PERBEDAAN IDENTITAS SOSIAL ORANG JAWA AN

PERBEDAAN IDENTITAS SOSIAL ORANG JAWA ANTARA REMAJA JAWA DI DESA DENGAN REMAJA JAWA DI KOTA SKRIPSI FEBRIANA DYAH KOESOEMASTOETI 05.40.0142 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2009

PERBEDAAN IDENTITAS SOSIAL ORANG JAWA ANTARA REMAJA JAWA DI DESA DENGAN REMAJA JAWA DI KOTA

SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi

Universitas Katolik Soegijapranata Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Psikologi FEBRIANA DYAH KOESOEMASTOETI 05.40.0142 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2009

Dipertahankan di Depan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Dan Diterima Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Psikologi

Pada Tanggal

12 Oktober 2009

Mengesahkan Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Dekan,

( Th. Dewi Setyorini, S.Psi, MSi. )

Dewan Penguji Tanda Tangan

1. Drs. D.P. Budi Susetyo, M.Si

2. Lita Widyohastuti, S.Psi., M.Si

3. Dr. M. Sih Setija Utami, M.Kes

MOTTO

”...sesungguh Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri...”

(QS: Ar Ra’d ayat 11)

Setiap orang dapat bermimpi, tapi yang membedakannya adalah tindakannya. Apapun yang anda pikirkan, apapun yang anda rasakan, atau apapun yang anda lakukan, utuhkanlah dengan do’a, lalu perhatikan apa yang terjadi.

(Mario Teguh, Golden Ways)

PERSEMBAHAN

karya skripsi ini saya persembahkan untuk Allah SWT, keluarga tercinta, civitas

akademika,bangsa Indonesia, dan semua pihak yang membantu dan memberi dukungan serta doa hingga terselesaikannya karya skripsi ini.

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, berkat rahmat, taufik, dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, tidak lepas dari bantuan, dorongan, dan perhatian yang telah diberikan banyak pihak kepada penulis. Untuk itu, dengan segala keredahan hati, penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada:

1. Ibu Th. Dewi Setyorini, S.Psi, MSi, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang.

2. Bapak Drs. D. P. Budi Susetyo, MSi, selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan penuh ketulusan, kesabaran, dan perhatian meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, nasehat, dan dukungan untuk penulis dalam penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Dra. V. Sri Sumiyati, MSi, selaku dosen penguji proposal, yang juga telah memberikan arahan untuk penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Dr. M. Sih Setija Utami, M.Kes dan Ibu Lita Widyohastuti, S.Psi., M.Si selaku dosen penguji skripsi, yang telah memberikan arahan kepada penulis untuk kesempurnaan skripsi ini.

5. Bapak Drs. M. Suharsono, MSi, selaku dosen wali yang dengan penuh kesabaran memberikan petunjuk dan dorongan selama penulis menuntut ilmu.

6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis.

7. Staf karyawan Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang yang banyak membantu kelancaran studi penulis.

8. Keluargaku tercinta Papaku Suharyono Darsoutomo, Mamaku Choiriyah, dan Kakakku Yhanuar Ardhi Wiedanto, atas doa, perhatian, dan dukungan yang selalu diberikan untuk penulis. Terima kasih atas kasih sayang ini.

9. Staf dan pengajar SMA 1 Kaliwungu Kendal dan SMA 6 Semarang, yang dengan tulus telah membantu penulis dalam penelitian skripsi ini. Esp. Bapak Ngadiman (TU) dan Ibu Tik (BK) SMA 1 Kaliwungu, serta Ibu Eni (Wakasek) dan Ibu Lina (BK) SMA 6 Semarang.

10. Sahabatku Retno Kusumastuti, atas persahabatan dan persaudaraan yang indah, dukungan dan semangatmu. Kamu sahabat terbaik dalam hidupku, my sister.

11. Teman-teman Fakultas Psikologi Dyah Ayu dan Indra Prasetyo, Citra, Icha, Rakhel, Andry, Ayu ndut, Anggita, Dian Galih dan masih banyak lagi, atas kerjasama dan kebersamaan selama ini, pengalaman dan semangat yang telah kalian bagikan padaku.

12. Mas Yoko Skandinavia dan keluarga, atas doa, perhatian, dan semangatnya.

13. Kosultan, dan staf LPT Soegijapranata, serta teman-teman Asisten LPT 2009- 2010 (LPT Rangers Ceria: Ade, Nandi, Lala, Vina, Putri, Dian, Seto, Anggita, Retno), terima kasih atas pengertian dan dukungannya. Semangat, Luar Biasa!

14. Teman-teman Co-trainer PPKM (Awaken The Giant Within) Unika Soegijapranata, Esp. Co-trainer 2008, senang bisa bergabung dengan kalian yang bersemangat dan Luar Biasa.

15. Laboratorium analisis data fakultas Psikologi Unika Soegijapranata, Mas Dimas, terima kasih Mas, sudah bantu hitung statistiknya.

16. Pak Tikno, staf WR III, terima kasih pinjaman komputer dan printernya yang sangat membantu. Maaf merepotkan.

17. Semua pihak yang telah membantu dan menjadi motivator demi terselesaikannya skripsi ini.

Semarang, Oktober 2009

Penulis

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Blue Print Skala Identitas Sosial Orang Jawa ..................................

38 Tabel 2 Sebaran Item Skala Identitas Sosial Orang Jawa .............................

44 Tabel 3 Sebaran Item Valid dan Gugur Skala Identitas Sosial Orang Jawa .

49 Tabel 4 Persentase Kesesuaian Perilaku Subyek Dengan Nilai-Nilai

54

Budaya Jawa .....................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seringkali orang Jawa golongan tua merasa lebih njawani dibanding generasi muda. Golongan tua masih taat pada tata cara Jawa, mulai dari etika bertamu, berpakaian, berhajat, dan lainnya. Mereka selalu berpusat pada nilai- nilai kejawaan yang asli. Keengganan meninggalkan nilai-nilai kejawaan secara tulus, didorong oleh rasa ingin melestarikan budaya miliknya. Itulah sebabnya kedekatan dan kelekatan budaya Jawa pada golongan tua semakin mendarah daging. Berbeda dengan orang Jawa sekarang (modern), jelas telah terpengaruh nilai-nilai budaya barat yang dapat (telah) mengubah nilai-nilai budaya tradisi yang ada. Kontak antarbudaya satu dengan yang lain, akan memoles dan melunturkan tradisi njawani kearah lain (Endraswara, 2003, h. 4). Arus globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan komunikasi semakin pesat, dan cepat atau lambat telah mempengaruhi sikap, cara hidup serta pola pikir manusia, tak terkecuali dalam masyarakat Jawa. Hal ini disebabkan adanya persinggungan budaya (Endraswara, 2003, h. 5).

Dalam istilah antropologi budaya, kata budaya dan kebudayaan memiliki arti yang sama. Menurut Koentjaraningrat (1986, h. 180) kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka Dalam istilah antropologi budaya, kata budaya dan kebudayaan memiliki arti yang sama. Menurut Koentjaraningrat (1986, h. 180) kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka

Kebudayaan Jawa memiliki nilai-nilai budaya yang menjadi dasar masyarakat Jawa dalam berprilaku. Nilai-nilai budaya tersebut menjadi prinsip yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa (Handayani, 2004, h.65). Prinsip pertama atau yang disebut dengan prinsip kerukunan mengatakan bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Prinsip kedua atau yang disebut dengan prinsip hormat menuntut agar manusia dalam berbicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain.

Walaupun memegang prinsip yang sama, kebudayaan Jawa di Jawa Tengah, bukan merupakan varian yang homogen serta bebas dari keragaman (Sujamto, 1992, h. 29). Dalam wilayah kebudayaan Jawa ini dibedakan lagi antara kebudayaan Jawa pesisiran dan Jawa pedalaman (Suseno, 1996, h. 11-12). Jawa pesisiran adalah suatu daerah atau wilayah kebudayaan yang berada di sepanjang daerah pantai utara pulau Jawa (Thohir, 2009). Sifat-sifat umum masyarakat pesisir adalah terbuka, dan lugas. Sifat-sifat ini berhubungan dengan kondisi kawasan tempat tinggal yang berjauhan dengan pusat kerajaan Jawa, dan dalam Walaupun memegang prinsip yang sama, kebudayaan Jawa di Jawa Tengah, bukan merupakan varian yang homogen serta bebas dari keragaman (Sujamto, 1992, h. 29). Dalam wilayah kebudayaan Jawa ini dibedakan lagi antara kebudayaan Jawa pesisiran dan Jawa pedalaman (Suseno, 1996, h. 11-12). Jawa pesisiran adalah suatu daerah atau wilayah kebudayaan yang berada di sepanjang daerah pantai utara pulau Jawa (Thohir, 2009). Sifat-sifat umum masyarakat pesisir adalah terbuka, dan lugas. Sifat-sifat ini berhubungan dengan kondisi kawasan tempat tinggal yang berjauhan dengan pusat kerajaan Jawa, dan dalam

Dalam masyarakat Jawa saat ini, memudarnya nilai-nilai budaya Jawa dikalangan generasi muda muncul menjadi suatu kekhawatiran. Tumbuh penilaian pada masyarakat Jawa bahwa remaja sekarang banyak yang tidak tahu unggah- ungguh, wong Jawa ora ngerti jawane (orang Jawa tidak tahu Jawa) karena melihat perilaku dari pemuda Jawa yang tidak lagi mencerminkan perilaku yang mencerminkan dirinya sebagai orang Jawa (Wahyudi, 2007).

Apabila mencermati perkembangan remaja akhir-akhir ini, kian hari kian kecil saja prosentase remaja yang masih memperhatikan tata krama Jawa yang tercermin dari tutur kata dan perilaku mereka. Seperti diungkapkan oleh Samadi (2007), bahwa banyak sekali masyarakat Jawa Tengah khususnya di wilayah perkotaan yang tidak lagi menggunakan bahasa Jawa sebagai sarana komunikasi dalam keluarga. Di rumah, banyak orangtua yang tidak lagi mengajarkan bahasa Jawa kepada anak-anak mereka karena menganggap bukan suatu hal yang penting. Hal ini berakibat pada remaja Jawa saat ini. Banyak remaja Jawa menganggap bahwa bahasa Jawa merupakan bahasa yang sulit dan udik, sehingga Apabila mencermati perkembangan remaja akhir-akhir ini, kian hari kian kecil saja prosentase remaja yang masih memperhatikan tata krama Jawa yang tercermin dari tutur kata dan perilaku mereka. Seperti diungkapkan oleh Samadi (2007), bahwa banyak sekali masyarakat Jawa Tengah khususnya di wilayah perkotaan yang tidak lagi menggunakan bahasa Jawa sebagai sarana komunikasi dalam keluarga. Di rumah, banyak orangtua yang tidak lagi mengajarkan bahasa Jawa kepada anak-anak mereka karena menganggap bukan suatu hal yang penting. Hal ini berakibat pada remaja Jawa saat ini. Banyak remaja Jawa menganggap bahwa bahasa Jawa merupakan bahasa yang sulit dan udik, sehingga

Arus globalisasi dan akses yang lebih luas dengan dunia luar yang awalnya sangat idientik dengan kehidupan kota, saat ini juga telah mempengaruhi kehidupan desa. Arus globalisasi inilah yang kemudian mengubah perilaku masyarakat desa. Globalisasi berpengaruh nyata terhadap memudarnya budaya Jawa, karena tidak ada pembatas untuk tiap-tiap wilayah, sehingga budaya lain dengan mudah masuk. Adanya internet masuk desa, membuat masyarakat desa juga bisa mengetahui informasi dari seluruh dunia sehingga ada nilai-nilai, norma-norma yang tidak sama dengan norma kita, masuk ke diri seseorang (Kyurrni, 2008).

Budaya yang berubah akan mengubah perilaku. Ini karena budaya dan perilaku memiliki kaitan yang sangat erat. Seperti dikemukakan oleh Sherif dan Muzafer (dalam Sarwono, 1996, h.3) bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh situasi stimulus sosial. Stimulus sosial yang dimaksud diantaranya adalah budaya. Sementara itu Berry dkk (dalam Susetyo, 2006, h.1-16) mengatakan bahwa proses Budaya yang berubah akan mengubah perilaku. Ini karena budaya dan perilaku memiliki kaitan yang sangat erat. Seperti dikemukakan oleh Sherif dan Muzafer (dalam Sarwono, 1996, h.3) bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh situasi stimulus sosial. Stimulus sosial yang dimaksud diantaranya adalah budaya. Sementara itu Berry dkk (dalam Susetyo, 2006, h.1-16) mengatakan bahwa proses

Kesadaran akan nilai budaya dan kesadaran akan keanggotaannya pada suatu identitas budaya tertentu akan mempengaruhi perilakunya dalam interaksi sosial sehari-hari. Melalui pewarisan budaya membentuk identitas sosial individu (Susetyo,2006, 1-16). Menurut Baron dan Byrne (2004, h.163) identitas sosial adalah definisi seseorang tentang siapa dirinya, termasuk di dalamnya atribut pribadi dan atribut yang dibaginya bersama dengan orang lain, seperti gender dan ras. Menurut Billig (dalam Sarwono,2001,h. 22) identitas sosial adalah proses mengikatkan individu pada kelompoknya dan yang menyebabkan individu menyadari diri sosialnya (social self).

Identitas sosial inilah yang tampaknya telah luntur, terutama pada remaja Jawa. Nilai-nilai budaya Jawa mulai memudar dalam diri remaja. Dalam suatu penelitian studi deskriptif disimpulkan bahwa karakteristik identitas sosial orang Jawa pada subyek mahasiswa sebagian besar masih mempertimbangkan nilai rukun dan hormat sebagai pertimbangan perilaku. Hal tersebut merupakan hasil dari proses pewarisan budaya Jawa melalui enkulturasi. Subyek mendapatkan pewarisan nilai-nilai tersebut dari orangtua. Pengaruh status sebagai mahasiswa Identitas sosial inilah yang tampaknya telah luntur, terutama pada remaja Jawa. Nilai-nilai budaya Jawa mulai memudar dalam diri remaja. Dalam suatu penelitian studi deskriptif disimpulkan bahwa karakteristik identitas sosial orang Jawa pada subyek mahasiswa sebagian besar masih mempertimbangkan nilai rukun dan hormat sebagai pertimbangan perilaku. Hal tersebut merupakan hasil dari proses pewarisan budaya Jawa melalui enkulturasi. Subyek mendapatkan pewarisan nilai-nilai tersebut dari orangtua. Pengaruh status sebagai mahasiswa

Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya bahwa pewarisan budaya membentuk identitas sosial individu, pada masa remaja, penanaman nilai-nilai budaya mempunyai peran penting mengarahkan dan membantu remaja menemukan identitasnya (Sulistyawan, 2007). Hal ini karena masa remaja adalah masa pencarian identitas. Menurut Monks (1998, h.279), dalam masa remaja, remaja berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan orangtua dengan maksud untuk menemukan dirinya. Identitas yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya. Perkembangan identitas ini menjadi sangat rentan bagi remaja. Remaja berusaha menemukan jawaban atas kekaburan identitas itu, melalui kelompok sosial di luar keluarga, khususnya kelompok teman sebaya (peer group ). Kelompok merupakan bagian integral dari identitas sosial individu. Pengaruh kuat teman sebaya atau sesama remaja merupakan hal penting yang tidak dapat diremehkan dalam masa-masa remaja. Hal-hal yang berhubungan dengan tingkah laku, minat bahkan sikap dan pikiran remaja banyak dipengaruhi oleh teman-teman dalam kelompok mereka (Mappiare, 1982, h.167). Hal ini karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapat dimengerti bahwa pengaruh teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya bahwa pewarisan budaya membentuk identitas sosial individu, pada masa remaja, penanaman nilai-nilai budaya mempunyai peran penting mengarahkan dan membantu remaja menemukan identitasnya (Sulistyawan, 2007). Hal ini karena masa remaja adalah masa pencarian identitas. Menurut Monks (1998, h.279), dalam masa remaja, remaja berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan orangtua dengan maksud untuk menemukan dirinya. Identitas yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya. Perkembangan identitas ini menjadi sangat rentan bagi remaja. Remaja berusaha menemukan jawaban atas kekaburan identitas itu, melalui kelompok sosial di luar keluarga, khususnya kelompok teman sebaya (peer group ). Kelompok merupakan bagian integral dari identitas sosial individu. Pengaruh kuat teman sebaya atau sesama remaja merupakan hal penting yang tidak dapat diremehkan dalam masa-masa remaja. Hal-hal yang berhubungan dengan tingkah laku, minat bahkan sikap dan pikiran remaja banyak dipengaruhi oleh teman-teman dalam kelompok mereka (Mappiare, 1982, h.167). Hal ini karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapat dimengerti bahwa pengaruh teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada

Dalam suatu penelitian tentang keterikatan dengan nilai budaya yang dilakukan pada masyarakat batak menyebutkan bahwa keterikatan dengan nilai budaya salah satunya dipengaruhi oleh unsur lingkungan. Keterikatan dengan budaya pada kelompok subyek di daerah asal lebih tinggi karena subyek dibesarkan dan menetap di lingkungan budaya yang relatif homogen, sehingga mereka menerima informasi yang relatif homogen dan mendukung keterikatannya dengan nilai-nilai budaya (Panggabean, 1996, h. 42-48).

Menurut Horton dan Hunt (1990, h. 130) desa memiliki segi latar belakang etnik dan budaya yang cenderung homogen. Masyarakat desa cenderung homogen dalam agama, kebangsaan, ras, dan gaya hidup, serta mata pencaharian di bidang pertanian. Hubungan gemeinschaft atau komunitas intim menggambarkan kehidupan di desa. Hubungan ini ditandai dengan saling mengenalnya antar anggota, adanya ikatan pribadi, serta hubungan kekerabatan dan persahabatan (Helsin, 2007, 102). Hubungan antar pribadi ini sangat kuat dan ditandai dengan pola perilaku tradisional. Masyarakat desa memiliki gaya hidup yang konservatisme dan memegang teguh adat. Masyarakat desa memegang nilai yang sama dan disosialisasikan menurut tradisi yang dianggap luhur. Status dalam masyarakat desa pun ditentukan oleh keturunan (Cohen, 1983, h. 316). Sebaliknya, masyarakat kota lebih bersifat heterogen karena jumlah penduduk yang besar, dan masing-masing menjalankan tugas spesialisasinya. Hubungan Menurut Horton dan Hunt (1990, h. 130) desa memiliki segi latar belakang etnik dan budaya yang cenderung homogen. Masyarakat desa cenderung homogen dalam agama, kebangsaan, ras, dan gaya hidup, serta mata pencaharian di bidang pertanian. Hubungan gemeinschaft atau komunitas intim menggambarkan kehidupan di desa. Hubungan ini ditandai dengan saling mengenalnya antar anggota, adanya ikatan pribadi, serta hubungan kekerabatan dan persahabatan (Helsin, 2007, 102). Hubungan antar pribadi ini sangat kuat dan ditandai dengan pola perilaku tradisional. Masyarakat desa memiliki gaya hidup yang konservatisme dan memegang teguh adat. Masyarakat desa memegang nilai yang sama dan disosialisasikan menurut tradisi yang dianggap luhur. Status dalam masyarakat desa pun ditentukan oleh keturunan (Cohen, 1983, h. 316). Sebaliknya, masyarakat kota lebih bersifat heterogen karena jumlah penduduk yang besar, dan masing-masing menjalankan tugas spesialisasinya. Hubungan

Hubungan masyarakat kota adalah impersonal, kurang saling kenal, dan temporer. Masyarakat kota lebih menggantungkan diri pada dirinya sendiri, dan kurang mengharapkan bantuan sanak saudara (Cohen, 1983, h. 318). Adanya spesialisasi pekerjaan mengakibatkan kehidupan di kota cukup komplek. Kompetisi dan konflik yang terjadi di masyarakat kota juga tinggi karena penentuan status seseorang dilihat dari prestasinya (Susanto, 1983, h. 131).

Namun dewasa ini, khususnya di Jawa, keadaan desa sudah banyak berubah. Pengaruh kota di desa sudah terasa karena komunikasi antar desa dengan kota sudah lancar (Martaniah, 1988, h. 63). Di Jawa Tengah sendiri, mulai masuknya fasilitas yang ada di kota, seperti internet, di wilayah desa membuat masyarakat desa kini dapat banyak informasi dari dunia luar (Sanomae, 2009). Namun hal tersebut membuat masyarakat desa, teruatama remaja, kini meniru budaya asing, dan mulai meninggalkan nilai budayanya sendiri, yaitu budaya Jawa(Kyurrni, 2008).

Melalui penjelasan yang dijabarkan di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa wilayah tempat tinggal, dalam hal ini pedesaan dan perkotaan mempengaruhi identitas sosial remaja sebagai orang Jawa. Hal ini karena di wilayah pedesaan masyarakatnya lebih homogen dari segi latar bekalang kebudayaan. Sedangkan di kota, latar belakang kebudayaan masyarakatnya lebih heterogen.

Dari uraian tersebut muncul pertanyaan apakah ada perbedaan identitas sosial sebagai orang Jawa, antara remaja Jawa di desa dan remaja di kota? Bedasarkan pertanyaan tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Perbedaan Identitas Sosial Orang Jawa Antara Remaja Jawa di Desa dengan Remaja Jawa di Kota”.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini untuk menguji secara empiris perbedaan identitas sosial sebagai orang Jawa antara remaja Jawa di desa dengan di kota.

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan bagi pengembangan disiplin psikologi, khususnya psikologi sosial mengenai perbedaan identitas sosial orang Jawa antara remaja Jawa di desa dengan di kota.

2. Manfaat Praktis

Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pentingnya penanaman nilai budaya Jawa, dalam rangka melestarikan budaya Jawa.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Identitas Sosial Orang Jawa

1. Pengertian Identitas Sosial

Identitas sosial didefinisikan oleh Tajfel (dalam Hogg dan Abrams, 1988, h. 7) sebagai pengetahuan individu bahwa dia masuk dalam kelompok sosial tertentu termasuk beberapa emosi dan nilai yang berarti dalam keanggotaannya. Definisi yang sama diungkapkan oleh Taylor dan Moghaddam (dalam Susetyo, 2002, h. 58-65) identitas individu yang tampil dalam setiap interaksi sosial disebut dengan identitas sosial, yaitu bagian dari konsep diri individu sebagai anggota suatu kelompok sosial, dimana di dalamnya mencakup nilai dan emosi-emosi penting yang melekat dalam diri individu sebagai anggotanya.

Definisi lain oleh Billig (dalam Sarwono, 2001, h. 22) mengungkapkan bahwa identitas sosial adalah sebuah proses yang mengikatkan individu pada kelompoknya dan yang menyebabkan individu menyadari diri sosialnya (social self). Sama halnya dengan Billig, Baron dan Byrne (2004, h.163) mengartikan identitas sosial sebagai definisi seseorang tentang siapa dirinya termasuk di dalamnya atribut pribadi dan atribut yang dibaginya bersama dengan orang lain. Sedangkan menurut Deaux (dalam

Baron dan Byrne, 2004, 163) identitas sosial adalah sebuah definisi diri yang memandu bagaimana kita mengonseptualisasi dan mengevaluasi diri.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa identitas sosial adalah kesadaran individu akan keanggotaannya dalam kelompok sosial tertentu dan kesadaran akan nilai-nilai dan emosi-emosi yang dimiliki kelompok sosial tersebut serta menggunakannya untuk mengevaluasi diri dalam setiap interaksi sosial.

2. Pengertian Identitas Sosial Orang Jawa

Salah satu wujud dari kebudayaan adalah adat istiadat yang di dalamnya terdapat nilai-nilai budaya (Koentjaraningrat 1986, h. 180). Menurut Koentjaraningrat (1984, h. 25) nilai budaya adalah suatu sistem nilai yang terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus dianggap bernilai dalam hidup.

Orang Jawa menurut Koentjaraningrat harus sadar bahwa hidupnya selalu bergantung dengan orang lain. Seseorang tidak hidup sendiri sehingga harus menjalin hubungan baik dengan siapapun. Bagi masyarakat Jawa etika kesusilaan merupakan dasar sikap dan perilaku agar di dalam tata hubungan antar manusia tidak menimbulkan konflik (dalam Bratawijaya, 1997, h. 82).

Ada dua prinsip yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa (Handayani, 2004, h.65). Prinsip pertama atau yang disebut dengan prinsip kerukunan mengatakan bahwa dalam setiap situasi manusia Ada dua prinsip yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa (Handayani, 2004, h.65). Prinsip pertama atau yang disebut dengan prinsip kerukunan mengatakan bahwa dalam setiap situasi manusia

a. Prinsip Kerukunan Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Keadaan rukun terdapat dimana semua pihak berada dalam keadaan damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat (Suseno, 1996, h.39-40).

Menurut Bratawijaya (1997, h. 81) rukun berarti berada dalam keadaan selaras, penuh kedamaian, tanpa adanya pertentangan dan perselisihan. Keadaan rukun adalah dimana semua pihak berada dalam kedamaian, suka bekerja sama. Gotong royong merupakan budaya Jawa yang dilandasi adanya kerukunan hidup.

Kedamaian menurut Endraswara (2003, h. 38-39) merupakan cita- cita luhur orang Jawa. Prinsip yang dianut dalam mencapai kedamaian adalah konsep rukun. Rukun adalah kondisi dimana keseimbangan sosial tercapai. Kerukunan hidup terjadi karena terjalin saling menghormati, sopan santun terjaga, dan saling menghargai satu sama lain.

Menurut Suseno (1996, h. 58) prinsip kerukunan senantiasa menuntut kerelaan-kerelaan tertentu misalnya untuk mencegah konflik orang harus bersedia untuk menerima kompromi dan harus sering kali untuk tidak memperoleh haknya dengan sepenuhnya.

Bagi orang Jawa mengusahakan keuntungan pribadi tanpa memperhatikan persetujuan masyarakat, berusaha sendiri tanpa mengikusertakan kelompok dinilai kurang baik. Selain itu, mengambil inisiatif sendiri cenderung untuk tidak disenangi. Membuka perasaan hati begitu saja dinilai negatif, reaksi-reaksi yang memperlihatkan kekacauan batin atau kekurangan kontrol diri bagi orang Jawa terasa tidak enak. Di samping itu, suatu permintaan atau tawaran tidak boleh langsung ditolak dan demikian juga sebaliknya, diharapkan bahwa tawaran-tawaran dan permintaan-permintaan jangan diajukan secara langsung melainkan perlu dijajagi dulu bagaimana keinginan itu akan diterima (Suseno, 1985, h. 40- 42).

Suseno (1996, h 43-47) menyatakan bahwa orang Jawa sangat menghargai kemampuan untuk memperkatakan hal-hal yang tidak enak secara tidak langsung. Kemampuan untuk ethok-ethok atau berpura-pura adalah suatu seni yang tinggi dan dinilai positif. Hal ini terutama berlaku tentang perasaan-perasaan negatif. Walaupun seseorang diliputi kesedihan, dia diharapkan tersenyum. Apabila mendapatkan kunjungan dari orang yang dibenci, individu tetap diharapkan tersenyum. Selain itu, bagi orang Jawa Suseno (1996, h 43-47) menyatakan bahwa orang Jawa sangat menghargai kemampuan untuk memperkatakan hal-hal yang tidak enak secara tidak langsung. Kemampuan untuk ethok-ethok atau berpura-pura adalah suatu seni yang tinggi dan dinilai positif. Hal ini terutama berlaku tentang perasaan-perasaan negatif. Walaupun seseorang diliputi kesedihan, dia diharapkan tersenyum. Apabila mendapatkan kunjungan dari orang yang dibenci, individu tetap diharapkan tersenyum. Selain itu, bagi orang Jawa

b. Prinsip Hormat Prinsip hormat mengatakan bahwa setiap orang dalam bicara dan membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai derajat dan kedudukannya. Prinsip ini berpendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hierarkis. Pandangan itu sendiri berdasarkan cita-cita tentang suatu masyarakat yang teratur baik, dimana setiap orang mengenal tempat dan tugasnya dan dengan demikian ikut menjaga agar seluruh masyarakat merupakan suatu kesatuan yang selaras (Suseno, 1996, h.60).

Saling menghormati adalah dasar dari sikap kerukunan. Sikap hormat masyarakat Jawa dilandasi dengan cara berbicara dan membawa dirinya selalu hormat terhadap orang lain sesuai dengan tingkat dan kedudukannya masing-masing (Bratawijaya, 1997, h. 83).

Kefasihan dalam mempergunakan sikap-sikap hormat yang tepat dikembangkan pada orang Jawa sejak kecil melalui pendidikan dalam keluarga. Geertz (Suseno, 1996, h. 63-65) menguraikan bahwa pendidikan itu tercapai melalui tiga perasaan yang dipelajari oleh anak Jawa dalam situasi-situasi yang menuntut sikap hormat, yaitu:

1) Wedi Wedi berarti takut, baik sebagai reaksi terhadap ancaman fisik maupun sebagai rasa takut akibat kurang enak suatu tindakan.

2) Isin Isin berarti malu, juga berarti malu-malu, merasa bersalah dan sebagainya. Perasaan isin dapat muncul dalam semua situasi sosial kecuali di dalam lingkaran keluarga inti. Sebaliknya, semua hubungan ke luar selalu terancam oleh perasaan isin.

3) Sungkan Sungkan adalah malu dalam arti yang lebih positif. Sungkan digambarkan sebagai rasa hormat yang sopan terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal dan juga digambarkan sebagai pengekangan halus terhadap kepribadian sendiri demi hormat terhadap pribadi lain. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam setiap berperilaku

orang Jawa selalu berpedoman pada dua prinsip dasar, yaitu rukun dan hormat. Prinsip kerukunan mengatakan bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Prinsip hormat menuntut agar manusia dalam berbicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain.

Jadi dapat disimpulkan bahwa identitas sosial orang Jawa adalah kesadaran individu akan keanggotaannya sebagai orang Jawa dan kesadaran Jadi dapat disimpulkan bahwa identitas sosial orang Jawa adalah kesadaran individu akan keanggotaannya sebagai orang Jawa dan kesadaran

3. Pengertian Orang Jawa

Menurut Koentjaraningrat (1984, h.4-5) orang Jawa hanya mendiami bagian tengah dan timur dari seluruh pulau Jawa. Daerah asal orang Jawa, yaitu propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan menurut Suseno (1996, h.11) yang disebut orang Jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa.

Namun kebudayaan Jawa yang hidup di Jawa Timur, Surabaya dan sekitarnya, oleh orang Jawa sendiri biasanya dianggap sebagai suatu sub daerah kebudayaan yang khusus. Jadi dapat disimpulkan bahwa yang disebut orang Jawa adalah penduduk asli pulau Jawa yang berasal dari propinsi Jawa Tengah.

4. Kebudayaan Jawa di Jawa Tengah

Kebudayaan Jawa di Jawa Tengah memang hanya satu variasi dari kebudayaan Jawa. Meskipun lingkupnya menjadi lebih terbatas tetapi varian ini pun bukan varian yang homogen serta bebas dari keragaman (Sujamto, 1992, h. 29). Dalam wilayah kebudayaan Jawa ini dibedakan lagi antara para penduduk pesisir utara dimana hubungan pedagangan, pekerjaan nelayan, dan pengaruh Islam, lebih kuat menghasilkan kebudayaan Jawa yang khas, yaitu kebudayaan pesisiran, dan daerah-daerah Jawa pedalaman, yang mempunyai Kebudayaan Jawa di Jawa Tengah memang hanya satu variasi dari kebudayaan Jawa. Meskipun lingkupnya menjadi lebih terbatas tetapi varian ini pun bukan varian yang homogen serta bebas dari keragaman (Sujamto, 1992, h. 29). Dalam wilayah kebudayaan Jawa ini dibedakan lagi antara para penduduk pesisir utara dimana hubungan pedagangan, pekerjaan nelayan, dan pengaruh Islam, lebih kuat menghasilkan kebudayaan Jawa yang khas, yaitu kebudayaan pesisiran, dan daerah-daerah Jawa pedalaman, yang mempunyai

a. Jawa Pesisiran

Jawa pesisiran adalah suatu daerah atau wilayah kebudayaan yang pendukungnya adalah masyarakat yang proses sosialisasinya berada dan tinggal di sepanjang daerah pantai utara pulau Jawa, yang dikenal dengan tiyang pesisiran (Thohir, 2009). Masyarakat yang tinggal di sepanjang daerah pantai utara Jawa, dikenal dengan sebutan masyarakat pesisir. Mereka yang disebut orang pesisir adalah masyarakat Jawa yang tinggal di sepanjang daerah Brebes, Tegal, Wiradesa, Pemalang, Pekalongan, Batang, Sedayu, Gresik (Thohir, 2006, h. 39). Pada sumber lain disebutkan bahwa Semarang termasuk daerah pesisir Jawa bagian utara (wikipedia, 2008). Maka dapat disimpulkan, masyarakat Jawa di Semarang juga merupakan masyarakat pesisir.

Sifat-sifat umum masyarakat pesisir adalah terbuka, dan lugas. Sifat- sifat ini berhubungan dengan kondisi kawasan tempat tinggal, posisi daerah pesisir yang berjauhan dengan pusat kerajaan Jawa, dan dalam sejarahnya memiliki hubungan yang intensif dengan orang-orang dari Asia Timur Tengah dalam kaitannya dengan hubungan dagang dan penyiaran Islam (Thohir, 2006, h. 40).

Bahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi di antara warga masyarakat pesisir, lebih terlihat kasar (dibanding dengan masyarakat

Jawa Pedalaman), yaitu dengan penggunaan bahasa Jawa Ngoko atau Madya . Hal ini karena yang dipentingkan adalah pada substansi atau pesan yang ingin disampaikan sehingga terasa spontan dan langsung bukan kepada bagaimana menyampaikan (Thohir, 2009).

b. Jawa Pedalaman

Jawa pedalaman mempunyai pusat budaya dalam kota-kota kerajaan Surakarta dan Yogyakarta (Suseno, 1996, h. 12). Menurut Mulder (dalam Setyorini, 2001, h. 41-51) masyarakat Jawa pedalaman adalah masyarakat yang sangat kental dilandasi oleh nilai budaya Jawa yang dianggap halus, menekankan sopan santun, feodal, dan cenderung menghindari konflik. Budaya Jawa ini sangat ditandai oleh dorongan untuk selalu tenang, dan sabar.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Identitas Sosial Orang Jawa

Faktor-faktor yang mempengaruhi identitas sosial Menurut Berry, dkk (1999, h. 591) antara lain:

a. Generasi Generasi tua lebih menyadari identitas asli mereka sebagai anggota kelompok tertentu.

b. Akulturasi Perubahan budaya, psikologis dan perilaku karena perjumpaan dengan orang berbudaya lain.

Menurut Susetyo (2006, h. 1-16) identitas sosial terbentuk melalui pewarisan budaya. Menurut Berry, dkk (1999, h.34) proses pewarisan budaya diantaranya adalah:

a. Enkulturasi, yaitu pelingkupan dan pengelilingan (encompassing or surrounding ) budaya terhadap individu. Proses ini melibatkan orangtua, orang dewasa lain, dan teman sebaya dalam suatu jalinan pengaruh terhadap individu. Dalam proses ini tidak selalu diberikan dengan cara pengajaran khusus. Hasil akhir jika enkulturasi berhasil, individu menjadi seorang yang piawai dalam budaya, mencakup bahasa, ritual, nilai-nilai, dan lain-lain.

b. Sosialisasi, yaitu proses pembentukan individu dengan sengaja melalui cara-cara pengajaran dan terjadi dalam kelompok budaya individu sendiri.

c. Resosialisasi, yaitu proses pembentukan individu dengan sengaja melalui cara-cara pengajaran dan datang dari budaya di luar budaya individu.

d. Akulturasi, yaitu menunjuk pada perubahan budaya dan psikologis karena perjumpaan dengan orang berbudaya lain yang juga memperlihatkan perilaku yang berbeda.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi identitas sosial Jawa adalah tingkat generasi, dan pewarisan budaya baik enkulturasi maupun akulturasi. Enkulturasi dan akulturasi tersebut masing-masing sangat dominan terjadi di desa dan kota.

Oleh sebab itu hal ini menjadi alasan mengapa penelitian dilakukan di desa dan kota.

6. Aspek-aspek Identitas Sosial Orang Jawa

Menurut Hogg dan Abrams (1988, h.19-25) aspek-aspek identitas sosial adalah:

a. Social categorization. Pengklasifikasian orang lain berdasarkan persamaan dan perbedaan sebagai anggota dari kategori yang sama (ingroup) atau anggota dari kategori yang berbeda (outgroup)

b. Social comparison. Serangkaian pembandingan dengan orang atau kelompok lain yang secara subyektif membantu individu membuat penilaian khusus tentang identitas sosialnya dibanding identitas sosial yang lain.

c. Social identification. Deskripsi diri mengenai kesatuan identitas yang berasal dari keanggotaan dalam kategori sosial.

Menurut Taylor dan Moghaddam (dalam Susetyo, 2006, h.1-16) teori identitas sosial mengandung empat konsep pokok yang terdiri dari:

a. Social categorization. Segmentasi terhadap lingkungan agar lebih mudah dikenali melalui kategorisasi individu-individu ke dalam kelompok sosial yang biasa dikenal.

b. Social identity. Bagian dari konsep diri individu yang terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota dari suatu kelompok sosial, yang di dalamnya juga tercakup nilai-nilai dan emosi-emosi penting yang melekat pada diri individu sebagai anggota.

c. Social comparison. Proses membandingkan karakteristik ingroup dengan outgroup

d. Psychological group distinctiveness. Suatu upaya dari individu sebagai anggota suatu kelompok untuk menunjukkan bahwa kelompoknya (ingroup) memiliki identitas yang berbeda dari kelompok lain (outgroup).

Menurut Turner dan Tajfel (dalam Myers, 2005, h. 351) komponen dalam identitas sosial adalah :

a. Kategorisasi (categorize) Proses penempatan diri seseorang sebagai anggota suatu kelompok dan bukan anggota kelompok yang lainnya.

b. Identifikasi (identify) Proses dalam diri seseorang untuk menghubungkan diri dengan kelompok (ingroup).

c. Pembandingan (compare) Proses membedakan atau membandingkan kelompok sendiri (ingroup) dengan kelompok lain (outgroup)

Dari uraian di atas maka penulis menyimpulkan aspek-aspek identitas sosial adalah kategorisasi sosial, identifikasi sosial, dan perbandingan sosial. Kategorisasi sosial adalah proses penempatan diri seseorang sebagai anggota suatu kelompok dan bukan anggota kelompok yang lainnya. Identifikasi sosial adalah deskripsi diri sebagai anggota dari suatu kelompok sosial, yang di dalamnya tercakup nilai-nilai dan emosi-emosi penting yang melekat pada diri individu sebagai anggota. Perbandingan sosial yaitu pembandingan karakteristik ingroup dengan outgroup yang secara subyektif membantu individu membuat penilaian khusus tentang identitas sosialnya dibanding identitas sosial yang lain.

Maka dapat disimpulkan pula bahwa aspek-aspek identitas sosial orang Jawa adalah kategorisasi sosial yaitu proses penempatan diri seseorang sebagai orang Jawa dan bukan anggota kelompok yang lainnya. Identifikasi sosial adalah deskripsi diri seseorang sebagai orang Jawa, yang di dalamnya tercakup nilai-nilai budaya Jawa yang mendasarkan perilaku pada dua prinsip yaitu rukun, dan hormat. Perbandingan sosial yaitu pembandingan karakteristik seseorang sebagai orang Jawa dengan outgroup ,dimana orang Jawa mendasarkan perilaku pada dua prinsip nilai budaya Jawa yaitu rukun dan hormat dalam setiap interaksi sosial yang secara subyektif membantu individu membuat penilaian khusus tentang identitas sosialnya dibanding identitas sosial yang lain.

B. Pengertian Remaja

1. Rentang Usia Remaja

Menurut Hurlock (1980, h. 206) awal masa remaja berlangsung kira- kira dari 13 tahun sampai 16 atau 17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun, yaitu usia matang secara hukum.

Masa remaja menurut Mappiare (1982, h.27) berlangsung antara usia

12 tahun sampai usia 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai 22 tahun bagi pria. Masa remaja dibagi menjadi 2 yaitu masa remaja awal yaitu dalam usia

12 atau 13 tahun sampai 17 atau 18 tahun dan remaja akhir yaitu dalam rentang usia 17 atau 18 tahun sampai 21 atau 22 tahun. Pembagian masa remaja menurut Monks, dkk (1998, h. 262-264) ada

3, masa remaja awal 12-15 tahun, masa remaja pertengahan 15-18 tahun, dan masa remaja akhir 18-21 tahun. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa rentang usia remaja dimulai dari usia 12 tahun hingga 22 tahun. Masa remaja dibagi menjadi dua, yaitu masa remaja awal antara usia 12 hingga 18 tahun, dan remaja akhir antara usia 18 hingga 22 tahun.

Maka dapat disimpulkan pula pengertian remaja Jawa adalah penduduk asli pulau Jawa yang berasal dari propinsi Jawa Tengah yang memiliki rentang usia antara 12 tahun hingga 22 tahun.

2. Masa Pencarian Identitas Pada Remaja

Identitas vs kebingungan identitas (identity vs identity confusion) adalah tahap kelima dari delapan tahap perkembangan psikososial Erikson, yang terjadi kira-kira bersamaan dengan masa remaja. Inilah saat remaja tertarik untuk mengetahui siapa dirinya, bagaimana dirinya dan kemana tujuan hidupnya (Santrock, 1995, h. 57).

Kaum muda yang berhasil mengatasi identitas-identitas yang saling bertentangan selama masa remaja ini muncul dengan suatu kepribadian baru yang menarik dan dapat diterima. Remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis identitas ini mengalami apa yang oleh Erikson disebut ”kebingungan identitas” (identity confusion). Kebingungan ini muncul dalam satu dari dua pilihan. Individu menarik diri dari teman-teman sebaya dan keluarga, atau mereka dapat kehilangan identitas mereka dalam kelompok (Santrock, 1995,

h. 57). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah masa pencarian identitas. Tahap ini terjadi pada rentang usia 12 hingga

22 tahun. Identitas pada remaja penting untuk menjawab siapakah dirinya, dan arah tujuan hidup remaja.

C. Remaja Jawa di Desa dan di Kota

1. Masyarakat desa dan masyarakat kota

a. Ciri Masyarakat Desa

Cohen (1983, h. 315) menjelaskan tentang kehidupan masyarakat desa yang dapat dilihat dari beberapa ciri kehidupan mereka, antara lain:

1) Adanya ikatan kekeluargaan yang erat.

2) Hubungan antara pribadi para anggotanya kuat dan ditandai dengan pola perilaku tradisional.

3) Memegang teguh adat.

4) Gaya hidup konservatisme dan tradisi.

5) Memegang nilai-nilai yang sama dan disosialisasikan menurut tradisi yang dianggap luhur. Ciri-ciri masyarakat desa menurut Soekanto (dalam Soedarno, 1993, h. 83) diantaranya :

1) Rasa persatuan yang erat dan hubungan yang akrab diantara warga satu komunitas.

2) Sistem kehidupan berkelompok, atas dasar sistem kekeluargaan, maka ada keseragaman (homogenitas) penduduk berdasarkan darah keturunan.

3) Homogenitas dalam perilaku dan cara berpikir karena adanya kontrol atau pengendalian sosial atas tingkah laku warga sangat ketat sehingga sulit terjadi perubahan.

4) Adanya semangat gotong royong.

5) Keterikatan pada adat kebiasaan relatif ketat. Menurut Landis (dalam Setianingrum, 1997, h. 40) kecenderungan psikologis atau karakteristik orang desa adalah:

1) Punya sifat homogen dalam mata pencaharian, nilai dalam kebudayaan, sikap dan tingkah laku.

2) Hubungan sesama anggota masyarakat lebih intim.

3) Sikap otoriter dari orang tua terhadap yang lebih muda, sehingga tidak bebas mengemukakan pendapat.

4) Toleran dengan nilai-nilai yang dimiliki dan intoleran dengan nilai yang dimiliki orang lain.

5) Sikap pasrah (terhadap Yang Maha Kuasa) yang mana sangat berbeda dengan sifat manipulasi.

6) Sifat udik atau pedalaman, dimana ini sebagai akibat kurang kontak dengan dunia luar. Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri masyarakat desa adalah adanya hubungan kekeluargaan yang sangat erat, kesamaan (homogenitas) dalam mata pencaharian, nilai dalam kebudayaan, sikap dan tingkah laku, serta memiliki semangat kegotong-royongan yang tinggi. Selain itu, ciri lain dari masyarakat desa adalah keterikatan pada adat kebiasaan.

b. Ciri Masyarakat Kota

Cohen (1983, h. 318) menjelaskan tentang kehidupan masyarakat kota dengan ciri-ciri diantaranya:

1) Hubungan orang-orang kota adalah impersonal, kurang saling kenal, dan temporer.

2) Masyarakat kota menggantungkan diri pada diri sendiri, dan kurang mengharap bantuan sanak saudara.

3) Penduduk yang besar dan bersifat heterogen.

4) Tingginya kompetisi dan konflik. Ciri-ciri masyarakat kota menurut Soedarno (1993, h. 85) diantaranya :

1) Hubungan relatif bersifat impersonal, karena jaringan sosial yang komplek.

2) Penduduk lebih bersifat heterogen dari segi keturunan dan latar belakang sosial budaya.

3) Adanya tuntutan kemandirian tanpa bergantung pada orang lain.

4) Kontrol dan pengendalian sosial atas perilaku masyarakat lebih bersifat longgar.

5) Cara berpikir rasional menyebabkan interaksi yang terjadi lebih berdasarkan faktor kepentingan, bukan faktor pribadi.

6) Kehidupan di kota lebih bersifat egoisme.

7) Perkembangan dan perubahan sosial lebih sering terjadi.

Sedangkan menurut Soekanto (dalam setianingrum, 1997, h. 45) ciri atau karakteristik masyarakat kota adalah:

1) Cara hidupnya memiliki kecenderungan ke arah duniawi (secular trend ), dibanding kehidupan warga desa yang cenderung ke arah agama (religious trend).

2) Masyarakat kota, umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa tergantung pada orang lain, sedangkan masyarakat desa lebih mementingkan kelompok atau keluarga.

3) Jalan pikiran yang rasional, menyebabkan interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan daripada pribadi.

4) Perubahan sosial tampak nyata di kota, karena masyarakat kota terbuka dalam menerima pengaruh dari luar. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan ciri-ciri masyarakat kota adalah hubungan dalam masyarakat yang relatif bersifat impersonal, heterogen dari segi keturunan dan latar belakang sosial budaya, dan adanya kemandirian tanpa bergantung pada orang lain. Selain itu, kontrol dan pengendalian sosial atas perilaku masyarkat kota lebih bersifat longgar sehingga perkembangan dan perubahan sosial lebih sering terjadi.

2. Pengertian Remaja Jawa di Desa dan Remaja Jawa di Kota

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa :

a. Pengertian Remaja Jawa di Desa Remaja Jawa di desa adalah penduduk asli pulau Jawa yang berasal dari propinsi Jawa Tengah atau Jawa Timur dan memiliki rentang usia antara 12 tahun hingga 22 tahun yang tinggal di wilayah pedesaan dengan lingkungan masyarakat yang memiliki hubungan kekeluargaan yang sangat erat, kesamaan (homogenitas) dalam mata pencaharian, nilai dalam kebudayaan, sikap dan tingkah laku, serta memiliki semangat kegotong-royongan yang tinggi dan keterikatan pada adat kebiasaan.

b. Pengertian Remaja Jawa di Kota Remaja Jawa di kota adalah penduduk asli pulau Jawa yang berasal dari propinsi Jawa Tengah atau Jawa Timur dan memiliki rentang usia antara 12 tahun hingga 22 tahun yang tinggal di wilayah perkotaan dengan lingkungan masyarakat yang memiliki hubungan dalam relatif bersifat impersonal, heterogen dari segi keturunan dan latar belakang sosial budaya, adanya kemandirian tanpa bergantung, serta memiliki kontrol dan pengendalian sosial atas perilaku masyarakat yang lebih bersifat longgar sehingga perkembangan dan perubahan sosial lebih sering terjadi.

D. Perbedaan Identitas Sosial Orang Jawa Dengan Remaja Jawa di Desa dan Remaja Jawa di Kota

Masa remaja adalah masa pencarian identitas. Identitas pada remaja penting untuk menjawab siapakah dirinya, dan arah tujuan hidup remaja (Santrock, 1995, h. 57). Hal ini tidak terkecuali terjadi pada remaja Jawa untuk menjelaskan identitasnya sebagai orang Jawa.

Adanya akulturasi budaya menyebabkan lunturnya nilai budaya Jawa di kalangan remaja Jawa saat ini. Nilai-nilai budaya Jawa tidak lagi dipegang sepenuhnya oleh remaja Jawa. Satu penelitian oleh Susetyo (2006, h.1-6) mengungkapkan karakteristik identitas sosial orang Jawa pada subyek mahasiswa sebagian besar masih mempertimbangkan nilai rukun dan hormat sebagai pertimbangan perilaku. Hal tersebut merupakan hasil dari proses pewarisan budaya Jawa melalui enkulturasi. Pengaruh status sebagai mahasiswa nampak pada melunturnya beberapa sifat nrima, menerima keadaan apa adanya, sifat pasrah, dan menahan perasaan. Hal tersebut menunjukkan gambaran terjadinya proses akulturasi karena pengaruh budaya akademik.

Untuk kebudayaan Jawa sendiri, juga telah mengalami proses akulturasi. Hal ini juga merubah perilaku dari masyarakat Jawa. Seperti yang terjadi di wilayah pulau Jawa bagian utara. Masyarakat yang tinggal di sepanjang daerah pantai utara Jawa, dikenal dengan sebutan masyarakat pesisir. Karena adanya hubungan perdagangan, pekerjaan nelayan, dan pengaruh Islam dari bangsa lain yang kuat menghasilkan kebudayaan Jawa yang khas, yaitu kebudayaan pesisir

(Suseno, 1996, h. 11-12). Hal ini membuat masyarakat Jawa pesisir memiliki sifat-sifat yang terbuka, dan lugas (Thohir, 2006, h.40).

Menurut Panggabean (1996, h.42-48) keterikatan dengan nilai budaya salah satunya dipengaruhi oleh unsur lingkungan. Keterikatan dengan nilai budaya pada kelompok subyek di daerah asal yang dibesarkan dan menetap di lingkungan budaya yang relatif homogen lebih tinggi karena subyek menerima informasi yang relatif homogen dan mendukung keterikatannya dengan nilai-nilai budaya.

Lingkungan homogen dan heterogen masing-masing dapat ditemui di wilayah pedesaan dan perkotaan. Desa memiliki ciri sebagai lingkungan yang homogen, dimana masyarakatnya memiliki perilaku dan cara berpikir yang sama karena adanya kontrol atau pengendalian sosial atas tingkah laku warga sangat ketat sehingga sulit terjadi perubahan. Sebaliknya, kota memiliki ciri sebagai lingkungan yang heterogen, karena masyarakatnya berasal dari latar belakang sosial budaya yang berbeda. Kontrol dan pengendalian sosial atas perilaku masyarakat kota lebih bersifat longgar sehingga memungkinkan perkembangan dan perubahan sosial lebih sering terjadi (Soedarno, 1993, h. 83).

Sebagai remaja Jawa yang tinggal di desa dengan lingkungan yang homogen dari sisi latar belakang budaya proses pewarisan budaya pada remaja Jawa di desa lebih cenderung pada pewarisan budaya sendiri. Hal ini berbeda dengan pewarisan budaya yang diterima oleh remaja Jawa di kota, yang meliputi budaya sendiri dan budaya lain karena lingkungan di kota lebih heterogen dari sisi Sebagai remaja Jawa yang tinggal di desa dengan lingkungan yang homogen dari sisi latar belakang budaya proses pewarisan budaya pada remaja Jawa di desa lebih cenderung pada pewarisan budaya sendiri. Hal ini berbeda dengan pewarisan budaya yang diterima oleh remaja Jawa di kota, yang meliputi budaya sendiri dan budaya lain karena lingkungan di kota lebih heterogen dari sisi

E. Hipotesis

Terdapat perbedaan identitas sosial orang Jawa antara remaja Jawa yang berada di desa dengan remaja Jawa yang berada di kota dimana pada remaja Jawa di desa lebih kuat identitas sosialnya sebagai orang Jawa daripada remaja Jawa di kota.

BAB III METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel tergantung dan variabel bebas. Adapun variabel-variabel itu adalah:

1. Variabel tergantung : identitas sosial orang Jawa

2. Variabel bebas

: tempat tinggal

a. Desa

b. Kota

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Untuk memperoleh pengertian yang jelas tentang variabel-variabel dalam penelitian ini, maka dapat dirumuskan batasan operasional tiap-tiap variabel sebagai berikut :

1. Identitas Sosial Orang Jawa Identitas sosial orang Jawa adalah kesadaran individu akan keanggotaannya sebagai orang Jawa dan kesadaran akan nilai-nilai budaya Jawa yang mendasarkan perilaku pada dua prinsip yaitu rukun dan hormat serta menggunakannya untuk mengevaluasi diri dalam setiap interaksi sosial.