NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DI KABUPATEN SLEMAN UNTUK PENGEMBANGAN PRINSIP-PRINSIP UMUM TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK.

(1)

NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DI KABUPATEN SLEMAN

UNTUK PENGEMBANGAN PRINSIP-PRINSIP UMUM TATA

KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Disusun Oleh : Ufita Arsono 10401244018

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN JURUSAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014


(2)

(3)

(4)

(5)

MOTO

Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan

yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.

(Terjemahan Al-Qur’an, Ali Imran Ayat 160)

Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia

serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza Wajalla. (HR. Ahmad)

Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan

hidupnya.

(Pramoedya Ananta Toer)

Hiduplah dengan hati yang bahagia, penuh cinta tapi sederhana, dan mampu berpikir cerdas setiap harinya.


(6)

(Penulis)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan syukur atas segala petunjuk dan rahmat yang telah Allah SWT berikan, bingkisan kecil dan sederhana ini kupersembahkan untuk:

 Kedua orang tua saya tersayang Bapak Untung Suwarsono dan Ibu Riyanti, terimakasih atas segala doa, kasih sayangmu, semangat yang tak henti-hentinya mengalir, serta setiap keringat yang telah kau curahkan kepadaku yang mungkin takkan bisa aku membalasnya. Adik kandungku, Atika Arsono terimakasih telah menjadi bintang yang lebih terang daripada aku, kehadiranmu memberiku motivasi untuk menjadi kakak terbaik diseluruh dunia.


(7)

NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DI KABUPATEN SLEMAN UNTUK PENGEMBANGAN PRINSIP-PRINSIP UMUM TATA KELOLA PEMERINTAHAN

YANG BAIK Oleh: Ufita Arsono 10401244018 ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) nilai-nilai kearifan lokal yang telah dilaksanakan di Pemerintah Kabupaten Sleman, 2) nilai-nilai kearifan lokal di Kabupaten Sleman yang bisa diangkat dalam pengembangan prinsip-prinsip umum pengelolaan pemerintahan yang baik, 3) faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi nilai-nilai kearifan lokal di dalam produk-produk hukum daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta utamanya yang berlaku di Kabupaten Sleman.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penentuan subjek penelitian menggunakan teknik purposive ditentukan 6 subjek yaitu Kepala Seksi Sejarah, Nilai dan Tradisi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman, Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Bagian Tata Pemerintahan Setda Kabupaten Sleman, Staff Bagian Hukum Setda Kabupaten Sleman, Kepala Desa Tirtoadi, dan Kepala Dukuh Sanggrahan. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan dokumentasi. Analisis data menggunakan teknik analisis induktif, dengan menggunakan teknik analisis data melalaui tahapan reduksi data, kategorisasi data, display data, pengambilan kesimpulan atau verifikasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, nilai-nilai kearifan lokal yang telah dilaksanakan di Kabupaten Sleman telah dituangkan dalam slogan Sleman Sembada. Kedua,nilai-nilai kearifan lokal di Kabupaten Sleman tidak terlepas dari arus nilai-nilai kearifan lokal yang berasal dari Keraton Yogyakarta akan tetapi ketiga nilai ini belum dimasukkan dalam produk hukum Kabupaten Sleman. Nilai-nilai itu yakni; 1) Hamemayu Hayuning Bawana, (2) Sawiji Greget Sengguh Ora Mingkuh, 3) Semangat Golong Gilig. Ketiga, faktor pendorong implementasi nilai-nilai kearifan lokal dalam produk-produk hukum di Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta utamanya yang berlaku di Kabupaten Sleman yakni nilai-nilai kearifan lokal sesuai dengan karakter dan sifat masyarakat di Kabupaten Sleman. Sedangkan faktor penghambatnya yakni pertama, masih terdapat pejabat pemerintahan baik di Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta maupun Pemerintah Kabupaten Sleman yang belum menerapkan budaya pemerintahan, yang kedua penuangan nilai-nilai kearifan lokal masih tersirat dalam setiap pasal di produk-produk hukum.

Kata kunci : nilai-nilai kearifan lokal, prinsip-prinsip umum tata kelola pemerintahan yang baik


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul “Nilai-nilai Kearifan Lokal Di Kabupaten Sleman untuk Pengembangan Prinsip-prinsip Umum Tata Kelola Pemerintahan yang Baik”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar S1 Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, tidak akan mungkin penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan lancar. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.Ag, selaku Dekan FIS UNY atas izinnya yang diberikan untuk melakukan penelitian di Kabupaten Sleman.

2. Cholisin, M.Si, selaku Wakil Dekan I FIS UNY atas izinnya yang diberikan untuk melakukan penelitian di Kabupaten Sleman.


(9)

3. Dr. Samsuri,M.Ag selaku Ketua Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum, serta pembimbing akademik yang telah memberikan nasihat dan dorongan untuk terselesaikannya skripsi ini.

4. Ibu Eny Kusdarini, M. Hum selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing, memberikan nasehat, arahan, serta masukan yang membangun dalam penyelesaian tugas akhir ini.

5. Bapak Dr. Suharno M.Si selaku narasumber yang bersedia memberikan masukan, dan arahan dalam tugas akhir ini.

6. Seluruh dosen dan karyawan Program Studi Pendidikan Kewarganegaraandan Hukum FIS UNY yang telah banyak membantu selama kuliah dan penelitian berlangsung.

7. Seluruh pejabat pemerintahan di Kabupaten Sleman yang memberi pengarahan dalam di lapangan, dan telah memberikan waktu untuk melakukan penelitian tentang nilai-nilai kearifan lokal.

8. Arief Priyo Setyanto, yang terimakasih selama ini telah memberikan doa, canda, semangat, dan motivasi.

9. Sahabat-sahabatku, Aluh Yefta, Rahmawati, Devi Susanti, Wati, Yosep, Tomi, Fachruriza, Abdurrahman Kodil, yang telah memberikan motivasi dengan setulus hati, pemikiran, dan waktu.

10.Teman-teman PKnH Angkatan 2010, yang telah memberikan doa, motivasi dan semangat yang tak henti-hentinya.


(10)

11.Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan tugas-tugas penulis selanjutnya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan dunia pendidikan pada umumnya.

Yogyakarta, 24 September 2014


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ……… i

HALAMAN PENGESAHAN ……….. ii

HALAMAN PERNYATAAN ………. iii

MOTTO ………. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. v

ABSTRAK ……… vi

KATA PENGANTAR ……….. vii

DAFTAR ISI ……… ix

DAFTAR LAMPIRAN ……… xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah ... 15

C. Batasan Masalah ... 15

D. Rumusan Masalah ... 16

E. Tujuan Penelitian ... 17

F. Manfaat Penelitian ... 17

G. Batasan Pengertian ... 19

BAB II KAJIAN PUSTAKA A.Tinjauan tentang Kearifan Lokal………... 22


(12)

b. Kearifan Lokal dalam Pelaksanaan Pemerintahan…………... . 28

B.Tinjauan tentang Prinsip-prinsip Tata Kelola Pemerintahan yang Baik 35 a. Arti Penting Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik……… 42

b. Perincian Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik dalam Penyelenggaraan Pemerintahan……… 45

C.Bentuk bentuk Hukum Administrasi Negara……….. . 48

a. Keputusan/Ketetapan …………... . 48

b. Peraturan ………. . 51

c. Perundang-undangan Semu/Peraturan Kebijaksanaan………… . 52

d. Rencana/Het Plan………. . 54

D.Bentuk-bentuk Hukum Administrasi Negara pada Pemerintahan Daerah 56 a. Peraturan Daerah……… 56

b. Peraturan Gubernur………... 62

c. Peraturan Bupati/Walikota……… 65

d. Peraturan Kebijaksanaan Daerah……….. 67

e. Keputusan Gubernur dan Keputusan Bupati ……….. 68

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ... 71

B. Tempat dan waktu penelitian………. 72

C. Penentuan Subjek Penelitian ... 72


(13)

1. Wawancara.……… 74

2. Dokumentasi….………... 75

E. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data……… 76

F. Teknik Analisis Data……… 76

1. Reduksi Data……… 76

2. Kategorisasi Data……… 77

3. Display Data……… 78

4. Pengambilan Kesimpulan……… 79

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Gambaran Umum Kabupaten Sleman 1. Letak Wilayah Kabupaten Sleman……… 80

2. Sejarah Pembentukan Kabupaten Sleman………. 80

B.Deskripsi Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Nilai-nilai Kearifan Lokal yang telah Dilaksanakan di Pemerintah Kabupaten Sleman………..87

2. Nilai-nilai Kearifan Lokal di Kabupaten Sleman yang Dapat Diangkat dalam Pengembangan Prinsip-prinsip Umum Pengelolaan Pemerintahan ………102

3. Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat dalam Implementasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Produk-produk Hukum di Daerah Istimewa Yogyakarta………..117


(14)

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan ………...140 B.Saran....……….141 DAFTAR PUSTAKA


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran. 1 Pedoman Wawancara ……….. 147 Lampiran. 2 Transkrip Wawancara ………. 154 Lampiran. 3 Dokumentasi ……… 175


(16)

NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DI KABUPATEN SLEMAN UNTUK PENGEMBANGAN PRINSIP-PRINSIP UMUM TATA KELOLA PEMERINTAHAN

YANG BAIK Oleh: Ufita Arsono 10401244018 ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) nilai-nilai kearifan lokal yang telah dilaksanakan di Pemerintah Kabupaten Sleman, 2) nilai-nilai kearifan lokal di Kabupaten Sleman yang bisa diangkat dalam pengembangan prinsip-prinsip umum pengelolaan pemerintahan yang baik, 3) faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi nilai-nilai kearifan lokal di dalam produk-produk hukum daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta utamanya yang berlaku di Kabupaten Sleman.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penentuan subjek penelitian menggunakan teknik purposive ditentukan 6 subjek yaitu Kepala Seksi Sejarah, Nilai dan Tradisi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman, Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Bagian Tata Pemerintahan Setda Kabupaten Sleman, Staff Bagian Hukum Setda Kabupaten Sleman, Kepala Desa Tirtoadi, dan Kepala Dukuh Sanggrahan. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan dokumentasi. Analisis data menggunakan teknik analisis induktif, dengan menggunakan teknik analisis data melalaui tahapan reduksi data, kategorisasi data, display data, pengambilan kesimpulan atau verifikasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, nilai-nilai kearifan lokal yang telah dilaksanakan di Kabupaten Sleman telah dituangkan dalam slogan Sleman Sembada. Kedua,nilai-nilai kearifan lokal di Kabupaten Sleman tidak terlepas dari arus nilai-nilai kearifan lokal yang berasal dari Keraton Yogyakarta akan tetapi ketiga nilai ini belum dimasukkan dalam produk hukum Kabupaten Sleman. Nilai-nilai itu yakni; 1) Hamemayu Hayuning Bawana, (2) Sawiji Greget Sengguh Ora Mingkuh, 3) Semangat Golong Gilig. Ketiga, faktor pendorong implementasi nilai-nilai kearifan lokal dalam produk-produk hukum di Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta utamanya yang berlaku di Kabupaten Sleman yakni nilai-nilai kearifan lokal sesuai dengan karakter dan sifat masyarakat di Kabupaten Sleman. Sedangkan faktor penghambatnya yakni pertama, masih terdapat pejabat pemerintahan baik di Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta maupun Pemerintah Kabupaten Sleman yang belum menerapkan budaya pemerintahan, yang kedua penuangan nilai-nilai kearifan lokal masih tersirat dalam setiap pasal di produk-produk hukum.

Kata kunci : nilai-nilai kearifan lokal, prinsip-prinsip umum tata kelola pemerintahan yang baik


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Otonomi Daerah diartikan sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sedangkan menurut Hanif Nurcholis (2007: 30) otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri dengan


(18)

menghormati peraturan perundangan yang berlaku. Setiap daerah yang disebut daerah otonom diberi wewenang oleh pemerintah pusat untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dikemukakan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak sebagai berikut: a. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;

b. memilih pimpinan daerah; c. mengelola aparatur daerah; d. mengelola kekayaan daerah;

e. memungut pajak daerah dan retribusi daerah;

f. mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah;

g. mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan

h. mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam Peraturan perundang-undangan.

Seperti yang tercantum dalam Pasal 21 huruf d, e, f, dan g Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut di muka, setiap daerah otonom berhak untuk mengelola kekayaan daerah, dan mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah. Demi mengejar perolehan devisa negara baik pada tingkat pusat maupun daerah, pemanfaatan sumber daya alam cenderung kurang memperhatikan kaidah-kaidah pengelolaan sumberdaya alam yang


(19)

berkelanjutan dan berkeadilan. Pemanfaatan sumber daya alam berorientasi pada kepentingan jangka pendek sehingga kurang dan tidak efisien (www.menlh.go.id Diakses: 18 Februari 2014). Pakar otonomi daerah dari University of Canberra, Mark Turner, menegaskan bahwa harapan akan meningkatnya kesejahteraan masyarakat di daerah setelah puluhan tahun di bawah sistem kekuasaan yang terpusat di Jakarta belumlah terwujud dan belum ada keuntungan untuk masyarakat di daerah (http://www.tempo.co. Gunawan Wicaksono. Diakses: 18 Februari 2014).

Dalam pelaksanaannya, Otonomi Daerah dinilai belum berjalan sesuai harapan. Menurut Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Ode Ida, pemerintah belum berhasil membuat desain otonomi daerah ini dengan baik. Otonomi daerah terbukti belum mampu menciptakan kesejahteraan rakyat melalui perbaikan layanan pemerintahan. Di berbagai daerah, menurut La Ode sering terlihat pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah belum mengembangkan pemerintahan yang melayani. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya peraturan daerah yang tidak pro pembangunan dan pro kesejahteraan yang diputuskan (http://www.tempo.co. Seto Dharmawan. Diakses: 7 Februari 2014). Otonomi daerah yang diharapkan mampu menjadi jembatan bagi terwujudnya desentralisasi pembangunan justru dinilai mendorong potensi terjadinya korupsi di daerah. Hal itu terlihat dari tingginya jumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat daerah. ICW mencatat, hingga tahun 2013, ada 149 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Kepala daerah


(20)

tersebut terdiri dari 20 gubernur, 1 wakil gubernur, 17 wali kota, 8 wakil wali kota, 84 bupati, dan 19 wakil bupati (http://nasional.kompas.com. Agus Susanto. Diakses: 5 Februari 2014).

Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang, dalam Seminar Terbatas Praja bertema Aktualiasasi Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Mewujudkan Good Governance di tahun 2013, mengungkapkan pentingnya mentransformasikan paradigma kemajemukan dan multikulturalisme dengan local wisdom (kearifan lokal) masing-masing ke dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Karena itu, di masa mendatang diharapkan kearifan lokal menjadi bagian budaya bangsa, sehingga menjadi akses Negara (http://www.media.hariantabengan.com. Sofyan Efendi. Diakses: 7 Februari 2014). Eko Prasojo, Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan

Reformasi Birokrasi dalam seminar “Tata Kelola Pemerintahan (Governance)

Berbasis Kearifan Lokal untuk Penguatan Denpasar sebagai Kota Berwawasan Budaya” menyampaikan bahwa yang berkembang saat ini dari government (penyelenggaraan pemerintahan) ke governance di mana perubahan mode interaksi dari kekuasaan dan kontrol menjadi pertukaran informasi, komunikasi dan persuasi dengan penyediaan informasi kepada masyarakat untuk dapat mengawal pemerintahan (http://ekoprasojo.com. Bali Post. Diakses: 5 Februari 2014).

Dalam mewujudkan governance, trust (kepercayaan) menjadi faktor penting dan secara global terus mengalami penurunan. Masyarakat semakin


(21)

skeptis dengan pemerintahan dan politik. Maka dari itu, kearifan lokal harus diperkuat untuk menjaga trust (http://ekoprasojo.com. Bali Post. Diakses: 5 Februari 2014). Kearifan lokal disini didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal seperti tradisi, petatah-petitih dan semboyan hidup (Nasiwan, dkk, 2012: 159). Menurut Eko Prasojo sebagai bentuk membangun trust, terdapat beberapa akar masalah distrust masyarakat yakni penyalahgunaan wewenang, jauhnya pemerintah dengan masyarakat disertai pelayanan publik yang tidak memadai dan lemahnya partisipasi masyarakat. Untuk meningkatkan public trust, menurut Eko Prasojo, pemerintah memiliki keharusan melibatkan masyarakat, harus transparan, akuntabel, responsif, serta harus melayani. Sebagai contoh Kota Denpasar dengan moto Sewaka Dharma, yang telah mampu mendekatkan konsep birokrasi bersih dengan melayani. Di samping itu, hal ini merupakan seni pemerintah dalam pemanfaatan sejumlah nilai budaya dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan lokal (http://ekoprasojo.com. Bali Post. Diakses: 5 Februari 2014).

Berbagai masalah penyelenggaraan yang muncul harus menjadi perhatian dan perlu diantisipasi agar penyelenggara otonomi daerah dapat berjalan dengan baik, efisian, dan efektif untuk memberikan pelayanan kepada public. Dalam menjalankan pengelolaan pemerintahan daerah harus disertai dengan tanggung jawab publik sehingga memenuhi harapan masyarakat di daerah. Hal yang sama juga fungsi pengawasan yang dilakukan oleh


(22)

legislative dan masyarakat sehingga perlu transparansi dalam mengelola sumber daya pemerintah daerah (HAW. Widjaja, 2007: 5).

Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki 5 (lima) kabupaten/kota yakni, Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Gunungkidul. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban untuk menyebarluaskan Tata Nilai Budaya Yogyakarta kepada masyarakat. Hal ini tercantum pada ketentuan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Tata Nilai Budaya Yogyakarta.

Sebagai salah satu kabupaten yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Sleman memiliki banyak potensi daerah yang sampai saat ini terus dikembangkan oleh pemerintah Kabupaten Sleman bersama warga masyaakat, meliputi potensi komoditi pertanian, potensi industri, potensi wisata, dan potensi investasi (http://www.slemankab.go.id. Diakses 5 Februari 2014). Kabupaten Sleman berbatasan langsung dengan Boyolali di sebelah utara, Kota Yogyakarta di sebelah selatan, Kabupaten Kulon Progo di sebelah barat, dan Kabupaten Klaten di sebelah Timur. Dengan luas wilayah 574,82 Km², kabupaten ini memiliki jumlah penduduk 1.226.846 Jiwa yang tersebar di 17 Kecamatan (http://www.kemendagri.go.id. Diakses 5 Februari 2014).


(23)

Seperti halnya dengan Kota Denpasar, Kabupaten Sleman dalam mengoptimalkan pelaksanaan pembangunan, Kabupaten Sleman pada tanggal 2 Maret 1991 mencanangkan slogan gerakan pembangunan desa terpadu “Sleman Sembada”. Gerakan pembangunan desa terpadu “Sleman Sembada” merupakan gerakan dari, oleh dan untuk masyarakat Sleman dengan kekuatan sendiri. Artinya, hasil-hasil dari dinamika tersebut diharapkan dapat dinikmati dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. Tak dapat dipungkiri “Sleman Sembada” merupakan slogan baru. Akan tetapi nilai-nilai yang dikandungnya bukanlah sesuatu yang baru karena slogan tersebut merupakan kristalisasi dan formulasi dari nilai-nilai budaya dan kehidupan keseharian masyarakat Sleman (http://www.slemankab.go.id. Profil Kabupaten Sleman. Diakses: 8 Februari 2014).

Penyajian seni dan tradisi di Kabupaten Sleman bermuatan norma dan nilai-nilai kearifan lokal yang berlaku dalam masyarakat pendukungnya dan amat dijunjung tinggi oleh pelaku seni dan amat dipahami oleh masyarakat pendukungnya. Sebagai bagian dari kegiatan ritual, pementasan seni tertentu atau pelaksanaan tradisi tertentu lebih mengutamakan aspek kemasyarakatan atau kegotongroyongan antar warga. Contoh pementasan seni dan tradisi yang ada di Kabupaten Sleman yakni Kesenian Langentoyo Ngesti Budoyo di Kecamatan Turi, Sleman. Menurut kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman, Ir. AA. Ayu Laksmidewi, kesenian yang adiluhung


(24)

hendaknya dilestarikan bersama sebagai warisaan budaya yang telah diturunkan dari generasi ke generasi.

Kesenian seperti Langentoyo untuk dapat lestari tidak hanya membutuhkan pelaku seni dalam upaya nguri-uri kesenian tersebut, tetapi juga memerlukan apresiasi dari masyarakat umum untuk mengangkat kesenian Langentoyo untuk tetap dapat eksis ditengah masyarakat. Kesenian Langentoyo sepintas memang seperti kesenian Wayang Orang, tetapi dalam dialognya sangat berbeda. Dalam kesenian Langentoyo cenderung dialog dengan tembang. Kesenian Lengentoyo juga mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang wajib diketahui oleh generasi muda sekarang (http://www.slemankab.go.id. Masyarakat Turi Tampilkan Kesenian Langentoyo. Diakses. 13 Juli 2014).

Kegiatan ritual yang melibatkan pementasan seni dan tradisi tersebut merupakan hajat bersama masyarakat setempat. Contoh lainnya adalah kegiatan bersih desa yaitu kegiatan ritual yang dilaksanakan oleh sekelompok masyarakat untuk memohon keselamatan seluruh warga. Sebagai bentuk hajat bersama masyarakat secara suka rela merancang wujud kegiatan, waktu, bahkan sampai masalah pembiayaan tanpa memikirkan untung rugi. Bagi masing-masing warga yang diutamakan adalah terlaksananya kegiatan bersama tersebut. Mereka memposisikan seni sebagai sarana untuk melabuhkan harapan untuk bisa menjaga dan melestarikan budaya, di samping


(25)

sebagai sarana untuk menghilangkan kepenatan batinnya (http://bappeda.slemankab.go.id. Diakses: 24 Februari 2014).

Selain itu penggunaan bahasa Jawa sebagai pengantar dalam interaksi antar anggota masyarakat dalam kehidupan sehari hari merupakan tradisi yang berlaku kuat. Bahasa Jawa yang memiliki tingkatan bahasa mengandung unsur ajaran tata kehidupan manusia serta nilai-nilai moral perlu mendapatkan perhatian secara khusus. Hal ini disebabkan semakin berkurangnya penggunaan bahasa Jawa khususnya di kalangan generasi muda. Pelajaran bahasa Jawa yang sangat terbatas waktunya di sekolah dan digunakannya bahasa pengantar bahasa Indonesia di sekolah menjadikan generasi muda tidak lagi memahaminya. Namun demikian, penggunaan bahasa Jawa ini masih dipertahankan oleh masyarakat di wilayah Kabupaten Sleman.

Bahasa Jawa sebagai media komunikasi yang dimiliki oleh masyarakat suku Jawa memiliki peranan dalam kehidupan masyarakat. Tidak hanya sekedar sebagai media komunikasi antar anggota masyarakat, namun dibalik penggunaan bahasa tersebut ada etika yang berlaku. Nilai etika yang terkandung dalam penggunaan bahasa Jawa ini dapat terlihat ketika anak muda harus menghormati orang tua pada saat harus berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. Gradasi atau tingkatan dalam bahasa Jawa secara jelas menunjukkan tatanan etika bagi masyarakat Jawa sebagai pengguna bahasa tersebut. Bagi masyarakat di pedesaan, penggunaan bahasa Jawa


(26)

sebagai pengantar untuk berkomunikasi tetap dipertahankan. Dalam keseharian masyarakat Kabupaten Sleman di wilayah pedesaan masih tetap menggunakan bahasa Jawa. Bahkan dalam acara-acara bersama seperti dalam masyarakat seperti rembug desa, kenduren, ataupun dalam upacara adat seperti manten, syawalan, dan sebagainya, masih tetap menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa juga digunakan di kalangan pejabat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman setiap hari Jumat. Karena disadari bahwa budaya dan potensi lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi pembentukan karakter dan identitas (http://bappeda.slemankab.go.id. Diakses: 24 Februari 2014).

Salah satu nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang dan masih dilaksanakan di Kabupaten Sleman, ialah nilai musyawarah mufakat. Musyawarah mufakat dilaksanakan oleh Badan Perwakilan Desa yang selanjutnya disebut BPD. Disetiap desa yang ada di Kabupaten Sleman memiliki BPD. BPD adalah Badan Permusyawaratan yang terdiri atas pemuka-pemuka masyarakat yang ada di Desa yang berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa. BPD berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa dan merupakan wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan kerterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyarawah dan mufakat.


(27)

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan, bahwa dengan semboyan musyawarah untuk mufakat, demokrasi yang sedang dijalankan oleh negara dapat menentang apa yang disebut dengan diktator mayoritas juga sekaligus tirani minoritas. Musyawarah, sebetulnya adalah proses untuk memilih, menemukan, dan bersepakat pada sebuah pilihan yang paling baik. Memang bisa lebih lama dari proses pemungutan suara. Tetapi yang terpenting ketika bermusyawarah dibuka, ruang itu tersedia untuk mendengarkan pandangan-pandangan dari pihak manapun (http://www.presidenri.go.id. Penting Mempertahankan Budaya Musyawarah untuk Mufakat. Diakses: 24 Februari 2014).

Sebagai bagian dari wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, Sleman melestarikan nilai-nilai budaya yang berasal dari Kraton Yogyakarta, dan memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang berasal dari warga Sleman sendiri. Nilai-nilai budaya yang ada harus dilihat sebagai bagian dari masa depan Negara Indonesia dan dikembangkan secara kreatif. Sebab jika tidak, selain terus-menerus dipinggirkan, kantung-kantung kebudayaan itu akan berubah menjadi defensive dan konservatif. Melalui otonomi budaya, tergali nilai-nilai kearifan lokal-tradisional, yang jika direvitalisasi dan diadaptasi dalam masyarakat modern, bisa menjawab tantangan zaman. Upaya-upaya mencari, menggali, menginventarisasi, mengkaji dan kemudian mengembangkan nilai-nilai budaya daerah, terangkum dalam Dialog Budaya Nusantara. Yakni, permasalahan budaya daerah saat ini, pengaruh arus budaya luar, kearifan


(28)

lokal yang berasal dari Budaya Daerah yang dapat dijadikan “modal dasar baru” bagi persatuan dan kesatuan bangsa atas dasar solidaritas sosial budaya rakyat yang saling menghargai sesama warga Indonesia, kepedulian pemerintah terhadap budaya daerah, serta kebijaksanaan Kraton-kraton di daerah dan pemangku-pemangku adat yang demokratis perlu dilestarikan dan dikembangkan sebagai landasan budaya daerah. Nilai-nilai kearifan budaya lokal itu jika tidak dijaga dan dipelihara, dikhawatirkan secara berlangsung akan mengalami proses kepunahan, termasuk di dalamnya berbagai sumber yang amat berharga bagi pembentukan wacana kebudayaan Indonesia di masa mendatang (Sultan Hamengku Buwono X, 2007: 22).

Nusantara adalah taman dunia. Ini merujuk pada keanekaragaman Indonesia yang bukan saja terdiri dari sekitar 17.500 pulau yang dihubungkan oleh lautan tetapi juga kekayaan etnis, budaya dan agama. Sehubungan dengan hal tersebut, pelestarian nilai-nilai budaya daerah, dengan upaya mencari, menggali, dan mengkaji serta mengaktualisasikan “kearifan budaya lokal” merupakan “modal dasar baru” yang dapat digunakan untuk memperkukuh rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Kenyataan menunjukkan,

kebudayaan lokal yang terbengkalai akhirnya bagaikan “sehelai pakaian kusut

di gantungan”. Oleh karena itu, agar tidak kusut, solidaritas sosial budaya yang saling menghargai sesama warga bangsa perlu di aktualisasikan kembali (Sultan Hamengku Buwono X, 2007: 21).


(29)

Dalam konteks masyarakat Sleman maupun wilayah lainnya, kearifan lokal masyarakat akan selalu hidup dan berkembang. Namun yang berbeda ialah bagaimana nilai-nilai kearifal lokal yang ada di dalam masyarakat tersebut diimplementasikan dalam pemerintahan. Kabupaten Sleman dalam perjalanannya berhasil meraih nilai B, dalam penilaian akuntabilitas kinerja instansi pemerintah kabupaten/kota pada tahun 2012 dan ditetapkan sebagai kabupaten dengan akuntabilitas terbaik. Akuntabilitas kinerja birokrasi merupakan salah satu indikator capaian reformasi birokrasi hingga tahun 2014. Indikator lainnya adalah indeks persesi korupsi (IPK), opini BPK, integritas pelayanan publik, peringkat kemudahan berusaha, indeks efektivitas pemerintahan (http://www.setkab.go.id. Kabupaten Sleman dan Kota Sukabumi Terbaik dalam Akuntabilitas Kinerja. Diakses: 13 Juli 2014).

Sebagai kabupaten yang pernah meraih predikat kabupaten dengan akuntabilitas terbaik, maka yang menjadi perhatian disini ialah peran penting kearifan lokal dalam rangka mengawal pembangunan dan pemerintahan, dimana pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Sleman benar-benar membumi. Yuwono Sri Suwito dalam makalahnya yang berjudul Substansi Keistimewaan Yogyakarta dalam Kebudayaan dan Kepariwisataan mengatakan bahwa budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta terutama di Kabupaten Sleman masih dianut secara patuh oleh masyarakat termasuk para pendatang dari luar daerah. Keunggulan budaya khas dari Daerah Istimewa Yogyakarta yang patut dijadikan salah satu dasar keistimewaan adalah sifat


(30)

masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta yang toleran, tepa slira, asih ing sesami, serta mementingkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan.

Kearifan lokal penting untuk didorong dan dipastikan masuk dalam setiap aspek pembangunan, dan output dari akivitas ini adalah masyarakat yang sadar dan paham secara penuh atas pembangunan yang terjadi diwilayahnya. Boleh dikatakan kebudayaan Kabupaten Sleman yang termasuk dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai kearifan budaya lokal yang bernilai global, sehingga tidak hanya memiliki relevansi pada saat ini tetapi juga pada saat yang akan datang, serta dapat dijadikan model sebagai alat pemersatu bangsa. Hal ini perlu dibuktikan sehingga dapat meyakinkan kepada orang yang semula meragukannya, dan menempatkan masyarakat pada pusat pembangunan.

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa nilai-nilai kearifan lokal adalah relevan sehingga perlu diaktualisasikan serta diimplementasikan dalam tata kepemerintahan yang baik (Edah Jubaedah dkk, 2008:3). Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang, “Nilai-nilai Kearifan Lokal Di Kabupaten Sleman untuk Pengembangan Prinsip-prinsip Umum Tata Kelola Pemerintahan yang Baik”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut:


(31)

1. Otonomi daerah dianggap belum mampu menciptakan kemakmuran bagi rakyat di daerah.

2. Desentralisasi pembangunan justru mendorong potensi terjadinya korupsi di daerah.

3. Tingginya jumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat daerah.

4. Masih buruknya pengelolaan sumber daya alam dan manusia di daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.

5. Pengaruh arus budaya luar menggerus budaya lokal di Indonesia sehingga penting menggali nilai-nilai kearifan lokal sebagai modal dasar baru yang dapat digunakan untuk memperkukuh rasa persatuan dan kesatuan bangsa.

6. Kabupaten Sleman memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang tumbuh di masyarakat namun belum diimplementasikan dalam tata kelola pemerintahan yang baik.

7. Kabupaten Sleman memerlukan tata kelola pemerintahan yang baik dan sehat yang diambil dari nilai-nilai kearifan lokal.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah melalui beberapa uraian di atas, maka dalam hal ini permasalahan yang dikaji perlu untuk dibatasi. Pembatasan masalah ini bertujuan untuk memfokuskan perhatian pada penelitian agar diperoleh kesimpulan yang benar dan mendalam pada aspek yang diteliti. Cakupan masalah pada penelitian ini dibatasi pada hal-hal


(32)

mengenai Nilai-nilai Kearifan Lokal Di Kabupaten Sleman untuk Pengembangan Prinsip-prinsip Umum Tata Kelola Pemerintahan yang Baik.

Agar permasalahan yang ditelisi lebih fokus, maka peneliti membatasi masalah sebagai berikut:

1. Nilai-nilai kearifan lokal yang telah dilaksanakan di Pemerintah Kabupaten Sleman.

2. Nilai-nilai kearifan lokal di Kabupaten Sleman yang bisa diangkat dalam pengembangan prinsip-prinsip umum pengelolaan pemerintahan.

3. Faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi nilai-nilai kearifan lokal di dalam produk-produk hukum daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta utamanya yang berlaku di Kabupaten Sleman.

D. Rumusan Masalah

Setelah diadakan pembatasan masalah seperti yang telah dipaparkan pada bagian terdahulu, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Apa saja nilai-nilai kearifan lokal yang telah dilaksanakan di Pemerintah Kabupaten Sleman?

2. Apa saja nilai-nilai kearifan lokal di Kabupaten Sleman yang bisa diangkat dalam pengembangan prinsip-prinsip umum pengelolaan pemerintahan yang baik?


(33)

3. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi nilai-nilai kearifan lokal di dalam produk-produk hukum daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta utamanya yang berlaku di Kabupaten Sleman? E. Tujuan Penelitian

Mengacu pada rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini diharapkan mencapai beberapa tujuan sebagai berikut:

1. Mengetahui nilai-nilai kearifan lokal yang telah dilaksanakan di Pemerintah Kabupaten Sleman.

2. Mengetahui nilai-nilai kearifan lokal di Kabupaten Sleman yang bisa diangkat dalam pengembangan prinsip-prinsip umum pengelolaan pemerintahan yang baik.

3. Mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi nilai-nilai kearifan lokal di dalam produk-produk hukum daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta utamanya yang berlaku di Kabupaten Sleman. F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan memberikan kegunaan untuk pengembangan Ilmu Hukum Administrasi Negara, terutama dalam pengembangan asas-asas umum pemerintahan yang baik melalui


(34)

nilai-nilai kearifan lokal yang merupakan rumpun dari Pendidikan Kewarganegaraan.

b. Dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk penelitian berikutnya khususnya pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum tentang Nilai-nilai Kearifan Lokal untuk Pengembangan Prinsip-prinsip Umum Tata Kelola Pemerintahan yang Baik.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Mahasiswa

Dapat dijadikan tambahan acuan untuk memberikan gambaran yang komprehensif tentang Nilai-nilai Kearifan Lokal untuk Pengembangan Prinsip-prinsip Umum Tata Kelola Pemerintahan yang Baik.

b. Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam merumuskan produk-produk hukum daerah dalam rangka tata kelola pemerintahan yang baik. c. Bagi Peneliti

1. Penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam terjun langsung ke lapangan dalam penelitian yang dapat dijadikan bekal untuk penelitian-penelitian selanjutnya. 2. Membentuk pola pikir yang dinamis sekaligus mengetahui


(35)

bangku kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum, serta sebagai bekal peneliti untuk menjadi guru yang professional. G. Batasan Pengertian

Berbagai istilah dalam penelitian dapat menimbulkan bermacam-macam pengertian dan penafsiran, begitu pula istilah yang terdapat dalam

penelitian yang berjudul “Nilai-nilai Kearifan Lokal Di Kabupaten Sleman

untuk Pengembangan Prinsip-prinsip Umum Tata Kelola Pemerintahan yang Baik”. Sebagai dasar pijakan peneliti agar lebih terfokus dan agar dapat mencegah bias persepsi, maka peneliti merasa perlu menjelaskan istilah-istilah sebagai berikut:

1. Nilai-nilai Kearifan Lokal

Pengertian nilai dalam penulisan ini adalah hal-hal yang dianggap baik, benar dan atau pantas, sebagaimana disepakati di dalam masyarakat. Nilai itu dirumuskan dalam kebudayaan dan dilaksanakan di dalam masyarakat, dan terungkap di dalam pengarahan diri ataupun di dalam interaksi, langsung maupun tidak langsung, antarwarga masyarakat, dalam berbagai jenis kegiatannya. Kearifan lokal yang dimaksudkan di dalam penulisan ini adalah kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan budaya lokal seperti tradisi, petatah-petitih dan semboyan hidup dan tercermin di berbagai pola tindakan dan hasil budaya material. 2. Kabupaten Sleman


(36)

Kabupaten Sleman adalah salah satu dari lima (5) kabupaten yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten Sleman berbatasan langsung dengan Boyolali di sebelah utara, Kota Yogyakarta di sebelah selatan, Kabupaten Kulon Progo di sebelah barat, dan Kabupaten Klaten di sebelah Timur.

3. Prinsip-prinsip Umum Tata Kelola Pemerintahan yang Baik

Prinsip-prinsip Umum Tata Kelola Pemerintahan yang Baik adalah nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam pergaulan masyarakat (living law). Prinsip-prinsip Umum Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dalam bentuk aslinya sebagai asas hukum, dan sebagian yang lain dapat diturunkan menjadi norma hukum atau kaidah hukum. Prinsip-prinsip ini berfungsi sebagai rambu-rambu bagi para penyelenggara negara (alat administrasi negara) di dalam menjalankan tugasnya, rambu-rambu tersebut diperlukan agar perbuatan-perbuatan alat administrasi negara terutama di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sleman agar tetap sesuai dengan tujuan hukum.

Jadi yang dimaksud dengan Nilai-nilai Kearifan Lokal Di Kabupaten Sleman untuk Pengembangan Prinsip-prinsip Umum Tata Kelola Pemerintahan yang Baik adalah nilai-nilai yang dianggap baik dan luhur yang terkandung dalam kekayaan budaya lokal yang berkembang di masyarakat Kabupaten Sleman dan dapat digunakan untuk pengembangan Prinsip-prinsip Umum Tata Kelola Pemerintahan yang Baik.


(37)

(38)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Nilai-nilai Kearifan Lokal a. Pengertian Kearifan Lokal

Seperti yang dikatakan oleh Koentjaraningrat, kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan,tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan untuk pedoman bangsa Indonesia belajar. Sedangkan menurut pendapat Ki Hajar Dewantara, kebudayaan adalah buah budi manusia, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat) dalam perjuangan mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada akhirnya bersifat tertib dan damai. Kebudayaan berganti wujudnya karena pergantian alam dan jaman. Oleh karena itu boleh dikatakan bahwa kebudayaan sifatnya dinamis dan berkembang sesuai dengan perkembangan jaman (Moertjipto, dkk, 1997: 1).

Bangsa Indonesia dewasa ini sedang melaksanakan pembangunan baik pembangunan fisik maupun rohani. Disisi lain mengembangkan pula kebudayaan nasional dengan menghadapi pergeseran nilai-nilai. Namun yang menjadi masalah adalah dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi, nilai-nilai lama yang semula menjadi acuan suatu


(39)

kelompok masyarakat akan menjadi goyah akibat masuknya nilai baru dari luar. Hal ini menyebabkan nilai-nilai lama yang menjadi pedoman hidup dan pranata sosial milik masyarakat menjadi pudar (Moertjipto, dkk, 1997: 2).

Nilai dalam hubungan sosial-budaya berkenaan dengan “harga kepantasan” atau “harga kebaikan”, yang dapat dikatakan “penting” dan “tidak penting”, ataupun “mendalam” dan “dangkal”, tetapi kualifikasi tersebut tak dapat diukur secara kuantitatif (Edy Sedyawati, 2007: 254).

Nilai budaya adalah hal-hal yang dianggap baik, benar dan atau pantas, sebagaimana disepakati di dalam masyarakat. Jadi, nilai budaya itu dirumuskan dalam kebudayaan dan dilaksanakan di dalam masyarakat, dan terungkap di dalam pengarahan diri ataupun di dalam interaksi, langsung maupun tidak langsung, antarwarga masyarakat, dalam berbagai jenis kegiatannya. Pengarahan diri yang dipandu oleh nilai-nilai budaya itu mengacu kepada keberterimaan di dalam masyarakat. Oleh karena itu, nilai-nilai budaya dengan sendirinya bersifat sosial-budaya (Edy Sedyawati, 2007: 254).

Pakar-pakar Antropologi menggolongkan nilai-nilai budaya itu di atas 5 (lima) jenis yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan 5 (lima) hal, yaitu:

1. Tuhan atau “Yang Adikodrati”;


(40)

3. Sesama manusia; 4. Kerja; dan 5. Waktu.

Masing-masing dari kelima golongan nilai budaya itu tentu dapat dijabarkan ke dalam banyak rincian, dan jumlahnya dapat berbeda-beda diantara berbagai kebudayaan. Meskipun nilai-nilai tersebut dalam analisis dapat dipilah-pilah, namun dalam kenyataan penghayatannya di dalam masyarakat mendapat keterjalinan satu sama lain. Adapun dalam wacana Etika, istilah “nilai” menyatakan sesuatu yang pada dirinya sendiri terdapat keberartian, atau sesuatu yang berharga (Edy Sedyawati, 2007: 254-255).

Sedangkan kearifan berasal dari kata arif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arif memiliki dua arti, yaitu tahu atau mengetahui. Arti kedua cerdik, pandai dan bijaksana. Kata arif yang jika ditambah awalan “ke” dan akhiran “an” menjadi kearifan berarti kebijaksanaan, kecendekiaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan dalam berinteraksi. Melayani orang, adalah orang yang mempunyai sifat ilmu yaitu netral, jujur dan tidak mempunyai kepentingan antara, melainkan semata-mata didasarkan atas nilai-nilai budaya dan kebenaran sesuai ruang lingkupnya. Kata lokal, yang berarti tempat atau pada suatu tempat atau pada suatu tempat tumbuh, terdapat, hidup sesuatu yang mungkin berbeda dengan tempat lain atau terdapat di suatu tempat yang bernilai yang mungkin


(41)

berlaku setempat atau mungkin juga berlaku universal (Muin Fahmal, 2006: 30-31).

Dalam bentangan Indonesia baru dewasa ini, maka yang dimaksud

dengan kebudayaan “lokal” mestinya lebih tepat disebut kebudayaan “sub

-bangsa” atau “suku-bangsa”. Memang pada umumnya suatu suku bangsa

(golongan etnik) itu mempunyai suatu “tanah asal” tertentu di Indonesia ini, yang bisa meliputi wilayah yang kecil sampai ke yang sangat luas,

atau yang „bercabang-cabang‟ (Edy Sedyawati, 2006:381).

Kearifan lokal diartikan sebagai “kearifan dalam kebudayaan tradisional” suku-suku bangsa. Kearifan dalam arti luas tidak hanya berupa norma-norma dan nilai-nilai budaya, melainkan juga segala unsur gagasan, termasuk yang berimplikasi pada teknologi, penanganan kesehatan, dan estetika. Dengan pengertian tersebut maka yang termasuk sebagai penjabaran “kearifan lokal” adalah berbagai pola tindakan dan hasil budaya materialnya. Dalam arti yang luas itu maka diartikan, “kearifan lokal” itu terjabar dalam seluruh warisan budaya, baik yang tangible maupun yang intangible (Edy Sedyawati, 2006:382).

Wacana seputar local wisdoms atau kearifan lokal, biasanya selalu disandingkan dengan wacana perubahan, modernisasi, dan relevansinya. Hal ini bisa dimaklumi sebab wacana diseputar kearifan lokal pada prinsipnya berangkat dari asumsi yang mendasar bahwa, nilai-nilai asli, ekspresi-ekspresi kebudayaan asli dalam konteks geografis dan kultural


(42)

dituntut untuk mampu mengekspresikan dirinya ditengah-tengah perubahan. Pada sisi lain ekspresi kearifan lokal tersebut juga dituntut untuk mampu merespons perubahan-perubahan nilai dan masyarakat. Kearifan lokal itu tidak ingin hilang dari peredaran nilai sebuah masyarakat. Kearifan lokal didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal seperti tradisi, petatah-petitih dan semboyan hidup (Nasiwan, dkk, 2012: 159).

Menurut Wales, sebagaimana dikutip oleh Nasiwan, dkk (2012: 16) kearifan lokal dapat dilihat dari dua perspektif yang saling bertolak belakang. Yakni extreme acculturation dan a less extreme acculturation. Extreme acculturation memperlihatkan bentuk-bentuk tiruan suatu budaya yang tanpa adanya proses evolusi budaya dan akhirnya memusnahkan bentuk-bentuk budaya tradisional. Sedangkan less extreme acculturation adalah proses akulturasi yang masih menyisakan dan memperlihatkan local genius adanya. Yakni adanya unsur-unsur atau ciri-ciri tradisional yang mampu bertahan dan bahkan memiliki kemampuan untuk mengakomodasikan unsur-unsur budaya dari luar serta mengintegrasikannya dalam kebudayaan asli. Selebihnya, nilai-nilai kearifan lokal mempunyai kemampuan untuk memegang pengendalian serta memberikan arah perkembangan kebudayaan. Dengan demikian tepatlah dikatakan bahwa kebudayaan merupakan manifestasi kepribadian


(43)

suatu masyarakat. Artinya identitas masyarakat tercermin dalam orientasi yang menunjukkan pandangan hidup serta sistem nilainya, dalam pola serta sikap hidup yang diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari, serta dalam gaya hidup yang mewarnai peri kehidupannya. Kedudukan lokal genius ini sangat signifikan dalam konteks sebuah eksistensi kebudayaan suatu masyarakat atau kelompok. Hal ini disebabkan karena merupakan kekuatan yang mapu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan yang mampu pula berkembang untuk masa-masa yang akan datang. Hilangnya atau pudarnya local genius, berarti pula memudarnya kepribadian suatu masyarakat, sedang kuatnya local genius untuk bertahan dan berkembang menunjukkan pula kepribadian masyarakat tersebut.

Menurut Edi Sedyawati (2006: 412) setiap masyarakat tradisional, yang dalam kasus Indonesia itu berarti setiap suku bangsa, mempunyai kekhasannya dalam cara-cara pewarisan nilai-nilai budayanya. Pada masa Jawa Kuno, yaitu ketika bahasa Jawa Kuno digunakan sebagai bahasa resmi dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat berbagai kegiatan pendidikan yang dapat diketahui dari data artefaktual maupun tekstual. Kegiatan pendidikan disini adalah dalam arti luas, yakni yang bersifat formal, nonformal, dan informal. Yang disebut pendidikan formal pada masa kini adalah yang ditandai oleh kurikulum yang jelas, serta sistem evaluasi yang jelas juga baku. Disamping itu untuk setiap program dan jenjang studi diberikan keterangan tanda tamat belajar, baik berupa ijazah


(44)

maupun diploma. Adapun yang dimaksud dengan pendidikan nonformal adalah tidak diikat oleh keketatan masa studi maupun kurikulum yang standar. Sedangkan pendidikan informal tidak diikat oleh batas-batas waktu maupun tingkatan, dan tujuannya adalah untuk secara umum memberikan informasi ataupun menanamkan watak, moral maupun nilai-nilai budaya ataupun keagamaan. Segala peremuan insidental, maupun segala sesuatu yang disampaikan melalui media massa dapat tergolong kategori ini. Pada masa Jawa Kuno, saran pendidikan informal ini dapat dicontohkan oleh ajaran-ajaran yang disampaikan melalui rangkaian relief di candi-candi, pembacaan karya sastra, pertunjukan teater, maupun pelaksanaan upacara-upacara yang mengandung makna sosial religius. b. Kearifan Lokal dalam Pelaksanaan Pemerintahan

Menurut Laica Marzuki, sebagaimana dikutip oleh Muin Fahmal (2006: 31) di dalam kaidah-kaidah hukum (rechtnormen) dibangun nilai-nilai etika hukum (values of legal ethic) yang nilai-nilai kepatuhannya didasarkan pada kesadaran hukum (kesadaran hukum pada hakikatnya adalah pematuhan nilai-nilai etika hukum). Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh Muin Fahmal (2006: 32) mengemukakan asas hukum bukanlah sebuah norma hukum, sebagaimana hukum yang telah dirumuskan dalam berbagai ketentuan perundang-undangan yang serta merta mengikat. Akan tetapi, sebagai penanaman normative (legal term) bagi nilai etika hukum yang sesungguhnya adalah nilai yang tumbuh


(45)

sebagai budaya (budaya hukum) masyarakat, sehingga nilai tersebut ditaati sebagai tolok ukur terwujudnya keadilan yang sesungguhnya. Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa budaya hukum masyarakat menjadi sangat penting di samping perilaku penegak hukum. Bagir Manan (2004: 5) menyatakan bahwa manusia juga diatur dan tunduk pada aturan adat-istiadat (hukum kebiasaan), hukum agama (sepanjang belum menjadi hukum positif), dan hukum moral.

Moertjipto dkk (1997: 3) menjelaskan bahwa sejarah telah membuktikan bahwa sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia dicapai, bentuk pemerintahan yang ada adalah kerajaan. Segala roda pemerintahan dipusatkan dan berkiblat ke kerajaan. Dengan demikian posisi kerjaan menjadi pusat berbagai kegiatan, termasuk didalamnya kebudayaan. Kerajaan pada waktu itu merupakan pusat kebudayaan, segala kebudayaan yang dihasilkan dari dalam istana atau Kraton dianggap memiliki nilai yang tinggi atau adi luhung. Karena selain memiliki nilai lebih, mereka percaya bahwa hasil kebudayaan dari istana itu memiliki daya kekuatan tertentu sehingga dapat mempengaruhi terhadap orang yang menikmati atau mengikutinya. Pada masa kerajaan, secara garis besar ada dua macam hasil kebudayaan, yaitu kebudayaan besar dan kebudayaan kecil. Kebudayaan besar maksudnya adalah kebudayaan yang dihasilkan dari dalam istana, sedangkan kebudayaan kecil ialah kebudayaan yang dihasilkan di daerah-daerah atau di luar istana. Pembagian seperti itu


(46)

karena pada umumnya, kebudayaan istana diciptakan oleh orang-orang yang memang berkompeten di bidangnya dan proses penciptaannya melalui jalan prihatin (berpuasa/nglakoni). Sedangkan kebudayaan yang dihasilkan daerah-daerah dianggap lebih rendah dari istana. Antara kebudayaan besar dengan kebudayaan kecil tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling berinteraksi, terutama pengaruh kebudayaan besar terhadap kebudayaan kecil tampak kuat.

Di dalam masyarakat Jawa, Kuntowijoyo (2006: 47) menjelaskan bahwa terdapat semacam pendidikan humaniora yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan pernyataan-pernyataan simbolisnya merupakan bagian integral dari sistem budaya. Kandungan pendidikan humaniora ditentukan oleh sistem pengetahuan yang dimiliki masing-masing subkultur, kelompok sosial, dan pelembagaan pendidikan humaniora sesuai dengan pengelompokan masyarakat. Dalam setiap kelompok masyarakat, pendidikan itu diselenggarakan baik secara formal melalui sebuah lembaga pendidikan, maupun secara informal melalui berbagai bentuk komunikasi sosial.

Selanjutnya Kuntowijoyo (2006: 50) memaparkan bahwa berdasarkan kandungan nilai-nilai subkultur, kelompok sosial, dan pelembagaan pendidikan humaniora, dapat ditemukan tiga loci pendidikan humaniora dalam masyarakat Jawa tradisional, yaitu istana, pesantren dan perguruan. Dalam tradisi Kraton, pelembagaan produksi dan distribusi


(47)

nilai-nilai dan simbol-simbol ada di bawah patronase raja. Dalam lembaga abdidalem ditampung bermacam-macam pekerjaan kreatif dari penciptaan karya-karya sastra sampai kesenian representasional. Di dalam lingkungan birokrasi Kraton terdapat pujangga Kraton yang memproduksi karya sastra abdi-abdi dan abdi-abdi dalem lain yang mendukung berbagai macam kepentingan simbolis, seperti abdi dalem dalang untuk keperluan pertunjukan wayang kulit, abdi dalam juru sungging untuk keperluan menggambar terutama wayang, dan sebagainya. Di lingkungan Kraton dan lingkungan keluarga raja terdapat sejumlah tenaga kerja yang secara khusus mengelola kelangsungan pendidikan ngelmu (berguru) yang bermacam-macam. Sekalipun Kraton bukan satu-satunya tempat ngelmu (berguru) itu dilestarikan dan dikembangkan, tetapi dari Kraton lah mengalir nilai dan simbol ke bawah secara paling deras. Menurut Franz Magnis Suseno (1985: 108), kekuatan Raja dari Kraton memancar sampai ke desa-desa. Semakin jauh dari Kraton, maka semakin lemah pula pancaran kekuatan Raja.

Pendidikan ngelmu (berguru) dan kawruh menurut Kuntowijoyo (2006: 52) dapat dilakukan melalui bermacam-macam produk humaniora itu terutama ditujukan untuk mendidik kalangan keluarga istana sendiri, untuk pendidikan para ksatria, tetapi pendidikan itu pada akhirnya juga diperuntukkan bagi abdi dalem, dan semua kawula sesuai dengan kedudukan masing-masing dalam sistem hierarki masyarakat. Patronase


(48)

raja atas penciptaan produk-produk humaniora merupakan pengesahan bahwa istana adalah pusat kehidupan budaya masyarakat feodal. Kandungan pendidikan humaniora di istana bermacam-macam, sesuai dengan kepentingan kaum bangsawan. Ngelmu atau kawruh itu yang diciptakan pujangga Kraton pada umumnya berupa wawasan etika dalam berbagai bidang. Dalam literatur Jawa, etika itu disebut Asthabrata, yaitu delapan kebajikan sebagaimana diisyaratkan oleh watak dari gejala-gejala alam. Jadi kenegarawan tidak terletak pada keterampilan memerintah, tetapi pada sikap paternalistik dan laku utama. Selain itu pendidikan humaniora juga mengajarkan bagaimana seorang bangsawan menggunakan waktu luangnya, yang berupa cara-cara memperoleh kesenangan sampai cara-cara mesu budi atau olah rasa.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Suwarno (1994: 79), bahwa penanaman unsur-unsur tradisional yang berkembang di dalam Kraton juga telah dilakukan Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan memadukan unsur-unsur pemerintahan tradisional yang masih berkembang di dalam Kraton dan unsur birokrasi modern. Sultan mendapatkan dukungan dan kesetiaan dari pemimpin-pemimpin nasionalis, Islam, dan dukungan dan tokoh masyarakat lainnya. Rakyat Yogyakarta mendukung dan mengikuti pemikiran Sultan yang dikomunikasikan kepada mereka secara luas dan langsung.


(49)

Selanjutnya, Suwarno (1994: 80) menjelaskan bahwa pemikiran Sultan yang dijadikan dasar perubahan birokrasi pemerintahan Yogyakarta antara lain saat Sultan Hamengku Buwono VIII memberikan keris pusaka “Kangjeng Kyai Kopek” kepada Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan Hamengku Buwono VIII mengajarkan ajaran Asthabrata dan memberi pesan agar kelak jika Sultan Hamengku Buwono IX mendapat anugerah kedudukan raja jangan menyombongkan diri karena kedudukannya dan memiliki pendidikan tinggi di Negeri Belanda. Pesan tersebut memberikan kesan yang mendalam dalam pikiran dan jiwa Sultan Hamengku Buwono IX mengenai hakekat kekuasaan menurut faham jawa, sehingga mempengaruhi pemikiran dan tindakaanya dalam birokrasi pemerintahan. Sultan Hamengku Buwono IX menunjukkan bahwa pemikirannya tentang legitimasi kekuasaan tradisional cukup kuat. Pemikiran ini tentu tidak diabaikan dalam mengadakan perubahan birokrasi pemerintahan Yogyakarta. Nilai-nilai tradisional yang di kandung oleh Asthabrata yang tersimpan di Kraton Yogyakarta itu memberi kondisi yang kondusif untuk menumbuhkan tekad mengusir penjajah dengan mengadakan perubahan. Semuanya menjadi salah satu dasar pemikiran dan tindakan Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengadakan perubahan birokrasi di Yogyakarta.

Suwarno (1994: 82) juga menyatakan bahwa pemikiran Sultan Hamengku Buwono IX tentang birokrasi pemerintahan Yogyakarta yang


(50)

pertama adalah pemikiran yang masih berkisar tentang tradisi. Dengan pengetahuan modern, Sultan menolak “tradisi” yang merugikan. Dengan kata lain Sultan Hamengku Buwono IX menggunakan pengetahuan modern untuk seleksi terhadap tradisi. Kedua, secara lugas Sultan Hamengku Buwono IX mengemukakan pemikirannya tentang demokrasi yang jelas-jelas demokrasi barat, yang memberi keleluasaan kepada wakil rakyat untuk berbicara menyuarakan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Pemikiran Sultan Hamengku Buwono IX yang lain yaitu pemikiran tentang kehidupan bermasyarakat orang Jawa. Kehidupan bermasyarakat orang Jawa sesuai dengan sifat Dewa Baruna dalam Asthabrata, yaitu mengalahkan kepentingan pribadi untuk kepentingan orang banyak dengan dasar cinta sesama. Sebagai masyarakat maka sudah menjadi kewajiban untuk memperhatikan sesamanya yang menderita. Sultan Hamengku Buwono IX menekankan bahwa hanya orang yang mempunyai wewenang untuk memerintahlah yang harus ditaati. Pemikiran itu menunjuk pada otoritas pemerintahan yang mantap berdasarkan legitimasi tradisional yang menghasilkan ketentraman masyarakat. Menurut Sultan Hamengku Buwono IX birokrasi pemerintahan merupakan perpaduan antara unsur tradisional dan unsur baru yang untuk melayani kepentingan rakyat

Dengan mengamati pemikiran Sultan Hamengku Buwono IX tentang birokrasi modern dan pemerintahan berdasarkan tradisi, Suwarno


(51)

(1994: 87) berpendapat bahwa hal itu menandakan bahwa Sultan mempunyai kemampuan tinggi untuk memadukan kedua pemikiran itu, kemudian mewujudkannya dalam kenyataan. Perwujudan ini juga menuntut kemampuan untuk menyesuaikan pemikiran dan kehendak semua pihak terutama rakyat banyak atau istilah Jawa Ngudi jumbuhing kawula gusti (mengusahakan kesesuaian antara rakyat dan raja). Franz Magnis Suseno (1985: 113) menjelaskan bahwa dalam paham kekuasaan Jawa tertanam motivasi-motivasi kuat bagi penguasa untuk berusaha menjadi seorang penguasa yang baik, yang adil, dan dicintai rakyatnya, yang mempertahankan negaranya dalam keadaan tenteram dan sejahtera. B. Tinjauan tentang Prinsip-prinsip Tata Kelola Pemerintahan yang Baik

Menurut Ridwan HR (2007: 245) Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur dapat diterjemahkan menjadi prinsip-prinsip atau dasar-dasar atau asas-asas umum pemerintahan yang baik. Sementara Muin Fahmal (2006: 13) menyatakan bahwa konsep pemerintahan yang baik (good governance) adalah asas tata pemerintahan yang baik, yang pada dasarnya bertumpu pada dua landasan utama, yaitu: Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi, yaitu negara hukum dan demokrasi. Sedangkan menurut Wiarda, sebagaimana dikutip oleh Muin Fahmal (2006: 12) menyatakan bahwa asas-asas umum pemerintahan yang layak tidak berlaku sebagai tendensi-tendensi etik yang menjadi dasar hukum bagi Tata Usaha Negara baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis,


(52)

termasuk praktek pemerintahan. Sebagian dari prinsip-prinsip atau asas-asas tersebut dapat diturunkan dari undang-undang dan praktek, dan untuk sebagian secara eviden langsung mengikat.

Muin Fahmal (2006: 270), menjelaskan bahwa dalam konsep Hukum Adminstrasi, pemerintahan yang bersih tidak dirumuskan dalam norma hukum positif. Tapi dapat disinonimkan dengan pemerintahan yang sesuai dengan hukum, yaitu Hukum Administrasi sebagai bagian dari Hukum Tata Negara. Philipus M. Hadjon (2008: 270) menyatakan bahwa dalam pelbagai undang-undang yang menguasai peradilan administrasi di Nederland, asas-asas umum pemerintahan yang baik Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur disebut sebagai dasar banding dan atau pengujian. Disimpulkan bahwa asas-asas yang terkandung di dalam Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur merupakan kaidah hukum tak tertulis, sebagai pencerminan yang wajib diperhatikan disamping kaidah-kaidah hukum positif. Dapat pula dikatakan, bahwa Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur adalah prinsip-prinsip atau asas-asas hukum tidak tertulis, dari mana untuk keadaan-keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan.

Rechtmatigheid menurut Philipus M. Hadjon sebagaimana dikutip oleh Muin Fahmal (2006: 14) bermakna keabsahan, sehingga Onrechtmatigheid sebagai tindakan yang tidak sah. Karena


(53)

Rechtmatigheid van Bestuur adalah asas keabsahan dalam pemerintah, sehingga dapat disimpulkan bahwa:

1. Asas keabsahan berfungsi sebagai norma pemerintahan bagi aparat pemerintahan.

2. Asas keabsahan berfungsi sebagai landasan mengajukan gugatan kepada pemerintah bagi rakyat yang dirugikan.

3. Asas keabsahan berfungsi sebagai dasar pengujian suatu tindakan pemerintah (administrasi) oleh hakim.

Paparan di atas menunjukkan bahwa dalam dimensi hukum administrasi, komponen good governance menjadi norma pemerintahan yang dapat menjadi indikator terwujudnya pemerintahan yang bersih (clean government). Dalam kehidupan bernegara telah dipraktekkan terutama dalam pelaksanaan peradilan, khususnya dalam lingkup peradilan Tata Usaha Negara yang menganut asas umum pemerintahan yang layak, sebagai dasar pengujian keabsahan tindakan pemerintahan. Hubungan antara politik hukum dengan realitas sosial masyarakat memperhadapkan antara keadilan dan kapastian hukum, yang justru keduanya menjadi tuntutan pada setiap negara hukum. Menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh Muin Fahmal (2006: 14), pelaksanaan hukum tidak sekedar mulut undang-undang sebagai dasar untuk menjamin penerapan hukum yang sesuai dengan cita-cita dan dasar suatu negara yang berdaulat. Hakim harus selalu sungguh-sungguh mempertimbangkan


(54)

faktor-faktor kultural yang hidup nyata dalam masyarakat. Hakim dapat mengesampingkan kaidah-kaidah hukum yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan negara.

Sedangkan menurut Muin Fahmal (2006: 15), dalam konteks negara Hukum Indonesia, para pelaksana hukum diingatkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya agar mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Bahkan hakim sebagai penegak hukum dianggap sebagai perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan masyarakat. Untuk itu, ia harus terjun di tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Muin Fahmal (2006: 15) juga mengutip pendapat Laica Marzuki, bahwa para hakim seyogyanya menggali, mangikuti, serta memahami nilai-nilai sosial budaya hukum masyarakat, utamanya yang terpaut dengan perilaku administrasi yang mendukung budaya hukum setempat. Penggalian hukum tersebut, diharapkan dapat menemukan dan mengembangkan asas-asas pemerintahan yang layak.

Asas hukum merupakan “jantung” nya peraturan hukum, hal itu dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo (2006: 45). Terhadap perundang-undangan yang tidak cukup mengakomodasi budaya hukum masyarakat, menurut Satjipto Rahardjo diperlukan keberanian dan kemauan (credible) dari aparat administrasi untuk menerapkan asas-asas umum pemerintahan


(55)

yang layak. Dalam hal ini, berani menyimpang dari materi hukum yang berlaku jika materi hukum tersebut bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Hal itu dilakukan dengan cara melaksanakan hukum progresif

dan bukan sekedar menjaga hukum “status quo” .

Signifikasi tiga komponen hukum menurut Friedman. L. M sebagaimana dikutip oleh Muin Fahmal (2006: 19) yaitu, materi hukum, budaya hukum dan pelaksana hukum. Hal itu menjadi pra-syarat terwujudnya clean government. Yaitu pemerintahan yang bersih dari hukum dan sebagai bagian dari good governance. Keterlibatan masyarakat menurut Muin Fahmal (2006: 20) untuk merasa „memiliki hukum‟ menjadi penting dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih. Pemerintahan yang bersih memerlukan penegakan hukum yang menjamin terwujudnya keadilan yang bersinggungan dengan perasaan hukum. Indikator itu adalah tertanamnya kepercayaan masyarakat terhadap integritas pelaksana hukum. Selama tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum rendah, maka selama itu pula tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) cenderung tinggi.

Sunarso (2013: 173) mengutip definisi good governance menurut UNDP yakni sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif, di antara negara, sektor swasta dan masyarakat. Secara umum good governance mengandung unsur utama yang terdiri dari akuntabilitas, transparansi, keterbukaan dan aturan hukum. Unsur-unsur tersebut meliputi:


(56)

1. Akuntabilitas

Tanggung gugat dari pengurusan, penyelenggaraan dari governance yang dilakukan lebih jauh diartikan adalah kewajiban bagi aparatur pemerintah untuk bertindak selaku penanggung jawab dan penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijaksanaan yang ditetapkan.

2. Transparansi

Dapat diketahui oleh banyak pihak mengenai perumusan kebijakan (politik) dari pemerintah, organisasi, badan usaha. Dengan kata lain, segala tindakan dan kebijaksanaan pemerintah baik dipusat maupun daerah harus selalu dilaksanakan secara terbuka diketahui oleh umum. 3. Keterbukaan

Pemberian informasi secara terbuka, terbuka untuk open free suggestion, dan terbuka untuk kritik yang merupakan partisipasi. Keterbukaan bisa meliputi bidang politik, ekonomi dan pemerintahan. 4. Aturan hukum

Keputusan, kebijakan pemerintah, organisasi, badan usaha berdasarkan hukum jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijaksanaan publik yang ditempuh.

Berdasarkan perihal tersebut UNDP (badan PBB untuk program pembangunan 1996) merumuskan karakteristik good governance sebagai berikut:


(57)

1. Partisipasi, yaitu setiap warga masyarakat, baik laki-kali maupun perempuan, harus mempunyai hak suara yang sama dalam proses pemilihan umum dengan kebebasan berpendapat secara konstruktif. 2. Penegakan hukum, yaitu kerangka yang dimiliki haruslah berkeadilan

dan dipatuhi.

3. Transparan, yaitu bahwa transparansi pemerintahan harus dibangun dalam kebebasan aliran informasi yang ingin dimiliki oleh mereka yang membutuhkan.

4. Daya tanggap, bahwa setiap lembaga dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (masyarakat).

5. Berorientasi pada consensus, yaitu bahwa pemerintahan yang baik adalah yang dapat menjadi penengah bagi berbagai perbedaan dan memberikan suatu penyelesaian.

6. Berkeadilan, yaitu memberikan kesempatan upaya untuk meningkatkan kualitas hidup.

7. Efektivitas dan efisiensi, yaitu bahwa setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan suatu yang benar-benar dibutuhkan.

8. Akuntabilitas, yaitu bahwa para pengambil keputusan dalam pemerintah dapat memiliki pertanggungjawaban pada publik.


(58)

9. Bervisi strategis, yaitu bahwa para pengambil keputusan dalam pemerintah dapat memiliki pandangan yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia.

10. Kesalingterikatan, yaitu bahwa kesuluruhan ciri pemerintah mempunyai kesalingterikatan yang saling memperkuat dan tidak bisa berdiri sendiri.

a. Arti Penting Prinsip-prinsip Umum Pemerintahan yang Baik

Eny Kusdarini (2011: 144) menjelaskan bahwa tindakan alat administrasi negara yang didasarkan pada asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam lapangan Hukum Administrasi Negara sangat diperlukan, mengingat kekuasaan negara yang dijalankan oleh pemerintah atau alat administrasi negara mempunyai wewenang yang istimewa di dalam rangka penyelenggaraan kesejahteraan dan kepentingan umum sangat luas. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya ini dengan asas kebebasan bertindak (frieies ermessen) yang dipunyainya seringkali terjadi perbuatan alat administrasi negara menyimpang dari hukum yang berlaku dan tendensinya bisa mengakibatkan kerugian pada warga masyarakat. Untuk meningkatkan perlindungan hukum yang lebih baik bagi warga masyarakat maka tindakan-tindakan alat administrasi negara, diperlukan perangkat hukum sebagai tolok ukurnya. Hukum yang dimaksud disini adalah hukum tertulis yang berbentuk ketentuan-ketentuan


(59)

perundnag-undangan maupun hukum yang tidak tertulis. Di dalam hukum yang tidak tertulis, prinsip-prinsip atau asas-asas umum yang baik memegang peranan yang penting, diharapkan dengan mengindahkan asas ini dimungkinkan tidak terjadinya penyalahgunaan wewenang, jabatan atau kekuasaan atau yang seringkali dikenal dengan istilah detournement de pouvoir ini sangat diperlukan dalam mewujudkan good governance (tata kelola pemerintah yang sehat/baik).

Selanjutnya Eny Kusdarini juga menjelaskan (2011: 147) bahwa terkait dengan asas umum pemerintahan yang baik/layak, maka asas-asas ini juga substansinya berasal dari nilai-nilai etik yang berasal dari nilai-nilai etik yang berasal dari kehidupan masyarakat Indonesia yang sudah dipraktekkan sejak lama oleh nenek moyang bangsa Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Di Indonesia nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat ini telah dikristalisasikan ke dalam dasar falsafah negara kita yang dinamakan Pancasila yang sekaligus juga merupakan sumber dari segala sumber tertib hukum yang ada di Indonesia. Oleh karena itu nilai-nilai luhur yang telah dikristalisasi dalam Pancasila, selain semestinya harus dilaksanakan oleh alat administrasi negara sebagai pelaksana penyelenggara negara yang bertugas selaku pelayan masyarakat. Asas-asas umum pemerintahan yang baik sesungguhnya merupakan rambu-rambu bagi penyelenggara negara (alat administrasi negara) di dalam menjalankan tugasnya. Rambu-rambu


(60)

tersebut diperlukan agar perbuatan-perbuatan alat administrasi negara tetap sesuai dengan tujuan hukum.

Menurut Jazim Hamidi sebagaimana dikutip oleh Eny Kusdarini (2011:148-149), asas-asas umum pemerintah yang baik, mengandung beberapa unsur pengertian secara komprehensif, yakni:

1. Asas-asas umum pemerintahan yang layak merupakan nilai-nilai etik yang hidup berkembang dalam lingkungan hukum administrasi Negara;

2. Asas-asas umum pemerintahan yang layak berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi negara, dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat;

3. Sebagian besar dari asas-asas umum pemerintahan yang layak yang tidak tertulis, masih abstrak dan dapat digali dari praktik kehidupan di masyarakat;

4. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis dan terpencar dalam berbagai peraturan hukum positif. Meskipun sebagian dari asas itu sudah berubah menjadi kaidah hukum tertulis, namun sifatnya tetap sebagai asas hukum.

b. Perincian Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam Penyelenggaraan Pemerintahan


(61)

Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur atau yang dapat diterjemahkan menjadi prinsip-prinsip atau asas-asas umum pemerintahan yang baik ini disampaikan dan dirangkum oleh Crince Le Roy dalam kuliahnya pada Penataran lanjutan Hukum Tata Usaha Negara/Hukum Tata Pemerintahan di Fakultas Hukum Unair 1978 ada sebelas (11) prinsip atau asas, yang kemudian di Indonesia dikembangkan oleh Kuntjoro Purbopranoto sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon (2008: 279) menjadi tiga belas (13) asas, yaitu:

1. Asas kepastian hukum (principle of legal security) 2. Asas keseimbangan (principle of proportionally)

3. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality) 4. Asas bertindak cermat (principle of carefulness)

5. Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation)

6. Asas jangan mencampuradukkan kewenangan (principle of non misure of competence)

7. Asas permainan yang layak (principle of fair play)

8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of arbritariness)

9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meering raised expectation);

10.Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of annulled decision)


(62)

11.Asas perlindungan atas pandangan hidup (principle of protecting the personal way of life)

12.Asas kebijaksanaan (sapientia)

13.Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public services)

Asas-asas tersebut berpangkal tolak dari teori-teori hukum dan yurisprudensi serta norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Hal ini dikemukakan oleh Eny Kusdarini (2011: 160). Menurut Eny Kusdarini (2011: 160) berlakunya asas-asas umum pemerintahan yang baik di Indonesia harus diselesaikan dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945, dan juga tampaknya Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara sudah mengakuinya dengan mencantumkan dalam rumusan ketentuan Pasal 53 ayat (2). Dinyatakan dalam ketentuan Pasal 53 ayat (2) bahwa alasan-alasan yang dapat dipakai oleh penggugat untuk mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara yang sekaligus dipakai sebagai dasar pengujian oleh hakim Peradilan Tata Usaha Negara terhadap keputusan/ketetapan administrasi Negara (KTUN) yang digugat adalah: a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut;


(63)

c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputsan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.

SF Marbun (2003: 285) mengemukakan, bahwa dalam rangka menemukan dan merumuskan asas-asas pemerintahan Indonesia yang adil dan patut, kiranya asas-asas umum pemerintahan yang dirangkum oleh Crince Le Roy dan dikembangkan oleh Kuncoro Purbopranoto di atas perlu dijadikan pedoman dan tolok ukur, sepanjang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, agama, hukum adat dan hukum positif lainnya. SF Marbun (2003: 285) menawarkan asas-asas umum pemerintahan Indonesia yang adil dan patut sebagai berikut:

1. Asas persamaan;

2. Asas keseimbangan, keserasian, keselarasan;

3. Asas menghormati dan memberikan haknya setiap orang; 4. Asas ganti rugi karena kesalahan;

5. Asas kecermatan; 6. Asas kepastian hukum;

7. Asas kejujuran dan keterbukaan;

8. Asas larangan menyalahgunakan wewenang; 9. Asas larangan sewenang-wenang;


(64)

11.Asas motivasi;

12.Asas kepantasan atau kewajaran; 13.Asas pertanggungjawaban; 14.Asas kepekaan;

15.Asas penyelenggaraan kepentingan umum; 16.Asas kebijaksanaan;

17.Asas itikad baik.

C. Bentuk-bentuk Hukum Administrasi Negara 1. Keputusan/Ketetapan Administrasi Negara

Keputusan atau Ketetapan administrasi negara di Indonesia, menurut Bagir Manan (2004: 17), lazim disebut beschikking. Keputusan atau Ketetapan ini bersifat konkrit dan tertentu subyek dan atau obyeknya. Selanjutnya menurut Eny Kusdarini (2011: 95) di Jerman Keputusan atau Ketetapan administrasi negara disebut dengan Verwaltungsakt, sedangkan di Prancis dikenal dengan sebutan Acte Administratif.

Sedangkan unsur-unsur yang terdapat dalam keputusan menurut Ridwan HR (2007), adalah:

a. Pernyataan kehendak sepihak (enjizdie schriftelijke wilsverklaring) b. Dikeluarkan oleh organ pemerintahan (bestuurorgaan);

c. Didasarkan pada kewenangan hukum yang bersifat publik (publiekbevoegdheid);


(1)

Mendagri, selanjutnya nanti teknisnya di nilai oleh provinsi dulu, selanjutnya nanti dibawa ke pusat.

8. Ufita : Bagaimana upaya Pemerintah Kabupaten Sleman menghadapi pegawai pemerintahan yang tidak melayani masyarakat dengan baik?

Jawab : Untuk mengatasi ini, pemerintah membutuhkan masukan dari masyarakat. Kita melakukan kontrol, disini kan ada inspektorat juga. Ketika ada aduan, kita akan konfirmasi dulu apakah aduan ini data dipertanggungjawabkan apa tidak, lalu kita akan langsung kepada SKPD yang bersangkutan, ketika ada indikasi bawa pelayanannya memang tidak betul maka ada surat teguran.

TRANSKRIP WAWANCARA

Nama: Suwasti

Jabatan: Staff Perundang-Undangan, Bagian Hukum, Setda Kabupaten Sleman 8. Ufita : Apakah nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Kabupaten Sleman

telah diimplementasikan ke dalam produk-produk hukum di Kabupaten Sleman?

Jawab : Kalau dituangkan ke dalam Perda memang belum mbak. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut tidak tersurat dalam pasal-pasal secara langsung, tetapi akan tersirat dalam pasal-pasal setiap produk hukum yang ada di Kabupaten Sleman.

9. Ufita : Jika telah telah diimplementasikan, produk-produk hukum apa saja yang telah memuat nilai-nilai kearifan lokal?

Jawab : Kalau seperti itu, semua peraturan akan menggunakan visi-misi, ciri khas budaya. misalnya dalam pajak dan retribusi, Pada Perda pajak bangunan, di Kabupaten Sleman, masih mempunyai budaya agraris, dan sebagai lumbung pangan, maka ketika ada tanah yang statusnya tanah pertanian diberi insentif oleh pemerintah agar tanah tersebut agar dapat terjaga nilai-nilai keagrarisannya. Kesemua lini Perda harus dilaksanakan nilai-nilai kearifan lokal, ini semua menjadi bahan kerja dari Pemerintah Kabupaten


(2)

Sleman dalam merumuskan produk-produk hukum. Jadi nilai-nilai itu diimplementasikan dalam penyusunannya, setiap diskusi juga kami memasukkan nilai-nilai budaya yang ada di Kabupaten Sleman.

10.Ufita : Selain Perda, produk hukum apa saja yang mengimplementasikan nilai-nilai kearifan lokal di Kabupaten Sleman?

Jawab : Sama mbak, kalau Peraturan Bupati itu kan dari sekitar tiga ratus itu sifatnya hanya menetapkan, tetapi kalau peraturan kan itu amanah dari Perda. Jadi pada intinya karena itu merupakan alat kerja, jadi kita akan selalu menyampaikan kepada pemrakarsa buntuk bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai tersebut.

11.Ufita : Apa faktor pendukung nilai-nilai kearifan lokal untuk dapat diimplementasikan ke dalam produk-produk hukum di Kabupaten Sleman? Jawab : Sebelum ada Peraturan Daerah DIY tentang Tata Nilai Budaya, Kabupaten Sleman telah memiliki Sleman Sembada. Secara fisik dimasukkan kedalam dipakainya batik Sembada untuk pegawai pemerintahan dan seragam sekolah. Sleman Sembada tidak hanya sekedar slogan saja, tetapi pemerintah telah menerapkan Sleman Sembada secara fisik.

12.Ufita : Jadi, Kabupaten Sleman telah mempunyai tata nilai yang dituangkan secara baku dalam slogan Sleman Sembada sebelum Pemerintah Provinsi DIY mengeluarkan Perda Tata Nilai?

Jawab : Ya, memang seperti itu, sebetulnya tidak hanya Sleman saja, tetapi juga Wonosari, Kulon Progo, dan lain-lain.

13.Ufita : Jika di Provinsi DIY memiliki budaya pemerintahan Satriya, apakah di Kabupaten Sleman juga memiliki budaya pemerintahan khas? Jawab : Kalau untuk seperti itu, di Kabupaten Sleman belum ada.

14.Ufita : Lalu, bagaimana terbentuknya budaya pemerintahan yang berada di Kabupaten Sleman?

Jawab : Kalau untuk pelayanan masyarakat, kita punya etika, aturan tentang pemerintahan yang baik, jadi ada beberapa aturan yang mengedepankan bagaimana pelayanan prima. Setiap hari Senin di Sekretariat setelah diadakan apel, pimpinan akan berkumpul dan menyelaraskan kinerja,


(3)

sehingga akan meningkatkan pelayanan pada masyarakat. Selanjutnya setiap seminggu sekali diadakan evaluasi kerja seluruh pejabat di Sekretariat yang dipimpin oleh Kepala Sekda.

15.Ufita : Dari kata Sembada, apa implementasinya dalam tata kelola pemerintahan yang baik?

Jawab : S yaitu Sehat, yang pertama Sleman dinyatakan memiliki masyarakat yang sehat, upaya dari Pemerintah Kabupaten Sleman yakni menggiatkan seluruh Puskesmas memiliki standar ISO. Standar kesehatan di Kabupaten Sleman lebih tinggi, misalnya di dalam aturan Jampersal, ibu hamil minimal melakukan pemeriksaan empat kali, akan tetapi di Kabupaten Sleman menerapkan standar minimal pemeriksaan itu dua belas kali. Selanjutnya Jamkesda, untuk masyarakat yang belum dibiayai oleh pusat kita membiayai melalui Jamkesda, lalu ada pula Peraturan Bupati Sleman yang mengatur tentang tempat-tempat dilarang merokok.

E yaitu Elok, implementasinya adalah kita mengusahakan tentang Ruang Terbuka Hijau, sehingga nanti itu akan asri. Kita juga sedang mengusahakan Taman Sehati, untuk menanam pohon-pohon khas dari Kabupaten Sleman. M adalah Makmur, implementasinya misalnya subsidi untuk pupuk, dan pada saat masyarakat membutuhkan modal untuk mengembangkan usaha mandiri Pemerintah Kabupaten Sleman memiliki dana penguatan modal yang rupiahnya berada dibawah bank, yakni 6%. Masyarakat dapat meminjam lebih dari dua puluh lima juta, sehingga secara ekonomi pendapatan mereka meningkat dan makmur. Miskinnya orang Sleman berbeda dengan daerah lain, karena masyarakat yang diaanggap miskin oleh Pemerintah Kabupaten Sleman pasti memiliki motor.

B yaitu Bersih, pengelolaan sampah mandiri, sehingga pemerintah hanya mengelola residu. Sudah ada sekitar sembilan puluh titik di tingkat RT dan RW pengelolaan ini, misalnya pengelolaan plastik menjadi barang kebutuhan rumah tangga yang dapat digunakan kembali.

A yaitu Adil, kalau aman itu kan timbul bukan hanya dari tugas dari polisi, tetapi juga timbul dari sifat kegotongroyongan antar warga. Pos ronda di


(4)

Kabupaten Sleman diusahakan tidak dalam kondisi mangkrak , dalam arti kata disitu ada komunikasi. Ketika berbicara tentang masyarakat, maka kita tidak sedang membicarakan perumahan. Apabila perumahan memiliki ijin, maka jalan yang berada di perumahan tidak boleh jalan buntu, agar dapat membaur dengan warga masyarakat disekitar perumahan. Keamanan itu tidak hanya secara fisik, jika ada pencuri atau perampok, akan tetapi juga antar masyarakat tidak terjadi cekcok atau saling menggugat.

D yaitu Damai, Pemerintah Kabupaten Sleman telah mengupayakan kedamaian warga masyarakatnya dengan adanya koordinasi di pemerintah bawah, yakni RT, RW dan Dukuh, jadi ketika ada permasalahan antar warga diharapakan ada penyelesaian secara musyawarah dan dengan mufakat. A yaitu Agamis, sebagai warga Indonesia yang mempunyai enam agama resmi, Kabupaten Sleman juga telah mengupayakan rasa tenggang rasa antar umat beragama yang ada di Kabupaten Sleman. Misalnya, jika ada hari raya Imlek, kita mengadakan event perayaan barongsai, banyak pengajian yang diselenggarakan baik untuk kalangan masyarakat maupun di pemerintahan untuk yang beragama Islam. Hal-hal seperti itu menciptakan keharomonisan antar umat beragama.


(5)

(6)