Identifikasi Miskonsepsi dalam Konsep Dinamika Partikel Siswa Kelas XI SMA Negeri 2 Sukoharjo

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pengalaman dan intuisi anak membentuk konsepsi atau teori anak mengenai alam yang secara konsisten digunakan oleh anak tersebut untuk menafsirkan peristiwa alam di sekitarnya. Konsepsi anak juga dapat dipandang sebagai suatu kerangka atau jaringan yang mencerminkan hubungan antara konsep-konsep dan yang dipakai untuk menafsirkan informasi mengenai alam. Perlu disadari bahwa kerangka itu bukan sekedar hasil hafalan tetapi hasil pengalaman dengan alam sepanjang umur hidup. Misalnya, seorang siswa berumur 15 tahun sudah selama 15 tahun berpengalaman dengan peristiwa- peristiwa alam di sekitarnya. Selama waktu itu anak sudah membangun konsep- konsep di dalam kepalanya mengenai kecepatan, gaya, cara manusia melihat, dan sebagainya, walaupun anak tersebut mungkin tidak menggunakan istilah-istilah itu dan tidak menyadari apa sedang dibangun dalam kepalanya. Oleh sebab itu, konsepsi siswa sulit untuk diubah sebab konsepsi tersebut merupakan hasil dari sekian tahun perkembangan. Setelah menerima pendidikan di sekolah, ternyata seringkali kerangka konsep yang telah dibangun oleh siswa tersebut menyimpang dari konsep yang benar. Selanjutnya kerangka konsep siswa yang salah tersebut akan disebut sebagai miskonsepsi.

Penyebab dari resistennya sebuah miskonsepsi karena setiap orang membangun pengetahuan persis dengan pengalamannya. Sekali kita telah membangun pengetahuan yang salah, maka tidak mudah untuk memberi tahu bahwa hal tersebut salah dengan jalan hanya memberi tahu untuk mengubah miskonsepsi itu. Terlebih bila miskonsepsi itu dapat membantu memecahkan persoalan tertentu dalam kehidupan sehari-hari.

Filsafat konstruktivisme secara singkat menyatakan bahwa pengetahuan itu dibentuk (dikonstruksi) oleh siswa sendiri dalam kontak dengan lingkungan, tantangan, dan bahan yang dipelajari. Oleh karena siswa sendiri yang

commit to user

sebelum mereka mendapatkan pelajaran formal tentang bahan tertentu. Mereka mengonstruksi sendiri hal itu karena pengalaman hidup mereka. Sejumlah miskonsepsi sangatlah bersifat resistan. Meskipun telah diusahakan untuk menyangkalnya dengan penalaran yang logis dengan menunjukkan perbedaannya dengan pengamatan-pengamatan sebenarnya, yang diperoleh dari peragaan dan percobaan yang dirancang khusus untuk maksud itu. Miskonsepsi dapat meng- halangi pembelajaran pada tingkatan yang lebih maju, sebab konsepsi-konsepsi itu berbeda dengan konsepsi-konsepsi yang sebenarnya. Jumlah siswa yang ber- pegang terus pada miskonsepsi cenderung menurun dengan bertambahnya umur mereka dan makin tingginya strata pendidikan mereka. Menurut Watson (Winfred, 2009:50) sudah menjadi fakta bahwa biasanya pelajar (learner) pada awalnya lebih sering membuat respon yang keliru daripada respon yang benar, namun hal tersebut tetap pembelajaran respon yang benar. Keterampilan siswa dalam mengubah-ubah bentuk matematis rumus-rumus yang menyatakan hukum- hukum fisika dan kelincahan mereka dalam menggunakan rumus untuk me- mecahkan soal-soal kuantitatif dapat menyembunyikan miskonsepsi mereka tentang hukum-hukum itu.

Terjadinya miskonsepsi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor: (1) buku pelajaran, buku pelajaran memegang peranan penting karena buku merupakan pedoman yang dipakai baik oleh guru maupun siswa itu sendiri. Kesalahan konsep dalam buku ajar itu sendiri dikarenakan faktor buku tersebut bukan ditulis oleh seorang ahli di bidangnya, buku yang memuat rumus atau uraian materi yang salah dapat memicu miskonsepsi, selain itu penggunaan kata yang kurang tepat dalam buku juga dapat memicu terjadinya miskonsepsi; (2) Guru-guru yang mengalami miskonsepsi dengan sendirinya akan menjadi penyebab utama munculnya miskonsepsi pada siswa, kesalahan konsep dalam buku ajar dapat direduksi jika guru yang menyampaikan materi pelajaran tersebut menguasai konsep yang benar namun jika pada guru itu sendiri mengalami miskonsepsi maka miskonsepsi juga akan terjadi pada diri siswa; (3) Konteks seperti budaya, agama, bahasa sehari-hari juga mempengaruhi miskonsepsi siswa. kesalahan bahasa,

commit to user

terlanjur salah-kaprah dalam mendefinisikan sesuatu secara ilmiah, misalnya pengertian berat dan massa; (4) intuisi yang salah, ini merupakan faktor yang paling dominan mengakibatkan miskonsepsi di kalangan siswa, misalnya anggapan massa jenis zat padat selalu lebih besar dari zat cair; (5) metode mengajar yang tidak tepat, metode mengajar yang tidak tepat akan dapat memicu munculnya miskonsepsi pada siswa. (Paul suparno, 2005: 29)

Menurut banyak penelitian, miskonsepsi ternyata terdapat dalam semua bidang sains, seperti matematika, fisika, biologi, kima, dan astronomi. Dibidang metematika contohnya, siswa menganggap perkalian selalu membuat bilangan menjadi lebih besar, sedangkan pembagian membuat bilangan menjadi lebih kecil, padahal besarnya kecilnya hasil perkalian dan pembagian suatu bilangan tergantung pada dua bilangan yang dioperasikan. (Daniel Muijs dan David Reynolds, 2005: 212).

Miskonsepsi dalam bidang fisika pun meliputi banyak sub bidang seperti mekanika, termodinamika, optika, bunyi dan gelombang, listrik dan magnet, dan fisika modern. Wandersee, Mintzes, dan Novak (1994), dalam artikelnya mengenai Research on Alternative Conceptions in Science, menjelaskan bahwa konsep alternative atau miskonsepsi terjadi dalam semua bidang Fisika. Dari 700 studi mengenai miskonsepsi bidang Fisika, ada 300 yang meneliti tentang miskonsepsi dalam mekanika; 159 tentang listrik; 70 tentang panas, optika, dan sifat-sifat materi; 35 tentang bumi dan antariksa; serta 10 studi mengenai fisika modern. Cukup jelas bahwa bidang mekanika berada di urutan teratas dari bidang- bidang fisika yang mengalami miskonsepsi.

Pada konsep kelistrikan, Osborne (1982) mewawancarai siswa SD di Amerika Serikat yang belum pernah dapat pelajaran mengenai kelistrikan. Ternyata mereka sudah memiliki konsepsi mengenai arus listrik. Osborne menemukan empat model mengenai arus listrik, yaitu "arus dari satu kutub saja sudah cukup untuk menyalakan lampu, arus berlawanan arah dari dua kutub bertabrakan dan menyalakan lampu, arus semakin berkurang karena digunakan

commit to user

Berg, 1991: 63). Pada konsep Optika, Stead dan Osborne (1980) serta Anderson dan Karrqvist (1981) yang memperlihatkan bahwa banyak siswa atau mahasiswa berpikir bahwa "cahaya tidak berjalan sama sekali atau hanya berjalan dalam lingkungan gelap" (van den Berg, 1991: 93). Kebanyakan buku teks dan guru tidak sadar akan konsepsi ini. Bahwa cahaya merambat dan kecepatan cahaya hanya bergantung pada medium dan tidak bergantung pada sumber jarang dinyatakan secara eksplisit baik oleh guru maupun pada buku teks. Demikian juga dengan proses penglihatan. Guru dan buku menganggap bahwa siswa sudah tahu bahwa manusia dapat melihat benda karena menerima sinar-sinar pantul dari benda tersebut atau karena benda tersebut merupakan sumber cahaya sehingga mata menerima sinar-sinar asli dari benda tersebut. Sebagian siswa ada yang menganggap bahwa manusia dapat melihat karena mata memancarkan sinar yang meraba-raba lingkungan.

Miskonsepsi terjadi tidak hanya di luar negeri saja, di Indonesia hal tersebut juga terjadi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nengah Maharta di SMA Bandar lampung, hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tingkat miskonsepsi fisika siswa sangat tinggi yaitu sebanyak 65% siswa yang mencangkup semua bidang dalam Fisika. SMAN 2 Bandar Lampung merupakan sekolah yang paling kecil tingkat miskonsepsi fisikanya yaitu 53%. SMAN 3 Bandar Lampung sebanyak 78%, sedangkan SMAN 9 Bandar Lampung sebesar 66%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rata-rata tingkat miskonsepsi fisika siswa SMA di Bandar Lampung lebih tinggi dari hasil penelitian ini.

Di bidang Dinamika Partikel, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cicillia (1990) terdapat jenis-jenis miskonsepsi berikut mengenai gaya pada benda rehat: (1) Sebagian siswa menganggap bahwa benda hanya dapat diam kalau sama sekali tidak ada gaya yang bekerja padanya. Gaya gravitasi dan gaya normal dianggap nol; (2) sebagian siswa menjawab gaya normal adalah nol, siswa sering menganggap gaya normal sebagai lawan dari gaya gravitasi pada benda, maka timbul jawaban bahwa gaya normal pada buku di atas meja miring tetap vertical;

commit to user

daripada gaya dorong atau dianggap tidak ada gaya gesekan (van den Berg, 1991:34).

Miskonsepsi lain di bidang dinamika partikel yaitu benda yang berat akan jatuh terlebih dahulu dibanding benda yang ringan pada gerak jatuh bebas. Gustone (1994) melaporkan 63% mahasiswa pendidikan diploma mengalami miskonsepsi tentang benda yang berat akan jatuh terlebih dahulu dari pada benda yang lebih ringan. Sedangkan identifikasi untuk populasi anak umur 11 tahun, mahasiswa fisika yang belum lulus, sarjana muda, dan bukan siswa remaja frekuensinya meningkat menjadi 91% (Michael Allen, 2010:154).

Berdasarkan observasi penulis saat pelaksanaan Program Pengalaman Lapangan (PPL) di SMAN 2 Sukoharjo, penulis menemukan banyak sekali miskonsepsi yang dialami oleh siswa. Meskipun penulis mengajar pada pokok materi Usaha dan Energi Kelas XI namun dasar yang digunakan pada Pokok Materi ini adalah Penguasaan materi pada pokok bahasan Dinamika Partikel, seperti pengertian gaya normal, penguraian vektor pada bidang miring, dan gaya gesekan. Tidak mengherankan jika pada siswa-siswa SMA banyak sekali terjadi miskonsepsi tentang konsep fisika. Sebab sewaktu penulis duduk di bangku SMA, penulis juga mengalami hal yang sama dan bahkan mungkin sampai sekarang penulis sendiri belum lepas dari miskonsepsi.

Jika Miskonsepsi pada diri siswa ini dibiarkan terus berkembang tentu sangat disayangkan. Jika siswa yang memiliki konsepsi yang salah mengenai suatu konsep kelak menjadi seorang guru tentunya hal ini akan mempengaruhi mutu pendidikan di Indonesia.

Berdasarkan hal-hal tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh lagi tentang miskonsepsi yang terjadi pada pokok bahasan Dinamika Partikel yang terjadi pada diri siswa. Selain bertujuan untuk mengidentifikasi miskonsepsi pada siswa, penelitian ini juga berguna untuk penulis. Penulis dapat belajar tentang konsep Dinamika Partikel dengan benar yang mana hal tersebut sangat penting bagi penulis sebagai calon guru. Dengan harapan penulis kelak dapat menjadi seorang guru yang dapat mengajarkan konsep dengan benar kepada siswa.

commit to user

yang lain juga terjadi pada diri penulis sendiri. Mempertimbangkan alasan-alasan yang telah diuraikan, maka penulis bermaksud untuk mengadakan penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi kepemilikan miskonsepsi pada pokok bahasan Dinamika Partikel pada siswa SMA di SMA Negeri 2 Sukoharjo Kelas XI. Adapun judul penelitian tersebut adalah

"Identifikasi Miskonsepsi Dalam Konsep Dinamika Partikel Siswa Kelas XI SMA Negeri 2 Sukoharjo".

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut,dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

1. Pengalaman dan intuisi anak membentuk konsepsi atau teori anak mengenai alam yang secara konsisten digunakan untuk menafsirkan peristiwa alam di sekitarnya.

2. Setelah menerima pendidikan di sekolah, ternyata konsepsi yang telah dibangun oleh siswa menyimpang dari konsep yang benar.

3. Rendahnya motivasi belajar, cara belajar yang kurang baik dan kurang mampu dalam mengaitkan antara konsep-konsep yang saling berhubungan merupakan salah satu penyebab miskonsepsi.

4. Konsep yang dibangun guru saat mengenyam pendidikan, buku pedoman yang digunakan oleh guru, ketidakjelasan dalam menyampaikan materi pelajaran, penggunaan media pelajaran yang tidak sesuai dengan materi yang disampaikan, kurangnya kemampuan guru dalam mengelola dan menyampaikan materi pelajaran dapat menyebabkan miskonsepsi.

5. Banyak siswa yang mengalami miskonsepsi pada konsep fisika meliputi konsep mekanika, kelistrikan, optik geometri dan sebagainya berdasarkan hasil pnelitian.

commit to user

Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas, maka dalam penelitian ini penulis membatasi masalah agar penelitian ini dapat mencapai tujuan, ruang lingkup dan arahan yang jelas. Adapun pembatasan masalah tersebut adalah:

1. Penelitian dilaksanakan untuk mengidentifikasi ada dan tidaknya miskonsepsi pada siswa dan menjelaskan profil miskonsepsi yang terjadi setelah mendapat materi Dinamika Partikel.

2. Proses identifikasi miskonsepsi yang dilakukan terbatas pada sub konsep Dinamika Partikel yang meliputi: Pengertian dan arah gaya, Hukum I Newton, Hukum II Newton, Hukum III Newton, Gaya Normal, Gaya Gesekan, dan Gaya Gravitasi.

3. Subyek penelitian adalah siswa SMA Kelas XI SMAN 2 Sukoharjo tahun ajaran 2010/2011 yang telah menerima materi Dinamika Partikel.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah siswa memiliki miskonsepsi pada materi Dinamika Partikel?

2. Bagaimanakah profil miskonsepsi yang dimiliki oleh siswa SMA kelas XI pada materi Dinamika Partikel?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi kepemilikan miskonsepsi pada materi Dinamika Partikel pada siswa.

2. Menjelaskan profil miskonsepsi yang dimiliki oleh siswa pada materi Dinamika Partikel.

commit to user

Sebagai pembelajaran alamiah, penelitian ini memberi sumbangan kon- septual utamanya kepada pendidikan fisika, di samping juga kepada bidang pembelajaran fisika. Sebagai penelitian pendidikan fisika yang aplikatif, penelitian ini memberikan urunan substansial kepada lembaga pendidikan formal maupun para guru/ siswa yang bersangkutan. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada bidang fisika terutama pada layanan perencanaan pembelajaran fisika. Perencanaan pembelajaran fisika yang akan dibuat diharapkan relevan dan dapat digunakan untuk mereduksi miskonsepsi yang terjadi.

2. Manfaat Praktis Pada tataran praktis, penelitian ini memberikan sumbangan kepada lembaga pendidikan maupun sekolah dan memberi masukan pada dosen, guru dan calon guru fisika serta siswa itu sendiri agar memperhatikan konsep awal yang sudah dimiliki siswa sebelum memberikan konsep baru agar tidak terjadi mis- konsepsi.

Selain itu, penulisan makalah penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam penelitian lebih lanjut, sehingga dapat memberikan sumbangan bagi upaya peningkatan mutu pendidikan, khususnya fisika.

commit to user

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Pembelajaran Fisika

a. Teori Belajar

Belajar bukan suatu kegiatan untuk menghafal dan mengingat, belajar merupakan suatu proses yang ditandai dengan perubahan sikap dan tingkah laku pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari belajar ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti bertambahnya pengetahuan, pemahaman, sikap, dan tingkah laku, ketrampilan, kecakapan, dan kemampuannya, daya kreasi, daya penerimaannya dan aspek-apek lain dari individu tersebut.

Menurut pendapat Abdillah yang dikutip oleh Aunurrahman (2009: 35) "Belajar adalah suatu proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri di dalam interaksi dengan lingkungannya".

Slameto (2003) dalam bukunya Asep Jihad dan Abdul Haris ( 2008:2) menyatakan bahwa "Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya". Sedangkan menurut Gagne dalam Ratna Wilis Dahar (1989:11) "Belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organism berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman".

Asep Jihad dan Abdul Haris (2008:4) menyimpulkan bahwa "perbuatan belajar terjadi karena interaksi seseorang dengan lingkungannya yang akan menghasilkan suatu perubahan tingkah laku pada berbagai aspek, diantaranya pengetahuan, sikap, dan keterampilan". Perubahan-perubahan yang terjadi disadari oleh individu yang belajar, berkesinambungan dan akan berdampak pada fungsi kehidupan lainnya. Selain itu perubahan bersifat positif, terjadi karena peran aktif dari pembelajar, tidak bersifat sementara, bertujuan, dan perubahan

commit to user

pengetahuan, dan sebagainya. Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman. Dalam Oemar Hamalik (2001:37) disebutkan bahwasanya:

1) Situasi belajar harus bertujuan.

2) Tujuan dan maksud belajar timbul dari kehidupan anak sendiri.

3) Di dalam mencapai tujuan itu, siswa senantiasa akan menemui kesulitan, rintangan-rintangan, dan situasi-situasi yang tidak menyenangkan.

4) Hasil belajar yang utama adalah pola tingkah laku yang bulat.

5) Proses belajar terutama mengerjakan hal-hal yang sebenarnya. Belajar

apa yang diperbuat dan mengerjakan apa yang dipelajari.

6) Kegiatan-kegiatan dan hasil-hasil belajar dipersatukan dan dihubungkan dengan tujuan dalam situasi belajar.

7) Siswa mereaksi sesuatu aspek dari lingkungan yang bermakna baginya.

8) Siswa diarahkan dan dibantu oleh orang-orang yang berada dalam lingkungan itu.

9) Siswa diarahkan ke tujuan-tujuan lain, baik yang berkaitan maupun yang

tidak berkaitan dengan tujuan utama dalam situasi belajar.

Piaget dalam Dimyati dan Mudjiono (2002:13-14) menyatakan bahwa: pengetahuan dibentuk oleh individu sebab individu melakukan interaksi terus-menerus dengan lingkungan. Dengan adanya interaksi dengan lingkungan maka fungsi intelek semakin berkembang. Perkembangan intelektual tersebut melalui tahap-tahap berikut. (i) sensori motor (0;0-2;0 tahun), (ii) pra-operasional (2;0-7;0 tahun), (iii) operasional konkret (7;0- 11;0 tahun), dan (iv) operasional formal (11;0- keatas).

1) Sensori motor (0-2 tahun) Pada tahap ini anak mengenal lingkungan dengan kemampuan sensorik dan motorik, yaitu dengan penglihatan, penciuman, pendengaran perabaan dan menggerak-gerakkannya.

2) Pra-operasional (2 tahun - 7 tahun ) Pada tahap ini anak mengandalkan diri pada persepsi tentang realitas. Ia telah mampu menggunakan simbol, bahasa, konsep sederhana, berpartisipasi, membuat gambar, dan menggolongkan-golongkan.

3) Operasional konkret (7 tahun – 11 tahun) Pada tahap operasional konkret anak dapat mengembangkan pikiran logis. Walaupun terkadang ia memecahkan masalah secara “trial and error”.

4) Operasional formal (11 tahun – ke atas)

commit to user

dewasa. Lebih lanjut Piaget (Dimyati dan Mudjiono, 2002:13-14) menggolongkan

belajar pengetahuan ke dalam 3 fase, fase-fase itu adalah

1) Fase eksplorasi Dalam fase ini siswa mempelajari gejala dengan bimbingan.

2) Pengenalan konsep Dalam fase pengenalan konsep, siswa mengenal konsep yang ada hubungannya dengan gejala.

3) Aplikasi konsep Dalam fase aplikasi konsep, siswa menggunakan konsep untuk meneliti gejala lain lebih lanjut.

Dari definisi di atas, dapat diterangkan bahwa belajar senantiasa me- rupakan perubahan tingkah laku atau penampilan yang terjadi secara bertahap sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman. Belajar akan lebih baik, jika subjek belajar mengalami atau melakukan proses belajar sendiri, jadi tidak bersifat verbalistik.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar siswa. Faktor tersebut berasal dari dalam diri siswa sendiri (faktor internal) dan faktor dari luar (faktor eksternal). Faktor-faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap proses belajar dan prestasi belajar siswa.

b. Pengertian Fisika

Kata Fisika berasal dari bahasa Yunani "Physic" yang berarti "alam" atau "hal ikhwal alam", sedangkan Fisika (dalam bahasa inggris "Physic”) ialah ilmu yang mempelajari aspek-aspek alam yang dapat dipahami dengan dasar-dasar pengertian terhadap prinsip-prinsip dan hukum-hukum elementernya. Fisika adalah salah satu cabang dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), yaitu ilmu yang mempelajari alam dengan segala isinya, maka dari itu perkembangan Fisika didasarkan atas pengamatan dan pengukuran.

Definisi Fisika yang lain adalah ilmu yang mempelajari suatu zat dan gerakannya. Fisika juga dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang pengukuran, sebab segala sesuatu yang kita ketahui tentang dunia fisika dan tentang prinsip-prinsip yang mengatur perilakunya telah dipelajari melalui

commit to user

gejala alam tersebut secara sederhana sehingga mudah untuk dipahami (Sephtian, 2009: 1).

Sedangkan definisi Fisika dari wikipedia adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan penemuan dan pemahaman mendasar hukum-hukum yang menggerakkan materi, energi, ruang dan waktu (Wikipedia, 2010: 1).

Dari beberapa pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa Fisika merupakan ilmu pengetahuan yang menguraikan dan menganalisis struktur dan peristiwa alam secara sederhana sehingga menghasilkan pengetahuan baru. Fisika menguraikan dan menganalisis struktur peristiwa alam semesta dan dari sini akan ditemukan konsep-konsep, aturan-aturan atau hukum-hukum alam yang dapat menerangkan gejala-gejala berdasarkan struktur logika.

c. Konsep Fisika

Van den Berg (1991: 8) menyatakan bahwa "Konsep adalah benda-benda, kejadian-kejadian, situasi-situasi, atau ciri-ciri yang memiliki ciri khas dan yang terwakili dalam setiap budaya oleh suatu tanda atau suatu simbol". Dalam Kamus Ilmiah Kontemporer "Konsep adalah karya buram; pemikiran (dasar); rencana dasar; rancangan; pengertian" (M.D.J. Al-Barry dan Sofyan Hadi A.T, 2008:176).

Definisi konsep menurut Rooser dalam Ratna Wilis (1989 : 80) adalah "suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek-objek, kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan, atau hubungan-hubungan, yang mempunyai atribut-atribut yang sama".

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990 : 456): "konsep adalah : (1) ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret; (2) Gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain".

Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep adalah gagasan mengenai materi, pengalaman, peristiwa atau ciri-ciri khas suatu objek yang diabstraksikan untuk memahami hal-hal lain dengan mengelompokkan atau mengklasifikasikan benda-benda atau suatu nama dengan kelompok benda

commit to user

menjelaskan konsep-konsep dari suatu materi. Setiap konsep dapat dibedakan menurut bentuk dan tingkatannya. Menurut Ratna Wilis (1989:88-89), berdasarkan tingkat pencapaiannya konsep dapat di- bedakan menjadi empat yaitu :

1) Tingkat Konkret. Kita dapat menyimpulkan bahwa seseorang telah mencapai konsep pada tingkat konkret, apabila orang itu mengenal suatu benda yang telah dihadapi sebelumnya. Untuk mencapai konsep tingkat konkret, siswa harus dapat memperhatikan benda itu, dan dapat membedakan benda itu dari stimulus-stimulus yang ada di lingkunganya.

2) Tingkat Identitas. Pada tingkat identitas seseorang akan mengenal suatu objek jika (a) sudah selang suatu waktu (b) bila orang itu mempunyai orientasi ruang yang berbeda terhadap objek itu, atau (c) bila objek itu ditentukan melalui suatu indera yang berbeda, misalnya, mengenal suatu bola dengan cara menyentuh bagian dari bola itu bukan dengan melihatnya.

3) Tingkat Klasifikatori. Pada tingkat klasifikatori, siswa mengenal persamaan dari dua contoh yang berbeda dari kelas yang sama. Operasi mental yang terlibat dalam pencapaian konsep pada tingkat klasifikatori ialah mengadakan generalisasi bahwa dua contoh atau lebih sampai batas- batas tertentu itu ekuivalen, mengklasifikasikan contoh-contoh dan noncontoh-noncontoh dari konsep, sekalipun contoh-contoh dan non conto-non contoh itu mempunyai banyak atribut-atribut yang mirip.

4) Tingkat Formal. Untuk pencapaian konsep pada tingkat formal, siswa harus dapat menentukan atribut-atribut yang membatasi konsep. Siswa telah mencapai tingkat formal bila siswa dapat memberi nama konsep itu, mendefinisikan konsep dalam atribut-atribut yang membatasi, dan mengevaluasi atau memberikan secara verbal contoh-contoh dan non contoh dari konsep.

Dari pengertian konsep dan Fisika, dapat disimpulkan bahwa konsep Fisika adalah ide abstrak yang digunakan untuk memahami dan mempelajari tentang teori yang menerangkan gejala-gejala alam sederhana dan hubungan antara kenyataan-kenyataannya.

Dalam belajar fisika, kemampuan pemahaman konsep merupakan syarat mutlak untuk mencapai keberhasilan belajar fisika. Hanya dengan penguasaan konsep fisika seluruh permasalahan fisika dapat dipecahkan. Hal ini menunjukkan bahwa pelajaran fisika bukanlah pelajaran hafalan tetapi lebih menuntut pemahaman konsep bahkan aplikasi konsep tersebut.

commit to user

Dasar dari belajar konsep adalah seperti hanya bentuk belajar yang lain adalah asosiasi stimulus dan respon. Menurut Paul Suparno (2005:3) "biasanya konsep awal itu kurang lengkap atau kurang sempurna, maka perlu dikembangkan atau dibenahi dalam pelajaran formal. Disinilah pentingnya pendidikan formal".

Piaget menyatakan dalam pembelajaran konsep seorang anak tidak terlepas pada proses akomodasi dan asimilasi. Proses akomodasi yang digunakan anak-anak untuk memperbaiki skema mereka mirip yang digunakan oleh para ilmuwan untuk memperbaiki skema teknis mereka, kita terkadang mendapati bahwa pandangan kita mengenai dunia terbukti keliru. Sedangkan proses asimilasi merupakan kebalikan dari proses akomodasi yaitu dimana seorang guru dihadapkan pada fakta bahwa skemata seorang anak bersifat stabil. Seorang anak cenderung untuk mempertahankan skema lamanya sebagai respon atas satu atau dua input yang membuktikan kekeliruan konsepnya (Winfred, 2009:158). Menurut Paulou dalam Ratna Wilis Dahar (1989:86) bahwa perbedaan utama belajar konsep dengan belajar yang lain adalah dalam belajar konsep anak yang belajar memberikan suatu respon terhadap sejumlah stimulus.

Dalam dunia pendidikan ada tiga ranah tujuan pendidikan yang sangat dikenal, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Menurut teori Gagne, kapabilitas siswa pada ranah kognitif adalah kemampuan menyalurkan dan menggunakan aktivitasnya sendiri. Kemampuan tersebut meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah (Dimyati dan Mudjiono, 2002:12). Dari teori kognitif Gagne dikatakan bahwa pengajaran yang baik tidak hanya memberikan informasi tetapi juga menggerakkan siswa agar menaiki hierarki menuju level pengetahuan yang semakin tinggi. Atau dengan kata lain struktur pengetahuan dan keahlian kita secara bertahap dibangun disepanjang hidup kita (Winfred, 2009: 206).

Benyamin S. Bloom telah mengembangkan taksonomi untuk domain kognitif. Kemudian oleh Anderson dan Krathwohl (2001) domain kognitif Bloom tersebut direvisi dari satu dimensi menjadi dua dimensi, yaitu dimensi proses

commit to user

(http://repository.upi.edu. 25 Juni 2011) Dimensi proses kognitif merupakan hasil revisi dari taksonomi Bloom ranah kognitif. Anderson mengklasifikasikan proses kognitif menjadi enam kategori, yaitu:

1) Pertanyaan mengingat (Remember) ialah kemampuan untuk menghafal, mengingat, atau mengulangi informasi yang pernah diberikan.

2) Pertanyaan Memahami (Comprehention) ialah kemampuan untuk me- nafsirkan, meringkas, dan menjelaskan dengan menggunakan bahasa sendiri.

3) Menerapkan (Application) ialah kemampuan untuk menjalankan dan meng- implementasikan suatu informasi, teori, dan prosedur (widodo, 2006).

4) Menganalisis (Analyze) ialah kemampuan menguraikan suatu permasalahan ke unsur-unsurnya dan menentukan hubungan antar unsur-unsur tersebut

5) Mengevaluasi (Evaluate) ialah kemampuan untuk memeriksa dan mengkritik berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan

6) Membuat (create) ialah kemampuan untuk membuat, me-rencanakan, dan memproduksi.

Sedangkan dimensi pengetahuan diklasifikasi menjadi empat kategori, yaitu:

1) Pengetahuan Faktual (Factual Knowledge) ialah pengetahuan tentang terminologi dan pengetahuan tentang bagian detail dan unsur-unsur

2) Pengetahuan Konseptual (Conceptual Knowledge) ialah pengetahuan tentang klasifikasi dan kategorisasi, pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi serta pengetahuan tentang teori, model, dan struktur.

3) Pengetahuan Prosedural (Procedural Knowledge) ialah pengetahuan tentang prosedural, teknik, dan metode yang berhubungan dengan bidang tertentu.

4) Pengetahuan metakognitif (Metacognitive Knowledge) ialah pengetahuan strategik, pengetahuan tugas kognitif dan pengetahuan tentang diri sendiri.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa belajar konsep bukanlah menghafal konsep tetapi memperhatikan konsep-konsep awal (pengetahuan awal) yang dihubungkan dengan konsep baru atau konsep-konsep lain melalui proses

commit to user

Dengan demikian konsep baru yang masuk dalam struktur kognitif tidak berdiri sendiri melainkan satu kesatuan dan memiliki arti atau bermakna.

2. Miskonsepsi

a. Prakonsep

Van den Berg (1991:10) menyatakan bahwa "Prakonsep adalah konsepsi yang dimiliki siswa sebelum pelajaran walaupun mereka sudah pernah mendapatkan pelajaran formal".

Filsafat konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dibentuk (dikonstruksi) oleh siswa sendiri dalam kontak dengan lingkungan, tantangan, dan bahan yang dipelajari. Paul Suparno (2005: 30-31) menyatakan, (... .) "oleh karena siswa sendiri yang mengkontruksi, dapat saja terjadi siswa telah melakukan konstruksi itu sejak awal sebelum mereka mendapatkan pelajaran formal tentang bahan tertentu. Mereka mengonstruksi sendiri hal itu karena pengalaman hidup mereka. Inilah yang disebut prakonsepsi atau konsep awal siswa".

Pengetahuan awal di atas sering kali tidak cocok dengan pengetahuan yang diterima oleh para pakar, dan menjadi suatu miskonsepsi. Sebagai contoh siswa telah memiliki banyak pengalaman dengan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan konsep dinamika partikel, oleh karena itu siswa sudah banyak mengembangkan konsepsi yang belum tentu sama dengan konsepsi fisikawan. Prakonsep yang dimiliki siswa belum tentu benar. Hal ini kurang atau bahkan tidak dipehatikan oleh guru dalam proses pembelajaran. Prakonsep yang dimiliki siswa akan mempengaruhi proses belajar mengajar siswa pada tahap selanjutnya.

b. Konsepsi

Dalam Kamus Lengkap bahasa Indonesia "Konsepsi adalah pendapat, paham, pandangan, pengertian, cita-cita yang telah terlintas dipikiran" (EM Zul Fajri dan Ratu A.S, 2003:483). Sedangkan dalam Kamus Ilmiah Kontemporer (M.D.J. Al-Barry dan Sofyan Hadi A.T, 2008:176) istilah konsepsi adalah gambaran (benak); pemikiran (dasar); pendapatan; gagasan pokok".

commit to user

perorangan dari suatu konsep ilmu". Misal, inti konsep dari proses melihat sebuah benda adalah benda dapat dilihat oleh mata sebab benda tersebut memancarkan cahaya sendiri atau memantulkan cahaya yang berasal dari sumber cahaya yang mengenainya kemudian cahaya tersebut sampai ke mata. Akan tetapi banyak siswa yang memiliki konsepsi berbeda, mereka cenderung berpikir bahwa benda dapat dilihat oleh mata karena benda tersebut hanya memantulkan cahaya yang mengenainya sampai ke mata.

c. Miskonsepsi

1) Pengertian Miskonsepsi

Menurut Alan K, Griffith, Kevin Thomey, Bren Cooke, dan Glen Normore mendiskripsikan miskonsepsi sebagai: "Misconception are defined misunder- standing which have probably accured during or as a result of recent instruction in contrast to alternative conception which are more likely to have been held or developed over a long period of time" atau bisa dikatakan miskonsepsi di- definisikan sebagai kesalahan pemahaman yang terjadi selama atau sebagai hasil dari pengajaran yang baru saja diberikan, berkembang dalam waktu yang lama. Jadi, menurut pendapat tersebut miskonsepsi atau kesalahan pemahaman merupakan pertentangan antara konsep yang diterima dengan konsep yang telah dimiliki oleh orang lain atau siswa sebagai peserta didik (Saparini, 2009: 11).

Van Den Berg (1991:13) mendefinisikan miskonsepsi sebagai "konsepsi siswa bertentangan dengan konsepsi para fisikawan". Paul Suparno (2005:2) menyatakan bahwa: "Konsep awal yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah itu biasanya disebut miskonsepsi atau salah konsep". Sedangkan Fowler dalam Suparno (2005:5) "memandang miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda dan hubungan hierarkis konsep- konsep yang tidak benar".

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi adalah hubungan yang tidak benar antara konsep satu dengan

commit to user

(miskonsepsi) merupakan kesalahan konsep awal, kesalahan dalam meng- hubungkan suatu konsep dengan konsep lain, antara konsep yang diberikan oleh guru dengan konsep yang telah dimiliki oleh seorang ahli, atau gagasan intuitif atau pandangan yang naif.

Abraham dan kawan-kawan (1994: 152) membagi derajat pemahaman konsep menjadi tiga kelompok, yaitu derajat tidak memahami, derajat miskonsepsi, dan derajat memahami konsep seperti terlihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Pengelompokkan Derajat Pemahaman Konsep No. Kategori

Derajat Pemahaman

Kriteria

1. Tidak memahami

2. Miskonsepsi

3. Memahami

- tidak ada respon - tidak memahami

- Miskonsepsi - memahami sebagian dengan

miskonsepsi

- memahami sebagian - memahami konsep

a. tidak ada jawaban / kosong

b. menjawab “saya tidak tahu”

c. mengulang pertanyaan

d. menjawab tetapi tidak berhubungan dengan pertanyaan dan tidak jelas

a. menjawab dengan penjelasan tidak logis

b. jawaban menunjukkan adanya konsep yang dikuasai tetapi ada pertanyaan dalam jawaban yang menunjukkan miskonsepsi

a. jawaban menunjukkan hanya sebagian konsep dikuasai tanpa ada miskonsepsi

b. jawaban menunjukkan konsep dipahami dengan semua penejalasan benar

2) Sebab-sebab Miskonsepsi

Ada banyak penyebab terjadinya miskonsepsi seperti yang dikemukakan oleh Paul Suparno (2005:29) berikut : Secara garis besar penyebab miskonsepsi dapat diringkas dalam lima

kelompok, yaitu: siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar.

commit to user

prakonsepsi awal, kemampuan, tahap perkembangan, minat, cara berfikir, dan teman lain. Penyebab kesalahan dari guru dapat berupa ketidakmampuan guru, kurangnya penguasaan bahan, cara mengajar yang tidak tepat atau sikap guru dalam berelasi dengan siswa yang kurang baik. Penyebab miskonsepsi dari buku teks biasanya terdapat pada penjelasan atau uraian yang salah dalam buku tersebut. Konteks seperti budaya, agama, dan bahasa sehari-hari juga mempengaruhi miskonsepsi siswa.

Dalam pengertian konstruktivisme, tampak jelas bahwa miskonsepsi itu merupakan hal yang wajar dalam proses pembentukan pengetahuan oleh seseorang yang sedang belajar. Dengan adanya miskonsepsi itu, sebenarnya menunjukkan bahwa pengetahuan sungguh merupakan bentukan siswa sendiri. Pra konsepsi siswa yang salah merupakan hal yang wajar dalam pembelajaran kontruktivisme, namun proses kontruksi konsep yang salah oleh siswa ini menjadikan miskonsepsi bersifat resisten.

3) Beberapa Fakta Mengenai Miskonsepsi

Berdasarkan definisi miskonsepsi yang telah dijelaskan, terdapat beberapa fakta mengenai miskonsepsi (Van den Berg, 1991 : 17), yaitu :

a) Miskonsepsi sulit sekali untuk diperbaiki

b) Seringkali siswa mengalami miskonsepsi terus-menerus. Soal-soal yang sederhana dapat dikerjakan, tetapi dengan soal yang sedikit lebih sulit miskonsepsi akan muncul kembali.

c) Sering terjadi regresi, yaitu siswa yang yang sudah mengatasi miskonsepsi beberapa bulan kemudian salah lagi.

d) Dengan ceramah yang bagus, miskonsepsi tidak dapat dihilangkan atau dihindari.

e) Siswa, mahasiswa, guru, dosen maupun peneliti dapat terkena miskonsepsi.

f) Siswa yang pandai dan yang lemah keduanya dapat terkena miskonsepsi. Sebagai contoh miskonsepsi tentang panas dan termodinamika. Banyak

siswa mempunyai pengertian bahwa suatu benda yang mempunyai suhu lebih tinggi selalu mempunyai panas yang lebih tinggi pula. Mereka menyamakan begitu saja pengertian suhu dengan panas/kalor. Misalnya, sebuah besi dengan

massa 10 gr dan suatu aluminium dengan massa 10 Kg dipanaskan dari 0 0 C. Besi itu dipanaskan sampai 100 0 C, sedangkann aluminium dipanaskan sampai 100C.

Banyak siswa secara otomatis mengatakan bahwa besi membutuhkan kalor lebih

commit to user

aluminium. Para siswa, dalam perhitungannya lupa mempertimbangkan pengaruh massa dan kapasitas panas masing-masing benda menurut rumusan kalor.

Miskonsepsi tentang kalor tersebut, tidak mudah untuk diperbaiki karena dalam kehidupan sehari-hari, siswa cenderung menyamakan kalor dengan suhu. Dan miskonsepsi tersebut tidak dapat dijelaskan hanya dengan ceramah saja, sebagus apapun ceramah tersebut, miskonsepsi tersebut akan terulang kembali oleh siswa. Terkadang siswa bersikap ganda menggunakan konsep kalor, ketika di dalam kelas siswa dapat menggunakan konsep yang benar, namun dalam kehidupan sehari-hari miskonsepsi tersebut terulang kembali.

4) Saran untuk Mengatasi Miskonsepsi

Ada banyak cara untuk membantu siswa mengatasi miskonsepsi dalam bidang fisika. Banyak penelitian telah dilakukan oleh para ahli pendidikan fisika, biologi, kimia dan astronomi yang mengungkapkan bermacam-macam kiat yang dibuat untuk membantu siswa memecahkan persoalan miskonsepsi.

Secara garis besar langkah yang digunakan untuk membantu mengatasi miskonsepsi menurut Paul Suparno (2005:55) adalah (1) mencari atau meng- ungkap miskonsepsi yang dilakukan siswa; (2) mencoba menemukan penyebab miskonsepsi tersebut; (3) mencari perlakuan yang sesuai untuk mengatasi".

Sedangkan menurut van den Berg (1991: 22), terdapat beberapa saran untuk mengatasi miskonsepsi, antara lain :

a) Mempelajari miskonsepsi yang sering terjadi pada siswa

b) Menyadari dalam diri ada miskonsepsi atau tidak

c) Mencoba menggunakan demonstrasi

d) Menentukan prioritas dan pengajaran remidial khusus untuk materi dasar dan prasyarat untuk materi lain.

e) Mencari soal-soal konsep tanpa mengabaikan perhitungan. Selain itu untuk mencegah terjadinya miskonsepsi, penting bagi guru

mengajarkan konsep yang benar sejak awal kepada siswa. (Daniel Muijs dan David Reynolds, 2005: 212).

commit to user

a. Alat Identifikasi Miskonsepsi

Identifikasi miskonsepsi adalah suatu cara yang dilakukan untuk meng- identifikasi belajar siswa yang mengalami kesalahan dalam memahami konsep. Kesalahan tersebut adalah konsep siswa yang berbeda dengan konsep para ahli. Ada beberapa alat deteksi yang sering digunakan para peneliti dan guru, yaitu:

1) Peta konsep (Concept Maps)

Peta konsep Fisika dapat digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi siswa dalam bidang Fisika. Peta konsep yang mengungkapkan hubungan berarti antara konsep-konsep dan menekankan gagasan-gagasan pokok, yang disusun hirarkis, dengan jelas dapat mengungkap miskonsepsi siswa yang digambarkan dalam peta konsep tersebut. Miskonsepsi siswa dapat diidentifikasi dengan melihat apakah hubungan antara konsep-konsep itu benar atau salah.

2) Tes Multiple Choice dengan Reasoning Terbuka

Amir dkk (1987), menggunakan tes pilihan ganda (multiple choice) dengan pertanyaan terbuka di mana siswa harus menjawab dan menulis mengapa ia mempunyai jawaban seperti itu. Jawaban-jawaban yang salah dalam pilihan ganda ini selanjutnya dijadikan bahan tes berikutnya. Pada tes multiple choice dengan reasoning terbuka, dibagian alasan siswa harus menuliskan alasan dari jawaban yang ia pilih. Beberapa peneliti lain menggunakan pilihan ganda dengan interview. Berdasarkan hasil jawaban yang tidak benar dalam pilihan ganda itu, mereka mewawancarai siswa. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk meneliti bagaimana siswa berfikir, dan mengapa mereka berfikir seperti itu.

3) Tes Esai Tertulis

Suatu tes yang berbentuk esai memuat beberapa konsep fisika yang memang hendak diajarkan atau yang sudah diajarkan. Tes berbentuk esai dapat digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi, yaitu melalui tulisan atau jawaban yang ditulis siswa. Sebelum guru memberikan suatu materi tertentu pada siswa, guru

commit to user

Bentuk tes esai juga dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap materi yang sudah diajarkan oleh guru. Dengan demikian, seorang guru dapat mengetahui siswa yang mengalami miskonsepsi dan dalam sub-bidang materi apa.

4) Wawancara Diagnosis

Wawancara berdasarkan beberapa konsep fisika tertentu dapat dilakukan juga untuk melihat miskonsepsi pada siswa. Guru memilih beberapa konsep fisika yang diperkirakan sulit dimengerti siswa, atau beberapa konsep fisika yang pokok dari bahan yang hendak diajarkan. Kemudian siswa diajak untuk mengekpresikan gagasan mereka mengenai konsep-konsep di atas. Dari sini dapat dimengerti miskonsepsi yang ada dan sekaligus ditanyakan dari mana mereka memperoleh miskonsepsi tersebut. Wawancara diagnosis dapat berbentuk bebas atau berbentuk terstruktur

5) Diskusi Dalam Kelas

Dalam kelas siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan mereka tentang konsep yang sudah diajarkan atau yang hendak diajarkan. Dari diskusi kelas itu dapat dideteksi juga apakah gagasan mereka itu tepat atau tidak. Dari diskusi tersebut, guru atau peneliti dapat mengetahui miskonsepsi yang dimiliki siswa. Hal yang perlu diperhatikan dalam diskusi kelas adalah membantu agar setiap siswa berani bicara untuk mengungkapkan pikiran mereka tentang persoalan yang dibahas.

6) Praktikum Dengan Tanya Jawab

Praktikum yang disertai dengan tanya jawab antara guru dengan siswa yang melakukan praktikum juga dapat digunakan untuk mendeteksi apakah siswa mempunyai miskonsepsi tentang konsep pada praktikum itu atau tidak. Selama praktikum, guru selalu bertanya bagaimana konsep siswa dan bagaimana siswa menjelaskan persoalan dalam praktikum tersebut.

commit to user

Identifikasi miskonsepsi salah satunya dapat dilakukan dengan mem- berikan tes diagnostik pada siswa. Slameto (1989: 27) menyatakan "tes diagnostik adalah usaha penilaian untuk menelusuri kelemahan-kelemahan khusus yang dimiliki siswa yang tidak berhasil dalam belajar, juga faktor-faktor yang menguntungkan pada siswa tersebut, untuk dapat digunakan dalam menolong mengatasi kelemahan siswa tersebut". Asep Jihad dan Abdul Haris (1996: 70) menyatakan bahwa "Tes diagnostik berguna untuk mengetahui kesulitan belajar yang dihadapi peserta didik, termasuk kesalahan pemahaman konsep". Penekanan tes diagnostik adalah pada proses belajar dan bukan pada hasil belajar.

Eric Mazur (1997: 26) menyatakan kriteria yang seharusnya dimiliki oleh soal tes konsep adalah "1) focus on a single concept, 2) not be solvable by relying on equations, 3) have adequate multiple-choice answers, 4) be unambiguously worded, 5) be neither too easy nor too difficult" . Atau dengan kata lain soal test yang baik memiliki kriteria 1) fokus pada satu konsep, 2) tidak dapat diselesaikan dengan mengandalkan persamaan matematis, 3) jawaban soal dapat dibuat dalam bentuk pilihan ganda, 4) kata-katanya tidak ambigu, 5) tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit.

Ada beberapa macam tes diagnostik yang digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa, diantaranya adalah dengan memberikan soal tes berbentuk multiple choice dengan reasoning terbuka, beberapa peneliti lain menggunakan pilihan ganda (multiple choice) dengan alasan yang sudah ditentukan. Dan sebagian lagi menggunakan tes esai untuk mendeteksi miskonsepsi. Adapun kelebihan dan kekurangan dari masing-masing jenis tes diagnostik tersebut adalah sebagai berikut:

1) Tes Multiple Choice dengan Reasoning Terbuka

Tes multiple choice dengan reasoning terbuka adalah soal tes konsep yang berbentuk pilihan ganda dimana siswa diharuskan untuk menuliskan alasan dari jawaban yang ia pilih. Tes multiple choice beralasan adalah suatu cara yang ditempuh antara lain dengan mengontrol suatu item menggunakan suatu item lain

commit to user

dianggap benar atau memahami jika pilihan dan alasan yang diberikan siswa juga benar.

Kelebihan dari bentuk soal seperti ini adalah alasan yang ditulis siswa bersifat terbuka, artinya siswa bebas menuangkan alasan berdasarkan ide pikirannya sendiri.

Kelemahan dari bentuk tes ini adalah peneliti susah dalam menganalisis karena akan diperoleh beranekaragam jawaban alasan dari siswa. Selain itu peneliti juga harus memikirkan cara bagaimana menyuruh siswa untuk bersedia menuliskan alasan dari jawaban yang ia pilih. Terutama siswa SMA, mereka kecenderungan kesulitan menuangkan konsep mereka dalam bentuk kata-kata.

2) Tes Multiple Choice dengan Alasan Sudah Ditentukan

Tes multiple choise dengan alasan yang sudah ditentukan adalah tes konsep yang berbentuk pilihan ganda beralasan dimana alasan sudah ditentukan oleh peneliti. Siswa diharuskan memilih alasan yang sudah tersedia sebagai sebab dari pilihan jawaban yang ia pilih.

Kelebihan lebih memudahkan peneliti dalam menganalisis data yang diperoleh. Sedangkan kelemahannya adalah membatasi pemikiran siswa, alasan siswa yang tidak tercantum dalam pilihan itu, tidak terungkap.

3) Tes esai tertulis

Bentuk tes esai tertulis ini biasanya menghendaki jawaban berupa penjelasan. Dari penjelasan itulah dapat diketahui miskonsepsi yang terjadi pada diri siswa.

Kelebihan tidak ada batasan bagi jawaban siswa. Pada bentuk tes esai tertulis ini siswa dibebaskan dalam menjawab dan memberikan alasan sesuai dengan pemikirannya. Perbedaan mendasar dengan bentuk tes pilihan ganda dengan alasan terbuka adalah pada tipe soal Tes multiple choice dengan reasoning terbuka siswa masih dibatasi dalam memilih jawaban, sedangkan pada bentuk esai tertulis selain siswa bebas dalam memberikan alasan siswa juga bebas dalam memberikan jawaban sesuai pemikirannya.

commit to user

berisiko keluar dari kontek penelitian.

4) Bentuk Tes yang Digunakan Dalam Penelitian

Berdasarkan penjabaran yang telah diuraikan di atas, dalam penelitian ini peneliti menggunakan bentuk tes objektif dengan alasan sudah ditentukan. Pemilihan bentuk tes tersebut didasarkan pada berbagai pertimbangan peneliti, diantaranya:

a) Memudahkan peneliti dalam menganalisis data yang diperoleh.

b) Kondisi subyek penelitian. Kondisi subyek yang dimaksud adalah adanya beberapa sikap dari subyek penelitian yang kurang baik, seperti sikap malas mengerjakan dan tidak disiplin.

c) Untuk mencegah terjadinya siswa yang abstain dalam menjawab.

4. Dinamika Partikel

a. Hukum I Newton Hukum pertama Newton menyatakan:

In the absence of external forces, when viewed from an inertial reference frame, an object at rest remains at rest and an object in motion continues in motion with a constant velocity (that is, with a constant speed in a straight line. Atau dengan kata lain jika tidak ada gaya luar yang bekerja sebuah benda, benda yang diam akan tetap diam dan benda bergerak akan terus bergerak dengan kecepatan konstan pada lintasan lurus. (Serway, 2004:115).