Analisis Kesiapasiagaan Tenaga Gizi dalam Menghadapi Gizi Darurat pada Bencana di Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kesiapsiagaan

Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (UU Penanggulangan Bencana, 2007). Pengelolaan bencana yang efektif memerlukan kombinasi empat konsep, yaitu atas semua bahaya, menyeluruh, terpadu, dan kesiapan masyarakat, pendekatan terpadu pegelolaan bencana efektif memerlukan kerjasama aktif berbagai pihak terkait, artinya semua organisasi dengan tugasnya masing masing bekerjasama dalam pengelolaan bencana.

Menurut Undang Undang No 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana disampaikan bahwa pemerintah melaksanakan kesiapsiagaan penanggulangan bencana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 15 huruf a untuk memastikan terlaksananya tindakan yang cepat dan tepat pada saat terjadi bencana meliputi, penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan bencana. Pengorganisasian, pemasangan dan pengujian sistim peringatan dini. Penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan barang kebutuhan dasar. Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan dan gladi tentang mekanisme tanggap darurat bencana. Penyiapan lokasi evakuasi, penyusunan data akurat, informasi, dan pemukhtakiran prosedur tetap tanggap darurat bencana, dan penyediaan dan penyiapan bahan, barang dan peralatan untuk pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana.


(2)

Kesiapsiagaan adalah upaya yang dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi akan terjadi, kegiatan yang dilakukan antara lain: (a) pengaktifan pos pos siaga bencana dengan segenap pendukungnya, (b). pelatihan siaga/ simulasi/ gladi/ teknis bagi setiap sektor penanggulangan bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum), (c) inventaris sumberdaya pendukung kedaruratan, (d) penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik, (e) penyiapan sistem informasi dan komunikasi terpadu guna mendukung tugas kebencanaan, (f) penyiapan pemasangan instrument sistem peringatan dini (early warning), (g) penyusun rencana kontigensi (contigency

plan), serta (h) mobilisasi sumberdaya dalam hal personil dan prasarana/ sarana

peralatan (Depkes, 2007).

Menurut WHO (1999), kesiapsiagaan adalah program pembangunan kesehatan jangka panjang yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan seluruh potensi sumberdaya wilayah agar dapat menanggulangi masalah kesehatan akibat kedaruratan dan bencana secara efisien dari tahap tanggap darurat sampai rehabilitasi secara berkesinambungan sebagai bagian dari pembangunan kesehatan yang menyeluruh.

Kesiapsiagaan menghadapi bencana yaitu bila upaya pencegahan dan mitigasi sudah dilakukan namun bencana tidak dapat dielakkan untuk terjadi maka perlu


(3)

upaya kesiapsiagaan, peringatan dini, dan beberapa kegiatan tanggap darurat bencana masuk dalam kegiatan kesiapsiagaan (Disaster Risk Reduction Aceh, 2011).

Kesiapsiagaan menurut Kemenkes (2011), upaya yang dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi bencana, dilakukan pada saat bencana sudah mulai teridentifikasi terjadi. Upaya yang dapat dilakukan antara lain adalah, penyusunan rencana kontijensi, simulasi/galdi/pelatihan siaga, penyiapan dukungan sumberdaya, penyiapan sistim informasi dan komunikasi.

Kesiapsiagaan merupakan upaya upaya yang difokuskan kepada pengembangan rencana rencana untuk menghadapi bencana. Ini penting artinya untuk memastikan bahwa tindakan-tindakan yang akan diambil segera setelah terjadi bencana terjadi merupakan tindakan yang cepat, tepat, dan efektif. Tujuan dari usaha kesiapsiagaan dalam bidang kesehatan adalah: (a) meminimalkan jumlah korban. (b) mengurangi penderitaan korban (c) mencegah munculnya masalah kesehatan pasca bencana (d) memudahkan upaya tanggap darurat dan pemulihan cepat (Kepmenkes, 2006).

Upaya kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi bencana. Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi akan terjadi. Upaya upaya yang dapat dilakukan adalah: penyusunan rencana kontinjensi, simulasi/gladi/pelatihan siaga, penyiapan dukungan sumberdaya, dan penyiapan sistem informasi dan komunikasi.


(4)

2.1.1. Parameter Kesiapsiagaan Masyarakat terhadap Bencana

Menurut LIPI – UNESCO/ISDR (2006) terdapat 5 faktor kritis kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana alam, terutama tsunami, yaitu :

(a) pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana, (b) kebijakan dan panduan, (c) rencana untuk keadaan darurat bencana, (d) sistem peringatan bencana dan, (e) kemampuan untuk memobilisasi sumberdaya. Kelima faktor kritis ini kemudian disepakati menjadi parameter dalam assessment framework.

1. Parameter pertama adalah pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana. Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk kesiapsiagaan. Pengalaman bencana tsunami di Banda Aceh dan daerah lain akan memberikan pelajaran bahwa pengetahuan memiliki peran yang sangat penting terutama mengenai bencana alam. Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat memengaruhi sikap dan kepedulian untuk siap dan siaga dalam mengantisipasi bencana terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah yang memiliki resiko bencana.

2. Parameter kedua adalah kebijakan dan panduan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan untuk mengantisipasi kejadian bencana alam. Kebijakan kesiapsiagaan bencana alam sangat penting dan merupakan upaya konkrit untuk melaksanakan kegiatan siaga bencana. Kebijakan yang signifikan berpengaruh terhadap terhadap kesiapsiagaan meliputi pendidikan publik, emergency planing, sistem peringatan bencana, dan mobilisasi sumberdaya, termasuk pendanaan, organisasi pengelola, sumber daya manusia (SDM) dan fasilitas penting untuk kondisi darurat bencana. Kebijakan kebijakan dituangkan dalam berbagai bentuk,


(5)

tetapi akan lebih bermakna apabila dicantumkan secara konkrit dalam peraturan peraturan, seperti Surat Keputusan atau Peraturan Daerah (di Aceh Qanun) yang disertai dengan job description yang jelas. Agar kebijakan dapat diimplementasikan dengan optimal, maka dibutuhkan panduan operasionalnya. 3. Parameter ketiga adalah rencana untuk keadaan darurat bencana alam, rencana

ini menjadi bagian penting dalam kesiapsiagaan terutama berkaitan dengan evakuasi, pertolongan dan penyelamatan, agar korban bencana dapat diminimalkan. Upaya upaya ini sangat krusial, terutama ada saat terjadi bencana dan hari hari pertama setelah bencana sebelum bantuan dari pemerintah dan pihak luar datang. Pengalaman bencana di Aceh dan Indonesia secara umum menunjukkan bantuan dari pihak luar tidak segera datang, karena rusaknya sarana dan infrastruktur, seperti jalan jembatan dan pelabuhan.

4. Parameter ke empat berkaitan dengan sistim peringatan bencana. Sistim ini meliputi tanda peringatan dan distribusi informasi akan terjadinya bencana. Dengan peringatan bencana ini, masyarakat dapat melakukan tindakan yang tepat untuk mengurangi korban jiwa, harta benda dan kerusakan lingkungan, untuk itu diperlukan latihan dan simulasi apa yang harus dilakukan apabila mendengar peringatan, kemana dan bagaimana harus menyelamatkan diri dalam waktu tertentu, sesuai dengan lokasi dimana masyarakat sedang berada saat terjadi peringatan.

5. Parameter kelima yaitu: mobilisasi sumber daya. Sumberdaya yang tersedia baik sumber daya manusia (SDM) maupun pendanaan dan sarana prasarana


(6)

penting untuk keadaan darurat merupakan potensi yang dapat mendukung atau sebaliknya menjadi kendala dalam kesiapsiagaan bencana alam, karena itu mobilisasi sumberdaya menjadi faktor yang krusial.

2.2. Kemampuan

Kemampuan menurut Spencer adalah karakteristik dasar yang terdiri dari keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge) serta atribut personal lainnya yang mampu membedakan sesorang yang melakukan dan tidak melakukan. Setiap orang mempunyai kekuatan dan kelemahan dalam kemampuan yang membuatnya relatif unggul atau menonjol dibandingkan orang lain dalam melakukan tugas atau kegiatan tertentu. Kemampuan (ability) merujuk kesuatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan (Sedarmayanti,2010).

Kemampuan merupakan kombinasi dari semua kekuatan dan sumberdaya yang ada dalam masyarakat, kelompok atau organisasi yang bisa mengurangi tingkat resiko atau akibat dari bencana. Kajian kemampuan mengidentfikasi kekuatan dan sumberdaya yang ada di tiap individu, rumah tangga dan masyarakat untuk mengatasi, bertahan, mencegah, menyiapkan, mitigasi atau segera pulih setelah bencana. Mengatasi berarti memanfaatkan sumberdaya dalam keadaan yang tidak menguntungkan (BNPB, 2011)

Kemampuan merupakan keadaan adanya atau tersedianya upaya atau tindakan yang dapat mengurangi korban jiwa. Kemampuan adalah upaya atau tindakan yang


(7)

dapat dilakukan seseorang atau masyarakat untuk mengurangi korban jiwa, harta benda atau kerusakan.

Secara sederhana, hubungan antara kejadian bencana, ancaman bahaya

(hazard-H), kerentanan (Vulnerable-V), kapasitas atau kemampuan (capacity-C) dan

risiko bencana (Risk-R) dapat digambarkan sebagai berikut:

Bencana dapat terjadi setiap saat dimana saja. Tiap bencana mengandung ancaman bahaya (hazard). Tiap orang atau masyarakat menjadi lebih rentan terhadap ancaman bahaya bila keadaan fisik, sosial dan ekonominya rentan serta tinggal di daerah rawan bencana. Ancaman bahaya dapat menimbulkan risiko yang tinggi pada manusia atau masyarakat yang rentan saat terjadi bencana. Oleh karena itu untuk mengurangi dampak risiko maka kapasitas atau kemampuan orang atau masyarakat harus ditingkatkan. Kemampuan ditingkatkan, dibuktikan, dan ditunjukkan dengan upaya untuk mengurangi tingkat kerentanan (Disaster Risk Reduction Aceh, 2011).

Kemampuan petugas dalam penanganan gizi pada situasi darurat secara cepat dan tepat sehingga dapat mencegah terjadinya penurunan status gizi pengungsi, diantara kemampuan tersebut dapat dijabarkan menjadi tiga yaitu:

1. Kemampuan petugas di lapangan dalam mengenali dan memecahkan masalah gizi terutama pada bayi, baduta, ibu hamil, dan ibu menyusui pada situasi darurat. 2. Kemampuan petugas di lapangan dalam penyelenggaraan makanan kepada

pengungsi pada situasi darurat khususnya kelompok rawan.

3. Kemampuan petugas di lapangan dalam mengelola bantuan makanan termasuk susu formula (Kemenkes, 2010)


(8)

Dalam manajemen bencana, resiko bencana adalah interaksi antara tingkat kerentanan daerah dengan ancaman bahaya yang ada, tingkat kerentanan daerah dapat dikurangi sehingga kemampuan dalam menghadapi bencana semakin meningkat dengan kata lain menurunkan tingkat kerentanan dan meningkatkan kemampuan, sehingga resiko jika terjadi bencana akan berkurang (Nurjanah, 2012).

Menurut Twigg (2007) dalam rangka pengurangan resiko bencana diperlukan masyarakat yang tahan bencana agar jika terjadi bencana maka masyarakat sudah siap sehingga resiko yang mungkin ditimbulkan dapat diminimalkan. Diketahui bahwa pegurangan resiko bencana adalah pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi, mengkaji, dan mengurang resiko bencana. Ini merupakan upaya pengembangan dan penerapan secara luas dari kebijakan, strategi, kegiatan untuk meminimalkan kerentanan dan resiko bencana di masyarakat dengan tujuan untuk mengurangi kerentanan sosial, ekonomi terhadap bencana dan mengurangi ancaman bahaya lingkungan maupun bahaya lainnya yang menimbulkan kerentanan. Untuk itu masyarakat perlu diberdayakan agar tahan menghadapi bencana, adapun ciri ciri masyarakat yang tahan bencana harus mempunyai:

1. Kemampuan untuk menyerap tekanan yang menghancurkan yang dilakukan melalui perlawanan atau adaptasi.

2. Kemampuan untuk mengelola atau mempertahankan fungsi fungsi dan struktur dasar tertentu selama adanya kejadian yang mendatangkan malapetaka.

3. Kemampuan untuk memulihkan diri setelah kejadian bencana sehingga kehidupan normal dapat pulih kembali seperti semula.


(9)

2.3. Makanan dan Gizi pada Saat Darurat

Upaya penanganan gizi dalam situasi rangkaian kegiatan dimulai sejak sebelum terjadi bencana yang dilakukan melalui pembekalan tentang penanganan gizi dalam situasi darurat kepada tenaga gizi (Depkes,2010).

Kekurangan makanan pada kondisi pasca bencana umumnya terjadi akibat dua sebab. Pertama adalah kerusakan persediaan makanan di daerah yang tertimpa bencana, disertai dengan kehilangan persediaan makanan pribadi sehingga menggurangi ketersediaan atau keterjangkauan makanan secara langsung. Kedua adalah sistim distribusi yang tidak teratur, ikut berperan dalam kekurangan makanan walau sebenarnya kelangkaan total tidak benar benar terjadi. Setelah gempa bumi, kasus kekurangan makanan jarang mencapai tingkatan yang cukup parah yang dapat mengakibatkan malnutrisi. Meluapnya sungai dan gelombang pasang luar biasa yang menyebabkan banjir di pesisir pantai dapat mempengaruhi persediaan makanan dan merusak panen, selain mengganggu distribusinya. Distribusi makanan yang efisien mungkin menjadi kebutuhan kunci dalam jangka pendek tetapi skala besar atau sumbangan makanan jarang dibutuhkan (World Health Organization, 2006)

Ketika beberapa indikator bencana diidentifikasi, perlu langkah-langkah kesiapsiagaan dan darurat, seperti persedian makanan darurat dan staf terlatih untuk mengurangi tingkat kematian, karena kematian pada populasi pengungsi dapat meningkat sepuluh kali lebih tinggi jika dibandingkan pada tingkat kematian untuk populasi yang sama dalam keadaan non-darurat (Johshopkins,2013).


(10)

Tujuan dari bantuan makanan pada tanggap darurat adalah untuk memberikan makanan tepat waktu dalam jumlah yang cukup dengan kualitas makanan yang baik kepada penduduk yang terkena bencana untuk mengurangi risiko kekurangan gizi akut dan mencegah kematian pada kelompok rawan dan pengungsi, sehingga masyarakat, rumah tangga dan individu dapat bertahan dan pulih dari keadaan darurat. Menerapkan bantuan pangan yang memadai pada tahap awal merupakan kombinasi tindakan dengan kesehatan masyarakat sehingga akan mempertahankan status gizi penduduk yang terkena bencana (Johshopkins,2013).

2.4. Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia kesehatan adalah seorang yang bekerja secara aktif di bidang kesehatan baik yang memiki pendidikan formal kesehatan maupun tidak yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan, (DepKes Nomor 066/MenKes/SK/II/2006). Manajemen sumber daya manusia kesehatan adalah serangkaian kegiatan perencanaan dan pendayagunaan tenaga yang bekerja secara aktif di bidang kesehatan dalam melakukan upaya kesehatan. Pada saat terjadi bencana perlu adanya mobilisasi sumber daya manusia kesehatan yang tergabung dalam suatu tim penanggulangan krisis yang meliputi: tim reaksi cepat, tim penilai cepat, tim bantuan kesehatan.

Untuk mengkoordinir kegiatan tersebut maka ditunjuklah kepala Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota sebagai koordinator Tim, ini mengacu kepada


(11)

Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 066 Tahun 2006, dan ahli gizi perannya termasuk kedalam tim bantuan kesehatan.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan Nurul (2010) tentang kesiapsiagaan sumberdaya manusia kesehatan di DKI Jakarta, sebagaian besar sumberdaya manusia kesehatan menyatakan siap siaga dalam menghadapi bencana (68,1%) dan sebanyak 31,9% menyatakan tidak siap dalam menghadapi bencana.

2.5. Kebutuhan Tenaga Ahli Gizi Berdasarkan Jumlah Pengungsi

Kebutuhan ahli gizi dalam tim bantuan kesehatan yang diberangkatkan setelah tim reaksi cepat atau tim RHA kembali dengan laporan hasil kegiatan dilapangan adalah sebagai berikut, jika jumlah pengungsi antara 10.000-20.000 orang dibutuhkan ahli gizi sebanyak 2-4 orang. Dan jikalau jumlah pengungsi 5.000 orang dibutuhkan 1 orang ahli gizi untuk pelayanan 8 jam, dan 1 orang untuk pelayanan 24 jam (Kemenkes RI, 2012).

Kabupaten Aceh besar saat ini memiliki 57 orang ahli gizi yang bisa memberikan pelayanan kegizian, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Kabupaten Aeh Besar saat ini maka mashi terjadi kekurangan sumberdaya tenaga gizi sebanyak 15 orang.

2.6. Standart Profesi Gizi

Profesi gizi adalah suatu pekerjaan di bidang gizi yang dilaksanakan berdasarkan keilmuan (body of knowledge), memiliki kompetensi yang diperoleh


(12)

melalui pendidikan yang berjenjang, memiliki kode etik dan bersifat melayani masyarakat (Standart Profesi Gizi, 2007).

Profesi gizi memiliki ciri ciri yaitu, menekankan pada teknik intelektual dalam melaksanakan layanan. Memerlukan latihan latihan khusus dalam masa relatif panjang. Para anggota mempunyai otonomi yang luas dalam melaksanakan keahlian. Menekankan pada pengabdian daripada keuntungan ekonomi. Mempunyai kode etik yang jelas bagi para anggotanya. Adanya asosiasi atau organisasi profesi. Adanya pengakuan masyarakat sebagai profesi. Adanya perhatian yang profesional terhadap pelaksanaan profesi (adanya sanksi, perlu lisensi, dan sebagainya). Mempunyai hubungan kerja sama dengan profesi lain (Bakri, 2010).

Soekirman dalam Bakri (2010), menyatakan bahwa profesional harus memiliki persyaratan sebagai berikut: (a) berpendidikan, berpengetahuan, dan memiliki keterampilan yang cukup. (b) mempunyai etika yang baik, antara lain jujur, tepat janji, berfalsafah ilmu padi. (c) mempunyai integritas yaitu, memiliki nilai intelektual yang baik, harga diri, dan memiliki kebanggaan serta kepribadian.

(d) mempunyai organisasi, tempat ia bertukar pikiran dan bertukar pengetahuan/ilmu serta mengembangkan diri. (e) memiliki jurnal yang bisa menunjang profesinya.

Sedangkan Tait de Marco (1996), menyatakan bahwa professional harus memenuhi tiga hal yaitu: memiliki pengetahuan, keahlian, dan keterampilan khusus yang tidak dimiliki profesi lain. Memegang teguh nilai- nilai dan prilaku khas untuk profesinya. Memiliki ukuran ukuran standart untuk hal tersebut diatas.


(13)

Selanjutnya Azwar (1994), menjelaskan bahwa profesional mempunyai 4 (empat) ciri sebagai berikut:

1. Body of Knowledge, yaitu memiliki seperangkat pengetahuan sesuai bidang profesi

yang digelutinya.

2. Continuing Education, yaitu senantiasa meningkat kemampuan dan keterampilan

melalui pendidikan berkelanjutan.

3. Altruism, artinya memiliki jiwa pengabdian dan dedikasi, bekerja adalah untuk

bekerja sesuai profesi yang diembannya, tanpa pamrih, apa pun.

4. Ethics, yaitu seperangkat standar/ prinsip-prinsip moral yang menilai,

menyesuaikan, dan mengatur perilaku manusia.

Standar kompetensi gizi adalah standart kemampuan yang menjamin bahwa ahli gizi dan ahli madya dapat menyelenggarakan praktek pelayanan gizi dalam masyarakat. Sedangkan standar pelayanan gizi adalah standar yang mengatur penerapan ilmu gizi dalam memberikan pelayanan dan asuhan gizi dengan pendekatan manajemen kegizian (KepMenKes RI,2008).

Pelayanan gizi adalah suatu upaya memperbaiki atau meningkatkan gizi, makanan, dietetik masyarakat, kelompok individu atau klien yang merupakan suatu rangkaian kegiatan yang meliputi pengumpulan, pengolahan, analisis, kesimpulan, anjuran, implementasi, dan evaluasi gizi, makanan dan dietetik dalam rangka mencapai status kesehatan optimal dalam kondisi sehat atau sakit. Ada beberapa pengertian tentang ahli gizi. Dari berbagai pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ahli gizi adalah profesi khusus, orang yang mengabdikan diri dalam bidang


(14)

gizi serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui suatu pendidikan khususnya bidang gizi. Tugas yang diemban oleh ahli gizi berguna untuk kesejahteraan manusia. Peran ahli gizi diantaranya adalah berpartisipasi bersama tim kesehatan dan tim lintas sektoral (Bakri, 2010).

2.7. Organisasi Profesi Gizi di Indonesia

Saat ini terdapat beberapa organisasi profesi yang berkaitan dengan gizi, antara lain: PERSAGI (Persatuan Ahli Gizi Indonesia), ASDI (Asosiasi Dietesien Indonesia), PERGIZI PANGAN (Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan Indonesia), PDGKI (Persatuan Dokter Gizi Klinik Indonesia), PERNEPARI (Perhimpunan Nutrisi Enteral dan Parenteral Indonesia). Masing masing organisasi profesi tersebut memiliki anggaran dasar/ anggaran rumah tangga serta kode etik masing masing.

PERSAGI didirikan di Jakarta pada Tanggal 13 Januari 1957. Pada saat itu beranggotakan para lulusan SMK Gizi dan Akademi Gizi. Sesuai dengan perkembangannya, organisasi ini telah mengubah sejumlah ketentuan tentang anggotanya, yaitu sebagai anggota biasa memiliki ijazah sekurang kurangnya sarjana muda gizi atau D3 gizi dan sarjana berlatar belakang gizi yang diakui pemerintah.

Sesuai dengan Anggaran Dasar dalam organisasi ini pada pasal 5 PERSAGI

memiliki tujuan untuk: (a) meningkatkan keadaan gizi masyarakat. (b) mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang gizi dan bidang lainnya

yang terkait. (c) membina dan mengembangkan kemampuan profesional anggota. (d) meningkatkan kesejahteraan anggota.


(15)

2.8. Pelayanan Tanggap Darurat Bencana

Pelayanan kesehatan pada saat bencana merupakan faktor yang sangat penting untuk mencegah terjadinya kematian, kecacatan dan kejadian penyakit, karena bencana merupakan suatu kejadian yang tidak diinginkan dan biasanya terjadi secara mendadak serta disertai jatuhnya korban (Rustrini, dkk,2011)

Posko pelayanan kesehatan sangat diperlukan dalam penanganan bencana/ musibah. Hal tersebut dikarenakan pengungsi/masyarakat yang terkena musibah atau bencana rawan terhadap penyakit, baik secara fisik maupun secara psikologi. Oleh karena itu petugas kesehatan yang berhadapan langsung dengan masyarakat harus cepat tanggap mendirikan posko pelayanan.

Salah satu pelayanan yang perlu dilakukan adalah pelayanan gizi pada posko pelayanan bencana. Pada keadaan dimana belum tersedianya fasilitas dan sarana air bersih maka tidak ada salahnya untuk memberikan makanan yang siap saji kepada pengungsi, baik makanan kaleng, susu evaporasi dalam kaleng, buah buahan, roti dan lainnya yang siap santap (Depkes, 2008).

2.8.1. Pengawasan Makanan (Fisik, Kimia dan Bakteriologi)

Makanan yang diberikan kepada pengungsi tidak jarang bantuan dari dermawan, baik makanan siap santap, maupun bahan makanan mentah atau yang perlu pengolahan. Oleh karena itu petugas kesehatan yang berada diposko harus memperhatikan makanan-makanan bantuan baik siap santap. Adapun yang perlu diperhatikan adalah: tanggal kadaluarsa, basi/keadaan hampir basi, bentuk makanan apakah masih sesuai dengan makanan normal, dan apakah masyarakat terbiasa


(16)

dengan makanan tersebut, karena dapat mengakibatkan keracunan atau alergi (Kemenkes, 2008).

Lebih baik lagi jika makanan jangan memakai kuah atau makanan kering. Untuk menghindari terjadinya masalah malnutrisi yang berat pada golongan anak dan bayi, khususnya dibawah dua tahun maka dilakukan: memberikan ASI, menciptakan dan mempertahan kondisi yang kondusif, mengontrol dengan ketat distribusi dan penggunaan susu penganti ASI (susu formula), menyiapkan makanan pendamping, mempermudah akses kepada seluruh ibu atau pengasuh bayi berbagai bahan makanan, mengurangi stres mental atau fisik, melindungi kesehatan bayi dan anak, melakukan pencarian terus menerus kepada anak yang kurang gizi, melakukan intervensi secepat mungkin sejak awal kejadian, memantau kejadian secara terus menerus. (Depkes, 2008).

2.8.2. Dapur Umum

Dapur umum harus ditempatkan pada suatu lokasi, lebih disukai jika berada dalam satu bangunan dan di pagar, ruang dapur ditata untuk keperluan, menampung air, pencucian, dan membersihkan makanan, pengadaan awal, penyiapan makanan sebelum disajikan dan pencucian alat alat makan, dan alat masak. Pada umumnya penyelenggaraan dapur umum dapat dilaksanakan didalam ruangan maupun di luar ruangan. Apabila dalam ruangan diperhatikan hal hal berikut: tidak ada kemungkinan kebakaran, lokasi baik, tempat tidak rusak, mempunyai lantai yang kuat, cukup cahaya, cukup persedian air, atau sumber air, ada fasilitas kamar mandi dan jamban, dekat dengan tempat pemberian makanan, dekat dengan jalan (DepKes, 2008).


(17)

Jika diluar ruangan, beberapa hal yang harus diperhatikan: tempatnya datar, kering dan tidak ada binatang kecil, ada pohon pohon sebagai pelindung, dekat dengan tempat pemberian makanan, dekat dengan tempat pembekalan, dekat dengan sumber air, tidak ada benda benda atau logam berbahaya.

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mempersiapkan dapur umum: susun tempat masak sedemikian rupa, tempat makan dibuat beberapa lajur, arah pembagian makanan ditentukan dengan petunjuk, susun alat dapur darurat, hendaknya diatur sedemikian rupa, tempat pencucian hendaknya sesuai dengan urutan kerja (Depkes, 2008).

2.8.3. Penanganan Gizi dalam Situasi Darurat

Penanganan gizi dalam situasi darurat terdiri dari dua tahapan yaitu tahap penyelamatan dan tahap tanggap darurat:

a. Tahap Penyelamatan, tahap penyelamatan terdiri dari dua fase yaitu:

1. Fase pertama, ditandai dengan kondisi sebagai berikut, korban bencana bisa dalam pengungsian atau belum dalam pengungsian, petugas belum sempat mengidentifikasi korban secara lengkap, bantuan pangan sudah mulai berdatangan, adanya penyelenggaraan dapur umum, tenaga gizi mulai terlibat sebagai penyusun menu dan mengawasi penyelenggaraan dapur umum, pemberian makan pada fase ini bertujuan agar pengungsi tidak lapar dan dapat mempertahankan status gizinya (Kemenkes, 2012).

Melakukan pemeriksaan cepat sebagai bagian dari kegiatan Rapid


(18)

pengungsi, Bayi 0-5 bulan, 6-11 bulan, anak 12-24 bulan, anak usia 25-59 bulan, bayi piatu, ibu hamil, ibu menyusui, orang lanjut usia, dan lain lain.

Bayi dan anak dibawah usia dua tahun (Baduta) merupakan kelompok yang paling rawan sehingga memerlukan penanganan gizi secara khusus. Pemberian makanan yang tidak tepat serta kekurangan gizi pada kelompok tersebut dapat meningkatkan risiko kesakitan dan kematian yang lebih tinggi pada situasi darurat (Kemenkes, 2010).

Penelitian di pengungsian menunjukkan bahwa kematian anak balita 2-3 kali lebih besar dibandingkan kematian pada semua kelompok umur. Kematian terbesar terjadi pada kelompok umur 0-6 bulan (WHO, Unicef, 2001). Oleh karena itu dalam situasi darurat penanganan gizi kelompok ini dalam situasi darurat menjadi bagian penting untuk menangani pengungsi secara cepat dan tepat.

2. Fase kedua, kegiatan yang dilakukan meliputi:

Melakukan pengukuran berat badan dan tinggi atau panjang badan balita serta informasi faktor pemburuk (Diare, ISPA, campak, dan malaria) untuk mengetahui besar dan luasnya masalah gizi dan kesehatan yang ada. Besar sampel yang diperlukan ditentukan sebagai berikut: populasi kurang dari 10.000 rumah tangga gunakan sistematik random sampling dengan jumlah sampel minimal 450 balita. Populasi sampai 3000 jiwa seluruh balita diukur. Populasi lebih dari 10.000 rumah tangga, gunakan kluster sampling, yaitu minimum 30 kluster dan tiap kluster minimum 30 balita (Kemenkes, 2012).


(19)

Menentukan klasifikasi kedaruratan sebagai berikut: jika tingkat kedaruratan adalah gawat atau kritis, dilakukan skrining pada semua balita dan bumil dengan melakukan pengukuran LILA, skrining dimaksudkan untuk mengetahui balita kurang gizi buruk serta Bumil KEK.

b. Tahap Tanggap Darurat

Tahap ini dimulai setelah selesai tahap penyelamatan, adapun tujuannya adalah untuk menanggulangi masalah gizi melalui intervensi sesuai tingkat kedaruratan, kegiatan dalam tahap ini meliputi: menghitung prevalensi status gizi balita berdasarkan indeks BB/TB-P dan menganalisis adanya faktor pemburuk seperti kejadian diare, campak, demam berdarah dan lain lain. Informasi tentang prevalensi dari hasil surveilans gizi ini selanjutnya digunakan untuk penentuan jenis intervensi yang sesuai dengan mempertimbangkan pula hasil surveilans penyakit.

Melakukan modifikasi/perbaikan interveni sesuai dengan perubahan tingkat kedaruratan, jika prevalensi balita kurus ≥ 1 5% atau 1 0 -14,9 % dengan faktor pemburuk, maka tindakan yang diperlukan adalah pemberian ransum ditambah PMT darurat kepada semua kelompok rawan khususnya Balita, ibu hamil, dan ibu menyusui (Blanket Supplementary Feeding Program) dengan ketentuan kecukupan gizi. Untuk balita gizi buruk tingkat berat ditangani sesuai tata laksana gizi buruk. Jika prevalensi Balita kurus 10-14,9 % atau 5-9,9% dengan faktor pemburuk maka tindakan yang perlu dilakukan adalah PMT darurat terbatas (Targeted Supplementary

Feeding Program) hanya kepada balita kurus dan sangat kurus, untuk balita gizi


(20)

balita kurus 5-9,9% atau < 5 % dengan faktor pemburuk maka tindakan yang dilakukan melalui pelayanan kesehatan rutin.

2.9. Domain Prilaku

Prilaku menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2010) adalah merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (ransangan dari luar). Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui proses. Prilaku terbentuk di dalam diri seseorang dari dua faktor utama yakni faktor dari luar seseorang tersebut (eksternal), dan respon merupakan faktor dari dalam diri orang yang bersangkutan (faktor

internal).

Blum (1908) dalam Notoatmdjo (2010), membedakan tiga ranah atau domain prilaku yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Selanjutnya dalam perkembangan berdasarkan pembagian domain oleh Blum ini dikembangkan menjadi tiga tingkat ranah prilaku yaitu:

1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang


(21)

terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu:

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Untuk mengetahui atau mengukur bahwa seseorang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan pertanyaan. b. Memahami (Comprehension)

Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterprestasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan apabila seseorang yang telah memahami objek. Yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain.

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tahap analisis adalah apabila seseorang tersebut telah mampu untuk membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut.


(22)

e. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam hubungan logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi formulasi yang telah ada, misalnya dapat meringkas dengan kata kata atau kalimat sendiri tentang hal hal yang telah dibaca atau didengar, dapat membuat kesimpulan tentang artikel yang telah dibaca.

f. Evaluasi (Evaluasi)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilai ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma norma yang berlaku di masyarakat.

Pengetahuan selalu dijadikan sebagai awal dari sebuah tindakan dan kesadaran seseorang sehingga dengan kapasitas pengetahuan yang dimilikinya bisa menjadi dasar dari tindakan seseorang (Nugroho,2007).

2. Sikap

Sikap adalah juga respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang tidak senang, setuju tidak setuju, baik tidak baik dan sebagainya). Campbell dalam Notatmodjo (2003) mendefenisikan secara sederhana yakni sikap itu suatu


(23)

sindroma atau kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek, sehingga sikap tersebut melibatkan pikiran, perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan lainnya. Menurut Allport dalam Nooadmodjo (2010) sikap itu terdiri atas tiga komponen pokok yaitu:

1. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek terhadap. Artinya, bagaimana keyakinan dan pendapatan atau pemikiran seseorang terhadap objek.

2. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana penilaian (terkandung didalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap objek. 3. Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap adalah

merupakan komponen yang mendahului tindakan atau prilaku terbuka. Sikap adalah ancang ancang untuk bertindak atau berprilaku terbuka (tindakan). Ketiga komponen tersebut secara bersama sama membentuk sikap yang utuh

(total attitude). Dalam menentukan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,

keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkat tingkat berdasarkan intesitasnya, sebagai berikut:

1. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan objek.

2. Menanggapi (Responding)

Menangapi disini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.


(24)

3. Menghargai (Valuing)

Menghargai diartikan subjek, atau seseorang memberikan nilai positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti, membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespons.

4. Bertanggung Jawab (Responsible)

Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang diyakininya. Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya dia harus berani mengambil resiko bila ada orang lain mencemoohkan atau ada resiko lain.

3. Keterampilan atau Praktik (Practice)

Seperti telah disebutkan bahwa sikap adalah kecendrungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk mewujudkan tindakan perlu faktor lain, yaitu antara lain adanya fasilitas atau sarana prasarana. Praktik atau tindakan ini dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu:

a. Praktik Terpimpin (Guided Response)

Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan.

b. Praktik secara Mekanisme (Mechanism)

Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis.


(25)

c. Adopsi (Adoption)

Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja akan tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau prilaku yang berkwalitas.

Kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana yang dilakukan oleh LIPI-UNESCO/ISDR (2006) ditiga kabupaten meliputi Kabupaten Aceh Besar, Kota Padang, dan Kota Bengkulu yang mengkaji pengetahuan dan sikap, dimana masyaraat Kabupaten Aceh Besar dinilai kurang siap siaga bila dibandingkan Kota Padang namun sama dengan Kota Bengkulu. Untuk pengetahuan mengenai bencana ketiga kabupaten ini relatif bagus, dan untuk kemampuan memobilisasi sumberdaya yang dinilai kurang mampu adalah Kabupaten Aceh Besar.

Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan hasil dari Survei yang dilakukan (Usman, 2010). Survei ini mengukur pengetahuan dan sikap serta praktek dimana pengetahuan tentang tindakan yang harus diambil sebelum terjadi bencana responden sebagian besar menjawab tidak tahu harus melakukan tindakan apa.

2.10. Pengembangan Manajemen Bencana

Bencana adalah suatu kejadian yang ekstrem dalam lingkungan alam atau manusia yang secara merugikan mempengaruhi kehidupan manusia, harta benda, atau aktivitas sampai pada tingkat yang menimbulkan bencana (UNDP, 1995). Menurut Undang Undang Bencana No 24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam, mengganggu kehidupan dan penghidupan


(26)

masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/ atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga menimbulkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Manajemen bencana adalah upaya sistematis dan komprehensip untuk menanggulangi semua kejadian bencana secara cepat, tepat, dan akurat untuk menekan korban dan kerugian yang ditimbulkan (Ramli, 2010).

Pengembangan suatu sistem manajemen bencana untuk suatu organisasi dapat dilakukan melalui beberapa tahapan atau langkah langkah: Menunjuk koordinator penanggulangan. Identifikasi dan evaluasi potensi bencana. Tentukan langkah pengendalian. Tentukan sumberdaya yang diperlukan. Kembangkan sasaran. Kembangkan prosedur darurat bencana. Lakukan pelatihan. Pelihara dan tingkatkan sistem manajemen bencana.

Kelemahan dari manajemen bencana antara lain: kurangnya dukungan manajemen puncak. Kurangnya keterlibatan dan dukungan pekerja dan masyarakat, kurang atau tidak adanya perencanaan. Kurangnya pelatihan dan pendidikan. Tidak adanya penanggung jawab khusus untuk mengkoordinir sistem tanggap darurat. Sistem tanggap darurat tidak dievaluasi atau disempurnakan secara berkala. Sistem komunikasi dan peringatakan dini tidak memadai. Pekerja tidak dijelaskan tindakan atau langkah apa yang harus dilakukan jika dalam keadaan darurat (Ramli, 2010).

Keinginan yang tinggi untuk menambah wawasan pengetahuan mengenai bencana dan sistim penanggulangan bencana masih menemukan banyak kendala. Kendala yang dihadapi antara lain sulitnya untuk mengakses informasi. Disisi lain


(27)

kegiatan peningkatan kapasitas juga sering dirasakan memiliki peluang yang kecil untuk diperoleh (Nugroho, 2007).

Pengembangan manajemen bencana memang membutuhkan kerja keras dan berkesinambungan. Untuk mencapai keberhasilan dalam menerapkan dan mengembangkan manajemen bencana diperlukan hal sebagai berikut; dukungan manajemen secara penuh dan konsisten yang ditunjukkan secara nyata. Manajemen bencana harus dianggap sebagai program strategis untuk memelihara dan menjaga hasil pembangunan. Peran serta semua pihak, dan ketersediaan sumberdaya yang memadai untuk menangani bencana sesuai dengan kondisi dan sifat masing masing (Ramli,2010)

Kegiatan manajemen bencana merupakan kegiatan yang tidak berdiri sendiri, dan tidak dapat dipisahkankan tetapi terkait dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat dan memerlukan pendekatan yang bersifat multi disiplin serta lintas sektor. Melalui manajemen bencana program dilaksanakan pada masing masing kuadrant, kegiatan antar segmen cendrung ada kaitan, waktu yang dibutuhkan setiap segmen tidak sama dalam setiap kuadrant siklus manajemen bencana, akan tetapi bisa berbeda beda tergantung dari kondisi setiap lokasi dan daerah bencana tersebut (Nurjanah, 2011). Secara jelas siklus manajemen bencana digambarkan sebagai berikut :


(28)

Gambar 2.1. Siklus Manajemen Bencana (Sumber, Nurjanah, 2012)

2.11. Kerangka Teori

Konsep kesiapsiagaan adalah upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Adapun menurut Depkes (2007) tujuan kesiapsigaan di bidang kesehatan adalah (a) meminimalkan jumlah korban, (b) mengurangi penderitaan korban, (c) mencegah munculnya masalah kesehatan pasca trauma, (d) memudahkan upaya tanggap darurat dan pemulihan cepat.

Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk kesiapsiagaan. Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat mempengaruhi sikap dan kepedulian untuk siap dan siaga dalam mengantisipasi bencana terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah yang memiliki resiko bencana. Sikap akan mempengaruhi keterampilan seseorang untuk mau melakukan atau tidak akan sesuatu hal. Sarana prasarana


(29)

penting untuk keadaan darurat merupakan potensi yang dapat mendukung atau sebaliknya menjadi kendala dalam kesiapsiagaan bencana.

2.12. Kerangka Konsep

Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk kesiapsiagaan. Pengalaman bencana akan memberikan pelajaran bahwa pengetahuan memiliki peran yang sangat penting terutama mengenai bencana alam. Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat mempengaruhi sikap dan kepedulian untuk siap dan siaga dalam menghadapi bencana dalam hal ini lebih diarahkan pada kesiapsiagaan yang berkaitan dengan keadaan gizi darurat serta terampil dalam mengantisipasi bencana terutama bagi tenaga gizi yang tinggal di wilayah yang memiliki resiko bencana yang tinggi. Untuk jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Ini merupakan salah satu unsur dari kesiapsiagaan agar pada saat terjadinya masa tanggap darurat dapat dilaksanakan tindakan yang tepat dengan baik berkenaan dengan gizi darurat. Selain dari itu juga perlu adanya dukungan dari berbagai pihak yang memengaruhi kesiapsiagaan tenaga gizi antara lain adalah Dinas Kesehatan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan juga organisasi profesi gizi.

Kesiapsiagaan Tenaga Gizi Pengetahuan

Sikap

Keterampilan (Berkaitan dengan Gizi Darurat)


(1)

3. Menghargai (Valuing)

Menghargai diartikan subjek, atau seseorang memberikan nilai positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti, membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespons.

4. Bertanggung Jawab (Responsible)

Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang diyakininya. Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya dia harus berani mengambil resiko bila ada orang lain mencemoohkan atau ada resiko lain.

3. Keterampilan atau Praktik (Practice)

Seperti telah disebutkan bahwa sikap adalah kecendrungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk mewujudkan tindakan perlu faktor lain, yaitu antara lain adanya fasilitas atau sarana prasarana. Praktik atau tindakan ini dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu:

a. Praktik Terpimpin (Guided Response)

Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan.

b. Praktik secara Mekanisme (Mechanism)

Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis.


(2)

c. Adopsi (Adoption)

Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja akan tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau prilaku yang berkwalitas.

Kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana yang dilakukan oleh LIPI-UNESCO/ISDR (2006) ditiga kabupaten meliputi Kabupaten Aceh Besar, Kota Padang, dan Kota Bengkulu yang mengkaji pengetahuan dan sikap, dimana masyaraat Kabupaten Aceh Besar dinilai kurang siap siaga bila dibandingkan Kota Padang namun sama dengan Kota Bengkulu. Untuk pengetahuan mengenai bencana ketiga kabupaten ini relatif bagus, dan untuk kemampuan memobilisasi sumberdaya yang dinilai kurang mampu adalah Kabupaten Aceh Besar.

Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan hasil dari Survei yang dilakukan (Usman, 2010). Survei ini mengukur pengetahuan dan sikap serta praktek dimana pengetahuan tentang tindakan yang harus diambil sebelum terjadi bencana responden sebagian besar menjawab tidak tahu harus melakukan tindakan apa.

2.10. Pengembangan Manajemen Bencana

Bencana adalah suatu kejadian yang ekstrem dalam lingkungan alam atau manusia yang secara merugikan mempengaruhi kehidupan manusia, harta benda, atau aktivitas sampai pada tingkat yang menimbulkan bencana (UNDP, 1995). Menurut Undang Undang Bencana No 24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam, mengganggu kehidupan dan penghidupan


(3)

masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/ atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga menimbulkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Manajemen bencana adalah upaya sistematis dan komprehensip untuk menanggulangi semua kejadian bencana secara cepat, tepat, dan akurat untuk menekan korban dan kerugian yang ditimbulkan (Ramli, 2010).

Pengembangan suatu sistem manajemen bencana untuk suatu organisasi dapat dilakukan melalui beberapa tahapan atau langkah langkah: Menunjuk koordinator penanggulangan. Identifikasi dan evaluasi potensi bencana. Tentukan langkah pengendalian. Tentukan sumberdaya yang diperlukan. Kembangkan sasaran. Kembangkan prosedur darurat bencana. Lakukan pelatihan. Pelihara dan tingkatkan sistem manajemen bencana.

Kelemahan dari manajemen bencana antara lain: kurangnya dukungan manajemen puncak. Kurangnya keterlibatan dan dukungan pekerja dan masyarakat, kurang atau tidak adanya perencanaan. Kurangnya pelatihan dan pendidikan. Tidak adanya penanggung jawab khusus untuk mengkoordinir sistem tanggap darurat. Sistem tanggap darurat tidak dievaluasi atau disempurnakan secara berkala. Sistem komunikasi dan peringatakan dini tidak memadai. Pekerja tidak dijelaskan tindakan atau langkah apa yang harus dilakukan jika dalam keadaan darurat (Ramli, 2010).

Keinginan yang tinggi untuk menambah wawasan pengetahuan mengenai bencana dan sistim penanggulangan bencana masih menemukan banyak kendala. Kendala yang dihadapi antara lain sulitnya untuk mengakses informasi. Disisi lain


(4)

kegiatan peningkatan kapasitas juga sering dirasakan memiliki peluang yang kecil untuk diperoleh (Nugroho, 2007).

Pengembangan manajemen bencana memang membutuhkan kerja keras dan berkesinambungan. Untuk mencapai keberhasilan dalam menerapkan dan mengembangkan manajemen bencana diperlukan hal sebagai berikut; dukungan manajemen secara penuh dan konsisten yang ditunjukkan secara nyata. Manajemen bencana harus dianggap sebagai program strategis untuk memelihara dan menjaga hasil pembangunan. Peran serta semua pihak, dan ketersediaan sumberdaya yang memadai untuk menangani bencana sesuai dengan kondisi dan sifat masing masing (Ramli,2010)

Kegiatan manajemen bencana merupakan kegiatan yang tidak berdiri sendiri, dan tidak dapat dipisahkankan tetapi terkait dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat dan memerlukan pendekatan yang bersifat multi disiplin serta lintas sektor. Melalui manajemen bencana program dilaksanakan pada masing masing kuadrant, kegiatan antar segmen cendrung ada kaitan, waktu yang dibutuhkan setiap segmen tidak sama dalam setiap kuadrant siklus manajemen bencana, akan tetapi bisa berbeda beda tergantung dari kondisi setiap lokasi dan daerah bencana tersebut (Nurjanah, 2011). Secara jelas siklus manajemen bencana digambarkan sebagai berikut :


(5)

Gambar 2.1. Siklus Manajemen Bencana

(Sumber, Nurjanah, 2012)

2.11. Kerangka Teori

Konsep kesiapsiagaan adalah upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Adapun menurut Depkes (2007) tujuan kesiapsigaan di bidang kesehatan adalah (a) meminimalkan jumlah korban, (b) mengurangi penderitaan korban, (c) mencegah munculnya masalah kesehatan pasca trauma, (d) memudahkan upaya tanggap darurat dan pemulihan cepat.

Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk kesiapsiagaan. Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat mempengaruhi sikap dan kepedulian untuk siap dan siaga dalam mengantisipasi bencana terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah yang memiliki resiko bencana. Sikap akan mempengaruhi keterampilan seseorang untuk mau melakukan atau tidak akan sesuatu hal. Sarana prasarana


(6)

penting untuk keadaan darurat merupakan potensi yang dapat mendukung atau sebaliknya menjadi kendala dalam kesiapsiagaan bencana.

2.12. Kerangka Konsep

Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk kesiapsiagaan. Pengalaman bencana akan memberikan pelajaran bahwa pengetahuan memiliki peran yang sangat penting terutama mengenai bencana alam. Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat mempengaruhi sikap dan kepedulian untuk siap dan siaga dalam menghadapi bencana dalam hal ini lebih diarahkan pada kesiapsiagaan yang berkaitan dengan keadaan gizi darurat serta terampil dalam mengantisipasi bencana terutama bagi tenaga gizi yang tinggal di wilayah yang memiliki resiko bencana yang tinggi. Untuk jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Ini merupakan salah satu unsur dari kesiapsiagaan agar pada saat terjadinya masa tanggap darurat dapat dilaksanakan tindakan yang tepat dengan baik berkenaan dengan gizi darurat. Selain dari itu juga perlu adanya dukungan dari berbagai pihak yang memengaruhi kesiapsiagaan tenaga gizi antara lain adalah Dinas Kesehatan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan juga organisasi profesi gizi.

Kesiapsiagaan Tenaga Gizi Pengetahuan

Sikap

Keterampilan (Berkaitan dengan Gizi Darurat)