MEKANISME PERTAHANAN DIRI WANITA DARI ORANGTUA YANG BERCERAI DALAM MENJALIN KEINTIMAN DENGAN PRIA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

MEKANISME PERTAHANAN DIRI
WANITA DARI ORANGTUA YANG BERCERAI
DALAM MENJALIN KEINTIMAN DENGAN PRIA

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi

Oleh
Celeste Urmeneta
NIM : 009114101

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2008

Ilalamrn PersetujuanPembimbing
SKilFSI

MEKANISME PERTAHANAN DIRI
WAITIITA I}ARI ORANGTUA YANG BERCERAI
DALAM MENJALIN KEINTITT{AN I}ENGAIITPRIA

H9

,""*,"1"*"
ML. Anffntasaxi,
S.Psi.,M.Si.

1l

Halaman Pcngesahan
SKRIPSI
MEKAFNSME PERTAEANAII{ I}IRI
WAI{ITA DARI ORANGTUA YANG BERCERAI
DAfuTM MENJALIN I(EINTIMAITI I}ENGAN PBIA
Dpersiapkandan ditulis oleh

Jabatsn

Kefira
Sekretaris
Anggota

Yoryakarta,I September
20S8
FakultasPsikologi
UnivcrsitasSanata
Dhanna

iii

ABSTRAK
Celeste Urmeneta
Mekanisme Pertahanan Diri Wanita dari Orangtua yang Bercerai dalam Menjalin
Keintiman dengan Pria.
Perceraian orangtua memberikan trauma dan pengaruh jangka panjang
pada perkembangan peran jender anak perempuan. Anak perempuan memiliki
kesulitan untuk menjalin hubungan dengan lawan jenisnya karena adanya
pandangan negatif terhadap pria sebagai akibat dari perceraian orangtuanya. Pada

saatnya anak perempuan tersebut akan mencapai usia dewasa awal dimana dirinya
dituntut untuk menjalani tugas-tugas perkembangan pada fase usia tersebut. Salah
satu tugas perkembangan terpenting di usia dewasa awal adalah menjalin
keintiman dengan lawan jenis agar kelak mampu memilih pasangan hidup dan
membangun rumah tangga. Tugas perkembangan ini mengangkat kembali trauma
akan perceraian orangtuanya dan akan memberikan kecemasan. Salah satu cara
untuk meredakan kecemasan tersebut adalah dengan melalukan mekanisme
pertahanan diri. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan
mekanisme pertahanan diri yang dilakukan oleh wanita dengan latar belakang
orangtua yang bercerai ketika menjalin keintiman dengan pria.
Subyek dalam penelitian ini adalah 2 wanita berusia 23 tahun dan 25 tahun
yang memiliki pengalaman perceraian orangtua sebelum keduanya memasuki
masa remaja. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, dan
metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
dan 2 alat tes proyektif, yaitu TAT dan tes Grafis. Metode ini dipilih untuk dapat
mengungkapkan pengalaman-pengalaman yang bersifat subconscious (tidak
disadari), terutama mekanisme pertahanan diri dari subyek.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua subyek melakukan mekanisme
pertahanan diri ketika menjalin hubungan dengan keintiman dengan pria.
Mekanisme pertahanan diri yang dilakukan merupakan respon dari agresi emosi

atas kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi, dimana kebutuhan-kebutuhan
tersebut muncul sebagai akibat dari tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan
tertentu dari orangtua terutama ayah, dan akibat dari perceraian orangtua.
Kata kunci: Mekanisme Pertahanan Diri, perceraian orangtua, masa dewasa awal,
tugas perkembangan.

iv

ABSTRACT
Celeste Urmeneta
Defense Mechanism of Women from Divorced Parents
in Relating Intimacy to Men
Parental divorced gives trauma and long term effect on gender
development to children especially girls. These girls will undergo difficulty to
relate with boys because of the negative point of view on men as a result from the
separation of their parents. In time, these girls will reach the beginning of their
adulthood where they have to face the developmental tasks on that specific fase.
One of the important tasks that they have to undergo is to build intimacy with men
so that they could choose potential partner in preparation to married life. This task
would bring back the traumatic experience of their parents’ separation and will

give them anxiety. One of the ways to overcome this anxiety is doing self defense
mechanisms. Therefore, the objective of this research is to give broad picture of
the defense mechanisms which is done by women who experienced parental
divorced in relating intimacy to men.
The participants in this research are 2 women aged 23 and 25 years old
who experienced parental divorced before they reach their teenage life. This
research is a descriptive qualitative research, and the methods used to gather the
data needed are interviews and 2 projective tests, TAT and Grafis. These methods
were chosen to reveal subconscious experiences, especially the defense
mechanisms of the participants.
The result of this research shows that both participants did defense
mechanisms in their intimate relationship with men. The defense mechanisms
done by both participants were as a result of their responses to unfulfilled needs,
where these needs were the result of the unfulfilled needs from their parents,
especially from father, and also as the effect from their parents’ separation.
Key words: defense
developmental tasks.

mechanisms,


parental

v

divorced,

adulthood,

and

LEMBAR PERNYATAAF{ PERSETUJ UAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN

AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas SanataDhatma:
Nama


: Celeste Urmeneta

Nomor Mahasiswa

: 009114101

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas SanatsDharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Mekanisme Pertahanan Diri
'lTanita
dari Orangtua yang Bercerai
Dalam Menjalin Keintiman dcngan Pria
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan
data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau
media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya
maupnn memberikan royalti kepada saya selamatetayt mencantumkan nama saya
sebagaipenulis.


Demikizur pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Padatanggal : 26 September2008

Yang menyatakan
lnl

/r/f^-T l\\

I

t

t

art

a

|


tr -

-

ll

a

t,l
| I llil | /tTD
'v\-/uuwvvv
-- /,1
-/V,11

ll

lalaa4;
l(
f ugrgDLg


I I*^6^+^l
ullltgllgtat,

vl

KATA PENGANTAR

Pada akhirnya karya ini selesai sudah. Syukurku padaNYA yang menguasai
Langit dan Bumi beserta isinya, untuk segala berkah yang diberikanNYA.
Terima kasih untuk Papa dan Mama, yang terus memberikan kasih dan
sayang, dan dukungan yang tak pernah usai. Untuk abangku Phidias, kakak iparku
Shinta, dan keponakanku Dennis, serta dua adikku Fernando dan Emelyn, terima
kasih atas segala makna yang kalian berikan.
For Lola in heaven, I’m so sorry that I failed to give you the chance to witness
that I finally made it.
My beloved, Didik Dwi Budi Saputro, thank you so much for everything.
Terima kasih untuk ibu Ari atas kesabarannya dalam membimbing, untuk ibu
Agnes dan mbak Tia atas bantuannya dalam proses pengerjaan karya ini. Terima
kasih untuk bapak Minto yang tidak pernah lupa untuk memberikan “teguran”.

Terima kasih juga untuk Mas Gandung, mbak Nanik, pak Giek, mas Doni dan mas
Muji atas semua bantuan yang telah diberikan. Tidak lupa terima kasih saya untuk ibu
Sylvi atas pengertian yang luar biasa.
Terima kasih sebesar-besarnya pada kedua subyek penelitian dalam karya ini,
YD dan GDA, tanpa kesediaan kalian untuk berpartisipasi karya ini akan terlalu sulit
untuk terelialisasikan.
Tidak terlupakan terima kasih untuk Pipit dan mas Bagus, Semedi crew and
partners (yang sekarang dan yang telah tergantikan), Seruni crew, dan keluarga besar
Wisma Bahasa khususnya Wisma Bahasa English Division. Terima kasih kalian telah
menjadi teman, adik, kakak, dan yang terpenting telah menjadi sahabat disaat susah
dan senang.

Penulis

vii

PERNYATAAI\ KEASLIAN KARYA

bahwa skripsi ytrng sayatulis ini belum
Sayamenyataktrndengzrnsesungguhnya
pernah diajukan oleh orang lain untuk memperolehgelar kesarjanaandi suatu
PerguruanTinggi dan tidak memuatkarya atau bagian karla orang lain, kecuali
yang secaratertulis tclah disebutkand:rlamkutipan dandaffarpustal[a

25 Agustus2008
Yogyakarta,
Penulis,

M

CelesteUrmeneta

vl1t

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………….. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………………… ii
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………….. iii
ABSTRAK ……………………………………………………………………… iv
ABSTRACT ……………………………………………………………………... v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ………………………………. vi
KATA PENGANTAR ……………………..…………….…………………….. vii
PENYATAAN KEASLIAN KARYA ………………………..………………. viii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………..... ix
DAFTAR SKEMA ………………………..…………………………………..... xii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ………………...…………………………………….... xiv
BAB I : PENDAHULUAN ……………………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………... 1
B. Batasan Masalah ………………………………………………………... 6
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………………. 7
D. Manfaat Penelitian ……………………………………………………... 7
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ………………………………..……………... 8
A. Wanita ………………………………………………………………….. 8
1. Batasan Wanita ………………………………………………………. 8
2. Pengertian Usia Dewasa Awal ………………………………………. 8
3. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal …………….…………..... 9
B. Keintiman ……………………………………………………………... 11
1. Pengertian Keintiman ………………………………………………. 11
2. Nilai Penting Keintiman ……………………………………………. 12
3. Keintiman Dengan Lawan Jenis ……………………………………. 12
C. Perceraian Orangtua …………………………………………………... 13
1. Pengertian Perceraian Orangtua ……………………………………. 13

ix

2. Dampak Perceraian Orangtua terhadap Perkembangan Keintiman
dengan Pria dalam Pertumbuhan Anak Perempuan ……………………. 14
D. Mekanisme Pertahanan Diri …………………………………………... 15
1. Pengertian Mekanisme Pertahanan Diri ……………………………. 15
2. Jenis-jenis Mekanisme Pertahanan Diri ……………………………. 18
E. Pengukuran Mekanisme Pertahanan Diri ……………………………... 23
1. Wawancara …………………………………………………………. 23
2. TAT (Thematic Apperception Test) ………………………………... 25
3. Tes Grafis …………………………………………………………... 30
F. Mekanisme Pertahanan Diri Wanita dari Orangtua yang Bercerai dalam
Menjalin Keintiman dengan Pria .…………………………………….. 33
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN …………………………………….. 38
A. Jenis Penelitian ………………………………………………………... 38
B. Batasan Istilah ………………………………………………………… 38
C. Subyek ………………………………………………………………… 41
D. Metode Pengumpulan Data …………………………………………… 42
E. Analisis Data ………………………………………………………….. 45
F. Keabsahan Data Penelitian ……………………………………………. 49
BAB IV : PELAKSANAAN PENELITIAN DAN HASIL PENELITIAN ..….. 53
A. Pelaksanaan Penelitian ………………………………………………... 53
B. Hasil Penelitian ……………………………………………………….. 55
1. Subyek 1 ……………………………………………………………. 55
a. Penyajian Data Subyek 1 ………………………………………… 55
b. Analisis Data Subyek 1 ………………………………………….. 67
2. Subyek 2 ……………………………………………………………. 72
a. Penyajian Data Subyek 2 ………………………………………… 72
b. Analisis Data Subyek 2 ………………………………………….. 79
C. Pembahasan …………………………………………………………… 85
BAB V : KESIMPULAN & SARAN ………………………………………… 107
A. Kesimpulan ………………………………………………………….. 107
B. Saran …………………………………………………………………. 108

x

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 109
LAMPIRAN ....................................................................................................... 112

xi

DAFTAR SKEMA

Skema 1 : Kerangka Penelitian ………………………………………………… 37
Skema 2 : Dinamika Mekanisme Pertahanan YD ……...................……………. 95
Skema 3 : Dinamika Mekanisme Pertahanan GDA ……….....................…..… 101
Skema 4 : Hasil Penelitian ................................................................................. 106

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Mekanisme Pertahanan YD Berdasar Hasil Wawancara ..…………… 63
Tabel 2 : Ringkasan Hasil Interpretasi Grafis YD ....................………………....64
Tabel 3 : Mekanisme Pertahanan Diri YD Berdasar Hasil T.A.T .......………… 67
Tabel 4 : Uraian Mekanisme Pertahanan Diri YD ...................………………… 68
Tabel 5 : Mekanisme Pertahanan Diri GDA Berdasar Hasil Wawancara ............ 76
Tabel 6 : Ringkasan Hasil Interpretasi Grafis GDA ........................................... 77
Tabel 7 : Mekanisme Pertahanan Diri GDA Berdasar Hasil T.A.T ..................... 79
Tabel 8 : Uraian Mekanisme Pertahanan Diri GDA ........................................... 79
Tabel 9 : Rekapitulasi Hasil Penelitian YD dan GDA ......................................... 82

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Tabel Tema / Karakter Stimulus Kartu-kartu TAT ...................... 112
Lampiran 2 : Tabel Panduan Pertanyaan Wawancara ........................................ 116
Lampiran 3 : Tabel Transkrip Verbatim Wawancara Subyek ............................ 118
Lampiran 4 : Gambar tes Grafis Subyek 1: BAUM, DAP, dan HTP ................ 161
Lampiran 5 : Hasil TAT Subyek 1 ..................................................................... 164
Lampiran 6 : Tabel Transkrip Verbatim Wawancara Subyek 2 ......................... 180
Lampiran 7 : Gambar tes Grafis Subyek 2: BAUM, DAP, dan HTP ................ 215
Lampiran 8 : Hasil TAT GDA Subyek 2 ……………………………………... 218

xiv

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Ketika seorang wanita memasuki usia dewasa awal, seperti pada tahaptahap kehidupan sebelumnya, dia akan dihadapkan pada sekumpulan tugas
perkembangan. Tugas perkembangan adalah tugas yang muncul pada saat atau
sekitar suatu periode tertentu dari kehidupan individu, yang jika berhasil akan
menimbulkan rasa bahagia dan membawa ke arah keberhasilan dalam
melaksanakan tugas-tugas berikutnya, namun bila gagal, menimbulkan rasa tidak
bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya (Havighurst
dalam Hurlock, 1980).
Menurut Hurlock (1980), tugas-tugas perkembangan di usia dewasa awal
dititikberatkan pada aspek karier dan membina sebuah hubungan sosial yang lebih
berarti. Pada aspek karier individu (wanita maupun pria) diharapkan dapat meniti
sebuah pekerjaan yang dapat mendukung gaya hidup mereka kelak. Sedangkan
pada aspek hubungan sosial individu diharapkan mampu membangun sebuah
keintiman (intimacy) dengan lawan jenis, agar kelak dapat memilih pasangan
hidup dan membangun rumah tangga. Yang dimaksud dengan keintiman adalah
kemampuan untuk membangun sebuah kedekatan dan hubungan cinta (Erikson
dalam Halonen dan Santrock, 1996).
Walaupun tugas-tugas perkembangan tersebut merupakan tugas yang sama
pentingnya, tugas-tugas tersebut belum tentu dapat berjalan beriringan dengan

1

2

seimbang. Hurlock (1980) menjelaskan bahwa ketika seseorang mulai terjun
dalam dunia karier orang dewasa, hubungan dengan teman-teman kelompok
sebaya masa remaja menjadi renggang. Persaingan dan keinginan untuk maju
dalam karier membuat individu mencurahkan sebagian besar tenaga dalam hal ini,
yang menyebabkan sangat berkurangnya waktu untuk sosialisasi yang dibutuhkan
dalam membina keintiman.
Bagi seorang wanita, berkurangnya intensitas dalam menjalin keintiman
dapat merupakan masalah yang lebih besar dibandingkan dengan seorang pria.
Hal tersebut dikarenakan hubungan-hubungan yang terjalin di kalangan wanita
lebih menunjukkan keintiman daripada hubungan-hubungan yang terjalin di
kalangan pria (Antonucci dalam Hayer dan Roodin, 2003).
Penjelasan di atas menyatakan bahwa karier memberikan pengaruh dalam
perkembangan keintiman, terutama dengan lawan jenis. Namun karier bukanlah
satu-satunya hal yang memberikan pengaruh demikian. Santrock (2003)
menuturkan bahwa hubungan pernikahan orangtua mempengaruhi pandangan
remaja putri dalam membentuk hubungan kencan dengan lawan jenis.
Olmstead beserta beberapa peneliti lainnya berpendapat bahwa anak-anak
dari orangtua yang bercerai beresiko lebih besar untuk memiliki perasaan
kesepian (loneliness) ketika dewasa dibandingkan dengan anak-anak dari orangtua
yang tidak bercerai (Taylor, Peplay, Sears, 2000). Perasaan kesepian (loneliness)
ini menurut Santrock (2003) dapat mempengaruhi ketrampilan sosial seseorang. Ia
menjelaskan bahwa individu yang kesepian cenderung tidak memiliki kemampuan
untuk mengembangkan keintiman yang sesuai.

3

Agus (dalam Anggraini, Alia: Pesona Muslimah, Desember 2004)
mengemukakan bahwa perceraian orangtua mengakibatkan kecemasan pada anak.
Hal ini dapat menjadi trauma akan pernikahan, pertengkaran, dan merasa takut
gagal dan takut berhubungan dengan lawan jenis ketika anak dewasa.
Kartono

(1992)

menjabarkan

bahwa

perceraian

orangtua

dan

dipisahkannya anak dari ayah merupakan pengalaman traumatis masa kanakkanak yang menyebabkan gangguan-gangguan neurotis pada masa pra-pubertas
anak perempuan. Gangguan-gangguan neurotis yang dimaksud adalah kecemasankecemasan, rasa rendah diri, dan rasa tidak mampu melaksanakan tugas-tugas
hidup.
Sebuah

penelitian

yang

dilakukan

oleh

Udry

dan

Wallerstein

mengungkapkan bahwa remaja putri yang tumbuh tanpa kehadiran ayah akibat
perceraian memiliki kesulitan untuk berinteraksi dengan teman lawan jenis seusia
mereka. Sementara itu menurut sebuah observasi yang dilakukan oleh Stevenson
dan Black anak perempuan yang tumbuh tanpa kehadiran ayah akibat perceraian
mempunyai masalah jangka panjang, terutama dalam perkembangan peran gender
(Vasta, Haith, Miller, 1995).
Seperti yang telah dijelaskan diatas, perceraian orang tua diikuti dengan
ketidakhadiran ayah yang terjadi di masa kanak-kanak ternyata memberikan
dampak yang sedemikian besar dalam perkembangan keintiman dengan lawan
jenis dalam kehidupan seorang wanita, bahkan sejak usia remaja. Namun
demikian tugas-tugas perkembangan yang merupakan sekelompok harapan dari
masyarakat ini harus tetap dilaksanakan.

4

Teori psikoanalisis yang dipelopori oleh Sigmund Freud mengatakan
bahwa pengalaman traumatis di dalam keluarga yang terjadi di masa kanak-kanak
dapat menimbulkan konflik psikologis dan kecemasan-kecemasan dalam
kehidupan individu (Pervin dan John, 1997; Taylor, Peplay, Sears, 2000).
Kecemasan merupakan pengalaman emosional menyakitkan yang menyebabkan
munculnya perasaan terancam atau tidak aman bagi seseorang (Pervin dan John,
1997), karenanya individu secara tidak sadar (unconscious) akan melakukan
mekanisme pertahanan diri (defense mechanisms) untuk melindungi dirinya dari
kecemasan tersebut (Pervin dan John, 1997; Santrock, 2003).
Freud mengemukakan 3 sistem pokok yang membentuk kepribadian dalam
teori psikoanalisis, yaitu id, ego, dan superego. Ketiga sistem kepribadian tersebut
memiliki fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja, dinamisme, dan mekanisme
masing-masing, namun ketiganya berinteraksi dengan erat satu sama lain (Hall
dan Lindzey, 1993).
Freud menjelaskan bahwa id merupakan sistem kepribadian yang bersifat
tidak sadar dan tidak memiliki kontak dengan kenyataan. Id bekerja menggunakan
prinsip kenikmatan (pleasure principle), yaitu bahwa id selalu mencari
kenikmatan dan menghindari rasa sakit. Sama seperti id, superego juga bersifat
tidak sadar dan tidak memiliki kontak dengan kenyataan. Superego bertanggung
jawab untuk membangun sistem moral dalam kepribadian, dan selalu
mempertimbangkan sesuatu dengan penilaian baik atau buruk. Berbeda dengan id
dan superego, ego bersifat sebagian sadar (partly conscious) dan bekerja
berdasarkan prinsip kenyataan (reality principle), yaitu konsep dimana ego

5

berusaha untuk menyelaraskan pemenuhan kenikmatan bagi individu dengan
nilai-nilai dalam masyarakat (Halonen dan Santrock, 1996).
Freud menjelaskan lebih lanjut bahwa kecemasan, yang telah disebutkan
sebelumnya, terbentuk karena adanya konflik antara id dan superego. Kecemasan
ini kemudian berperan sebagai sinyal bahaya bagi ego agar dapat bertindak
(Pervin dan John, 1997). Apabila ego tidak dapat menanggulangi kecemasan
dengan cara-cara rasional, maka ego akan menggunakan cara-cara yang tidak
realistis yang disebut mekanisme pertahanan diri (Hall dan Lindzey, 1993).
Mekanisme pertahanan diri ini dikatakan tidak realistis karena ego akan
menyangkal, memalsukan, atau mendistorsi/merusak realitas/kenyataan (Hall dan
Lindzey, 1993; Santrock, 2003).
Seperti yang telah dikemukakan oleh Agus (dalam Aggraini, Alia: Pesona
Muslimah, Desember 2004), perceraian orangtua mengakibatkan kecemasan pada
anak yang dapat menjadi trauma akan pernikahan dan memberikan perasaan takut
gagal dan takut berhubungan dengan lawan jenis ketika anak dewasa. Ketika anak
perempuan tumbuh menjadi remaja, perasaan takut gagal dan takut berhubungan
dengan lawan jenis tersebut ditunjukkan dengan kesulitannya berinteraksi dengan
teman lawan jenis seusianya (Udry dan Wallerstein dalam Vasta, Haith, Miller,
1995).
Pada saatnya remaja perempuan ini akan memasuki usia dewasa awal
dimana ia akan dituntut untuk membangun sebuah keintiman dengan lawan jenis,
yang merupakan salah satu tugas perkembangan terpenting di fase ini (Hurlock,
1980). Tugas perkembangan merupakan sekelompok harapan dari masyarakat

6

(Hurlock, 1980), sehingga sudah selayaknya bila individu memenuhi tugas-tugas
perkembangan yang ada karena itu yang dinilai benar. Konsep ini sejalan dengan
konsep yang digunakan oleh superego yang selalu mempertimbangkan sesuatu
dengan penilaian baik atau buruk dan selaras dengan nilai-nilai dalam masyarakat
(Halonen dan Santrock, 1996).
Perasaan takut gagal dan takut berhubungan dengan lawan jenis (pria)
sebagai dampak dari kecemasan atas perceraian orangtua bertemu dengan harapan
masyarakat

untuk

membangun

keintiman

sebagai

pemenuhan

tugas

perkembangan akan membentuk konflik yang menimbulkan kecemasan bagi ego.
Ego menemui kesulitan dalam menyelaraskan 2 hal tersebut secara bersamaan,
dan untuk menanggulanggi hal ini ego akan melakukan mekanisme pertahanan
diri.
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti bermaksud untuk menggambarkan
mekanisme pertahanan diri yang digunakan oleh wanita dari orangtua yang
bercerai dalam menjalani tugas perkembangannya menjalin keintiman dengan
pria.

B. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini, peneliti membatasi masalah pada penggambaran
mekanisme pertahanan diri wanita dari orangtua yang bercerai dalam menjalin
keintiman dengan pria.

7

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mekanisme
pertahanan diri yang dilakukan oleh wanita dari orangtua yang bercerai dalam
menjalin keintiman dengan pria.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Sebagai informasi yang dapat memperkaya wawasan dan pemahaman
tentang mekanisme pertahanan diri serta penyajian fakta dan pengetahuan
di bidang psikodinamika bagi para peneliti maupun civitas akademika
pada umumnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi para orangtua, penelitian ini diharapkan mampu menjelaskan
dampak dari perceraian bagi kehidupan anak perempuan pada
perkembangan hubungan interpersonal, terutama dalam membina
keintiman dengan pria pada saat anak dewasa.
b. Hasil dari penelitian ini juga dapat memberikan masukan bagi anakanak perempuan dan wanita-wanita dari orangtua yang bercerai agar
memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang mekanisme
pertahanan diri yang muncul ketika mereka menjalin keintiman dengan
pria.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Wanita
1. Batasan Wanita
Wanita adalah sebutan untuk perempuan dewasa (Salim dan Salim, 1991).
Masa dewasa menurut Hurlock (1980) dibagi menjadi 3, yaitu: masa dewasa
dini/awal, masa dewasa madya, dan masa dewasa lanjut/usia lanjut. Ketiga
rentang usia tersebut memiliki ciri-ciri dan tugas perkembangannya masingmasing.
Penelitian ini membatasi istilah wanita pada wanita usia dewasa awal.
Pengertian dan tugas perkembangan dewasa awal tidak membedakan antara
wanita dan pria, karenanya penjelasan mengenai pengertian dan tugas
perkembangan dewasa awal dalam penelitian ini menggunakan teori yang
berlaku bagi kedua jenis kelamin.
2. Pengertian Usia Dewasa Awal
Mappiare (1983) memberikan pengertian masa dewasa dipandang dari 3
sudut pandang: sudut pandang hukum, pendidikan, dan biologis.
a. Secara hukum masa dewasa dimulai sejak seseorang menginjak usia 21
tahun (meskipun belum menikah) atau sejak seseorang menikah (meskipun
belum berusia 21 tahun), dan telah dapat dituntut tanggung jawab atas
perbuatan-perbuatannya.

8

9

b. Pada sudut pandang pendidikan, masa dewasa merupakan masa dicapainya
keemasan kognitif, afektif, dan psikomotor sebagai hasil ajar latih yang
ditunjang kesiapan.
c. Secara biologis masa dewasa adalah suatu keadaan tumbuhnya ukuranukuran tubuh dan mencapai kekuatan maksimal serta siap “berproduksi”.

Ketiga pandangan atas pengertian masa dewasa diatas menekankan pada
titik bermulanya masa dewasa, karenanya dapat pula dikatakan bahwa
ketiganya menjelaskan pengertian dari usia dewasa awal. Selain ketiga
pengertian yang telah dijelaskan ada pula pengertian yang hanya membatasi
rentang usia dari usia dewasa awal. Levinson menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan usia dewasa awal adalah rentang usia antara 22 hingga 40
tahun (Hayer dan Roodin, 2003).
Untuk kepentingan penelitian ini, yang dimaksud dengan wanita usia
dewasa awal adalah wanita yang berusia antara 21 hingga 30 tahun, belum
menikah, sedang menjalani/telah menyelesaikan pendidikan S1, atau sudah
bekerja.
3. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal
Becker menyatakan bahwa masa dewasa awal merupakan masa
penyesuaian terhadap pola-pola kehidupan yang baru, dan harapan-harapan
sosial yang baru. Individu diharapkan memainkan peran-peran baru dalam
berbagai hal, seperti sebagai suami/istri, orang tua dan sebagai pemimpin
rumah-tangga, serta mengembangkan sikap-sikap, minat-minat dan nilai-nilai

10

dalam memelihara peranan-peranannya yang baru tersebut (Mappiare, 1983).
Harapan-harapan tersebut oleh Hurlock disebut sebagai tugas perkembangan
(1980). Tugas perkembangan adalah tugas yang muncul pada saat atau sekitar
suatu periode tertentu dari kehidupan individu, yang jika berhasil akan
menimbulkan rasa bahagia dan membawa ke arah keberhasilan dalam
melaksanakan tugas-tugas berikutnya, namun bila gagal, menimbulkan rasa
tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya
(Havighurst dalam Hurlock, 1980). Berdasarkan pengertiannya, keberhasilan
individu dalam menjalani tugas perkembangan dalam periode tertentu
dipengaruhi oleh berhasil atau tidaknya individu tersebut menjalani tugas
perkembangan di periode sebelumnya. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa keberhasilan individu dalam menjalani tugas perkembangan dewasa
awal dipengaruhi oleh keberhasilannya melewati tugas perkembangan pada
masa remaja. Berikut adalah 8 tugas perkembangan untuk usia dewasa awal
menurut Hurlock:
a. Mulai bekerja
b. Memilih pasangan
c. Belajar hidup dengan tunangan
d. Mulai membina rumah tangga
e. Mengasuh anak
f. Mengelola rumah tangga
g. Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara
h. Mencari kelompok sosial yang menyenangkan.

11

Dari kedelapan tugas perkembangan diatas, penelitian ini hanya akan
menyoroti tugas-tugas pada aspek hubungan sosial. Menurut Hurlock (1980)
tugas-tugas perkembangan dewasa awal yang berhubungan dengan aspek
hubungan sosial ditekankan pada kemampuan individu untuk membangun
sebuah keintiman (intimacy) dengan lawan jenis agar kelak dapat memilih
pasangan hidup dan membangun rumah tangga.

B. Keintiman
1. Pengertian Keintiman
Keintiman, yang juga dikenal dengan istilah intimasi (intimacy), adalah
keadaan atau perasaan dimana setiap orang dalam sebuah hubungan memiliki
keinginan untuk membuka diri (self-disclose) dan mengekspresikan perasaanperasaan dan informasi penting pada orang yang lain (Lefton, 2000). Erikson
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan keintiman adalah kemampuan untuk
membangun sebuah kedekatan dan hubungan cinta (Halonen dan Santrock,
1996).
Sternberg mengemukakan bahwa keintiman, yang

diartikan sebagai

perasaan akan kedekatan emosional, merupakan salah satu komponen dari
cinta, selain komitmen, dan gairah (passion) (Lefton, 2000). Namun keintiman
muncul tidak hanya dalam hubungan percintaan, tapi juga dalam hubungan
pertemanan (Gerrig & Zimbardo, 2002). Untuk kepentingan penelitian ini yang
dimaksud dengan keintiman adalah kemampuan subyek untuk membangun

12

sebuah kedekatan emosional, membuka diri dan mengekspresikan perasaanperasaan dan informasi penting pada pria, dan hubungan cinta dengan pria.
2. Nilai Penting Keintiman
Keintiman memiliki nilai penting dalam pertumbuhan setiap individu.
Erikson menyatakan bahwa keintiman menjadi salah satu tugas dalam masa
dewasa (Gerrig & Zimbardo, 2002), yang bahkan merupakan sebuah syarat
untuk kesehatan psikologis di periode hidup tersebut (Ishii-Kuntz dalam Gerrig
& Zimbardo, 2002). Menurut Erikson keintiman adalah krisis hidup pada masa
dewasa awal yang jika tidak berkembang akan menyebabkan individu
mengalami isolasi (Santrock, 1995). Yang dimaksud dengan isolasi adalah
keadaan dimana individu cenderung menghindari hubungan karena ia tidak mau
melibatkan diri dalam keintiman (Hall dan Lindzey, 1993). Kesuksesan atau
kegagalan dalam menjalin keintiman bergantung pada pengalaman-pengalaman
di fase-fase yang lebih awal selain situasi saat ini (Lemme, 1995).
3. Keintiman dengan Lawan Jenis
Menurut Dindia dan Allen, keintiman merupakan hal yang membedakan
hubungan-hubungan yang dibangun oleh pria dan wanita (Gazzaniga dan
Heatherton, 2003). Namun hanya ada sedikit penelitian mengenai hubungan
intim diluar pernikahan (Lefton, 2000).
Pria dan wanita memiliki standart yang berbeda dalam menilai hubungan
yang intim. Pria mendefinisikan aktifitas mereka dengan teman pria lainnya
sebagai sesuatu yang intim, sedangkan wanita mendefinisikan intimasi sebagai
komunikasi dan keterbukaan diri (self-disclosure) (Brannon, 1996).

13

Ada stereotip yang mengemukakan bahwa pria memiliki kesulitan dalam
membentuk hubungan intim, dimana sebaliknya wanita dinilai lebih mampu
dalam bidang ini (Brannon, 1996). Hal tersebut dikarenakan wanita cenderung
untuk mengungkapkan informasi personal pada teman sesama jenis dan teman
lawan jenis mereka dibandingkan pria (Dindia & Allen dalam Gazzaniga dan
Heatherton, 2003).
Donald O’Meara mengungkapkan adanya kesulitan-kesulitan yang
mendasari hubungan dari jenis kelamin yang berbeda. Salah satunya adalah
bagaimana pria dan wanita memaknai keterikatan emosi. Hadirnya intimasi
dalam sebuah hubungan merupakan nilai yang dianggap penting oleh wanita.
Sedangkan pria sebisa mungkin menghindari intimasi, namun menganggap
penting berbagi aktivitas dalam berhubungan dengan orang lain (Gazzaniga
dan Heatherton, 2003).
Walau demikian Monsour menjelaskan bahwa hubungan beda jenis
kelamin memberikan beberapa aspek positif bagi ke dua belah pihak.
Pertemanan lawan jenis mengakomodasi pengekspresian diri, kebersamaan,
dan keintiman, dan bahwa pertemanan lawan jenis memberikan validasi
keatraktifan dari lawan jenisnya (Monsour dalam Gazzaniga dan Heatherton,
2003).
C. Perceraian Orangtua
1. Pengertian Perceraian Orangtua
Perceraian (Divorce) adalah perpisahan antara 2 hal atau berakhirnya
sebuah pernikahan secara hukum (Oxford Dictionary, 1995). Dengan demikian,

14

perceraian orangtua dapat diartikan sebagai perpisahan antara ayah dan ibu atau
berakhinya pernikahan orangtua yang disahkan secara hukum. Dalam penelitian
ini perceraian orangtua adalah retaknya hubungan pernikahan orangtua yang
diikuti dengan perpisahan ibu dan ayah.
2. Dampak Perceraian Orangtua terhadap Perkembangan Keintiman
dengan Pria dalam Pertumbuhan Anak Perempuan
Perceraian

orangtua

memberikan

pengaruh

jangka

panjang

bagi

pertumbuhan anak. Tekanan emosi yang berkelanjutan dan penurunan prestasi
sekolah yang diakibatkan oleh perceraian tersebut akan memberikan kesulitan
penyesuaian ketika anak memasuki masa dewasa awal (Chase-Lansdale,
Cherlin, & Kiernan dalam Berk, 2000). Bagi anak perempuan, pengaruh jangka
panjang yang paling kuat berhubungan dengan perilaku heterosexual. Mereka
meningkat dalam aktivitas seksual semasa remaja, mengalami kehamilan pada
masa remaja, dan resiko akan perceraian di masa dewasa (Chase-Lansdale,
Cherlin, & Kiernan; Hetherington dalam Berk, 2000).
Santrock (2003) menjelaskan bahwa remaja perempuan yang berasal dari
keluarga yang bercerai dan tumbuh dalam situasi dimana ia harus menyaksikan
pertengkaran setiap saat memiliki kemungkinan untuk mengalami kejadiankejadian yang tak jauh berbeda dalam hubungan kencannya dengan pria. Ia
akan menghadapi situasi dimana ia akan sangat ‘tenggelam’ dalam hubungan
tersebut sebagai salah satu usaha untuk menjauhkan diri dari stress yang harus
dihadapinya, atau menjadi seseorang yang penyendiri, tidak dapat mempercayai
laki-laki dan tidak ingin terlibat secara mendalam dengan seseorang dalam

15

hubungan kencan. Bahkan pada saat ia benar-benar memiliki pasangan kencan,
ia akan menemui kesulitan dalam membangun hubungan yang saling percaya
dengan seorang pria, karena ia telah melihat janji-janji yang telah diingkari oleh
kedua orang tuanya. Selain itu, menurut Hetherington, anak perempuan dari
orang tua yang bercerai memiliki pendapat yang lebih negatif tentang pria dari
pada

anak

perempuan

yang

berasal

dari

struktur

keluarga

lainnya

(Santrock,2003).

D. Mekanisme Pertahanan Diri
1. Pengertian Mekanisme Pertahanan Diri
Mekanisme pertahanan dapat didefinisikan sebagai metode yang
digunakan individu untuk menangani perasaan-perasaan takut, kecemasan, dan
rasa tidak aman (Bellak dan Abrams, 1997). Mekanisme pertahanan diri
mempunyai dua ciri umum, yaitu (1) menyangkal, memalsukan atau
mendistorsi kenyataan, dan (2) bekerja secara tak sadar sehingga individu yang
melakukan mekanisme pertahanan tidak tahu apa yang sedang terjadi (Hall dan
Lindzey, 1993).
Proses terjadinya mekanisme pertahanan diri tidak terlepas dari dinamika
antara id, ego, dan superego. Freud menjelaskan bahwa id adalah struktur
kepribadian

yang

berisi

insting-insting.

Id

yang

merupakan

tempat

penyimpanan/gudang energi fisik individu, sumber dari segala dorongan energi
untuk keberfungsian manusia (Halonen dan Santrock, 1996; Pervin dan John,
1997). Menurut pandangan Freud, id bersifat tidak sadar dan tidak memiliki

16

kontak dengan kenyataan. Id bekerja menurut prinsip kenikmatan, dimana id
selalu mencari kenikmatan dan menghindari rasa sakit (Halonen dan Santrock,
1996). Dengan beroperasi dengan cara ini id mencari pelepasan total yang
cepat. Id tidak dapat toleran pada frustrasi dan bebas dari hambatan. Id mencari
kepuasan melalui aksi atau melalui imajinasi bahwa ia sudah mendapatkan apa
yang diinginkannya; fantasi dari pemuasan sama baiknya dengan pemuasaan
yang sesungguhnya. Id tidak memiliki akal sehat, logika, nilai-nilai, moral, atau
etika. Pendeknya, id bersifat menuntut, impulsive, buta, irasional, asosial, ingin
menang sendiri, dan mencintai kenikmatan (Pervin dan John, 1997).
Superego adalah struktur kepribadian yang merupakan cabang moral dari
kepribadian (Halonen dan Santrock, 1996). Superego mempertimbangkan betul
atau salah, baik atau buruk, bermoral atau biadab, dsb, dan memperhatikan
bagaimana menjadi manusia yang baik dan bermoral, karenanya prinsip kerja
dari superego adalah prinsip moralitas (morality priciple) (Prihanto, 1993).
Superego biasa disebut sebagai hati nurani (Halonen dan Santrock, 1996), dan
berfungsi untuk mengontrol perilaku agar sejalan dengan aturan dari
masyarakat, menawarkan rewards (hadiah) seperti rasa bangga dan cinta diri
untuk perilaku baik dan hukuman (rasa bersalah, perasaan inferior) untuk
perilaku buruk (Pervin dan John, 1997). Seperti id, superego tidak peduli akan
kenyataan, superego tidak berhubungan dengan apa yang terjadi dalam
kenyataan, hanya memastikan bahwa impuls-impuls sexual dan agresif dari id
dapat dipuaskan dalam segi-segi moral (Halonen dan Santrock, 1996). Berdasar
penjelasan tersebut superego memiliki 3 fungsi pokok, yaitu: (1) merintangi

17

impuls-impuls id, terutama impuls-impuls seksual dan agresif, karena inilah
impuls-impuls yang pernyataannya sangat dikutuk oleh masyarakat; (2)
mendorong ego untuk menggantikan tujuan-tujuan realistis dengan tujuantujuan moralistis; (3) superego mengejar kesempurnaan, karena itu cenderung
untuk menentang id maupun ego, dan membuat dunia menurut gambarannya
sendiri (Hall dan Lindzey, 1993).
Ego adalah kepribadian yang berhubungan dengan tuntutan dari
kenyataan. Ego disebut sebagai cabang eksekutif dari kepribadian karena ego
melakukan keputusan-keputusan rasional dan melakukan fungsi mental yang
lebih tinggi seperti penalaran, penyelesaian masalah (problem solving), dan
pembuatan keputusan (Halonen dan Santrock, 1996). Ego berfungsi untuk
mengekspresikan dan memuaskan keinginan-keinginan id agar sejalan dengan
kenyataan dan tuntutan dari superego (Pervin dan John, 1997). Ego bersifat
setengah sadar dan tunduk pada prinsip kenyataan (reality priciple) (Halonen
dan Santrock, 1996), yaitu bahwa pemuasan insting ditunda sampai ketika
kenikmatan paling tinggi dapat diraih dengan rasa sakit atau konsekuensi yang
paling sedikit.
Berdasarkan prinsip kenyataan, energi dari id dapat di tahan, dialihkan,
atau dilepaskan secara bertahap, semua agar sejalan dengan tuntutan kenyataan
dan hati nurani (Pervin dan John, 1997). Walau demikian dorongan id
seringkali mengancam ego karena apa yang dibutuhkan id, mungkin tidak
tersedia pada kenyataan, misalnya: anak menangis karena lapar, tetapi tidak ada
air susu, atau kalaupun ada mungkin tidak cocok atau tidak sesuai dengan

18

kenyataan, misalnya: muncul dorongan seks, tetapi belum mempunyai suami
atau istri. Ketika hal tersebut terjadi ego akan mengalami kecemasan (Prihanto,
1993). Kecemasan dapat menyebabkan pengalaman emosional yang sangat
menyakitkan karena kecemasan merepresentasikan ancaman atau bahaya yang
akan segera terjadi pada ego, dengan demikian kecemasan menjadi fungsi ego
untuk memperingatkan akan hadirnya bahaya agar ego dapat bertindak (Pervin
dan John, 1997), dan untuk mengurangi kecemasan tersebut ego menggunakan
mekanisme pertahanan ego (ego defense mechanism) (Prihanto, 1993).
Ego melakukan beberapa strategi untuk menyelesaikan konflik diantara
tuntutan-tuntutannya akan kenyataan, keinginan-keinginan id, dan tekanan dari
superego. Melalui mekanisme pertahanan ego melakukan serangkaian reaksi
tidak disadari, tidak rasional, dan merusak kenyataan, untuk dengan cepat
mereduksi/mengurangi dan melindungi dirinya dari kecemasan (Halonen dan
Santrock, 1996; Carducci, 1998). Psikoanalis umumnya berasumsi bahwa
walaupun mekanisme

pertahanan dapat bermanfaat dalam mereduksi

kecemasan, mekanisme pertahanan juga maladaptif karena membelokan orang
dari kenyataan (Pervin dan John, 1997).
Pengertian mekanisme pertahanan diri yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sebuah proses yang terjadi secara tidak sadar yang dilakukan oleh
subyek, bertujuan untuk menghilangkan kecemasan yang muncul akibat adanya
konflik antara tuntutan untuk membina sebuah keintiman dengan pria dan
trauma masa kecil atas perceraian orangtua.
2. Jenis-jenis Mekanisme Pertahanan Diri

19

Menurut Fenichel, pertahanan ego dapat dibagi menjadi pertahanan yang
berhasil dan yang tidak berhasil. Pertahanan ego dikatakan berhasil bila
memberikan penangguhan atas sesuatu yang tidak diinginkan, dan dikatakan
tidak berhasil bila pertahanan yang digunakan merupakan sebuah pengulangan
atau kesinambungan proses dari sesuatu yang tidak diinginkan untuk
mempertahankan ledakan impuls-impuls dari yang tidak diinginkan (Bellak dan
Abrams, 1997).
Ada beberapa jenis mekanisme pertahanan diri yang umum digunakan:
a. Represi. Mekanisme pertahanan yang paling penting adalah represi.
Dalam represi, pikiran, ide, atau keinginan ditiadakan dari kesadaran
(Pervin dan John, 1997). Represi adalah mekanisme pertahanan yang
paling kuat, umum dan meresap, menurut Freud. Represi terjadi untuk
mendorong impuls-impuls id yang tidak dapat diterima dan kenangankenangan traumatik keluar dari kesadaran dan kembali ke ketidaksadaran.
Represi adalah pondasi dari segala mekanisme pertahahan. Tujuan dari
semua pertahanan psikologis adalah untuk menekan impuls-impuls yang
mengancam, atau mendorongnya keluar dari kesadaran (Halonen dan
Santrock, 1996; Santrock, 2003). Freud mengatakan bahwa pengalaman
masa kecil kita, banyak diantaranya bersifat seksual, terlalu mengancam
dan menimbulkan stress jika dihadapi secara sadar, dan kita mengurangi
rasa cemas dari konflik ini melalui represi (Santrock, 2003).
b. Rasionalisasi. Rasionalisasi adalah mekanisme pertahanan psikoanalitik
yang muncul ketika ego tidak menerima motif sesungguhnya dari perilaku

20

individu dan menggantinya dengan motif terselubung (Halonen dan
Santrock, 1996). Mekanisme ini banyak digunakan oleh para pelajar. Di
sini sebuah aksi dipersepsikan, tapi motif yang menyebabkannya tidak.
Perilaku diinterpretasi ulang sehingga perilaku tersebut terlihat masuk akal
dan dapat diterima (Pervin dan John, 1997).
c. Displacement. Displacement adalah mekanisme pertahanan yang muncul
ketika individu mengubah perasaan-perasaan yang tidak dapat diterima
dari satu obyek ke obyek yang lain yang lebih dapat diterima (Halonen dan
Santrock, 1996). Pemuasan dilakukan dengan obyek pengganti karena
pemuasan dengan obyek yang asli dihambat atau dicegah oleh kekuatankekuatan eksternal (Prihanto, 1993).
d. Sublimasi. Sublimasi dianggap sebagai mekanisme pertahanan yang
penting secara sosial. (Pervin dan John, 1997). Sublimasi muncul ketika
ego menggantikan impuls-impuls yang tidak dapat diterima dengan
perilaku yang lebih diterima oleh masyarakat (Halonen dan Santrock,
1996). Sublimasi adalah jenis pertahanan yang berhasil, dan karena tidak
memiliki karakter mekanisme yang spesifik sublimasi tidak mudah untuk
dideteksi (Bellak dan Abrams, 1997).
e. Proyeksi. Proyeksi adalah mekanisme pertahanan yang muncul ketika kita
melimpahkan kelemahan, masalah, dan kesalahan kita pada orang lain
(Halonen dan Santrock, 1996). Mekanisme pertahanan ini dianggap
mekanisme pertahanan yang paling primitif. Dalam proyeksi, yang berada
didalam (internal) dan tidak dapat diterima terproyeksi dan terlihat sebagai

21

eksternal. Contohnya, ketika individu tidak dapat menerima sifat
permusuhan dalam diri, individu melihat orang-orang lain menunjukkan
permusuhan tersebut (Pervin dan John, 1997). Proyeksi terjadi dalam
upaya melindungi ego dari rasa bersalah atau rasa takut/kawatir (Prihanto,
1993).
f. Reaksi formasi. Reaksi formasi adalah mekanisme pertahanan yang
muncul ketika individu mengekspresikan impuls yang tidak dapat diterima
dengan menunjukkan atau mengekspresikan yang sebaliknya (Halonen dan
Santrock, 1996; Pervin dan John, 1997). Contoh: perasaan benci terhadap
seseorang diganti dengan cinta kepada orang tersebut. Untuk membedakan
cinta yang sesungguhnya dengan yang palsu, Hall dan Lindzey
menjelaskan bahwa yang palsu akan menunjukan sifat yang berlebihlebihan atau dilakukan secara demonstratif (Prihanto, 1993).
g. Regresi. Regresi adalah mekanisme pertahanan yang muncul ketika
perilaku individu menunjukkan karakteristik dari level perkembangan
yang sebelumnya (Halonen dan Santrock, 1996). Regresi yang paling
sering terjadi adalah “infantilisme” atau kembali ke pola perilaku masa
kanak-kanak (Prihanto, 1993).
h. Fiksasi. Fiksasi adalah mekanisme pertahanan yang muncul ketika
individu tetap berada pada tahap perkembangan sebelumnya karena
kebutuhan-kebutuhannya tidak tercukupi atau terlalu tercukupi (Halonen
dan Santrock, 1996).

22

i. Denial. Denial adalah jenis pertahanan yang sering digunakan (Bellak dan
Abrams, 1997). Denial dapat terjadi dengan meyangkal kenyataan atau
meyangkal impuls-impuls. Penyangkalan akan kenyataan biasa terlihat
dimana orang berusaha untuk menghindari ancaman yang dikenal (Pervin
dan John, 1997).
j. Isolasi. Mekanisme pertahanan ini bekerja dengan cara mengisolasi
kejadian-kejadian dalam ingatan atau mengisolasi emosi dari isi memori
atau impuls. Dalam isolasi, impuls, pikiran, atau aksi tidak memungkiri
kenyataan, tapi memungkiri emosi yang menyertainya (Pervin dan John,
1997). Contohnya, individu tetap tenang sementara membicarakan
kejadian yang paling menegangkan. Kata-kata “saya betul-betul tidak
peduli” merupakan ciri dari individu yang melakukan isolasi. Dengan
mekanisme pertahanan ini, individu mampu untuk melepas dirinya dari
segala perasaannya (Bellak dan Abrams, 1997).
k. Withdrawal atau avoidance. Withdrawal atau avoidance merupakan
mekanisme pertahanan dimana individu menarik diri atau menghindari
obyek yang telah atau pernah memberikan trauma. Contohnya, jika
seorang anak digigit oleh seekor anjing, anak tersebut kemudian
memutuskan untuk menghindari berada dekat-dekat anjing manapun untuk
jangka waktu tertentu (Bellak dan Abrams, 1997).
l. Undoing. Undoing berhubungan dengan reaksi formasi. Proses yang
terjadi

dalam

reaksi

formasi

adalah

tindakan

yang

dilakukan

mengkontradiksi kenyataan sesungguhnya sedangkan dalam undoing, ada

23

satu langkah lagi yang dilakukan. Ketika sesuatu yang positif dilakukan
(secara nyata atau tidak) merupakan lawan dari sesuatu yang (secara nyata
atau dalam imajinasi) telah dilakukan sebelumnya (Bellak dan Abrams,
1997).
m. Fantasi. Merupakan usaha individu untuk mengurangi ketegangan dengan
cara berangan-angan tentang keinginannya dan kepuasan diri dengan
menciptakan kehidupan khayalan dalam pikiran mereka sendiri (Kaplan
dan Sadock’s, 1997).

E. Pengukuran Mekanisme Pertahanan Diri
Mekanisme pertahanan diri merupakan suatu proses yang terjadi tanpa
disadari ketika individu mengalami kecemasan (anxiety) (Halonen dan Santrock,
1996; Carducci, 1998). Pengukuran yang dibutuhkan untuk mengungkap
mekanisme pertahanan diri ini pun selayaknya menggunakan alat-alat ukur yang
dapat memunculkan pengalaman-pengalaman yang tidak disadari tersebut.
Wawancara, TAT (Thematic Apperception Test), dan tes Grafis adalah tiga alat
ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini guna mencoba mengungkap
mekanisme pertahanan diri yang muncul dalam keintiman dengan lawan jenis.
1. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk
mencapai tujuan tertentu, yaitu untuk memperoleh informasi mengenai hal-hal
yang bersifat subjektif yang dipahami responden berkenaan dengan tema yang
diteliti (Poerwandari, 1998). Menurut Hadi (2004) interview merupakan alat

24

yang sangat baik untuk mengetahui tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan,
motivasi, serta proyeksi seseorang terhadap masa depannya. Interview juga
mempunyai kemampuan yang cukup besar untuk menggali masa lalu serta
rahasia seseorang. Selain itu interview juga dapat digunakan untuk menangkap
aksi-reaksi orang dalam bentuk ekspresi dalam pembicaraan-pembicaraan
sewaktu tanya-jawab sedang berlangsung.
Penelitian ini akan menggunakan panduan pertanyaan pada saat interview
berlangsung. Panduan pertanyaan (interview guide) dianggap penting oleh
peneliti karena keberadaannya akan memberikan bimbingan secara memokok
apa-apa yang akan ditanyakan, menghindarkan kemungkinan untuk lupa atas
beberapa persoalan yang relevan terhadap pokok-pokok penelitian, dan
meningkatkan interview sebagai suatu metode yang hasilnya memenuhi prinsip
komparabilitas (Hadi, 2004).
Panduan pertanyaan yang akan diajukan dalam wawancara mencakup
beberapa topik:
a. Latar belakang subjek, termasuk sejarah perpisahan orangtua subyek,
hubungan subjek dengan kedua orangtuanya sekarang, pandangan
subyek terhadap figur orangtua, dan pandangan subyek terhadap figur
pria dan wanita.
b. Hubungan subyek dengan pria, terutama dengan pasangannya saat ini.
c. Harapan-harapan subyek dalam membina hubungan dengan pria.

25

d. Masalah-masalah yang timbul dalam hubungan subyek dengan
pasangannya, dan bagaimana subyek menanggapi masalah-masalah
tersebut.
2. T.A.T. (Thematic Apperception Test)
T.A.T. (Thematic Apperception Test) pertama kali dikembangkan oleh
Henry Murray dan Christina Morgan di Klinik Psikologi Harvard (Harvard
Psychological Clinic), dan kemudian menjadi tes proyektif yang paling luas
digunakan (Aronow, Weiss, Reznikoff, 2001; Pervin dan John, 1997). Asumsi
dasar dar