PEREMPUANKU SAYANG PEREMPUANKU MALANG Ad

PEREMPUANKU SAYANG PEREMPUANKU MALANG
(Adat Belis Di NTT dan Tantangan Emansipasi Perempuan)*
Oleh Luis Aman

I. Pendahuluan
Dalam satu kesempatan Kegiatan Belajar-Mengajar (KBM) di salah satu SMA
Swasta di kota Maumere, penulis harus menengahi debat sengit siswa/i perihal adat
belis dalam masyarakat lokal. Kelas terpecah menjadi dua kubu. Masing-masing
kubu ‘mati-matian’ mempertahankan pendapatnya dengan argumentasi yang kokoh
dan meyakinkan. Perdebatan itu tidak selesai. Sebagai “pendidik” pun, penulis tidak
boleh ‘menyelesaikan’ perang argumentasi itu, sebab hanya dengan demikian pelajar
dapat mendiskusikan perkara tersebut lebih lanjut.
Naluri intelektual siswa/i SMA memang amat peka menangkap kemelut sosial
budaya yang ada dalam masyarakatnya. Ketika berbicara tentang relasi Hak Asasi
Manusia (HAM) dan budaya lokal, mereka langsung menemukan banyak hal yang
patut dipro-kontrakan. Terhadap adat belis pun siswa/i itu segera bersilang
pendapat. Mereka tidak dapat menutup mata terhadap persoalan budaya yang
sangat kasat mata. Idealisme orang-orang muda seperti ini tentu tak akan mudah
menembus benteng kemapanan adat istiadat yang sudah lama merasuk dan
memberi identitas khas bagi setiap kelompok masyarakat. Akan tetapi, adanya
kesadaran intelektual dan sikap kritis terhadap budaya sendiri amat diperlukan

ketika kita ingin memajukan kebudayaan kita ke arah yang lebih berkualitas,
bermartabat dan lebih membebaskan.
Tulisan ini bermaksud melihat norma dan praktik adat belis dalam
masyarakat patriarkat NTT dari sisi tilik Hak Asasi Manusia serta tantangannya
terhadap upaya emansipasi perempuan. Penulis coba melihat adat belis dari
perspektif yang lebih luas. Pertama-tama akan diperiksa validitas belis itu secara
normatif dan dibahas praktik belis dengan segala bentuk permasalahan HAM-nya.
Kemudian akan ditelaah tantangan bagi proyek emansipasi perempuan yang
ditemukan di dalamnya. Tulisan ini boleh jadi hanya menjadi sampan kecil yang
bergerak berkebalikan dengan arus budaya patriarkat yang mahabesar. Namun ia
menjadi ungkapan mawas diri budaya yang amat patut dan bentuk kritik diri
(autokritik) yang sangat membangun, apalagi bila menjadi bahan permenungan
bersama masyarakat NTT.

1

II. Belis Secara Normatif
2.1 Pengertian dan Tujuan Belis
Belis atau mas kawin atau mahar adalah sejumlah uang, hewan, dan barang
yang diberikan oleh pihak keluarga pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin

perempuan sebagai syarat pengesahan perkawinan.1 Pihak pengantin laki-laki mesti
memberikan belis karena pengantin perempuan akan menjadi bagian dari suku atau
klan mereka. Pengantin perempuan meninggalkan orangtuanya dan melepaskan
keanggotaannya dalam suku orangtuanya untuk masuk menjadi bagian dari suku
suaminya. Karena perpindahan suku ini, maka pihak pengantin laki-laki mesti
membayar sejumlah hewan atau uang atau barang (gading, kain adat, peralatan dari
emas dan lain-lain) kepada pihak keluarga pengantin perempuan. Tiap-tiap daerah
di NTT memiliki bentuk belis yang bervariasi, mulai dari uang, hewan ternak,
hingga barang-barang lain yang dianggap pantas untuk menghargai si anak
perempuan. Di wilayah Lamaholot, Sikka, dan Lio, dikenal belis berupa gading
gajah.2 Di Sumba Barat, selain ternak (kuda, sapi, kerbau, dan lain-lain) juga terdapat
belis berupa sejumlah uang, gading panjang (uma leles/ulu leles), tombak asli (nembu),
pisau asli (teko), marapa (dari mas), tabelo (dari mas), tanghuru ndoka (cincin mas), dan
talapia (gong asli).3 Dalam masyarakat Dawan, Timor, belis disebut dengan istilah
puamnasi-manumnasi (sirih pinang untuk orangtua) atau oe mapatu ai malalo (air panas
dan nyala api), maksudnya adalah imbalan jasa atas kecapaian, kesakitan dan jerih
payah orangtua sejak melahirkan, mendidik dan membesarkan sang anak gadis
hingga ia dewasa. Belis itu antara lain berupa uang perak, gelang perak, uang kertas,
pakaian wanita untuk ibu, pakaian pria untuk ayah, lalu hewan ternah seperti sapi,
dan lain-lain.4 Sementara di Manggarai, belis kini sering memakai hitungan rupiah.

Hal ini dikarenakan persediaan hewan ternak (kuda, sapi, kambing, dan lain-lain)
yang semakin menipis.
Apapun bentuknya, bagaimanapun cara pembayarannya dan seberapapun
besarnya, belis pada hakikatnya bernilai simbolis. Yang diutamakan di dalamnya
bukan besaran nominal uang, barang, dan hewan yang diberikan, melainkan
interaksi kekeluargaan dan penghargaan timbal-balik antara pihak keluarga
pengantin laki-laki dan pengantin perempuan serta keluhuran ikatan perkawinan
antara kedua pengantin. Yang dipentingkan bukan mahal-murah atau besar-kecilnya
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nusa Tenggara Timur, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah
Nusa Tenggara Timur (Kupang: Dinas P dan K NTT, 2003), hlm. 57.
2Ibid. hlm. 58. Bdk. juga, Paulus Nong Susar, Belis Orang Koting sebagai Salah Satu Perwujudan
Martabat Manusia Menurut Pandangan Kristen (SKRIPSI) (Maumere: STFK Ledalero, 1989), hlm. 43-45,
Bernardus Bala Miten, Pengaruh Kerasnya Adat Belis Masyarakat Tanah Boleng bagi Derajat Kaum Wanita
(SKRIPSI) (Maumere: STFK Ledalero, 1994), hlm. 122.
3Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., hlm. 57.
4Ibid. hlm 160.
1

2


harga belis, melainkan cinta, kesediaan, ketulusan dan penghargaan yang diberikan
masing-masing pengantin dan masing-masing pihak keluarga mereka terhadap satu
sama lain, serta nilai mulia dan transendental dalam perkawinan itu.5
Perkawinan bukan hanya urusan dua orang pasangan. Ia adalah urusan
keluarga besar (extended family). Sebab eksistensi seseorang adalah eksistensi sebagai
bagian dari adat istiadat dan keluarga serta suku tertentu. Seorang manusia selalu
lahir dan berada sebagai anggota suku atau klan tertentu. Orang mendapatkan
identitas dirinya dengan menjadi bagian dari suku atau klan atau keluarga itu.
Perkawinan pun bukan hanya mengikat relasi seseorang dengan pasangan hidupnya
melainkan juga relasi antara keluarga dan suku atau klannya dengan keluarga, suku
atau klan pasangan nikahnya.6 Dalam bahasa Sikka terdapat satu ungkapan yang
sangat gamblang melukiskan kesatuan antara kedua keluarga pengantin itu, yakni,
“Ea Daa Ribang, Nopok, Tinu daa koli tokar”, yang berarti “pertalian kekerabatan antara
kedua belah pihak akan berlangsung terus-menerus dengan saling memberi dan
menerima sampai kepada turun-temurun.”7 Belis menjadi simbol persatuan dua
suku dan keluarga yang berbeda. Bukan hanya persatuan antara suami isteri
melainkan juga antara dua keluarga besar, dua suku atau klan. Dengan serah terima
belis, kedua suku dan keluarga resmi memiliki pertalian kekerabatan.
Simbol relasi kekerabatan ini semakin tampak dengan adanya pemberian
balasan dari pihak pengantin perempuan kepada pihak pengantin laki-laki. Dalam

masyarakat adat Lengkosambi-Riung misalnya, pihak perempuan membalas belis
dengan wawi tunun (babi untuk dibunuh), wawi dhadhang (babi untuk dibawa), lipa
dhowik (kai adat bunga) secukupnya, dhea (beras), nepe-lune (tikar bantal).8 Dalam
adat Sikka, pihak perempuan pun membalas pemberian belis itu dengan
memberikan kepada pihak laki-laki beberapa ekor babi, moke (tuak) beberapa puluh
liter, dan sarung akan diberikan kepada semua pembawa belis, baju di dalam sarung
serta kue adat, dan lain-lain.9 Jadi terdapat pemberian timbal balik.
Selain simbol relasi suami-isteri dan pertalian kekerabatan suku atau
keluarga, belis juga adalah simbol penghargaan terhadap nilai luhur perkawinan.
Perkawinan mengalami institusionalisasi dan sakralisasi. Belis adalah salah satu
Bdk. Isidorus Lilijawa, “Tu’a Kesa Wae Laki: Apresiasi Martabat Manusia dalam Simbolisasi
Belis Masyarakat Lengkosambi-Riung” Vox, seri 47/3-4/2003 (Maumere: Seminari Tinggi St. Paulus
Ledalero), hlm. 158-161.
6Stanislaus Niron, Nilai Sosial dan Moral dalam Sistem Pembayaran Belis pada Masyarakat Balawelan
(SKRIPSI) (Maumere: STFK Ledalero, 1989), hlm. 71, 72, 79.
7http://zipoer7.wordpress.com/2009/09/18/perkawinan-adat-masyarakat-sikka-di-provinsi-ntt/,
Diakses, 2 Mei 2010.
8Lilijawa, op. cit., 158.
9Elok Dyah Messwati, “Terobosan Kabupaten Sikka, NTT (3): Kompromi pada Adat dan
Ladang Berpindah” dalam Kompas, Kamis 26 Juli 2007.

5

3

tahap adat yang menunjukkan institusionalisasi dan sakralisasi perkawinan itu.
Setelah perkawinan, seseorang akan mendapat status sosial yang baru, sebagai
suami dan isteri serta sebagai ayah dan ibu. Perkawinan bukan semata-mata perihal
relasi intim dan hidup berkeluarga seorang laki-laki dan seorang perempuan,
melainkan juga menyangkut perubahan status seseorang secara sosial budaya dan
secara individual. Keluarga adalah institusi yang dinilai berharga secara adat karena
fungsi-fungsinya baik fungsi prokreatif, maupun fungsi regeneratif dan edukatif,
serta sebagai komunitas dasar bagi komunitas suku. Perkawinan dan institusi
keluarga pun memiliki unsur sakral. Keduanya bukan semata-mata urusan sosial
manusiawi, melainkan juga sesuatu yang mesti dipertanggungjawabkan kepada
yang transenden.10
Berbasis pada pemahaman tentang nilai simbolik belis ini, kita sampai pada
titik simpul bahwa belis sebenarnya memiliki tujuan-tujuan tertentu yang dalam
pandangan masyarakat tradisional NTT sangat tinggi nilainya. Tujuan-tujuan itu
antara lain: Pertama, belis menjadi tanda bahwa perempuan tidak begitu saja masuk
ke dalam suku suaminya. Perempuan mesti dihargai. Pihak lelaki mesti

menyerahkan sejumlah uang, barang dan hewan untuk meresmikan masuknya sang
perempuan ke suku mereka. Belis dalam hal ini bertujuan untuk menghargai
martabat kaum perempuan. Perkawinan dan relasi kekerabatan berbasis pada
pertukaran perempuan semacam ini. Dalam banyak kelompok masyarakat adat, bila
belis belum dituntaskan, sementara keduanya sudah hidup berkeluarga, maka anakanak yang dilahirkan pun belum layak masuk dalam klan sang suami. Mereka masih
menjadi anggota suku ibunya. Kendati demikian, pembayaran belis tidak samasekali
memutus rantai relasi sang isteri dengan suku asalnya.
Kedua, belis bertujuan menginstitusionalkan perkawinan dan menghindari
seks di luar pernikahan. Tidak ada perkawinan tanpa belis. Relasi intim seorang
perempuan dan seorang laki-laki hanya diizinkan secara sosial melalui perkawinan
resmi. Dalam masyarakat Sikka, dikenal ungkapan yang terkenal menunjukkan hal
ini, yakni:
Gou wua mai beta wain
bata taa mai heron men

Memetik pinang melamar isteri
mengumpulkan sirih menyebut anak

Ungkapan ini kurang lebih berarti: “untuk memperoleh hak seksual atas isteri,
seseorang harus melalui proses pembelisan yang diawali dengan upacara

peminangan dengan membawa wua/pinang (simbol seksual lelaki) untuk bertemu
dengan “taa”/sirih (simbol seksual perempuan) demi memperoleh keturunan.”11
10
11

Miten, op. cit., hlm. 128-130.
Paulus Nong Susar, op. cit., hlm. 39, 50.

4

Ungkapan ini menegaskan ketakabsahan hubungan intim di luar nikah.
Hubungan intim di luar nikah dianggap sebagai perbuatan tercela, yang dapat
membawa malapetaka bagi seluruh seluruh warga kampung dan segenap anggota
suku. Melakukannya berarti akan menerima hukuman adat, berupa denda-denda
tertentu yang setimpal. Dalam masyarakat yang lebih primitif, orang yang
melakukan hubungan intim di luar pernikahan bahkan bisa dikenakan hukuman
mati.
Ketiga, belis bertujuan menghindari perceraian dan poligami. Dengan adanya
acara serah terima belis, seorang laki-laki dan seorang perempuan dinyatakan
sebagai suami isteri seumur hidup. Beban belis dapat menghindari perceraian dan

poligami baik poligini (lebih dari satu isteri) maupun poliandri (lebih dari satu
suami). Pola pikir masyarakat tradisional menempatkan belis sebagai bukti
keterikatan hubungan sepasang pengantin. Mereka melihat belis sebagai ikatan
nyata bagi ketakterpisahan dan ketunggalan relasi seorang laki-laki dan seorang
perempuan. Dengan adanya belis, seorang laki-laki merasa bahwa isterinya adalah
bagian dari hidupnya seumur hidup. Laki-laki akan merasakan besarnya
pengorbanan ketika mesti menikahi istrinya. Demikian pun sebaliknya, perempuan
akan menginsyafi bahwa laki-laki yang menjadi suaminya telah mengorbankan
sesuatu untuk dapat hidup bersama sepanjang usia hidupnya.12
Dengan adanya tuntutan belis pun, orang tidak terlalu gampang menikahi
lebih dari satu isteri atau suami. Dalam masyarakat tradisional NTT, poligami
(terutama poligini) memang hal yang lazim. Pengaruh Katolik dan Kristen Protestan
perlahan-lahan melenyapkan budaya poligami ini. Kendati demikian, belis
sebenarnya secara tidak langsung sudah menjadi mekanisme adat untuk menekan
angka poligami. Tak mengherankan bila (dalam masyarakat tradisional), lelaki yang
poligini umumnya berasal dari kaum bangsawan atau pemilik tanah, yakni kaum
yang memiliki banyak tanah, hewan serta harta kekayaan lainnya.
2.2 Produk Budaya Patriarkat
Masyarakat adat Belu Selatan, Ngadha dan Tana Ai (Sikka) adalah tiga
kelompok masyarakat adat di NTT yang menganut paham matriarkat. Selain itu,

masyarakat NTT, sebagaimana kebanyakan masyarakat di dunia, berada dalam
lingkaran kultur patriarkat. Adat belis merupakan anak kandung kultur patriarkat
ini. Berikut akan diuraikan pemahaman tentang budaya patriarkat. Namun pertamatama akan dijelaskan pemahaman tentang arti budaya secara umum.
Secara etimologis, kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yang
merupakan bentuk plural dari kata budhi yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’. Di sini

12

Bdk. Lilijawa, op. cit., hlm. 159-160, Niron, op. cit., hlm. 66-70.

5

kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal budi dan karyakarya akal budi manusia.13 Kata ini juga memiliki padanan arti dengan kata Latin
cultura yang dalam bahasa Inggris menjadi culture. Menurut Wilhem Wundt, kata
culture berasal dari kata colere yang berarti mengolah, memelihara dan
mengembangkan. Dari kata ini kita memperoleh istilah cultus deorum (ibadat kepada
dewa-dewa) dan cultus agri yang kemudian menjadi cultus cultura (mengolah tanah),
juga cultura mentis (pengolahan budi). Dengan demikian, arti pertama kata cultura
adalah aktivitas manusia mengolah diri (colit seipsum) demi pengembangan secara
utuh kemanusiaannya. Manusia mengembangkan potensi akal budinya dan

mengaktualkan potensinya itu melalui dan di dalam kebudayaan.14
Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan hasil daya
cipta manusia yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat-istiadat dan kebiasaan apa saja yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat.15 Dari pengertian ini terlihat bahwa kebudayaan pada dasarnya adalah
ekspresi seluruh diri manusia, baik akal, rasa, maupun karsa. Kebudayaan dilihat
sebagai hasil cipta (pikiran), rasa dan karsa (kehendak) manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Dengan cipta, manusia mengembangkan kemampuan alam
pikirnya, yang membentuk ilmu pengetahuan. Dengan rasa manusia menghasilkan
karya-karya seni atau kesenian. Lalu dengan karsa manusia menghendaki
kesempurnaan hidup, kemuliaan dan kebahagiaan, sehingga berkembanglah
kehidupan keagamaan dan kesusilaan.16
Sementara kata patriarkat berasal dari kata Latin, pater yang berarti “bapak”
(kaum lelaki) dan arche yang berarti kuasa atau kekuasaan. Secara etimologis
patriarikat berarti “hak bapak atau kekuasaan bapak.” Kekuasaan kaum bapak
dominan, dan posisi kaum perempuan subordinan.17
Budaya patriarkat adalah pola pikir, sistem dan tata budaya serta kebiasaan
yang menempatkan laki-laki sebagai kaum yang dominan atau kaum yang
mengebawahi kaum perempuan. Semua orang menggolongkan diriya dalam suku
ayah atau lelaki. Bukan ke dalam suku ibu. Ayah atau lelaki menjadi kepala keluarga
dan memiliki kuasa penuh terhadap isteri dan anak-anaknya. Dalam budaya yang
lebih primitif, dominasi laki-laki itu bahkan sampai pada anggapan bahwa lelaki

Pengertian Kebudayaan, http://www.e-dukasi.net/modul_online/MO_56/sej103_04.htm, diakses
21 Februari 2007.
14Frans Ceunfin, Filsafat Budaya (ms) (Maumere: STFK Ledalero, ), hlm. 14.
15Ibid., hlm. 16.
16Pengertian Kebudayaan, loc. cit.
17Sindhunata, Sakitnya Melahirkan Demokrasi (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 58.
13

6

adalah tuan atas perempuan. Kecenderungan yang menganggap laki-laki sebagai
tuan dan penguasa ini disebut kiriosentrisme.18
Struktur budaya patriarkat menempatkan perempuan sebagai makhluk yang
seakan nomor dua secara kodrati. Perempuan dianggap sebagai makhluk lemah, tak
berdaya, halus, lembut, peka, pasrah, emosional, dan oleh karena itu mesti
dilindungi. Sementara laki-laki adalah manusia kuat, berani, gagah perkasa, rasional,
dan mesti melindungi perempuan. Pandangan semacam ini tertanam kuat dalam
pikiran setiap manusia berabad-abad lamanya, sehingga dianggap sebagai sesuatu
yang natural dan tak terpersoalkan. Sejatinya anggapan dan pembedaan semacam
adalah konstruksi budaya. Pembedaan inilah yang orang sebut sebagai pembedaan
gender, yakni pembedaan laki-laki dan perempuan oleh konstruksi sosial budaya
serta pola relasi yang diakibatkan oleh pembedaan itu.19
Adat belis adalah buah dari rahim konstruksi budaya semacam itu. Karena
perempuan adalah kepunyaan lelaki (ayah, saudara, paman), maka perempuan
dapat dipertukarkan. Perempuan dalam adat belis, diposisikan sebagai kaum yang
lemah dan dapat dipindahkan dari suku orangtuanya ke suku suaminya, dengan
ganti rugi sejumlah belis. Belis adalah harga bagi kaum perempuan. Dalam adat
Sikka, dikenal satu ungkapan tentang penghargaan terhadap kaum perempuan,
yakni:
Dua naha nora ling, nora weling
Loning dua utang ling labu welin
Dadi ata lai naha letto -wotter

Setiap wanita mempunyai nilai, punyai harga,
sedangkan sarung dan bajunya juga punya nilai
dan harga,
sehingga setiap lelaki harus membayar20

Pola pikir patriarkat melihat perempuan sebagai yang mesti dibayar dengan harga
tertentu, sebab perempuan akan mengikuti klan dan suku suaminya. Demikian pun
anak-anak yang dilahirkan dari perempuan, mesti mengidentifikasikan dirinya
bukan sebagai bagian dari suku ibunya, melainkan sebagai anggota suku ayahnya.
Belis adalah produk budaya patriarkat. Ia adalah istrumen yang sangat kasat mata
bagi kekuasaan sang ayah (lelaki) dan sukunya atas isteri dan anak perempuan.

Kiriosentrisme adalah turunan dari kyriarki, yang berasal dari kata dasar Yunani kyrios: tuan
dan kata arche: kuasa. Kyriarki berarti kekuasaan tuan. Dahulu, bapak bukan hanya sebagai suami,
melainkan juga sebagai tuan. Kyriarki dengan demikian dipadankan dengan patriarki, hanya saja ia
lebih menekankan unsur dominasi dan ketidakadilan gender yang diakibatkan oleh dominasi lakilaki itu. Kiriosentrisme adalah keberpusatan pada kekuasaan kaum bapak sebagai tuan. Ibid., hlm. 59.
19Ibid.
20http://zipoer7.wordpress.com/2009/09/18/perkawinan-adat-masyarakat-sikka-di-provinsi-ntt/,
Diakses, 2 Mei 2010.
18

7

2.3 Struktur yang Menindas
Adat belis dalam dirinya jelas sangat diskriminatif terhadap perempuan.
Secara struktural, perempuan sudah ditempatkan sebagai manusia yang
dipindahtangankan dari ayah/saudara/paman sang perempuan ke tangan suami dan
keluarga sang suami. Secara normatif, ketiga orang ini menduduki posisi sentral
dalam adat belis. Merekalah yang akan menerima belis dari pihak keluarga laki-laki.
Belis tidak ditujukan untuk sang pengantin perempuan, melainkan bagi keluarga
sang pengantin perempuan.
Ketika orang berbicara tentang budaya, maka orang berbicara tentang
struktur atau sistem budaya dan praktik budaya. Penindasan perempuan bukan
baru terjadi pada tataran praktik, melainkan sudah sejak kebudayaan itu berada
pada ranah nilai atau sistem normatif. Struktur budaya patriarkat dalam dirinya (in
se) adalah struktur yang diskriminatif.21 Ia berpusat pada kekuasaan suami, ayah dan
kaum lelaki umumnya. Struktur semacam ini berangkat dari pola pikir dikotomis
dan dominatif. Laki-laki dan perempuan terbedakan secara kodrati. Pembedaan itu
bersifat hierarkis. Laki-laki dominan, dan perempuan subordinan. Pola pikir yang
menindas itu bahkan ditanamkan secara sosial semenjak seseorang dilahirkan di
muka bumi.
Praktik belis melengkapi penomorduaan perempuan yang bahkan sudah
sejak dilahirkan menjadi bagian dari keberadaan perempuan. Dalam budaya
Manggarai misalnya, ketika seorang anak baru saja keluar dari rahim ibunya, sang
ayah, kakek atau paman yang berada di luar kamar persalinan, akan menyerukan
pertanyaan “ata peang ko ata one?” yang berarti “Orang luar atau orang dalam?”
Kalau anak yang dilahirkan itu adalah laki-laki, maka para perempuan yang
membantu persalinan akan menjawab “ata one” (orang dalam). Sementara bila yang
dilahirkan itu perempuan, maka mereka akan menjawab “ata peang” (orang luar).
Sejak dilahirkan ke dunia, laki-laki dan perempuan sudah dipilah-pilah secara
budaya sebagai orang dalam (milik suku, ahli waris keluarga, penerus keturunan) dan
sebagai orang luar (kaum yang pada waktunya akan pindah tangan ke suku dan
keluarga lain dengan bayaran berupa sejumlah uang, hewan dan barang yang
Inilah yang dinamakan ketidakadilan struktural, yakni ketidakadilan yang dialami masyarakat
karena struktur yang pada hakikitanya menguntungkan satu atau sebagian kelompok dalam
masyarakat sekaligus merugikan kelompok yang lain. Bdk. Frans Magnis Suseno, Etika Politik (Jakarta:
Gramedia, 1988), hlm. 133.
Dalam konteks adat belis, yang tidak adil di sini bukan terutama kaum lelakinya, melainkan
struktur budaya itu sendiri yang memang menomorsatukan kaum lelaki. Hal ini tentu tidak
menafikkan relasi timbal balik antara struktur dan manusia atau masyarakat itu sendiri sebagai subjek
pembentuk struktur. Dengan kata lain, mengatakan budaya patriarkat dan adat belis sebagai bentuk
ketidakadilan struktural tidak bermaksud mengesampingkan tanggung jawab anggota masyarakat itu
sendiri terhadap kenyataan ketidakadilan yang ada.
21

8

disebut belis). Dan sejak hadir di dunia pula, perempuan sudah diposisikan sebagai
orang luar, orang yang akan mengikuti klan suaminya. Inilah realitas kebudayaan
kita yang bagaimanapun juga telah melekat erat dan memberi identitas tipikal dalam
diri setiap individu dalam masyarakat kita.
Penindasan semacam ini juga teramat dirasakan manakala kita menyadari
minimnya ruang perempuan dalam menentukan dirinya dan dalam
mengungkapkan pikiran serta perasaannya. Secara tradisional, tempat perempuan
adalah di dapur. Hanya kaum lelaki yang terlibat dalam pembicaraan adat termasuk
dalam tawar-menawar belis. Kaum perempuan tidak memiliki hak dalam
membicarakannya di forum resmi adat. Mereka hanya bertugas melayani dan
berkewajiban mengiyakan.22

III. Praktik Belis
Setelah menguraikan secara singkat sisi normatif dari adat belis, selanjutnya
akan dipaparkan bagaimana norma belis itu tampak secara lahir dalam masyarakat
NTT masa kini. Ketika zaman berubah dan kesadaran masyarakat makin maju,
apakah adat belis juga turut mengalami reformasi dalam praktiknya?
Menilik realitas, kita justeru semakin terperangah memandang geliat distorsi
adat belis yang pada hakikatnya masih menyimpan keluhuran nilai dan makna itu.
Sisi diskriminatifnya malah tampak semakin radikal. “Teori” bahwa belis adalah
bentuk penghargaan terhadap perempuan dan terhadap relasi kekeluargaan serta
keluhuran nilai perkawinan, jauh panggang dari api. Yang terjadi adalah pasar harga
diri para lelaki dan ajang komodifikasi manusia perempuan. Akibatnya, hak asasi
kaum perempuan pun mengalami pelecehan bertingkat-tingkat.
3.1 Pasar Harga Diri
Ketika kita masuk dalam praktik belis, maka kita akan segera temukan bahwa
mayoritas masyarakat NTT yang berbudaya patriarkat menjadikan belis dan banyak
pusaka adat lainnya sebagai pasar bagi harga diri (kaum lelaki). Substansinya
sebenarnya adalah pola pikir dan mentalitas yang tertanam sudah terlampau lama:
orang merasa gengsinya turun kalau tidak dihormati secara adat. Orang pun merasa
kurang bermartabat bila belis untuk anak, saudari atau kemenakannya tak sesuai
dengan yang diharapkan atau yang ditentukan pihak keluarga. Yang menjadi
patokan bukan martabat perempuan, melainkan harga diri keluarga, khususnya para
lelaki. Kalau belis dikatakan sebagai simbol penghargaan terhadap martabat
perempuan, maka kini hal itu telah tergeser sebagai instrumen untuk menjaga gengsi
laki-laki (ayah, saudara, atau paman si perempuan) semata.

22

Bdk. Bala Miten, hlm. 146-147.

9

Tentang belis, orang biasanya sangat sensitif. Bila pihak keluarga laki-laki
misalnya tidak menunjukkan kerendahan hati saat negosisasi, belis senilai puluhan
bahkan ratusan juta pun tak akan turun. Belis adalah kewajiban yang mesti dipenuhi
seorang laki-laki dan keluarganya. Semakin tinggi status sosial keluarga seorang
perempuan, belisnya biasanya semakin mahal pula.23 Namun, semahal apapun
belisnya, keluarga pengantin pria biasanya akan berusaha keras (kendatipun
kadang-kadang harus berutang) untuk memenuhinya agar dapat dinilai berharga
atau “mampu” di hadapan keluarga pengantin perempuan.24 Adat belis tak pelak
telah menjadi medan adu gengsi yang tak gampang dimengerti.
3.2 Komodifikasi Adat
Kesan menjadikan belis sebagai komoditas ekonomi tak bisa dielak. Adat belis
pun telah banyak termakan motivasi ekonomis. Hal ini tampak dalam sekurangkuranganya tiga fenomena berikut. Pertama, belis yang sangat mahal dan tidak
realistis. Dalam banyak sekali kasus, angka belis sering membuat orang terenyak.
Sangatlah sulit dipahami ketika belis mencapai puluhan sampai ratusan juta rupiah
ataupun puluhan hewan ternak di tengah mayoritas masyarakat NTT yang masih
terbelakang, yang selalu mendapat jatah raskin (beras miskin), yang banyak
warganya mengadu nasib dengan menjadi buruh kasar di negeri orang, yang saban
tahun didera rawan pangan, busung lapar, gizi buruk dan bencana kekeringan yang
mengganyang banyak korban. Tak gampang menemukan nilai-nilai luhur di balik
angka belis yang tidak sepadan dengan situasi riil masyarakat itu.
Kedua, belis sesuai dengan jenjang pendidikan dan pekerjaan anak
perempuan. Hal ini sangat jamak terlihat. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan
pekerjaan seorang perempuan, semakin menjulang pula mas kawinnya.
Kecenderungan ini jelas berbicara tentang komodifikasi adat. Adat dijadikan
komoditi ekonomi. Kalkulasi ekonomis lebih mendapat tempat ketimbang keluhuran
nilai perkawianan. Yang dipertimbangkan adalah seluruh biaya yang telah
dikeluarkan untuk menyekolahkan sang anak perempuan. Dengan demikian,
semakin tinggi jenjang sekolahnya atau semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk
itu, semakin besar pula angka belisnya. Pertimbangan ini sering terselimut begitu
rapi di balik sopan santun negosiasi adat belis, namun serentak akan amat mudah
terlihat manakala menilik kecenderungan umum penetapan belis dalam mayoritas
masyarakat NTT. Secara lebih fundamental ini tentu menjadi contoh yang tepat
tentang masuknya kapitalisme modern dalam kazhanah adat lokal kita. Dalam kadar
23
24

Ibid., hlm. 97.
Elok Dyah Messwati, loc. cit.

10

tertentu, adat istiadat dan pola pikir lokal sebetulnya juga menyiapkan kondisi yang
menyuburkan pertumbuhan kapitalisme modern.
Ketiga, belis tanpa kompromi. Kecenderungan lain yang bermuara pada
tujuan ekonomis adalah penetapan angka belis yang sering tanpa berkompromi
dengan situasi riil (keluarga) pengantin laki-laki. Untuk menetapkan belis biasanya
ada negosiasi. Sangat sering, permintaan pihak keluarga perempuan tak banyak
peduli dengan situasi riil keluarga pengantin laki-laki. Di sini kita temukan ironi.
Saat sudah berkeluarga, banyak anak perempuan yang melarat, sebab banyak harta
sang suami yang telah terkuras untuk mem-belis-inya dan membiayai pesta
perkawinan mereka.
3.3 Diskriminasi Bertingkat-tingkat dan Gurita Persoalan
Menilik adat belis, baik pada tataran sistem maupun pada ranah praktik, kita
akan sampai pada kesimpulan tentang adanya diskriminasi ganda bahkan
bertingkat-tingkat terhadap perempuan. Perkawinan tidak tanpa belis. Itulah norma
budaya patriarkat di NTT. Lalu dalam praktiknya, belis pun mengalami distorsi nilai
yang sangat kasat mata. Belis yang secara normatif sudah sangat determinatif, dalam
praktiknya malah semakin determinatif.
Belis bukan hanya menjadi persoalan dalam dirinya. Beban belis dalam
kenyataannya banyak membawa permasalahan lanjutan. Persolan-persoalan yang
kemunculannya sering berhubungan erat dengan beban belis misalnya banyak
perempuan tidak bisa kawin atau kawin usia tua, kumpul kebo, kemudian kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT). Tentu butuh penelitian khusus mengenai hal ini, tetapi
kenyataan menunjukkan bahwa banyak perempuan yang sulit menikah atau
menikah ketika sudah ‘berumur’ karena beban belis yang terlalu tinggi. Demikian
pun banyak terjadi kasus “kumpul kebo” atau hidup bersama pra-nikah agar
pernikahan itu tidak dibatalkan gara-gara persoalan belis.
Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga pun banyak yang diakibatkan oleh
beban belis. Di NTT angka kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT sangat
tinggi. Data Biro Bina Mitra Polda NTT menunjukkan bahwa sejak tahun 2006
sampai tahun 2009 terdapat 1.580 kasus kekerasan terhadap perempuan. Kasubag
Bimbingan dan Penyuluhan Biro Bina Mitra Polda NTT, Kompol Anthonia Pah
mengatakan, berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan Polda NTT, kasus
kekerasan terhadap perempuan di NTT umumnya dibiangi persoalan konstruksi
sosial dan hirarki sosial dalam masyarakat, budaya belis, minuman keras, tekanan
ekonomi, pria idaman lain (PIL) dan wanita idaman lain (WIL) serta temperamental
masyarakat NTT yang keras.25 Budaya belis menjadi salah satu konstruksi sosial
http://regional.kompas.com/read/2009/10/16/1101077/gila.1.580.kasus.kekerasan.menimpa.wan
ita.ntt, diakses, Minggu, 6 Juni 2010.
25

11

budaya yang turut menjadi kondisi bagi persoalan kekerasan terhadap perempuan
dalam masyarakat. Dalam banyak kasus KDRT, suami yang melakukan kekerasan
terhadap isteri sulit diproses secara hukum karena hal itu dianggap sebagai urusan
internal keluarga, apalagi sang suami merasa bahwa ia sudah membayar belis
kepada keluarga isterinya.

IV. Tantangan bagi Proyek Emansipasi
Uraian tentang konsep dan praktik belis dalam masyarakat NTT menghantar
kita pada muara kesimpulan bahwa belis adalah perkara krusial dari sisi tilik HAM.
Krusialitas persoalan belis itu ditopang oleh tiga alasan mendasar. Ketiganya
sekaligus menjadi tantangan yang serius dalam menegakkan HAM dan dalam upaya
emansipasi perempuan baik pada tataran konseptual maupun aktual. Ketiga hal itu
adalah, (1) kenyataan bahwa budaya belis sudah mengurat akar dan terlampau
mapan, (2) pandangan bahwa belis adalah kekhasan kultural (3) legitimasi unsur
sakral dalam adat belis.
4.1 Mengurat Akar
Tantangan pertama adalah kenyataan pola pikir marsyarakat yang terlampau
mapan dan sulit diubah terkait adat istiadat. Dalam struktur budaya patriarkat,
perempuan tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Semua orang menyadari
hal itu. Kaum perempuan pun menerima itu sebagai kebenaran yang sifatnya
alamiah dan sudah seharusnya (taken for granted). Demikian pun dengan adat belis.
Betapapun berat dan problematisnya, ia tetap menjadi bagian dari identitas diri yang
khas dan tak mudah dilepaskan karena sudah mengurat akar dalam diri setiap
anggota masyarakat.
Meminjam istilah filosof dan semiotisi Prancis, Roland Barthes, belis telah
menjadi mitos yang sulit dilawan.26 Ia menjadi bagian dari mitos patriarkat yakni
Mitos dapat dilihat sebagai kisah simbolis juga sebagai cerita fiktif. Barthes memahami mitos
terutama sebagai cerita fiktif yang dianggap seolah-olah benar, pemikiran palsu yang seakan-akan
betul, keyakinan yang tidak memiliki pendasaran rasional tetapi dianggap rasional, atau menurut
bahasa Barthes sendiri, sebuah “sulap” yang membalik realitas yang historis menjadi seakan-akan
alamiah. Ciri mitos sebagai ‘kisah yang tidak benar namun dianggap benar’ dan fungsinya sebagai
‘instrumen yang diperlukan masyarakat untuk memahami diri dan lingkungan serta untuk integrasi
sosial’, diteoretisasi oleh Barthes dengan menggunakan pendekatan semiotikanya, menjadi teori mitos
Barthesian. Objek kajian teori mitosnya itu adalah mitos-mitos yang berkembang dalam masyarakat
Prancis kapitalis-modern. Sebab bagi Barthes, bukan hanya masyarakat primitif yang dikuasai mitos.
Orang-orang Prancis modern pun diselimuti begitu banyak mitos atau gambaran palsu tentang
realitas. “Sebuah sulap telah berlangsung; sulap ini telah membalik realitas; dia mengeluarkan
sejarah dari realitas dan mengisinya dengan alam....” Roland Barthes, Mitologi., penerj. Nurhadi dan
Sihabul Millah (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), hlm. 208. Kultur patiarkat dan adat belis dapat
dilihat juga sebagai mitos dalam budaya kita. Ia dikonstruksi secara historis, namun kini sering
26

12

mitos keunggulan kaum lelaki yang telah berlangsung berabad-abad lamanya dalam
dunia manusia. Ia menjadi mitos karena identitas historisnya lenyap dari ingatan
kolektif masyarakat dan diterima sebagai sesuatu yang natural dan apa adanya oleh
mayoritas penganutnya. Keterbenaman di dalamnya membuat masyarakat
ketiadaan ruang kritis lagi terhadapnya, karena sebagai mitos, ia mengisi ruang
kesadaran setiap warga. Belis pun seakan-akan tidak punya sejarah dan bukan hal
yang kontingens lagi. Ia dianggap sudah demikian adanya.
Hal ini senada dengan apa yang dipaparkan Sosiolog Èmile Durkheim dalam
teori Fakta Sosial-nya. Menurutnya, kebiasaan-kebiasaan, peraturan-peraturan,
norma-norma, hukum, serta elemen-elemen budaya lainnya, yang merupakan
ciptaan manusia, akan berkembang menjadi suatu realitas objektif atau fakta sosial
yang berada di luar individu. Ia menjadi sesuatu yang telah memiliki jarak dengan
para elemen pembentuk atau pendukungnya. Bahkan fakta sosial itu bisa memaksa
individu bertindak sesuai dengan “keinginannya”. Sifat memaksa ini tidak hanya
untuk seorang individu, tetapi untuk semua anggota masyarakat.27 Adat belis adalah
bagian dari konstruksi budaya yang telah menjadi fakta sosial yang mendeterminasi
itu. Menyederhanakan adat belis dan mengeluarkan unsur-unsur distorsif dari
dalamnya, demi dinamisitas kebudayaan dan untuk menjawabi perkembangan cara
berpikir para penganutnya, tidaklah semudah menyiang ilalang di antara gandum.
Merevisi elemen kultural yang telah mengurat akar dan ‘mendarah daging’ dalam
sebuah masyarakat, dalam rangka menjawabi tuntutan zaman, bukan sebuah usaha
yang gampang.
4.2 Kekhasan Kultural
Tantangan kedua bagi penegakan HAM dan upaya emansipasi perempuan
adalah pandangan bahwa adat belis adalah bagian dari kekhasan dan kekayaan
budaya lokal yang memiliki nilai-nilai luhur yang patut dilindungi. Belis bukan
subkultur, yang relatif mudah dipengaruhi oleh kultur yang membawahinya. Ia
adalah bagian dari identitas kultural yang sangat luas dan besar, yang mencakup
satu kelompok suku, budaya dan masyarakat adat. Ia dianggap sebagai bagian dari
identitas yang melekat dalam setiap kebudayaaan lokal, yang membedakan satu
kelompok budaya dengan kelompok budaya lainnya. Konsep HAM dan emansipasi
ditampik, karena keduanya datang dari Barat dan merupakan khazanah Barat.
Memeriksa khazanah budaya lokal ketimuran dengan kacamata Barat adalah bagian
dari westernisasi, karena itu mesti ditentang.

dianggap masyarakat sebagai keutamaan adat yang seakan-akan bersifat alamiah dan tak patut
dipersoalkan.
27Bdk. Bernad Raho, Sosiologi, Sebuah Pengatar (Maumere: Penerbit Ledalero, 2004), hlm. 2-3.

13

Pandangan semacam ini mendapat tempat dalam diskursus filsafat
postmodernisme. Postmodernisme menolak narasi-narasi besar (grand nartives) dan
membela narasi-narasi kecil (mini naratives). Sejarah-sejarah dan nilai-nilai partikular
lokal dilihat sebagai narasi-narasi kecil yang benar dan berharga dalam dirinya.
Dunia mesti dibebaskan dari narasi-narasi besar seperti liberalisme, kapitalisme dan
rasionalisme yang kerap mentotalisasi kebenaran dan meminggirkan banyak
keluhuran tradisi lokal dan nilai-nilai partikular dalam banyak komunitas manusia.28
Pertentangan antara universalitas HAM dan partikularitas nilai budaya ini
pernah mengemuka dalam KTT PBB tentang HAM di Wina tahun 1991. Perdebatan
terjadi terkait validitas penerapan HAM secara global. Negara-negara industri maju
yang bergabung dalam Kelompok Utara, menekankan pentingnya pengakuan akan
universalitas HAM. Sementara para penguasa negara berkembang dalam Kelompok
Selatan melihat hal itu sebagai suatu bentuk imperialisme dan kolonialisme gaya
baru negara maju atas negara berkembang. Para pemimpin Asia misalnya,
menentangnya atas nama asian values (nilai-nilai budaya lokal Asia seperti
kekeluargaan, harmoni dan sopan santun terhadap yang lebih tua). HAM dianggap
bernuansa individualistis dan liberal.29
Mempertahankan adat belis dengan alasan kekhasan budaya lokal ketimuran,
tentu bisa ditampik secara argumentatif mengingat universalitas konsep HAM
(keluhuran martabat manusia sebagai manusia). Akan tetapi hal itu tidaklah mudah
pada tataran praktik. Sangat dibutuhkan upaya yang serius dan terus-menerus dari
banyak pihak, baik pemerintah, lembaga agama, institusi pendidikan maupun
lembanga-lembaga swadaya masyarakat untuk mengupayakan penyadaran
terhadap masyarakat demi modifikasi adat istiadat ke arah yang lebih
membebaskan.
4.3 Legitimasi Unsur Sakral
Masih berhubungan erat dengan kedua tantangan sebelumnya, adat belis
serta banyak elemen adat istiadat lainnya tak gampang mengalami transformasi
karena legitimasi unsur sakral yang teramat kuat di dalamnya. Belis dan beragam
tahap dan persyaratan lainnya dalam proses perkawinan serta materi-materi belis
Penolakan terhadap metanarasi atau narasi besar ini dikumandangkan terutama oleh
postmodernis Prancis, Jean-François Lyotard. Filsuf inilah yang juga mempopulerkan istilah
postmodernisme. Bdk. Jean-François Lyotard, The Lyotard Reader, diedit oleh Andrew Benjamin
(Oxford and Cambridge: Blackwell Publisher, 1989), hlm. 314-315. Bdk. juga Jean-François Lyotard,
Kondisi (Era) Postmodern, Sebuah Laporan Tentang Pengetahuan, penerj. Novella Parchiano (Yogyakarta:
Panta Rhei Books, 2003), hlm. XXVI.
29Otto Gusti Madung, “Rekonstruksi Diskursus Filosofis tentang Paham Hak-Hak Asasi
Manusia” dalam Frans Ceunfin dan Felix Baghi (eds.), Mengabdi Kebenaran (Maumere: Ledalero, 2005),
hlm. 157.
28

14

dianggap sebagai peninggalan leluhur yang sakral.30 Melanggar dan melewati begitu
saja tahap-tahap itu, apalagi bila dilakukan dengan sengaja, dianggap sebagai
perbuatan terkutuk dan diyakini akan membawa ganjaran tertentu dari nenek
moyang yang telah meninggal dan roh pelindung suku. Masyarakat kita diikat kuat
oleh keyakinan semacam ini. Orang pun merasa sangat bersalah dan akan dicekam
ketakutan yang dalam bila tak mengindahkan salah satu saja dari kriteria adat yang
telah ditentukan. Setiap tahap dalam upacara perkawinan, termasuk tahap
negosisasi dan pembayaran belis, bukan interaksi sosiologis manusiawi belaka.
Secara adat, semuanya adalah momen sakral, momen yang juga dihadiri kekuatan
transenden dan roh leluhur yang telah meninggal. Ada doa yang khusyuk untuk
menghadirkan kekuatan ilahi dalam setiap tahap upacara itu.31
Legitimasi unsur saktral ini pun meliputi legitimasi terhadap pola pikir dan
distingsi konseptual yang ada di balik upacara dan ketentuan adat itu. Bahwa
perempuan mesti dihargai dengan belis, itu adalah hal yang sakral sifatnya. Bahwa
laki-laki yang mesti memberikan mas kawin, itu adalah warisan nenek moyang yang
menjadi satu keutamaan religius. Dengan kata lain, pola pikir patriarkis, keniscayaan
belis dan subordinasi perempuan sesungguhnya mendapat legitimasi unsur sakral.
Legitimasi unsur sakral itulah yang membuat ia tak gampang untuk dilepaskan
begitu saja.

V. Penutup
Berbicara tentang emansipasi perempuan di tengah kultur patriarkat yang
masih sangat ketat dan mapan, bukanlah hal yang mudah. Adat belis adalah anak
kandung kultur patriarkat itu. Baik pada tataran normatif, maupun dalam ranah
praktik, ia sarat dengan problematika HAM. Martabat kaum perempuan mengalami
pembelengguan bertingkat-tingkat. Pembelengguan ini menjadi tantangan pelik bagi
upaya emansipasi perempuan karena merupakan pola pikir dan kebiasaan yang
sudah terlampau mapan dan banal, berbasis pada anggapan bahwa belis adalah
bagian dari khazanah budaya yang memberi identitas tipikal bagi masyarakat lokal,
serta karena legitimasi unsur sakral yang kuat di dalamnya. Buntutnya, hampir
Miten, op. cit., hlm. 128-130.
Dalam masyarakat Sumba, unsur sakral ini sangat tampak dalam pembedaan jenis belis
menjadi belis untuk manusia dan belis untuk nenek moyang (Marapu). Orang membedakan materi
belis menjadi dua bagian besar, yakni Ladi dita (balai atas) dan Ladi wawa (balai bawah). Ladi dita, atau
yang bisa disebut tanggu la hindi (bagian yang di loteng), maksudnya belis yang menjadi bagian
Marapu (leluhur). Materi belis ini selalu disimpan di atas loteng. Sementara ladi wawa atau yang kerap
disebut tanggu la kaheli (bagian di balai-balai), adalah belis bagian manusia, baik untuk paman si
perempuan maupun untuk orangtuanya. Oe H. Kapita, Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya
(Waingapu: Panitia Penerbitan Naskah-naskah Kebudayaan Daerah Sumba, Dewan Pelayanan Gereja
Kristen Sumba, 1976), hlm. 132-133.
30
31

15

semua masyarakat dibelenggu pemikiran yang dikotomis dan diskriminatif terhadap
kaum perempuan.
Membangun NTT adalah membebaskan manusia-manusianya dari belenggu
pola pikir yang dikotomis dan diskriminatif semacam itu. Di tengah identitas
kekhasan kebudayaan yang cenderung membelenggu, visi NTT masa depan adalah
membebaskan masyarakat dari keterbelengguan budaya sendiri. Untuk itu, kritik
diri dan introspeksi budaya sendiri kendatipun tak mudah dibuat, mestilah
mendapat tempat dalam keseharian jagad masyarakat NTT. Melakukannya tentu
pertama-tama mesti mengorbankan keberakaran emosional pada apa yang
dianutnya. Namun hanya dengan refleksi, evaluasi dan kritik diri, kita dapat maju
menuju tatanan dunia yang lebih membebaskan.

* Tulisan ini pernah dipublikasikan di Majalah AKADEMIKAVol. 6, Edisi 2,
2009/2010

16