KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM TAYAN

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM TAYANGAN SINETRON TELEVISI INDONESIA TAHUN 2008 1

Darni 2

Abstract

Research results have shown that violence that victimizes women characters in Indonesian TV sinetron is mostly in the the form of psychological abuse, which involves both men and women as the abusers. In the case of polygamy that is often considered hurt leaving a strong psychological impact to women, there were three of fi ve sinetron that were used as the research data,i.e. Suci, Munajah Cinta, and Cinta Bunga. In spite of the attempt a man like the character Atar to be fair and just to his wives, women are often the victims. One main reason of confl icts and violence between women is their unwillingness to share their husband’s love with another woman. It is interesting to fi nd that, for the sake of a man’s love or worldly privileges, women characters are abused by other women as refl ected in those sinetron, with polygamy as the root of the violence. Two characters, Amelia and Wilda, for instance, plot a murder of their husbands’ other wife, respectively, in order to gain full control over the husband. Those events imply that polygamy has the potential to cause anxiety and violence to women.

Key words: motive, attitude, character perempuan.

A. Pendahuluan

Saat ini pertelevisian Indonesia dibanjiri oleh mode tayangan sinetron. Sinetron, berbentuk drama bersambung yang ditayangkan setiap hari atau setiapminggu di layar televisi Indonesia. Hampir setiap setasiun televisi menayangkan sinetron. Memang ada suatu mode untuk menyamai atau meniru tayangan setasiun lain, sehingga suatu model tayangan akan disiarkan oleh beberapa setasiun televisi. Selain sinetron, tayangan yang memiliki kemiripan misalnya, tayangan lomba menyanyi, seperti dangdut mania, super mama, super soulmate, Indonesian Idol, Akademi Fantasi, Idola Cilik, Kecil-kecil Cabe Rawit, dan sebaginya.

Tidak hanya model tayangannya saja yang mirip, tema yang disuguhkan juga memiliki model yang sama. Saat ini tema-tema poligami disuguhkan oleh beberapa setasiun televisi.

1 Diterbitkan di Jurnal Lentera, Pusat Studi wanita Unesa, Vol.4, No.2, Desember 2008 2 Dra. Darni, M.Hum. sfat akademis di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya.

Malam hari merupakan waktu vavorit untuk tayangan tersebut. Mulai jam

18.00 sampai tengah malam, selalu ada sinetron. Bahkan tidak hanya malam hari, siang haripun pemirsa masih dapat menikmati tayangan yang terlewat pada alam hari. Disediakan tayangan ulang pada siang hari. Di sisi lain, waktu tayang yang bersamaan, mendorong pemirsa memindah-mindah cenel televisi untuk menikmati tayangan lain di saat iklan lewat.

Sebagai sebuah topik cerita, perempuan memang merupakan topik yang menarik dibicarakan dalam karya sastra. Nama seorang perempuan sering dijadikan judul sebuah cerita, baik novel maupun judul sinetron. Tidak hanya dalam karya- larya populer yang mengekploitasi perempuan sebagai bumbu penyedap sebuah cerita. Dalam karya serius pun tidak jarang nama perempuan dijadikan sebuah judul cerita.

Sementara itu, di seluruh dunia, di belahan bumi mana pun, perempuan pada umumnya menerima perlakukan yang tidak adil dibanding dan oleh pria. Deskriminasi dan kesewenang-wenangan tersebut menurut Hassan (2004:x) bersumber dari budaya patriarkhi yang berurat dan berakar sangat kuat dan disosialisasikan secara turun menurun dalam praktek kehidupan dalam masyarakat. Menurut Herkiswono (2000:76) patriarkhi sebagai struktur yang menderogasi perempuan, yang dalam kenyataannya tergambar dalam kebijakan pemerintah maupun perilaku masyarakat. Diskriminasi tersebut terjadi dalam segala bidang kehidupan. Dalam dunia kerja misalnya, menurut Lopez (1996:viii) bahwa wanita seringkali bekerja tanpa bayaran, jika pun dibayar, mereka mendapatkan upah lebih sedikit dari pada pria. Wanita mengahadapi kekerasan yang semakin tinggi dikarenakan gender mereka. Tidak sedikit dari mereka menjadi korban kekerasan.

Dalam masyarakat Jawa, menurut beberapa pengamat, perempuan Jawa juga mengalami diskriminasi. Perempuan semata-mata sebagai obyek dan tidak diberi kesempatan berinisiatif. Hal tersebut sudah melegenda dalam ungkapan Jawa seperti: wanita iku swarga nunut neraka katut , yang artinya perempuan selalu dibelakang laki- laki, termasuk di kehidupan ‘mendatang’, perempuan mesti mengikuti suaminya ke neraka, dan hanya sebagai angka ikut apabila suaminya bisa mendapatkan surga. Selain itu perempuan hanya dipandang sebagai pelengkap pengesahan kewibaan laki- laki dalam empat istilah berikut : wisma, curiga, turangga, lan wanita (Harri,

1981:23). Perempuan merupakan salah satu benda di antara empat benda yang harus dimiliki laki-laki, yakni rumah, senjata, dan kendaraan. Dengan memiliki tiga benda tersebut dan perempuan maka lengkaplah kekuasaan dan kewibawaan seorang laki- laki. Dalam perjodohan pun perempuan juga mengalami diskriminasi. Menurut pengamatan beberapa pengamat, mereka mencatat bahwa sebagian besar perempuan menikah dengan dijodohkan. Dalam kehidupan rumah tangga pun perempuan memikul beban mengurus rumah tangga, suami, dan anak-anak mereka (lihat Koentjaraningrat, 1984; Geertz, 1989; dan Kartodirdjo, 1993). Sampai saat ini pun masih banyak perempuan, terutama yang tinggal di pedalaman dan pedesaan, masih dijodohkan dan tidak berhak menolak jodoh yang sudah ditetapkan.

Bertolak dari kenyataan sosio budaya masyarakat Jawa yang menempatkan perempuan sangat diskriminatif seperti itu sangat memberi peluang terjadinya berbagai tindak kekerasan kepada perempuan dalam masyarakat Jawa. Sebuah Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan yang bernama Kalyanamitra , menyebutkan bahwa kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga, 98 % korban penyerangan adalah perempuan (1999:5). Di Jawa Timur, menurut catatan KPPD, tahun 2002 tercatat 429 kasus yang dilaporkan ke kepolisian, dengan 246 korban perkosaan. Kemudian disimpulkan, bahwa rasio satu korban kekerasan terjadi /35 jam (Mufidah, 2004:148). Bahkan dalam tragedi kerusuhan bulan Mei 1998 di Jakarta menurut catatan Wandita (2000:117) terjadi pemerkosaan besar-besaran menimpa para perempuan berdarah Cina dalam sehari.

Berbagai kekerasan terhadap perempuan dalam realita sosial masyarakat Jawa di atas juga tercermin dalam karya sastra, termasuk sinetron. Pernyataan tersebut berangkat dari asumsi bahwa karya sastra adalah cerminan kehidupan masyarakatnya. Karya sastra tidak lahir dari kekosongan, melainkan dilatari oleh sosio budaya masyarakat yang menghasilkananya (Damono, 1979; Sugihastuti, 2001). Jauh sebelumnya juga telah dikemukakan oleh Swingewood (1972:19) bahwa karya sastra mencerminkan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat. Maraknya tema poligami dalam tayangan televisi Indonesia juga tidak lepas dari berita-berita hangat yang menghiasi media massa di Indonesia. Mulai dari kyai sampai politikus, sekarang tidak segan-segan melakukan poligami. Melalui penelitian ini akan diungkap berbagai kekerasan yang menimpa perempuan dalam Berbagai kekerasan terhadap perempuan dalam realita sosial masyarakat Jawa di atas juga tercermin dalam karya sastra, termasuk sinetron. Pernyataan tersebut berangkat dari asumsi bahwa karya sastra adalah cerminan kehidupan masyarakatnya. Karya sastra tidak lahir dari kekosongan, melainkan dilatari oleh sosio budaya masyarakat yang menghasilkananya (Damono, 1979; Sugihastuti, 2001). Jauh sebelumnya juga telah dikemukakan oleh Swingewood (1972:19) bahwa karya sastra mencerminkan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat. Maraknya tema poligami dalam tayangan televisi Indonesia juga tidak lepas dari berita-berita hangat yang menghiasi media massa di Indonesia. Mulai dari kyai sampai politikus, sekarang tidak segan-segan melakukan poligami. Melalui penelitian ini akan diungkap berbagai kekerasan yang menimpa perempuan dalam

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, kekerasan dalam fiksi Jawa modern perlu dicermati dengan segera. Ada 5 permasalah yang akan dipecahkan dalam penelitian ini berkaitan dengan kekerasan dalam fiksi Jawa modern. Kelima permasalahan tersebut seperti diuraikan di bawah ini.

1) Bagaimanakah gambaran kekerasan terhadap perempuan dalam fiksi sastra Jawa modern? Permasalahan pertama ini di samping mengungkap gambaran kekerasan yang telah terjadi juga mengetahui sejauh mana kekerasan itu menimpa perempuan dalam tayangan sinetron televisi Indonesia.

2) Kondisi apa yang melatari terjadinya kekerasan yang menimpa perempuan dalam tayangan sinetron televisi Indonesia. Dengan mengetahui latar belakangnya, diharapkan akan diketahui pula akar permasalahan kekerasan yang menimpa perempuan.

3) Sikap dan tindakan apa yang dilakukan tokoh-tokoh perempuan fiksi sastra Jawa modern dalam menghadapi kekerasan yang menimpa dirinya.

B. Kajian Pustaka

1. Kedudukan Perempuan dalam Masyarakat

Perempuan dan laki-laki memang berbeda secara fisik dan kodrat. Tetapi perbedaan itu tidak hanya berhenti sampai kedua hal tersebut, pada umumnya perempuan dianggap lebih rendah dari pada laki-laki. Menurut seorang ahli psikologi, Jean Baker Miller, dengan keunggulan tenaga dan bentuk tubuh laki-laki dipandang lebih dominan dari pada perempuan, sehingga pihak dominan menguasai dan memandang perempuan sebagai inferior. Berkaitan dengan kekurangan tersebut, pria memberikan kepada laki-laki sejumlah sifat yang menyenangkan pria, misalnya sikap menyerah, pasif, penurut, ketergantungan, kurang inisiatif, dan ketidakmampuan bertindak. Kodrat melahirkan yang tidak dimiliki laki-laki, menyebabkan laki-laki memandang bahwa perempuan harus mengurus keluarga dan rumah (Djajanegara, 2000:65-7). Posisi perempuan sebagai pihak yang inferior menurut Simmel (Djajanegara, 1987:64) juga disebabkan negara, hukum, moralitas, Perempuan dan laki-laki memang berbeda secara fisik dan kodrat. Tetapi perbedaan itu tidak hanya berhenti sampai kedua hal tersebut, pada umumnya perempuan dianggap lebih rendah dari pada laki-laki. Menurut seorang ahli psikologi, Jean Baker Miller, dengan keunggulan tenaga dan bentuk tubuh laki-laki dipandang lebih dominan dari pada perempuan, sehingga pihak dominan menguasai dan memandang perempuan sebagai inferior. Berkaitan dengan kekurangan tersebut, pria memberikan kepada laki-laki sejumlah sifat yang menyenangkan pria, misalnya sikap menyerah, pasif, penurut, ketergantungan, kurang inisiatif, dan ketidakmampuan bertindak. Kodrat melahirkan yang tidak dimiliki laki-laki, menyebabkan laki-laki memandang bahwa perempuan harus mengurus keluarga dan rumah (Djajanegara, 2000:65-7). Posisi perempuan sebagai pihak yang inferior menurut Simmel (Djajanegara, 1987:64) juga disebabkan negara, hukum, moralitas,

Ciri-ciri perempuan Jawa sebagian sudah disinggung pada bagian latar belakang. Selain ungkapan-ungkapan tersebut masih banyak pengamatan- pengamatan para alhi yang menunjukkan pandangan masyarakat Jawa yang rendah terhadap perempuan Jawa dalam berbagai bidang kehidupan, seperti dalam perkawinan, pekerjaan, dan pergaualan.

Menurut pengamatan Geertz (1983:59) para gadis dikawinkan pada usia yang terlalu muda. Perkawinan dini itu untuk mencegah agar tidak terjadi sesuatu yang memalukan yang dapat mencoreng nama baik orang tua. Anak gadis yang banyak bergaul dengan lawan jenisnya dikhawatirkan tidak akan mendapatkan suami yang baik dan bertanggung jawab. Pandangan tersebut dalam masyarakat Jawa terungkap pada ungkapan bahwa mempunyai anak perempuan itu bagaikan ancik-ancik ing sapucuking eri (berdiri di ujung duri), maksudnya mempunyai akan perempuan sangat besar tanggung jawab moralnya, harus mengawasinya dengan ketat. Pengamatan Sartono Kartodirdjo (1993:197) juga menunjukkan bahwa perkawinan sangat penting bagi perempuan. Perempuan yang sudah dewasa tetapi belum juga kawin akan mendapat penilaian yang kurang baik, tidak wajar, dan tidak normal, bahkan dianggap rendah. Status janda juga dianggap tidak wajar. Anggapan seperti itu tidak hanya dimiliki oleh perempuan yang tidak berpendidikan. Menurut Mulder (1985:44) perempuan yang berpendidikan tinggi pun juga merasa malu apabila tidak segera menikah. Dominasi laki-laki dalam perkawinan juga dapat dilihat dari sistem poligami. Laki-laki yang bisa melakukan poligami melambangkan potensi yang tinggi akan kejantanan dan wibawanya dalam masyarakat.

Masih berkaitan dengan perkawinan, mengenai kriteria pemilihan jodoh juga ditentukan oleh laki-laki. Perempuan yang baik adalah perempuan yang memiliki bobot, bibit, bebet (asal-usul keturunan, kualitas fisik, dan kekayaan)(Kartodirdjo, 1993:186). Selain ketiga hal di atas, menurut ajaran Mangkunegara IV, seorang laki- laki hendaknya memilih calon isteri yang tariman , yaitu perempuan yang tidak banyak menuntut (Ardani, 1995:207). Di samping anggapan yang rendah terhadap perempuan, dalam perkawinan atau rumah tangga banyak perempuan mengalami tindak kekerasan baik secara fisik maupun psikhis. Menurut Murniati (1992:19), hal Masih berkaitan dengan perkawinan, mengenai kriteria pemilihan jodoh juga ditentukan oleh laki-laki. Perempuan yang baik adalah perempuan yang memiliki bobot, bibit, bebet (asal-usul keturunan, kualitas fisik, dan kekayaan)(Kartodirdjo, 1993:186). Selain ketiga hal di atas, menurut ajaran Mangkunegara IV, seorang laki- laki hendaknya memilih calon isteri yang tariman , yaitu perempuan yang tidak banyak menuntut (Ardani, 1995:207). Di samping anggapan yang rendah terhadap perempuan, dalam perkawinan atau rumah tangga banyak perempuan mengalami tindak kekerasan baik secara fisik maupun psikhis. Menurut Murniati (1992:19), hal

Dalam hal pekerjaan perempuan banyak dibedakan dengan laki-laki. Ada sebuah ungkapan Jawa yang menunjukkan bahwa pekerjaan dapur dan rumah tangga adalah pekerjaan perempuan, yaitu pintera njala langit wong wadon iku tetep ana pawon panggonane , maksudnya setinggi apa pun pendidikan perempuan tempatnya tetap di belakang, mengerjakan pekerjaan dapur dan rumah tangga. Dari data yang ada Djajanegara menyimpulkan bahwa meskipun angkatan kerja perempuan sudah menunjukkan angka yang tinggi, namun para pekerja perempuan tersebut sebagian besar terdapat di desa. Sedangkan di kota angka angkatan kerja perempuan kecil, rupanya para perempuan kota banyak yang mengambil peran ibu rumah tangga. Di sektor apa pun jarang perempuan yang menduduki kedudukan pimpinan, sebagian besar dari mereka menduduki pekerjaan sebagai sekretaris, guru, perawat, dan buruh pabrik. Di sektor swasta para pekerja perempuan masih mendapatkan perlakukan yang tidak adil dalam hal pengupahan (1987:239). Meskipun para perempuan sudah ada yang menduduki kursi sebagai wakil rakyat di MPR dan menjadi menteri, namun jumlah mereka tetap sangat sedikit, jauh tidak berimbang dengan laki-laki. Di samping pengupahan dan perlakukan yang tidak adil, banyak perempuan juga mengalami pelecehan seksual sampai pada pemerkosaan di tempat kerja. Ditambahkan oleh Sadli (2000:6) bahwa perempuan hanyalah sebagai pencari nafkah kedua. Pencari nafkah pertama adalah laki-laki. Hal tersebut meruapakan konsekuensi dari penetapan laki-laki sebagai kepala keluarga dalam UU Perkawinan.

Djajanegara (2000) juga mengungkapkan bahwa feminisme di Indonesia sedang lesu. Di bidang organisasi, meski banyak organisasi perempuan saat ini, namun kegiatan mereka tidak ada hubungannya dengan kepentingan perjuangan kaum perempuan. Padahal pada awal abad 20, perkumpulan perempuan seperti Poetri Mardika telah dengan tegas mempunyai tujuan memperjuangkan peningkatan derajat kaum perempuan sejajar dengan laki-laki dan menghilangkan rasa rendah diri perempuan terhadap laki-laki. Sekarang, banyak organisasi perempuan, seperti "Dharma Wanita", "Persatuan Istri Tentara", "Bhayangkari", "Pia Adiagarini", dan perkumpulan-perkumpulan arisan. Perkumpulan-perkumpulan tersebut semuanya tidak berjuang untuk kepentingan kemajuan dan peningkatan derajat perempuan di

mata kaum laki-laki, apalagi melindungi perempuan dari kekerasan suami dan menunutut hak-hak perempuan. Mereka justru mendukung kelancaran kerja dan jabatan suami. Mereka juga berbicara tentang kepentingan perempuan, namun mereka cenderung mendorong dan mendukung suami. Di samping itu para ibu dan gadis muda cenderung mengkonsumsi majalah-majalah wanita yang hanya menyajikan menu-menu masakan, model-model pakaian, dan keperluan-keperluan dapur dan rumah tangga. Majalah-majalah tentang perempuan yang beredar pun hanya majalah populer yang tidak berisi tentang perjuangan hak perempuan dan perlindungan perempuan dari kekerasan. Sederetan majalah populer seperti itu misalnya Nyata, Nova, dan Lipstiks . Bacaan bermutu seperti Jurnal Perempuan justru hanya diminati oleh sekelompok perempuan yang peduli terhadap nasib perempuan. Kegiatan-kegiatan yang mengajak perempuan dan laki-laki untuk memahami gender juga kurang diminati. Menurut hasil kegiatan yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Wanita Unesa (Darni, 2005, 2006, 2007, 2008), bahwa setiap ada kegiatan yang melibatka laki-laki dalam sosialisasi gender, sepi peserta laki-laki. Mereka memandang bahwa gender merupakan urusan perempuan. Padahal, pemahaman perempuan akan perannya yang setara dengan laki-laki membutuhkan kehadiran, kesadaran dan pengertian laki-laki.

Beberapa hal di atas: pola perkawinan, pekerjaan, perkumpulan-perkumpulan, dan majalah-majalah wanita mendukung semakin kuatnya diskriminasi terhadap perempuan. Adanya diskriminasi terhadap perempuan Jawa tersebut tidak berbeda dengan ciri-ciri wanita tradisional yang dikemukakan oleh Ferguson (1981: 6-11), yaitu selalu bergantung kepada pria, lemah, dan bersikap mendorong kemajuan pria sebaliknya merendahkan diri sendiri. Sejumlah peran yang mendukung adanya diskriminasi terhadap perempuan tersebut adalah peran sebagai ibu, isteri, obyek seks, gadis dan janda yang takut sendiri dan kesepian, dan putri yang selalu ingin dilayani. Realita yang menunjukkan kuatnya dominasi laki-laki terhadap perempuan Jawa mendorong semakin suburnya budaya kekerasan terhadap perempuan di berbagai sektor kehidupan.

2. Kekerasan terhadap Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu tindakan nyata akibat adanya diskriminasi terhadap perempuan. Definisi lebih jelas tentang kekerasan terhadap Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu tindakan nyata akibat adanya diskriminasi terhadap perempuan. Definisi lebih jelas tentang kekerasan terhadap

Perkosaan merupakan puncak kekerasan terhadap perempuan. Perkosaan akan meninggalkan penderitaan fisik, psikis, mental pada perempuan. Menurut catatan PPT Provinsi Jawa Timur, dari 247 kasus kekerasan yang masuk, hanya 31 kasus yang merupakan kasus kekerasan seksual. Sedikitnya data tersebut, karena perempuan enggan melapor. Ada pandangan bahwa, melaporkan kekerasan seksual akan menambah beban dan rasa malu perempuan korban kekerasan sesksual. Ada faktor lain yang menurut Arivia (2000) merupakan faktor paling sulit dalam

memerangi “budaya pemerkosa”, yaitu adanya anggapan bahwa kekerasan seksual merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari, merupakan salah satu sisi biologis

manusia. Faktor sosio budaya merupakan faktor utama penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Adanya diskriminasi terhadap perempuan dan sistem patriarkhi, yang memberikan kekuasaan kepada laki-laki, menyebabkan perempuan berada pada posisi yang lemah menjadi sasaran kekerasan. Diungkapkan oleh Funk (2007) bahwa sejak 6000 tahun yang lalu patriarki menaklukkan perempuan, dan terorganisasi dalam dominasi laki-laki. Perempuan menjadi milik laki-laki dan harus berterima kasih atas kebaikan hatinya. Ditambahkan oleh Muhammad (2002:xvi) budaya patriarki, selain menempatkan perempuan pada wilayah marjinal, di sisi lain juga manusia. Faktor sosio budaya merupakan faktor utama penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Adanya diskriminasi terhadap perempuan dan sistem patriarkhi, yang memberikan kekuasaan kepada laki-laki, menyebabkan perempuan berada pada posisi yang lemah menjadi sasaran kekerasan. Diungkapkan oleh Funk (2007) bahwa sejak 6000 tahun yang lalu patriarki menaklukkan perempuan, dan terorganisasi dalam dominasi laki-laki. Perempuan menjadi milik laki-laki dan harus berterima kasih atas kebaikan hatinya. Ditambahkan oleh Muhammad (2002:xvi) budaya patriarki, selain menempatkan perempuan pada wilayah marjinal, di sisi lain juga

Di samping faktor sosio budaya tersebut, faktor individu merupakan penyebab langsung terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Menurut pemantauan Kalyanamitra penyebab kekerasan, terutama kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga adalah: (a) lelaki rendah kepercayaan dirinya, sehingga menghasilkan rasa cemburu yang besar dan ingin mengendalikan isteri; (b) perempuan bergantung secara ekonomis kepada laki-laki, (c) alkohol, sifat keras laki-laki, stres kerja, dan kecemasan karena menganggur (1999:32).

Kekerasan terhadap perempuan banyak terjadi dalam keluarga, selanjutnya dikenal dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 2004, kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga ditegaskan harus ditiadakan. Selengkapnya bunyi Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan tersebut dapat dilakukan laki-laki kepada perempuan dalam keluarga yaitu istri, anak tiri maupun anak kandung, ibu, nenek, kakak, adik, dan saudara.

Kekerasan dalam rumah tangga sebagian besar tidak bisa diungkap atau tidak bisa diatasi. Kasus kekerasan yang terjadi di antara tembok-tembok keluarga yang tertutup ini semakin menjadi gunung es, yang sulit dicairkan. Menurut Hartiningsih (2000:140), hal tersebut disebabkan oleh ketergantungan perempuan kepada suami dan faktor keengganan perempuan untuk melapor. Lebih jauh dijelaskan oleh

Sampurna (2000:55) bahwa keengganan tersebut dikarenakan perempuan merasa malu kepada lingkungannya dan takut akan adanya kekerasan lanjutan akibat dari pelaporan yang dilakukan. Dari sisi hukum, menurut Tomasevski (1993:84) usaha- usaha berbagai negara untuk mengangkat permasalahan kekerasan terhadap perempuan sebagai sebuah bentuk pelanggaran hak azasi manusia selalu mengalami kegagalan. Banyak pihak mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak ada sangkut pautnya dengan hak azasi manusia.

Kekerasan terhadap perempuan tetap berlangsung dan perempuan berusaha bertahan. Banyak alasan yang memojokkan perempuan untuk bertahan dalam siksaan dan tidak melaporkan diri untuk mendapat perlidungan. Kalyanamitra (1999:14) menemukan beberapa sebab mengapa perempuan tetap bertahan dengan kekerasan yang menimpanya, yaitu: (a) takut ancaman dan pembalasan yang lebih kejam apabila diketahui akan meninggalkannya; (b) stigma sosial (cap jelek) sebagai istri yang dipukuli atau menjadi janda; (c) rasa percaya diri rendah (d) untuk kepentingan anak-anak; (e) mencintai suami dan berharap suami sadar; (f) tidak ada tempat lain. Untuk penyebab terakhir ini ditambahkan oleh Ollenburger (2002:232) bahwa apabila para gadis melarikan diri dari siksaan seksual dan fisik di rumah, mereka sering kali berakhir di jalanan, prostitusi, obat bius, dan bentuk penyalahgunaan yang lain.

Struktur sosial masyarakat Jawa yang patriarkhi dan dua prinsip hidup orang Jawa, yakni prinsip rukun, hormat, dan toleransi (Susena, 1991, Handayani, 2004) memberi peluang yang sangat besar atas terjadinya kekerasan terhadap perempuan Jawa. Sistem patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga menyebabkan perempuan tunduk dan di bawah kekuasaan laki-laki. Demikian juga dua prinsip hidup orang Jawa menuntut adanya sikap saling menjaga kerukunan dan keharmonisan hubungan antar manusia Jawa. Prinsip hidup tersebut mendorong perempuan Jawa untuk tetap diam terhadap kekerasan yang diterimanya. Kondisi psikologis tersebut didukung oleh adanya sifat narima yang melandasi setiap upaya yang dilakukan oleh orang Jawa. Jadi meskipun perempuan Jawa banyak mengalami kekerasan dari lawan jenisnya, banyak kontrol sosial yang mengarahkan perempuan untuk tetap diam. Namun karya sastra, khususnya karya sastra Jawa yang memiliki kekhasan mencerminkan kehidupan orang Jawa, memiliki potensi untuk Struktur sosial masyarakat Jawa yang patriarkhi dan dua prinsip hidup orang Jawa, yakni prinsip rukun, hormat, dan toleransi (Susena, 1991, Handayani, 2004) memberi peluang yang sangat besar atas terjadinya kekerasan terhadap perempuan Jawa. Sistem patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga menyebabkan perempuan tunduk dan di bawah kekuasaan laki-laki. Demikian juga dua prinsip hidup orang Jawa menuntut adanya sikap saling menjaga kerukunan dan keharmonisan hubungan antar manusia Jawa. Prinsip hidup tersebut mendorong perempuan Jawa untuk tetap diam terhadap kekerasan yang diterimanya. Kondisi psikologis tersebut didukung oleh adanya sifat narima yang melandasi setiap upaya yang dilakukan oleh orang Jawa. Jadi meskipun perempuan Jawa banyak mengalami kekerasan dari lawan jenisnya, banyak kontrol sosial yang mengarahkan perempuan untuk tetap diam. Namun karya sastra, khususnya karya sastra Jawa yang memiliki kekhasan mencerminkan kehidupan orang Jawa, memiliki potensi untuk

3. Landasan Teori

Pengkajian dalam penelitian ini akan dilakukan secara intrinsik. Sinetron sebagai salah satu bentuk drama memiliki unur pembangun yang tidak jauh dengan fiksi. Secara umum unsur pembangun karya sastra berbentuk fiksi yang bersifat instrinsik meliputi tema, tokoh, alur, latar, dan sudut pandang. Foster (1971:36) dan Kennedy (2002) menambahkan adanya unsur nada dan gaya. Wellek (2002:237) mengemukan tentang unsur inti pembangun fiksi, yakni tokoh, latar dan alur. Unsur pembangun karya sastra yang bersifat intrinsik tersebut ada yang mengelompokkan lagi menjadi bentuk dan isi. Seperti yang dikemukan oleh Wellek (1963:141), bahwa struktur merupakan konsep yang terdiri dari bentuk dan isi yang terorganisasi untuk tujuan estetis. Bentuk dan isi tersebut dipertimbangkan sebagai suatu keseluruhan dari sistem tanda atau struktur tanda yang berfungsi sebagai suatu tujuan estetis yang spesifik. Demikian juga menurut Friedman (1976) dalam bukunya Form and

Meaning in Fiksion, unsur bentuk dan isi pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan, keduanya saling berkaitan dalam mewujudkan makna menyeluruh. Sedangkan unsur pembangun karya sastra secara ekstrinsik berkaitan dengan pengarang, penerbit, dan sosio, budaya, psikologi, agama, dan nilai-nilai yang melatari terciptanya karya sastra. Namun, dalam penelitian ini pengkajian dipusatkan pada unsur intrinsik saja.

Unsur pembangun drama seperti yang dikemukakan oleh Kennedy (2001:838) terdiri dari 3 unsur, yaitu plot, tema, dan karakter. Ketiga unsur tersebut tidak beridir sendiri-sendiri. Ketiganya berkaitan dalam mewujudkan makna yang utuh. Kajian kekerasan dalam penelitian ini akan difokuskan pada unsur tema, yakni tema kekerasan terhadap perempuan, sedangkan unsur yang lain, yakni plot dan karakter akan mendukungnya.

C. Metode Penelitian

1. Desain Penelitian

Penelitian ini berada pada bidang ilmu sastra. Penelitian pada bidang ilmu sastra pada umumnya menggunakan model penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif bukan berarti suatu model penelitian yang mengharamkan data-data statistik. Namun penelitian ini tidak memanfaatkan data-data statistik. Menurut Sukmadinata (2007:60), penelitian kualitatif bertujuan untuk mendiskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok.

Metode yang digunakan dalam penelitian sastra memiliki tiga sifat, yakni deskriptif, analitis, dan komparatif (Aminuddin, 1990:120). Dua metode yang disebut paling awal, digunakan dalam penelitian ini. Di samping memberi penjelasan secara sistematis dari fakta sasaran kajian yang disusun berdasarkan pendekatan, teori, dan cara kerja yang sudah ditetapkan, penelitian ini dilanjutkan tahap analisis dengan menghubungkan hasil diskripsi guna menemukan perbedaan sikap para tokoh perempuan dalam menyikapi kekerasan yang dialami.

2. Sumber Data

Sumber data penelitian ini adalah sinetron yang ditayang di layar televisi Indonesia. Sumber data dibatasi pada sinetron karya cipta anak bangsa. Sinetron hasil dubing dari sinetron manca negara tidak dijadikan sumber data dalam penelitian ini. Tidak semua drama dalam sinetron televisi Indonesia dijadikan sumber data dalam penelitian ini. Sumber data dibatasi berdasarkan fokus penelitian, yaitu sinetron yang memiki nuansa kekerasan.

Setelah dilakukan pengamatan awal, ditentukan 5 judul sinetron yang dijadikan data dalam penelitian ini. Kelima judul sinetron tersebut diproduksi oleh stasiun televisi RCTI dan SCTV di tahun 2008. sampai penelitian ini disusun,tayangan cerita tersebut belum semuanya berakhir. Tayangan sinetron yang belum berakhir yaitu Suci dan Munajah Cinta . Sedangkan 3 judul tayangan sinetron yang sudah tamat yaitu: Cinta Bunga, Gara-gara Cinta, dan Cahaya. Cinta Bunga dinyatakan sudah berakhir, dan ganti dengan tayangan lain. Namun cerita tersebut diberitahukan akan dilanjutkan dengan Cinta Bunga 2 . dalam penelitian ini Cinta Bunga yang dinayatakan tamat itulah yang dijadikan sumber data penelitian.

3. Data Penelitian

Data penelitian ini adalah semua keterangan baik berbentuk dialog, sikap, dan perilaku tokoh yang berhubungan dengan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dalam ranah domestik maupun ranah publik.

4. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode telaah pustaka. Yang dimaksud pustaka dalam penelitian ini adalah tayangan sinetron di layar kaca Indonesia, khususnya RCTI dan SCTV. Cara pengumpulan data dengan metode pustaka ditempuh dengan langkah-langkah sebagai berikut.

1) Menyimak dengan seksama tayangan sinetron yang telah ditentukan sebagai sumber data penelitian.

2) Mencatat bagian-bagian cerita berupa dialog, tindakan, dan pikiran tokoh yang memuat kekerasan.

3) Membuat klasifikasi berdasarkan catatan yang dibuat sesuai dengan permasalahan dalam penelitian.

5. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan metode kerja telaah teks drama. Sebagai langkah awal untuk mendeskripsikan gambaran kekerasan dalam tayangan sinetron Indonesia dilakukan dengan analisis struktur yang dipusatkan pada unsur tema, sedangkan unsur pembangun drama lainnya mendukung perwujudan tema kekerasan yang menjadi pusat perhatian. Sesuai dengan pendpat Teauw (1984:135) bahwa analisis struktur merupakan pintu pembuka ke analisis selanjutnya. Metode diskripsi digunakan untuk menguraikan kondisi yang melatari terjadinya kekerasan terhadap perempuan, sikap dan tindakan yang dilakukan para tokoh dalam menghadapi kekerasan yang menimpanya.

D. Pembahasan

Pada bagian ini akan dibahas tiga hal berkaiatan dengan kekerasan dalam tayangan sinetron televisi Indonesia. Ketiga hal tersebut adalah: gambaran kekerasan yang menimpa tokoh perempuan dalam tayangan sinetron televisi Indonesia, motif yang melatari terjadinya kekerasan tersebut, dan sikap yang diambil oleh para tokoh perempuan dalam menghadapi kekerasan yang menimpanya.

1. Gambaran Kekerasan yang Menimpa Perempuan dalam Tayangan Sinetron Televisi Indonesia.

Ada tiga bentuk kekerasan yang menimpa perempuan. Kekerasan bisa berbentuk fisik, psikologis, dan seksual. Ketiga bentuk kekerasan tersebut bisa berdiri sendiri, bisa dua atau bahkan ketiganya bersama-sama menimpa perempuan. Demikian juga yang terjadi pada para tokoh perempuan dalam sinetron tayangan SCTV dan RCTI dalam penelitian ini.

1.1 Kekerasan Psikologis

Kekerasan psikologis merupakan bentuk kekerasan yang banyak dialami oleh semua tokoh utama dalam cerita sinetron yang terpilih sebagai sumber data penelitian ini. Tokoh utama dalam Cahaya (RCTI, 2008), yang juga bernama Cahaya mengalami banyak siksaan batin dari orang-orang disekitarnya. Ayahnya sendiri, yang sebenarnya bukan ayah kandungnya, sering mngecewakannya. Di samping sering berkata kasar dan memaki-maki, laki-laki yang memang bertabiat jelek tersebut sering berniat akan menjual dan memanfaatkannya. Akibat dari kelakuannya tersebut Cahaya mengalami siksaan batin. Air mata Cahaya sering mengalir sebagai ekspresi dari siksaan batin dan penderitaan yang diaminya akibat dari kekerasan psikologis yang dilakukan oleh ayahnya.

Laki-laki tersebut juga gampang dimanfaatan oleh orang-orang yang berniat mencelakai Cahaya. Ia dimanfaatkan oleh oma Satriya, suami Cahaya, untuk memisahkan Cahaya dari Satriya. Cahaya dibawanya pergi jauh dari kota Jakarta agar tidak bisa bertemu dengan Satriya.

Namun, ada sisi baik dari lelaki yang mengaku-aku ayah kandung Cahaya tersebut. Meskipun Cahaya bukan anaknya sendiri, lelaki tersebut tidak pernah berniat untuk melakukan kekerasan seksual kepada Cahaya. Bahkan di akhir cerita, lelaki tersebut telah mengalami perkembangang karakter, menjadi ayah yang sesungguhnya. Ia tidak lagi memanfaatkan cahaya demi uang. Ia menjadi sangat perhatian kepada Cahaya.

Cahaya juga sering dihina oleh mertuanya terutama mertua perempuan. Penghinaan tersebut berupa umpatan kata-kata jelek dan kasar maupun tindakan yang menyakitkan hati Cahaya. Begitu juga oma Satriya. Perempuan tua tersebut selalu mencari cara untuk memisahkan Cahaya dari cucunya, satriya. Mulai dari cara Cahaya juga sering dihina oleh mertuanya terutama mertua perempuan. Penghinaan tersebut berupa umpatan kata-kata jelek dan kasar maupun tindakan yang menyakitkan hati Cahaya. Begitu juga oma Satriya. Perempuan tua tersebut selalu mencari cara untuk memisahkan Cahaya dari cucunya, satriya. Mulai dari cara

Puncak kekerasan psikologis yang menimpa Cahaya terjadi saat Cahaya harus berpisah dengan Satriya dengan latar belakang perselingkuhan. Cahaya dituduh selingkuh dengan Raka. Alasan tersebut merupakan trik yang memang dibuat oleh Oma dan mertua perempuan Cahaya untuk memisahkannya dengan Satriya. Namun, Cahaya selalu diberi keberuntungan dalam cinta. Cahaya selalu mendapatkan keberuntungan dalam cinta. Ia selalu mendapatkan cinta sejati dan tulus. Meskipun penuh penderitaan, ia selalu disukai oleh laki-laki tampan dan kaya. Pertama-tama Raka. Perjaka tampan tersebut menjadi perebutan antara Cahaya dan Talita. Meskipun tidak bisa menikah, Raka sangat mencintai Cahaya. Kedua, Satriya, lelaki tampan dan anak pejabat tersebut rela menderita demi Cahaya. Ketiga Firman, lelaki kaya tersebut juga rela dipenjara demi cintanya kepada Cahaya. Di akhir cerita, meskipun Cahaya menderita cacat fisik, kakinay lumpuh, justru mendapatkan kebahagiaan bersama Satriya, lelaki yang sangat dicintainya.

Kekerasan psikologis juga menimpa tokoh Talita, masih dalam sinetron Cahaya (RCTI, 2008). Gadis cantik yang tidak begitu beruntung dalam percintaan tersebut dipaksa oleh orang tuanya, terutama mamanya, untuk menikah dengan laki-laki kaya pilihan mereka.

Kekerasan psikologis juga banyak dialami oleh tokoh Bunga dalam Cinta Bunga (SCTV, 2008). Tokoh utama perempuan tersebut selalu diteror oleh Wilda. Kedua perempuan tersebut memperebutkan seorang lelaki bernama Reno. Wilda, rival Bunga, selalu menghina dengan kata jelek dan kasar yang bersumber dari kemelaratan yang dialami bunga. Wilda meneror Bunga mulai dengan segala cara, mulai dari telepon, menakut-nakuti, sampai ke cara-cara berbahaya yang terencana. Di puncak rencana tersebut, Wilda berniat mencelakai Bunga dengan kecelakaan Kekerasan psikologis juga banyak dialami oleh tokoh Bunga dalam Cinta Bunga (SCTV, 2008). Tokoh utama perempuan tersebut selalu diteror oleh Wilda. Kedua perempuan tersebut memperebutkan seorang lelaki bernama Reno. Wilda, rival Bunga, selalu menghina dengan kata jelek dan kasar yang bersumber dari kemelaratan yang dialami bunga. Wilda meneror Bunga mulai dengan segala cara, mulai dari telepon, menakut-nakuti, sampai ke cara-cara berbahaya yang terencana. Di puncak rencana tersebut, Wilda berniat mencelakai Bunga dengan kecelakaan

Orang tua Reno, Bu Ratih, yang akhirnya menjadi mertua Bunga juga sangat tidak suka kepada Bunga. Perempuan tersebut banyak melakukan kekerasan psikologis kepada Bunga. Ia justru merupakan dalam kekerasan tersebut. Ratih selalu melontarkan penghinaan dengan kata-kata kasar. Kemiskinan merupakan alasan mendasar untuk menolak Bunga sebagai menantu. Harta warisan merupakan alasan kedua untuk membenci Bunga. Harta warisan adik iparnya, Arman, justru jatuh ke tangan Bunga. Bunga dituduh telah berlaku tidak senonoh, sehingga Arman rela memberikan seluruh hartanya kepada Bunga. Bunga menghadapi perlakuan mertuanya dengan sabar. Ia tidak membalas perlakuan mertuanya dengan dendam. Justru ia berdoa agar mertuanya disadarkan dan dibuka hatinya untuk menyukainya. Di akhir cerita Ratih mengalami perkembangan kepribadian. Perempuan tersebut berbalik membenci Wilda dan menyukai Bunga.

Kekerasan psikologis juga diterima Bunga dari suaminya. Reno melakukan poligami meskipun tidak dikehendakinya. Kehadiran Wilda sebagai istri kedua Reno merupakan himpitan psikologis bagi Bunga. Lebih banyak masalah yang dihadapi Bunga akibat keculasan Wilda. Dengan kehadiran anaknya, Wilda justru ingin menguasai Reno sepenuhnya. Namun, perempuan tersebut mengalami nasib yang mengenaskan. Di akhir cerita ia meninggal, jatuh dari lantai dua rumah Reno.

Wilda juga mengalami kekerasan psikologis dari Reno. Meskipun ia mencintai Reno sepenuh hati, namun tidak dibalas oleh Reno. Wilda justru mendapatkan perlakuan tidak adil dari Reno. Sebagai istri kedua ia banyak ditelantarkan oleh Reno. Bahkan ia tidak diberi nafkah biologis maupun psikologis. Bagi Reno, menikahi Wilda merupakan kesalahan. Cinta Reno hanya untuk Bunga. Meskipun hal tersebut benar, namun sebagai suami, Reno telah berbuat tidak adil kepada istri- istrinya. Ia tidak bertanggung jawab untuk merukunkan istri-istrinya dan membimbingnya menuju keluarga yang harmonis.

Tokoh Tika dalam Gara-gara Cinta, mengalami kekerasan psikologis dari pacarnya. Perempuan tersebut ditinggalkan oleh pacarnya saat melangsungkan pertunangan. Rasa malu dan kecewa memenuhi dadanya, saat pacarnya, andes, tidak datang di hari pertunagannya. Dalang dari kekerasan ini juga perempuan yang dilatari oleh perebutan lelaki. Lisa, perempuan kaya yang mencintai Andes, menghasut Andes untuk tidak datang di pertunangannya.

Tika juga mendapatkan kekerasan psikologis dari tokoh perempuan lain, ibu Andra. Kemiskinan Tika mendorong perempuan tersebut memisahkan Tika dengan anaknya. Ibu Andra selalu berupaya memisahkan anaknya dari perempuan miskin seperti Tika. Tampak bahwa cerita ini tidak menghendaki adanya pembauran antara si kaya dan si miskin. Meskipun Andra dan Andes sangat menyukai Tika, namun akhirnya keduanya tidak bis amemiliki Tika. Justru Fuad, anak pedagang menengah yang berhasil menikahi Tika. Tema tersebut diperkuat dengan sikap ibu Andra yang bercerai dengan suaminya, ayah Andes dan Andra yang miskin. Ibu Andra juga tidak menerima Andes sepenuhnya sebagai anak karena ikut ayahnya yang miskin.

Dalam sinetron Suci (SCTV, 2008), tokoh utama Suci banyak mengalami kekerasan psikologis dengan menjadi istri kedua Denis. Suci sangat menderita karena tidak ada kepercayaan dari suaminya. Meskipun ketidakpercayaan Denis kepada Suci didalangi oleh Amelia, istri pertama Denis, perlakuan Denis yang langsung percaya kepada istri pertamanya tersebut merupakan tindakan tidak adil. Di dorong oleh keinginan untuk menguasai suami dan menang dari Suci, Amelia banyak melakukan berbagai kekerasan, terutama kekerasan psikologis kepada Suci. Amela sering mangancam dan ingin menyakiti Suci, yang membuat Suci selalu dihantui ketakutan.

Suci juga mengalami kekerasan psikologis yang dahsyat dari mertua perempuannya. Anet dengan mudah mengeluarkan penghinaan kepada Suci karena kemiskinan Suci. Tokoh tersebut juga berusaha menyingkirkan Suci dari rumah dan anaknya. Dengan bekerja sama dengan Amelia, Anet mengambil anak Suci. Akibat kehilangan bayi tersebut, Suci mengalami tekanan batin yang hebat.

Satu-satunya lelaki yang banyak melakukan kekerasan terhadap perempuan adalah tokoh Marcel. Lelaki tersebut sering mengintimidasi dan memeras Amelia, pacar yang berhasil dihamilinya, untuk mendapatkan uang. Marcel juga mengancam dan memeras Suci untuk mendapatkan sejumlah besar uang. Marcel juga melakukan Satu-satunya lelaki yang banyak melakukan kekerasan terhadap perempuan adalah tokoh Marcel. Lelaki tersebut sering mengintimidasi dan memeras Amelia, pacar yang berhasil dihamilinya, untuk mendapatkan uang. Marcel juga mengancam dan memeras Suci untuk mendapatkan sejumlah besar uang. Marcel juga melakukan

Tokoh Martin juga melakukan kekerasan psikologis kepada Suci. Ia memaksa Suci untuk bertunangan dan akhirnya kawin kontrak demi kepentingannta sendiri. Meskipun Martin bertujuan baik dan memang ia tokoh yang bertabiat baik, tindakannya memaksakan kehendak kepada Suci merupakan tindak kekerasan terhadap perempuan. Martin juga melakukan kekerasan psikologis kepada Tania. Ia tidak memberi maaf Tania yang telah menyesali dan meminta maaf atas kekilafannya tidur dengan lelaki lain. Martin justru selalu melontarkan penghinaan kepada Tania sebagai perempuan murahan. Meskipun tuduhan tersebut benar, namun perlakuan Martin tersebut merupakan kekerasan psikologis, akibat dari tindakan lelaki tersebut Tania menjadi malu, sedih, dan menderita batin.

Kekerasan psikologis juga dominan pada sinetron Munajah Cinta (RCTI, 2008). Poligami merupakan biang kekerasan dalam sinetron tersebut. Ada dua lelaki yang melakukan poligami dalam cerita tersebut. Ironisnya lagi, kedua kelaki tersebut berada dalam hubungan bapak dan anak. Namun kedua tokoh tersebut memiliki latar belakang dan tabiat yang berbeda dalam poligami yang dilakukannya. Tokoh bapaklah, Sanjaya, yang melakukan poligami dengan latar belakang pemuasan nafsu biologis dan berakibat munculnya kekerasan psikologis yang mendalam bagi istrinya. Lelaki tersebut telah membohongi istrinya, Intan, dengan melakukan kawin siri dengan perempuan yang lebih muda.

Poligami yang dilakukan oleh tokoh Sanjaya mengakibatkan kekerasan psikologis yang sangat dalam. Intan menjadi gila dan dijebloskan ke dalam rumah sakit jiwa. Gila dan dimasukkan rumah sakit jiwa merupakan tekanan jiwa yang sangat dalam. Istri muda Sanjaya juga ikut menyiksa Intan.

Banyak tokoh perempuan mendapatkan kekerasan psikologis oleh perempuan juga. Perempuan saling menyakiti hati perempuan lain. Motif psikologis mereka mengarah kepada kecemburuan dan perebutan laki-laki. Wilda dalam Cinta Bunga (SCTV,2008) selalu menyakiti Bunga untuk merebut Reno. Perasaan cintalah yang melandasi Wilda melakukan berbagai kekerasan baik psikologis maupun fisik kepada Bunga. Sebagai seorang dokter jiwa, Wilda pintar menggunakan cara-cara teror Banyak tokoh perempuan mendapatkan kekerasan psikologis oleh perempuan juga. Perempuan saling menyakiti hati perempuan lain. Motif psikologis mereka mengarah kepada kecemburuan dan perebutan laki-laki. Wilda dalam Cinta Bunga (SCTV,2008) selalu menyakiti Bunga untuk merebut Reno. Perasaan cintalah yang melandasi Wilda melakukan berbagai kekerasan baik psikologis maupun fisik kepada Bunga. Sebagai seorang dokter jiwa, Wilda pintar menggunakan cara-cara teror

Amelia dalam sinetron Suci , juga sering menyakiti hati Suci karena keinginannya menguasai Denis. Amelia pandai menyusun rencana untuk menyingkirkan Suci dari sisi Denis. Amelia ingin mendapatkan perhatian dan kesan psikologis yang baik dari Dennis. Amelia merebut anak Suci, dan menyiksa batin Suci dengan tidak mengijinkan Suci menyusui anaknya sendiri. Namun di depan Dennis, Amelia berpura-pura memberi kesempatan kepada Suci menyusui anaknya, Tiara.

1.2 Kekerasan Fisik

Tidak banyak kekerasan fisik yang terjadi dalam 5 sinetron yang menjadi sumber data penelitian ini. Dari lima cerita, hanya 2 cerita yang menonjolkan kekerasan fisik, yaitu sinetron Gara-gara Cinta (RCTI, 2008) dan Suci (SCTV, 2008). Dalam Gara-gara Cinta tokoh Tika sering diperlakukan dengan kasar oleh tokoh Andra, lelaki yang sangat mencintai Tika. Tika didorong dan ditampar oleh lelaki tersebut karena kesal dan kecewa. Namun kekerasan fisik yang dialami oleh Tika tidak sampai mengakibatkan luka parah apalagi cedera.

Dalam Suci , tokoh Marcel merupakan satu-satunya lelaki yang saring melakukan kekerasan fisik kepada perempuan. Tindakan kekerasan yang dilakukan Marcel sangat membahayakan jiwa perempuan. Suci dan Oma Upik, pernah dicelakai dua kali. Suci dan Oma pernah dibakar di suatu rumah. Kedatangan tokoh Denis menyelamatkan keduanya dari kobaran api. Keduanya juga pernah akan didorong ke dalam jurang. Namun, tindakan Marcel juga tidak membuahkan hasil. Justru ia sendiri yang terjerumus ke dalam jurang. Tokoh lelaki tersebut memang berdarah dingin. Ia juga tega mencelakai anak kecil. Tiara, anak Suci, dilempar ke jurang dan mengakibatkan Martin, penolongnya, hampair kehilangan nyawa. Marcel juga melukai Lilis, perempuan yang mengasuh Tiara, sampai terluka parah. Bahkan Marcel juga ditakuti oleh Amelia, pacarnya, karena iapun tega melukai pacarnya kalau keinginannya tidak terpenuhi.

Tokoh Wilda dalam Cinta Bunga (SCTV,2008), sering dianiaya oleh Very, suami Viola. Wilda yang dirubah wajahnya menjadi Viola mengalami penyiksaan fisik dari Very setiap hari. Siksaan berupa tamparan, jendulan, dan pukulan Tokoh Wilda dalam Cinta Bunga (SCTV,2008), sering dianiaya oleh Very, suami Viola. Wilda yang dirubah wajahnya menjadi Viola mengalami penyiksaan fisik dari Very setiap hari. Siksaan berupa tamparan, jendulan, dan pukulan

1.3 Kekerasan Seksual

Ada dua cerita yang menyuguhkan adanya kekerasan seksual, yakni sinetron Cahaya (RCTI, 2008) dan Munajah Cinta (RCTI,2008). Tokoh Talita diperkosa oleh lelaki yang mengalami kelainan kejiwaan. Lelaki tersebut mengaku sudah pernah memperkosa 99 perempuan. Talita adalah orang ke 100 yang telah diperkosanya. Akibat pemerkosaan tersebut tokoh Talita mengalami gangguan kejiwaan. Perempuan malang tersebut mengalami depresi yang sangat berat. Dalam waktu yang tidak singkat perempuan tersebut dihantui ketakutan kepada semua orang baik laki- laki maupun perempuan. Namun penderitaan tersebut berhasil dilaluinya berkat kepercayaan dan kasih sayang Raka, lelaki yang dicintai dan mencintainya.