal dalam pembangunan daerah, karena peneliti menyadari hasil yang diharapkan masih jauh dari sempurna. Penelitian selanjutnya hendaknya dilakukan untuk mengkaji salah satu nilai yang ada pada masyarakat Sunda, yakni “ngajago”. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui apakah nilai itu memang harus ada, dikembangkan, dan relevan dengan kehidupan masyarakat Sunda ataukah justru harus dihilangkan.


(1)

akar budaya lokalnya, sehingga pendidikan kewarganegaraan yang ada menunjukkan corak ke-Indonesiaannya.

b. Mata kuliah pada Departemen Pendidikan Kewarganegaraan yang relevan dengan penelitian ini adalah kebijakan publik dan sistem pemerintahan daerah, karena itu melalui mata kuliah ini mahasiswa harus didorong untuk melakukan pengkajian akan nilai-nilai lokal yang ada di setiap daerah sebagai basis tata kelola pemerintahan di era otonomi daerah. c. Pengabdian pada masyarakat merupakan salah satu aspek yang harus

dilaksanakan sebagai wujud tridarma perguruan tinggi. Kaitan dengan itu, maka dapat dilakukan suatu format P2M yang mengarah pada pengembangan proyek pembangunan misalnya dengan melakukan kegiatan dialog interaktif yang memfasilitasi pertemuan tiga pilar pembangunan (pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam satu meja untuk membicarakan persoalan dan prospek pembangunan daerah.

d. Untuk bidang penelitian, dapat dikembangkan penelitian-penelitian dalam upaya mendukung pembangunan dari sisi pemikiran, misalnya dengan melakukan penelitian tentang kontribusi perguruan tinggi dalam pembangunan daerah yang dilakukan untuk mengukur sejauhmana perguruan tinggi telah memberikan pemikirannya terhadap pembangunan riil di masyarakat (bukan hanya konsep semata).

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai implementasi model penguatan kearifan lokal dalam pembangunan daerah, karena peneliti menyadari hasil yang diharapkan masih jauh dari sempurna. Penelitian selanjutnya hendaknya dilakukan untuk mengkaji salah satu nilai yang ada pada masyarakat Sunda, yakni “ngajago”. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui apakah nilai itu memang harus ada, dikembangkan, dan relevan dengan kehidupan masyarakat Sunda ataukah justru harus dihilangkan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A.C. (2015). Pokoknya Studi Kasus : Pendekatan Kualitatif. Bandung: PT Kiblat Buku Utama

____________. (2012). Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.

____________.& Suryadi, K. (2009). Etnopedagogi (Landasan Praktek

Pendidikan dan Pendidikan Guru). Bandung: PT Kiblat Buku Utama.

____________. (2006). Pokoknya Sunda (Interprestasi untuk Aksi). Bandung: PT Kiblat Buku Utama.

Aryani, K.I. (2006). Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Nilai. Purwakarta: Karya Swadaya Mandiri.

Bagus, L. (2002). Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Bartens, K. (2004). Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Bastian, I, (2001). Manual Akuntansi Keuangan Pemerintahan Daerah. Yogyakarta : BPFE.

Creswell, J.W. (2008). Educational Research (Planning, Conducting and

Evaluating Quantitative and Qualitatif Research (Thir Edition).

California: University of Nebrasca-Lincoln.

Djahiri, A.K. (1996). Menelusuri Dunia Afektif (Pendidikan Nilai dan Moral). Bandung: Lab. Pengajaran PMP IKIP Bandung.

Dwiyanto, A. (2003). Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: PPSK-UGM

Ekadjati, E.S, dkk. (1995). Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta : Pustaka Jaya

Gay, L.R, dkk. (2009). Educational Research Competencies for Analysis

Application (Ninth Edition). New Jersey: Upper Saddle River

Habba, J. (2007). Analisis SWOT Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Resolusi

Konflik dalam Ammirachman, Alpha. Revitatalisasi Kearifan Lokal Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso, Jakarta: ICIP.

Halim, A. (2002). Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta : Salemba Empat.

Hatifah, S. (2004). Inovasi, Partisipasi dan Good Governance : 20 Prakarsa

Inovatif dan Partisipatisi di Indonesia. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.

Kattsoff, LO. (2004). Pengantar Filsafat. Yogyakarta :Tiara Wacana Yogya. Koentjaraningrat. (1995). Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan. Jakarta :

Gramedia

Koesoema, D. (2010). Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman


(3)

Lincoln, Y.S & Guba, E.G (1985). Naturalistic Inquiry. Baverly Hills: Sage Publications.

Miles, M & Huberman, A. M. (2007). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI-Press. Mulyana, D. (2011). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Gramedia

Widiasarana Indonesia

Mulyana, R. (2011). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Moleong, J.X. (2000). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Mulyadi, D. (2012). Pembangunan Berkarakter : Sebuah Pilihan Untuk

Indonesia. Purwakarta : Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah

kabupaten Purwakarta.

_________ . (2011). Orang Sunda Juga Bisa : Pesan Untuk Nonoman Sunda. Jakarta : Pustaka Alvabet bekerjasama dengan Institut Transformasi Sosial (Intras)

Nawawi, H. (2012). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Gadjah Mada Univesity Press.

Osborne, D & Gaebler, T. (1992). Reinventing Government : How The

Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector. Alih bahasa

oleh Abdul Rosyid. (1996). Mewirausahakan Birokrasi. Jakarta:Pustaka Binaman Pressindo

Porter, M. E. (1996). On Competition. Boston : Harvard Business Review Book, Boston.

Rosidi, A. (2011). Kearifan Lokal (dalam Prespektif Budaya Sunda). Bandung: PT Kiblat Buku Utama.

_________. (2010). Mencari Sosok Manusia Sunda. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

_________. (2009). Manusia Sunda. Bandung: PT Kiblat Buku Utama

Sarundajang. (2005). Birokrasi Dalam Otonomi Daerah. Jakarta: Kata Hasta Pustaka

Sedarmayanti, (2003). Good Governanace (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam

Rangka Otonomi Daerah : Upaya Membangun Organisasi Efektif dan Efisisen Melalui Restrukturisasi dan Pemberdayaan. Bandung : Mandar

Maju.

___________, (2012). Good Governance “keperintahan yang baik” dan Good

Corporate Governance “tata kelola perusahaan yang baik”. Bandung :

Mandar Maju.

___________, (2013). Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan

Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan yang Baik). Bandung : Refika Aditama.


(4)

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sulasman dan Gumilar. (2013). Teori-teori Kebudayaan (dari teori hingga

aplikasi). Bandung. CV Pustaka Setia.

Sumodiningrat, G. (2009). Mewujudkan Kesejahteraan Bangsa Menanggulangi

Kemiskinan dengan Prinsip Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : PT.

Alex Media Komputindo.

Spradley, P.J (2007). Metode Etnografi. Yogyakarta. Tiara Wacana.

Syaukani, H. (2003). Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tajfel, H. (1978). Social categorization, social identity and social comparison. Dalam H. Tajfel (Ed.), Differentiation between social groups: Studies in

the social psychology of intergroup relations. London: Academic Press.

Tangkilisan, NH. (2005). Manajemen Publik. PT. Gramedia Widiasarana. Indonesia : Jakarta.

Sumber Jurnal, Dokumen & Internet

Alamsyah (2010). Strategi Penguatan Good Governance dalam Mendorong

Pertumbuhan Ekonomi Lokal di Era Otonomi Daerah. Baturaja: Jurnal

Online Dinamika Volume 3, No. 6, Desember 2010.

Anonim. (2015). Wawancara Eksklusif dengan Bupati Purwakarta. Tersedia di http://www.tokohindonesia.com/publikasi/article/339-wawancara/1026-pembangunan-berbasis-kearifan-lokal [Tanggal 21 Mei 2015]

Cheong, Y. (2002). Fostering Local Knowledge and Wisdom in Globalized

Education: Multiple Theories. Makalah disampaikan dalam The 8th

International Conference on “Globalization and Localization Enmeshed: Searching for a Balance in Education”. Bangkok, Thailand 18-21 November, 2002.

Hasanah, A. (2012). Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan

Lokal Pada Masyarakat Minoritas (Studi Atas Kearifan Lokal Masyarakat Adat Suku Baduy Banten). Jurnal Analisis, Volume XII, Nomor 1.

Bandung. Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Hayati, S. (2011). Model Penanaman Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius)

Pada Masyarakat Sunda Dalam Membentuk Perilaku Lingkungan Bertanggung Jawab. Bandung: LPPM Universitas Pendidikan Indonesia.

Hendrawan .H. J (2013). Transformasi Nilai-Nilai Kepemimpinan Siswa Melalui

Pendidikan IPS. Bandung : Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan


(5)

Malau, H. (2013). Implementasi Good Governance Pada Pemerintahan Nagari di

Sumatera Barat. Jurnal. Jurnal Tingkap Vol. IX No. 2 Th. 2013. Padang:

Universitas Negeri Padang

Mungmachon. R (2012). Knowledge and Local Wisdom: Community Treasure. Thailand. International Journal of Humanities and Social Science Vol. 2 No. 13. Ubon Ratchathani University.

Mulyadi, D. (2013). Membangun dengan Kearifan Lokal. Tersedia dalam http//www.purwakartakab.com. [Tanggal 15 Maret 2015]

Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan, Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM

Saepudin, E. (2012). Penguatan Nilai Kesukarelaan dalam Membangun Ekonomi

Kewarganegaraan bagi Masyarakat Demokratis Melalui Situs Kewarganegaraan (Studi Kasus pada Komunitas Bandung Creative City Forum). Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Sartini, NW. (2009). Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat

Ungkapan (Bebasan, Saloka, Dan Paribasa. Sumtera Utara). Jurnal Ilmiah

Bahasa Dan Sastra. Universitas Airlangga.

Sauri, S. (2007). Sekilas tentang Pendidikan Nilai. Makalah yang disajikan dalam kegiatan Pelatihan Guru-Guru di Kampus Politeknik UNSI Kabupaten Sukabumi pada tanggal 29 Desember 2007.

Suastra, I.W. (2010). Model Pembelajaran Sains Berbasis Budaya Lokal Untuk

Mengembangkan Kompetensi Dasar Sains Dan Nilai Kearifan Lokal Di Smp. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran. Fakultas MIPA. Universitas

Pendidikan Ganesha.

Suhartini. (2009). Prosiding Seminar Nasional Penelitian. Yogyakarta: MIPA UNY

Suryadi, E & Kusnendi. (2010). Kearifan Lokal dan Perilaku Edukatif, Ilmiah,

Religius (Pengaruh Kearifan Lokal Sunda terhadap Akutualisasi Perilaku Edukatif, Ilmiah dan Religius Sivitas Akademika Universitas Pendidikan Indonesia). Proceeding of The 4th International Conference on Teacher Education; (pp. 601-618). Bandung: Join Conference Upi & UPSI

Bandung, Indonesia.

Sya, A. (2012). Kontribusi Nilai-Nilai Tradisi Sunda Dalam Mewujudkan

Kesejahteraan Bangsa Indonesia di Era Globalisasi. Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and

Future” 89 : Universitas BSI Bandung.

Yulisnaningsih. (2010). Penerapan Good Governance; Perspektif Teoritik

Birokrasi dan Administrasi Publik. Baturaja: Jurnal Online Dinamika


(6)

Peraturan Daerah Kabupaten Purwakarta No 13 Tahun 2007 Tentang Larangan Pelacuran Dan Minuman Keras.

Peraturan Bupati Purwakarta No 9 Tahun 2008 Tentang Larangan Penangkapan Ikan Dengan Menggunakan Alat Dan Bahan Berbahaya Diwilayah Perairan Kabupaten Purwakarta

Perturan Bupati Purwakarta No 113 Tahun 2014 Tentang Pengendalian Dan Pengawasan Terhadap Penjualan Minuman Beralkohol Di Kabupaten Purwakarta.

Peraturan Bupati Purwakarta No 29 Tahun 2015 Tentang Pengangkatan Ibu Asuh Oleh Pegawai Negeri Sipil, Kalangan Dunia Usaha, Dan Elemen Masyarakat Di Kabupaten Purwakarta.

Peraturan Bupati Purwakarta No 46 Tahun 204 Tentang Pencegahan Dan Penanggulangan Tawuran Dan Penggunaan Kendaraan Bermotor Bagi Peserta Didik Di Kabupaten Purwakarta.