SEGI PERANCANGAN INOVASI SAPU LANTAI DENGAN PENDEKATAN ERGONOMI.
SEGI PERANCANGAN INOVASI SAPU LANTAI DENGAN PENDEKATAN ERGONOMI
SKRIPSI
\
OLEH :
CHANDRA SUHANDINATA 0832010009
JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NATIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
(2)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas kasih karunia-Nya sehingga Tugas Akhir dengan judul “Perancangan Inovasi Sapu Lantai Dengan Pendekatan Ergonomi“ dapat diselesaikan untuk memenuhi syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Teknologi Industri, Jurusan Teknik Industri UPN “Veteran” Jawa Timur. Atas bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Teguh Sudarto, MP. Selaku Rektor Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Ir. Sutiyono, MT. Selaku Dekan Fakultas Teknologi Industri
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Bapak Dr. Ir. Minto Waluyo, MM selaku Ketua Jurusan Teknik Industri,
Fakultas Teknologi Industri UPN “Veteran” Jawa Timur.
4. Bapak Ir. Didi Samanhudi, MMT selaku Dosen wali.
5. Ibu Ir. Sumiati, MT, dan Ibu Ir.Iriani, MMT selaku dosen pembimbing.
6. Bapak Ir. Joumil Aidil SZS, MT dan Ibu Ir. Nisa Masruroh, MT selaku
Penguji atas kesediaannya dalam membimbing dan memberikan ide gagasan dalam hal perbaikan tugas akhir ini.
7. Semua dosen yang pernah mengajar dan membimbing saya dan juga staff
UPN yang membantu saya alam proses pencapaian tugas akhir ini.
8. Keluarga yang turut memberikan support dalam pembuatan tugas akhir ini.
9. Keluarga besar Unit Kegiatan Kerohanian Kristen (UK3), terutama Johan
(3)
10.Kawan – kawan dari Laboratorium Statistik dan Optimistik Industri yang mendukung dalam pembuatan tugas akhir ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran membangun yang dapat membantu penulis di masa yang akan datang. Semoga laporan ini dapat berguna bagi semua pihak yang membutuhkan.
Surabaya, 15 November 2011
(4)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI... ii
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
ABSTRAKSI... .ix
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 2
1.3 Batasan Masalah.... ... 2
1.4 Asumsi ... 3
1.5 Tujuan ... 3
1.6 Manfaat ... 3
1.5 Sistematika Penulisan ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Perancangan, Pengembangan dan Inovasi Produk... 6
2.1.1 Perancangan Produk... 6
2.1.2 Pengembangan Produk... 9
(5)
2.2 Ergonomi... 13
2.2.1 Sejarah dan Perkembangan Ergonomi ... 13
2.2.2 Definisi Ergonomi... 16
2.2.3 Bidang Kajian Ergonomi ... 18
2.3 Beban Kerja... 20
2.3.1 Faktor Yang Mempengaruhi Beban Kerja ... 20
2.3.2 Penilaian Beban Kerja Fisik... 22
2.3.3 Sikap Kerja... 26
2.3.4 Keluhan Muskuloskeletal... 28
2.3.5 Kelelahan ... 30
2.3.6 Postur dan Pergerakan Kerja... 32
2.4 Anthropometri ... 36
2.4.1 Definisi Anthropometri ... 36
2.4.2 Data Anthropometri dan Cara Pengukurannya ... 37
2.4.3 Aplikasi Distribusi Normal dan Persentil Dalam Penetapan Data Anthropometri ... 42
2.5 Sapu Lantai ... 46
2.5.1 Definisi Sapu Lantai... 46
2.5.2 Komponen dan Bahan Sapu Ijuk ... 47
2.5.3 Rangkaian Proses Produksi Sapu Ijuk... 48
2.5.4 Perencanaan Rancangan Sapu Lantai... 48
2.6 Pengujian Data ... 49
2.6.1 Uji Keseragaman Data ... 49
(6)
2.7 Penelitian Terdahulu ... 52
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 54
3.2 Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel... 54
3.3 Metode Pengumpulan Data ... 55
3.3.1 Studi Lapangan... 56
3.3.2 Studi Kepustakaan... 56
3.4 Metode Pengolahan Data ... 56
3.5 Langkah – langkah Pemecahan Masalah ... 58
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengumpulan Data ... 63
4.1.1 Data Antropometri Pengguna... 64
4.1.2 Data Dimensi Kerja Bersesuaian ... 66
4.2 Pengolahan Data ... 66
4.2.1 Penentuan Sampel Uji Keseragaman Data... 67
4.2.2 Penentuan Sampel Uji Kecukupan Data ... 83
4.2.3 Perhitungan Persentil Tiap Dimensi Antropometri... 86
4.3 Penentuan Rancangan Sapu Lantai Multifungsi ... 88
4.3.1 Diameter Pegangan Sapu ... 88
4.3.2 Panjang Sapu Keseluruhan... 88
4.3.3 Lebar Lakop Sapu ... 89
(7)
4.4 Pengujian Keergonomisan Produk... 90 4.5 Pembahasan... 95
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ... 97 5.2 Saran... 98
LAMPIRAN
(8)
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Kategori Beban Kerja Berdasarkan Denyut Jantung ...………...22
Tabel 2.2. Kategori Beban Kerja Berdasarkan Konsumsi Energi.…………...25
Tabel 2.3. Macam Persentil Dan Cara Perhitungan Dalam Distribusi Normal..45
Tabel 3.1. Nilai Persentil………...…………...57
Tabel 4.1. Data Antropometri Dimensi Tubuh Pengguna Sapu Lantai ...…...65
Tabel 4.2. Data Dimensi Kerja Bersesuaian ………...66
Tabel 4.3. Data Antropometri Tinggi Siku Berdiri………...…………...67
Tabel 4.4. Data Antropometri Panjang Telapak Tangan ………….………...69
Tabel 4.5. Data Antropometri Panjang Ibu Jari ………...…………...71
Tabel 4.6. Data Antropometri Panjang Jari Telunjuk …………..…………...73
Tabel 4.7. Data Antropometri Panjang Jari Tengah ………...……..…...75
Tabel 4.8. Data Antropometri Panjang Jari Manis ………...…………...77
Tabel 4.9. Data Antropometri Panjang Jari Kelingking ………...……...79
Tabel 4.10. Data Antropometri Tinggi Jangkauan Tangan Berdiri …………...81
Tabel 4.11. Data Denyut Nadi Permenit Dengan Sapu Umumnya ….…...90
Tabel 4.12. Konversi Energi Dengan Sapu Umumnya ………….….…...91
Tabel 4.13. Data Denyut Nadi Permenit Dengan Sapu Lantai Multifungsi …....92
Tabel 4.14. Konversi Energi Dengan Sapu Lantai Multifungsi.….…...93
(9)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Sikap Kerja Pada Visual Display Terminal (VDT) ……….……..27
Gambar 2.2. Jangkauan Gerakan Korset Bahu ………..……33
Gambar 2.3. Jangkauan Persendian Bahu ……….……34
Gambar 2.4. Jangkauan Gerakan Persendian Siku ………....35
Gambar 2.5. Jangkauan Gerakan Pergelangan Tangan ………. 35
Gambar 2.6. Antropometri untuk Perancangan Produk ……….40
Gambar 2.7. Antropometri Tinggi Badan Berdiri dan Duduk ………..40
Gambar 2.8. Distribusi normal yang mengakomodasi 95% dari populasi …...43
Gambar 2.9. Sapu Lantai Ijuk ………....46
Gambar 3.1. Flow Chart Langkah-langkah Pemecahan Masalah ………….…59
Gambar 4.1. Peta Kontrol X Dimensi TSB ……… ………..68
Gambar 4.2. Peta Kontrol X Dimensi PTT ……….. 70
Gambar 4.3. Peta Kontrol X Dimensi PIJ …..………...72
Gambar 4.4. Peta Kontrol X Dimensi PJTL ………...…….. 74
Gambar 4.5. Peta Kontrol X Dimensi PJTE ………..………76
Gambar 4.6. Peta Kontrol X Dimensi PJM …………..………. 78
Gambar 4.7. Peta Kontrol X DimensiPJK ………...……….80
(10)
ABSTRACT
Broom is one that is still simple sanitary equipment, which consists of a broom handle made of wood, lakop of broom and hair of broom. Users generally grasped the broom on the end, half, or three-fourths of the length of the broom. If the broom is used is shorter than the users, the users have a wrong position (bend position). While the science of ergonomics, the correct working position is to keep the body upright position so that the skeleton can support the body correctly. In its function, users often use it as a broom cleaning tool nests of spider on the roof of the house with the help of a chair which was considered very ineffective.
The common understanding of Ergonomics is a branch of science that systematically to utilize information about the properties, capabilities and limitations of humans to design a working system, so that humans can live and work on it with a good system, which is to achieve the desired goal through the job effectively, safe, and comfortable. The focus of ergonomics is human interaction with products, equipment, facilities, procedures and environment and workers as well as everyday life in which the emphasis is on human factors.
The concept of design and innovation development multifunctional broom product refers to the concept of ergonomic design, where the modification of broom handle can be extended – short in accordance with the needs of its users and lakop (head of broom) is more wide broom. Specification of the final product design innovation broom, there are long dimension of 99 cm, diameter 2.7 cm, width 39 cm lakop broom, the handle and also lakop (head of broom) made from aluminum, and a hair of broom made of palm fiber.
(11)
ABSTRAKSI
Sapu lantai merupakan salah satu alat kebersihan yang masih sederhana, yang terdiri dari gagang sapu yang terbuat dari kayu, lakop sapu dan rambut sapu. Pengguna sapu pada umumnya menggenggam bagian ujung, setengah, atau tiga per empat dari panjang sapu. Jika sapu yang digunakan lebih pendek daripada penggunanya, maka pengguna cenderung menyapu dengan posisi kerja membungkuk dan menggenggam ujung sapu. Sedangkan dalam ilmu ergonomi, posisi kerja yang benar ialah posisi tubuh tetap tegak agar kerangka tubuh dapat menopang tubuh dengan tepat. Dalam fungsinya, seringkali pengguna sapu menggunakannya sebagai alat pembersih sarang laba – laba di atap rumah dengan bantuan sebuah kursi yang dinilai sangat tidak efektif.
Pengertian umum tentang Ergonomi adalah suatu cabang ilmu yang sistematis untuk memanfaatkan informasi-informasi mengenai sifat, kemampuan dan keterbatasan manusia merancang suatu sistem kerja, sehingga manusia dapat hidup dan bekerja pada sistem itu dengan baik, yaitu mencapai tujuan yang diinginkan melalui pekerjaan itu dengan efektif, aman, dan nyaman. Fokus dari ergonomi adalah manusia dan interaksinya dengan produk, peralatan, fasilitas, prosedur dan lingkungan dan pekerja serta kehidupan sehari-hari dimana penekanannya adalah pada faktor manusia.
Konsep perancangan dan pengembangan produk inovasi sapu lantai multifungsi ini mengacu pada konsep ergonomis, dimana adanya modifikasi gagang sapu yang bisa diperpanjangpendekkan sesuai dengan kebutuhan penggunanya dan lakop (kepala) sapu yang lebih lebar. Spesifikasi akhir desain produk inovasi sapu lantai, yaitu dimensi panjang 99 cm, diameter 2,7 cm, lebar lakop sapu 39 cm, gagang berbahan aluminium, lakop (kepala) sapu berbahan aluminium dan rambut sapu berbahan ijuk.
(12)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam zaman kemajuan teknologi yang lebih mempermudahkan kerja maupun aktifitas manusia telah bermunculan peralatan ciptaan baru yang mempunyai daya guna lebih dari pada dasar kemampuan sebelumnya. Hal ini ditunjang pula dengan ketersediaan alat penunjang untuk pembuatan dan semakin kompleksnya kebutuhan manusia akan sebuah kemudahan.
Dalam menggunakan suatu produk, pengguna akan selalu mencari yang lebih praktis baik dalam penggunaan maupun dalam penyimpanan, karena hal tadi akan sangat meringankan beban pengguna dalam menggunakannya. Seiring dengan perkembangan jaman suatu produk akan selalu mengalami inovasi sesuai dengan kebutuhan penggunanya. Karena keberhasilan industri dalam menghadapi persaingan ditentukan oleh keberhasilan dalam merancang dan mengembangkan produk yang sesuai dengan keinginan konsumen dan kecepatan industri tersebut dalam beradaptasi / merespon perubahan keinginan konsumennya.
Sapu lantai merupakan salah satu alat kebersihan yang masih sederhana, padahal masyarakat secara umumnya masih mempercayai sapu lantai sebagai alat kebersihan dibandingkan alat lain yang lebih modern seperti mesin penghisap debu. Sapu lantai juga belum mengalami modifikasi sesuai dengan kebutuhan konsumen seperti dalam hal kenyamanan dan fungsionalnya. Pengguna sapu pada umumnya menggenggam bagian ujung, setengah, atau tiga per empat dari panjang sapu. Jika sapu yang digunakan lebih pendek daripada penggunanya, maka
(13)
pengguna cenderung menyapu dengan posisi kerja membungkuk dan menggenggam ujung sapu. Sedangkan dalam ilmu ergonomi, posisi kerja yang benar ialah posisi tubuh tetap tegak agar kerangka tubuh dapat menopang tubuh dengan tepat.
Sedangkan dalam fungsinya, seringkali sapu tidak hanya digunakan untuk kegiatan menyapu lantai, namun seringkali pengguna sapu menggunakannya sebagai alat pembersih sarang laba – laba di atap rumah dengan bantuan sebuah kursi yang dinilai sangat tidak efektif.
Dari permasalahan di atas diketahui bahwa alat yang digunakan masih sangat sederhana karena banyak orang masih memandang sebelah mata akan alat sapu tersebut. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk merancang dan mengembangkan produk inovasi sapu lantai multifungsi yang ergonomis sesuai dengan kebutuhan konsumen yang mempunyai kenyamanan pengguna yang mempunyai daya kompetitif.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan yang dihadapi, yaitu :
“Bagaimana rancangan sapu lantai yang lebih ergonomis dan inovatif
dari yang sudah ada saat ini ?”
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :
(14)
2. Pengukuran antropometri hanya digunakan pada gagang sapu.
3. Data antropometri disesuaikan dengan masyarakat wanita Indonesia dengan
pertimbangan usia antara 20 - 35 tahun.
4. Pengujian keergonomisan produk hanya perhitungan denyut nadi.
5. Peneliti tidak membahas nilai estetika dari sapu lantai.
1.4 Asumsi
1. Kondisi pengguna diukur dalam keadaan baik.
2. Sapu pembanding bermerk sama.
1.5 Tujuan
Melakukan perancangan sapu lantai yang mempunyai multifungsi dan ergonomis sehingga mampu mengurangi kelelahan dalam penggunaannya.
1.6 Manfaat
Manfaat yang diperoleh dengan melakukan penelitian ini adalah :
1. Bagi Peneliti
Sebagai latihan untuk menerapkan teori yang diberikan dibangku kuliah dalam permasalahan nyata diperusahaan.
2. Bagi Pengguna (penguna sapu lantai)
Memberikan kemudahan dan kenyamanan serta mengurangi efek kelelahan dalam melakukan kegiatan menyapu dan membersihkan atap ruangan.
(15)
3. Bagi Ilmu Pengetahuan
Dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam memecahkan masalah sejenis dengan penulisan ini, khususnya tentang faktor-faktor yang dominan terhadap perancangan dan pengembangan produk sehingga masih dapat dikembangkan dalam penelitian-penelitian selanjutnya
1.7 Sistematika Penulisan Laporan
Pada dasarnya sistematika penyusunan adalah suatu hal yang sangat diperlukan dalam pembuatan karya tulis karena sistematika penyusunan memuat seluruh isi karya tulis secara berurutan sehingga dapat terlihat dengan jelas mengenai masalah-masalah yang dibahas. Dalam hal ini makalah skripsi yang dibuat oleh penyusun adalah membahas mengenai hal-hal sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Menjelaskan secara umum mengenai latar belakang, tujuan ruang lingkup sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisikan teori-teori mengenai obyek produk yaitu, teori mengenai ergonomi dan desain perancangan produk
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan mengenai lokasi penelitian ,metode pengupulan data dan langkah pemecahan masalah.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Menjelaskan pengumpulan data dan perancangan sapu lantai yang multifungsi dan ergonomis.
(16)
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Berisi tentang kesimpulan terhadap permasalahan yang telah dibahas serta memberikan saran yang bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(17)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Perancangan, Pengembangan dan Inovasi Produk. 2.1.1 Perancangan Produk.
Kesejahteraan dan kualitas hidup manusia yang telah mencapai tingkat yang tinggi saat ini, sebagian besar adalah akibat diciptakan, dibuat dan dimanfaatkannya berbagai produk dan jasa yang tak terhitung macam dan jumlahnya oleh para insinyur dan ahli-ahli teknik lainnya. Kontribusi para ahli teknik dalam meningkatkan kesejahteraan manusia tersebut adalah dalam kegiatan mencipta, merancang dan membuat produk dan jasa yang berguna bagi manusia karena meringankan beban hidupnya dan membuat hidup lebih nyaman. Produk dan jasa tersebut juga harus memenuhi beberapa persyaratan modern seperti tidak merusak lingkungan, hemat energi dan lain sebagainya.
Perancangan dan pembuatan produk merupakan bagian yang sangat besar dari kegiatan teknik yang ada. Kegiatan perancangan dimulai dengan didapatkannya persepsi tentang kebutuhan manusia, kemudian disusul oleh perancangan konsep produk, disusul kemudian dengan perancangan, pengembangan dan penyempurnaan produk.
Perancangan adalah kegiatan awal dari suatu rangkaian kegiatan dalam proses pembuatan produk. Dalam tahap perancangan tersebut dibuat keputusan-keputusan penting yang mempengaruhi kegiatan-kegiatan lain yang menyusulnya. Diantara keputusan penting tersebut, termasuk keputusan yang membawa akibat
(18)
apakah industri dalam negeri dapat berpartisipasi atau tidak dalam suatu pembangunan proyek.
Dalam bentuk yang paling sederhana, hasil rancangan dapat berupa sebuah sketsa atau gambar sederhana dari produk yang akan dibuat. Dalam hal si pembuat produk adalah si perancang sendiri, maka sketsa atau gambar yang dibuat cukup sederhana saja asalkan dapat dimengertinya sendiri.
Menurut Pressman (2010), perancangan adalah langkah pertama dalam fase pengembangan rekayasa produk atau sistem. Perancangan itu adalah proses penerapan berbagai teknik dan prinsip yang bertujuan untuk mendefinisikan sebuah peralatan, satu proses atau satu sistem secara detail yang membolehkan dilakukan realisasi fisik (Taylor dalam Pressman,2001).
1. Langkah - langkah Perancangan Produk a. Fase Informasi.
Fase yang bertujuan untuk memahami seluruh aspek yang berkaitan dengan produk yang hendak dikembangkan dengan cara mengumpulkan
seluruh informasi yang dibutuhkan secara akurat diantaranya (Imam
Djati 2001) :
- Gambar produk awal dan spesifikasi.
- Kriteria keinginan konsumen terhadap produk.
- Kriteria keinginan relatif konsumen.
- Kriteria manufaktur yang mencakup diagram mekanisme pembuatan
struktur dan fungsi.
(19)
Dasar Kemampuan pembelian produk dengan pertimbangan
kualitas,maupun performance produk.
- Kriteria finance produk awal.
b. Fase kreatif.
Fase yang bertujuan untuk menampilkan alternatif yang dapat memenuhi fungsi yang dibutuhkan diantaranya :
- Penentuan kriteria atribut yang menggunakan diagram pohon.
- Penentuan prioritas perancangan.
- Pembuatan alternatif model produk.
c. Fase analisa.
Fase yang bertujuan untuk menganalisa alternatif yang dihasilkan pada fase kreatif dan memberikan rekomendasi terhadap alternatif terbaik dan analisa yang dilakukan antara lain :
- Analisa kriteria atribut yang akan dikembangkan.
- Penilaian kriteria atribut antar model.
- Pembobotan kriteria atribut produk.
- Value analysis.
d. Fase pengembangan.
Fase yang bertujuan memilih salah satu alternatif tunggal dari beberapa alternatif yang ada yang merupakan alternatif terbaik dan merupakan output dari fase analisa. Data data tentang alternatif yang terpilih atau yang digunakan adalah :
- Alternatif terpilih.
(20)
e. Fase rekomendasi.
Fase yang bertujuan untuk mengkomunikasikan secara baik dan menarik terhadap hasil pengembangan produk.
2. Model Perancangan Produk.
Dalam model perancangan produk terdefinisikan menjadi dua jenis model yang sangat dominan dalam awal perancangan produk yaitu model deskriptif dan model perspektif (Ginting R, 2009).
a. Model deskriptif.
Dalam model ini pentingnya menghasilkan suatu konsep solusi sejak dini dalam proses perancangan dan berfokus pada solusi heuristic (pengalaman sebelumnya bersifat umum).
b. Model perspektif.
Model yang bersifat sistematik dan penekanan berada pada semakin meningkatnya kebutuhan yang lebih analitik sebelum aktifitas pembangkitan alternatif alternatif solusi.
2.1.2 Pengembangan Produk.
Pengembangan produk merupakan usaha meningkatkan mutu dari barang atau jasa dan penemuan barang atau jasa baru yang akan menambah kepuasan konsumen. Dari pengertian pengembangan produk tersebut tampak sekali bahwa segala bentuk barang dan jasa yang dihasilkan selalu berkaitan dengan kepuasan konsumen. Agar proses pengembangan produk dapat berjalan secara tepat dan akurat yang sesuai dengan keinginan konsumen dalam menunjang kelancaran usaha pada perusahaan maka diperlukan suatu biaya yang maksimal, sehingga ada
(21)
pemisahan yang jelas antara biaya pengembangan produk dengan biaya volume penjualan.
Tujuan perusahaan dalam mengembangkan produk adalah agar dapat memenangkan persaingan terhadap barang sejenis, sehingga volume penjualan dan laba perusahaan dapat meningkat serta perusahaan dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya dan dapat memperluas usahanya. Pengembangan produk dapat pula dilakukan dengan cara memperbaiki produk yang sudah ada (modifikasi produk), perbaikan produk yang sudah ada dilakukan dengan cara: perbaikan mutu/kualitas, perbaikan segi/feature baru, dan perbaikan corak/motif. Disamping menciptakan produk yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen, perusahaan juga menciptakan suatu strategi pengembangan produk.
Usaha strategi pengembangan produk diharapkan dapat mengikuti perubahan teknologi yang dipakai dalam perusahaan. Hal ini bagi perusahaan sangat penting karena suatu saat akan mengalami peralihan teknologi. Pada peralihan teknologi perusahaan akan menggunakan teknologi lebih maju guna menjaga kedinamisan perusahaan. Oleh karena itu diperlukan strategi bagi perusahaan agar dapat menciptakan suatu produk baru.
Menurut Urlich (2001), pengembangan produk merupakan serangkaian aktivitas yang dimulai dari analisis persepsi dan peluang pasar, kemudian diakhiri dengan tahap produksi, penjualan, dan pengiriman produk.
Sedangkan menurut Yamit (30:1996) pengembangan produk merupakan keharusan bagi perusahaan untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Keharusan ini dikarenakan tidak ada satupun produk yang dapat bertahan untuk selamanya.
(22)
1. Tahap - Tahap Dalam Pengembangan Produk.
Menurut Swastha (1997:184-186), ada beberapa tahap dalam pengembangan produk, yaitu :
a. Tahap Penyaringan.
Tahap Penyaringan dilakukan setelah berbagai macam ide tentang produk telah tersedia, Dalam tahap ini merupakan pemilihan sejumlah ide dari berbagai macam sumber. Adapun informasi atau ide berasal dari manager perusahaan, pesaing, para ahli termasuk konsultan, para penyalur, langganan, atau lembaga lain.
b. Tahap Analisa Bisnis.
Pada tahap ini msing-masing ide dianalisa dari segi bisnis untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan ide tersebut dapat menghasilkan laba.
c. Tahap Pengembangan.
Pada tahap ini, ide-ide yang telah dianalisa perlu dikembangkan karena ide-ide tersebut lebih menguntungkan. Pengembangan ini tentunya harus sesuai dengan kemampuan perusahaan.
d. Tahap Pengujian.
Tahap pengujian merupakan kelanjutan dari tahap pengembangan, meliputi :
- Pengujian tentang konsep produk.
- Pengujian terhadap kesukaan konsumen.
- Penelitian laboratorium.
(23)
- Operasi pabrik percontohan.
- Tahap Komersialisasi.
2.1.3 Inovasi Produk.
Menurut etimologi, inovasi berasal dari kata innovation yang bermakna
‘pembaharuan; perubahan (secara) baru’. Inovasi adakalanya diartikan sebagai
penemuan, tetapi berbeda maknanya dengan penemuan dalam arti diskoveri atau
invensi. Diskoveri mempunyai makna penemuan sesuatu yang sesuatu itu telah ada sebelumnya, tetapi belum diketahui orang; contohnya penemuan benua Amerika. Sebenarnya, benua Amerika sudah ada sejak dahulu, tetapi baru
ditemukan pada tahun 1492 oleh orang Eropa yang bernama Columbus. Invensi
adalah penemuan yang benar-benar baru sebagai hasil kreasi manusia; contohnya
teori belajar, mode busana, dan sebagainya. Inovasi adalah suatu ide, produk,
metode, dan seterusnya yang dirasakan sebagai sesuatu yang baru, baik berupa hasil diskoveri atau invensi yang digunakan untuk tujuan tertentu.
Rogers dan Shoemaker mengartikan inovasi sebagai ide-ide baru, praktik-praktik baru, atau objek-objek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru
oleh individu atau masyarakat sasaran. Pengertian baru di sini, mengandung
makna bukan sekadar baru diketahui oleh pikiran (cognitive), melainkan juga
baru karena belum dapat diterima secara luas oleh seluruh warga masyarakat
dalam arti sikap (attitude) dan juga baru dalam pengertian belum diterima dan
diterapkan oleh seluruh warga masyarakat setempat.
Pengertian inovasi tidak hanya terbatas pada benda atau barang hasil
produksi, tetapi juga mencakup sikap hidup, perilaku, atau gerakan-gerakan menuju proses perubahan di dalam segala bentuk tata kehidupan masyarakat. Jadi,
(24)
secara umum, inovasi berarti suatu ide, produk, informasi teknologi, kelembagaan, perilaku, nilai-nilai, dan praktik-praktik baru yang belum banyak diketahui, diterima, dan digunakan/diterapkan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat demi terwujudnya perbaikan mutu setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan.
Fullan mengemukakan bahwa tahun 1960-an adalah era banyak inovasi pendidikan kontemporer diadopsi, seperti matematika, kimia, fisika baru, mesin
belajar (teaching machine), pendidikan terbuka, pembelajaran individu,
pengajaran secara tim (team teaching), termasuk sistem belajar mandiri.
2.2 Ergonomi.
2.2.1 Sejarah dan Perkembangan Ergonomi.
Di dalam buku Eko Nurmianto, Istilah "ergonomi" mulai dicetuskan pada tahun 1949, akan tetapi aktivitas yang berkenaan dengannya telah bermunculan puluhan tahun sebelumnya. Beberapa kejadian penting diilustrasikan sebagai berikut:
1. C.T. Thackrah, England, 1831.
Thackrah adalah seorang dokter dari Inggris/England yang meneruskan
pekerjaan dari seorang Italia bernama Ramazzuu, dalam serangkaian
kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan kerja yang tidak nyaman yang dirasakan oleh para operator ditempat kerjanya. la mengamati postur tubuh pada saat bekerja sebagai bagian dari masalah kesehatan. Pada saat itu
(25)
Thackrah mengamati seorang penjahit yang bekerja dengan posisi dan
dimensi kursi, meja yang kurang sesuai secara anthropometri, serta
pencahayaan yang tidak ergonomis sehingga mengakibatkan membungkuknya badan dan iritasi indera penglihatan. Disamping itu juga mengamati para pekerja yang berada pada lingkungan kerja dengan temperatur tinggi, kurangnya ventilasi, jam kerja yang panjang, dan gerakan
kerja yang berulang-ulang (repetitive work).
2. F. W. Taylor, U.S.A., 1898.
Frederick W. Taylor adalah seorang insinyur Amerika yang menerapkan metoda ilmiah untuk menentukan cara yang terbaik dalam melakukan suatu pekerjaan. Beberapa metodanya merupakan konsep ergonomi dan manajemen modern.
3. F .B. Gilberth, U.S.A., 1911.
Gilbreth juga mengamati dan mengoptimasi metoda kerja, dalam hal ini
lebih mendetail dalam Analisa Gerakan dibandingkan dengan Taylor. Dalam
bukunya Motion Study yang diterbitkan pada tahun 1911 ia menunjukkan
bagaimana postur membungkuk dapat diatasi dengan mendesain suatu
sistem meja yang dapat diatur naik-turun (adjustable).
4. Badan Penelitian untuk Kelelahan Industri (Industrial Fatigue Research
Board), England, 1918.
Badan ini didirikan sebagai penyelesaian masalah yang terjadi di pabrik amunisi pada Perang Dunia Pertama. Mereka menunjukkan bagaimana output setiap harinya meningkat dengan jam kerja per hari-nya yang menurun. Disamping itu mereka juga mengamati waktu siklus optimum
(26)
untuk sistem kerja berulang (repetitive work systems) dan menyarankan adanya variasi dan rotasi pekerjaan.
5. E. Mayo dan teman-temannya, U.S.A., 1933.
Elton Mayo seorang warga negara Australia, memulai beberapa studi di
suatu Perusahaan Listrik yaitu Western Electric Company,
Hawthorne,Chicago. Tujuan studinya adalah untuk mengkuantifikasi pengaruh dari variabel fisik seperti misalnya pencahayaan dan lamanya waktu istirahat terhadap faktor efisiensi dari para operator kerja pada unit perakitan.
6. Perang Dunia Kedua, England dan U.S.A.
Masalah operasional yang terjadi pada peralatan militer yang berkembang secara cepat (seperti misalnya pesawat terbang) harus melibatkan sejumlah kelompok interdisiplin ilmu secara bersama-sama sehingga mempercepat perkembangan ergonomi pesawat terbang. Masalah yang ada pada saat itu adalah penempatan dan identifikasi untuk pengendali pesawat terbang,
efektifitas alat peraga (display), handel pembuka, ketidaknyamanan karena
terlalu panas atau terlalu dingin, desain pakaian untuk suasana kerja yang terlalu panas atau terlalu dingin dan pengaruhnya pada kinerja operator.
7. Pembentukan Kelompok Ergonomi.
Pembentukan Masyarakat Peneliti Ergonomi (the Ergonomics Research
Society) di England pada tahun 1949 melibatkan beberapa profesional yang telah banyak berkecimpung dalam bidang ini. Hal ini menghasilkan jurnal (majalah ilmiah) pertama dalam bidang ERGONOMI pada Nopember 1957.
(27)
Association) terbentuk pada tahun 1957, dan The Human Faktors Society di Amerika pada tahun yang sama. Di samping itu patut diketahui pula bahwa Konperensi Ergonomi Australia yang pertama diselenggarakan pada tahun 1964, dan hal ini mencetuskan terbentuknya Masyarakat Ergonomi Australia
dan New Zealand (The Ergonomics Society of Australia and New Zealand).
2.2.2 Definisi Ergonomi.
Ergonomi adalah suatu cabang ilmu yang sistematis untuk memanfaatkan informasi-informasi mengenai sifat, kemampuan dan keterbatasan manusia merancang suatu sistem kerja, sehingga manusia dapat hidup dan bekerja pada sistem itu dengan baik, yaitu mencapai tujuan yang diinginkan melalui pekerjaan itu dengan efektif, aman, dan nyaman. Fokus dari ergonomi adalah manusia dan interaksinya dengan produk, peralatan, fasilitas, prosedur dan lingkungan dan pekerja serta kehidupan sehari-hari dimana penekanannya adalah pada faktor manusia.
Menurut Pulat (1992) ergonomi merupakan studi tentang interaksi antara manusia dengan objek yang mereka gunakan, dan lingkungan di mana mereka bekerja. Beberapa hal yang penting dalam pengertian tersebut adalah komponen manusia, obyek, lingkungan, serta interaksi antar komponen-komponen tersebut.
Sedangkan menurut Sritomo Wignjosoebroto adalah Ergonomi atau
ergonomics (bahasa Inggrisnya) sebenarnya berasal dari kata yunani yaitu Ergo
yang berarti kerja dan Nomos yang berarti hukum. Ergonomi dapat didefinisikan
sebagai suatu cabang ilmu yang sistematis untuk memanfaatkan informasi-informasi mengenai sifat, kemampuan dan keterbatasan manusia untuk merancang suatu sistem kerja. Penerapan ergonomi pada umumnya merupakan aktivitas
(28)
rancang bangun (design) ataupun rancang ulang (re-design). Hal ini dapat
meliputi perangkat keras misalnya perkakas kerja (tools), bangku kerja (benches,
platform, kursi, pegangan alat kerja (workholders), sistem pengendali (controls),
alat peraga (display), jalan/lorong (acces ways), pintu (doors), jendela (windows), dan lain-lain. Masih dalam kaitan dengan hal yang ada di atas adalah bahasan
tentang rancang bangun lingkungan kerja (working environment), karena jika
sistem perangkat keras berubah maka akan berubah pula lingkungan kerjanya. Tujuan ergonomi adalah menambah efektifitas penggunaan objek fisik dan fasilitas yang digunakan oleh manusia dan merawat atau menambah nilai tertentu, misalnya kesehatan, kenyamanan dan kepuasan pada proses penggunaan tersebut.
Ergonomi dapat pula berperan sebagai desain pekerjaan pada suatu organisasi, misalnya: penentuan jumlah jam istirahat, pemilihan jadwal pergantian waktu kerja atau shift kerja, meningkatkan variasi pekerjaan dan lain-lain. Ergonomi dapat pula berfungsi sebagai desain perangkat lunak karena dengan semakin banyaknya pekerjaan yang berkaitan erat dengan komputer. Penyampaian informasi dalam suatu sistem komputer harus pula diusahakan sekompatibel mungkin sesuai dengan kemampuan dalam pemrosesan informasi oleh manusia. Ilmu ergonomi ini secara khusus akan mempelajari tentang keterbatasan dan kemampuan manusia dalam berinteraksi dengan teknologi dan produk-produk buatannya. Disiplin ini berangkat dari kenyataan bahwa manusia memiliki batas-batas kemampuan, baik di dalam jangka pendek maupun panjang. Pada saat berhadapan dengan keadaan lingkungan kerja yang berupa perangkat keras (hardware mesin, peralatan kerja, dan sebagainya) dan perangkat lunak (metode kerja, sistem, dan prosedur).
(29)
Prinsip penting yang harus selalu diterapkan pada setiap perancangan adalah
fitting the job to the man rather than the man to the job, dalam hal ini pekerjaan harus disesuaikan agar selalu berada dalam jangkauan kemampuan serta keterbatasan manusia. Dengan demikian, setiap perancangan kerja harus disesuaikan dengan faktor manusianya dimana dimensi fisik dan fungsi harus mengikuti karakteristik dari manusia yang akan menggunakan sistem kerja terseebut.
2.2.3 Bidang Kajian Ergonomi.
Pada berbagai sumber literatur, bidang kajian Ergonomi tidak berbeda secara signifikan, perbedaan hanya menyangkut pengelompokan bidang kajian. Pengelompokan bidang kajian yang lengkap dan mencakup seluruh prilaku manusia dalam bekerja adalah kajian Ergonomi yang dikelompokkan oleh Dr. Ir. Iftikar Z. Sutalaksana sebagai berikut :
1. Anthropometri.
Anthropometri adalah cabang ergonomi yang mengkaji masalah dimensi tubuh manusia, Informansi dimensi tubuh manusia diperlukan untuk
merancang sistem kerja yang ergonomis. Data Anthropometri selalu berbeda
untuk setiap individu. Perbedaan itu merupakan suatu kodrat bahwa tidak ada manusia yang sama dalam segala hal.
2. Faal Kerja.
Perilaku manusia yang dibahas dalam Faal kerja adalah reaksi tubuh selama bekerja, khususnya mengenai energi yang dikeluarkannya. Hal-hal yang
banyak dibahas dalam Faal kerja manusia adalah kelelahan (fatique) kerja
(30)
3. Biomekanika Kerja.
Biomekanika kerja mengkaji perilaku manusia dalam aspek-aspek mekanika gerakan. Objek penelitian sehubungan dengan masalah biomekanika ini adalah kekuatan kerja otot, kecepatan dan ketelitian gerak anggota badan, serta daya tahan jaringan-jaringan tubuh terhadap beban.
4. Penginderaan.
Manusia pada dasarnya memiliki lima indera utama, yaitu indera penglihatan (mata), indera pendengaran (telinga), indera penciuman (hidung), indera perasa (kulit), serta indera perasa (lidah). Dalam ergonomi, penglihatan dan pendengaran dikaji untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan indera tersebut dalam merespon informasi dari sitem kerja.
5. Psikologi Kerja.
Psikologi kerja membahas masalah-masalah kejiwaan yang ditemukan ditempat kerja, yakni menyangkut faktor diri manusia, termasuk didalamnya: kebiasaan, jenis kelamin, usia, sifat dan kepribadian, sistem nilai, karakteristik fisik, minat, motivasi, pendidikan, pengalaman dan sebagainya. Masalah faktor diri ini dikaji sebagai bagian dari ergonomi Karena pada setiap individu manusia terdapat faktor diri yang khas sebagai bawaan lahir. Ketidakcocokan seorang pekerja dan tuntunan pekerjaan yang
dihadapinya dapat menimbulkan tekanan (stress) dan rendahnya motivasi
untuk bekerja, sehingga mengakibatkan rendahnya produktivitas yang dihasilkan.
(31)
2.3 Beban Kerja.
Dari sudut pandang ergonomi, setiap beban kerja yang diterima oleh seseorang harus sesuai dan seimbang baik tehadap kemampuan fisik, kemampuan kognitif, maupun keterbatasan manusia yang menerima beban tersebut.
2.3.1 Faktor Yang Mempengaruhi Beban Kerja.
Rodahl (1998), Adiputra (1998), dan Manuaba (2000) dalam (Tarwaka dkk., 2004) menyatakan bahwa secara umum hubungan antara beban kerja dan kapasitas kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat komplek, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Berikut ini merupakan faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi beban kerja.
1. Beban Kerja Karena Faktor Eksternal.
Faktor eksternal beban kerja adalah beban kerja yang berasal dari luar tubuh pekerja. Jenis beban kerja, yaitu:
a. Tugas (task).
Tugas yang dilakukan baik itu yang berupa aktivitas fisik (stasiun kerja, tata letak ruangan, peralatan dan perlengkapan kerja, sikap kerja, cara angkat dan angkut beban, alat bantu kerja, sarana informasi termasuk
display control, aliran kerja, dan lain-lain) maupun tugas yang bersifat mental seperti, kompleksitas pekerjaan atau tingkat kesulitan pekerjaan yang mempengaruhi tingkat emosi pekerja dan tanggung jawab terhadap pekerjaan.
(32)
b. Organisasi kerja.
Organisasi kerja meliputi waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir, kerja malam, sistem pengupahan, sistem kerja, struktur organisasi, dan lain-lain.
c. Lingkungan kerja.
Lingkungan kerja yang dapat memberikan beban tambahan kepada pekerja adalah lingkungan kerja fisik seperti mikroklimat (suhu dan kelembaban udara), intensitas penerangan, dan kebisingan; lingkungan kimiawi (debu, uap logam, fume dalam udara, dan lain-lain); lingkungan biologis (bakteri, virus, jamur, dan lain-lain); lingkungan psikologis (pemilihan dan penempatan tenaga kerja, pekerja dengan atasan, pekerja dengan keluarga, dan pekerja dengan lingkungan sosial yang berdampak kepada performansi kerja di tempat kerja.
2. Beban Kerja Karena Faktor Internal.
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh pekerja itu sendiri sebagai akibat adanya reaksi terhadap faktor eksternal. Reaksi tubuh
tersebut dikenal dengan istilah strain. Berat ringannya strain dapat dinilai
secara subjektif maupun secara objektif. Penilaian secara objektif yaitu melalui perubahan reaksi fisiologis. Sedangkan penilaian subjektif dapat dilakukan dengan melalui perubahan reaksi psikologis dan perubahan
perilaku. Oleh karena itu, strain secara subjektif terkait dengan harapan,
keinginan, kepuasan, dan penilaian subjektif lainnya. Secara lebih ringkas faktor internal, yaitu:
(33)
a. Faktor somatik (jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, kondisi kesehatan, status gizi).
b. Faktor psikis (motivasi, persepsi, kepercayaan, keingian, kepuasan, dan lain lain).
2.3.2 Penilaian Beban Kerja Fisik.
Rodahl (1989) dalam (Tarwaka dkk., 2004) menyatakan bahwa penilaian beban kerja fisik dapat dilakukan dengan dua metode secara objektif, yaitu metode penilaian secara langsung dan tidak langsung. Metode pengukuran langsung yaitu melalui pengukuran energi ekspenditur (energi yang dikeluarkan) melalui asupan oksigen selama bekerja, semakin berat beban kerja semakin banyak energi yang dikonsumsi. Metode pengukuran secara tidak langsung dilakukan dengan menggunakan denyut jantung ataupun denyut nadi selama bekerja.
1. Penilaian beban kerja fisik dengan menggunakan denyut jantung.
Konz (1996) dalam (Tarwaka dkk., 2004) menyatakan bahwa denyut jantung adalah suatu alat estimasi laju metabolisme yang baik, kecuali dalam keadaan emosi dan vasodilatasi. Kategori berat ringannya beban kerja berdasarkan pada denyut jantung dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Kategori beban kerja berdasarkan denyut jantung
(34)
Kilbon (1992) dalam (Tarwaka dkk., 2004) menyatakan bahwa pengukuran denyut jantung selama kerja merupakan suatu metode untuk menilai
cardiovasculair strain. Salah satu peralatan yang dapat digunakan untuk
menghitung denyut jantung adalah dengan menggunakan tensimeter digital,
apabila peralatan tersebut tidak tersedia maka dapat dicatat secara manual
memakai stopwatch dengan metode 10 denyut. Dalam penelitian ini, denyut
yang diukur adalah denyut nadi karena untuk kemudahan pengukuran. Metode 10 denyut dilakukan dengan mengukur waktu yang diperlukan nadi untuk berdetak selama 10 detik, kemudian dikonversi dengan menggunakan formula, sebagai berikut:
Denyut nadi (denyut/menit) = 60
10 10
x Denyut waktuper
Denyut
...Persamaan 2.1.
Selain metode 10 denyut di atas, pengukuran denyut nadi juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode 15 detik maupun 30 detik. Keuntungan menggunakan denyut nadi untuk menentukan beban kerja yaitu mudah dilakukan, cepat dan hasilnya dapat diandalkan. Hal tersebut didasarkan pada pendapat Grandjean (1993) dalam (Tarwaka dkk., 2004), yang menjelaskan bahwa konsumsi energi sendiri tidak cukup untuk mengestimasi beban kerja fisik. Beban kerja fisik tidak hanya dapat ditentukan dengan menggunakan jumlah KJ yang dikonsumsi, tetapi juga jumlah otot yang terlibat dan beban statis yang diterima dan tekanan panas dari lingkungan kerja yang dapat meningkatkan denyut jantung, sehingga denyut jantung merupakan alat yang sesuai untuk menghitung indek beban kerja. Rodahl (1989) dalam (Tarwaka dkk., 2004) menyatakan bahwa denyut
(35)
nadi mempunyai hubungan linier yang tinggi dengan asupan oksigen pada waktu bekerja. Denyut nadi dapat ditentukan pada arteri radialis pada pergelangan tangan.
Grandjean (1993) dalam (Tarwaka dkk., 2004) menyatakan bahwa denyut nadi untuk mengestimasi indeks beban kerja fisik terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
a. Denyut nadi istirahat, adalah rata-rata denyut nadi sebelum pekerjaan dimulai.
b. Denyut nadi kerja, merupakan rata-rata denyut nadi selama bekerja. c. Nadi kerja, selisih antara denyut nadi isirahat dengan denyut nadi kerja.
2. Pengukuran Konsumsi Energi.
Denyut jantung ataupun denyut nadi merupakan peubah yang penting dalam penelitian lapangan maupun penelitian laboratorium. Dalam hal penentuan konsumsi energi, biasa digunakan parameter indeks kenaikan bilangan kecepatan denyut jantung ataupun denyut nadi. Indeks ini merupakan perbedaan antara denyut jantung pada waktu kerja tertentu dengan kecepatan denyut jantung pada waktu istirahat. Untuk merumuskan hubungan antara konsumsi energi dengan kecepatan denyut jantung, dilakukan pendekatan kuantitatif hubungan antara konsumsi energi dengan denyut jantung dengan menggunakan analisis regresi. Bentuk regresi hubungan energi dengan kecepatan denyut jantung adalah regresi kuadratis dengan persamaan, sebagai berikut:
(36)
Dimana ;
Y = Energi (kilokalori per menit).
X = Kecepatan denyut jantung (denyut per menit).
Setelah besaran kecepatan denyut jantung disetarakan dalam bentuk energi, maka konsumsi energi untuk suatu kegiatan kerja tertentu dapat dituliskan dalam bentuk matematis, sebagai berikut :
KE = Et - Ej...Persamaan 2.3. Dimana ;
KE = Konsumsi energi untuk satu kegiatan kerja tertentu (kilokalori per menit).
Et = Pengeluaran energi pada waktu kerja tertentu (kilokalori per menit). Ej = Penegeluaran energi pada saat istirahat (kilokalori per menit).
Dengan demikian, konsumsi energi pada waktu kerja tertentu merupakan selisih antara pengeluaran energi pada waktu kerja dengan pengeluaran energy pada waktu istirahat. Kategori berat ringannya suatu aktivitas kerja berdasarkan pada konsumsi energi dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Kategori beban kerja berdasarkan konsumsi energi
(37)
2.3.3 Sikap Kerja.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan sikap tubuh dalam melakukan pekerjaan, yaitu :
1. Semua pekerjaan hendaknya dilakukan dalam sikap duduk atau sikap berdiri secara bergantian.
2. Semua sikap tubuh yang tidak alami harus dihindarkan. Seandainya hal ini tidak memungkinkan, hendaknya diusahakan agar beban statis diperkecil. 3. Tempat duduk harus dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak membebani
melainkan dapat memberikan relaksasi pada otot – otot yang sedang tidak dipakai untuk bekerja dan tidak menimbulkan penekanan pada bagian tubuh (paha). Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya gangguan sirkulasi darah dan juga untuk mencegah keluhan kesemutan yang dapat mengganggu aktivitas (Tarwaka, 2004).
Sikap tubuh dalam bekerja terdiri dari :
1. Sikap Kerja Duduk.
Sikap kerja duduk merupakan sikap kerja yang kaki tidak terbebani dengan berat tubuh dan posisi stabil selama bekerja. Duduk memerlukan lebih sedikit energi daripada berdiri karena hal itu dapat mengurangi banyaknya beban otot statis pada kaki. Kegiatan bekerja sambil duduk harus dilakukan secara ergonomi sehingga dapat memberikan kenyamanan dalam bekerja. Sikap duduk yang keliru merupakan penyebab adanya masalah – masalah punggung. Hal ini dapat terjadi karena tekanan pada bagian tulang belakang akan meningkat pada saat duduk dibandingkan dengan saat berdiri ataupun berbaring. Jika diasumsikan tekanan tersebut sekitar 100% ; maka cara
(38)
duduk yang tegang atau kaku (erect posture) dapat menyebabkan tekanan 1 tersebut mencapai 140% dan cara duduk yang dilakukan dengan membungkuk ke depan menyebabkan tekanan tersebut sampai 190% (Nurmianto, 2004). Sikap duduk paling baik yang tidak berpengaruh buruk terhadap sikap badan dan tulang belakang adalah sikap duduk dengan sedikit lardosa pada pinggang dan sedikit mungkin kifosa pada punggung (Suma’mur, 1989). Sikap duduk yang benar yaitu sebaiknya duduk dengan punggung lurus dan bahu berada dibelakang serta bokong menyentuh belakang kursi. Selain itu, duduklah dengan lutut tetap setinggi atau sedikit lebih tinggi panggul (gunakan penyangga kaki) dan sebaiknya kedua tungkai tidak saling menyilang. Jaga agar kedua kaki tidak menggantung dan hindari duduk dengan posisi yang sama lebih dari 20-30 menit. Selama duduk, istirahatkan siku dan lengan pada kursi, jaga bahu tetap rileks (Wasisto, 2005).
Gambar 2.1 Sikap kerja pada Visual Display Terminal (VDT) yang direkomendasikan oleh Cakir et al. (1980) (kiri) dan Grandjean et al. (1982, 1984) (kanan)
(39)
Keuntungan bekerja sambil duduk adalah sebagai berikut : a. Kurangnya kelelahan pada kaki.
b. Terhindarnya sikap – sikap yang tidak alamiah. c. Berkurangnya pemakaian energi dalam bekerja. d. Kurangnya tingkat keperluan sirkulasi darah.
Namun, kegiatan bekerja sambil duduk juga dapat menimbulkan kerugian/ masalah bila dilakukan secara tidak ergonomis. Kerugian tersebut antara lain :
a. Melembeknya otot – otot perut. b. Melengkungnya punggung.
c. Tidak baik bagi organ dalam tubuh, khususnya pada organ pada sistem pencernaan jika posisi dilakukan secara membungkuk.
2. Sikap Kerja Berdiri.
Selain sikap kerja duduk, sikap kerja berdiri juga banyak ditemukan di perusahaan. Sikap kerja berdiri merupakan sikap kerja yang posisi tulang belakang vertikal dan berat badan tertumpu secara seimbang pada dua kaki. Bekerja dengan posisi berdiri terus menerus sangat mungkin akan terjadi penumpukan darah dan berbagai cairan tubuh pada kaki dan hal ini akan bertambah bila berbagai bentuk dan ukuran sepatu yang tidak sesuai. Sikap kerja berdiri dapat menimbulkan keluhan subjektif dan juga kelelahan bila sikap kerja ini tidak dilakukan bergantian dengan sikap kerja duduk (Rizki, 2007).
2.3.4 Keluhan Muskuloskeletal.
Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit.
(40)
Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon. Keluhan hingga kerusakan ini biasanya diistilahkan dengan keluhan
musculoskeletal disorders atau cedera pada sistem muskuloskeletal. Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua (Tarwaka, 2004), yaitu :
1. Keluhan sementara (reversible).
Keluhan sementara yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang apabila pembebanan dihentikan.
2. Keluhan menetap (persistent).
Keluhan menetap yaitu keluhan otot yang bersifat menetap. Walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut. Hasil studi menunjukkan bahwa bagian otot yang sering dikeluhkan adalah otot rangka (skeletal) yang meliputi otot leher, bahu, lengan, tangan, jari, punggung, pinggang dan otot – otot bagian bawah. Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot yang berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi pembebanan yang panjang.
Menurut Peter Vi (2000) yang dikutip oleh Rizki (2007) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal, yaitu :
1. Peregangan Otot yang Berlebihan.
Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja dimana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti
(41)
aktivitas mengangkat, mendorong, menarik dan menahan beban yang berat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan terjadinya cedera otot skeleletal.
2. Aktivitas Berulang.
Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus - menerus seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar, angkat – angkut dan lain – lain. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus – menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi.
3. Sikap Kerja Tidak Alamiah.
Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka akan semakin tinggi pula resiko terjadinya keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja.
2.3.5 Kelelahan.
Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Kelelahan diatur secara sentral oleh otak (Amrizal, 2005). Menurut Suma’mur (1996) kelelahan adalah reaksi fungsionil dari pusat kesadaran yaitu cortex cerebri yang dipengaruhi oleh 2 (dua) sistem antagonistik yaitu sistem penghambat (inhibisi)
(42)
dan sistem penggerak (aktivasi) tetapi semunya bermuara kepada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh.
Kelelahan kerja (job bournout) adalah sejenis stres yang banyak dialami
oleh orang – orang yang bekerja dalam pekerjaan – pekerjaan pelayanan terhadap manusia lainnya seperti perawat kesehatan, transportasi, kepolisian, pendidikan dan sebagainya (Schuler, 1999). Kelelahan akibat kerja sering kali diartikan sebagai menurunnya efisiensi, performans kerja dan berkurangnya kekuatan /ketahanan fisik tubuh untuk terus melanjutkan yang harus dilakukan (Wignjosoebroto, 2000).
Berdasarkan pendapat para ahli sebagaimana yang dikutip oleh Silaban (1996) bahwa kelelahan dibedakan berdasarkan 3 (tiga) bagian yaitu :
1. Berdasarkan proses dalam otot yang terdiri dari :
a. Kelelahan otot, menurut Wignjoesoebroto (2000) ialah disebabkan
munculnya gejala kesakitan yang amat sangat ketika otot harus melakukan beban.
b. Kelelahan umum, menurut Grandjean (1985) ialah suatu perasaan yang menyebar yang disertai dengan adanya penurunan kesiagaan dan kelambatan pada setiap aktivitas. Astrand dan Rodahl (1986) menyatakan bahwa kelelahan umum dapat menjadi gejala penyakit juga berhubungan dengan faktor psikologis (motivasi menurun, kurang tertarik) yang mengakibatkan menurunnya kapasitas kerja. Sebab - sebab kelelahan umum adalah monotoni, intensitas dan lamanya kerja fisik dan mental, keadaan lingkungan, sebab-sebab mental (tanggung jawab, kekhawatiran dan konflik) serta penyakit-penyakit.
(43)
2. Berdasarkan waktu terjadinya Kelelahan :
a. Kelelahan akut, terutama disebabkan oleh kerja suatu organ atau seluruh
tubuh secara berlebihan.
b. Kelelahan kronis, menurut Grandjean dan Kogi (1972) terjadi bila kelelahan berlangsung setiap hari, berkepanjangan dan bahkan kadang-kadang telah terjadi sebelum memulai suatu pekerjaan.
3. Berdasarkan penyebabnya :
a. Menurut Singleton (1972) disebabkan oleh faktor fisik dan psikologis di
tempat kerja.
b. Menurut McFarland (1972) disebabkan oleh faktor fisiologis yaitu akumulasi dari substansi toksin (asam laktat) dalam darah dan faktor psikologis yaitu konflik yang menyebabkan stres emosional yang berkepanjangan.
c. Menurut Phoon (1988) disebabkan oleh kelelahan fisik yaitu kelelahan karena kerja fisik, kerja patologis ditandai dengan menurunnya kerja, rasa lelah dan ada hubungannya dengan faktor psikososial.
2.3.6 Postur dan Pergerakan Kerja.
Postur kerja adalah merupakan pengaturan sikap pada saat tubuh sedang melakukan pekerjaan. Sikap kerja pada saat bekerja sebaiknya dilakukan secara
normal sehingga dapat mencegah timbulnya musculoskeletal. Rasa nyaman dapat
dirasakan apabila pekerja melakukan postur kerja yang baik.
1. Korset Bahu.
(44)
Abduction Adduction Elevation Depressio Gambar 2.2 Jangkauan gerakan korset bahu
Sumber: www.brianmac.co.uk, 2011
Keterangan :
a. Abduction adalah pergerakan menyamping menjauhi sumbu tengah
tubuh (the median plane).
b. Adduction adalah pergerakan ke arah sumbu tengah tubuh (the median plane).
c. Elevation adalah pergerakan kearah atas (bahu diangkat keatas).
e. Depression adalah pergerakan kearah bawah (bahu diturunkan kebawah).
2. Persendian Bahu.
Persendian bahu memiliki jangkauan gerakan normal yaitu : flexion,
extension, abduction, adduction, rotation.
(45)
Outward Medial Rotation Intward Medial Rotation Circumduction Gambar 2.3 Jangkauan persendian bahu
Sumber: www.brianmac.co.uk, 2011
Keterangan :
a. Flexion adalah gerakan dimana sudut antara dua tulang terjadi
pengurangan.
b. Extension adalah gerakan merentangkan dimana terjadi peningkatan sudut antara dua tulang.
c. Abduction adalah pergerakan menyamping menjauhi dari sumbu tengah tubuh.
d. Adduction adalah pergerakan kearah sumbu tengah tubuh. e. Rotation adalah gerakan perputaran bagian atas lengan.
f. Circumduction adalah gerakan perputaran lengan menyamping secara keseluruhan.
3. Persendian Siku.
Persendian siku memiliki gerakan normal yaitu : supination, pronation,
flexion, extension.
(46)
Flexion Extension
Gambar 2.4 Jangkauan gerakan persendian siku Sumber: www.brianmac.co.uk, 2010
Keterangan :
a. Supination adalah perputaran kearah samping dari anggota tubuh. b. Pronation adalah perputaran bagian tengah dari anggota tubuh.
c. Flexion adalah gerakan dimana sudut antara dua tulang terjadi
pengurangan.
d. Extension adalah gerakan merentangkan dimana terjadi peningkatan sudut antara dua tulang.
4. Persendian Pergelangan Tangan.
Persendian siku memiliki gerakan normal yaitu: flexion, ekstension,
adduction, abduction, dan circumduction.
Flexion Extension Adduction Abduction Circumduction Gambar 2.5 Jangkauan gerakan pergelangan tangan
(47)
Keterangan :
a. Flexion adalah gerakan dimana sudut antara dua tulang terjadi
pengurangan.
b. Extension adalah gerakan merentangkan dimana terjadi peningkatan sudut antara dua tulang.
c. Abduction adalah pergerakan menyamping menjauhi dari sumbu tengah tubuh.
d. Adduction adalah pergerakan kearah sumbu tengah tubuh.
e. Circumduction adalah pergerakan pergelangan tangan secara memutar.
2.4 Anthropometri.
2.4.1 Definisi Anthropometri.
Menurut Sritomo Wignjosoebroto dalam bukunya istilah antropometri berasal dari "anthro" yang berarti manusia dan "metri" yang berarti ukuran. Secara definitif antropometri dapat dinyatakan sebagai satu studi yang berkaitan dengan pengukurandimensi tubuh manusia. Manusia pada dasarnya akan memiliki bentuk, ukuran (tinggi, lebar dsb.) berat dan lain-lain. Yang berbeda satu dengan yang lainnya. Antropometri secara luasakan digunakan sebagai pertimbangan-pertimbangan ergonomis dalam proses perancangan (desain) produk maupun sistem kerja yang akan memerlukan interaksimanusia. Data antropometri yang berhasil diperoleh akan diaplikasikan secara luasantara lain dalam hal :
1. Perancangan areal kerja (work station, interior mobil, dll ).
2. Perancangan peralatan kerja seperti mesin, equipment, perkakas (tools) dan
(48)
3. Perancangan produk-produk konsumtif seperti pakaian, kursi/meja komputer dll.
4. Perancangan lingkungan kerja fisik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data antropometri akan menentukan bentuk, ukuran dan dimensi yang tepat yang berkaitan dengan produk yangdirancang dan manusia yang akan mengoperasikan / menggunakan produk tersebut. Dalam kaitan ini maka perancangan produk harus mampu mengakomodasikan dimensi tubuh dari populasi terbesar yang akan menggunakan produk hasil rancangannya tersebut. Secara umum sekurang - kurangnya 90 % - 95 % dari populasi yang menjadi target dalam kelompok pemakai suatu produk haruslah mampu menggunakannya dengan selayaknya.
2.4.2 Data Anthropometri dan Cara Pengukurannya.
Manusia pada umumnya akan berbeda – beda dalam hal bentuk dan dimensi ukuran tubuhnya. Ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi ukuran tubuh manusia , yaitu (Stevenson, 1989; Nurmianto, 2003) :
1. Umur.
Secara umum dimensi tubuh manusia akan tumbuh dan bertambah besar seiring dengan bertambahnya umur yaitu sejak awal kelahiran sampai dengan umur sekitar 20 tahunan. Dari suatu penelitian ysng dilakukan oleh A. F. Roche dan G. H. Davila (1972) di USA diperoleh kesimpulan bahwa laki-laki akan tumbuh dan berkembang naik sampai dengan usia 21,2 tahun, sedangkan wanita 17,3 tahun. Meskipun ada 10 % yang masih terus bertambah tinggi sampai usia 23,5 tahun (laki-laki) dan 21,1 tahun (wanita).
(49)
Setelah itu, tidak lagi akan terjadi pertumbuhan bahkan justru akan cenderung berubah menjadi pertumbuhan menurun ataupun penyusutan yang dimulai sekitar umur 40 tahunan (Wignjosoebroto, 1995).
2. Jenis kelamin (sex).
dimensi ukuran tubuh laki-laki umumnya akan lebih besar dibandingkan dengan wanita, terkecuali untuk beberapa bagian tubuh tertentu seperti pinggul, dan sebagainya.
3. Suku bangsa (etnic).
Setiap suku bangsa ataupun kelompok etnic akan memiliki karakteristik fisik
yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dimensi tubuh suku bangsa Negara Barat pada umumnya mempunyai ukuran yang lebih besar daripada dimensi tubuh suku bangsa negara Timur.
4. Keacakan / Random.
Hal ini menjelaskan bahwa walaupun telah terdapat dalam satu kelompok populasi yang sudah jelas sama jenis kelamin, suku atau bangsa, kelompok
usia dan pekerjaannya, namun masih akan ada perbedaan yang cukup
signifikan antara berbagai macam masyarakat.
5. Jenis Pekerjaan.
Beberapa jenis pekerjaan tertentu menuntut adanya persyaratan dalam seleksi karyawan. Misalnya, buruh dermaga harus mempunyai postur tubuh yang relatif lebih besar dibandingkan dengan karyawan perkantoran pada umumnya. Apalagi jika dibandingkan dengan jenis pekerjaan militer.
(50)
6. Pakaian.
Tebal tipisnya pakaian yang dikenakan, dimana faktor iklim yang berbeda akan memberikan varisi berbeda-beda pula dalam bentuk rancangan dan spesifikasi pakaian. Dengan demikian dimensi tubuh orangpun akan berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lainnya.
7. Faktor Kehamilan.
Kondisi semacam ini akan mempengaruhi bentuk dan ukuran tubuh khususnya bagi perempuan. Hal tersebut jelas memerlukan perhatian khusus terhadap produk-produk yang dirancang bagi segmen seperti ini.
8. Tubuh Cacat.
Hal ini jelas menyebabkan perbedaan antara yang cacat dengan yang tidak terhadap ukuran dimensi tubuh manusia.
9. Posisi tubuh (posture).
Sikap ataupun posisi tubuh akan berpengaruh terhadap ukuran tubuh oleh karena itu harus posisi tubuh standar harus diterapkan untuk survei pengukuran.
Berkaitan dengan posisi tubuh manusia dikenal dua cara pengukuran, yaitu:
a. Antropometri Statis (Structural Body Dimensions).
Disini tubuh diukur dalam berbagai posisi standard dan tidak bergerak (tetap tegak sempurna). Dimensi tubuh yang diukur meliputi berat badan, tinggi tubuh, dalam posisi berdiri, maupun duduk, ukuran kepala, tinggi/panjang lutut, pada saat berdiri/duduk, panjang lengan, dan sebagainya.
(51)
b. Antropometri Dinamis (Functional Body Dimensions).
Disini pengukuran dilakukan terhadap posisi tubuh pada saat berfungsi melakukan gerakan-gerakan tertentu yang berkaitan dengan kegiatan yang harus diselesaikan (Wignjosoebroto, 1995) .
Selanjutnya untuk memperjelas mengenai data antropometri yang tepat diaplikasikan dalam berbagai rancangan produk ataupun fasilitas kerja, diperlukan pengambilan ukuran dimensi anggota tubuh. Penjelasan mengenai pengukuran dimensi antropometri tubuh yang diperlukan dalam perancangan dijelaskan pada gambar 2.6.
Gambar 2.6. Antropometri untuk Perancangan Produk Sumber: Wignjosoebroto, 2003
Gambar 2.7. Antropometri Tinggi Badan Berdiri dan Duduk
(52)
Keterangan gambar 2.6. di atas, yaitu:
1 : Dimensi tinggi tubuh dalam posisi tegak (dari lantai sampai dengan ujung kepala).
2 : Tinggi mata dalam posisi berdiri tegak. 3 : Tinggi bahu dalam posisi berdiri tegak.
4 : Tinggi siku dalam posisi berdiri tegak (siku tegak lurus).
5 : Tinggi kepalan tangan yang terjulur lepas dalam posisi berdiri tegak (dalam gambar tidak ditunjukkan).
6 : Tinggi tubuh dalam posisi duduk (di ukur dari alas tempat duduk pantat sampai dengan kepala).
7 : Tinggi mata dalam posisi duduk. 8 : Tinggi bahu dalam posisi duduk.
9 : Tinggi siku dalam posisi duduk (siku tegak lurus). 10 : Tebal atau lebar paha.
11 : Panjang paha yang di ukur dari pantat sampai dengan. ujung lutut.
12 : Panjang paha yang di ukur dari pantat sampai dengan bagian belakang dari lutut betis.
13 : Tinggi lutut yang bisa di ukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk.
14 : Tinggi tubuh dalam posisi duduk yang di ukur dari lantai sampai dengan paha.
15 : Lebar dari bahu (bisa di ukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk). 16 : Lebar pinggul ataupun pantat.
17 : Lebar dari dada dalam keadaan membusung (tidak tampak ditunjukkan dalam gambar).
(53)
18 : Lebar perut.
19 : Panjang siku yang di ukur dari siku sampai dengan ujung jari-jari dalam posisi siku tegak lurus.
20 : Lebar kepala.
21 : Panjang tangan di ukur dari pergelangan sampai dengan ujung jari. 22 : Lebar telapak tangan.
23 : Lebar tangan dalam posisi tangan terbentang lebar kesamping kiri kanan (tidak ditunjukkan dalam gambar).
24 : Tinggi jangkauan tangan dalam posisi berdiri tegak. 25 : Tinggi jangkauan tangan dalam posisi duduk tegak.
26 : Jarak jangkauan tangan yang terjulur kedepan di ukur dari bahu sampai dengan ujung jari tangan.
2.4.3 Aplikasi Distribusi Normal dan Persentil Dalam Penetapan Data Anthropometri.
Data anthropometri diperlukan agar supaya rancangan suatu produk bisa sesuai dengan orang yang akan mengoperasikannya. Ukuran tubuh yang diperlukan pada hakekatnya tidak sulit diperoleh dari pengukuran secara individual. Adanya variansi ukuran sebenarnya akan lebih mudah diatasi bilamana kita mampu merancang produk yang memiliki fleksibilitas dan sifat “mampu suai” dengan suatu ukuran tertentu. Pada penetapan data anthropometri, pemakaian distribusi normal akan umum diterapkan. Distribusi normal dapat diformulasikan berdasarkan harga ratarata dan simpangan standarnya dari data yang ada. Berdasarkan nilai yang ada tersebut, maka persentil (nilai yang menunjukkan persentase tertentu dari orang yang memiliki ukuran pada atau di
(54)
bawah nilai tersebut) bisa ditetapkan sesuai tabel probabilitas distribusi normal. Bilamana diharapkan ukuran yang mampu mengakomodasikan 95% dari populasi
yang ada, maka diambil rentang 2,5th dan 97,5th percentile sebagai
batas-batasnya (Wignjosoebroto, 1995).
Gambar 2.8. Distribusi normal yang mengakomodasi 95% dari populasi. Sumber: Wignjosoebroto, 2003
Menurut Panero dan Zelnik (2003) disamping berbagai variasi, pola umum dari suatu distribusi data anthopometrik, seperti juga data-data lain, biasanya dapat diduga dan diperkirakan seperti pada distribusi Gaussian. Distribusi semacam itu, bila disajikan melalui grafik dengan membandingkan kejadian yang muncul terhadap besaran, biasanya berbentuk kurva simetris atau berbentuk lonceng. Ciri umum kurva berbentuk lonceng tersebut adalah besarnya prosentase pada bagian tengah dengan sediki saja perbedaan yang mencolok pada bagian ujung dari skala grafik tersebut.
Secara statistik sudah diperlihatkan bahwa data hasil pengukuran tubuh manusia pada berbagai populasi akan terdistribusi dalam grafik sedemikian rupa sehingga data-data yang bernilai kurang lebih sama akan terkumpul di bagian tengah grafik. Sedangkan data-data dengan nilai penyimpangan yang ekstrim akan terletak pada ujung-ujung grafik. Telah disebutkan pula bahwa merancang untuk
(55)
Oleh karena itu sebaiknya dilakukan perancangan dengan tujuan dan data yang berasal dari segmen populasi dibagian tengah grafik. Jadi merupakan hal logis untuk mengesampingkan perbedaan yang ekstrim pada bagian ujung grafik dan hanya menggunakan segmen terbesar yaitu 90% dari kelompok populasi tersebut.
Adapun distribusi normal ditandai dengan adanya nilai mean (rata-rata) dan SD (standar deviasi). Sedangkan persentil adalah suatu nilai yang menyatakan bahwa persentase tertentu dari sekelompok orang yang dimensinya sama dengan atau lebih rendah dari nilai tersebut. Misalnya: 95% populasi adalah sama dengan atau lebih rendah dari 95 persentil; 5% dari populasi berada sama dengan atau lebih rendah dari 5 persentil (Nurmianto, 2008).
Persentil ke-50 memberi gambaran yang mendekati nilai rata-rata dari suatu kelompok tertentu, namun demikian pengertian ini jangan disalah artikan sama dengan mengatakan bahwa rata-rata orang pada kelompok tersebut memiliki ukuran tubuh yang dimaksudkan tadi. Ada dua hal penting yang harus selalu diingat bila menggunakan persentil. Pertama, persentil anthropometrik dari tiap invidu hanya berlaku untuk satu data dimensi tubuh saja. Kedua, tidak dapat dikatakan seseorang memilki persentil yang sama, ke-95 atau ke-90 atau ke-5, untuk keseluruhan dimensi tubuhnya (Panero dan Zelnik, 2003).
Pemakaian nilai-nilai persentil yang umum diaplikasikan dalam perhitungan data anthropometri, ditunjukan dalam tabel 2.3.
(56)
Tabel 2.3. Macam persentil dan cara perhitungan dalam distribusi normal.
Sumber: Wignjosoebroto, 1995
Keterangan tabel 2.1. di atas, yaitu:
x = mean data
= standar deviasi dari data x
Pada pengolahan data anthropometri yang digunakan adalah data anthropometri hasil pengukuran dimensi tubuh manusia yang berkaitan dengan dimensi dari perancangan fasilitas kerja.
Sedangkan pada penentuan dimensi rancangan fasilitas kerja perakitan dibutuhkan beberapa persamaan berdasarkan pendekatan anthropometri. Ini berkaitan dengan penentuan penggunaan persentil 5 dan 95 (Panero dan Zelnik, 2003).
Perhitungan nilai persentil 5 dan persentil 95 dari setiap jenis data yang diperoleh, dilanjutkan dengan perhitungan untuk penentuan ukuran rancangan dan pembuatan rancangan berdasarkan ukuran hasil rancangan. Menurut Wignjosoebroto (1995), untuk menghitung persentil 5 dan persentil 95 menggunakan rumus pehitungan yang terdapat pada tabel 2.1. sebelumnya.
(57)
P5 = x - 1,645 x ...Persamaan 2.4. P50 = x...Persamaan 2.5. P95 = x + 1,645 x ...Persamaan 2.6.
2.5 Sapu Lantai.
2.5.1 Definisi Sapu Lantai.
Sapu lantai merupakan salah satu alat pembersih yang terdiri dari bagian serat atau serabut kaku dan biasanya terpasang atau terikat kepada suatu pegangan silindris. Bentuk sapu hampir selalu mengalami perubahan mulai dari bahan ranting-ranting pohon hingga seikatan serat-serat alami. Pada mulanya, sapu memiliki bentuk bulat, bentuk yang mudah dibuat tapi kurang efisien untuk melakukan pembersihan. Sapu dapat diikatkan ke sebuah pegangan, baik yang pendek untuk pembersih debu, maupun panjang untuk menyapu lantai atau perapian. Saat ini sapu lantai memiliki banyak varian, ada sapu lidi, sapu ijuk, dan sapu plastik. Tiap-tiap varian ini ditujukkan untuk berbagai keperluan. Sapu ijuk misalnya, ada yang untuk di dalam rumah, dan ada pula yang untuk teras. Begitu pula sapu lidi, ada untuk merapihkan tempat tidur dan ada untuk menyapu sampah. Bicara tentang menyapu rumah, pemilihan sapu adalah penting. Karena kualitas sapu akan menentukan kebersihan kamar selain teknik penyapuan itu sendiri. Berikut adalah gambar dari sapu lantai.
Gambar 2.9. Sapu lantai ijuk. Sumber: www.indomop.com
(58)
2.5.2 Komponen dan Bahan Sapu Ijuk.
Berdasarkan hasil karya kerja nyata dari Anang Shobirin pada UD. Matahari Mojokerto komponen dari sapu ijuk ialah :
1. Gagang Sapu yang terbuat dari kayu dwel yang dilapisi oleh plastik sebagai
penghias gagang dengan ukuran rata – rata panjang gagang 100 cm dan diameter 3 cm. Kayu dwel sendiri adalah bagian batang atau cabang serta
ranting tumbuhan yang mengeras karena mengalami lignifikasi (pengayuan).
2. Lakop Sapu yang terdiri dari bahan plastik sebagai rumah dan tempat
menempel dari serat ijuk. Serat ijuk merupakan serabut berwarna hitam dan
liat, Ijuk merupakan bahan alami yang dihasilkan oleh pangkal pelepah enau (arenga pinnata) yaitu sejenis tumbuhan bangsa palma. Pohon aren menghasilkan ijuk pada 4-5 tahun terakhir. Serat ijuk yang memuaskan diperoleh dari pohon yang sudah tua, tetapi sebelum tandan (bakal) buah muncul (sekitar umur 4 tahun), karena saat tandan (bakal) buah muncul ijuk menjadi kecil-kecil dan jelek. Ijuk yang dihasilkan pohon aren mempunyai sifat fisik diantaranya : berupa helaian benang berwarna hitam, berdiameter kurang dari 0,5 mm, bersifat kaku dan ulet sehingga tidak mudah putus.
3. Penggantung (cup) yang terbuat dari plastik.
Sedangkan bahan pembantu lainnya ialah paku dan kawat bendrat. Kawat bendrat adalah kawat yang memiliki diametern kecil namun bersifat liat. Biasanya digunakan untuk mengikat besi tulangan ke besi tulangan lainnya
(59)
2.5.3 Rangkaian Proses Produksi Sapu Ijuk.
Proses produksi di UD. MATAHARI adalah rangkaian proses produksi yang menerapakan cara manual, berikut adalah proses produksi sapu ijuk di UD MATAHARI :
1. Pemilihan ijuk dengan cara disisir. 2. Menata dan menganyam ijuk. 3. Pemasangan ijuk pada lakop.
4. Pemasangan stick.
5. Pemasangan cup.
6. Finishing and packing.
2.5.4 Perencanaan Rancangan Sapu Lantai.
Pada rancangan yang akan dikerjakan oleh ialah adanya pergantian bahan
gagang (stick) sapu dari kayu dwel menjadi bahan aluminium. Sedangkan lakop
sapu juga memakai bahan aluminium dan memakai serat ijuk sebagai komponen. Aluminium adalah logam yang berwaarna putih perak dan tergolong ringan yang mempunyai massa jenis 2,7 gr cm –3. Sifat-sifat yang dimilki aluminium antara lain :
1. Ringan, tahan korosi dan tidak beracun maka banyak digunakan untuk alat rumah tangga seperti panci, wajan dan lain-lain.
2. Reflektif, dalam bentuk aluminium foil digunakan sebagai pembungkus makanan, obat, dan rokok.
3. Daya hantar listrik dua kali lebih besar dari Cu maka Al digunakan sebagai kabel tiang listrik.
(60)
4. Paduan Al dengan logam lainnya menghasilkan logam yang kuat seperti Duralium (campuran Al, Cu, Mg) untuk pembuatan badan peswat.
5. Al sebagai zat reduktor untuk oksida MnO2 dan Cr2O3.
2.6 Pengujian Data.
2.6.1 Uji Keseragaman Data.
Tes keseragaman data secara visual dilakukan secara sederhana mudah dan cepat. Di sini kita hanya sekedar melihat data yang terkumpul dan seterusnya mengidentifikasikan data yang telalu “ekstrim”. Yang dimaksudkan dengan data ekstrim disini ialah data yang terlalu besar atau terlalu kecil dan jauh menyimpang dari trend rata-ratanya. Data yang terlalu ekstrim ini sewajarnya kita buang jauh-jauh dan tidak dimasukkan dalam perhitungan selanjutnya. Langkah pertama dalam uji keseragaman data yaitu menghitung besarnya rata-rata dari setiap hasil pengamatan, dengan persamaan berikut :
x =
n xi
...Persamaan 2.7. Dimana:x = Rata-rata data hasil pengamatan.
x = Data hasil pengukuran.
Langkah kedua adalah menghitung deviasi standar dengan persamaan 2.8 berikut:
1 )
( 2
n x xi
...Persamaan 2.8.
Dimana:
(61)
n = Banyaknya jumlah pengamatan. x = Data hasil pengukuran.
Langkah ketiga adalah menentukan batas kontrol atas (BKA) dan batas kontrol bawah (BKB) yang digunakan sebagai pembatas dibuangnya data ektrim dengan menggunakan persamaan 2.9 dan 2.10 berikut :
BKA = X + k ...Persamaan 2.9. BKB = X - k ...Persamaan 2.10. Dimana:
X = Rata-rata data hasil pengamatan.
= Standar deviasi dari populasi.
k = Koefisien indeks tingkat kepercayaan, yaitu: Tingkat kepercayaan 0 % - 68 % harga k adalah 1. Tingkat kepercayaan 69 % - 95 % harga k adalah 2. Tingkat kepercayaan 96 % - 100 % harga k adalah 3.
2.6.2 Uji Kecukupan Data.
Analisis kecukupan data dilakukan dengan tujuan untuk menguji apakah data yang diambil sudah mencukupi denganmengetahui besarnya nilai N’. Apabila N’ < N maka data pengukuran dianggap cukup sehingga tidak perlu dilakukan pengambilan data lagi. Sedangkan jika N’ > N maka data dianggap masih kurang sehingga diperlukan pengambilan data kembali. Adapun tahapan dalam uji kecukupan data adalah sebagai berikut :
1. Menentukan Tingkat Ketelitian dan Tingkat Keyakinan.
Tingkat ketelitian menunjukan penyimpangan maksimum hasil pengukuran dari waktu penyelesaian sebenarnya. Hal ini biasanya dinyatakan dalam
(62)
persen. Sedangkan tingkat keyakinan atau kepercayaan menunjukan besarnya keyakinan atau kepercayaan pengukuran bahwa hasil yang diperoleh memenuhi syarat tadi. Ini pun dinyatakan dalam persen. Jadi tingkat ketelitian 5% dan tingkat keyakinan 95% memberi arti bahwa pengukuran membolehkan rata-rata hasil pengukuranya menyimpang sejauh 5% dari rata-rata sebenarnya dan kemungkinan berhasil mendapatkan hal ini adalah 95%. Atau dengan kata lain berate bahwa sekurang-kurangnya 95 dari 100 harga rata-rata dari sesuatu yang diukur akan memiliki peyimpangan tidak lebih dari 5%.
2. Pengujian Kecukupan Data.
…..……… Persamaan 2.11.
Dimana:
N’ = Jumlah pengamatan yang seharusnya dilakukan. x = Data hasil pengukuran.
s = Tingkat ketelitian yang dikehendaki (dinyatakan dalam desimal). k = Harga indeks tingkat kepercayaan, yaitu:
Tingkat kepercayaan 0 % - 68 % harga k adalah 1. Tingkat kepercayaan 69 % - 95 % harga k adalah 2. Tingkat kepercayaan 96 % - 100 % harga k adalah 3.
Setelah mendapatkan nilai N’ maka dapat diambil kesimpulan apabila N’<N maka data dianggap cukup dan tidak perlu dilakukan pengambilan data kembali,
(63)
tetapi apabila N’ > N maka data belum mencukupi dan perlu dilakukan pengambilan data lagi.
2.7 Penelitian Terdahulu.
Yang dijadikan landasan pada penelitian ini adalah :
1. ”Evaluasi Ergonomis Dalam Perancangan Produk” oleh : Sritomo
Wignjosoebroto, Institut Teknologi Sepuluh November. Pada penelitian tersebut menyatakan bahwa evaluasi ergonomis dalam hal ini merupakan salah satu langkah pengujian agar sebuah rancangan produk pada saat dioperasikan tidak saja mampu memberikan fungsi-fungsi yang telah direncanakan, akan tetapi juga mampu memberikan keselamatan, kesehatan dan juga kenyamanan pada saat dioperasikan. Akhirnya, rancangan produk yang ergonomis itu jelas akan mampu pula meningkatkan nilai komersial dan daya saing produk.
2. “Perancangan Alat Bantu Jalan (Kruk) Yang Prakktis dan Ergonomis
Dengan Menggunakan Software CATIA” oleh : Taufiq Fitriadi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2008. Pada penelitian tersebut diketahui hasil produk kruk dengan desain yang menarik dan kuat untuk pemakaiannya serta praktis untuk digunakan, serta dapat diringkas dengan panjang minimal 100 cm. Alat kruk dapat diatur panjang dan pendek sesuai dengan keinginan. Untuk analisis pengujian kekuatan rangka dengan software CATIA diperoleh beban maksimal untuk kekuatan produk kruk yaitu sebesar 1000 Newton.
(64)
3. ”Perancangan Ulang Fasilitas Kerja Alat Pembuat Gerabah Dengan Mempertimbangkan Aspek Ergonomi” oleh : Muhammad Hanafi, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010. Pada penelitian tersebut diketahui bahwa alat perancangan kerja diperlukan penambahan spesifikasi antara lain : Pada sandaran dapat disesuaikan maju mundur sesuai dengan keinginan, pada putaran bawah terdapat tambahan bearing, dan pada bagian kursi dapat disesuaikan ketinggiannya. Dengan menggunakan desain 3D max, diharapkan alat rancangan yang baru dapat mengurangi beban kerja yang dirasakan oleh para pekerja.
4. “Penerapan Prototype Meja Bangku Ergonomis Untuk Murid Sekolah Dasar
Kelas Satu Dan Dua di Malang” oleh : Muhammad Lukman, Universitas Muhammadiyah Malang, 2007. Pada penelitian tersebut diketahui bahwa
meja tersebut dilakukan perancangan dengan posisi alas tulis miring 30o dari
horizontal, sehingga posisi tulang leher, tulang belakang dan kaki disertai lengan relative lebih nyamnan jka dibandingkandengan meja konvensional.
(65)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada konsumen yang dominan sebagai pengguna sapu lantai pada lokasi kecamatan Gedangan kota Sidoarjo provinsi Jawa Timur yang dimulai pada bulan Juni 2011 sampai data yang diperlukan terpenuhi.
3.2 Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel
Variabel dapat diartikan sebagai faktor yang mempunyai besaran dan variasi dalam penelitian. Jenis variabel dalam penelitian ada dua yaitu variabel bebas dan terikat. Variabel bebas adalah variabel yang perubahannya tidak tergantung pada variabel yang lain, sedangkan variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena variabel bebas. Adapun variabel bebas yang berpengaruh dalam penelitian ini adalah :
1. Dimensi tubuh yang bersesuaian.
Merupakan data primer yang didapatkan secara langsung melalui pengukuran dimensi tubuh manusia (operator). Adapun pengukuran dimensi tubuh yang bersesuaian adalah sebagai berikut :
a. Tinggi siku berdiri
b. Panjang telapak tangan
c. Panjang ibu jari
d. Panjang jari telunjuk
(1)
10 2.938795
11 2.887637
12 2.990897
13 2.837422
14 2.938795
15 2.887637
16 2.837422
17 2.887637
18 2.837422
19 2.887637
20 2.837422
21 2.887637
22 2.938795
23 2.938795
24 2.837422
25 2.990897
26 2.837422
27 2.887637
28 2.990897
29 2.887637
30 2.938795
31 2.887637
32 2.938795
33 2.837422
34 2.887637
35 2.837422
36 2.837422
37 2.938795
38 2.990897
39 2.938795
40 2.887637
Setelah didapatkan hasil seperti diatas maka langkah berikutnya ialah mengitung rata – rata dari sekelompok data.
Sehingga terlihat bahwa penggunaan energi dari sapu pada umumnya dengan sapu lantai multifungsi memiliki beda 0,201 kkal/menit dimana jika dikonversikan menjadi 5 menit ( asumsi lama kegiatan menyapu ) akan menjadi ± 1 kkal.
menit kkal
n x
x 2,902 /
40 116,084
(2)
4.5 Pembahasan
Berdasarkan hasil perhitungan sebelumnya maka didapatkan data hasil perhitungan sebagai berikut :
Tabel 4.15 Data hasil perhitungan.
1. Data yang diambil adalah data ukuran dimensi kerja yang bersesuaian dan data dimensi tubuh pengguna. Data dimensi kerja meliputi: lebar lakop sapu yang berdasarkan jarak antar kaki kursi, dan panjang keseluruhan sapu yang berdasarkan jarak antar lantai dengan atap ruangan. Sedangkan dimensi tubuh pengguna yang diambil adalah tinggi siku berdiri, panjang telapak tangan, panjang ibu jari, panjang jari telunjuk, panjang jari tengah, panjang jari manis, panjang jari kelingking, tinggi jangkauan tangan berdiri.
2. Dari perhitungan keseragaman data dapat dianalisa bahwa semua data dimensi seragam, maksudnya semua data berada dalam batas kontrol atas maupun bawah dan data tidak berada berturut - turut di garis tengah ( maksimal 7 titik ) .
Nama Dimensi P5 (cm) P50 (cm) P95 (cm) Persentil yang Dipilih Data Seragam Data Cukup Tinggi Siku Berdiri
99,271 100,75 102,228 P5 Seragam Cukup
Panjang Telapak Tangan
8,759 8,917 9,075 P5 Seragam Cukup
Panjang Ibu Jari
5,536 5,747 5,958 P5 Seragam Cukup
P. Jari Telunjuk
6,67 6,82 6,969 P5 Seragam Cukup
P. Jari Tengah
7,333 7,502 7,671 P5 Seragam Cukup
P. Jari Manis
6,835 7,007 7,179 P5 Seragam Cukup
P. Jari Kelingking
5,147 5,307 5,467 P5 Seragam Cukup
Tinggi Jangkauan Tangan
Berdiri 198,189 200,05 201,91
P5 Seragam Cukup
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
(3)
3. Dari perhitungan uji kecukupan data dapat dianalisa bahwa pengambilan data sampel dinyatakan cukup, maksudnya N’ < N sehingga tidak perlu dilakukan pengukuran lagi dan data tersebut boleh diolah.
4. Hasil perancangan sapu lantai multifungsi didapat diameter lingkaran gagang sapu ialah 2,7 cm, panjang sapu bentuk biasa sebesar 99 cm, panjang sapu keseluruhan 175 cm, lebar lakop sapu 39 cm. keseluruhan data yang diambil memiliki persentil 5%, karena diharapkan alat ini bisa terjangkau bagi kalangan pengguna dengan postur tubuh di bawah rata – rata.
5. Pengujian keergonomisan pada produk ini hanya dititik beratkan pada pembuktian energi yang dibutuhkan oleh pengguna dengan batasan pengguna sapu hanya melakukan kegiatan “ayun” sapu sebanyak 30 kali. Untuk sapu pada umumnya ( cap 2 macan : panjang sapu total 118 cm, panjang lakop sapu 35 cm dan diameter genggam 2 cm ), rata – rata pengguna membutuhkan energi 3,103 kkal/menit sedangkan pada sapu lantai multifungsi, pengguna membutuhkan energi 2,902 kkal/menit.
(4)
97
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil perhitungan dan analisa maka diperoleh perancangan sapu dengan diameter 2,7 cm, panjang sapu keseluruhan 99 cm, dan lebar lakop (kepala) sapu 39 cm serta jika digunakan untuk membersihkan atap ruangan, sapu bisa diperpanjang hingga total panjang sapu mencapai 175 cm.
Sedangkan untuk mendapatkan sapu yang bersifat inovatif yakni dengan mengganti bahan pada gagang sapu dan lakop sapu menjadi berbahan aluminium dikarenakan aluminium dikenal bahan yang ringan dan nampak lebih futuristic
daripada model sapu yang lama dan dengan membuat gagang sapu yang bisa diperpanjangpendekkan yang berfungsi sebagai pembersih atap ruangan.
5.2 Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan untuk lebih menyempurnakan penelitian ini antara lain adalah :
1. Hasil ukuran pada penelitian ini belum terlalu mendetail, sehingga diperlukan perhitungan lain yang dapat mendukung kesempurnaan produk ini nantinya.
2. Perlu dilakukan pengukuran untuk semua jenis kelamin, karena alat sapu tidak hanya digunakan pengguna yang berjenis kelamin wanita saja, tapi juga bisa digunakan untuk pengguna berjenis kelamin pria (meskipun dalam lapangan, pengguna sapu pria lebih sedikit daripada pengguna sapu wanita).
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
(5)
3. Pada penelitian selanjutnya diharapkan lebih memperlihatkan nilai estetika yang dikerjakan oleh ahli pembuat sapu.
(6)
DAFTAR PUSTAKA
A. Effendi Sanusi. 2011. Pengertian Inovasi. http://blog.unila.ac.id
Afnairus, Surya. 2011.Perancangan Sistem. http://edukasi.kompasiana.com/
Anonymous. 2009. Jurnal Pengembangan Produk : Bentuk dan Tahap Pengembangan Produk. http://jurnal-sdm.blogspot.com
Anonymous. 2009. Tentang Ijuk .http://arengabroom.blogspot.com/2009/08/sapu-ijuk-merupakan-sapu-terbaik-untuk.html
Anonymous. 2011. Definisi Ergonomi. http://sitahoo.com/ergonomi-definisi/ Ginting, Rosnani. 2010. Perancangan Produk. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Hanafi, Muhammad.2010. Skripsi : Perancangan Ulang Fasilitas Kerja Alat Pembuat Gerabah dengan Mempertimbangkan Aspek Ergonomi. USM Surakarta.
Imam Djati Widodo, 2005. Perencanaan dan Pengembangan Produk. UII Press.
Nurmianto, Eko. 2004. Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Surabaya : Guna Widya.
Shobirin, Anang. 2009. KKN : Proses Produksi Sapu Ijuk di Desa Temuireng,kec Dawar Blandong. Mojokerto.
SMKN 3 Kimia Madiun. 2008. Mengenal Secara Singkat Tentang Aluminium.
http://smk3ae.wordpress.com/2008/09/03/mengenal-secara-singkat-tentang-aluminium/
Ulrich, K.T dan Eppinger, S.D. 2001. Perancangan dan Pengembangn Produk. Jakarta : Salemba Teknika.
Wignjosoebroto, Sritomo. 2003. Ergonomi Studi Gerakan dan Waktu. Surabaya : Guna Widya.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :