Metode banyak langkah linear untuk menyelesaikan masalah nilai awal dalam persamaan diferensial biasa.

(1)

ABSTRAK

Fransiska Dwi Handriyani. 2013. Metode Banyak Langkah Linear

untuk Menyelesaikan Masalah Nilai Awal dalam Persamaan Diferensial Biasa.

Skripsi. Program Studi Matematika, Jurusan Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Topik yang dibahas dalam skripsi ini adalah menyelesaikan masalah nilai

awal dalam persamaan diferensial biasa dengan menggunakan metode banyak

langkah linear. Pembahasan mengenai metode tersebut dalam skripsi ini dibatasi

untuk persamaan diferensial linear tingkat pertama. Metode banyak langkah linear

menggunakan beberapa nilai sebelumnya, yaitu ��, ��−1, ��−2, … untuk

menentukan nilai �+1. Masalah nilai awal mempunyai satu nilai awal, sedangkan

metode banyak langkah linear memerlukan beberapa nilai sebelumnya untuk

menentukan nilai ��+1. Oleh karena itu, digunakan metode lain untuk menentukan

nilai-nilai tersebut, di antaranya yaitu dengan menggunakan metode Euler dan

metode Deret Taylor.

Metode banyak langkah linear dapat dibuat dalam bermacam-macam

bentuk, tergantung nilai yang diberikan pada koefisien-koefisiennya. Suatu

metode banyak langkah linear akan menghasilkan penyelesaian yang akurat jika

metode tersebut konvergen. Oleh karena itu, metode tersebut harus diuji dulu

konvergensinya. Suatu metode banyak langkah linear adalah konvergen jika dan


(2)

ABSTRACT

Fransiska Dwi Handriyani. 2013. Linear Multistep Methods to Solve

Initial Value Problems in Ordinary Differential Equations. A Thesis.

Mathematics Study Program, Department of Mathematics, Faculty of Science and Technology, Sanata Dharma University, Yogyakarta.

The topic covered in this thesis is linear multistep methods for solving

initial value problems in ordinary differential equations. The discussion about

these methods, is limited to first order linear differential equations. Linear

multistep methods use some previous values, that are �, ��−1, ��−2, … to

determine the value of ��+1. Initial value problems have one initial value, while

linear multistep methods require some previous values to determine the value of

��+1. Therefore, other methods are used to determine these values, among which

are the Euler method and Taylor Series method.

Linear multistep methods can be made in a variety of forms, depending on

the value assigned to the coefficients. They will produce accurate solution if they

are convergence. Therefore, the convergence of the method should be tested first.

A linear multistep method is convergent if and only if the method is consistent


(3)

i

METODE BANYAK LANGKAH LINEAR UNTUK

MENYELESAIKAN MASALAH NILAI AWAL DALAM

PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Program Studi Matematika

Oleh:

Fransiska Dwi Handriyani 093114010

PROGRAM STUDI MATEMATIKA

JURUSAN MATEMATIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil.”

(Matius 5:41)

“Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak

bagi-Ku.” (Matius 10:38)

Karya ini aku persembahkan untuk orang-orang terkasih:

Keluargaku tercinta

Teman-teman Matematika’09 Teman-teman OMK


(7)

(8)

vi ABSTRAK

Fransiska Dwi Handriyani. 2013. Metode Banyak Langkah Linear

untuk Menyelesaikan Masalah Nilai Awal dalam Persamaan Diferensial Biasa.

Skripsi. Program Studi Matematika, Jurusan Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Topik yang dibahas dalam skripsi ini adalah menyelesaikan masalah nilai

awal dalam persamaan diferensial biasa dengan menggunakan metode banyak

langkah linear. Pembahasan mengenai metode tersebut dalam skripsi ini dibatasi

untuk persamaan diferensial linear tingkat pertama. Metode banyak langkah linear

menggunakan beberapa nilai sebelumnya, yaitu �, ��−1, ��−2, … untuk

menentukan nilai �+1. Masalah nilai awal mempunyai satu nilai awal, sedangkan

metode banyak langkah linear memerlukan beberapa nilai sebelumnya untuk

menentukan nilai �+1. Oleh karena itu, digunakan metode lain untuk menentukan

nilai-nilai tersebut, di antaranya yaitu dengan menggunakan metode Euler dan

metode Deret Taylor.

Metode banyak langkah linear dapat dibuat dalam bermacam-macam

bentuk, tergantung nilai yang diberikan pada koefisien-koefisiennya. Suatu

metode banyak langkah linear akan menghasilkan penyelesaian yang akurat jika

metode tersebut konvergen. Oleh karena itu, metode tersebut harus diuji dulu

konvergensinya. Suatu metode banyak langkah linear adalah konvergen jika dan


(9)

vii ABSTRACT

Fransiska Dwi Handriyani. 2013. Linear Multistep Methods to Solve

Initial Value Problems in Ordinary Differential Equations. A Thesis.

Mathematics Study Program, Department of Mathematics, Faculty of Science and Technology, Sanata Dharma University, Yogyakarta.

The topic covered in this thesis is linear multistep methods for solving

initial value problems in ordinary differential equations. The discussion about

these methods, is limited to first order linear differential equations. Linear

multistep methods use some previous values, that are �, ��−1, ��−2, … to

determine the value of �+1. Initial value problems have one initial value, while

linear multistep methods require some previous values to determine the value of

��+1. Therefore, other methods are used to determine these values, among which

are the Euler method and Taylor Series method.

Linear multistep methods can be made in a variety of forms, depending on

the value assigned to the coefficients. They will produce accurate solution if they

are convergent. Therefore, the convergence of the method should be tested first. A

linear multistep method is convergent if and only if the method is consistent and


(10)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus yang selalu memberikan

hikmat dan menyertai penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini dengan

baik dan lancar. Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat dalam

menyelesaikan pendidikan Strata 1 (S1) dan memperoleh gelar Sarjana Sains pada

Program Studi Matematika di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa proses penulisan skripsi ini tidak lepas dari

bantuan serta dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini

penulis sudah selayaknya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Lusia Krismiyati Budiasih, S.Si., M.Si., selaku Ketua Program Studi

Matematika atas dukungannya.

2. Hartono, S.Si., M.Sc., Ph.D., selaku dosen pembimbing yang telah dengan

sabar memberikan bimbingan, pengetahuan baru, dan saran-saran kepada

penulis selama proses penulisan skripsi.

3. Bapak, Ibu, dan Romo, dosen-dosen yang telah memberi pengetahuan kepada

penulis selama proses perkuliahan.

4. Markus Ngatemin (Kakek) dan Martina Martinah (Nenek) terima kasih atas

cinta dan jerih payahnya. Martinus Tumar (Bapak), Yordana Riyani (Ibu),

Mas Eka, Dek Tri, dan Dek Rina, serta saudara-saudara yang telah


(11)

ix

5. Teman-teman Matematika’09: Yohana, Faida, Etik, Rossi, Jojo, Sekar, Erlika, dan Dimas, terima kasih untuk semangat dan keceriaan yang selalu

diberikan kepada penulis. Kalian sahabat-sahabat yang hebat.

6. Teman-teman OMK dan adik-adik PASAYES, terima kasih atas kebersamaan

dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis.

7. Santi, Mbak Cicil, dan Nica, terima kasih sudah menjadi teman untuk berbagi

cerita dan menumbuhkan semangat.

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah terlibat

dalam proses penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi

ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan

skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

para pembaca.

Yogyakarta, 17 Desember 2013


(12)

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v

ABSTRAK... vi

ABSTRACT... vii

KATA PENGANTAR... viii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... x

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 4

C. Batasan Masalah... 4

D. Tujuan Penulisan... 4

E. Manfaat Penulisan... 5

F. Metode Penulisan... 5


(14)

BAB II MASALAH NILAI AWAL DALAM PERSAMAAN DIFERENSIAL

BIASA... 8

A. Persamaan Diferensial... 8

1. Klasifikasi Persamaan Diferensial... 8

2. Penyelesaian Persamaan Diferensial... 12

3. Masalah Nilai Awal... 14

4. Teorema Eksistensi dan Ketunggalan... 17

B. Persamaan Beda dengan Koefisien Konstan... 27

1. Persamaan Orde Pertama... 28

2. Persamaan Orde Kedua... 31

3. Persamaan Orde Tinggi... 34

C. Deret Taylor dan Orde Penghampiran... 34

1. Deret Taylor... 35

2. Orde Penghampiran... 35

D. Metode Satu Langkah... 37

1. Metode Euler... 37

2. Metode Deret Taylor... 47

BAB III METODE BANYAK LANGKAH LINEAR... 56

A. Pendahuluan... 56

B. Metode Adams-Bashforth... 56

C. Metode Dua Langkah Linear dan Konsistensi... 61


(15)

BAB IV STABILITAS DAN KONVERGENSI... 74

A. Stabil Nol... 74

B. Syarat Perlu untuk Konvergensi... 82

C. Syarat Cukup untuk Konvergensi ... 92

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 103

A. Kesimpulan... 103

B. Saran ... 104


(16)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.4.1 Tabel Galat Total ... 47

Tabel 2.4.2 Tabel Galat Total Maksimum dan Jumlahan Galat Total... 50

Tabel 2.4.3 Tabel Galat Total... 55

Tabel 3.2.1 Tabel Galat Total Maksimum dan Jumlahan Galat Total... 60


(17)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1.1 � < (kiri), � > (kanan)... 20

Gambar 2.4.1 Grafik penyelesaian sejati, hampiran, dan galat total... 41

Gambar 2.4.2 Grafik penyelesaian sejati dan hampiran dengan metode

Euler (kiri) dan grafik galat total (kanan)... 42

Gambar 2.4.3 Grafik penyelesaian sejati dan penyelesaian hampiran

dengan menggunakan metode Euler... 46

Gambar 2.4.4 Grafik penyelesaian sejati dan hampiran dengan metode

Deret Taylor orde dua (kiri) dan grafik galat total (kanan)... 49

Gambar 2.4.5 Grafik penyelesaian sejati dan penyelesaian hampiran

dengan metode Deret Taylor orde dua... 55

Gambar 3.2.1 Grafik penyelesaian sejati, hampiran dengan metode ABE

(kiri) dan grafik galat total (kanan)... 59

Gambar 3.2.2 Grafik penyelesaian sejati dan hampiran dengan metode

ABT (kiri), grafik galat total (kanan)... 60

Gambar 3.3.1 Grafik penyelesaian sejati dan hampiran... 67

Gambar 3.4.1 Grafik penyelesaian sejati dan hampiran dengan metode

ABT (kiri), grafik galat total... 71

Gambar 3.4.2 Grafik penyelesaian sejati dan hampiran dengan metode tiga


(18)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Pembuktian Teorema


(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Persamaan diferensial adalah persamaan yang memuat turunan (derivatif)

dari suatu fungsi. Jika fungsi yang belum diketahui dalam persamaan diferensial

bergantung pada satu variabel bebas, maka persamaan tersebut disebut persamaan

diferensial biasa. Persamaan diferensial dapat diklasifikasikan berdasarkan dengan

tingkatnya, yaitu tingkat turunan tertinggi yang muncul dalam persamaan tersebut.

Selain itu persamaan diferensial juga dibedakan dalam dua jenis, yaitu persamaan

diferensial linear dan nonlinear. Persamaan diferensial dikatakan linear jika

me-menuhi persyaratan berikut: fungsi yang belum diketahui dan turunan-turunannya

secara aljabar hanya berderajat satu, tidak ada hasil kali yang berkaitan dengan

fungsi yang belum diketahui dan turunannya atau dua atau lebih

turunan-nya, dan tidak ada fungsi transendental dari fungsi yang belum diketahui dan

tu-runan-turunannya. Persamaan diferensial yang tidak memenuhi ketiga syarat

ter-sebut diter-sebut persamaan diferensial nonlinear. Semua persamaan diferensial yang

akan dibahas dalam tugas akhir ini adalah persamaan diferensial linear tingkat

pertama.

Penyelesaian persamaan diferensial adalah fungsi yang turunannya termuat

dalam persamaan tersebut. Jika fungsi tersebut disubstitusikan ke dalam

persa-maan diferensial akan menghasilkan suatu identitas. Persapersa-maan diferensial


(20)

khu-sus. Penyelesaian umum adalah penyelesaian yang masih memuat konstanta,

se-dangkan penyelesaian khusus adalah penyelesaian yang sudah tidak memuat

kons-tanta. Penyelesaian khusus ditentukan dengan bantuan syarat bantu, yaitu syarat

awal (nilai awal) atau syarat batas.

Persamaan diferensial yang disajikan beserta syarat awalnya seperti berikut

= (,), � �

0 = �0

disebut masalah nilai awal. Penyelesaian masalah nilai awal adalah penyelesaian

dari persamaan diferensial yang memenuhi syarat awal yang diberikan. Jika

per-masalahan tersebut dapat diselesaikan secara analitik, maka penyelesaian yang

dihasilkan disebut penyelesaian sejati (penyelesaian yang sesungguhnya). Namun,

terkadang masalah nilai awal muncul dalam bentuk yang rumit, sehingga tidak

dapat diselesaikan dengan metode analitik. Jika metode analitik tidak dapat lagi

diterapkan, maka penyelesaian tersebut dapat dicari dengan metode numerik.

Penyelesaian yang dihasilkan metode numerik disebut penyelesaian hampiran

(pendekatan terhadap penyelesaian sejati). Penyelesaian hampiran tidak tepat

sa-ma dengan penyelesaian sejati, sehingga ada selisih antara keduanya. Selisih

ter-sebut diter-sebut galat. Semakin kecil galatnya berarti penyelesaian terter-sebut semakin

baik.

Terdapat beberapa metode numerik yang digunakan untuk menyelesaikan

masalah nilai awal, diantaranya yaitu Metode Euler dan Metode Deret Taylor.

Metode-metode tersebut dikelompokkan ke dalam metode satu langkah karena

untuk menentukan nilai �+1 hanya dibutuhkan satu nilai sebelumnya, yaitu �. Akan tetapi penyelesaian yang dihasilkan oleh metode-metode tersebut biasanya


(21)

kurang akurat karena mereka hanya menggunakan informasi dari satu titik

sebelumnya.

Tugas akhir ini akan membahas mengenai Metode Banyak Langkah Linear

untuk menyelesaikan masalah nilai awal. Metode Banyak Langkah Linear

memer-lukan beberapa nilai sebelumnya, yaitu �, ��−1, ��−2, … untuk menentukan nilai

��+1. Tujuan utama dari Metode Banyak Langkah Linear adalah menggunakan

informasi dari beberapa nilai di titik sebelumnya untuk menentukan nilai ��+1 yang lebih akurat.

Persamaan diferensial biasa hanya mempunyai satu nilai awal, yaitu

� �0 =�0, sedangkan Metode Banyak Langkah Linear memerlukan beberapa

nilai sebelumnya untuk menentukan nilai �+1. Oleh karena itu, untuk menentu-kan nilai-nilai tersebut diperlumenentu-kan prosedur pendahuluan. Prosedur pendahuluan

ini dilakukan dengan menggunakan salah satu dari metode-metode satu langkah

yang disebutkan di atas. Setelah diperoleh nilai-nilai yang dibutuhkan, selanjutnya

Metode Banyak Langkah Linear dapat diterapkan untuk menentukan nilai ��+1. Jadi metode tersebut lebih efisien karena menggunakan informasi dari titik-titik

yang sudah ada.

Keakuratan penyelesaian yang dihasilkan oleh suatu metode ketika

diterapkan dalam masalah nilai awal juga tergantung dari kebaikan metode

tersebut. Metode yang baik akan menghasilkan penyelesaian yang lebih akurat

dan ditandai dengan dihasilkannya penyelesaian yang konvergen. Suatu metode

akan konvergen jika metode tersebut memenuhi syarat konsisten dan stabil nol.


(22)

stabilitas, dan konvergensi, yang berpengaruh terhadap kebaikan suatu Metode

Banyak Langkah Linear.

B. RUMUSAN MASALAH

Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu:

1. Apa yang dimaksud dengan Metode Banyak Langkah Linear?

2. Bagaimana menyelesaikan masalah nilai awal dalam persamaan diferensial

biasa dengan Metode Banyak Langkah Linear dan bagaimana penerapannya

dengan program Matlab?

3. Bagaimana hubungan antara konsistensi, stabilitas, dan konvergensi?

C. BATASAN MASALAH

1. Penerapan Metode Banyak Langkah Linear dalam tugas akhir ini hanya untuk

masalah nilai awal dalam persamaan diferensial linear tingkat pertama.

2. Penyelesaian masalah nilai awal secara analitik hanya menggunakan metode

integral langsung.

D. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan ini yaitu untuk menyelesaikan masalah nilai awal dalam

persamaan diferensial biasa dengan Metode Banyak Langkah Linear dan

menerapkannya dengan program Matlab, serta membahas mengenai hubungan

antara konsistensi, stabilitas, dan konvergensi dari suatu Metode Banyak Langkah


(23)

E. MANFAAT PENULISAN

Memperoleh pengetahuan tentang penyelesaian masalah nilai awal secara

numerik menggunakan Metode Banyak Langkah Linear dan penerapannya dengan

program Matlab, serta mengetahui hubungan antara konsistensi, stabilitas, dan

konvergensi dari suatu metode Metode Banyak Langkah Linear.

F. METODE PENULISAN

Metode yang digunakan penulis adalah metode studi pustaka, yaitu dengan

mempelajari buku-buku yang berkaitan dengan Metode Banyak Langkah Linear

untuk menyelesaikan masalah nilai awal dalam persamaan diferensial biasa.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Batasan Masalah

D. Tujuan Penulisan

E. Manfaat Penulisan

F. Metode Penulisan


(24)

BAB II MASALAH NILAI AWAL DALAM PERSAMAAN

DIFEREN-SIAL BIASA

A. Persamaan Diferensial

1. Klasifikasi Persamaan Diferensial

2. Penyelesaian Persamaan Diferensial

3. Masalah Nilai Awal

4. Teorema Eksistensi dan Ketunggalan

B. Persamaan Beda dengan Koefisien Konstan

1. Persamaan Orde Pertama

2. Persamaan Orde Kedua

3. Persamaan Orde Tinggi

C. Deret Taylor dan Orde Penghampiran

1. Deret Taylor

2. Orde Penghampiran

D. Metode Satu Langkah

1. Metode Euler

2. Metode Deret Taylor

BAB III METODE BANYAK LANGKAH LINEAR

A. Pendahuluan

B. Metode Adams-Bashforth

C. Metode Dua Langkah Linear dan Konsistensi


(25)

BAB IV STABILITAS DAN KONVERGENSI

A. Stabil Nol

B. Syarat Perlu untuk Konvergensi

C. Syarat Cukup untuk Konvergensi

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan


(26)

BAB II

MASALAH NILAI AWAL DALAM PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA

A. PERSAMAAN DIFERENSIAL

Definisi 2.1.1

Persamaan diferensial adalah persamaan yang memuat turunan (derivatif) dari

suatu fungsi.

Contoh 2.1.1

Ketiga persamaan di bawah ini merupakan contoh persamaan diferensial:

a. = 2

b. = ( 2+ )

c. ′′ + 4 = ( 2+ 1)3

1. Klasifikasi Persamaan Diferensial

Persamaan diferensial dapat diklasifikasikan dengan berbagai macam cara.

Jika fungsi yang belum diketahui dalam persamaan diferensial bergantung pada

satu variabel bebas, maka persamaan itu disebut persamaan diferensial biasa. Di

sisi lain, jika fungsi yang belum diketahui bergantung pada lebih dari satu variabel


(27)

Contoh 2.1.2

a. = 2+

b. ′′ + 4 = ( 2+ 1)3

Kedua persamaan pada contoh (a) dan (b) merupakan persamaan diferensial

biasa, dimana menyatakan fungsi yang belum diketahui (variabel tak

bebas) dan menyatakan variabel bebas.

c. �

� +

� = 0

d. �2

� 2 +

�2

� 2 = 1 +

Kedua persamaan pada contoh (c) dan (d) merupakan persamaan diferensial

parsial, dimana menyatakan fungsi yang belum diketahui (variabel tak

bebas), sedangkan dan menyatakan variabel bebas.

Definisi 2.1.2

Tingkat persamaan diferensial adalah tingkat turunan tertinggi yang muncul

dalam persamaan diferensial.

Klasifikasi persamaan diferensial berdasarkan tingkatnya adalah sebagai berikut:

1) Persamaan diferensial tingkat pertama

Bentuk umum:

, , ′ = 0

Contoh 2.1.3


(28)

b. ′ = + 2

2) Persamaan diferensial tingkat kedua

Bentuk umum:

, , ′, ′′ = 0

Contoh 2.1.4

a. ′′ + 2 = −1

b. ′′ = ′ + −

3) Persamaan diferensial tingkat ke-

Bentuk umum:

, , ′, ′′,…, ( ) = 0

Contoh 2.1.5

a. (4)−5 ′′ = 4 + 2

b. (3)= ′′ − ′ +

Definisi 2.1.3

Persamaan diferensial biasa tingkat ke- disebut linear dalam jika persamaan

diferensial itu dapat ditulis dalam bentuk

+

−1 −1 +⋯+ 1 ′ + 0 = ( )

dimana 0, 1,…, dan adalah fungsi-fungsi kontinu pada suatu interval yang

memuat dan ( ) ≠0 pada interval itu. Fungsi ( ) disebut fungsi-fungsi koefisien.


(29)

Jadi persamaan diferensial biasa adalah linear jika memenuhi syarat-syarat

berikut:

a. Fungsi yang belum diketahui dan turunan-turunannya secara aljabar hanya

berderajat satu.

b. Tidak ada hasil kali yang berkaitan dengan fungsi yang belum diketahui dan

turunan-turunannya atau dua atau lebih turunan.

c. Tidak ada fungsi transendental dari fungsi yang belum diketahui dan

turunan-turunannya.

Persamaan diferensial yang tidak linear disebut nonlinear.

Contoh 2.1.6

a. ′′ −3 ′ + 3 = 3, merupakan persamaan diferensial linear. b. ′′′ + + 5 = 0, merupakan persamaan diferensial linear.

c. ( ′)3+ 2 = , merupakan persamaan diferensial nonlinear karena turunan

pertama dari fungsi yang belum diketahui berderajat tiga.

d. ′ + 3 = 0, merupakan persamaan diferensial nonlinear karena ′ adalah hasil kali dari fungsi yang belum diketahui dengan turunannya.

e. ′′ + 5 = cos , merupakan persamaan diferensial nonlinear karena cos


(30)

2. Penyelesaian Persamaan Diferensial

Definisi 2.1.4

Penyelesaian persamaan diferensial tingkat ke- pada interval adalah

suatu fungsi yang mempunyai semua turunan yang diperlukan, yang jika

menggantikan , ′, ′′,…, ( ) menjadikan persamaan diferensial itu suatu identitas.

Contoh 2.1.7

Tunjukkan bahwa fungsi = 2 + − adalah penyelesaian dari persamaan diferensial ′ + −2 = 0.

Penyelesaian:

Diketahui = 2 + − , maka diperoleh ′ = − − .

Kemudian substitusikan kedua fungsi tersebut ke dalam persamaan diferensial

sehingga diperoleh

− − + 2 +2 = 0

Ruas kiri dari persamaan tersebut bernilai 0 (sama dengan ruas kanan), maka fungsi = 2 + − merupakan penyelesaian dari persamaan diferensial ′ + − 2 = 0.

Contoh 2.1.8

Tentukan penyelesaian dari persamaan diferensial berikut ini

= 3

2+5


(31)

Penyelesaian persamaan tersebut disajikan oleh

= 32+5

= 32+5

= 3 2+ 5 −12

Misalkan = ( 2+ 5), maka = 2 atau

2 = , sehingga = 3 1 2+ .

Karena = ( 2+ 5), maka penyelesaian dari persamaan diferensial tersebut adalah

= 3 ( 2+ 5)

1

2+ = 3 2+ 5 +

Persamaan diferensial mempunyai tak hingga banyak penyelesaian.

Misalnya pada Contoh 2.1.8 penyelesaiannya berbentuk = 3 2+ 5 + ,

dimana adalah kontanta real. Penyelesaian itu disebut keluarga penyelesaian.

Pemberian nama untuk keluarga penyelesaian adalah berdasarkan banyaknya

parameter yang termuat dalam penyelesaian, dalam kasus di atas maka = 3 2+ 5 + disebut keluarga berparameter-satu.

Definisi 2.1.5

Suatu keluarga berparameter- dari penyelesaian persamaan diferensial tingkat

ke- disebut penyelesaian umum dari persamaan diferensial, jika semua


(32)

Definisi 2.1.6

Suatu penyelesaian persamaan diferensial tingkat ke- yang diperoleh dari

penyelesaian umum dengan menentukan nilai parameter disebut penyelesaian

khusus.

Contoh 2.1.9

Penyelesaian umum dari ′′ + 9 = 0 adalah keluarga berparameter-dua =

1cos 3 + 2sin 3 . Jika diambil 1 = 2 dan 2 = 1, maka penyelesaian khusus

dari persamaan diferensial tersebut adalah = 2 cos 3 + sin 3 .

3. Masalah Nilai Awal

Penyelesaian umum dari persamaan diferensial tingkat ke- memuat

konstanta sembarang. Sedangkan, penyelesaian khusus dari suatu persamaan

diferensial diperoleh dari penyelesaian umum dengan memasukkan syarat bantu

pada fungsi penyelesaian umum tersebut. Ada dua macam cara penentuan syarat

bantu untuk memperoleh penyelesaian khusus dari suatu persamaan diferensial

seperti dijelaskan dalam definisi berikut ini.

Definisi 2.1.7

1) Jika syarat bantu pada persamaan diferensial yang diketahui berhubungan

dengan sebuah nilai , syarat itu disebut syarat awal. Persamaan diferensial


(33)

2) Jika syarat bantu pada persamaan diferensial yang diketahui berhubungan

dengan dua atau lebih nilai , syarat itu disebut syarat batas atau nilai batas.

Persamaan diferensial dengan syarat batasnya disebut masalah nilai batas.

Contoh 2.1.10

a. ′ + = 3, 0 = 1 merupakan masalah nilai awal.

b. ′′ − ′ + = 3, 0 = 2, ′ 1 =−1, merupakan masalah nilai batas.

Contoh 2.1.11

Penyelesaian umum dari persamaan diferensial ′ + = 1 adalah keluarga berparameter-satu = 1 + − . Diberikan syarat bantu 0 = 0, tentukan penyelesaian khusus dari persamaan diferensial tersebut.

Penyelesaian:

Diketahui 0 = 0, maka diperoleh

0 = 1 + 0 = −1

Jadi penyelesaian khusus dari persamaan diferensial tersebut adalah = 1− − .

Contoh 2.1.12

Selesaikan masalah nilai awal berikut ini

= 2


(34)

Penyelesaian:

Penyelesaian persamaan diferensial tersebut disajikan oleh

= 2

−2 =

Ruas kiri dari persamaan di atas mudah untuk diintegralkan langsung. Sedangkan

untuk ruas kanan digunakan pengintegralan parsial dengan dimisalkan = dan

= sehingga = dan = , maka

−2 =

− −1 = − −1 = +

= −1

+

Diketahui bahwa 0 = 2, sehingga = 1 2.

Jadi penyelesaian dari masalah nilai awal tersebut adalah

= −2

2 −2 +1

Berikut ini diberikan definisi mengenai syarat Lipschitz yang akan

digunakan dalam pembuktian teorema eksistensi dan ketunggalan.

Definisi 2.1.8

Fungsi ( , ) dikatakan memenuhi syarat Lipschitz terhadap variabel pada himpunan ⊂ �2 jika ada konstanta > 0 dengan

, 1 − ( , 2) 1− 2


(35)

Contoh 2.1.13

Tunjukkan bahwa , = 1−2 memenuhi syarat Lipschitz pada interval

= , |1 2,−2 5 .

Penyelesaian:

Untuk sembarang titik ( , 1) dan ( , 2) di , maka

, 1 − ( , 2) = 1−2 1− 1−2 2

= 1−2 ( 12)

= 1−2 ( 1− 2)

5 1− 2

Maka memenuhi syarat Lipschitz pada terhadap variabel . Sedangkan,

konstanta Lipschitznya adalah 5.

4. Teorema Eksistensi dan Ketunggalan

Bentuk umum dari masalah nilai awal adalah sebagai berikut

= ( , ), 0 =

0 (2.1)

Andaikan masalah nilai awal tersebut mempunyai titik awal ( 0, 0) pada titik

(0, 0), maka

= ( , ), 0 = 0 (2.2)

Secara umum, jika titik awalnya tidak berada pada titik (0, 0) , maka dapat ditranslasi agar titik ( 0, 0) berada pada titik (0, 0). Berikut ini akan disajikan


(36)

yang memenuhi syarat yang disebutkan dalam teorema nanti akan mempunyai

penyelesaian dan penyelesaian tersebut adalah tunggal.

Teorema 2.1.1

Jika dan �

� kontinu pada bidang �: , , maka ada suatu interval dimana ada penyelesaian tunggal = �( ) dari masalah nilai awal (2.2).

Bukti:

Andaikan ada = �( ), yaitu fungsi yang terdiferensial dan memenuhi masalah nilai awal. Oleh karena itu, =�( ) merupakan fungsi kontinu dan karena kontinu, maka [ ,� ] merupakan fungsi yang kontinu pada . Jadi dengan mengintegralkan ′ = ( , ) dari = 0 sampai ke sembarang nilai , diperoleh

� = 0 [ ,� ] (2.3) yang disebut persamaan integral.

Ketika = 0, maka � 0 = 0, yang memenuhi syarat awal. Andaikan ada fungsi kontinu =�( ) yang memenuhi persamaan integral (2.3), maka fungsi ini juga memenuhi masalah nilai awal (2.2). Karena fungsi yang diintegralkan

pada persamaan (2.3) kontinu, maka berdasarkan teorema dasar kalkulus

diperoleh bahwa � terdiferensial dan �′ = [ ,�( )]. Oleh karena itu, masalah nilai awal (2.2) ekuivalen dengan persamaan integral (2.3), sehingga

penyelesaian yang memenuhi persamaan integral juga memenuhi masalah nilai


(37)

eksplisit, maka digunakan metode iterasi Picard untuk mencari hampirannya.

Metode tersebut dimulai dengan menentukan syarat awal �0 0 = 0. Kemudian

�1 diperoleh dengan mensubstitusikan �0 untuk �( ) pada ruas kanan persamaan (2.3), sehingga diperoleh

�1 = 0 [ ,�0 ]

�1 0 = 0

�2 diperoleh dari �1

�2 = 0 [ ,�1 ]

�2 0 = 0 dan secara umum,

� +1 = [ ,� ]

0

� +1 0 = 0

Jadi setiap anggota barisan � =�0,�1,�2,…,� ,… memenuhi syarat awal. Jika pada suatu tahap, misalnya = , � +1 =� , maka

� +1 = 0 [ ,� ] � +1 = �

� = 0 [ ,� ]

sehingga � merupakan penyelesaian dari persamaan integral (2.3). Jadi � juga merupakan penyelesaian dari masalah nilai awal (2.2) karena masalah nilai awal

dan persamaan integral tersebut adalah ekuivalen.

Pembuktian bahwa persamaan integral tersebut mempunyai penyelesaian dan

tunggal akan dilakukan dalam beberapa langkah:


(38)

a. Pertama, akan dibuktikan bahwa semua anggota barisan � ada. Dari teo-rema tersebut diketahui bahwa dan �

� kontinu hanya pada bidang �: , . Anggota dari barisan � tidak dapat dihitung secara eksplisit dan jika pada suatu tahap, misal = grafik dari =� memuat titik yang berada di luar bidang �, maka perhitungan untuk � +1 tidak dapat dilakukan karena memuat perhitungan , pada titik yang tidak diketahui kontinuitasnya. Oleh karena itu, diperlukan batasan untuk agar semua anggota barisan tersebut

terde-finisi. Karena kontinu di dalam �, maka terbatas dalam � dan ada bilangan positif sedemikian sehingga , untuk setiap , di �. Karena

,� sama dengan �′ +1 , maka nilai maksimum gradien dari grafik per-samaan = � +1 adalah . Karena grafik tersebut memuat titik 0,0 , maka grafik ini terletak pada daerah arsiran (Gambar 2.1.1). Akhirnya diperoleh batasan

untuk , yaitu dimana = min( , ). Oleh karena itu, dengan adanya batasan untuk , maka semua anggota barisan � terdefinisi.

Gambar 2.1.1 < (kiri), > (kanan)

b. Kedua, akan dibuktikan bahwa barisan � konvergen. Misalkan

,� 1( ) dan ,� ( ) adalah dua titik sembarang di dalam �. Dengan meng-x

x

x

x

x

x


(39)

gunakan teorema nilai rata-rata pada dan menganggap ( , ) sebagai fungsi dari , maka diperoleh

,� 1( ) − ,� ( ) = � ,� ( ) � −1 − � ( ) (2.5)

dimana � ( ) berada di antara � 1( ) dan � ( ). Karena �

� kontinu di dalam �,

maka terbatas di dalam �, sehingga ada bilangan positif sedemikian sehingga

� ( , ) untuk setiap ( , ) di dalam � (2.6)

Dari (2.5) dan (2.6) berlaku bahwa untuk setiap pasang titik ,� 1( ) dan

,� ( ) di dalam �, fungsi memenuhi syarat

,� 1( ) − ,� ( ) � −1 − � ( ) (2.7)

Suatu fungsi yang terdefinisi di dalam suatu himpunan � dan memenuhi syarat (2.7) untuk suatu konstanta positif dan setiap pasang titik ,� 1( ) dan

,� ( ) di dalam � disebut kontinu Lipschitz dalam di � dengan konstanta Lipschitz .

Selanjutnya akan dibuktikan bahwa � ( ), untuk = 0, 1, 2,… ada di dalam

dan kontinu pada interval ini serta memenuhi ketaksamaan

� ( ) untuk , = 0, 1, 2,… (2.8) Pembuktian ini adalah untuk menunjukkan bahwa barisan (2.4) benar terdefinisi.

Dibuktikan dengan induksi:

Untuk = 0, �0 = 0 kontinu dalam (karena fungsi konstan kontinu dimana-mana). Jadi �0 = 0 , sehingga (2.8) benar untuk = 0.

Misalkan � kontinu dalam dan bahwa (2.8) berlaku untuk = , ma-ka ,� ( ) kontinu dalam pada interval . Karena untuk = + 1,


(40)

� +1 terdefinisi oleh (2.4), maka kontinu pada interval (karena integral dari fungsi kontinu akan kontinu juga) dan diperoleh

� +1( ) = 0 ,� ( ) 0 ,� ( )

0

.

Dipilih = , maka diperoleh

� +1( ) =

Terbukti bahwa (2.8) berlaku untuk semua .

Berikutnya akan dibuktikan pula dengan induksi bahwa untuk ketaksa-maan berikut ini berlaku untuk = 0, 1, 2,…

� − � −1( )

−1 !

−1

! (2.9)

Untuk = 1

�1 − �0 = ,�0

0

0 = Jadi (2.9) benar untuk = 1.

Misalkan (2.9) benar untuk = , yaitu dimisalkan untuk

� − � −1( )

−1 !

−1

! (2.10)


(41)

Berdasarkan (2.4) dan (2.7), maka

� +1 − � ( ) = 0 ,� − 0 ,� −1 0 ,� − ,� 1

� − �0 −1

Berdasarkan (2.10), maka diperoleh

� +1 − � ( )

! 0

= +1

( +1)!

+1 ( +1)!

Jadi (2.9) benar untuk = + 1, sehingga ketaksamaan tersebut berlaku untuk semua .

Langkah selanjutnya dalam pembuktian ini yaitu menunjukkan bahwa barisan

� ( ) konvergen seragam ke suatu limit fungsi pada interval . Barisan

� dapat dinyatakan sebagai jumlahan dari deret berikut

� − � −1( ) ∞

=1 (2.11)

Jadi deret (2.11) dan barisan � mempunyai sifat-sifat kekonvergenan yang sama. Berdasarkan (2.9), maka deret (2.11) dipengaruhi oleh deret dengan

suku-suku konstanta

−1 ! ∞

=1

Deret terakhir ini adalah konvergen dan dapat dinyatakan dalam bentuk yang lebih

sederhana

−1 ! ∞

=1 =

( ) ! ∞


(42)

Menurut uji− Weierstrass, deret (2.11) konvergen mutlak dan seragam pada interval . Oleh karena itu, barisan � konvergen seragam pada interval

. Jadi dengan menyatakan limit fungsi dengan �( ), maka diperoleh

� = lim →∞� (2.12) c. Ketiga, akan dibuktikan bahwa � memenuhi persamaan integral, sehingga merupakan penyelesaian dari masalah nilai awal (2.2). Berdasarkan (2.4), maka

� memenuhi syarat awal

� 0 = 0, = 0, 1, 2,…

Diambil limit dari kedua ruasnya, maka untuk → ∞ diperoleh � 0 = 0. � kontinu pada interval karena � merupakan limit seragam dari fungsi kontinu � di dalam interval untuk = 0, 1, 2,…. Berdasarkan (2.8), dengan mengambil limit dari kedua ruasnya juga bila → ∞, maka untuk

�( )

Jadi fungsi ( ,� ) benar terdefinisi dan kontinu pada interval , sehing-ga

,�( )

0

ada. Berdasarkan (2.7), untuk diperoleh

,� ( ) − ,�( ) � − �( )

Karena barisan � konvergen seragam ke � pada interval , maka barisan ,� ( ) juga konvergen seragam ke ,�( ) dan akibatnya


(43)

Diambil limit pada kedua ruas dari (2.4) bila → ∞ dan berdasarkan (2.12) dan (2.13), diperoleh

� = 0 ,�( ) (2.14) Jadi terbukti bahwa �( ) memenuhi persamaan integral dan berarti merupakan penyelesaian dari masalah nilai awal (2.2).

d. Terakhir, akan dibuktikan bahwa � merupakan penyelesaian tunggal dari masalah nilai awal (2.2). Misalkan ada penyelesaian lain dari masalah nilai awal

(2.2), yaitu �( ), maka

�′( )− � = ,� − ,( ) (2.15)

Karena kedua penyelesaian tersebut memenuhi syarat awal, maka � 0 = 0 =

� 0 , sehingga dengan mengintegralkan kedua ruas (2.15) dari 0 sampai , dipe-roleh

�( )− � = 0 ,� − ,�( ) (2.16)

Kemudian berdasarkan (2.7) maka diperoleh

�( )− � �0 ( )− � (2.17) Misalkan

= �0 ( )− � (2.18) dimana

0 = 0 (2.19)


(44)

Berdasarkan (2.17) dan (2.18) maka diperoleh

′ ( ) atau

( ) ( ) 0 (2.21)

Kalikan kedua ruas pertidaksamaan (2.21) dengan faktor pengintegralan − , maka diperoleh

− ′( ) ( ) 0

− ′( ) 0

( ) 0

Integralkan kedua ruas (2.22) dari 0 sampai dan berdasarkan (2.19), maka dipe-roleh

0 untuk 0

Karena − tidak pernah bernilai kurang dari atau sama dengan nol, maka

( ) 0 untuk 0, sehingga berdasarkan (2.20), diperoleh bahwa

0 ( ) 0

atau

( ) ≡0 (2.23) Jadi berdasarkan (2.18) dan (2.23) dapat diambil kesimpulan bahwa � = � , sehingga terbukti bahwa � merupakan penyelesaian tunggal dari masalah nilai awal (2.2).


(45)

Persamaan diferensial pada masalah nilai awal yang diberikan dalam

contoh-contoh sebelumnya dapat diselesaikan secara analitik dengan

menggunakan metode pengintegralan langsung. Namun, masih ada beberapa

metode analitik lain yang juga dapat digunakan untuk menyelesaikan persamaan

diferensial tersebut, antara lain yaitu Metode Faktor Integral, Metode Substitusi,

Metode Bernoulli. Akan tetapi masih tetap ada persamaan diferensial yang rumit

jika diselesaikan secara analitik. Oleh karena itu, dibutuhkan metode numerik

untuk menentukan penyelesaian hampiran (pendekatan) untuk persamaan

diferensial tersebut.

B. PERSAMAAN BEDA DENGAN KOEFISIEN KONSTAN

Pembahasan mengenai metode numerik untuk menyelesaikan masalah nilai

awal tidak lepas dari penggunaan persamaan beda. Oleh karena itu, dalam subbab

ini akan dibahas mengenai persamaan beda linear dengan koefisien konstan

(li-near constant-coefficient difference equations). Persamaan beda adalah relasi

an-tara + 1 suku berturut-turut dari barisan 0, 1,…, ,…, yang mana bentuk

umumnya adalah

+ + −1 + −1+⋯+ 0 = (2.24)

dimana , 1,…, 0 merupakan koefisien dan adalah barisan bilangan.

Diberikan > 0, atur koefisien-koefisien dan barisan sehingga diperoleh rumus untuk suku ke- dari barisan yang memenuhi (2.24). Penyelesaian umum

untuk (2.24) disusun dari penjumlahan antara fungsi pelengkap (complementary


(46)

penyele-saian khusus (particular solution), yaitu suatu penyelepenyele-saian dari persamaan beda

yang diberikan. Konstanta-konstanta sembarang pada penyelesaian umum dapat

ditentukan dengan memasukkan nilai yang sesuai dari nilai-nilai awal yang

di-ketahui, yaitu = � untuk = 0, 1,…, −1.

1. Persamaan Orde Pertama

Diberikan masalah koefisien konstan orde pertama

+1 = + , = 0, 1,… (2.25)

Kemudian untuk = 0, 1, 2 diperoleh

1 = 0+

2 = 1+ = 0+ + = 2 0+ + 1

3 = 2+ = 2 0+ + 1 +

= 3

0+ 2+ + 1

dan jika dilanjutkan akan diperoleh suatu suku dalam barisan , meskipun suku

ke- yang sesungguhnya mungkin tidak dapat ditemukan.

Pertama, akan dicari fungsi pelengkap untuk (2.25). Diberikan persamaan

homogen +1 = , dimana 1 = 0, 2 = 1 = 2

0 dan dengan induksi

diperoleh suku ke- barisan tersebut, yaitu = 0, untuk suatu nilai 0.

Di-ambil 0 = , yaitu sembarang konstanta, maka diperoleh fungsi pelengkap

= .

Selanjutnya akan dicari penyelesaian khusus dari (2.25), yaitu dalam bentuk

barisan konstanta = . Substitusikan = +1 = ke dalam (2.25),


(47)

+1 = + − =

1− =

=

1−

Maka,

=

1− , ≠1

Jumlahan dari fungsi pelengkap dan penyelesaian khusus menghasilkan

= +

1− , ≠1 (2.26)

yang merupakan penyelesaian umum dari (2.25) ketika ≠ 1. Sedangkan, ketika

= 1, maka

+1 − =

dan dengan syarat deret teleskop diperoleh

= − 1 + 12 +⋯+ 1− 0 + 0

= + +⋯+ + 0

= + 0

Sehingga penyelesaian umum dari persamaan tersebut adalah

= +

dimana adalah sembarang konstanta.

Jadi penyelesaian umum dari (2.25) adalah

= + 1− ( ≠ 1)


(48)

Setelah diperoleh penyelesaian umum dari (2.25), maka dapat dicari juga

penyelesaian umum dari persamaan beda berikut

+1 = + , = 0, 1,… (2.28)

Substitusikan = ke dalam (2.28), maka diperoleh

+1

+1 = +

+1 = +1 + +1

= +

Jadi memenuhi

+1 = + (2.29)

dimana bentuknya sama seperti (2.25). kemudian dengan membandingkan

penye-lesaian umum dari (2.25), maka dapat ditunjukkan bahwa (2.29) mempunyai

pe-nyelesaian umum

= + 1− ≠1 + = 1

Karena = , maka

=

= +

1−

= +


(49)

= +

1−

= + −1

1−

= +

= +

= +

= +

= + −1

Jadi penyelesaian umum dari (2.28) adalah

= + − ( ≠ )

+ −1 ( = ) (2.30)

2. Persamaan Orde Kedua

Diberikan persamaan homogen

+2+ +1 + = 0 (2.31)

Persamaan tersebut akan mempunyai penyelesaian dalam bentuk = , di-mana adalah sembarang kontanta.

Maka,

+2 + +1+ = 0

( 2+ + ) = 0 Karena ≠0, maka


(50)

yang disebut persamaan tambahan (auxiliary equation). Andaikan bahwa

persa-maan tersebut mempunyai akar-akar dan , maka

− − = 2− + + Sehingga

=− + dan =

Jadi persamaan tak homogen berikut

+2 + +1+ = (2.33)

dapat ditulis menjadi

+2 − + +1 + =

atau

+2− +1 − ( +1 − ) =

Didefinisikan = +1− , maka

+1 − =

Jadi (2.33) dapat dinyatakan dengan sistem persamaan orde satu dari persamaan

beda dengan koefisien konstan berikut

(i) +1− =

(ii) +1− =

Ketika ≡0, yaitu untuk kasus homogen, (ii) pada (2.34) menjadi

+1 − = 0

yang mempunyai penyelesaian umum = , dimana adalah sembarang konstanta. Jadi (i) pada (2.34) menjadi

+1 − = (2.35)


(51)

dimana bentuknya sama seperti (2.28), sehingga berdasarkan (2.30) diperoleh

penyelesaian umum dari (2.34), yaitu

= + − ( ≠ )

+ −1 ( = ) (2.36)

dimana dan adalah sembarang konstanta.

Persamaan tak homogen (2.33) yang akan dijelaskan yaitu untuk kasus

dimana ≡ untuk semua , sehingga (ii) pada (2.34) menjadi

+1 − =

dan mempunyai penyelesaian umum

= +1− ( ≠1)

+ ( = 1)

Substitusikan kedua penyelesaian tersebut ke (i) pada (2.34) sehingga diperoleh

+1 − = +1 untuk ≠1

dan

+1 − = + untuk = 1

Penyelesaian umum dari kedua persamaan tersebut adalah

=

+ +

1− (1− ) ( ≠ 1, ≠1, ≠ )

+ +

1− 2 = ≠1

+ +

1− ≠ = 1

+ +

1− ≠ = 1

+ +1

2

2 = = 1


(52)

3. Persamaan Orde Tinggi

Bentuk umum dari pesamaan beda dengan koefisien konstan homogen

ada-lah

+ + −1 + −1+⋯+ 0 = 0 (2.37)

Penyelesaian umum dari (2.37) adalah dalam bentuk

=

Sehingga untuk menentukan penyelesaian tersebut dibutuhkan , yaitu akar dari

persamaan tambahan

+ 1 −1+⋯+ 0 = 0 (2.38)

Andaikan bahwa setiap akar dari (2.38) mempunyai multiplisitas , maka

kontribusi untuk fungsi pelengkap adalah

( )

dimana ( ) adalah polinomial dalam berderajat ( −1) (memuat semba-rang koefisien). Sebagai contoh, ketika = 1, polinomial ( ) berderajat 0, yai-tu = . Ketika = 2, polinomial ( ) berderajat 1 dan bentuk umumnya adalah = + .

C. DERET TAYLOR DAN ORDE PENGHAMPIRAN

Kegunaan dari Deret Taylor adalah untuk menghampiri suatu fungsi dengan

bentuk polinom yang disebut fungsi hampiran. Perhitungan dengan menggunakan

fungsi yang sesungguhnya akan menghasilkan penyelesaian sejati, sedangkan

dengan fungsi hampiran akan menghasilkan penyelesaian hampiran, sehingga


(53)

yang dihasilkan akan bergantung pada seberapa teliti polinom menghampiri

fungsi yang sesungguhnya.

1. Deret Taylor

Definisi 2.3.1

Andaikan dan semua turunannya ′, ′′, ′′′,… kontinu di dalam interval [ , ]. Misalkan 0 ∈ [ , ], maka untuk nilai-nilai di sekitar 0 dan ∈[ , ], ( )

dapat diperluas ke dalam Deret Taylor

= 0 + −0 1!

0 + −0 2 2!

′′ 0 ++ −0 !

0 + (2.39)

Persamaan (2.39) merupakan penjumlahan dari suku-suku yang disebut

deret. Jika dimisalkan − 0 = , maka juga dapat ditulis menjadi

0+ = 0 +1! ′ 0 + 2 2!

′′ 0 ++

!

0 + (2.40)

Deret Taylor panjangnya tak berhingga sehingga untuk alasan praktis deret

tersebut dipotong sampai suku orde tertentu. Deret Taylor yang dipotong sampai

suku orde ke- dinyatakan dengan

= 0 + −0 1!

0 + −0 2 2!

′′ 0 ++ −0 !

0 + ( )

dimana � = −0 +1

( +1)!

+1 adalah suku sisa (galat), dengan

0 < < .

2. Orde Penghampiran

Salah satu cara untuk menyatakan tingkat ketelitian suatu hampiran adalah


(54)

(big-Oh). Misalkan fungsi ( ) dihampiri dengan fungsi ( ). Jika − ( )

, dimana > 0 adalah konstanta real, maka dapat dikatakan bahwa ( )

menghampiri dengan orde penghampiran ( ) dan ditulis

= + ( )

( ) juga dapat diartikan sebagai orde galat dari fungsi hampiran. Nilai adalah kurang dari 1, maka semakin tinggi nilai akan semakin kecil galat yang dihasilkan sehingga hampiran fungsinya semakin teliti. Misalnya, metode yang

berorde ( 2) akan lebih teliti dibandingkan metode dengan orde ( ).

Definisi 2.3.2

Andaikan dan semua turunannya ′, ′′, ′′′,… kontinu di dalam interval [ , ]. Misalkan +1 = + , = 0, 1, 2,… adalah titik-titik selebar , hampiran untuk

( +1) dengan menggunakan deret Taylor di sekitar adalah

+1 = +

1!

+ 2

2!

′′

+⋯+

!

+ (

+1) (2.41)

dimana � +1 = +1

+1 !

+1 , < <

+1, maka orde penghampiran

untuk fungsi tersebut adalah +1 =� +1 .

Persamaan (2.41) juga dapat ditulis menjadi

+1 =

!

( )


(55)

Persamaan (2.42) menyatakan bahwa jika fungsi ( ) dihampiri dengan deret Taylor derajat , maka suku sisanya cukup dinyatakan dengan lambang ( +1).

Suku sisa ( +1), yaitu suku yang dimulai dengan perpangkatan +1.

D. METODE SATU LANGKAH

Masalah nilai awal yang telah dijelaskan pada contoh-contoh dalam subbab

sebelumnya dapat diselesaikan secara analitik sehingga penyelesaiannya disebut

penyelesaian sejati. Jika metode analitik tidak bisa lagi diterapkan, maka

penyelesaian masalah nilai awal dapat dicari dengan menggunakan metode

numerik. Penyelesaian yang dihasilkan oleh metode numerik adalah berupa

hampiran (pendekatan) terhadap penyelesaian sejati sehingga terdapat selisih

antara keduanya. Selisih tersebut disebut galat total. Ada beberapa metode

numerik yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah nilai awal,

diantaranya yaitu metode Euler dan metode Deret Taylor. Kedua metode tersebut

merupakan metode satu langkah dimana untuk menghitung pendekatan pada titik

tertentu digunakan data pada satu titik sebelumnya.

1. Metode Euler

Metode Euler merupakan metode yang paling sederhana untuk

menyelesaikan masalah nilai awal dalam bentuk

= , , > 0 0 =�

yang mempunyai penyelesaian tunggal pada interval ∈ [ 0, ].


(56)

Langkah awal dari penyusunan metode Euler yaitu dengan membagi

interval ( 0, ) ke dalam subinterval yang sama besar. Sehingga dapat dihitung pendekatan terhadap penyelesaian sejati dari masalah nilai awal pada titik

= 0+ untuk = 0, 1, 2,…,

dimana merupakan ukuran langkah. Metode Euler diturunkan dari deret Taylor

pada ( + ) yang dipotong sampai suku orde dua

+ = + ′ +�1( ) (2.44) Kemudian substitusikan ′ = ( , ( )) ke dalam deret Taylor (2.44) sehingga diperoleh

+ = + , +�1 (2.45) Ketika = , maka persamaan (2.45) menjadi

+1 = + , +�1 ,

= 0, 1, 2,…, −1

Suku �1 dapat dibuat sangat kecil dengan mengambil ukuran langkah yang cukup kecil, sehingga diperoleh bentuk umum dari metode Euler

+1 = + , untuk = 0, 1, 2,…, −1 (2.46)

dimana = ( , ), +1 merupakan pendekatan terhadap +1 , merupakan pendekatan terhadap , dan merupakan pendekatan terhadap

, .

Selanjutnya, karena metode Euler disusun dari deret Taylor yang dipotong

sampai suku orde dua, maka metode tersebut mempunyai galat pemotongan, yaitu


(57)

Galat pemotongan tersebut juga dapat dinyatakan dengan

= �1 = +1 − − ,

yang diperoleh dengan memasukkan penyelesaian sejati dari masalah nilai awal

ke dalam metode numerik dan membaginya dengan ukuran langkah . Pemberian

pembagi tidak berpengaruh terhadap keakuratan metode tersebut karena ini

hanya untuk pembobotan saja.

Seperti disebutkan di awal bahwa terdapat selisih antara penyelesaian sejati

dengan penyelesaian hampiran dari suatu masalah nilai awal yang disebut galat

total. Besar galat total dari suatu metode numerik didefinisikan dengan

= − ,

dimana merupakan penyelesaian sejati dan merupakan penyelesaian hampiran pada titik .

Contoh 2.4.1

Gunakan metode Euler dengan ukuran langkah = 0.3 untuk menghitung penyelesaian hampiran masalah nilai awal

= 12 , > 0

0 = 1

pada interval 0 0.9, dimana penyelesaian sejati dari masalah nilai awal tersebut adalah = − 2.


(58)

Penyelesaian:

Dari masalah nilai awal yang diketahui maka diperoleh bahwa 0 = 0, 0 = 1,

0 = 1.

Kemudian dengan menggunakan informasi tersebut ditarik garis singgung melalui

titik P0 0, 0 = (0,1) dengan gradien ′0 = ′ 0 = 1 dan berhenti di titik P1 1, 1 (lihat Gambar 2.4.1 (a)).

Perhitungan pada langkah selanjutnya diperoleh

1 = 0+ = 0.3

1 = 0+ ′0 = 1 + 0.3 = 1.3

′1 = 1−2 1 1 = 1−0.6 1.3 = 0.52

Kemudian ditarik garis melalui titik P1 1, 1 = (0.3, 1.3) dengan gradien

1 = 0.52 dan berhenti di titik P2 2, 2 (lihat Gambar 2.4.1 (b)).

Pada langkah berikutnya diperoleh

2 = 1+ = 0.6

2 = 1+ ′1 = 1.3 + 0.3 × 0.52 = 1.456 ′2 = 1−2 2 2 = 1−1.2 1.456 =−0.2912

Kemudian ditarik garis melalui titik P2 2, 2 = (0.6, 1.456) dengan gradien

2 = −0.2912 dan berhenti di titik P3 3, 3 (lihat Gambar 2.4.1 (c)).

Perhitungan untuk langkah terakhir diperoleh

3 = 2+ = 0.9


(59)

Gambar 2.4.1 Grafik penyelesaian sejati, penyelesaian hampiran,

dan galat total.

Dari contoh ini dapat ditunjukkan penurunan metode Euler. Gambar 2.4.1

menunjukkan hampiran pada titik +1 terhadap penyelesaian sejati masalah nilai

awal dihitung dengan menggunakan persamaan garis yang melalui titik ( , )

dengan gradien ′ sehingga +1 = + ′ yang tidak lain merupakan metode Euler.

Contoh 2.4.2

Gunakan metode Euler untuk menyelesaikan masalah nilai awal berikut

= 12

0 = 1, untuk ∈(0,4] dengan = 0.2.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 0 0.5 1 1.5 (a) p e n y e le s a ia n

Grafik Peny.sejati dan Peny.hampiran

peny.numerik peny.sejati

0 0.2 0.4 0.6 0.8 0 0.5 1 1.5 (b) p e n y e le s a ia n

Grafik Peny.sejati dan Peny.hampiran

peny.numerik peny.sejati

0 0.2 0.4 0.6 0.8 0 0.5 1 1.5 (c) p e n y e le s a ia n

Grafik Peny.sejati dan Peny.hampiran

peny.numerik peny.sejati

0 0.2 0.4 0.6 0.8 0 0.1 0.2 (d) g a la t

Grafik Galat Total galat euler


(60)

Penyelesaian:

Hasil perhitungan dengan menggunakan program Matlab ditunjukkan pada

Gam-bar 2.4.2 berikut:

Gambar 2.4.2 Grafik penyelesaian sejati dan hampiran dengan metode

Euler (kiri) dan grafik galat total (kanan)

Definisi 2.4.1

Metode numerik dikatakan konvergen terhadap penyelesaian ( ) dari masalah nilai awal yang diberikan pada = ∗ jika galat total = − pada

= ∗+ memenuhi

→ 0

ketika → 0. Metode tersebut konvergen pada orde � jika = ( �) untuk

�> 0.

0 1 2 3 4

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4

Grafik Peny.Sejati dan Peny.Hampiran

t(i) p e n y e le s a ia n Euler sejati

0 1 2 3 4

0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16 0.18 0.2

Grafik Galat Total

t(i) g a la t galat Euler


(61)

Berikut ini diberikan lemma yang nanti akan digunakan dalam pembuktian

teorema konvergensi dari Metode Euler.

Lemma 2.4.1

1 + untuk semua 0.

Bukti:

Dibuktikan dengan menggunakan fakta bahwa 1 untuk semua 0. Kemudian dengan mengambil integral dari kedua ruasnya pada interval 0

(dimana 0), maka diperoleh

0 0 1

− 0 0

1 +

Jadi terbukti bahwa 1 + .

Teorema 2.4.1

Metode Euler akan diterapkan terhadap masalah nilai awal

=+ ( ), 0 <

0 = 1

dimana � ∈ ℂ dan adalah fungsi yang turunannya kontinu. Metode tersebut konvergen dengan galat total pada suatu ∈ 0, adalah ( ).


(62)

Bukti:

Metode Euler untuk masalah nilai awal tersebut adalah

+1 = +� +

= 1 +� + ( ) (2.47) Sementara dari ekspansi deret Taylor (2.44) diperoleh

+1 = + ′ +�1( )

= + � + +�1

= 1 +� + +�1 (2.48) Kemudian kurangkan (2.48) dengan (2.47) diperoleh

+1 = 1 + � + +�1

+1 = 1 + � + ( )

+1 = 1 + � +�1

Selanjutnya untuk menyederhanakan penyimbolan, maka �1 diganti dengan

+1, sehingga

+1 = 1 + � + +1 (2.49)

Karena 0 = 0 = �, maka 0 = 0. Persamaan (2.49) menunjukkan bahwa galat total pada langkah berikutnya ( +1) merupakan penjumlahan dari galat

pemotongan lokal pada langkah tersebut ( +1) dan galat total pada langkah sebelumnya ( ). Persamaan tersebut tetap berlaku untuk persamaan diferensial biasa yang lebih umum meskipun nilai � bervariasi.


(63)

Kemudian substitusikan = 0, 1, 2 ke dalam persamaan (2.49) (gunakan 0 = 0), maka diperoleh

1 = 1

2 = 1 + � 1+ 2 = 1 + � 1+ 2

3 = 1 + � 2+ 3 = 1 + � 2 1+ 1 + � 2+ 3

Sehingga rumus umumnya adalah

= 1 + � −1

1+ 1 + � −2 2+⋯+

= =1 1 + � − (2.50) Ruas kanan dari persamaan (2.50) harus dibatasi agar nilainya mendekati nol

ketika →0.

Berdasarkan Lemma 2.4.1 (dengan = � ), maka

1 + � 1 + � �

dan karena − = untuk dan 0 < , maka

1 + � − e(n−j) � = e e.

Kemudian karena 2 untuk suatu kontanta (tidak bergantung pada atau ), setiap suku pada ruas kanan persamaan (2.50) dibatasi oleh 2 e �

sehingga

2 � =

(dengan = ). Selama berhingga, maka = ( ) dan terbukti bahwa metode Euler konvergen pada orde pertama.


(64)

Contoh 2.4.3

Jika interval pada Contoh 2.4.1 diperluas menjadi 0 3 dan dengan mengambil ukuran langkah = 0.3, = 0.15, dan = 0.075, maka dengan menggunakan program Matlab diperoleh hasil sebagai berikut:

Gambar 2.4.3 Grafik penyelesaian sejati dan penyelesaian hampiran

dengan menggunakan metode Euler

Gambar 2.4.3 menunjukkan bahwa ketika ukuran langkah diperkecil, maka nilai

penyelesaian hampiran akan semakin mendekati penyelesaian sejati dari masalah

nilai awal yang diberikan. Dengan program Matlab, penghitungan galat total pada

titik 0.09 diperoleh hasil sebagai berikut,

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

0 0.5 1 1.5

t(i)

p

e

n

y

e

le

s

a

ia

n

Grafik Penyelesaian Sejati dan Penyelesaian Hampiran peny.hamp (h=0.3) peny.hamp (h=0.15) peny.hamp (h=0.075) peny.sejati


(65)

h 0.3 0.15 0.075

Euler 0.2745 0.1325 0.0649

Tabel 2.4.1 Tabel Galat Total

Dari Tabel 2.4.1 nampak bahwa ketika ukuran langkah diperkecil setengah

kalinya, maka galat totalnya akan mengecil sekitar setengah kalinya juga. Jadi

sesuai dengan Teorema 2.4.1, metode Euler konvergen dengan orde satu, sehingga

∝ (galat total sebanding dengan ukuran langkah).

2. Metode Deret Taylor

Metode Euler yang dijelaskan sebelumnya disusun dari deret Taylor pada

( + ) di sekitar titik = yang dipotong sampai suku orde dua. Keakuratan penyelesaian hampiran yang dihasilkan oleh metode tersebut dipengaruhi oleh

besarnya ukuran langkah yang diambil. Metode tersebut menjadi kurang efektif

karena untuk mencapai keakuratan yang baik, maka diperlukan ukuran langkah

yang kecil dan berarti diperlukan komputasi yang lebih mahal. Oleh karena itu,

dibutuhkan metode yang lebih efektif, yaitu metode deret Taylor dimana bisa

menghasilkan penyelesaian hampiran yang lebih akurat ketika diambil ukuran

langkah yang sama besar atau penyelesaian hampiran dengan keakuratan sama

ketika diambil ukuran langkah yang lebih besar.

Diberikan masalah nilai awal

= ( , ), > 0

0 = �


(66)

Sebelum masuk ke dalam pembahasan metode deret Taylor orde-� (bentuk umum), terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai metode deret Taylor orde dua.

Ekspansi deret Taylor orde dua adalah sebagai berikut

+ = + ′ + 1

2!

2 ′′ +�2( )

dimana �2 = ( 3). Substitusikan = , dan karena

+1 = + , maka

diperoleh

+1 = + ′ + 1

2!

2 ′′ + ( 3)

Suku sisa ( 3) dapat dibuat sangat kecil sehingga bisa diabaikan. Jadi diperoleh bentuk umum dari metode deret Taylor orde dua

+1 = + ′ +

1 2

2 ′′ (2.51)

dimana , ′, dan ′′ menyatakan pendekatan terhadap ( ), ′( ), dan

′′( ). Suku ′′( ) diperoleh dengan menurunkan persamaan diferensial yang

diketahui.

Contoh 2.4.4

Gunakan metode Deret Taylor orde dua untuk menyelesaikan masalah nilai awal

berikut

= 12

0 = 1


(67)

Penyelesaian:

Hasil perhitungan dengan menggunakan program Matlab ditunjukkan pada

Gambar 2.4.4 berikut:

Gambar 2.4.4 Grafik penyelesaian sejati dan hampiran dengan metode

Deret Taylor orde dua (kiri) dan grafik galat total (kanan)

Perbandingan keakuratan penyelesaian yang dihasilkan oleh beberapa

metode pada tugas akhir ini ditentukan berdasarkan galat total maksimum dan

jumlahan galat total, yaitu

Galat total maksimum = maks =0, Jumlahan galat total = =1 , = − 0

0 1 2 3 4

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4

Grafik Peny.Sejati dan Peny.Hampiran

t(i) p e n y e le s a ia n Taylor sejati

0 1 2 3 4

0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16 0.18 0.2

Grafik Galat Total

t(i) g a la t galat Taylor


(68)

Berdasarkan Gambar 2.4.2 (pada Contoh 2.4.2) dan Gambar 2.4.4 (pada

Contoh 2.4.4), maka galat total maksimum dan jumlahan galat total dari metode

Euler dan Deret Taylor orde dua adalah seperti ditunjukkan dalam tabel di bawah

ini.

Metode Galat Total Maksimum Jumlahan Galat Total

Euler 0.1808 0.9853

Taylor 0.0127 0.0842

Tabel 2.4.2 Tabel Galat Total Maksimum dan Jumlahan Galat Total

Tabel 2.4.2 menunjukkan bahwa galat total maksimum dan jumlahan galat total

dari metode Deret Taylor orde dua lebih kecil daripada metode Euler. Jadi

penyelesaian yang lebih akurat adalah penyelesaian yang dihasilkan oleh metode

Deret Taylor orde dua.

Selanjutnya akan dijelaskan mengenai metode deret Taylor secara umum.

Deret Taylor orde-� pada ( + ) beserta dengan suku sisanya adalah sebagai berikut

+ = + ′ + 1

2!

2 ′′ ++ 1 �!

� � +

�( ) (2.52)

dimana � =1

+1 !

�+1 �+1 (), � ∈( , + ). Jika ada bilangan positif

sedemikian sehingga �+1 ( ) untuk semua ∈( 0, ), maka �� +1 ! �+1,

sehingga � = ( �+1).

Substitusikan = dan dengan mengabaikan suku sisa, maka diperoleh bentuk umum metode deret Taylor (metode deret Taylor orde-�) sebagai berikut


(69)

+1 = + ′ + 1 2

2 ′′ ++ 1 �!

� (�)

(2.53)

dimana , ′, ′′, ..., (�) menyatakan pendekatan terhadap ( ),

,,( ).

Berikut ini diberikan lemma yang nanti akan digunakan untuk membuktikan

teorema konvergensi dari Metode Deret Taylor.

Lemma 2.4.2

1 + + 1

2!

2++ 1 �!

(2.54)

untuk semua 0.

Bukti:

Dibuktikan dengan induksi:

Untuk �= 1

1 + (sudah dibuktikan pada Lemma 2.4.1) Jadi (2.54) benar untuk � = 1.

Misalkan (2.54) benar untuk �= , sehingga

1 + + 1

2!

2++ 1

! (2.55)

Maka,

0 (1 + +

1 2!

2++ 1 ! )

0

− 0 + 1 2!

2+ 1 3!

3++ 1 ( +1)!


(70)

1 + + 1

2!

2+ 1 3!

3++ 1 ( +1)!

+1

Jadi (2.54) benar untuk � = + 1.

Oleh karena itu, terbukti bahwa 1 + + 1

2!

2++ 1 �!

untuk semua

0.

Teorema 2.4.2

Metode deret Taylor akan diterapkan terhadap masalah nilai awal

=+ ( ), 0 <

0 = 1

dimana � ∈ ℂ dan adalah fungsi terdiferensial kontinu � kali. Metode tersebut konvergen dan galat totalnya pada sembarang ∈ [0, ] adalah ( �).

Bukti:

Metode deret Taylor untuk masalah nilai awal tersebut adalah

+1 = + ′ +

1 2!

2 ′′ ++ 1 �!

� (�)

(2.56)

Dimana

= + ( )

′′ =+ =2 ++( )

= +�−1 +�−2 ′ ++ �−2 + �−1 ( )

Sementara dengan menggunakan ekspansi deret Taylor adalah

+1 = + ′ + 1

2!

2 ′′ ++ 1 �!

� � +

+1 (2.57)


(71)

( ) = ( ) + ( )

′′( ) =( ) + =2 ( ) ++( )

= +�−1 +�−2 ′ ++ �−2 + �−1 ( )

Kemudian kurangkan (2.57) dengan (2.56), maka diperoleh

+1 − +1 = − + � − � + 1 2!

2 �2 −

�2 ++ 1 �!

( − �)

+1 = +� +

1 2!(� )

2 ++ 1 �!(� )

+

+1

Misal = 1 + + 1

2!

2+ 1 �!

, maka untuk = diperoleh

+1 = � + +1

Karena 0 = 0 =�, maka 0 = 0, sehingga untuk = 0, 1, 2, 3 diperoleh

1 = � 0+ 1 = 1

2 = � 1+ 2= � 1+ 2

3 = � 2+ 3 = � 2 1+ � 2+ 3

4 = � 3+ 4 = � 3 1+ [ � ]2 2+ � 3+ 4

Maka rumus umumnya adalah

= � −1 1+ [ � ] −2 2+⋯+ � −1+

= =1[ � ] − (2.58) Ruas kanan dari (2.58) harus dibatasi agar nilainya mendekati nol ketika →0.

� = 1 +� + 1

2!(� )

2++ 1 �!(� )

1 + � + 1

2!

22++ 1 �!


(72)

Berdasarkan Lemma 2.4.2, maka untuk = � diperoleh bahwa

� �

Dan karena − = untuk dan 0 < , maka

� − ( − ) � =

Kemudian karena �+1 untuk semua konstanta , maka

�+1 � = � �

Jadi terbukti bahwa = ( �) dan metode deret Taylor konvergen pada orde �.

Contoh 2.4.5

Diketahui masalah nilai awal berikut

= 12 ( ), > 0

0 = 1

dimana mempunyai penyelesaian sejati = − 2. Gunakan metode deret Taylor orde dua untuk menyelesaikan masalah nilai awal tersebut dengan

mengambil = 0.3, = 0.15, dan = 0.075 pada interval 0 4. Penyelesaian:

Hasil perhitungan dengan menggunakan program Matlab ditunjukkan pada

Gambar 2.4.5 di bawah. Jika grafik pada Gambar 2.4.5 dibandingkan dengan

grafik pada Gambar 2.4.3, maka untuk nilai yang sama nampak bahwa

penyelesaian hampiran yang dihasilkan oleh metode deret Taylor orde dua lebih

akurat dibandingkan yang dihasilkan oleh metode Euler. Dengan program Matlab,


(73)

H 0.3 0.15 0.075

Taylor 0.0146 0.0027 0.0006

Tabel 2.4.3 Tabel Galat Total

Dari Tabel 2.4.3 nampak bahwa ketika ukuran langkah diperkecil setengah

kalinya, maka galat totalnya akan mengecil sekitar seperempat kalinya. Jadi sesuai

dengan Teorema 2.4.2, metode Deret Taylor orde dua konvergen dengan orde dua,

sehingga ∝ 2 (galat total sebanding dengan kuadrat ukuran langkah).

Gambar 2.4.5 Grafik penyelesaian sejati dan penyelesaian hampiran

dengan menggunakan metode Deret Taylor orde dua

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

0 0.5 1 1.5

t(i)

p

e

n

y

e

le

s

a

ia

n

Grafik Penyelesaian Sejati dan Penyelesaian Hampiran peny.hamp (h=0.3) peny.hamp (h=0.15) peny.hamp (h=0.075) peny.sejati


(74)

BAB III

METODE BANYAK LANGKAH LINEAR

A. PENDAHULUAN

Dua metode numerik yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya

masing-masing mempunyai kelemahan di dalam penerapannya. Kelemahan dari metode

Euler yaitu untuk mencapai tingkat keakuratan yang sama dibutuhkan nilai ℎ yang lebih kecil dibandingkan metode deret Taylor, sehingga lebih banyak langkah

yang harus diselesaikan. Sedangkan untuk metode deret Taylor yaitu

diperlukannya perhitungan turunan-turunan hingga turunan ke- dari persamaan

diferensial yang diketahui. Secara umum kedua metode tersebut tergolong dalam

metode satu langkah, yaitu metode yang hanya menggunakan nilai pada satu titik

sebelumnya untuk menentukan penyelesaian hampiran pada titik tertentu. Oleh

karena itu, pada bab ini akan dijelaskan mengenai metode banyak langkah linear,

yaitu metode numerik yang digunakan untuk menyelesaikan masalah nilai awal

dimana menggunakan nilai pada beberapa titik sebelumnya untuk menentukan

penyelesaian hampiran pada titik tertentu. Pembahasan mengenai metode banyak

langkah linear dimulai dengan metode yang lebih sederhana, yaitu metode dua

langkah linear.

B. METODE ADAMS-BASHFORTH

Metode dua langkah adalah metode yang menggunakan nilai pada dua titik


(75)

Sebelum masuk ke dalam pembahasan mengenai metode dua langkah linear

secara umum, akan dijelaskan terlebih dahulu metode Adams-Bashforth yang

tergolong dalam metode dua langkah linear. Penyusunan metode

Adams-Bashforth dimulai dengan menggunakan ekspansi deret Taylor berikut

� �+ℎ = � � +ℎ� � +1

2ℎ

2′′+ (3) (3.1)

Kemudian untuk menentukan pendekatan terhadap �′′ � digunakan ekspansi pada

(� − ℎ) sebagai berikut

� − ℎ = � − ℎ�′′+ (2)

sehingga

ℎ�′′ � = � � − � � − ℎ + (ℎ2) (3.2) Substitusikan (3.2) ke (3.1) sehingga diperoleh

� �+ℎ = � � +ℎ�+1

2ℎ[�

� − � � − ℎ + (2)] + (3)

= � � +3

2ℎ�

� −1 2ℎ�

� − ℎ + (3)

= � � +1

2ℎ[3�

� − � � − ℎ ] + (3)

Ketika � =� dan dengan mengabaikan suku sisa, maka diperoleh rumus dari metode Adams-Bashforth sebagai berikut

��+1 =�� + 1 2ℎ[3��

− �

�− 1] (3.3)

Jika (3.3) disusun ulang dengan indeks terkecil �, maka diperoleh


(76)

Contoh 3.2.1

Gunakan metode Adams-Bashforth untuk menyelesaikan masalah nilai awal

berikut

� = 1−2� � �

� 0 = 1

untuk � ∈(0,4] dengan ℎ = 0.2. Sedangkan, untuk menentukan satu nilai awal yang dibutuhkan gunakan metode Euler dan deret Taylor orde dua. Kemudian

bandingkanlah hasilnya.

Penyelesaian:

Metode Adams-Bashforth memerlukan nilai pada dua titik sebelumnya untuk

menentukan pendekatan pada titik tertentu dan karena masalah nilai awal tersebut

hanya menyediakan informasi dari satu titik saja, maka digunakan metode Euler

(nama metodenya disingkat menjadi ABE) dan deret Taylor orde dua (nama

metodenya disingkat menjadi ABT) untuk menentukan satu nilai awal lagi. Hasil

perhitungan dengan menggunakan program Matlab ditunjukkan pada Gambar


(1)

t(2,1)=T; else

W=W+1/2*H*[3*F(T,W)-F(t(I-1),x(I-1))]; x(I+1,1)=W;

T = A+I*H; t(I+1,1)=T; end

% STEP 4

fprintf(OUP, '%5.3f %11.7f\n', T, W); end;

figure

plot(t,x,'o-') xlabel('t') ylabel('x') % STEP 5 if OUP ~= 1 fclose(OUP);

fprintf(1,'File keluaran telah berhasil\n',NAME); end;

end;

4.

METODE ABT

% ALGORITMA METODE ABT

% UNTUK MENDEKATI PENYELESAIAN MASALAH NILAI AWAL: % X' = F(T,X), A<=T<=B, X(A) = ALPHA, % PADA N+1 TITIK PADA INTERVAL [A,B].

% MASUKAN: TITIK AKHIR A,B; NILAI AWAL ALPHA; BILANGAN BULAT N. % KELUARAN: PENDEKATAN W TERHADAP X PADA (N+1) NILAI DARI T. syms('F1','F2','OK','A','B','ALPHA','N','FLAG','NAME','OUP','H'); syms('T','W','I','x','s1','s2');

TRUE = 1; FALSE = 0;

fprintf(1,'Ini adalah metode ABT.\n');

fprintf(1,'Masukkan fungsi F(t,x) dalam bentuk t dan x!\n'); fprintf(1,'Sebagai contoh: x-t^2+1\n');


(2)

s1 = input(' ','s'); F1 = inline(s1,'t','x');

fprintf(1,'Masukkan turunan dari fungsi F(t,x)!\n'); s2=input(' ','s');

F2=inline(s2,'t','x'); OK = FALSE;

while OK == FALSE

fprintf(1,'Masukkan batas bawah dan atas interval!\n'); A = input(' ');

B = input(' '); if A >= B

fprintf(1,'Batas bawah interval harus lebih kecil dari batas atas!\n');

else

OK = TRUE; end;

end;

fprintf(1,'Masukkan nilai awal!\n'); ALPHA = input(' ');

OK = FALSE;

while OK == FALSE

fprintf(1,'Masukkan bilangan bulat positif sebagai jumlah subinterval!\n');

N = input(' '); if N <= 0

fprintf(1,'Bilangannya harus bilangan bulat positif!\n'); else

OK = TRUE; end;

end;

if OK == TRUE

fprintf(1,'Pilihan keluaran:\n'); fprintf(1,'1. Keluar di layar\n');

fprintf(1,'2. keluar sebagai file teks\n'); fprintf(1,'Silahkan pilih 1 atau 2!\n'); FLAG = input(' ');

if FLAG == 2


(3)

fprintf(1,'Sebagai contoh A:\\OUTPUT.DTA\n'); NAME = input(' ','s');

OUP = fopen(NAME,'wt'); else

OUP = 1; end;

fprintf(OUP, 'METODE ABT\n\n');

fprintf(OUP, ' t x\n\n'); % STEP 1

H = (B-A)/N; T = A;

W = ALPHA;

fprintf(OUP, '%5.3f %11.7f\n', T, W); t=zeros(N+1,1);

x=zeros(N+1,1); t(1,1)=T;

x(1,1)=W; % STEP 2 for I = 1:N % STEP 3

% Compute W(I) if I==1

W = W+H*F1(T, W)+1/2*H^2*F2(T, W); x(2,1)=W;

T = A+I*H; t(2,1)=T; else

W=W+1/2*H*[3*F(T,W)-F(t(I-1),x(I-1))]; x(I+1,1)=W;

T = A+I*H; t(I+1,1)=T; end

% STEP 4

fprintf(OUP, '%5.3f %11.7f\n', T, W); end;

figure

plot(t,x,'o-') xlabel('t')


(4)

ylabel('x') % STEP 5 if OUP ~= 1 fclose(OUP);

fprintf(1,'File keluaran telah berhasil \n',NAME); end;

end;

5.

METODE TIGA LANGKAH

% ALGORITMA METODE EULER

% UNTUK MENDEKATI PENYELESAIAN MASALAH NILAI AWAL: % X' = F(T,X), A<=T<=B, X(A) = ALPHA, % PADA N+1 TITIK PADA INTERVAL [A,B].

% MASUKAN: TITIK AKHIR A,B; NILAI AWAL ALPHA; BILANGAN BULAT N. % KELUARAN: PENDEKATAN W TERHADAP X PADA (N+1) NILAI DARI T. syms('F1','F2','OK','A','B','ALPHA','N','FLAG','NAME','OUP','H'); syms('T','W','I','x','s1','s2');

TRUE = 1; FALSE = 0;

fprintf(1,'Ini adalah metode Deret Taylor.\n');

fprintf(1,'Masukkan fungsi F(t,x) dalam bentuk t dan x!\n'); fprintf(1,'Sebagai contoh: x-t^2+1\n');

s1 = input(' ','s'); F1 = inline(s1,'t','x')

fprintf(1,'Masukkan turunan dari fungsi F(t,x)!\n'); s2=input(' ','s');

F2=inline(s2,'t','x') OK = FALSE;

while OK == FALSE

fprintf(1,'Masukkan batas bawah dan atas interval!\n'); A = input(' ');

B = input(' '); if A >= B

fprintf(1,'Batas bawah interval harus lebih kecil dari batas atas!\n');


(5)

OK = TRUE; end;

end;

fprintf(1,'Masukkan nilai awal!\n'); ALPHA = input(' ');

OK = FALSE;

while OK == FALSE

fprintf(1,'Masukkan bilangan bulat positif sebagai jumlah subinterval!\n');

N = input(' '); if N <= 0

fprintf(1,'Bilangannya harus bilangan bulat positif!\n'); else

OK = TRUE; end;

end;

if OK == TRUE

fprintf(1,'Pilihan keluaran:\n'); fprintf(1,'1. Keluar di layar\n');

fprintf(1,'2. keluar sebagai file teks\n'); fprintf(1,'Silahkan pilih 1 atau 2!\n'); FLAG = input(' ');

if FLAG == 2

fprintf(1,'Masukkan nama file dalam bentuk - drive:\\name.ext\n'); fprintf(1,'Sebagai contoh A:\\OUTPUT.DTA\n');

NAME = input(' ','s'); OUP = fopen(NAME,'wt'); else

OUP = 1; end;

fprintf(OUP, 'METODE TIGA LANGKAH\n\n'); fprintf(OUP, ' t x\n\n'); % STEP 1

H = (B-A)/N; T = A;

W = ALPHA;

fprintf(OUP, '%5.3f %11.7f\n', T, W); t=zeros(N+1,1);


(6)

x=zeros(N+1,1); t(1,1)=T;

x(1,1)=W; % STEP 2 for I = 1:N % STEP 3

% Compute W(I) if I==1

W = W+H*F1(T, W)+1/2*H^2*F2(T, W); x(2,1)=W;

T = A+I*H; t(2,1)=T; else if I==2

W = W+H*F1(T, W)+1/2*H^2*F2(T, W); x(3,1)=W;

T = A+I*H; t(3,1)=T; else

W=W+(1/12*H)*[23*F1(T,W)-16*F1(t(I-1),x(I-1))+5*F1(t(I-2),x(I-2))];

x(I+1,1)=W; T=A+I*H; t(I+1,1)=T; end

end % STEP 4

fprintf(OUP, '%5.3f %11.7f\n', T, W); end;

figure

plot(t,x,'o-') xlabel('t') ylabel('x') % STEP 5 if OUP ~= 1 fclose(OUP);

fprintf(1,'File keluaran telah berhasil \n',NAME); end;