TESIS MANAJEMEN PENDIDIKAN KARAKTER BAB

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan karakter sudah menjadi kebutuhan dan cita-cita fundamental bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang religius dan beradab, yang mana setiap Agama mengajarkan karakter atau akhlak mulia kepada pemeluknya. Mengingat pentingnya pendidikan karakter ini, pemerintahpun mengaturnya dalam undang-undang sistem pendidikan nasional. Secara eksplisit dikatakan pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. (Undang-Undang R.I. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, 2010:6).

Kemendesakan pendidikan karakter tidak hanya didorong oleh cita-cita dan undang-undang di atas, melainkan didorong juga oleh situasi dan kondisi jaman sekarang yang sedang mengalami perubahan tata nilai. Terjadinya perilaku menyimpang dari norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya, meningkatnya pola hidup konsumeristis dan hedonistis, gaya hidup serba instan, dan berfoya-foya menjadi indikator bergesernya nilai-nilai moral dan menurunnya kualitas karakter generasi muda.

Tidak sedikit orangtua mengeluh tentang tingkah laku anak remajanya yang sulit diatur. Begitu pula guru yang sehari-hari harus berhadapan dengan perilaku siswa remaja yang sangat kompleks. Dahulu para siswa masih menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, sekarang nilai-nilai itu digeser oleh nilai-nilai yang serba cepat dan tidak usah bersusah payah, antara lain tidak perlu lagi bekerja keras untuk mendapatkan nilai yang bagus, sebab dengan menyontek saja nilai yang bagus itu akan bisa dicapai dan naik kelas. Koesoema (2015:15) menegaskan “tuntutan sosial dan keinginan mempertahankan harga diri di mata teman-teman sebaya telah mendorong kegiatan menyontek menjadi hal yang biasa dan wajib dilakukan. Nilai serba cepat telah menggantikan nilai kejujuran. Tidak hanya menyontek, tetapi perilaku menyimpang lainnya seperti pergaulan bebas, merokok di sekolah, minum minuman keras dan narkoba (drugs), terlibat perkelahian, hamil di luar nikah, menonton film porno, serta perilaku lainnya yang mengancam rusaknya perkembangan dasar nilai, merupakan persoalan atau tantangan yang menghantui pergaulan remaja.

Tanggung jawab yang besar untuk membantu remaja menghadapi tantangan-tantangan di atas umumnya dilimpahkan kepada sekolah. Sekolah diharapkan menjadi pusat perubahan masyarakat atau tempat berlangsungnya revolusi mental (Johanis Ohoitimur, Lokakarya Pendidikan Yayasan Pendidikan Lokon SMP & SMA Lokon St. Nikolaus, 20-21 Juni 2016). Sekolah mengemban tugas dan tanggung jawab melanjutkan pendidikan dasar yang diberikan di dalam keluarga. Oleh karena pentingnya tanggung jawab ini, maka sekolah perlu ada perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan karakter secara terpadu.

Salah satu sekolah yang berupaya untuk mengimplementasikan pendidikan karakter adalah SMA Kristen 2 Binsus Tomohon (kata Binsus adalah singkatan dari Binaan Khusus). Sekolah ini bernaung di bawah Yayasan GMIM Ds. A.Z.R. Wenas dan terletak di jalan Kampus, Talete Dua Kota Tomohon.

Kata ‘binsus’ menandakan bahwa siswa-siswi SMA Kristen 2 Tomohon dididik dan dibina secara khusus baik di sekolah maupun di asrama. Semua siswa diwajibkan tinggal di asrama agar proses binaan khusus yang meliputi aspek intelektual dan karakter dapat terlaksana secara terpadu. Ciri khas lain yang dimiliki oleh sekolah ini adalah penampilan para siswanya. Keseragaman diatur dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tidak hanya pakaian yang harus seragam, tetapi potongan rambut wanita harus sama pendek dan potongan rambut pria juga harus sama modelnya. Penampilan mereka terlihat sangat rapih dan elegan.

Idealisme pendidikan karakter belum sepenuhnya terlaksana. Berdasarkan observasi sekolah masih menghadapi beberapa masalah atau tantangan, di antaranya seperti berikut ini: (1) Masalah disiplin di dalam kelas. Guru masih menjumpai siswa yang menunjukkan sikap tidak menghargai guru pada saat proses kegiatan belajar berlangsung. (2) Masalah kepedulian siswa terhadap guru. Pada beberapa kejadian, siswa tidak menyampaikan salam selamat pagi/selamat siang kepada guru atau kakak kelas kepada adik kelas. (3) Guru terlambat masuk kelas untuk mengajar. (4) Guru dan pimpinan sekolah belum memiliki persamaan persepsi tentang pendidikan karakter. (5) Siswa belum semuanya menaati aturan atau tata tertib sekolah dan asrama.

Persoalan-persoalan di atas mendorong peneliti untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut dan mendalam tentang manajemen pendidikan karakter pada SMA Kristen 2 Binsus Tomohon. Peneliti berharap dapat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan pendidikan karakter di sekolah ini.

B. Fokus Penelitian dan Rumusan Masalah

Fokus penelitian ini adalah manajemen pendidikan karakter pada SMA Kristen 2 Binsus Tomohon.

Dari fokus penelitian tersebut, dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:

  1. Bagaimana perencanaan pendidikan karakter pada SMA Kristen 2 Binsus Tomohon?

  2. Bagaimana pelaksanaan pendidikan karakter pada SMA Kristen 2 Binsus Tomohon?

  3. Bagaimana evaluasi pendidikan karakter pada SMA Kristen 2 Binsus Tomohon? Apa saja faktor pendukung dan penghambat pendidikan karakter yang dihadapi oleh SMA Kristen 2 Binsus Tomohon?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tentang:

  1. Perencanaan pendidikan karakter pada SMA Kristen 2 Binsus Tomohon.

  2. Pelaksanaan pendidikan karakter pada SMA Kristen 2 Binsus Tomohon.

  3. Evaluasi pendidikan karakter pada SMA Kristen 2 Binsus Tomohon.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoretis dan praktis.

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengembangkan keilmuan dalam bidang manajemen pendidikan dan mengembangkan model pendidikan karakter yang integral-holistik.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada:

  • Pimpinan yayasan sebagai pemangku kebijakan pendidikan dalam merumuskan kebijakan pendidikan karakter.

  • Pimpinan sekolah dan guru dalam merumuskan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan karakter.

  • Menjadi bahan acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

BAB II

ACUAN TEORETIK

A. Deskripsi Teoretik

  1. Manajemen Pendidikan

    1. Konsep Dasar Manajemen

a. Pengertian Manajemen

Kata manajemen secara etimologis berarti “tangan yang melakukan”. Hal ini dikemukakan oleh Husaini Usman (2011:5) sebagai berikut “kata manajemen berasal dari Bahasa Latin, yaitu dari asal kata manus yang berarti tangan dan agere yang berarti melakukan. Kata-kata itu digabung menjadi kata kerja managere yang berarti menangani”. Terjemahan dalam Bahasa Inggris adalah to manage dengan kata benda management. Selanjutnya, kata ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi manajemen.

Dalam perkembangannya, istilah manajemen mendapatkan pengertian yang lebih spesifik dan variatif dari para ahli. Harold Koontz dan Hein Weirich dalam Kambey (2006:2), mendefinisikan manajemen sebagai “proses mendisain dan memelihara lingkungan dimana orang-orang bekerja bersama dalam kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu secara efisien”. Sementara itu, Sanches dalam Kambey (2006:2), mendefinisikan manajemen sebagai “proses mengembangkan manusia”.

Manajemen bukan sekedar proses melakukan sesuatu, melainkan sebagai seni. Mary Parker Follet dalam Sule dan Saefullah (2010:5) menegaskan “manajemen is the art of getting things done through people” (manajemen adalah seni menyelesaikan sesuatu melalui orang lain). Manajemen sebagai proses ataupun seni senantiasa terarah pada suatu tujuan yang hendak dicapai dan melalui tahapan-tahapan yang pasti, yakni perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Nickels dkk. dalam Sule dan Saefullah (2010:6). Mereka mengemukakan pengertian manajemen sebagai “the process used to accomplish organizational goals through planning, organizing, directing, and controlling people and other organizational goals” (proses yang digunakan untuk mencapai tujuan organisasi melalui perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengontrolan orang dan tujuan organisasi lainnya).

Definisi dari kata manajemen ternyata banyak, tergantung pada persepsi masing-masing ahli. Namun, terdapat salah satu definisi klasik tentang manajemen yang dirumuskan oleh George Terry (dalam Indrajit dan Djokopranoto, 2011:315), yakni “management is a distinct process consisting of planning, organizing, actuating, and controlling, performed to determine and accomplish stated objectives by the use of human beings and other resources”. Dari kutipan ini ditegaskan manajemen sebagai suatu proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengontrolan melalui orang atau sumber daya lain untuk mewujudkan tujuan. Proses yang dikemukakan Terry inilah yang secara populer dikenal dengan istilah POAC (planning, organizing, actuating, controlling).

Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh para ahli di atas, maka manajemen dapat diartikan sebagai suatu proses yang terdiri dari rangkaian kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien.

b. Fungsi Manajemen

Hasibuan (2005:37) menegaskan “pembagian fungsi-fungsi manajemen bertujuan agar sistematik urutan pembahasannya lebih teratur, analisis pembahasannya lebih mudah dan mendalam, dan sebagai pedoman bagi manajer dalam melaksanakan proses manajemen”. Adapun fungsi manajemen terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian/pengawasan. Pemahaman dari setiap fungsi dapat dideskripsikan sebagai berikut:

1. Perencanaan

Perencanaan merupakan suatu proses memikirkan dan menetapkan secara matang arah, tujuan dan tindakan sekaligus mengkaji berbagai sumber daya dan metode yang tepat. Gibson (dalam Sagala, 2010:56) mengemukakan pengertian perencanaan sebagai berikut “perencanaan mencakup kegiatan menentukan sasaran dan alat yang sesuai untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan”.

Sergiovanni (dalam Sagala, 2010:57) menegaskan: “plans are guides, approximation, goal post, and compass setting not irrevocable commitments or dicision commandments”. Artinya perencanaan yang dibuat secara matang akan berfungsi sebagai kompas atau penunjuk arah untuk mencapai tujuan organisasi.

Lebih lanjut Mulyati dan Komariah (dalam Tim Dosen Universitas Pendidikan Indonesia, 2011:93-95) mengemukakan fungsi perencanaan sebagai berikut:

  1. Menjelaskan dan merinci tujuan yang ingin dicapai.

  2. Memberikan pegangan dan menetapkan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.

  3. Organisasi memperoleh standar sumber daya terbaik dan mendayagunakan sesuai tugas pokok fungsi yang telah ditetapkan.

  4. Menjadi rujukan anggota organisasi dalam melaksanakan aktivitas yang konsisten prosedur dan tujuan.

  5. Memberikan batas kewenangan dan tanggung jawab bagi seluruh pelaksana.

  6. Memonitor dan mengukur berbagai keberhasilan secara intensif sehingga bisa menemukan dan memperbaiki penyimpangan secara dini.

  7. Memungkinkan untuk terpeliharanya persesuaian antara kegiatan internal dengan situasi eksternal.

  8. Menghindari pemborosan.

Aktivitas perencanaan dimulai dengan meramalkan hasil yang akan dicapai hingga menetapkan prosedur. Selengkapnya Syafi’i (dalam Kompri, 2015:18) mengemukakan aktivitas perencanaan sebagai berikut:

    1. Meramalkan proyeksi yang akan datang.

    2. Menetapkan sasaran serta mengkondisikannya.

    3. Menyusun program dengan urutan kegiatan.

    4. Menyusun kronologis jadwal kegiatan.

    5. Menyusun anggaran dan alokasi sumber daya.

    6. Mengembangkan prosedur dalam standar.

    7. Menetapkan dan menginterpretasi kebijaksanaan.

Perencanaan dapat dibuat berdasarkan jangka waktu tertentu. Sagala (2010:57) mengemukakan “perencanaan dapat dibagi menjadi perencanaan jangka pendek, menengah, dan panjang”. Perencanaan jangka pendek, misalnya satu minggu, satu bulan, satu semester dan satu tahun, perencanaan jangka menengah yaitu perencanaan yang dibuat untuk jangka waktu tiga sampai tujuh tahun, dan perencanaan jangka panjang dibuat untuk jangka waktu delapan sampai dua puluh lima tahun.

2. Pengorganisasian

Mengorganisasikan adalah proses mengatur, mengalokasikan dan mendistribusikan pekerjaan, wewenang, dan sumber daya di antara anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Stoner (dalam Tim Dosen UPI, 2011: 94) menyatakan bahwa mengorganisasikan adalah “proses mempekerjakan dua orang atau lebih untuk bekerjasama dalam cara terstruktur guna mencapai sasaran spesifik atau beberapa sasaran”. Hal serupa dikemukakan oleh Fattah (2006:71). Menurutnya, salah satu karakteristik sistem kerjasama dalam organisasi adalah “ada komunikasi di antara orang yang bekerjasama, individu mempunyai kemampuan untuk kerjasama, dan ditujukan untuk mencapai tujuan”. Dengan adanya komunikasi, maka kerjasama dapat dilaksanakan dan peluang untuk mencapai tujuan organisasi semakin besar.

Selanjutnya, Marno (dalam Kompri, 2015:22) mengemukakan tahap-tahap pengorganisasian meliputi: “sasaran, penentuan kegiatan-kegiatan dan pengelompokannya, pendelegasian wewenang, rentang kendali atau penetapan jumlah personil, perincian peranan perorangan, tipe organisasi, dan bagan organisasi”. Mengorganisasikan adalah tugas dari manajer. Sejak awal pengorganisasian, manajer harus mengetahui tujuan organisasi yang ingin dicapai, merumuskan dan mengelompokan kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan, dan menetapkan batasan terhadap wewenang, tugas serta tanggung jawab personil.

3. Pelaksanaan

Pelaksanaan atau pengimplementasian merupakan proses implementasi program sebagaimana telah ditentukan dalam kegiatan perencanaan dan berkaitan erat dengan proses memotivasi. Ernie Tisnawati Sule dan Kurniawan Saefullah (2010:8) mengemukakan, “pengimplementasian atau directing adalah proses implementasi program agar bisa dijalankan oleh seluruh pihak dalam organisasi serta proses memotivasi agar semua pihak tersebut dapat menjalankan tanggung jawabnya dengan penuh kesadaran dan produktivitas tinggi”.

Proses memotivasi dalam aktivitas pelaksanaan berarti upaya menggerakkan setiap anggota untuk mengimplementasikan apa yang sudah direncanakan sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Hal ini ditegaskan oleh Terry (dalam Kambey 2006:70), “Actuating is setting all members of the group to want to achieve and to strike to achieve the objective willingly and keeping with the managerial planning and organizing the efforts”. Dari kutipan ini pelaksanaan berarti upaya mengatur setiap anggota kelompok agar memiliki keinginan dan usaha untuk mencapai tujuan sebagaimana telah diatur dan diusahakan oleh organisasi.

Kompri (2004:24) menegaskan, “cara terbaik untuk menggerakkan para anggota organisasi adalah dengan cara memberikan komando dan tanggung jawab”. Komando dan tanggung jawab disertai dengan petunjuk-petunjuk yang jelas dari pemimpin akan mendorong para anggota melaksanakan tugasnya dengan baik menuju tercapainya tujuan bersama.

4. Pengawasan

Pengawasan merupakan upaya untuk mengukur ketercapaian suatu kegiatan. Pengawasan berkaitan dengan proses menilai apakah kegiatan yang telah dilaksanakan sudah sesuai dengan rencana dan seberapa jauh tujuan organisasi telah dicapai. Kambey (2006:117) mengemukakan “pengawasan bertujuan untuk memperoleh masukan apakah pelaksanaan dan hasil yang sudah dicapai sudah sesuai dengan perencanaan”. Dengan kata lain melalui aktivitas pengawasan dapat diketahui apakah hasil yang dicapai itu berupa keberhasilan atau kegagalan dan apakah faktor pendorong atau faktor penghambatnya?

Sagala (2010:65) merangkum beberapa pengertian pengawasan dari beberapa pakar berikut:

(1) Oteng Sutisna menghubungkan fungsi pengawasan dengan tindakan administrasi. Baginya pengawasan dilihat sebagai proses administrasi melihat apakah apa yang terjadi itu sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi, jika tidak maka penyesuaian yang perlu dibuatnya. (2) Hadari Nawawi menegaskan bahwa pengawasan dalam administrasi berarti kegiatan mengukur tingkat efektivitas kerja personal dan tingkat efesiensi penggunaan metode dan alat tertentu dalam usaha mencapai tujuan. (3) Johnson mengemukakan pengawasan sebagai fungsi sistem yang melakukan penyesuaian terhadap rencana, mengusahakan agar penyimpangan-penyimpangan tujuan sistem hanya dalam batas-batas yang dapat ditoleransi.

Dari kutipan di atas, aktivitas pengawasan dipahami sebagai proses administrasi untuk melihat kesesuaian hasil yang dicapai dengan harapan, usaha mengukur tingkat keberhasilan kerja personil, dan upaya penyesuaian kembali dengan apa yang telah direncanakan.

2. Konsep Manajemen Pendidikan

a. Pengertian Manajemen Pendidikan

Istilah manajemen dalam arti luas dipahami sebagai suatu proses kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu melalui kerjasama dengan orang lain. Dalam kaitannya dengan pendidikan, Engkoswara dan Komariah (2010:89) mengemukakan manajemen pendidikan sebagai suatu upaya mencapai tujuan pendidikan melalui aktivitas perencanaan, pengorganisasian, penyusunan staf, pembinaan, pengkoordinasian, pengkomunikasian, pemotivasian, penganggaran, pengendalian, pengawasan, penilaian, dan pelaporan secara sistematis”.

Usman (2011:13) menambahkan tujuan dan manfaat manajemen pendidikan, antara lain:

  1. Terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, menyenangkan dan bermakna;

  2. Terciptanya siswa yang aktif mengembangkan potensi dirinya.

  3. Terpenuhinya salah satu dari 5 kompetensi tenaga kependidikan, yaitu kompetensi manajerial.

  4. Tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.

  5. Terbekalinya tenaga kependidikan dengan teori tentang proses dan tugas administrasi pendidikan.

  6. Teratasinya masalah mutu pendidikan.

  7. Terciptanya perencanaan pendidikan yang merata, bermutu, relevan, dan akuntabel.

  8. Meningkatnya citra positif pendidikan.

Adapun ruang lingkup manajemen pendidikan sebagaimana disebutkan oleh Kompri (2015:98-98) terdiri dari manajemen kurikulum, ketenagaan pendidikan, siswa, sarana-prasarana, keuangan/pembiayaan pendidikan, administrasi/perkantoran, unit-unit penunjang pendidikan, layanan khusus pendidikan, tata lingkungan dan keamanan sekolah, dan hubungan dengan masyarakat.

b. Fungsi Manajemen Pendidikan

1. Perencanaan Pendidikan

Banghart dan Trull dalam Sagala (2010:56) mengemukakan: “Educational planning is first of all a rational process”. Artinya perencanaan pendidikan adalah langkah paling awal dari semua proses rasional. Dalam lingkup satuan pendidikan atau sekolah, perencanaan ini tertuang dalam RKAS (rencana kegiatan dan anggaran sekolah) yang dibuat oleh pimpinan sekolah secara kolaboratif, yakni melibatkan warga sekolah tentang program-program yang akan dilaksanakan baik dalam jangka waktu tertentu, seperti satu minggu, satu bulan, satu semester dan satu tahun, atau lebih dari itu.

Ruang lingkup perencanaan pendidikan menurut Sagala (2010:57) meliputi “administrasi sekolah dalam kurikulum, supervisi, kemuridan, keuangan, sarana dan prasarana, personal, layanan khusus, hubungan masyarakat, fasilitas proses belajar mengajar, dan ketatausahaan sekolah”. Dengan kata lain, melalui aktivitas perencanaan, sekolah menentukan sasaran melalui program-program yang jelas dan terukur.

2. Pengorganisasian Pendidikan

Aktivitas pengorganisasian merupakan aktivitas menentukan siapa yang akan melaksanakan tugas atau bertanggung jawab atas kegiatan-kegiatan yang telah diprogramkan dalam perencanaan, bagaimana menjalin hubungan atau kerjasama satu sama lain agar proses pelaksanaan kegiatan nantinya dapat berjalan sukses.

Sagala (2010:60) menegaskan, “pengorganisasian sekolah adalah tingkat kemampuan kepala sekolah bersama guru, tenaga kependidikan dan personil lainnya melakukan semua proses manajerial”. Artinya, melalui aktivitas pengorganisasian kepala sekolah harus bisa menentukan struktur tugas, wewenang dan tanggung jawab (job description), serta menentukan fungsi-fungsi setiap personil secara seimbang sesuai tupoksi (tugas pokok dan fungsi).

Kompri (2015:101) mengungkapkan aktivitas pengorganisasian meliputi pembidangan dan pengunitan dengan manfaat sebagai berikut: “antara bidang yang satu dengan bidang yang lain dapat diketahui batas-batasnya, diketahui wewenang dan kewajibannya, serta hubungan vertikal dan horisontal dalam jalur struktural maupun jalur fungsional.”

Adapun prinsip yang harus dipenuhi agar tujuan pengorganisasian dapat tercapai menurut Kompri (2015:102) antara lain memiliki tujuan yang jelas yang dipahami dan diterima oleh seluruh anggota, dan memiliki struktur organisasi yang menggambarkan adanya satu perintah, keseimbangan tugas, wewenang dan tanggung jawab”.

3. Pelaksanaan Pendidikan

Fungsi pelaksanaan terkandung didalamnya fungsi pengarahan yang menjadi tanggung jawab kepala sekolah. Kompri (2015:102) mengemukakan dalam menjalankan fungsinya kepala sekolah perlu mengadakan (1) orientasi sebelum seseorang memulai melaksanakan tugas, (2) memberikan petunjuk dan penjelasan mengenai pekerjaan yang akan dilakukan, (3) memberikan kesempatan untuk berpartisipasi berupa pemberian gagasan, usul atau saran, (4) mengikut sertakan guru dan pegawai, dan (5) memberikan nasehat dan motivasi.

Selanjutnya dalam fungsi pelaksanaan terdapat juga aktivitas pengkoordinasian. Menurut Sagala (2010:63) koordinasi dapat diwujudkan melalui:

(1) konferensi atau pertemuan lengkap yang mewakili unit kerja di sekolah, (2) pertemuan berkala untuk pejabat-pejabat tertentu, (3) pembentukan panitia gabungan, (4) pembentukan badan koordinasi staf untuk mengkoordinir sekolah, (5) mewawancarai personil sekolah berkaitan dengan tugas dan tanggungjawabnya, (6) memorandum atau instruksi berantai, (7) ada dan tersedianya buku pedoman organisasi.

Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pendidikan berlangsung melalui aktivitas mengarahkan setiap komponen sekolah melalui pengkoordinasian atau komunikasi secara terus menerus untuk memastikan terlaksananya kegiatan sesuai dengan yang diharapkan.

4. Pengawasan Pendidikan

Sagala (2010:65) mengemukakan, “pengawasan adalah salah satu kegiatan mengetahui realisasi perilaku personal sekolah dan apakah tingkat pencapaian tujuan pendidikan sesuai yang dikehendaki, kemudian dari hasil pengawasan apakah dilakukan perbaikan”. Aktivitas pengawasan melibatkan beberapa pihak, yaitu: kepala sekolah untuk pengawasan sekolah, supervisor untuk pengawasan layanan belajar, dan tenaga kependidikan yang berwenang untuk pengawasan layanan teknis kependidikan.

Pengawasan bisa berlangsung secara internal oleh kepala sekolah melalui kegiatan supervisi struktural ataupun klinis, dan eksternal oleh supervisor atau pengawas dari dinas pendidikan setempat. Di samping itu, dikenal juga model pengawasan akreditasi yang dilakukan oleh badan akreditasi yang menilai seluruh aktivitas sekolah berdasarkan kedelapan standar pendidikan (kompetensi lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan).

Mockler (dalam Kompri, 2015: 106) mengemukakan langkah-langkah dalam menyusun pengawasan sebagai berikut:

  1. Memetakan standar dan metode mengukur prestasi kerja dimulai dari menetapkan tujuan atau sasaran secara spesifik dan mudah diukur.

  2. Pengukuran prestasi kerja secara berulang melalui pengamatan langsung atau penggunaan instrumen survey yang berisi indikator efektivitas kerja.

  3. Menetapkan apakah prestasi kerja sesuai dengan standar.

  4. Mengambil tindakan korektif bila hasil pengukuran menunjukkan terjadi penyimpangan-penyimpangan.

Kompri (2015:106) menegaskan “pengawasan secara umum bertujuan untuk mengendalikan kegiatan agar sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan”. Dengan kata lain, melalui pengawasan apa yang telah ditetapkan dalam rencana dan program, pembagian tugas dan tanggung jawab, dan pelaksanaannya senantiasa dipantau dan diarahkan sehingga tetap berada pada jalurnya demi tercapainya tujuan yang diharapkan.

2. Konsep Pendidikan Karakter

1. Pengertian Pendidikan

Koesoema (2010:23) mengemukakan, “secara etimologis, kata pendidikan berasal dari dua kata kerja yang berbeda, yaitu dari kata educare dan educere. Kata educare memiliki konotasi ‘melatih’, ‘menjinakkan’, atau ‘menyuburkan. Pendidikan dipahami sebagai sebuah proses membantu menumbuhkan, mengembangkan, dan mendewasakan, menata, menciptakan budaya dan keteraturan dalam diri siswa. Pengertian pendidikan seperti ini senada dengan pendapat kaum behavioris seperti Watson dan Skinner (dalam Mudyahardjo, 2001:7) yang menekankan pendidikan sebagai proses perubahan tingkah laku.

Di pihak lain, menurut John Dewey (dalam Muslich, 2011: 67) pendidikan adalah “proses pembentukan kecapakan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia. Sementara itu dalam konteks Indonesia, pengertian pendidikan secara sistematis tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 ayat 1 ditegaskan sebagai berikut:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pengertian pendidikan mencakup keseluruhan aspek kehidupan manusia. Bahkan, pendidikan adalah hidup itu sendiri, sebab pendidikan berlangsung seumur hidup (lifelong education), mencakup segala lingkungan dan situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu (Mudyahardjo, 2001:3).

2. Pengertian Karakter

Secara etimologis istilah karakter berasal dari bahasa Yunani karasso, berarti ‘cetak biru’, ‘format dasar’, atau ‘sidik’ seperti dalam sidik jari. Wynne (dalam Mulyasa, 2011:3) mengemukakan bahwa “istilah karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti to mark ‘menandai’ dan memfokuskan pada bagaimana menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam tindakan nyata atau perilaku sehari-hari.

Menurut Pusat Bahasa (dalam Kemendiknas, 2010:12) karakter diartikan sebagai “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak.” Berkarakter berarti berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan, dirinya, sesama dan lingkungannya dengan cara mengoptimalkan potensi dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya. Musfiroh (dalam Kemendiknas, 2010:12) menambahkan “karakter mengacu kepada serangkaian sikap, perilaku, motivasi dan keterampilan”.

Selanjutnya, Mounier (dalam Koesoema, 2010: 90-91) mengajukan dua cara interpretasi tentang istilah karakter. Pertama, karakter sebagai “sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan dalam diri kita” (karakter bawaan atau given character). Kedua, karakter sebagai “tingkat kekuatan melalui mana seorang individu mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter adalah sebuah proses yang dikehendaki” (willed).

Senada dengan pengertian karakter di atas, Ohoitimur (dalam Rataq dan Korompis, 2011:11), menegaskan bahwa “karakter personal terdiri dari dua unsur yakni karakter bawaan dan karakter binaan”. Karakter bawaan merupakan karakter yang secara hereditas (faktor keturunan) menjadi ciri khas kepribadiannya. Sedangkan karakter binaan merupakan karakter yang berkembang melalui pembinaan dan pendidikan secara sistematis. Dalam pengertian karakter binaan inilah, pendidikan karakter adalah sesuatu yang pasti bisa diwujudnyatakan.

3. Pengertian Pendidikan Karakter

Elkind dan Sweet (dalam Kemendiknas, 2010:13) mengemukakan pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values”. Pendidikan karakter adalah suatu usaha sengaja untuk membantu orang memahami, peduli dan bertindak menurut nilai-nilai etika. Sementara itu menurut Ramli (dalam Kemendiknas, 2010:13), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Dengan kata lain, pendidikan karakter merupakan usaha untuk membentuk pribadi anak, supaya menjadi pribadi, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.

Koesoema (2010:42) mengemukakan bahwa pendidikan karakter sebenarnya dicetuskan pertama kali oleh pedagog Jerman F.W. Foerster (1869-1966). Menurut Foerster terdapat empat ciri dasar pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior melalui mana setiap tindakan diukur berdasarkan hierarki nilai. Kedua, koherensi yang memberikan keberanian melalui mana seseorang dapat mengakarkan diri teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Ketiga, otonomi atau kemampuan seseorang untuk menginternalisasikan aturan dari luar sehingga menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Keempat, keteguhan dan kesetiaan, yakni daya tahan seseorang untuk mengingini apa yang dipandang baik, sedangkan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Lickona (1991:51) menegaskan pendidikan karakter dimengerti sebagai “upaya habituasi atau pembiasaan untuk mengetahui/memikirkan yang baik (moral knowing), menghayati yang baik (moral feeling) dan melaksanakan yang baik (moral action)”. Dalam pengajaran kita kenal dengan ketiga ranah, kognitif, afektif dan psikomotorik.

Pendidikan nilai merupakan bagian dari pendidikan karakter. Namun sering muncul pertanyaan nilai-nilai apa yang harusnya diajarkan oleh sekolah? Lickona (1991:38) mengemukakan tentang nilai-nilai universal, “universal values-such as treating all people justly and respecting their lives, liberty, and equality-bind all persons everywhere because they affirm our fundamental human worth and dignity”. Artinya, nilai-nilai yang diajarkan haruslah nilai-nilai universal seperti memperlakukan orang lain secara adil, menghormati kehidupan, kebebasan, dan kesetaraan sebagai manusia. Nilai-nilai ini melekat dalam diri setiap orang di mana saja karena berkaitan dengan martabat manusia.

Dalam konteks Indonesia, pendidikan karakter perlu didasarkan pada ke-17 nilai karakter bangsa sebagaimana dikemukakan oleh Kemendiknas (2011:19-20), yaitu: “religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, gemar membaca, peduli lingkungan, dan peduli sosial, serta tanggung jawab”.

3. Manajemen Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter yang utuh dan menyeluruh akan terwujud jika dikelola dengan tepat. Pengelolaan yang dimaksudkan di sini terkait dengan fungsi-fungsi manajemen, yaitu perencanaan (planning), pelaksanaan (actuating), dan evaluasi (evaluation) pendidikan karakter di sekolah.

1. Perencanaan Pendidikan Karakter

Penyusunan perencanan pendidikan karakter perlu mengacu pada nilai-nilai yang hendak dicapai, tujuan, bentuk kegiatan, materi, jadwal, fasilitator, pihak-pihak terkait, pendekatan pelaksanaan, evaluasi dan fasilitas pendukung pelaksanaan program pendidikan karakter di sekolah. Perencanaan program dan kegiatan sekolah dilakukan melalui pengembangan dan penyusunan Rencana Kerja Sekolah (RKS) untuk jangka menengah/panjang dan Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS) untuk jangka pendek dan tahunan (Kemendiknas, 2011:105-153).

Perencanaan pendidikan karakter di sekolah dapat didesain dalam tiga basis, yakni kelas, kultur sekolah dan komunitas. Berikut intisari dari pemikiran Koesoema (2012:105-153).

a. Pendidikan karakter berbasis kelas

Desain kurikulum pendidikan karakter berbasis kelas terjadi melalui dua ranah yang berjalan seiring, yaitu instruksional dan non-instruksional. Pertama, ranah instruksional yang dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu bersifat pengajaran tematis dan non-tematis. Pendidikan karakter berbasis kelas instruksional tematis adalah diberikannya materi pembelajaran tertentu tentang pendidikan karakter melalui proses belajar mengajar. Pendidik memilih satu tema tertentu untuk dibahas bersama. Sekolah mengalokasikan waktu khusus untuk pengembangan pembentukan karakter, baik melalui pengajaran tradisional, dialogis, diskusi kelompok, maupun pada pembuatan proyek bersama.

Selanjutnya, pendidikan karakter berbasis kelas instruksional non-tematis. Ini adalah sebuah model pendekatan pembelajaran bagi pembentukan karakter dengan mempergunakan momen-momen pembelajaran yang sifatnya terintegrasi dalam kurikulum, proses pembelajaran dan terkait secara inheren dalam materi pembelajaran. Sebagai contoh konkretnya, guru diminta membuat silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), yang memuat kolom ‘karakter’.

Hal serupa dikemukakan juga oleh Ahmad Tafsir (2009:85). Menurutnya proses pengintegrasian pendidikan karakter dapat melalui beberapa cara berikut:

  1. Pengintegrasian materi pelajaran, yaitu mengintegrasikan konsep nilai-nilai karakter ke dalam materi pembelajaran yang sedang diajarkan.

  2. Pengintegrasian proses, yaitu guru menanamkan teladan kepada siswa dengan nilai-nilai karakter tersebut.

  3. Pengintegrasian dalam memilih bahan ajar, yaitu guru-guru memilih materi yang memuat nilai-nilai.

  4. Pengintegrasaian dalam memilih media pembelajaran, yaitu guru dapat mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam memilih media pembelajaran.

Kedua, ranah non-instruksional bagi pendidikan karakter berbasis kelas tertuju pada penciptaan lingkungan belajar yang nyaman dan kondusif bagi pembentukan atau pengembangan karakter siswa. Penciptaan lingkungan yang dimaksud meliputi manajemen kelas, pendampingan perwalian, dan membangun konsensus kelas.

b. Pendidikan karakter berbasis kultur sekolah

Dalam mengembangkan pendidikan karakter berbasis kultur sekolah, berbagai macam momen dalam dunia pendidikan dapat menjadi titik temu. Momen pendidikan ini dapat bersifat struktural, polisional, dan eventual. Momen pendidikan yang struktural adalah peristiwa yang berkaitan erat dengan proses regulasi dan administrasi sekolah. Momen struktural ini di antaranya adalah proses pembentukan kesepakatan kerja, peraturan yayasan, peraturan sekolah, job description setiap jabatan dan kedudukan.

Momen pendidikan yang bersifat polisional adalah kebijakan pendidikan on the spot yang dilaksanakan secara rutin dan sifatnya tradisional. Kebijakan yang bersifat rutin adalah berbagai keputusan dan tindakan yang diambil dalam kerangka pengembangan mutu sekolah. Misalnya, kebijakan tentang penerimaan siswa baru, ujian sekolah, pengaturan jadwal pelajaran, kegiatan ekstrakurikuler, perwalian dan pengembagan professional guru. Sedangkan, yang bersifat tradisional adalah kebijakan rutin dalam rangka pengembangan pendidikan yang senantiasa berulang setiap tahun, seperti rapat-rapat kerja, pertemuan orangtua murid, penerimaan rapor, dan lain-lain.

Momen pendidikan yang bersifat eventual adalah peristiwa-peristiwa pendidikan yang terjadi secara khas dan muncul karena terjadinya peristiwa tertentu yang merupakan tanggapan nyata sekolah atas peristiwa di luar lembaga pendidikan, dan memengaruhi kinerja lembaga pendidikan. Momen pendidikan eventual ini tidak dapat diprediksi, namun membutuhkan keputusan dan tanggapan langsung dari pihak sekolah untuk menyikapinya.

Di samping itu, menumbuhkan kultur demokratis dalam lingkungan sekolah merupakan salah satu strategi pengembangan pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Beberapa momen yang dapat menjadi praksis strategis pengembangan kultur demokratis di sekolah, di antaranya momen pengembangan diri seperti kelompok diskusi, jurnalistik, karya ilmiah, seni teater, menggambar, perayaan dan kekeluargaan, dies natalis sekolah, atau syukuran kelulusan, apresiasi dan pengakuan akan prestasi orang lain, masa orientasi sekolah, pemilihan para pengurus OSIS, dewan kelas, kebijakan pendidikan, kolegialitas antarguru, pengembangan professional guru dan merawat tradisi sekolah ataupun komite sekolah.

c. Pendidikan karakter berbasis komunitas

Pendidikan karakter berbasis komunitas merupakan upaya untuk merancang berbagai macam corak kerjasama dan keterlibatan antara lembaga pendidikan dengan komunitas-komunitas dalam masyarakat. Tujuannya adalah agar kehadiran lembaga pendidikan semakin bermakna dan bermutu, mampu menjawab aspirasi setiap anggota komunitas tentang harapan mereka, fungsi, dan peran lembaga pendidikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Khan (2010:2) menambahkan perencanaan pendidikan karakter dapat didasarkan pada beberapa tipe konservasi atau pelestarian nilai berikut:

(1) Pendidikan karakter berbasis nilai religius yang bersumber pada kebenaran wahyu (konservasi moral). (2) Pendidikan karakter berbasis nilai budaya, antara lain berupa budi pekerti, pancasila, apresiasi sastra, keteladanan tokoh-tokoh sejarah dan para pemimpin bangsa (konservasi lingkungan). (3) Pendidikan karakter berbasis lingkungan (konservasi lingkungan). (4) Pendidikan karakter berbasis kompetensi diri, yaitu sikap pribadi dan pemberdayaan potensi diri (konservasi humanis).

Ciri khas pendidikan karakter dari setiap sekolah bisa saja berbeda, karena tipe konservasi yang dijadikan dasar nilai tidak sama.

2. Pelaksanaan Pendidikan Karakter

Kemendiknas (2011:23) mengemukakan implementasi pendidikan karakter harus memperhatikan beberapa prinsip berikut:

  1. Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter.

  2. Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku.

  3. Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif.

  4. Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian.

  5. Memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan perilaku yang baik.

  6. Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua siswa, membangun karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses.

  7. Mengupayakan tumbuhnya motivasi diri pada para siswa.

  8. Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama.

  9. Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter.

  10. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter.

  11. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan siswa.

Prinsip-prinsip pendidikan karakter juga dikemukakan oleh Koesoema (2010:218-220) seperti di bawah ini:

  1. Karaktermu ditentukan oleh apa yang kamu lakukan, bukan apa yang kamu katakan atau kamu yakini.

  2. Setiap keputusan yang kamu ambil menentukan akan menjadi orang macam apa dirimu.

  3. Karakter yang baik mengandaikan bahwa hal yang baik itu dilakukan dengan cara-cara yang baik, bahkan seandainya pun kamu harus membayarnya secara mahal, sebab mengandung risiko.

  4. Jangan pernah mengambil perilaku buruk yang dilakukan oleh orang lain sebagai patokan bagi dirimu. Kamu dapat memilih patokan yang lebih baik dari mereka.

  5. Apa yang kamu lakukan itu memiliki makna dan transformatif. Seorang individu bisa mengubah dunia.

  6. Bayaran bagi mereka yang memiliki karakter baik adalah bahwa kamu menjadi pribadi yang lebih baik, dan ini akan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk dihuni.

Di pihak lain Dasyim Budimasyah (dalam Gunawan, 2012: 36) berpendapat bahwa “program pendidikan karakter di sekolah perlu dikembangkan dengan berlandaskan pada prinsip kontinuitas (berkelanjutan), terintegrasi di dalam semua mata pelajaran dan berlangsung secara aktif dan menyenangkan (active learning)”.

Implementasi pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan dengan beberapa metode yang dikemukakan oleh Koesoema (2010:212-217) dan secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut:

  1. Mengajarkan. Pendidikan karakter mengandaikan pengetahuan teoretis tentang konsep-konsep nilai tertentu. Proses ini terintegrasi dalam kurikulum. Cara lain adalah dengan mengundang pembicara tamu dalam sebuah seminar, diskusi, publikasi, dll, untuk secara khusus membahas nilai-nilai utama yang dipilih sekolah dalam kerangka pendidikan karakter bagi para siswa.

  2. Keteladanan. Pendidikan karakter merupakan tuntutan terutama bagi para pendidik sendiri. Guru menjadi teladan dalam sikap dan perilaku yang benar, sehingga ada kesesuaian antara apa yang diajarkan dengan apa yang dilakukan.

  3. Menentukan prioritas. Sekolah perlu menetapkan standar nilai dengan indikator-indikatornya yang jelas dan terukur. Penting untuk menentukan sejumlah perilaku standar yang diketahui dan dipahami oleh segenap komponen sekolah.

  4. Praksis prioritas. Sekolah konsisten dengan verifikasi di lapangan tentang karakter yang ditetapkan. Verifikasi tidak lain adalah penetapan sanksi terhadap pelanggaran atas kebijakan sekolah.

  5. Refleksi. Dengan refleksi dimaksudkan sekolah mengadakan semacam evaluasi untuk menilai capaian keberhasilan ataupun kegagalan dalam implementasi pendidikan karakter.

Di samping kelima unsur di atas, Koesoema pada bukunya yang lain (2012: 70-82) menambahkan berbagai metode berikut:

(a) Menyerambah ke seluruh kehidupan sekolah, (b) prioritas nilai dan keutamaan, (c) mengembangkan tiga dimensi pengolahan hidup, olah pikir, olah hati, olah raga, (d) pengembangan organisasi dan manajemen, (e) pengembangan kultur sekolah yang menumbuhkan (caring community), (f) eksplisit, direncanakan, terpadu, (g) pertumbuhan motivasi individu, (h) pengembangan profesional, (i) kerja sama dengan banyak pihak, (j) terintegrasi dalam kurikulum, (k) memberikan ruang bagi tindakan, (l) kepemimpinan pendidikan berkarakter, (m) sistem evaluasi berkesinambungan.

Metode pendidikan karakter juga dikemukakan oleh Mulyasa (2011: 165) sebagai berikut: “pembiasaan, keteladanan, pembinaan disiplin, hadiah dan hukuman, CTL (Contextual Teaching and Learning), bermain peran (Role Playing) dan pembelajaran partisipatif (Participative Instruction).”

Pada dasarnya terdapat banyak metode atau cara yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan pendidikan karakter. Metode yang paling tepat adalah metode yang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah.

3. Evaluasi Pendidikan Karakter

Evaluasi pendidikan karakter dilakukan untuk memantau, menilai, atau mengukur efektivitas program pendidikan karakter berdasarkan target yang hendak dicapai. Hasil evaluasi akan sangat berguna sebagai feedback atau umpan balik untuk menyempurnakan proses pelaksanaan program pendidikan karakter. Kemendiknas (2011:31-32) menegaskan tujuan evaluasi pendidikan karakter sebagai berikut:

  1. Melakukan pengamatan dan pembimbingan secara langsung keterlaksanaan program pendidikan karakter di sekolah.

  2. Memperoleh gambaran mutu pendidikan karakter di sekolah secara umum.

  3. Melihat kendala-kendala yang terjadi dalam pelaksanaan program dan mengidentifikasi masalah yang ada, dan selanjutnya mencari solusi yang komprehensif agar program pendidikan karakter dapat tercapai.

  4. Mengumpulkan dan menganalisis data yang ditemukan di lapangan untuk menyusun rekomendasi terkait perbaikan pelaksanaan program pendidikan karakter ke depan.

  5. Memberikan masukan kepada pihak yang memerlukan untuk bahan pembinaan dan peningkatan kualitas program pembentukan karakter.

  6. Mengetahui tingkat keberhasilan implementasi program pembinaan pendidikan karakter di sekolah.

Koesoema (2012:200-207) mengemukakan, “sasaran evaluasi pendidikan karakter terdiri dari evaluasi program, evaluasi struktural, evaluasi individual, dan evaluasi komunitas”. Dengan kata lain, sasaran evaluasi adalah seluruh program yang telah dilaksanakan, struktural kelembagaan guna perbaikan sistem dan struktur yang membingkai cakupan tanggung jawab individu, siswa itu sendiri berdasarkan indikator-indikator yang telah ditetapkan dan relasi di antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, orangtua dengan guru, ataupun sekolah dengan masyarakat.

Evaluasi pendidikan karakter bisa juga mengacu pada panduan penilaian sikap yang dikemukakan oleh Kemendikbud (2015:7-13). Penilaian sikap dilakukan secara berkelanjutan oleh guru mata pelajaran, guru Bimbingan dan Konseling, wali kelas dengan menggunakan observasi dan informasi yang valid dan relevan dari berbagai sumber. Selain itu, dapat dilakukan penilaian diri (self assessment) dan penilaian antarteman (peer assessment) dalam rangka pembentukan karakter siswa yang hasilnya dapat dijadikan sebagai salah satu data untuk konfirmasi hasil penilaian sikap oleh guru. Teknik penilaian adalah observasi dengan instrumen jurnal atau lembaran pengamatan yang disertai indikator-indikator pada setiap butir nilai.

Koesoema (2012:207-220) mengemukakan evaluasi pendidikan karakter perlu berdasarkan pada:

Data-data seperti kuantitas kehadiran, ketepatan menyerahkan tugas, menurunnya perilaku kekerasan, kerjasama dengan lembaga lain, prestasi akademis, dihargai kerja keras dan kejujuran, serta persoalan kedisplinan. Dalam melaksanakan evaluasi ini diperlukan sikap yang terbuka, jujur, dan latihan terus menerus dari semua pihak yang terlibat. Metode yang ditawarkan antara lain observasi, penilaian diri, portofolio, refleksi pribadi, kuesioner, wawancara, jurnal, pembuatan indikator-indikator penilaian atau menggunakan standar kendali mutu yang telah dibuat oleh sekolah.

Evaluasi pendidikan karakter harus dilaksanakan secara objekftif artinya berdasarkan pada fakta dan data yang ditemukan dan diungkapkan secara jujur. Untuk itu diperlukan latihan terus menerus dari semua pihak yang terlibat agar terampil dalam menggunakan metode evaluasi yang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah.

B. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian tentang manajemen pendidikan karakter sudah pernah dilakukan oleh beberapa pihak. Pertama, peneletian dengan judul “Manajemen Pendidikan Karakter Siswa Berasrama: Studi Kasus Pada SMA Lokon St. Nikolaus Tomohon” oleh Riny Cintya Kumendong (2012:95-99). Penelitian ini menyoroti tentang bagaimana perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan karakter siswa berasrama. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil sebagai berikut:

(1) Perencanaan pendidikan karakter di SMA Lokon St. Nikolaus Tomohon dibuat oleh masing-masing unit dan sub-unit yang ada di lembaga pendidikan Lokon dan kemudian dirumuskan bersama dalam rapat koordinasi antarunit, yakni sekolah, asrama, dan yayasan. (2) Pelaksanaan pendidikan karakter di SMA Lokon St. Nikolaus Tomohon dilaksanakan dengan cara mengimplementasikan program pendidikan karakter yang telah dirumuskan sebelumnya ke dalam kegiatan konkret sesuai dengan waktu yang ditentukan. Di sekolah pendidikan karakter diintegrasikan dalam tiap-tiap mata pelajaran. Sedangkan di asrama pendidikan karakter dilaksanakan dalam bentuk pembinaan dan pendampingan personal maupun kelompok. (3) Evaluasi pendidikan karakter di SMA Lokon St. Nikolaus Tomohon, dilakukan dengan menggunakan catatan data-data yang secara valid dibuat berdasarkan observasi. Sementara itu, asrama menggunakan rapor yang dengan indikator-indikator yang didasarkan pada tiga nilai utama (motto sekolah dan asrama), veritas, virtus, fides (kebenaran, kebajikan, iman) Nilai pendidikan karakter dibuat dalam bentuk penilaian kualitatif, bukan kuantitatif.

Relevansinya dengan penelitian ini adalah terletak pada konsep dasar manajemen dan fungsi-fungsi manajemen, serta konsep pendidikan karakter yang akan digunakan, diterapkan dan dikembangkan pada lingkungan pendidikan formal seperti sekolah yang merupakan inti dari objek penelitian ini. Perbedaannya terletak pada objek dan lokasi penelitian.

Kedua, Asniyah Nailasariy dalam tesisnya yang berjudul “Manajemen Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran dan Pembudayaan Sekolah (Studi Deskriptif di SD Muhammadiyah Wirobrajan 3 Yogyakarta)” (Yogyakarta: PPS UIN Sunan Kalijaga, 2013) . Hasil penelitiannya adalah sebagai berikut: (1) Manajemen pendidikan karakter yang berlangsung di SD Muhammadiyah Wirobrajan 3 Yogyakarta melalui optimalisasi fungsi manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pengawasan dan tidak lanjut. (2) Pelaksanaan pendidikan karakter di SD Muhammadiyah Wirobrajan terintegrasi dalam semua mata pelajaran, melalui pesan moral, dan pendampingan. Metode yang digunakan adalah keteladanan, pembiasaan, kegiatan ekstrakurikuler, pembudayaan dalam bentuk fisik, dan pembudayaan melalui pemberian reward dan punishment. (3) Implementasi pendidikan karakter di SD Muhammadiyah Wirobrajan mengalami hambatan-hambatan seperti kurangnya komitmen guru dan karyawan dalam pelaksanaan pendidikan karakter, terkendalanya sarana dan prasarana berkaitan dengan pengembangan karakter dan kurangnya partisipasi orangtua dalam pendampingan anak.

Relevansi penelitian ini terletak pada optimalisasi fungsi manajemen dalam perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan pendidikan karakter. Sedangkan perbedaannya terletak pada salah satu rumusan masalah. Penelitian Nailasariy menyoroti semua fungsi manajemen dan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pendidikan karakter, sementara penelitian pada SMA Kristen 2 Binsus Tomohon lebih bertitik tolak pada ketiga fungsi manajemen, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

Ketiga, penelitian yang dibuat oleh Arif Widiatmo dalam Tesisnya dengan judul “Manajemen Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Semarang” (Semarang: IKIP PGRI, 2013). Dari penelitian ini ditemukan beberapa hal berikut: (1) Perencanaan pendidikan karakter di SMA Negeri 5 Semarang melibatkan semua guru. (2) Pengorganisasian pendidikan karakter di SMA Negeri 5 Semarang melibatkan semua komponen sekilah. (3) Pelaksanaan pendidikan karakter di SMA Negeri 5 Semarang terjalin baik karena komunikasi dalam bergaul berjalan baik. (4) Pengawasan terhadap pendidikan karakter di SMA Negeri Negeri 5 Semarang saling bekerjasama seluruh komponen yang ada.

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (Studi Empiris Pada Perusahaan Property dan Real Estate Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

47 440 21

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

PENGEMBANGAN TARI SEMUT BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SD MUHAMMADIYAH 8 DAU MALANG

57 502 20

STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN MALANG KOTA LAYAK ANAK (MAKOLA) MELALUI PENYEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN

73 431 39

SOAL ULANGAN HARIAN IPS KELAS 2 BAB KEHIDUPAN BERTETANGGA SEMESTER 2

12 263 2

PENGARUH HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TERHADAP TINGKAT APLIKASI NILAI KARAKTER SISWA KELAS XI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DI SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

23 233 82

JUDUL INDONESIA: IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA METRO\ JUDUL INGGRIS: IMPLEMENTATION OF INCLUSIVE EDUCATION IN METRO CITY

1 56 92

HUBUNGAN PERHATIAN ORANGTUA DAN MANAJEMEN WAKTU BELAJAR DI RUMAH DENGAN PRESTASI BELAJAR GEOGRAFI SISWA KELAS X IPS SMA NEGERI 3 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2014/2015

11 108 89