Analisis Kesiapasiagaan Tenaga Gizi dalam Menghadapi Gizi Darurat pada Bencana di Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013

(1)

ANALISIS KESIAPSIAGAAN TENAGA GIZI DALAM MENGHADAPI GIZI DARURAT PADA BENCANA

DI KABUPATEN ACEH BESAR

TESIS

Oleh ROSI NOVITA 117032118/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ANALISIS KESIAPSIAGAAN TENAGA GIZI DALAM MENGHADAPI GIZI DARURAT PADA BENCANA

DI KABUPATEN ACEH BESAR

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh ROSI NOVITA 117032118/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

(4)

Telah Diuji

pada Tanggal : 04 Pebruari 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si Anggota : 1. Siti Khadijah Nasution, S.K.M, M.Kes

2. dr. Heldy BZ, M.P.H 3. dr. Arifin Siregar, M.Si


(5)

PERNYATAAN

ANALISIS KESIAPSIAGAAN TENAGA GIZI DALAM MENGHADAPI GIZI DARURAT PADA BENCANA

DI KABUPATEN ACEH BESAR

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, April 2014

Rosi Novita 117032118/IKM


(6)

ABSTRAK

Kesiapsiagaan adalah program pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan seluruh potensi sumberdaya di wilayah agar dapat menanggulangi masalah kesehatan akibat kedaruratan dan bencana secara efisien dari tahap tanggap darurat sampai rehabilitasi secara berkesinambungan sebagai bagian dari pembangunan kesehatan yang menyeluruh. Kesiapsiagaan akan membawa manusia didaerah rawan bencana pada tataran kesiapan atau kesiapsiagaan yang lebih baik dalam menghadapi bencana.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesiapsiagaan tenaga gizi menghadapi gizi darurat pada bencana di Kabupaten Aceh Besar dengan metode penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif, untuk menggambarkan tingkat pengetahuan, sikap dan keterampilan tenaga gizi sebagai bentuk kesiapsiagaan dalam menghadapi gizi darurat pada bencana, selain itu untuk menjelaskan masalah masalah yang mendalam berkaitan dengan kesiapsiagaan tenaga gizi dalam menghadapi gizi darurat juga dilakukan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam untuk mendukung data kuantitatif.

Dari hasil penelitian diperoleh pengetahuan tenaga gizi di Kabupaten Aceh Besar sebanyak 54,90% memiliki pengetahuan yang baik. Tenaga gizi di Kabupaten Aceh Besar memiliki sikap positif sebanyak 74,51%. Keterampilan tenaga gizi diperoleh sebanyak 25,49% yang terampil. Kesiapsiagaan tenaga gizi diperoleh sebanyak 37,25% tenaga gizi siap siaga dan 62,74% tenaga gizi kurang siap siaga. Dari wawancara mendalam juga diperoleh bahwa tenaga gizi belum pernah dilibatkan dalam kegiatan penanggulangan bencana. Koordinasi yang dilakukan selama ini masih kurang baik, pedoman gizi darurat belum dimiliki oleh tenaga gizi kecuali yang bertugas di Dinas Kesehatan, sosialisasi belum pernah diikuti, pelatihan gizi darurat belum pernah diikuti dan belum pernah diadakan simulasi bencana.

Kesimpulan penelitian ini, tenaga gizi di Kabupaten Aceh Besar masih perlu meningkatkan kesiapsiagaannya. Dukungan dan kesempatan tenaga gizi untuk meningkatkan kesiapsiagaan masih kurang. Oleh karena itu tenaga gizi perlu terus meningkatkan kemampuan dalam memberikan pelayanan gizi darurat serta perlu mendapat dukungan dari instansi terkait dalam meningkatkan kesiapsiagaan tenaga gizi, termasuk mulai dilibatkannya tenaga gizi dalam kegiatan penanggulangan bencana.

Kata Kunci : Kesiapsiagaan, Gizi Darurat, Bencana


(7)

ABSTRACT

Preparedness and complete alertness is development program which is aimed to increase the capacity and capability of all potential resources in regional level to handle health problems efficiently as the result of emergency and disaster from immediate responsiveness to sustainable rehabilitation as a part of complete health development. Preparedness and complete alertness will lead people who are subject to disaster area on to the level of good preparedness or complete alertness in facing disaster.

The objective of the research was to analyze the preparedness and complete alertness of nutrition care providers in facing emergency nutrition in disaster which occurred in Aceh Besar District, using descriptive quantitative method to describe the level of knowledge, attitude, and skill of nutrition care providers, in the form of preparedness and complete alertness, in facing emergency nutrition in the disaster area and to explain serious problems related to the preparedness and complete alertness of nutrition care providers in facing emergency nutrition, using qualitative approach and in-depth interviews to support the quantitative data.

The result of the research showed that nutrition care providers (54.90%) in Aceh Besar District had good knowledge. nutrition care providers (74.51%) had positive attitude. Nutrition care providers (25.49%) were skillful. Nutrition care providers (37.25%) were in preparedness and complete alertness, and them (62.74%) were not in preparedness and complete alertness. The result of the in-depth interviews showed that nutrition care providers were never asked to get involved in the activity of disaster response; coordination was bad; nutrition care providers did not have any guidance for emergency nutrition, except those who were in duty in the Health Office; they were never asked to participate in counseling and training about emergency nutrition; and there was no disaster simulation.

The conclusion of the research was that nutrition care providers in Aceh Besar District still need to improve their preparedness and complete alertness. There was lack of support and opportunity for nutrition care providers; therefore, they have to improve their capability in providing emergency nutrition, and the agency concerned needs to support them to improve their preparedness and complete alertness by involving them in the disaster response activities.


(8)

KATA PENGANTAR

Selayaknya hamba, bersyukur kepada Allah SWT adalah suatu keharusan, atas helaan nafas, nikmat yang tak terhitung, diantara setiap ruas tubuh dan sendi kehidupan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Analisis Kesiapasiagaan Tenaga Gizi dalam Menghadapi Gizi Darurat pada Bencana di Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013”. Selayaknya umat maka shalawat beriring salam pantas disanjungsajikan bagi junjungan Rasululllah SAW.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan tesis ini sangat banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itulah dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DMT&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M,Si. dan Siti Khadijah Nasution, S.K.M, M.Kes. sebagai pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan selama penulis melakukan penelitian ini.


(9)

5. dr. Heldy BZ, M.P.H. dan dr. Arifin Siregar, M.Si. selaku anggota tim penguji yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan guna penyempurnaan tesis ini.

6. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar beserta jajarannya yang telah memberikan izin melakukan penelitian sehingga tesis ini dapat diselesaikan

7. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Aceh Besar beserta jajarannya yang telah memberikan izin melakukan penelitian sehingga tesis ini dapat diselesaikan

8. Ketua Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Ahli Gizi Kabupaten Aceh Besar yang telah memberikan izin melakukan penelitian sehingga tesis ini dapat diselesaikan 9. Seluruh pengajar dan staf Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat.

10.Seluruh responden dan informan yang telah meluangkan waktu untuk diwawancarai selama penelitian ini.

11.Ayahanda (Alm) Razali Husin dan ibunda Selly Halidar atas segenap kasih sayang pengorbanan dan doa tulusnya.

12.Teristimewa untuk suamiku Erwandi Usman atas segenap cinta, pengertian, dorongan dan dukungan yang tak ternilai. Dan tiga permata jiwa Muhammad Ghufran Syafiq, Mahira Dhiya Ul’Haq dan Princess Musyafa Erwandi atas setiap tetesan air mata dan doa untuk perjuangan ummi.


(10)

13.Adikku Rosa dan suami serta Ghina Telly dan Gibran Tello-ummi atas bantuan luar biasa.

14.Seluruh rekan rekan seperjuangan

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itulah kritik membangun dan saran positif sangat penulis harapkan, akhirnya penulis menyerahkan semua kepada pemilik hidup dan kematian Allah SWT untuk memohon Ridha-Nya, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi dunia gizi, kesehatan dan kebencanaan, Amin.

Medan, April 2014 Penulis

Rosi Novita 117032118/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangse pada tanggal 3 November 1979 dan diberi nama Rosi Novita, beragama Islam, putri pertama dari dua bersaudara pasangan suami istri (Alm) Razali Husin dan Selly Halidar.

Pendidikan formal penulis dimulai dari Taman Kanak Kanak Aisyah Sigli dan selesai tahun 1987, selanjutnya menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Muhammadyah Sigli sampai kelas 4 dan melanjutkan di SD Negeri No 8 Tapaktuan tamat tahun 1993, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri No.1 Tapaktuan dan tamat tahun 1994. Kemudian menjadi siswa di Sekolah Menengah Umum Negeri No.1 Tapaktuan dan selesai pada tahun 1997. Menjadi mahasiswa Akademi Gizi Departemen Kesehatan Banda Aceh dan selesai pada tahun 2001, kemudian menjadi mahasiswa alih jenjang pada Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dan selesai pada tahun 2003.

Pada tahun 2006 sampai sekarang penulis bekerja di Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes RI Aceh di Banda Aceh, dan pada Tahun 2011 berkesempatan melanjutkan studi dengan tugas belajar pada program studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat peminatan Manajemen Kesehatan Bencana.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Kesiapsiagaan ... 9

2.1.1. Parameter Kesiapsiagaan Masyarakat terhadap Bencana... 12

2.2. Kemampuan ... 14

2.3. Makanan dan Gizi pada Saat Darurat... 17

2.4. Sumber Daya Manusia ... 18

2.5. Kebutuhan Tenaga Ahli Gizi berdasarkan Jumlah Pengungsi ... 19

2.6. Standart Profesi Gizi ... 19

2.7. Organisasi Profesi Gizi di Indonesia ... 22

2.8. Pelayanan Tanggap Darurat Bencana ... 23

2.8.1. Pengawasan Makanan ... 23

2.8.2. Dapur Umum ... 24

2.8.3. Penanganan Gizi Dalam Situasi Darurat ... 25

2.9. Domain Perilaku... 28

2.10. Pengembangan Manajemen Bencana ... 33

2.11. Kerangka Teori ... 36

2.12. Kerangka Konsep ... 37

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 38

3.1. Jenis Penelitian ... 38

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38


(13)

3.2.2. Waktu Penelitian ... 38

3.3. Populasi dan Sampel ... 39

3.3.1. Populasi ... 39

3.3.2. Sampel ... 39

3.3.3. Pemilihan Informan Penelitian ... 39

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 40

3.4.1. Data Primer ... 40

3.4.2. Data Sekunder ... 40

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 41

3.6 Metode Pengukuran ... 41

3.7. Metode Analisis Data ... 43

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 45

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 45

4.2. Karakteristik Responden ... 48

4.3. Distribusi Pelatihan Peningkatan Kemampuan dalam Pelayanan Gizi Darurat ... 49

4.4. Pengetahuan ... 50

4.5. Sikap ... 52

4.6 Keterampilan ... 54

4.7. Kesiapsiagaan ... 56

4.8. Karakteristik Informan ... 57

4.9. Hasil Wawancara dengan Informan Mengenai Peran Tenaga Gizi dalam Penanggulangan Bencana ... 57

4.10. Hasil Wawancara dengan Informan Mengenai Koordinasi dalam Penanggulangan Bencana ... 59

4.11.Hasil Wawancara dengan Informan Mengenai Pedoman Gizi Darurat... 60

4.12. Hasil Wawancara dengan Informan Mengenai Sosialisasi Kebencanaan dan Gizi Darurat dalam penanggulangan Bencana ... 61

4.13. Hasil Wawancara dengan Informan Mengenai Pelatihan Tenaga Gizi Untuk Meningkatkan Kapasitas dalam Penanggulangahn Bencana... 62

4.14. Hasil Wawancara dengan Informan Mengenai Simulasi Bencana ... 64

BAB 5. PEMBAHASAN ... 66

5.1. Pengetahuan Tenaga Gizi dalam Memberikan Pelayanan Gizi Darurat ... 66


(14)

5.3. Keterampilan Tenaga Gizi dalam Memberikan Pelayanan Gizi

Darurat ... 70

5.4. KesiapsiagaanTenaga Gizi ... 73

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 95

6.1. Kesimpulan ... 95

6.2. Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 98 LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman 3.1. Variabel, Jumlah Pertanyaan, Kategori, Skor, dan Kesiapsiagaan 42 4.1. Distribusi Potensi Bencana Menurut Kecamatan di Kabupaten

Aceh Besar ... 46 4.2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Tenaga Gizi di Kabupaten

Aceh Besar ... 49 4.3. Distribusi Frekuensi Pelatihan yang berkaitan dengan

Peningkatan Kemampuan dalam Pelayanan Gizi Darurat ... 50 4.4. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Tenaga Gizi tentang

Pelayanan Gizi Darurat Tahun 2013 ... 51 4.5. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Tenaga Gizi tentang

Pelayanan Gizi Darurat Tahun 2013 ... 52 4.6. Distribusi Frekuensi Sikap Tenaga Gizi dalam Menghadapi

Pelayanan Gizi Darurat pada Bencana di Kabupaten Aceh

Besar ... 52 4.7. Distribusi Frekuensi Sikap Tenaga Gizi terhadap Pelayanan Gizi

Darurat Distribusi Frekuensi Kesiapsiagaan Tenaga Gizi

Berdasarkan Sikap Tenaga Gizi ... 54 4.8. Distribusi Frekuensi Keterampilan Tenaga Gizi Berkaitan

dengan Gizi Darurat ... 55 4.9. Distribusi Frekuensi Keterampilan Tenaga Gizi dalam

Menghadapi Gizi Darurat pada Bencana di Kabupaten Aceh

Besar ... 56 4.10. Distribusi Frekuensi Kesiapsiagaan Tenaga Gizi dalam

Menghadapi Gizi Darurat pada Bencana di Kabupaten Aceh


(16)

4.11. Karakteristik Informan dalam Menganalisis Kesiapsiagaan Tenaga Gizi dalam Menghadapai Gizi Darurat pada Bencana di

Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013 ... 57 4.12. Matriks Peran Tenaga Gizi dalam Penanggulangan Bencana di

Kabupatean Aceh Besar Tahun 2013 ... 58 4.13. Matriks Koordinasi dalam Penanggulangan Bencana di

Kabupatean Aceh Besar Tahun 2013 ... 59 4.14. Matriks Pedoman Pelayanan Gizi Darurat dalam

Penanggulangan Bencana di Kabupatean Aceh Besar Tahun

2013 ... 60 4.15. Matriks Sosialisasi Kebencanaan dan Gizi Darurat dalam

Penanggulangan Bencana di Kabupatean Aceh Besar Tahun

2013 ... 62 4.16. Matriks Pelatihan Tenaga Gizi dalam Penanggulangan Bencana

di Kabupatean Aceh Besar Tahun 2013 ... 63 4.17. Matriks Simulasi dalam Penanggulangan Bencana di


(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman 2.1. Siklus Manajemen Bencana ... 36 2.2. Kerangka Konsep Penelitian ... 37


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman 1. Transkrip Wawancara Mendalam ... 102 2. Pedoman Wawancara Mendalam ... 119 3. Kuesioner Penelitian Analisis Kesiapsiagaan dalam Menghadapi

Gizi Darurat pada Bencana di Kabupaten Aceh Besar ... 123 4. Hasil Wawancara Mendalam dengan Informan ... 130 5. Lampiran Struktur Organisasi Badan Penanggulangan Bencana

Daerah (BPBD) Kabupaten Aceh Besar ... 149 6. Surat Izin Penelitian dari FKM USU ... 150 7. Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian dari BPBD

Kabupaten Aceh Besar ... 151 8. Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian dari Dinas

Kesehatan Kabupaten Aceh Besar ... 152 9. Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian dari DPD


(19)

ABSTRAK

Kesiapsiagaan adalah program pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan seluruh potensi sumberdaya di wilayah agar dapat menanggulangi masalah kesehatan akibat kedaruratan dan bencana secara efisien dari tahap tanggap darurat sampai rehabilitasi secara berkesinambungan sebagai bagian dari pembangunan kesehatan yang menyeluruh. Kesiapsiagaan akan membawa manusia didaerah rawan bencana pada tataran kesiapan atau kesiapsiagaan yang lebih baik dalam menghadapi bencana.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesiapsiagaan tenaga gizi menghadapi gizi darurat pada bencana di Kabupaten Aceh Besar dengan metode penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif, untuk menggambarkan tingkat pengetahuan, sikap dan keterampilan tenaga gizi sebagai bentuk kesiapsiagaan dalam menghadapi gizi darurat pada bencana, selain itu untuk menjelaskan masalah masalah yang mendalam berkaitan dengan kesiapsiagaan tenaga gizi dalam menghadapi gizi darurat juga dilakukan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam untuk mendukung data kuantitatif.

Dari hasil penelitian diperoleh pengetahuan tenaga gizi di Kabupaten Aceh Besar sebanyak 54,90% memiliki pengetahuan yang baik. Tenaga gizi di Kabupaten Aceh Besar memiliki sikap positif sebanyak 74,51%. Keterampilan tenaga gizi diperoleh sebanyak 25,49% yang terampil. Kesiapsiagaan tenaga gizi diperoleh sebanyak 37,25% tenaga gizi siap siaga dan 62,74% tenaga gizi kurang siap siaga. Dari wawancara mendalam juga diperoleh bahwa tenaga gizi belum pernah dilibatkan dalam kegiatan penanggulangan bencana. Koordinasi yang dilakukan selama ini masih kurang baik, pedoman gizi darurat belum dimiliki oleh tenaga gizi kecuali yang bertugas di Dinas Kesehatan, sosialisasi belum pernah diikuti, pelatihan gizi darurat belum pernah diikuti dan belum pernah diadakan simulasi bencana.

Kesimpulan penelitian ini, tenaga gizi di Kabupaten Aceh Besar masih perlu meningkatkan kesiapsiagaannya. Dukungan dan kesempatan tenaga gizi untuk meningkatkan kesiapsiagaan masih kurang. Oleh karena itu tenaga gizi perlu terus meningkatkan kemampuan dalam memberikan pelayanan gizi darurat serta perlu mendapat dukungan dari instansi terkait dalam meningkatkan kesiapsiagaan tenaga gizi, termasuk mulai dilibatkannya tenaga gizi dalam kegiatan penanggulangan bencana.

Kata Kunci : Kesiapsiagaan, Gizi Darurat, Bencana


(20)

ABSTRACT

Preparedness and complete alertness is development program which is aimed to increase the capacity and capability of all potential resources in regional level to handle health problems efficiently as the result of emergency and disaster from immediate responsiveness to sustainable rehabilitation as a part of complete health development. Preparedness and complete alertness will lead people who are subject to disaster area on to the level of good preparedness or complete alertness in facing disaster.

The objective of the research was to analyze the preparedness and complete alertness of nutrition care providers in facing emergency nutrition in disaster which occurred in Aceh Besar District, using descriptive quantitative method to describe the level of knowledge, attitude, and skill of nutrition care providers, in the form of preparedness and complete alertness, in facing emergency nutrition in the disaster area and to explain serious problems related to the preparedness and complete alertness of nutrition care providers in facing emergency nutrition, using qualitative approach and in-depth interviews to support the quantitative data.

The result of the research showed that nutrition care providers (54.90%) in Aceh Besar District had good knowledge. nutrition care providers (74.51%) had positive attitude. Nutrition care providers (25.49%) were skillful. Nutrition care providers (37.25%) were in preparedness and complete alertness, and them (62.74%) were not in preparedness and complete alertness. The result of the in-depth interviews showed that nutrition care providers were never asked to get involved in the activity of disaster response; coordination was bad; nutrition care providers did not have any guidance for emergency nutrition, except those who were in duty in the Health Office; they were never asked to participate in counseling and training about emergency nutrition; and there was no disaster simulation.

The conclusion of the research was that nutrition care providers in Aceh Besar District still need to improve their preparedness and complete alertness. There was lack of support and opportunity for nutrition care providers; therefore, they have to improve their capability in providing emergency nutrition, and the agency concerned needs to support them to improve their preparedness and complete alertness by involving them in the disaster response activities.


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan bencana, baik yang disebabkan kejadian alam seperi gempa bumi, tsunami, tanah longsor, letusan gunung berapi, banjir, angin puting beliung dan kekeringan, maupun yang disebabkan oleh ulah manusia dalam pengolahan sumberdaya dan lingkungan serta konflik antar kelompok masyarakat (Depkes, RI, 2006).

Penyelenggaraan penanggulangan bencana bertujuan untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, resiko, dan dampak bencana. Penyelenggaraan bencana meliputi tahap prabencana, saat tanggap darurat dan pasca bencana (UU, Penanggulangan Bencana, No 24 Tahun 2007).

Semula penanggulangan bencana lebih ditekankan kepada bantuan kemanusiaan dan pertolongan darurat. Saat ini penanggulangan bencana juga dilakukan melalui pengurangan resiko bencana, disamping tetap memberikan bantuan kemanusiaan dan pertolongan darurat saat terjadi bencana, dilakukan juga upaya upaya penting untuk pengurangan resiko bencana dalam jangka panjang yang diintegrasikan dalam program pembangunan. Ini adalah cara yang lebih efektif untuk menyelamatkan nyawa manusia dan mengurangi kerugian akibat bencana. Perubahan


(22)

ini disebut perubahan pola pikir dalam penanganan bencana, yang semula bersifat menunggu sampai terjadi bencana baru bertindak memberi bantuan kemanusian dan pertolongan darurat, berubah menjadi bersifat pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan menghadapi bencana (Disaster Risk Reduction Aceh, 2011).

Hal ini juga sejalan dengan kerangka kerja aksi Hyogo 2005-2015, membangun ketahanan bangsa dan masyarakat terhadap bencana yang merumuskan tiga hal yang perlu diperhatikan : (1) menginterasikan pengurangan resiko bencana kesetiap kebijakan dan perencanaan pembangunan berkelanjutan, (2) membangun dan memperkuat kelembagaan, mekanisme, dan kemampuan dalam ketahanan menghadapi bencana, (3) memasukkan pendekatan pengurangan resiko bencana secara sitematik dalam pelaksanaan kesiapsiagaan menghadapi bencana, tanggap darurat, dan pemulihan serta rehabilitasi bagi masyarakat yang terkena bencana (Nurjanah, 2011).

Kesiapsiagaan adalah program pembangunan jangka panjang yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan seluruh potensi sumberdaya di wilayah agar dapat menanggulangi masalah kesehatan akibat kedaruratan dan bencana secara efisien dari tahap tanggap darurat sampai rehabilitasi secara berkesinambungan sebagai bagian dari pembangunan kesehatan yang menyeluruh (World Health Organization, 2009).

Kesiapsiagaan adalah tindakan untuk meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang diperlukan agar berada dalam keadaan siap untuk merespon jika terjadi bencana (Depkes, 2005).


(23)

Kejadian bencana umumnya berdampak merugikan. Rusaknya sarana dan prasarana fisik (perumahan penduduk, bangunan perkantoran, sekolah, tempat ibadah, sarana jalan, jembatan dan lain lain) hanyalah sebagian kecil dari dampak bencana disamping masalah kesehatan seperti korban luka, penyakit menular tertentu, menurunnya status gizi masyarakat, stres pasca trauma, dan masalah psikososial lainnya, bahkan korban jiwa. Bencana dapat pula mengakibatkan terjadinya arus pengungsian penduduk ke lokasi lokasi yangg dianggap aman. Hal ini tentu menimbulkan masalah kesehatan baru diwilayah yang menjadi tempat penampungan pengungsi, mulai dari munculnya kasus penyakit dan masalah gizi serta masalah reproduksi hingga masalah penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, penyediaan air bersih, sanitasi serta menurunnya kualitas kesehatan lingkungan (Depkes RI, 2006).

Penanggulangan krisis akibat bencana merupakan serangkaian kegiatan bidang kesehatan untuk mencegah, menjinakkan (mitigasi) ancaman/bahaya yang berdampak pada aspek kesehatan masyarakat, mensiapsiagakan sumberdaya kesehatan, menanggapi kedaruratan kesehatan, memulihkan (rehabilitasi) serta membangun kembali (rekonstruksi) infrastruktur kesehataan yang rusak akibat bencana secara lintas program dan lintas sektor (Kemenkes RI, 2011).

Salah satu kendala yang sering dijumpai dalam upaya penanggulangan krisis di daerah bencana adalah kurangnya SDM (Sumber Daya Manusia) kesehatan yang dapat difungsikan dalam penanggulangan krisis akibat bencana yang terjadi. Kekurangan tenaga tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain keadaan tenaga sebelum bencana memang sudah terbatas baik dari segi jumlah dan jenisnya


(24)

atau adanya tenaga kesehatan yang menjadi korban pada saat terjadi bencana (Kemenkes RI, 2011).

Dikatakan bahwa kunci utama penanganan bencana terdapat pada pendidikan kepada penduduk, namun demikian yang penting adalah siapakah yang akan melaksanakan pendidikan kepada penduduk. Tingkat spesialis mereka pun berbeda beda seperti kelompok yang memiliki kompetensi tertentu yang bermanfaat pada saat pelaksanaan penanggulangan bencana, tenaga ahli untuk manajemen kehidupan di tempat pengungsian, tenaga ahli untuk keamanan dan informasi, bagaimana pun juga yang penting adalah bukan membina SDM khusus untuk bencana akan tetapi pelatihan yang berkelanjutan supaya SDM yang biasanya menangani fungsi tersebut pada saat normal bisa menerapkan fungsi tersebut pada saat normal bisa menerapkan fungsi tersebut pada saat darurat (Keperawatan Bencana, 2007)

Keberhasilan penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana ditentukan oleh kesiapan masing masing unit kesehatan yang terlibat, manajemen penanganan bencana serta kegiatan pokok seperti penanganan korban massal, pelayanan kesehatan dasar di pengungsian, penanggulangan dan pengendalian penyakit, penyediaan air bersih dan sanitasi, penanganan gizi darurat, penanganan kesehatan jiwa, serta pengelolaan logistik dan perbekalan kesehatan (Kemenkes, 2011).

Berdasarkan hasil pemantauan Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana, Kementerian Kesehatan (2011), selama tahun 2006 sampai 2009 telah terjadi ekskalasi kejadian maupun jumlah korban akibat bencana. Kejadian bencana tercatat meningkat dari 162 kali (2006), 205 kali (2007), dari 271 kali


(25)

(2009). Jumlah korban yang meninggal, hilang luka berat dan ringan tercatat 298.550 orang (2006), 353.885 orang (2007), dan 57.753 orang (2009).

Dampak kerugian akibat bencana secara fisik umumnya adalah rusaknya berbagai sarana dan prasarana fisik seperti pemukiman, bangunan fasilitas pelayanan umum, dan sarana transportasi. Namun demikian, dampak yang lebih mendasar adalah timbulnya permasalahan kesehatan dan gizi pada kelompok masyarakat korban bencana akibat rusaknya sarana pelayanan kesehatan, terputusnya jalur ditribusi pangan, rusaknya sarana air bersih dan sanitasi lingkungan yang buruk.

Masalah gizi yang biasa timbul adalah kurang gizi pada bayi dan anak yang berumur dibawah dua tahun (Baduta), bayi tidak mendapatkan air susu ibu karena terpisah dari ibunya, dan semakin memburuknya status gizi kelompok masyarakat yang sebelum bencana memang dalam kondisi bermasalah. Kondisi ini diperburuk dengan bantuan makanan yang sering terlambat, tidak berkesinambungan, serta terbatasnya ketersediaan pangan lokal (Kemenkes, 2010).

Masalah lain yang sering muncul adalah bantuan pangan dari dan luar negeri yang mendekati atau melewati masa kadaluarsa tidak disertai label halal dan melimpahnya bantuan susu formula dan botol susu. Masalah tersebut diperburuk dengan kurangnya pengetahuan dalam penyiapan makanan buatan lokal khusus untuk bayi.

Dalam pelaksanaan, upaya penanganan gizi dalam situasi darurat merupakan rangkaian kegiatan dimulai sejak sebelum terjadinya bencana melalui pembekalan tentang penanganan gizi dalam situasi darurat kepada tenaga gizi yang terlibat dalam


(26)

penanganan bencana. Semua dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas tenaga gizi (Kemenkes RI, 2010).

Kemampuan adalah upaya atau tindakan yang dapat dilakukan seseorang atau masyarakat untuk mengurangi korban jiwa, kerugian harta benda atau kerusakan. Dengan kata lain kemampuan merupakan penguasaan sumberdaya, cara, dan kekuatan yang dimiliki seseorang atau masyarakat yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan dan mempersiapkan diri, mencegah, mengurangi, menanggulangi, meredam resiko bencana, serta dengan cepat memulihkan diri dari akibat bencana (Disaster Rsik Reduction Aceh, 2011).

Keberadaan wilayah Kabupaten Aceh Besar jika ditinjau dari berbagai jenis bencana cukup memiliki tingkat kerawanan yang membutuhkan kesiapsiagaan. Kabupaten Aceh Besar merupakan wilayah yang memiliki indeks risiko tinggi untuk bencana gempa bumi, tsunami, gunung api, gerakan tanah, banjir, kebakaran hutan, kebakaran gedung dan pemukiman. Selain itu bencana kekeringan dan erosi untuk wilayah Aceh Besar tergolong dalam indeks risiko sedang (Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014).

Selama ini penangulangan bencana di bidang kesehatan pada Dinas Kesehatan Kabapaten Aceh Besar terdapat di bawah seksi pelayanan medik, dimana tenaga gizi belum dilibatkan secara langsung dalam penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana, tenaga gizi juga belum pernah mendapatkan sosialisasi mengenai bagaimana seharusnya bertindak jika terjadi bencana di wilayah kerja. Koordinasi juga masih dirasakan kurang sehingga hanya jika telah ditemukan kasus gizi buruk, barulah


(27)

kemudian tenaga gizi dilibatkan, padahal jika tenaga gizi ikut dalam tim kesehatan tersebut, dapat melakukan pemantauan sehingga munculnya kasus gizi buruk sudah dapat diidentifikasi lebih awal ketika masih berada dalam kondisi gizi kurang.

Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten yang memiliki ancaman bahaya dari berbagai jenis bencana yang membutuhkan kesiapsiagaan semua unsur, dimana salah satunya adalah sumber daya tenaga kesehatan terutama tenaga gizi dalam penanggulangan bencana. Kesiapsiagaan yang dimaksud ini merupakan upaya upaya yang difokuskan kepada pengembangan rencana rencana menghadapi bencana.

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk menganalis kesiapsiagaan tenaga gizi menghadapi gizi darurat pada bencana di Kabupaten Aceh Besar.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian tersebut diatas maka rumusan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kesiapsiagaan tenaga gizi menghadapi gizi darurat pada bencana di Kabupaten Aceh Besar.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk menganalisis kesiapsiagaan tenaga gizi menghadapi gizi darurat pada bencana di Kabupaten Aceh Besar.


(28)

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai masukan bagi Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana dalam rangka pengembangan sumberdaya manusia kesehatan.

2. Sebagai masukan bagi Badan Penanggulangan Bencanan Daerah Aceh Besar 3. Sebagai masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar selaku


(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kesiapsiagaan

Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (UU Penanggulangan Bencana, 2007). Pengelolaan bencana yang efektif memerlukan kombinasi empat konsep, yaitu atas semua bahaya, menyeluruh, terpadu, dan kesiapan masyarakat, pendekatan terpadu pegelolaan bencana efektif memerlukan kerjasama aktif berbagai pihak terkait, artinya semua organisasi dengan tugasnya masing masing bekerjasama dalam pengelolaan bencana.

Menurut Undang Undang No 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana disampaikan bahwa pemerintah melaksanakan kesiapsiagaan penanggulangan bencana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 15 huruf a untuk memastikan terlaksananya tindakan yang cepat dan tepat pada saat terjadi bencana meliputi, penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan bencana. Pengorganisasian, pemasangan dan pengujian sistim peringatan dini. Penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan barang kebutuhan dasar. Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan dan gladi tentang mekanisme tanggap darurat bencana. Penyiapan lokasi evakuasi, penyusunan data akurat, informasi, dan pemukhtakiran prosedur tetap tanggap darurat bencana, dan penyediaan dan penyiapan bahan, barang dan peralatan untuk pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana.


(30)

Kesiapsiagaan adalah upaya yang dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi akan terjadi, kegiatan yang dilakukan antara lain: (a) pengaktifan pos pos siaga bencana dengan segenap pendukungnya, (b). pelatihan siaga/ simulasi/ gladi/ teknis bagi setiap sektor penanggulangan bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum), (c) inventaris sumberdaya pendukung kedaruratan, (d) penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik, (e) penyiapan sistem informasi dan komunikasi terpadu guna mendukung tugas kebencanaan, (f) penyiapan pemasangan instrument sistem peringatan dini (early warning), (g) penyusun rencana kontigensi (contigency

plan), serta (h) mobilisasi sumberdaya dalam hal personil dan prasarana/ sarana

peralatan (Depkes, 2007).

Menurut WHO (1999), kesiapsiagaan adalah program pembangunan kesehatan jangka panjang yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan seluruh potensi sumberdaya wilayah agar dapat menanggulangi masalah kesehatan akibat kedaruratan dan bencana secara efisien dari tahap tanggap darurat sampai rehabilitasi secara berkesinambungan sebagai bagian dari pembangunan kesehatan yang menyeluruh.

Kesiapsiagaan menghadapi bencana yaitu bila upaya pencegahan dan mitigasi sudah dilakukan namun bencana tidak dapat dielakkan untuk terjadi maka perlu


(31)

upaya kesiapsiagaan, peringatan dini, dan beberapa kegiatan tanggap darurat bencana masuk dalam kegiatan kesiapsiagaan (Disaster Risk Reduction Aceh, 2011).

Kesiapsiagaan menurut Kemenkes (2011), upaya yang dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi bencana, dilakukan pada saat bencana sudah mulai teridentifikasi terjadi. Upaya yang dapat dilakukan antara lain adalah, penyusunan rencana kontijensi, simulasi/galdi/pelatihan siaga, penyiapan dukungan sumberdaya, penyiapan sistim informasi dan komunikasi.

Kesiapsiagaan merupakan upaya upaya yang difokuskan kepada pengembangan rencana rencana untuk menghadapi bencana. Ini penting artinya untuk memastikan bahwa tindakan-tindakan yang akan diambil segera setelah terjadi bencana terjadi merupakan tindakan yang cepat, tepat, dan efektif. Tujuan dari usaha kesiapsiagaan dalam bidang kesehatan adalah: (a) meminimalkan jumlah korban. (b) mengurangi penderitaan korban (c) mencegah munculnya masalah kesehatan pasca bencana (d) memudahkan upaya tanggap darurat dan pemulihan cepat (Kepmenkes, 2006).

Upaya kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi bencana. Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi akan terjadi. Upaya upaya yang dapat dilakukan adalah: penyusunan rencana kontinjensi, simulasi/gladi/pelatihan siaga, penyiapan dukungan sumberdaya, dan penyiapan sistem informasi dan komunikasi.


(32)

2.1.1. Parameter Kesiapsiagaan Masyarakat terhadap Bencana

Menurut LIPI – UNESCO/ISDR (2006) terdapat 5 faktor kritis kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana alam, terutama tsunami, yaitu :

(a) pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana, (b) kebijakan dan panduan, (c) rencana untuk keadaan darurat bencana, (d) sistem peringatan bencana dan, (e) kemampuan untuk memobilisasi sumberdaya. Kelima faktor kritis ini kemudian disepakati menjadi parameter dalam assessment framework.

1. Parameter pertama adalah pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana. Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk kesiapsiagaan. Pengalaman bencana tsunami di Banda Aceh dan daerah lain akan memberikan pelajaran bahwa pengetahuan memiliki peran yang sangat penting terutama mengenai bencana alam. Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat memengaruhi sikap dan kepedulian untuk siap dan siaga dalam mengantisipasi bencana terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah yang memiliki resiko bencana.

2. Parameter kedua adalah kebijakan dan panduan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan untuk mengantisipasi kejadian bencana alam. Kebijakan kesiapsiagaan bencana alam sangat penting dan merupakan upaya konkrit untuk melaksanakan kegiatan siaga bencana. Kebijakan yang signifikan berpengaruh terhadap terhadap kesiapsiagaan meliputi pendidikan publik, emergency planing, sistem peringatan bencana, dan mobilisasi sumberdaya, termasuk pendanaan, organisasi pengelola, sumber daya manusia (SDM) dan fasilitas penting untuk kondisi darurat bencana. Kebijakan kebijakan dituangkan dalam berbagai bentuk,


(33)

tetapi akan lebih bermakna apabila dicantumkan secara konkrit dalam peraturan peraturan, seperti Surat Keputusan atau Peraturan Daerah (di Aceh Qanun) yang disertai dengan job description yang jelas. Agar kebijakan dapat diimplementasikan dengan optimal, maka dibutuhkan panduan operasionalnya. 3. Parameter ketiga adalah rencana untuk keadaan darurat bencana alam, rencana

ini menjadi bagian penting dalam kesiapsiagaan terutama berkaitan dengan evakuasi, pertolongan dan penyelamatan, agar korban bencana dapat diminimalkan. Upaya upaya ini sangat krusial, terutama ada saat terjadi bencana dan hari hari pertama setelah bencana sebelum bantuan dari pemerintah dan pihak luar datang. Pengalaman bencana di Aceh dan Indonesia secara umum menunjukkan bantuan dari pihak luar tidak segera datang, karena rusaknya sarana dan infrastruktur, seperti jalan jembatan dan pelabuhan.

4. Parameter ke empat berkaitan dengan sistim peringatan bencana. Sistim ini meliputi tanda peringatan dan distribusi informasi akan terjadinya bencana. Dengan peringatan bencana ini, masyarakat dapat melakukan tindakan yang tepat untuk mengurangi korban jiwa, harta benda dan kerusakan lingkungan, untuk itu diperlukan latihan dan simulasi apa yang harus dilakukan apabila mendengar peringatan, kemana dan bagaimana harus menyelamatkan diri dalam waktu tertentu, sesuai dengan lokasi dimana masyarakat sedang berada saat terjadi peringatan.

5. Parameter kelima yaitu: mobilisasi sumber daya. Sumberdaya yang tersedia baik sumber daya manusia (SDM) maupun pendanaan dan sarana prasarana


(34)

penting untuk keadaan darurat merupakan potensi yang dapat mendukung atau sebaliknya menjadi kendala dalam kesiapsiagaan bencana alam, karena itu mobilisasi sumberdaya menjadi faktor yang krusial.

2.2. Kemampuan

Kemampuan menurut Spencer adalah karakteristik dasar yang terdiri dari keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge) serta atribut personal lainnya yang mampu membedakan sesorang yang melakukan dan tidak melakukan. Setiap orang mempunyai kekuatan dan kelemahan dalam kemampuan yang membuatnya relatif unggul atau menonjol dibandingkan orang lain dalam melakukan tugas atau kegiatan tertentu. Kemampuan (ability) merujuk kesuatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan (Sedarmayanti,2010).

Kemampuan merupakan kombinasi dari semua kekuatan dan sumberdaya yang ada dalam masyarakat, kelompok atau organisasi yang bisa mengurangi tingkat resiko atau akibat dari bencana. Kajian kemampuan mengidentfikasi kekuatan dan sumberdaya yang ada di tiap individu, rumah tangga dan masyarakat untuk mengatasi, bertahan, mencegah, menyiapkan, mitigasi atau segera pulih setelah bencana. Mengatasi berarti memanfaatkan sumberdaya dalam keadaan yang tidak menguntungkan (BNPB, 2011)

Kemampuan merupakan keadaan adanya atau tersedianya upaya atau tindakan yang dapat mengurangi korban jiwa. Kemampuan adalah upaya atau tindakan yang


(35)

dapat dilakukan seseorang atau masyarakat untuk mengurangi korban jiwa, harta benda atau kerusakan.

Secara sederhana, hubungan antara kejadian bencana, ancaman bahaya

(hazard-H), kerentanan (Vulnerable-V), kapasitas atau kemampuan (capacity-C) dan

risiko bencana (Risk-R) dapat digambarkan sebagai berikut:

Bencana dapat terjadi setiap saat dimana saja. Tiap bencana mengandung ancaman bahaya (hazard). Tiap orang atau masyarakat menjadi lebih rentan terhadap ancaman bahaya bila keadaan fisik, sosial dan ekonominya rentan serta tinggal di daerah rawan bencana. Ancaman bahaya dapat menimbulkan risiko yang tinggi pada manusia atau masyarakat yang rentan saat terjadi bencana. Oleh karena itu untuk mengurangi dampak risiko maka kapasitas atau kemampuan orang atau masyarakat harus ditingkatkan. Kemampuan ditingkatkan, dibuktikan, dan ditunjukkan dengan upaya untuk mengurangi tingkat kerentanan (Disaster Risk Reduction Aceh, 2011).

Kemampuan petugas dalam penanganan gizi pada situasi darurat secara cepat dan tepat sehingga dapat mencegah terjadinya penurunan status gizi pengungsi, diantara kemampuan tersebut dapat dijabarkan menjadi tiga yaitu:

1. Kemampuan petugas di lapangan dalam mengenali dan memecahkan masalah gizi terutama pada bayi, baduta, ibu hamil, dan ibu menyusui pada situasi darurat. 2. Kemampuan petugas di lapangan dalam penyelenggaraan makanan kepada

pengungsi pada situasi darurat khususnya kelompok rawan.

3. Kemampuan petugas di lapangan dalam mengelola bantuan makanan termasuk susu formula (Kemenkes, 2010)


(36)

Dalam manajemen bencana, resiko bencana adalah interaksi antara tingkat kerentanan daerah dengan ancaman bahaya yang ada, tingkat kerentanan daerah dapat dikurangi sehingga kemampuan dalam menghadapi bencana semakin meningkat dengan kata lain menurunkan tingkat kerentanan dan meningkatkan kemampuan, sehingga resiko jika terjadi bencana akan berkurang (Nurjanah, 2012).

Menurut Twigg (2007) dalam rangka pengurangan resiko bencana diperlukan masyarakat yang tahan bencana agar jika terjadi bencana maka masyarakat sudah siap sehingga resiko yang mungkin ditimbulkan dapat diminimalkan. Diketahui bahwa pegurangan resiko bencana adalah pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi, mengkaji, dan mengurang resiko bencana. Ini merupakan upaya pengembangan dan penerapan secara luas dari kebijakan, strategi, kegiatan untuk meminimalkan kerentanan dan resiko bencana di masyarakat dengan tujuan untuk mengurangi kerentanan sosial, ekonomi terhadap bencana dan mengurangi ancaman bahaya lingkungan maupun bahaya lainnya yang menimbulkan kerentanan. Untuk itu masyarakat perlu diberdayakan agar tahan menghadapi bencana, adapun ciri ciri masyarakat yang tahan bencana harus mempunyai:

1. Kemampuan untuk menyerap tekanan yang menghancurkan yang dilakukan melalui perlawanan atau adaptasi.

2. Kemampuan untuk mengelola atau mempertahankan fungsi fungsi dan struktur dasar tertentu selama adanya kejadian yang mendatangkan malapetaka.

3. Kemampuan untuk memulihkan diri setelah kejadian bencana sehingga kehidupan normal dapat pulih kembali seperti semula.


(37)

2.3. Makanan dan Gizi pada Saat Darurat

Upaya penanganan gizi dalam situasi rangkaian kegiatan dimulai sejak sebelum terjadi bencana yang dilakukan melalui pembekalan tentang penanganan gizi dalam situasi darurat kepada tenaga gizi (Depkes,2010).

Kekurangan makanan pada kondisi pasca bencana umumnya terjadi akibat dua sebab. Pertama adalah kerusakan persediaan makanan di daerah yang tertimpa bencana, disertai dengan kehilangan persediaan makanan pribadi sehingga menggurangi ketersediaan atau keterjangkauan makanan secara langsung. Kedua adalah sistim distribusi yang tidak teratur, ikut berperan dalam kekurangan makanan walau sebenarnya kelangkaan total tidak benar benar terjadi. Setelah gempa bumi, kasus kekurangan makanan jarang mencapai tingkatan yang cukup parah yang dapat mengakibatkan malnutrisi. Meluapnya sungai dan gelombang pasang luar biasa yang menyebabkan banjir di pesisir pantai dapat mempengaruhi persediaan makanan dan merusak panen, selain mengganggu distribusinya. Distribusi makanan yang efisien mungkin menjadi kebutuhan kunci dalam jangka pendek tetapi skala besar atau sumbangan makanan jarang dibutuhkan (World Health Organization, 2006)

Ketika beberapa indikator bencana diidentifikasi, perlu langkah-langkah kesiapsiagaan dan darurat, seperti persedian makanan darurat dan staf terlatih untuk mengurangi tingkat kematian, karena kematian pada populasi pengungsi dapat meningkat sepuluh kali lebih tinggi jika dibandingkan pada tingkat kematian untuk populasi yang sama dalam keadaan non-darurat (Johshopkins,2013).


(38)

Tujuan dari bantuan makanan pada tanggap darurat adalah untuk memberikan makanan tepat waktu dalam jumlah yang cukup dengan kualitas makanan yang baik kepada penduduk yang terkena bencana untuk mengurangi risiko kekurangan gizi akut dan mencegah kematian pada kelompok rawan dan pengungsi, sehingga masyarakat, rumah tangga dan individu dapat bertahan dan pulih dari keadaan darurat. Menerapkan bantuan pangan yang memadai pada tahap awal merupakan kombinasi tindakan dengan kesehatan masyarakat sehingga akan mempertahankan status gizi penduduk yang terkena bencana (Johshopkins,2013).

2.4. Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia kesehatan adalah seorang yang bekerja secara aktif di bidang kesehatan baik yang memiki pendidikan formal kesehatan maupun tidak yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan, (DepKes Nomor 066/MenKes/SK/II/2006). Manajemen sumber daya manusia kesehatan adalah serangkaian kegiatan perencanaan dan pendayagunaan tenaga yang bekerja secara aktif di bidang kesehatan dalam melakukan upaya kesehatan. Pada saat terjadi bencana perlu adanya mobilisasi sumber daya manusia kesehatan yang tergabung dalam suatu tim penanggulangan krisis yang meliputi: tim reaksi cepat, tim penilai cepat, tim bantuan kesehatan.

Untuk mengkoordinir kegiatan tersebut maka ditunjuklah kepala Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota sebagai koordinator Tim, ini mengacu kepada


(39)

Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 066 Tahun 2006, dan ahli gizi perannya termasuk kedalam tim bantuan kesehatan.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan Nurul (2010) tentang kesiapsiagaan sumberdaya manusia kesehatan di DKI Jakarta, sebagaian besar sumberdaya manusia kesehatan menyatakan siap siaga dalam menghadapi bencana (68,1%) dan sebanyak 31,9% menyatakan tidak siap dalam menghadapi bencana.

2.5. Kebutuhan Tenaga Ahli Gizi Berdasarkan Jumlah Pengungsi

Kebutuhan ahli gizi dalam tim bantuan kesehatan yang diberangkatkan setelah tim reaksi cepat atau tim RHA kembali dengan laporan hasil kegiatan dilapangan adalah sebagai berikut, jika jumlah pengungsi antara 10.000-20.000 orang dibutuhkan ahli gizi sebanyak 2-4 orang. Dan jikalau jumlah pengungsi 5.000 orang dibutuhkan 1 orang ahli gizi untuk pelayanan 8 jam, dan 1 orang untuk pelayanan 24 jam (Kemenkes RI, 2012).

Kabupaten Aceh besar saat ini memiliki 57 orang ahli gizi yang bisa memberikan pelayanan kegizian, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Kabupaten Aeh Besar saat ini maka mashi terjadi kekurangan sumberdaya tenaga gizi sebanyak 15 orang.

2.6. Standart Profesi Gizi

Profesi gizi adalah suatu pekerjaan di bidang gizi yang dilaksanakan berdasarkan keilmuan (body of knowledge), memiliki kompetensi yang diperoleh


(40)

melalui pendidikan yang berjenjang, memiliki kode etik dan bersifat melayani masyarakat (Standart Profesi Gizi, 2007).

Profesi gizi memiliki ciri ciri yaitu, menekankan pada teknik intelektual dalam melaksanakan layanan. Memerlukan latihan latihan khusus dalam masa relatif panjang. Para anggota mempunyai otonomi yang luas dalam melaksanakan keahlian. Menekankan pada pengabdian daripada keuntungan ekonomi. Mempunyai kode etik yang jelas bagi para anggotanya. Adanya asosiasi atau organisasi profesi. Adanya pengakuan masyarakat sebagai profesi. Adanya perhatian yang profesional terhadap pelaksanaan profesi (adanya sanksi, perlu lisensi, dan sebagainya). Mempunyai hubungan kerja sama dengan profesi lain (Bakri, 2010).

Soekirman dalam Bakri (2010), menyatakan bahwa profesional harus memiliki persyaratan sebagai berikut: (a) berpendidikan, berpengetahuan, dan memiliki keterampilan yang cukup. (b) mempunyai etika yang baik, antara lain jujur, tepat janji, berfalsafah ilmu padi. (c) mempunyai integritas yaitu, memiliki nilai intelektual yang baik, harga diri, dan memiliki kebanggaan serta kepribadian.

(d) mempunyai organisasi, tempat ia bertukar pikiran dan bertukar pengetahuan/ilmu serta mengembangkan diri. (e) memiliki jurnal yang bisa menunjang profesinya.

Sedangkan Tait de Marco (1996), menyatakan bahwa professional harus memenuhi tiga hal yaitu: memiliki pengetahuan, keahlian, dan keterampilan khusus yang tidak dimiliki profesi lain. Memegang teguh nilai- nilai dan prilaku khas untuk profesinya. Memiliki ukuran ukuran standart untuk hal tersebut diatas.


(41)

Selanjutnya Azwar (1994), menjelaskan bahwa profesional mempunyai 4 (empat) ciri sebagai berikut:

1. Body of Knowledge, yaitu memiliki seperangkat pengetahuan sesuai bidang profesi

yang digelutinya.

2. Continuing Education, yaitu senantiasa meningkat kemampuan dan keterampilan

melalui pendidikan berkelanjutan.

3. Altruism, artinya memiliki jiwa pengabdian dan dedikasi, bekerja adalah untuk

bekerja sesuai profesi yang diembannya, tanpa pamrih, apa pun.

4. Ethics, yaitu seperangkat standar/ prinsip-prinsip moral yang menilai,

menyesuaikan, dan mengatur perilaku manusia.

Standar kompetensi gizi adalah standart kemampuan yang menjamin bahwa ahli gizi dan ahli madya dapat menyelenggarakan praktek pelayanan gizi dalam masyarakat. Sedangkan standar pelayanan gizi adalah standar yang mengatur penerapan ilmu gizi dalam memberikan pelayanan dan asuhan gizi dengan pendekatan manajemen kegizian (KepMenKes RI,2008).

Pelayanan gizi adalah suatu upaya memperbaiki atau meningkatkan gizi, makanan, dietetik masyarakat, kelompok individu atau klien yang merupakan suatu rangkaian kegiatan yang meliputi pengumpulan, pengolahan, analisis, kesimpulan, anjuran, implementasi, dan evaluasi gizi, makanan dan dietetik dalam rangka mencapai status kesehatan optimal dalam kondisi sehat atau sakit. Ada beberapa pengertian tentang ahli gizi. Dari berbagai pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ahli gizi adalah profesi khusus, orang yang mengabdikan diri dalam bidang


(42)

gizi serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui suatu pendidikan khususnya bidang gizi. Tugas yang diemban oleh ahli gizi berguna untuk kesejahteraan manusia. Peran ahli gizi diantaranya adalah berpartisipasi bersama tim kesehatan dan tim lintas sektoral (Bakri, 2010).

2.7. Organisasi Profesi Gizi di Indonesia

Saat ini terdapat beberapa organisasi profesi yang berkaitan dengan gizi, antara lain: PERSAGI (Persatuan Ahli Gizi Indonesia), ASDI (Asosiasi Dietesien Indonesia), PERGIZI PANGAN (Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan Indonesia), PDGKI (Persatuan Dokter Gizi Klinik Indonesia), PERNEPARI (Perhimpunan Nutrisi Enteral dan Parenteral Indonesia). Masing masing organisasi profesi tersebut memiliki anggaran dasar/ anggaran rumah tangga serta kode etik masing masing.

PERSAGI didirikan di Jakarta pada Tanggal 13 Januari 1957. Pada saat itu beranggotakan para lulusan SMK Gizi dan Akademi Gizi. Sesuai dengan perkembangannya, organisasi ini telah mengubah sejumlah ketentuan tentang anggotanya, yaitu sebagai anggota biasa memiliki ijazah sekurang kurangnya sarjana muda gizi atau D3 gizi dan sarjana berlatar belakang gizi yang diakui pemerintah.

Sesuai dengan Anggaran Dasar dalam organisasi ini pada pasal 5 PERSAGI

memiliki tujuan untuk: (a) meningkatkan keadaan gizi masyarakat. (b) mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang gizi dan bidang lainnya

yang terkait. (c) membina dan mengembangkan kemampuan profesional anggota. (d) meningkatkan kesejahteraan anggota.


(43)

2.8. Pelayanan Tanggap Darurat Bencana

Pelayanan kesehatan pada saat bencana merupakan faktor yang sangat penting untuk mencegah terjadinya kematian, kecacatan dan kejadian penyakit, karena bencana merupakan suatu kejadian yang tidak diinginkan dan biasanya terjadi secara mendadak serta disertai jatuhnya korban (Rustrini, dkk,2011)

Posko pelayanan kesehatan sangat diperlukan dalam penanganan bencana/ musibah. Hal tersebut dikarenakan pengungsi/masyarakat yang terkena musibah atau bencana rawan terhadap penyakit, baik secara fisik maupun secara psikologi. Oleh karena itu petugas kesehatan yang berhadapan langsung dengan masyarakat harus cepat tanggap mendirikan posko pelayanan.

Salah satu pelayanan yang perlu dilakukan adalah pelayanan gizi pada posko pelayanan bencana. Pada keadaan dimana belum tersedianya fasilitas dan sarana air bersih maka tidak ada salahnya untuk memberikan makanan yang siap saji kepada pengungsi, baik makanan kaleng, susu evaporasi dalam kaleng, buah buahan, roti dan lainnya yang siap santap (Depkes, 2008).

2.8.1. Pengawasan Makanan (Fisik, Kimia dan Bakteriologi)

Makanan yang diberikan kepada pengungsi tidak jarang bantuan dari dermawan, baik makanan siap santap, maupun bahan makanan mentah atau yang perlu pengolahan. Oleh karena itu petugas kesehatan yang berada diposko harus memperhatikan makanan-makanan bantuan baik siap santap. Adapun yang perlu diperhatikan adalah: tanggal kadaluarsa, basi/keadaan hampir basi, bentuk makanan apakah masih sesuai dengan makanan normal, dan apakah masyarakat terbiasa


(44)

dengan makanan tersebut, karena dapat mengakibatkan keracunan atau alergi (Kemenkes, 2008).

Lebih baik lagi jika makanan jangan memakai kuah atau makanan kering. Untuk menghindari terjadinya masalah malnutrisi yang berat pada golongan anak dan bayi, khususnya dibawah dua tahun maka dilakukan: memberikan ASI, menciptakan dan mempertahan kondisi yang kondusif, mengontrol dengan ketat distribusi dan penggunaan susu penganti ASI (susu formula), menyiapkan makanan pendamping, mempermudah akses kepada seluruh ibu atau pengasuh bayi berbagai bahan makanan, mengurangi stres mental atau fisik, melindungi kesehatan bayi dan anak, melakukan pencarian terus menerus kepada anak yang kurang gizi, melakukan intervensi secepat mungkin sejak awal kejadian, memantau kejadian secara terus menerus. (Depkes, 2008).

2.8.2. Dapur Umum

Dapur umum harus ditempatkan pada suatu lokasi, lebih disukai jika berada dalam satu bangunan dan di pagar, ruang dapur ditata untuk keperluan, menampung air, pencucian, dan membersihkan makanan, pengadaan awal, penyiapan makanan sebelum disajikan dan pencucian alat alat makan, dan alat masak. Pada umumnya penyelenggaraan dapur umum dapat dilaksanakan didalam ruangan maupun di luar ruangan. Apabila dalam ruangan diperhatikan hal hal berikut: tidak ada kemungkinan kebakaran, lokasi baik, tempat tidak rusak, mempunyai lantai yang kuat, cukup cahaya, cukup persedian air, atau sumber air, ada fasilitas kamar mandi dan jamban, dekat dengan tempat pemberian makanan, dekat dengan jalan (DepKes, 2008).


(45)

Jika diluar ruangan, beberapa hal yang harus diperhatikan: tempatnya datar, kering dan tidak ada binatang kecil, ada pohon pohon sebagai pelindung, dekat dengan tempat pemberian makanan, dekat dengan tempat pembekalan, dekat dengan sumber air, tidak ada benda benda atau logam berbahaya.

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mempersiapkan dapur umum: susun tempat masak sedemikian rupa, tempat makan dibuat beberapa lajur, arah pembagian makanan ditentukan dengan petunjuk, susun alat dapur darurat, hendaknya diatur sedemikian rupa, tempat pencucian hendaknya sesuai dengan urutan kerja (Depkes, 2008).

2.8.3. Penanganan Gizi dalam Situasi Darurat

Penanganan gizi dalam situasi darurat terdiri dari dua tahapan yaitu tahap penyelamatan dan tahap tanggap darurat:

a. Tahap Penyelamatan, tahap penyelamatan terdiri dari dua fase yaitu:

1. Fase pertama, ditandai dengan kondisi sebagai berikut, korban bencana bisa dalam pengungsian atau belum dalam pengungsian, petugas belum sempat mengidentifikasi korban secara lengkap, bantuan pangan sudah mulai berdatangan, adanya penyelenggaraan dapur umum, tenaga gizi mulai terlibat sebagai penyusun menu dan mengawasi penyelenggaraan dapur umum, pemberian makan pada fase ini bertujuan agar pengungsi tidak lapar dan dapat mempertahankan status gizinya (Kemenkes, 2012).

Melakukan pemeriksaan cepat sebagai bagian dari kegiatan Rapid


(46)

pengungsi, Bayi 0-5 bulan, 6-11 bulan, anak 12-24 bulan, anak usia 25-59 bulan, bayi piatu, ibu hamil, ibu menyusui, orang lanjut usia, dan lain lain.

Bayi dan anak dibawah usia dua tahun (Baduta) merupakan kelompok yang paling rawan sehingga memerlukan penanganan gizi secara khusus. Pemberian makanan yang tidak tepat serta kekurangan gizi pada kelompok tersebut dapat meningkatkan risiko kesakitan dan kematian yang lebih tinggi pada situasi darurat (Kemenkes, 2010).

Penelitian di pengungsian menunjukkan bahwa kematian anak balita 2-3 kali lebih besar dibandingkan kematian pada semua kelompok umur. Kematian terbesar terjadi pada kelompok umur 0-6 bulan (WHO, Unicef, 2001). Oleh karena itu dalam situasi darurat penanganan gizi kelompok ini dalam situasi darurat menjadi bagian penting untuk menangani pengungsi secara cepat dan tepat.

2. Fase kedua, kegiatan yang dilakukan meliputi:

Melakukan pengukuran berat badan dan tinggi atau panjang badan balita serta informasi faktor pemburuk (Diare, ISPA, campak, dan malaria) untuk mengetahui besar dan luasnya masalah gizi dan kesehatan yang ada. Besar sampel yang diperlukan ditentukan sebagai berikut: populasi kurang dari 10.000 rumah tangga gunakan sistematik random sampling dengan jumlah sampel minimal 450 balita. Populasi sampai 3000 jiwa seluruh balita diukur. Populasi lebih dari 10.000 rumah tangga, gunakan kluster sampling, yaitu minimum 30 kluster dan tiap kluster minimum 30 balita (Kemenkes, 2012).


(47)

Menentukan klasifikasi kedaruratan sebagai berikut: jika tingkat kedaruratan adalah gawat atau kritis, dilakukan skrining pada semua balita dan bumil dengan melakukan pengukuran LILA, skrining dimaksudkan untuk mengetahui balita kurang gizi buruk serta Bumil KEK.

b. Tahap Tanggap Darurat

Tahap ini dimulai setelah selesai tahap penyelamatan, adapun tujuannya adalah untuk menanggulangi masalah gizi melalui intervensi sesuai tingkat kedaruratan, kegiatan dalam tahap ini meliputi: menghitung prevalensi status gizi balita berdasarkan indeks BB/TB-P dan menganalisis adanya faktor pemburuk seperti kejadian diare, campak, demam berdarah dan lain lain. Informasi tentang prevalensi dari hasil surveilans gizi ini selanjutnya digunakan untuk penentuan jenis intervensi yang sesuai dengan mempertimbangkan pula hasil surveilans penyakit.

Melakukan modifikasi/perbaikan interveni sesuai dengan perubahan tingkat kedaruratan, jika prevalensi balita kurus ≥ 1 5% atau 1 0 -14,9 % dengan faktor pemburuk, maka tindakan yang diperlukan adalah pemberian ransum ditambah PMT darurat kepada semua kelompok rawan khususnya Balita, ibu hamil, dan ibu menyusui (Blanket Supplementary Feeding Program) dengan ketentuan kecukupan gizi. Untuk balita gizi buruk tingkat berat ditangani sesuai tata laksana gizi buruk. Jika prevalensi Balita kurus 10-14,9 % atau 5-9,9% dengan faktor pemburuk maka tindakan yang perlu dilakukan adalah PMT darurat terbatas (Targeted Supplementary

Feeding Program) hanya kepada balita kurus dan sangat kurus, untuk balita gizi


(48)

balita kurus 5-9,9% atau < 5 % dengan faktor pemburuk maka tindakan yang dilakukan melalui pelayanan kesehatan rutin.

2.9. Domain Prilaku

Prilaku menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2010) adalah merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (ransangan dari luar). Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui proses. Prilaku terbentuk di dalam diri seseorang dari dua faktor utama yakni faktor dari luar seseorang tersebut (eksternal), dan respon merupakan faktor dari dalam diri orang yang bersangkutan (faktor

internal).

Blum (1908) dalam Notoatmdjo (2010), membedakan tiga ranah atau domain prilaku yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Selanjutnya dalam perkembangan berdasarkan pembagian domain oleh Blum ini dikembangkan menjadi tiga tingkat ranah prilaku yaitu:

1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang


(49)

terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu:

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Untuk mengetahui atau mengukur bahwa seseorang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan pertanyaan. b. Memahami (Comprehension)

Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterprestasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan apabila seseorang yang telah memahami objek. Yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain.

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tahap analisis adalah apabila seseorang tersebut telah mampu untuk membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut.


(50)

e. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam hubungan logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi formulasi yang telah ada, misalnya dapat meringkas dengan kata kata atau kalimat sendiri tentang hal hal yang telah dibaca atau didengar, dapat membuat kesimpulan tentang artikel yang telah dibaca.

f. Evaluasi (Evaluasi)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilai ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma norma yang berlaku di masyarakat.

Pengetahuan selalu dijadikan sebagai awal dari sebuah tindakan dan kesadaran seseorang sehingga dengan kapasitas pengetahuan yang dimilikinya bisa menjadi dasar dari tindakan seseorang (Nugroho,2007).

2. Sikap

Sikap adalah juga respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang tidak senang, setuju tidak setuju, baik tidak baik dan sebagainya). Campbell dalam Notatmodjo (2003) mendefenisikan secara sederhana yakni sikap itu suatu


(51)

sindroma atau kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek, sehingga sikap tersebut melibatkan pikiran, perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan lainnya. Menurut Allport dalam Nooadmodjo (2010) sikap itu terdiri atas tiga komponen pokok yaitu:

1. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek terhadap. Artinya, bagaimana keyakinan dan pendapatan atau pemikiran seseorang terhadap objek.

2. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana penilaian (terkandung didalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap objek. 3. Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap adalah

merupakan komponen yang mendahului tindakan atau prilaku terbuka. Sikap adalah ancang ancang untuk bertindak atau berprilaku terbuka (tindakan). Ketiga komponen tersebut secara bersama sama membentuk sikap yang utuh

(total attitude). Dalam menentukan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,

keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkat tingkat berdasarkan intesitasnya, sebagai berikut:

1. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan objek.

2. Menanggapi (Responding)

Menangapi disini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.


(52)

3. Menghargai (Valuing)

Menghargai diartikan subjek, atau seseorang memberikan nilai positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti, membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespons.

4. Bertanggung Jawab (Responsible)

Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang diyakininya. Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya dia harus berani mengambil resiko bila ada orang lain mencemoohkan atau ada resiko lain.

3. Keterampilan atau Praktik (Practice)

Seperti telah disebutkan bahwa sikap adalah kecendrungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk mewujudkan tindakan perlu faktor lain, yaitu antara lain adanya fasilitas atau sarana prasarana. Praktik atau tindakan ini dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu:

a. Praktik Terpimpin (Guided Response)

Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan.

b. Praktik secara Mekanisme (Mechanism)

Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis.


(53)

c. Adopsi (Adoption)

Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja akan tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau prilaku yang berkwalitas.

Kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana yang dilakukan oleh LIPI-UNESCO/ISDR (2006) ditiga kabupaten meliputi Kabupaten Aceh Besar, Kota Padang, dan Kota Bengkulu yang mengkaji pengetahuan dan sikap, dimana masyaraat Kabupaten Aceh Besar dinilai kurang siap siaga bila dibandingkan Kota Padang namun sama dengan Kota Bengkulu. Untuk pengetahuan mengenai bencana ketiga kabupaten ini relatif bagus, dan untuk kemampuan memobilisasi sumberdaya yang dinilai kurang mampu adalah Kabupaten Aceh Besar.

Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan hasil dari Survei yang dilakukan (Usman, 2010). Survei ini mengukur pengetahuan dan sikap serta praktek dimana pengetahuan tentang tindakan yang harus diambil sebelum terjadi bencana responden sebagian besar menjawab tidak tahu harus melakukan tindakan apa.

2.10. Pengembangan Manajemen Bencana

Bencana adalah suatu kejadian yang ekstrem dalam lingkungan alam atau manusia yang secara merugikan mempengaruhi kehidupan manusia, harta benda, atau aktivitas sampai pada tingkat yang menimbulkan bencana (UNDP, 1995). Menurut Undang Undang Bencana No 24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam, mengganggu kehidupan dan penghidupan


(54)

masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/ atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga menimbulkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Manajemen bencana adalah upaya sistematis dan komprehensip untuk menanggulangi semua kejadian bencana secara cepat, tepat, dan akurat untuk menekan korban dan kerugian yang ditimbulkan (Ramli, 2010).

Pengembangan suatu sistem manajemen bencana untuk suatu organisasi dapat dilakukan melalui beberapa tahapan atau langkah langkah: Menunjuk koordinator penanggulangan. Identifikasi dan evaluasi potensi bencana. Tentukan langkah pengendalian. Tentukan sumberdaya yang diperlukan. Kembangkan sasaran. Kembangkan prosedur darurat bencana. Lakukan pelatihan. Pelihara dan tingkatkan sistem manajemen bencana.

Kelemahan dari manajemen bencana antara lain: kurangnya dukungan manajemen puncak. Kurangnya keterlibatan dan dukungan pekerja dan masyarakat, kurang atau tidak adanya perencanaan. Kurangnya pelatihan dan pendidikan. Tidak adanya penanggung jawab khusus untuk mengkoordinir sistem tanggap darurat. Sistem tanggap darurat tidak dievaluasi atau disempurnakan secara berkala. Sistem komunikasi dan peringatakan dini tidak memadai. Pekerja tidak dijelaskan tindakan atau langkah apa yang harus dilakukan jika dalam keadaan darurat (Ramli, 2010).

Keinginan yang tinggi untuk menambah wawasan pengetahuan mengenai bencana dan sistim penanggulangan bencana masih menemukan banyak kendala. Kendala yang dihadapi antara lain sulitnya untuk mengakses informasi. Disisi lain


(55)

kegiatan peningkatan kapasitas juga sering dirasakan memiliki peluang yang kecil untuk diperoleh (Nugroho, 2007).

Pengembangan manajemen bencana memang membutuhkan kerja keras dan berkesinambungan. Untuk mencapai keberhasilan dalam menerapkan dan mengembangkan manajemen bencana diperlukan hal sebagai berikut; dukungan manajemen secara penuh dan konsisten yang ditunjukkan secara nyata. Manajemen bencana harus dianggap sebagai program strategis untuk memelihara dan menjaga hasil pembangunan. Peran serta semua pihak, dan ketersediaan sumberdaya yang memadai untuk menangani bencana sesuai dengan kondisi dan sifat masing masing (Ramli,2010)

Kegiatan manajemen bencana merupakan kegiatan yang tidak berdiri sendiri, dan tidak dapat dipisahkankan tetapi terkait dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat dan memerlukan pendekatan yang bersifat multi disiplin serta lintas sektor. Melalui manajemen bencana program dilaksanakan pada masing masing kuadrant, kegiatan antar segmen cendrung ada kaitan, waktu yang dibutuhkan setiap segmen tidak sama dalam setiap kuadrant siklus manajemen bencana, akan tetapi bisa berbeda beda tergantung dari kondisi setiap lokasi dan daerah bencana tersebut (Nurjanah, 2011). Secara jelas siklus manajemen bencana digambarkan sebagai berikut :


(56)

Gambar 2.1. Siklus Manajemen Bencana

(Sumber, Nurjanah, 2012)

2.11. Kerangka Teori

Konsep kesiapsiagaan adalah upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Adapun menurut Depkes (2007) tujuan kesiapsigaan di bidang kesehatan adalah (a) meminimalkan jumlah korban, (b) mengurangi penderitaan korban, (c) mencegah munculnya masalah kesehatan pasca trauma, (d) memudahkan upaya tanggap darurat dan pemulihan cepat.

Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk kesiapsiagaan. Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat mempengaruhi sikap dan kepedulian untuk siap dan siaga dalam mengantisipasi bencana terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah yang memiliki resiko bencana. Sikap akan mempengaruhi keterampilan seseorang untuk mau melakukan atau tidak akan sesuatu hal. Sarana prasarana


(57)

penting untuk keadaan darurat merupakan potensi yang dapat mendukung atau sebaliknya menjadi kendala dalam kesiapsiagaan bencana.

2.12. Kerangka Konsep

Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk kesiapsiagaan. Pengalaman bencana akan memberikan pelajaran bahwa pengetahuan memiliki peran yang sangat penting terutama mengenai bencana alam. Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat mempengaruhi sikap dan kepedulian untuk siap dan siaga dalam menghadapi bencana dalam hal ini lebih diarahkan pada kesiapsiagaan yang berkaitan dengan keadaan gizi darurat serta terampil dalam mengantisipasi bencana terutama bagi tenaga gizi yang tinggal di wilayah yang memiliki resiko bencana yang tinggi. Untuk jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Ini merupakan salah satu unsur dari kesiapsiagaan agar pada saat terjadinya masa tanggap darurat dapat dilaksanakan tindakan yang tepat dengan baik berkenaan dengan gizi darurat. Selain dari itu juga perlu adanya dukungan dari berbagai pihak yang memengaruhi kesiapsiagaan tenaga gizi antara lain adalah Dinas Kesehatan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan juga organisasi profesi gizi.

Kesiapsiagaan Tenaga Gizi Pengetahuan

Sikap

Keterampilan (Berkaitan dengan Gizi Darurat)


(58)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini mengunakan metode penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif, untuk menggambarkan tingkat pengetahuan, sikap dan keterampilan tenaga gizi sebagai bentuk kesiapsiagaan dalam menghadapi gizi darurat pada bencana, dalam penelitian ini untuk menjelaskan masalah masalah yang mendalam berkaitan dengan kesiapsiagaan tenaga gizi dalam menghadapi gizi darurat juga dilakukan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam untuk mendukung data kuantitatif.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Aceh Besar, dengan pertimbangan Kabupaten Aceh Besar merupakan wilayah yang memiliki risiko bencana cukup tinggi (Rencana Nasional Penangulangan Bencana 2010-2014) dan karena risiko tersebut, membutuhkan kesiapsiagaan seluruh elemen khususnya tenaga gizi.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2013 – Januari 2014.


(59)

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh tenaga gizi yang bertugas di Kabupaten Aceh Besar sebanyak 51 orang yang tersebar di seluruh Puskesmas dan Dinas Kesehatan dengan rincian yang bertugas di Dinas Kesehatan sebanyak 2 orang dan 49 lainnya bertugas di Puskesmas yang tersebar di seluruh kabupaten.

3.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah total sampling yaitu seluruh tenaga gizi yang bertugas di Kabupaten Aceh Besar.

3.3.3. Pemilihan Informan Penelitian

Peneliti sebelum ke lapangan terlebih dahulu telah memilih informan yang dapat memberikan informasi yan diperlukan dalam penelitian ini yaitu:

1. Kepala seksi gizi di Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar.

2. Kepala seksi Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Aceh Besar

3. Ketua Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Ahli Gizi Kabupaten Aceh Besar. 4. Tenaga gizi yang terdiri dari empat orang dengan wilayah tugas yang berbeda

yaitu, Kecamatan Darul Imarah, Kecamatan Kota Jantho, Kecamatan Mesjid Raya, Dan Kecamatan Lhong. Tenaga gizi yang terpilih ini adalah tenaga gizi yang bertugas di wilayah kerja yang tersebar di perbatasan dan satu yang bertugas di ibukota Kabupaten Aceh Besar dengan rincian yaitu Kecamatan Darul Imarah berbatasan dengan Kota Banda Aceh, Kecamatan Mesjid Raya berbatasan dengan


(60)

Kabupaaten Pidie, Kecamatan Lhong berbatasan dengan Kabupaten Aceh Jaya dan Kecamatan Kota Jantho merupakan ibukota Kabupaten Aceh Besar.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data primer dalam penelitian ini melalui wawancara langsung dengan tenaga gizi. Pedoman wawancara menggunakan kuesioner yang sesuai dengan variabel penelitian agar diperoleh informasi yang sesuai dengan tujuan penelitian. Pengumpulan data pada informan dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dilokasi penelitian, wawancara mendalam dilakukan mengenai topik penelitian berdasarkan pedoman wawancara mendalam yang telah disusun peneliti dengan menggunakan bantuan alat tape recorder. Dan data sekunder diperoleh dari instansi terkait dengan memanfaatkan data yang sudah ada.

3.4.1. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini adalah pengetahuan, sikap dan keterampilan tenaga gizi sebagai indikator untuk mengukur kesiapsiagaan yang diperoleh dari mewawancarai langsung responden dengan bantuan kuisioner, serta hasil wawancara mendalam dengan informan.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang bersumber dari organisasi/instansi terkait. Data sekunder diperlukan untuk melengkapi data primer yang dianggap perlu untuk penelitian ini. Data diperoleh dari instansi terkait yaitu Badan Penanggulangan Bencana Aceh, Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar, dan Kantor Bupati Aceh


(61)

Besar, serta Dewan Pimpinan Cabang Aceh Besar dan Dewan Pimpinan Daerah Persatuan Ahli Gizi Provinsi Aceh.

3.5. Variabel dan Definisi Operasional

1. Kesiapsiagaan adalah upaya yang dilakukan oleh tenaga gizi untuk mengantisipasi kemungkinan masalah gizi dan pananganan gizi darurat pada saat terjadi bencana. 2. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh tenaga gizi yang bertugas

di Kabupaten Aceh Besar meliputi kegiatan gizi darurat pada bencana.

3. Sikap tenaga gizi terhadap pelaksanaan gizi darurat pada bencana di Kabupaten Aceh Besar.

4. Keterampilan adalah kemampuan tenaga gizi untuk menerapkan pengetahuan kedalam bentuk pembuatan keputusan pemecahan masalah dan berpikir logis yang berkaitan dengan pelaksanaan gizi darurat pada bencana

5. Gizi Darurat adalah kegiatan antisipasi terjadinya bencana dan mengurangi risiko dampak bencana pada kelompok masyarakat yang mengunsi sebelum bencana terjadi

3.6. Metode Pengukuran

Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah daftar pertanyaan (kuesioner) untuk wawancara langsung dengan tenaga gizi yang bertugas di Kabupaten Aceh Besar responden, untuk mengukur variabel dengan rincian sebagai berikut:


(62)

Tabel 3.1. Variabel, Jumlah Pertanyaan, Kategori, Skor, dan Kesiapsiagaan Variabel Jumlah Jawaban Skor Kategori

Petanyaan

Pengetahuan 12 Tahu 3 Baik Kurang Tahu 2 Cukup Tidak tahu 1 Kurang Sikap 18 Sangat setuju 5 Positif

Setuju 4 Negatif Kurang setuju 3

Tidak setuju 2 Sangat tidak setuju 1

Keterampilan 15 Baik 3 Terampil Cukup 2 Kurang Trampil

Kurang 1

____________________________________________________________________ Setiap aspek yang diukur kemudian dijumlahkan jawaban yang benar untuk selanjutya dikelompokkan menjadi:

1. Pengetahuan, setelah dilakukan scoring maka selanjutnya nilai skoring dilakukan pengkatagorian sebagai berikut:

a. Baik, apabila responden memperoleh nilai 76-100% b. Cukup, apabila responden memperoleh nilai 56-75% c. Kurang, apabila responden memperoleh nilai < 56%.

2. Sikap, nilai yang diperoleh responden dihitung skornya untuk selanjutnya dihitung rata rata kelasnya. Kemudian dikatagorikan menjadi:

a. Sikap positif, jika nilai yang diperoleh responden 80-100%. b. Sikap negatif jika nilai yang diperoleh lebih kecil 80%..


(63)

3. Keterampilan, setelah dilakukan scoring maka selanjutnya nilai scoring dilakukan pengkatagorian sebagai berikut:

d. Terampil, apabila responden memperoleh nilai 80-100% e. Kurang Terampil, apabila responden memperoleh nilai <80%.

4. Kesiapsiagaan, diperoleh dari ketiga aspek tersebut yaitu, pengetahuan, sikap, dan keterampilan, Dari ketiga aspek tersebut dihitung skor keseluruhannya selanjutnya dikelompokkan menjadi:

a. Siapsiaga bila nilai yang diperoleh 80-100 % b. Kurang siapsiaga bila nilai yang diperoleh < 80%

3.7. Metode Analisis Data

Analisis univariat, yaitu menjelaskan setiap variabel penelitian dengan menyajikan dalam tabel distribusi dan frekuensi. Analisis data yang bersifat kualitatif dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung dan setelah pengumpulan data dalam periode tertentu. Menurut Miles dan Hubertman aktivitas dalam penelitian analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga semua datanya sudah penuh (Sugiyono, 2009).

Analisis data terdiri dari tahap reduksi data (fokus), pada tahap ini peneliti mereduksi semua informasi yang diperoleh. Dalam proses reduksi ini, peneliti mereduksi data yang yang ditemukan untuk memfokuskan pada masalah kesiapsiagaan, kemudian menyortir data dengan memilih data mana yang penting dan


(64)

aktual (Torang, 2012). Dilanjutkan dengan penyajian data dan penarikan kesimpulan. Sedangkan data dikumpulkan dengan cara melakukan triagulasi dan dianalisis.


(65)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten yang berada dalam wilayah Propinsi Aceh. Kedudukannya berada pada meridian bumi antara 5,20 -5,80 Lintang Utara dan 95,00-95,80 Bujur Timur. Topografi wilayahnya terdiri dari perbukitan, dataran rendah dan garis pantai dengan ketingginan antara 0-1500 mdpl. Oleh karena kedudukannya dijalur khatulistiwa, curah hujan di kabupaten ini tergolong tinggi yaitu antara 11-304 mm pertahun dengan suhu udara berkisar 21-330

Kabupaten ini disahkan menjadi daerah otonomi melalui Undang Undang No.7 Tahun 1956. Luas wilayah Kabupaten Aceh Besar adalah 2.974,12 km

C.

2 yang terbagi atas 23 Kecamatan, 68 Mukim dan 604 Gampong. Kecamatan terluas adalah Kecamatan Seulimum dengan luas wilayah 487,04 km2 atau sekitar 16% dari luas wilayah kabupaten sedangkan kecamatan yang paling kecil adalah Kecamatan Krueng Barona Jaya seluas 9,06 km2 atau sekitar 0,3% luas terhadap luas kabupaten. Sekitar 10% gampong di kabupaten ini berada diwilayah pesisir. Kabupaten ini merupakan sebuah kabupaten yang relatif luas di provinsi Aceh dengan wilayah yang terdiri dari pesisir, dataran rendah dan dataran tinggi, dengan jumlah penduduk 359.464 jiwa yang terdiri dari laki laki 184.709 jiwa dan perempuan sebanyak 174.755 jiwa. Adapun batas-batas Kabupaten Aceh Besar adalah sebagai berikut:


(66)

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kota Banda Aceh/ Selat Malaka 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Jaya

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pidie 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Samudra Hindia

Struktur tanah di Kabupaten Aceh Besar didominasi oleh podzolid merah kuning sekitar 31,5 % dengan klasifikasi lereng kelas 40% sebesar 44,17 % sehingga rawan terjadi banjir dan tanah longsor disaat musim hujan.

Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten yang memiliki risiko bencana cukup tinggi. Ini juga menjadi alasan dibentuknya dua desa siaga bencana yaitu Desa Neuhen di Kecamatan Mesjid Raya dan Desa Lamtamot di Kecamatan Seulimum. Hasil dari indentifikasi risiko bencana di Kabupaten Aceh Besar yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah diperoleh data daerah yang memiliki potensi terhadap terjadinya bencana menurut jenis bencana adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1. Distribusi Potensi Bencana Menurut Kecamatan di Kabupaten Aceh Besar

No Kecamatan Potensi Jenis Bencana

1. Lembah Seulawah Gempa bumi, meletus Gunung Berapi, tanah longsor, kebakaran hutan, kekeringan.

2. Seulimum Gempa bumi, gunung berapi, banjir, tanah longsor, kekeringan, hama tanaman, tsunami, kebakaran, kebakaran.

3. Kota Jantho Gempa bumi, tanah longsor, kebakaran, kekeringan. 4. Kuta Cot Glie Gempa bumi, banjir, tanah longsor, kekeringan,

hama tanaman.


(1)

lingkungan yang rusak pasca bencana membutuhkan daya tahan yang baik.

Pn : lalu menurut bapak apa yang sudah dilakukan oleh organisasi profesi Inf 7 : maksudnya dalam hal kebencanaan?

Pn : ya pak..

Inf 7 : kalau itu belum ada hal yang bisa kita lakukan, karena terus terang kita masih sedang membenahi organisasi mulai dari pendataan anggota membantu dalam masalah STR dan juga kegiatan sosial

Pn : bagaimana dengan keterlibatan organisasi dalam kegiatan sosialisasi masalah krisis kesehatan akibat bencana

Inf 7 : kami belum pernah diundang, untuk acara sosialisasi masalah kesehatan pada bencana apalagi yang khusus gizi

Pn : bagaimana dengan koordinasi pak?

Inf 7 : “kita belum pernah berkoordinasi dengan pihak mana pun untuk urusan kebencanaan, termasuk dinas, selama ini yang kita masih terbatas pada kegiatan organisasi “

Pn : apakah ada kemungkinan organisasi profesi mencari peluang tersebut? Inf 7 : mungkin bisa kita coba, barangkali sifatnya advokasi ya…

Pn : ya pak


(2)

Inf 7 : saya rasa karena kita belum tahu apa apa saja yang harus kita lakukan dalam keadaan bencana padahal itu harusnya kita ketahui sebelum terjadi bencana lha klo sudah bencana mana mungkin pelajari lagi tentu tinggal action he he(tertawa kecil)

Pn : terus yang menjadi kendala organisasi pak?

Inf 7 : organisasi belum mampu untuk mengadakan kegiatan pelatihan gizi darurat begitu.. jadi masih sangat terbatas kemampuan organisasi.

Pn : apakah seluruh tenaga gizi di Kabupaten Aceh Besar sudah mendapatkan STR?

Inf 7 : itu kita belum tahu karena STR masih di DPD dan diambil oleh masing masing anggota jadi belum ada datanya di kita.

Pn : bagaimana dengan simulasi pak?

Inf 7 : belum juga kita berkesempatan untuk ikut


(3)

(4)

(5)

(6)