BAB II PENGARUH UKURAN PERUSAHAAN DAN KO
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan dan kinerja suatu perusahaan tidak dapat dipisahkan informasi yang diberikan oleh suatu perusahaan, salah satunya informasi keuangan yang disajikan melalui laporan keuangan. Dari laporan keuangan ini salah satu unsur yang dilihat adalah dari kenaikan laba dari periode akuntansi ke periode akuntansi selanjutnya. Saat ini perusahan-perusahaan telah mempublikasikan laporan keuangannya sehingga bisa di akses oleh pihak eksternal dalam perusahaan.
Dengan dipublikasikannya suatu laporan untuk pihak eksternal perusahaan dapat dikatakan bahwa perusahaan tersebut telah mempertimbangkan segala konsekuensi yang akan didapat dari hasil laporan keuangan yang dipublikasikan. Suatu perusahaan pasti mengharapkan respon yang baik dari pihak eksternal, dalam hal ini adalah pihak investor.
Kondisi ini yang mengakibatkan perusahaan khususnya pihak manajer sebagai pembuat laporan keuangan mengambil kesempatan untuk mengelola laporan keuangan dalam praktik yang dinamakan manajemen laba. Perusahaan dengan ukuran besar maupun kecil pihak manajer sama-sama mempunyai kesempatan untuk melakukan praktik manajemen laba ini. Kondisi ini makin buruk apabila komite audit yang bertugas mengawasi laporan keuangan tidak berfungsi dan tidak melaksanakan tugas serta perannya dengan baik.
1.1 Kajian Pustaka
Dalam penelitian ini peneliti mencari dan mengumpulkan informasi dari penelitian-penelitian sebelumnya sebagai bahan perbandingan serta mencari hubungan dan keterkaitan dari setiap penelitian dengan hasil penelitian yang berbeda-beda. Selain itu peneliti juga mengumpulkan data serta informasi dari beberapa teori yang didapat dari buku, artikel, serta data-data dari website sehingga teori dari variabel penelitian ini menjadi lebih dapat dimengerti.
1.1.1 Manajemen Laba
Informasi laba menjadi bagian dari laporan keuangan yang sangat penting sebagai bentuk representasi kinerja manajemen pada periode tertentu. Hal tersebut membuat pihak manajemen berusaha untuk melakukan manajemen laba agar kinerja perusahaan terlihat lebih baik oleh pihak internal maupun pihak eksternal perusahan. Seperti dikemukakan oleh Gumanti (2000:106) manajemen laba diduga muncul atau dilakukan manajer atau para pembuat laporan keuangan dalam proses pelaporan keuangan suatu organisasi karena mereka mengharapkan suatu manfaat dari tindakan yang mereka lakukan.
Menurut Scott (2009:403) manajemen laba diidentifikasikan sebagai suatu tindakan manajer yang dilakukan melalui pilihan kebijakan akuntansi untuk memperoleh tujuan tertentu. Demikian juga dikemukakan oleh Pamudji dan Trihartati (2009:6) yang mendefinisikan manajemen laba adalah merupakan proses untuk mengambil langkah-Iangkah tertentu yang disengaja dalam batas- batas prinsip akuntansi berterima umum untuk menghasilkan tingkat yang diinginkan dari laba yang dilaporkan.
Sedangkan menurut Kieso (2011,145) mendefinisikan manajeman laba sebagai perencanaan waktu dari pendapatan, beban, keuntungan dan kerugian untuk meratakan fluktuasi laba.
Berdasarkan beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa manajemen laba merupakan suatu tindakan yang dilakukan manajer dengan cara memanipulasi data atau informasi akuntansi agar jumlah data yang tercatat dalam laporan keuangan sesuai dengan keinginan manajer, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan perusahaan.
Manajemen laba menjadi menarik untuk diteliti karena dapat menggambarkan perilaku para manajer dan pihak manajemen perusahaan dalam proses pelaporan keuangan perusahaan sehingga dapat mencerminkan hasil kinerja perusahaan dalam periode tertentu, yaitu kemungkinan adanya motivasi tertentu yang mendorong mereka mengatur laba yang dihasilkan oleh perusahaan.
1.1.1.1 Klasifikasi Manajemen Laba
Praktik manajeman laba yang dilakukan oleh perusahaan dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk berdasarkan pada tujuan dan objek dari manajeman laba yang dilakukan oleh pihak manajer perusahaan.
Menurut Sastradipraja (2010, 33-34), manajemen laba diklasifikasikan dalam dua bentuk, yaitu sebagai berikut:
1. Cosmetic Earnings Management Cosmetic Earnings Management ini terjadi apabila manajer memanipulasi akrual yang tidak memiliki konsekuensi cash flow. Tehnik ini merupakan kebebasan dalam akuntansi akrual yang mungkin terjadi. Standar akuntansi keuangan dan mekanisme pengawasan mengurangi kebebasan ini tetapi tidak mungkin untuk meniadakan pilihan karena kompleksitas dan keragaman usaha. Akuntansi akrual membutuhkan estimasi dan pertimbangan (judgement) yang menyebabkan kebebasan manajer dalam menetapkan angka akuntansi. Meskipun kebebasan ini memberikan kesempatan pada manajer untuk menyajikan gambaran aktivitas usaha 1. Cosmetic Earnings Management Cosmetic Earnings Management ini terjadi apabila manajer memanipulasi akrual yang tidak memiliki konsekuensi cash flow. Tehnik ini merupakan kebebasan dalam akuntansi akrual yang mungkin terjadi. Standar akuntansi keuangan dan mekanisme pengawasan mengurangi kebebasan ini tetapi tidak mungkin untuk meniadakan pilihan karena kompleksitas dan keragaman usaha. Akuntansi akrual membutuhkan estimasi dan pertimbangan (judgement) yang menyebabkan kebebasan manajer dalam menetapkan angka akuntansi. Meskipun kebebasan ini memberikan kesempatan pada manajer untuk menyajikan gambaran aktivitas usaha
2. Real Earnings Management Real Earning Management terjadi jika manajer melakukan aktivitas dengan konsekuensi cash flow. Insentif untuk melakukan earnings management mempengaruhi keputusan investing dan financing oleh manajer. Real Earning Management lebih bermasalah dibandingkan Cosmetic Earnings Management karena mencerminkan keputusan usaha yang sering kali mengurangi kekayaan pemegang saham.
Berdasarkan klasifikasi manajemen laba diatas dapat disimpulkan bahwa praktik manajemen laba yang dilakukan oleh manajer perusahaan selama dilakukan dalam batas-batas prinsip akuntansi dan standar akuntansi yang benar, dengan mengestimasi setiap laba dan rugi secara wajar, dan tidak merugikan pihak stakeholder, maka praktik manajemen laba dapat bermanfaat bagi perusahaan. Tetapi sebaliknya apabila praktik manajemen laba dilakukan dengan tidak mengikuti prinsip akuntansi dan standar akuntansi, seperti memanipulasi angka, menambah atau mengurangi transaksi, maka praktik manajemen laba akan sangat bermasalah baik pada perusahaan tersebut dan untuk stakeholder.
1.1.1.2 Faktor dan Motivasi Manajemen Laba
Manajemen laba ini terjadi sebagai akibat asimetri informasi antara pemegang saham dan investor dengan manajemen manajer. Manajer memilih kebijakan akuntansi untuk mengutamakan kepentingan mereka sendiri, yang belum tentu juga menjadi kepentingan perusahaan. Sedangkan untuk investor manajemen berusaha menunjukkan kondisi perusahaan dalam keadaan baik dengan meyakinkan investor untuk tetap berinvestasi.
Faktor-faktor manajemen laba menurut Scott (2009, 287-289), yaitu:
1. The Bonus Plan Hypothesis Hipotesis ini menyatakan bahwa manajer perusahaan dengan rencana bonus lebih mungkin untuk memilih prosedur akuntansi yang menggeser laba yang dilaporkan dari periode mendatang ke periode berjalan.
2. The Debt Covenant Hypothesis Hipotesis ini menyatakan bahwa semua hal yang lain tetap sama dan semakin dekat dengan pelanggaran perjanjian hutang dan semakin besar probabilitas pelanggaran perjanjian hutang tersebut, maka semakin mungkn manajer menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan laba yang dilaporkan pada periode sekarang.
3. The Political Cost Hypothesis Hipotesis ini menyatakan bahwa perusahaan yang besar mempunyai biaya politik tinggi, maka manajer akan lebih memilih metode akuntansi yang dapat menurunkan laba yang dilaporkan dari periode sekarang ke periode mendatang. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menghindari regulasi atau keputusan pemerintah, misalnya menaikan pajak penghasilan perusahaan.
Scott (2009:426) mengemukakan beberapa motivasi terjadinya manajemen laba, yaitu:
1. Other Contractual Motivations Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara opportunistic dengan memaksimalkan laba saat ini.
2. Political Motivations Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat.
3. Taxation Motivations Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan 3. Taxation Motivations Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan
4. Changes of CEO CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka dan jika kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan
5. Initial Public Offering (IPO) Perusahaan yang akan go public belum memiliki harga pasar sehingga perlu menetapkan nilai saham yang akan ditawarkan. Hal ini menyebabkan manajer perusahaan yang go public melakukan manajemen laba untuk memperoleh harga yang lebih tinggi atas sahamnya.
6. To Communicate Information To Investor Penggunaan manajemen laba untuk menyampaikan informasi kepada investor mungkin tampak dipertanyakan dalam pandangan teori pasar sekuritas efisien. Investor mungkin melihat pilihan kebijakan akuntansi perusahaan ketika mengevaluasi dan membandingkan kinerja laba. Bagaimanapun, kita mendefinisikan efisiensi pasar relatif terhadap informasi publik yang tersedia. Jika manajemen laba dapat mengungkapkan informasi dalam internal, hal itu benar-benar dapat meningkatkan informasi pelaporan keuangan.
Berdasarkan faktor dan motivasi dari manajemen laba diatas dapat disimpulkan bahwa tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh manajer perusahaan bukan hanya untuk kepentingan manajer secara pribadi, tetapi terdapat beberapa kepentingan dan manfaat juga untuk perusahaan.
1.1.1.3 Sasaran Manajemen Laba
Sasaran dalam manajemen laba adalah objek yang dapat digunakan manajemen untuk mempengaruhi aliran data atau informasi keuangan. Menurut Aryani (2011) untuk menciptakan laporan keuangan yang sesuai dengan keinginan manajemen, manajer dapat memasukan informasi yang akan datang ke dalam laporan periode ini atau sebaliknya.
Gumanti (2000:108) mengemukakan terdapat unsur-unsur laporan keuangan yang dapat dijadikan sasaran dilakukan manajemen laba, yaitu:
1. Kebijakan Akuntansi Keputusan manajer untuk menerapkan suatu kebijakan akuntansi yang wajib diterapkan oleh suatu perusahaan, yaitu antara menerapkan akuntansi lebih awal dari waktu yang ditetapkan atau menundanya sampai saat berlakunya kebijakan tersebut.
2. Pendapatan Pendapatan dijadikan sebagai sasaran manajemen laba dengan mempercepat atau menunda pengakuan akan pendapatan.
3. Biaya Menganggap biaya sebagai suatu tambahan investasi (amortize or capitalize ofinvestment ).
Sedangkan menurut Sulistyanto (2008:181-208) yang menjadi sasaran atau objek dari manajemen laba, yaitu:
1. Aktiva lancar Sesuai dengan sifat fisik yang relatif ringan, kecil dan mudah dibawa, aktiva lancar merupakan harta yang mudah dibawa, aktiva lancar merupakan harta perusahaan yang paling mudah diselewengkan. Terdapat empat komponen aktiva lancar, yaitu (1) kas dan setara kas, (2) piutang, (3) persediaan, (4) biaya dibayar dimuka.
2. Aktiva Tetap Aktiva tetap ini dijadikan sasaran dalam manajemen laba dengan mengganti depresiasi dengan metode depresiasi yang lain, dan 2. Aktiva Tetap Aktiva tetap ini dijadikan sasaran dalam manajemen laba dengan mengganti depresiasi dengan metode depresiasi yang lain, dan
3. Hutang lancar Hutang lancar ini menjadi sasaran dalam manajemen laba dengan berbagai cara antara lain mengakui dan mencatat transaksi pembelian lebih besar dari yang sesungguhnya, menunda pendapatan diterima dimuka sebagai pendapatan periodik, menunda mengakui biaya yang masih harus dibayar sebagai biaya periodik dan menunda mengakui hutang jangka panjang yang jatuh tempo.
Berdasarkan sasaran manajemen laba diatas dapat disimpulkan bahwa bukan hanya kebijakan ataupun metode akuntansi saja yang menjadi sasaran dari praktik manajemen laba tetapi semua komponen dalam laporan keuangan bisa menjadi sasaran untuk di jadikan objek untuk diolah sehingga terjadi praktik manajemen laba.
1.1.1.4 Pola Manajemen Laba
Pola manajemen laba adalah gambaran tindakan yang dilakukan oleh seorang manajer untuk mengolah laporan keuangannya. Menurut Scott (2009,405) terdapat empat pola manajemen laba yang dilakukan oleh seorang manajer, yaitu:
1. Taking a bath Yaitu upaya manajer yang menaikan labapada periode berjalan menjadi sangat ekstrim rendah (bahkan rugi) atau sangat ekstrim tinggi dibandingkan dengan laba pada periode sebelumnya. Taking a bath terjadi saat reorganisasi, ketika perusahaan melaporkan adanya kerugian, maka manajemen melakukan kebijakan untuk melaporkan kerugian dengan jumlah yang besar sekaligus.
2. Penurunan laba (income minimization) Kebijakan ini dilakukan ketika perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang tinggi, contohnya dengan membebankan beban iklan dan beban penelitian dan beban pengembangan lebih besar.
3. Penaikan laba (income maximization) Pola ini untuk melaporkan laba yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian hutang.
4. Perataan laba (income smoothing) Perataan laba dari perspektif kontrak, manajer lebih memilih menghindari resiko. Akibatnya manajer dapat meratakan laba yang yang dilaporkan dari waktu ke waktu sehingga menerima kompensasi yang relatif tetap.
Sedangkan menurut Sulistyanto (2008:177) terdapat tiga pola yang digunakan oleh manajer dalam melakukan praktik manajemen laba, yaitu:
1. Penaikan laba (income increasing) Yaitu upaya manajer mengatur agar laba periode berjalan menjadi lebih tinggi daripada laba sesungguhnya. Upaya ini dilakukan dengan mengolah pendapatan periode berjalan menjadi lebih tinggi dari pada pendapatan sesungguhnya dan atau biaya periode berjalan menjadi lebih rendah daripada biaya sesungguhnya.
2. Penurunan laba (income decreasing) Yaitu upaya manajer mengatur agar laba periode berjalan menjadi lebih rendah daripada laba sesungguhnya. Upaya ini dilakukan dengan mengolah pendapatan periode berjalan menjadi lebih rendah daripada pendapatan sesungguhnya dan atau biaya periode berjalan menjadi lebih tinggi daripada biaya sesungguhnya.
3. Perataan laba (income smooting) Yaitu upaya manajer mengatur agar laba relatif sama selama beberapa periode. Upaya ini dilakukan dengan mengolah pendapatan dan biaya 3. Perataan laba (income smooting) Yaitu upaya manajer mengatur agar laba relatif sama selama beberapa periode. Upaya ini dilakukan dengan mengolah pendapatan dan biaya
Berdasarkan pola manajemen laba diatas dapat disimpulkan bahwa dari semua pola atau bentuk yang dilakukan pada laba, semua harus dilakukan dengan secara wajar dan sesuai dengan prinsip akuntansi, yaitu dengan mengseimbangakan komponen debet dan kredit, tidak dengan menambah dan/ atau mengurangi transaksi.
1.1.1.5 Teknik Manajemen Laba
Teknik manajemen laba adalah sistem atau cara yang dilakukan oleh manajer dalam melakukan praktik manajemen laba. Menurut Setiawati dan Na’im (2000) terdapat tiga macam teknik yang digunakan oleh manajer untuk melakukan manajemen laba, yaitu:
1. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi
Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgement (perkiraan) terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi, dan lain-lain.
2. Mengubah metode akuntansi Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, contoh: mengubah metode depresiasi aktiva tetap dari metode depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus.
3. Menggeser biaya metode pendapatan. Contoh rekayasa metode biaya atau pendapatan antara lain: mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai pada periode berikutnya, mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai periode berikutnya, 3. Menggeser biaya metode pendapatan. Contoh rekayasa metode biaya atau pendapatan antara lain: mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai pada periode berikutnya, mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai periode berikutnya,
Sedangkan menurut Sulistyanto (2008:171-180) terdapat empat teknik yang digunakan oleh manajer dalam melakukan manajemen laba, yaitu:
1. Pemilihan metode akuntansi (accaounting method choice)
Yaitu upaya untuk merekayasa informasi keuangan dengan cara memilih standar akuntansi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya
2. Penerapan metode akuntansi (accaounting method application) Yaitu upaya untuk merekayasa informasi keuangan dengan cara menerapkan dan menggunakan standar akuntansi untuk mencapai tujuan yang ingin dicapainya
3. Waktu/ periode menerapkan metode akuntansi (accaounting method timing) Yaitu upaya untuk merekayasa informasi keuangan dengan menerapkan metode yang telah dipilihnya pada saat yang tepat.
4. Pemilihan waktu (timing) Yaitu upaya untuk merekayasa informasi keuangan dengan memilih dan menerapkan kebijakan manajerial pada saat yang tepat.
Berdasarkan teknik manajemen laba diatas dapat disimpulkan bahwa dari semua teknik yang digunakan manajer untuk melakukan manajemen laba semua harus dilakukan sesuai dengan prinsip akuntansi dan perubahan metode akuntansi tersebut harus dilakukan pada waktu yang tepat, jadi tidak di terapkan secara acak, tetapi harus melihat pada periode laporan keuangan.
1.1.1.6 Pendekatan Manajemen Laba
Healy, DeAnggello, Jones, Dechow, Sloan, Sweeney, McNichols, Wilson, Petroni, Beaver, Engel, Burgtahler, Dichev, Degeorge, Patel, Zeckhauser, Myers dan Skinerr adalah para peneliti yang telah menghasilkan beberapa model untuk Healy, DeAnggello, Jones, Dechow, Sloan, Sweeney, McNichols, Wilson, Petroni, Beaver, Engel, Burgtahler, Dichev, Degeorge, Patel, Zeckhauser, Myers dan Skinerr adalah para peneliti yang telah menghasilkan beberapa model untuk
1. Model berbasis Aggregate Accrual Model ini dikembangkan oleh Healy, DeAnggello, Jones, Dechow, Sloan, dan Sweeney. Yaitu model pendekatan yang digunakan untuk mendeteksi aktivitas manajemen laba ini dengan menggunakan discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba. Ada empat perkembangan model dalam model pendekatan berbasis Aggregate Accrual ini, yaitu:
a. Model Healy Merupakan model yang relatif sederhana karena menggunakan total akrual sebagai proksi manajemen laba. Total akrual merupakan penjumlahan discretionary accrual dan non discretionary accrual. Discretionary accrual merupakan komponen akrual yang dapat diatur dan direkayasa sesuai dengan kebijakan (discretion) manajerial, sedangkan non discretionary accrual merupakan komponen akrual yang tidak dapat diatur dan direkayasa sesuai dengan kebijakan manajer perusahaan.
b. Model DeAngelo Dikembangkan dengan menggunakan perubahan dalam total akrual (change in total accrual) sebagai proksi manajemen laba.
c. Model Jones Model ini menggunakan sisa regresi total akrual dari perubahan penjualan dan property, plant, and equipment sebagai proksi manajemen laba.
d. Model Jones yang dimodifikasi (modifications Jones models) Menggunakan sisa regresi total akrual dari perubahan penjualan dan property, plant, and equipment, dimana pendapatan disesuaikan dengan perubahan piutang yang terjadi pada periode yang
bersangkutan.
Sementara Sulistiyanto (2008:212) Sementara Sulistiyanto (2008:212)
2. Model berbasis Spesific Accrual Model ini dikembangkan oleh McNichols dan Wilson, Petroni, Beaver dan Engel, Beaver dan McNichols. Model berbasis Spesific Accrual yaitu pendekatan yang menghitung akrual sebagai proksi manajemen laba dengan menggunakan item atau komponen laporan keuangan tertentu dari industri tertentu, misalnya piutang tak tertagih dari sektor industri tertentu atau cadangan kerugian piutang dari industri asuransi.
3. Model Berbasis Distribution of Earnings after Management
Model ini dikembangkan oleh Dichev, Degeorge, Patel, dan Zekhauser, serta Myers dan Skinner. Model ini mengacu pada laba yang terdapat pada laporan keuangan. Sebagai contoh model Myers dan Skinner merupakan model yang menguji apakah angka-angka laba yang meningkat yang berurutan adalah lebih besar dibandingkan angka-angka jika tanpa manajemen laba untuk mendeteksi manajemen laba.
Penelitian yang berkaitan dengan deteksi manajemen laba antara lain dilakukan oleh Dechow et al., (1995) yang mengevaluasi berbagai alternatif model untuk mendeteksi manajemen laba berdasarkan accrual, dengan menggunakan perbandingan lima model yaitu model Halley, model DeAngelo, model Jones, dan model Industri dengan menerapkan pengujian statistik untuk mengetahui kemampuan setiap model.
Menurut Utami (2005) untuk mendeteksi ada tidaknya manajemen laba, maka pengukuran atas akrual adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Total akrual adalah selisih antara laba dan arus kas yang berasal dari aktivitas operasi. Scott (2009) menjelaskan bahwa konsep akrual dapat dibedakan menjadi dua yaitu akrual diskresioner (discretionary accrual) dan akrual non-diskresioner (nondiscretionary accrual).
Menurut Chans, Jegadesh dan Lakonoshok (2001) discretionary accrual merupakan merupakan laba abnormal yang sebagian besar dikarenakan oleh item non kas yang mewakili manipulasi laba. Discretionary accrual digunakan sebagai indikator adanya praktik manajemen laba, karena manajemen laba lebih menekankan pada keleluasaan dan kebijakan (direction) yang tersedia dalam memilih dan menerapkan prinsip-prinsip akuntansi untuk mencapai hasil akhir.
Pengukuran manajemen laba dilakukan dengan dengan cara menghitung discretionary accrual . Pengukuran discretionary accrual sebagai proksi kualitas laba (manajemen laba) menggunakan Model Jones (1991) yang dimodifikasi oleh Dechow et al. (1995). Menurut Siallagan dan Machfoedz (2006) model ini digunakan karena dinilai merupakan model yang paling baik dalam mendeteksi manajemen laba. Menurut Sulistyanto (2008:224-225) untuk mendapatkan nilai discretionary accrual dilakukan dengan menghitung langkah-langkah berikut ini :
1. Menghitung nilai total akrual (TAC) yang merupakan selisih dari pendapatan bersih (nett income) dengan arus kas operasi untuk setiap perusahaan dan setiap tahun pengamatan. Dinyatakan dalam sistimatika sebagai berikut:
TAC T = Ni T – CFO T
Sumber: Sulistyanto (2008:216) Keterangan:
TAC T : Total accrual pada periode T Ni T : Laba bersih operasi (operating income) periode T CFO T : Aliran kas dari aktiva operasi (cash flow from operating
activities) padaperiode T.
2. Menghitung nilai nondiscretionary accrual (NDA).
a. Melakukan regresi sederhana terhadap :
TAC t -------- = sebagai variabel dependen
TA t-1
1 Δ Sales PPE
------- , ------------ , -------- = sebagai variabel independen
Sumber: Sulistyanto (2008:224)
b. Tahap ke dua adalah:
TAC
t Δ REV PPE
+ϐ 2 -------- +Σ TA t-1
------- =ϐ 0 -------- ,+ ϐ 1 -----------
Sumber: Sulistyanto (2008:224) c. NDA dihitung dengan rumus sebagai berikut:
1 Δ Sales – Δ TR PPE
NDA t =ϐ 0 ------ +ϐ 1 ---------------------- +ϐ 2 --------
t-1 TA Sumber: Sulistyanto (2008:224)
TAC ᴩᴛ : Total Accrual pada periode TA t-1 : Total Aktiva periode sebelumnya
Δ REV : Perubahan penjualan pendapatan i dikurangi tahun
sebelumnya.
Δ Sales : Perubahan penjualan perusahaan i dikurangi tahun
sebelumnya. PPE t : Aktiva tetap (gross property, plant and equipment)
pada tahun periode
Δ TR : Perubahan piutang perusahaan i dikurangi piutang
tahun sebelumnya.
NDA t : Nondiscretionary Accrual tahun periode
3. Menghitung nilai discretionary accrual (DA) yaitu selisih antara total akrual (TAC) dengan nondiscretionary accrual (NDA).
Secara sistematik perhitungannya adalah sebagai berikut: TAC PT
Sumber: Nuryaman (2008) Keterangan:
DAC ᴩᴛ : Discretionary Accrual pada periode tes TAC ᴩᴛ : Total Accrual pada periode tes NDA PT : Nondiscretionary Accrual pada periode tes
Discretionary Accrual ini akan menghasilkan nilai negatif, positif serta nol. Menurut Sulistyanto (2008:165), apabila nilai DAC (discretionary accrual) negatif maka berarti perusahaan melakukan manajemen laba dengan cara menurunkan laba, apabila nilai DAC (discretionary accrual) positif maka perusahaan melakukan manajemen laba dengan cara menaikan laba, apabila nilai DAC (discretionary accrual) sama dengan nol, maka perusahaan melakukan manajemen laba dengan cara perataan laba.
1.1.2 Ukuran Perusahaan
Menurut Pacecca (1995) seba gian besar peneliti menggunakan ukuran perusahaan sebagai proksi sensitifitas politis dan perilaku manajer dalam melaporkan kinerja keuangannya. Dengan mengelompokan perusahaan ke dalam skala tertentu maka akan dapat dilihat juga secara terperinci faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja dari manajer perusahaan.
Ukuran perusahaan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap manajemen laba. Menurut Nasution dan Setiawan (2007) perusahaan besar cenderung bertindak hari-hati dalam melakukan pelaporan keuangan sehingga berdampak perusahaan besar melaporkan laporan keuangannya lebih akurat.Sedangkan Veronika dan Utama (2005) dan Nuryaman (2008) menemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.
Namun penelitian oleh Veronica dan Bachtiar (2003), Halim, dkk (2005), Widyastuti (2009) dan Rahmani dan Mir (2013) yang menemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba, dimana semakin besar ukuran perusahaan maka akan menyebabkan peningkatan manajemen laba. Dari penelitian-penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa perusahaan besar mempunyai insentif yang cukup besar untuk melakukan manajemen laba, karena salah satu alasan utamanya adalah perusahaan besar harus mampu memenuhi ekspektasi yang baik dari investor atau pemegang sahamnya. Maka dapat dikatakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh terhadap praktik manajemen laba.
1.1.2.1 Pengertian Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan menurut Panjaitan (2004) adalah suatu skala dimana dapat di klasifikasikan besar kecilnya perusahaan, dan penentuan skala besar kecilnya perusahaan dapat ditentukan berdasarkan total aktiva, penjualan, log size, nilai pasar saham, kapitalisasi pasar dan lain-lain yang semuanya berkorelasi tinggi. Semakin besar total aktiva, penjualan, log size, nilai pasar saham, kapitalisasi pasar, maka semakin besar pula ukuran perusahaa tersebut.
Menurut Yusuf dan Soraya (2004), dan Suwito dan Herawati (2005), bahwa ukuran perusahaan merupakan ukuran atau besarnya asset yang dimiliki perusahaan, ditunjukkan oleh logaritma natural dari total aktiva. Menurut Seftianne (2011) penentuan skala besar kecilnya perusahaan dapat ditentukan berdasarkan pada total penjualan, total asset, dan rata-rata tingkat penjualan.
Dari beberapa pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa ukuran perusahaan dapat diartikan sebagai suatu perbandingan besar atau kecilnya suatu objek dari suatu perusahaan dan secara umum dilihat dari besar kecilnya aset atau kekayaan perusahaan tersebut.
1.1.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ukuran Perusahaan
Tiga faktor utama untuk menentukan ukuran perusahaan menurut Marihot dan Doddy (2007), Nuryaman (2008), dan Halim, dkk. (2005), yaitu :
1. Besarnya total aktiva Merupakan total aktiva yang dimiliki oleh perusahaan dalam suatu periode tertentu.
2. Tingkat penjualan Yaitu tingkat penjualan yang dilakukan oleh suatu perusahaan.
3. Besarnya kapitalisasi pasar Yaitu menunjuk ke harga saham dari perusahaan dalam suatu periode tertentu.
Sedangkan menurut Setiyadi (2007) faktor-faktor yang di pakai untuk menentukan tingkat ataupun ukuran perusahaan, adalah:
1. Tenaga kerja Merupakan jumlah pegawai tetap dan honorer yang terdaftar atau bekerja di perusahaan pada suatu periode tertentu.
2. Tingkat penjualan Merupakan volume penjualan suatu perusahaan pada suatu periode tertentu.
3. Total utang ditambah dengan nilai pasar saham biasa Merupakan jumlah hutang dan nilai paar saham biasa perusahaan pada suatu periode tertentu
4. Total assets Merupakan keseluruhan aktiva yang dimiliki perusahaan pada periode tertentu.
Dari faktor-faktor diatas dapat disimpulkan bahwa suatu perusahaan dapat diukur dan dapat di masukan dalam kategori ukuran tertentu dengan melihat beberapa komponen dalam perusahaan.
1.1.2.3 Klasifikasi Ukuran Perusahaan
Klasifikasi Ukuran Perusahaan menurut Small Bussiness Administration (SBA), yaitu:
Table 1.1 Klasifikasi Ukuran Perusahaan Jumlah
Ukuran Tenaga
Total Penjualan Perusahaan Kerja
Total Aset
Perusahaan
1 Keluarga
$100.000 - $500.000 Kecil
$500.000 - $1.000.000 Sedang
5 - 19
$100.000 - $500.000
20 - 99 $500.000 - $5.000.000 $1.000.000 - $10.000.000
Besar 100 - 499 $10.000.000 - $50.000.000
Sumber: Small Bussiness Administration, 2010
Sedangkan menurut Rahmi (2010), ukuran perusahaan pada dasarnya terbagi dalam tiga kategori, yaitu:
1. Perusahaan Besar (large firm) Perusahaan besar merupakan perusahaan yang memiliki total aset yang besar. Perusahaan-perusahaan yang dikategorikan besar biasanya merupakan perusahaan yang telah go public di pasar modal dan perusahaan besar ini juga termasuk dalam kategori papan pengembang ke
sekurang-kurangnya Rp 200.000.000.000,00
2. Perusahaan Menengah (medium size) Perusahaan menengah merupakan perusahaan yang memiliki total aset antara Rp 2.000.000.000,00 sampai Rp 200.000.000.000,00, serta perusahaan menengah ini termasuk dalam anggota pasar modal dan masuk pada papan pengembang ke dua.
3. Perusahaan Kecil (small firm) Perusahaan kecil merupakan perusahaan yang memiliki aset kurang dari Rp 2.000.000.000,00, dan biasanya perusahaan kecil ini belum terdaftar di Bursa Efek.
Dari klasifikasi dan tabel dari diatas dapat disimpulkan bahwa ukuran perusahaan pada umumnya dikelompokan dengan tiga ukuran, yaitu perusahaan kecil, perusahaan sedang, dan perusahaan kecil dengan skala pengukuran jumlah aset pada jumlah tertentu.
1.1.2.4 Manfaat Klasifikasi Ukuran Perusahaan
Menurut Agnes Sawir (2004:101-102) ukuran perusahaan dinyatakan sebagai determinan dari struktur keuangan dalam hampir setiap studi untuk alasan yang berbeda, yaitu:
1. Ukuran perusahaan dapat menentukan tingkat kemudahan perusahaan memperoleh dana dari pasar modal. Perusahaan kecil umumnya kekurangan akses ke pasar modal yang terorganisir, baik untuk obligasi maupun saham. Meskipun mereka memiliki akses, biaya peluncuran dari penjualan sejumlah kecil sekuritas dapat menjadi penghambat. Jika penerbitan sekuritas dapat dilakukan, sekuritas perusahaan kecil mungkin kurang dapat dipasarkan sehingga membutuhkan penentuan harga sedemikian rupa agar investor mendapatkan hasil yang memberikan return lebih tinggi secara signifikan.
2. Ukuran perusahaan menentukan kekuatan tawar-menawar dalam kontrak keuangan. Perusahaan besar biasanya dapat memilih pendanaan dari berbagai bentuk hutang, termasuk penawaran spesial yang lebih menguntungkan dibandingkan yang ditawarkan perusahaan kecil. Semakin besar jumlah uang yang digunakan, semakin besar kemungkinan kemungkinan pembuatan kontrak yang dirancang sesuai dengan preferensi kedua pihak sebagai ganti daripenggunaan kontrak standar hutang.
3. Kemungkinan pengaruh skala dalam biaya dan return membuat perusahaan yang lebih besar dapat memperoleh lebih banyak laba. Pada akhirnya, ukuran perusahaan diikuti oleh karakteristik lain yang mempengaruhi struktur keuangan. Karakteristik lain tersebut seperti perusahaan sering tidak mempunyai staf khusus, tidak menggunakan rencana keuangan, dan tidak mengembangkan sistem akuntansi mereka menjadi suatu sistem manajemen.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa skala besar kecilnya suatu perusahaan sangat berpengaruh pada ekspektasi dari pihak luar perusahaan terutama dalam investasi dan permodalan. Dan perusahaan yang makin besar secara tidak langsung sudah menunjukan kinerja perusahaan yang baik.
1.1.2.5 Perhitungan Ukuran Perusahaan
Penggunaan totakl aktiva sebagai alat ukur perusahaan beberapa penelitian yang dilakukan oleh Yusuf dan Soraya (2004), Hasan dan Bahir (2003), Nugraheni dan Hapsoro (2007), dan Arini (2009). Sedangkan perhitungan ukuran perusahaan secara sistematika adalah sebagai berikut:
Ukuran Perusahaan = Logaritma Natural Total Aktiva
Sumber : Ghozali (2006)
Variabel ukuran perusahaan diukur dengan logaritma natural (Ln) dari total aktiva. Hal ini dikarenakan besarnya total aktiva masing-masing perusahaan berbeda bahkan mempunyai selisih yang besar, sehingga dapat menyebabkan nilai yang ekstrim. Untuk menghindari adanya data yang tidak normal tersebut maka data total aktiva perlu di Ln kan. Logaritma natural sendiri adalah logaritma yang berbasis e adalah 2,7182818….yang terdefinisikan untuk semua bilangan real positif x dan dapat juga didefinisikan untuk bilangan kompleks yang bukan nol.
Berdasarkan beberapa teori tentang ukuran perusahaan tersebut diatas, diantaranya dikemukakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh terhadap skala biaya yang dikeluarkan dan laba yang dihasilkan, hal ini berhubungan dengan informasi keuangan yang diberikan dalam laporan keuangan. Semakin besar ukuran perusahaan pihak pemegang saham dan investor menuntut supaya laba dari perusahaan tersebut semakin besar. Kondisi ini sangat memungkinkan terjadinya praktik manajemen laba oleh manajer.
1.1.3 Komite Audit
Salah satu asas dasar good corporate governance dalam KNKG (2006:5-7) yaitu akuntibilitas dimana perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Manajemen yang akan berusaha memaksimalkan kegiatan perusahaan demi kepentingan pemegang saham. Kondisi ini terkadang terhalangi dengan adanya masalah agency theory dimana kepentingan pemegang saham tidak sejalan dengan kepentingan manajemen.
1.1.3.1 Organ Perusahaan
Organ perusahaan merupakan sekelompok orang yang dibentuk dalam suatu perusahaan untuk melaksanakan, dan mengelola serta memutuskan keputusan-keputusan penting untuk kemajuan operasional dalam suatu perusahaan. Pedoman umum good corporate governance Indonesia dalam KNKG (2006:11-20) ada tiga macam organ perusahaan, yaitu:
1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
RUPS sebagai organ perusahaan merupakan wadah para pemegang saham untuk mengambil keputusan penting yang berkaitan dengan modal yang ditanam dalam perusahaan, dengan memperhatikan ketentuan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan. Keputusan yang diambil dalam RUPS harus didasarkan pada kepentingan usaha perusahaan dalam jangka panjang. RUPS dan atau pemegang saham tidak dapat melakukan intervensi terhadap tugas, fungsi dan wewenang Dewan Komisaris dan Direksi dengan tidak mengurangi wewenang RUPS untuk menjalankan haknya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, termasuk untuk melakukan penggantian atau pemberhentian anggota Dewan Komisaris dan atau Direksi. Penyelenggaraan RUPS merupakan tanggung jawab Direksi. Untuk itu, Direksi harus mempersiapkan dan menyelenggarakan RUPS dengan baik. Dalam hal Direksi berhalangan, maka penyelenggaraan RUPS dilakukan oleh Dewan Komisaris atau pemegang saham sesuai dengan peraturan perundang- undangan dan anggaran dasar perusahaan
2. Dewan Komisaris Dewan komisaris sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggung jawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi serta memastikan bahwa Perusahaan melaksanakan coporate governance. Namun demikian, Dewan Komisaris tidak boleh turut serta dalam mengambil keputusan operasional. Kedudukan masing-masing anggota Dewan Komisaris termasuk Komisaris Utama adalah setara. Tugas Komisaris Utama sebagai primus inter pares adalah mengkoordinasikan kegiatan Dewan Komisaris.
Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Komisaris dapat membentuk komite pendukung, yaitu:
a. Komite Audit Yaitu komite yang bertugas membantu dewan komisaris dalam melakukan pengawasan proses pelaporan keuangan.
b. Komite Nominasi dan Remunerasi Yaitu komite yang bertugas membantu Dewan Komisaris dalam menetapkan kriteria pemilihan calon anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta sistem remunerasinya.
c. Komite Kebijakan Risiko Yaitu komite yang bertugas membantu Dewan Komisaris dalam mengkaji sistem manajemen risiko yang disusun oleh Direksi serta menilai toleransi risiko yang dapat diambil oleh perusahaan
d. Komite Kebijakan Corporate Governance Yaitu komite yang bertugas membantu Dewan Komisaris dalam mengkaji kebijakan good corporate governance secara menyeluruh yang disusun oleh Direksi serta menilai konsistensi penerapannya, termasuk yang bertalian dengan etika bisnis dan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility).
3. Direksi. Organ perusahaan ini harus melakukan fungsinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku atas prinsip bahwa masing-masing organ mempunyai independensi dalam melaksanakan tugas, fungsi dan tanggung jawab untuk kepentingan perusahaan. Dewan komisaris adalah salah satu dari organ perusahaan yang berfungsi sebagai pengawas dalam pengelolaan perusahaan.
Dalam KNKG (2006:13) dikemukakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, dewan komisaris dapat membentuk komite. Usulan dari komite disampaikan kepada Dewan Komisaris untuk memperoleh keputusan. Bagi perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek, perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan yang menghimpun dan mengelola dana masyarakat, Dalam KNKG (2006:13) dikemukakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, dewan komisaris dapat membentuk komite. Usulan dari komite disampaikan kepada Dewan Komisaris untuk memperoleh keputusan. Bagi perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek, perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan yang menghimpun dan mengelola dana masyarakat,
1.1.3.2 Pengertian Komite Audit
Arens dkk, (2008:86) mendefinisikan komite audit adalah sekelompok atau beberapa orang yang terdiri dari anggota dewan komisaris yang memiliki tanggung jawab dalam membantu auditor dalam mempertahankan independensinya dari manajemen.
IKAI (2010) mengemukakan bahwa komite audit merupakan salah satu unsur kelembagaan dalam konsep good corporate governance yang diharapkan mampu memberi kontribusi tinggi dalam level penerapannya. Keberadaan komite audit diharapkan mampu meningkatkan kualitas pengawasan internal perusahaan serta mampu mengoptomalkan mekanisme cheks and balance, yang pada akhirnya ditujukan untuk memberikan perlindungan yang optimal kepada para pemegang saham dan stakeholder lainnya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa komite audit adalah sekelompok orang yang dipilih dan dibentuk oleh dewan komisaris untuk membantu tugas dewan komisaris khususnya dalam mengawasi proses penyajian laporan keuangan sehingga menghasilkan informasi keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku dan dapat memberikan informasi yang sebenarnya akan kondisi suatu perusahaan.
Pemerintah dalam keputusan ketua BAPEPAM No. Kep-29/PM/2004 dengan menyatakan bahwa komite audit adalah komite yang dibentuk oleh Dewan Komisaris dalam rangka membantu melaksanakan tugas dan fungsinya. Sedangkan untuk perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, maka Bursa Efek Indonesia mengeluarkan peraturan yang tertera pada surat keputusan nomor: Kep-339/BEJ/07-2001 pada tanggal 1 Juli 2001 tentang Pemerintah dalam keputusan ketua BAPEPAM No. Kep-29/PM/2004 dengan menyatakan bahwa komite audit adalah komite yang dibentuk oleh Dewan Komisaris dalam rangka membantu melaksanakan tugas dan fungsinya. Sedangkan untuk perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, maka Bursa Efek Indonesia mengeluarkan peraturan yang tertera pada surat keputusan nomor: Kep-339/BEJ/07-2001 pada tanggal 1 Juli 2001 tentang
1.1.3.3 Tugas Komite Audit
Menurut KNKG (2006:15) tugas dari Komite Audit membantu Dewan Komisaris untuk memastikan bahwa:
1. Laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
2. Struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik.
3. Pelaksanaan audit internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang berlaku.
4. Perusahaan telah melaksanakan tata kelola perusahaan sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku.
5. Tindak lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen.
6. Komite Audit memproses calon auditor eksternal termasuk imbalan jasanya untuk disampaikan kepada Dewan Komisaris.
Tugas dan tanggung jawab komite audit juga dipertegas melalui keputusan Ketua BAPEPAM Nomor: Kep-41/PM/2003 yang menyebutkan bahwa komite audit bertugas untuk memberikan pendapat kepada dewan komisaris terhadap laporan keuangan atau hal-hal yang disampaikan oleh direksi kepada dewan komisaris, mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian dewan komisaris, dan melaksanakan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan tugas dewan komisaris.
Revisi selanjutnya dilakukan dengan keputusan Ketua BAPEPAM Nomor: Kep-29/PM/2004 pada tanggal 24 September 2004 tentang pembentukan dan pedoman pelaksanaan kerja komite audit. Peraturan tersebut mengatur tentang kriteria khusus bagi seseorang yang akan menjabat sebagai ketua maupun anggota komite audit, tugas dan tanggung jawab komite audit. Dengan adanya peraturan tersebut komite audit menjadi lebih terarah dalam melaksanakan tugasnya.
1.1.3.4 Peran Komite Audit
Berdasarkan pada tugas-tugas Komite Audit seperti telah dijelaskan, khususnya tugas dalam penerapan pelaksanaan corporate governance yang baik serta dalam pengawasan laporan keuangan, apabila tugas ini dapat dilaksanakan dengan baik oleh komite audit maka perusahaan dapat menyajikan laporan keuangan yang dapat dipercaya. Laporan keuangan yang baik akan merefleksikan keadaan sebenarnya perusahaan tersebut sehingga keputusan yang diambilo oleh pemegang saham dan investor dapat diambil dengan benar. Sehingga dapat dipastikan bahwa komite audit ini sangat penting sekali dalam menjaga kualitas laporan keuangan perusahaan, sehingga diharapkan dengan adanya komite audit ini praktik manajemen laba dapat dihindarkan.
Tugas dan peran dari komite audit ini diharapkan dapat dilaksanakan dengan baik, dengan demikian pembentukan komite audit ini benar-benar efektif dan menghasilkan kinerja yang dapat dipercaya dan dapat diandalkan.
1.1.3.5 Karakteristik Komite Audit
Hermawan (2009) mengatakan efektifitas komite audit dapat dilihat dari karakteristik dari komite audit yaitu independensi, aktivitas, jumlah anggota dan kompetensi komite audit.
1. Idependensi komite Audit Menurut Tugiman (1995) independensi merupakan landasan dari efektivitas komite audit. Kinerja komite audit menjadi efektif jika para anggotanya memiliki kemandirian dalam menyatakan sikap dan pendapat. Untuk menjamin independensi keputusan Ketua BAPEPAM Nomor: Kep-29/PM/2004 menetapkan persyaratan bagi pihak-pihak yang menjadi anggota komite audit, yaitu:
a. Bukan merupakan orang dalam kantor akuntan publik, kantor a. Bukan merupakan orang dalam kantor akuntan publik, kantor
b. Bukan merupakan orang yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin, atau mengendalikan kegiatan emiten atau perusahaan publik dalam waktu enam bulan terakhir sebelum diangkatn oleh komisaris, kecuali komisaris independen.
c. Tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada emiten atau perusahaan publik. Dalam hal anggota komite audit memperoleh saham akibat suatu peristiwa hukum maka dalam jangka waktu paling lama enam bulan setelah diperolehnya saham tersebut wajib mengalihkan kepada pihak lain.
d. Tidak mempunyai hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horisontal maupun secara vertikal dengan komisaris, direksi, atau pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik.
e. Tidak memiliki hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatn emiten atau perusahaan publik.
Independensi dimaksudkan untuk memelihara integritas serta pandangan yang obyektif dalam pelaporan serta penyusunan rekomendasi yang diajukan oleh komite audit, karena anggota yang independen cenderung lebih adil dan tidak memihak dalam menangani suatu permasalahan. Independensi komite audit pada penelitian ini diukur dengan menggunakan indeks standar dari KNKG (2006:15) juga disebutkan bahwa komite audit diketuai oleh Komisaris independen dan anggota dapat terdiri dari komisaris dan atau pelaku profesi dari luar perusahaan, yang berarti salah satu dari anggota komite audit harus bersifat independen.
2. Aktifitas Komite Audit Menurut Atania (2000) aktifitas komite audit yang mempengaruhi efektivitas komite audit adalah pertemuan formal dan informal. Pertemuan formal komite audit merupakan hal penting bagi kesuksesan komite audit. Pada umumnya komite audit bersidang dua sampai tiga kali dalam setahun yaitu sebelum laporan keuangan dikeluarkan, sesudah pelaksanaan audit dan sebelum laporan keuangan dikeluarkan, serta sebelum RUPS tahunan. Selain pertemuan formal, komite juga melakukan komunikasi dengan manajemen, akuntan publik, dan auditor internal. Ketua komite audit membuat agenda rapat dengan menerima masukan dari manajemen, auditor internal, dan auditor eksternal. Berbagai agenda yang harus dibicarakan dapat dilakukan dalam pertemuan formal maupun dalam pertemuan informal. Melalui keputusan Dalam KNKG (2006:15) serta peraturan BAPEPAM Nomor: Kep-29/PM/2004 menghimbau bahwa setidak- tidaknya komite audit melakukan rapat minimal 4 (empat) kali dalam setahun atau kuartalan Variabel frekuensi pertemuan komite audit dalam penelitian ini menggunakan nilai indeks standart peraturan dari BAPEPAM bahwa setidak-tidaknya komite audit melakukan rapat minimal 4 (empat) kali dalam setahun atau kuartalan