Urgensi Sertifikas Dani Kelembagaan Asuransi

LAPORAN AKHIR DESENTRALISASI/ PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI URGENSI SERTIFIKASI ASURANSI SYARIAH (TAKAFUL) DALAM RANGKA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH

Tahun Ke 2 dari rencana 2 Tahun

Ketua: Dr. Lastuti Abubakar, S.H.,M.H

(0016096208) Anggota:

C. Sukmadilaga, S.E.,MBA.,Ph.D

(0001018003) Tri Handayani, S.H.,M.H (0002128103)

Sesuai dengan Keputusan a.n Rektor, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Unpad Tentang Penetapan Pelaksanaan Penugasan Skema Unggulan Perguruan Tinggi Nomor: 19/UN6.R/PL/2014 tanggal 17 Januari 2014

UNIVERSITAS PADJADJARAN OKTOBER 2014

Ringkasan

Asuransi Syariah (Takaful ) merupakan salah satu institusi keuangan yang bertumpu pada prinsip tolong menolong (mutual cooperation) sebagai cara membagi risiko (risk sharing) diantara para partisipan. Berbeda dengan asuransi konvensional, asuransi syariah harus patuh pada prinsip syariah (sharia compliance), yang melarang aktivitas bisnis berbasis bunga (riba), ketidakpastian (gharar) dan perjudian (maysir). Oleh karena itu, baik regulator maupun pelaku industri perlu memastikan bahwa mekanisme dan produk yang ditawarkan telah memenuhi prinsip syariah. salah satu cara untuk memastikan bahwa kelembagaan Takaful telah mematuhi prinsip syariah adalah melalui cara sertifikasi. Permasalahan utama yang dikaji dalam penelitian tahun ke-2 ini adalah urgensi standarisasi polis yang meliputi substansi, regulasi dan penegakan hukum sebagai salah satu unsur sertifkasi kelembagaan asuransi syariah.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yang didukung dengan metode perbandingan hukum. Spesifikasi penelitian adalah deskriptif analitis dan data sekunder yang didukung dengan studi lapangan dianalisa secara yuridis kualitatif.

Berdasarkan penelitian diperoleh hasil sebagai berikut : substansi yang harus dimasukkan ke dalam polis terdiri dari ketentuan pokok sebagai implementasi prinsip syariah antara lain dana tabarru’, akad tijarah yakni wakalah bil ujrah dan mudharabah ,kontribusi dan surplus underwriting, dan ketentuan tambahan yang memastikan prinsip transparansi yakni pemotongan biaya, beban biaya, penyelesaian sengketa dan terminologi. Selanjutnya OJK dan AASI merupakan institusi yang berperan dalam melakukan regulasi, pembinaan dan pengawasan untuk menjamin standar polis sebagai syarat bagi kepatuhan terhadap prinsip syariah. Penegakan hukum dalam praktik asuransi syariah bersifat komprehensif, dilakukan secara berjenjang dengan menggunakan restorative justice approach.

Kata Kunci: Asuransi Syariah (Takaful), Standarisasi Polis, dan Perlindungan Nasabah.

ABSTRACT

Islamic Insurance (Takaful) is one of the financial institutions, which is based on the principle of mutual cooperation as a way of risk sharing among the participants. Contradiction with conventional insurance, Islamic insurance must comply with Sharia principles, which prohibits business activities based on interest (riba), uncertainty (gharar) and gambling (maysir). Therefore, both regulators and industry players need to ensure that the mechanisms and products offered have fulfilled sharia’ principles. One way to ensure that the institution complies with Islamic principles of Takaful is using certification. The main issues for the second year of this research is the urgency of standardization agreement that covers the substance, regulatory and law enforcement as one of the elements of the institutional certification Islamic Insurance. This study used a normative juridical approach that supported by the comparative law method. Our methodology using descriptive analytical research and secondary data which have analyze by qualitative juridical. This research had findings as follows: the substance that should be incorporated into policy consists of the principal provisions of the implementation of sharia principles tabarru’ fund, the contract tijarah such as wakalah bil ujrah and mudharaba, contribution and underwriting surplus, and additional point of agreement that ensure the principles of transparency such as cost reduction, expenses, dispute resolution and terminology. Furthermore, the FSA and AASI are institutions that play a role in regulating, guidance and supervision to ensure the standard of agreement as a requirement for compliance with Islamic Principles. Law enforcement in the practice of Islamic Insurance is comprehensive, conducted in phases by using the restorative justice approach.

Keywords: Islamic Insurance (Takaful), Standards of Agreements and Customer Protection.

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena dengan perkenan Nya , tim peneliti dapat menyelesaikan penelitian degan judul “ Urgensi Sertifikasi Kelembagaan Asuransi Syariah ( Takaful) dalam Rangka Perlindungan Hukum Nasabah”.

Penelitian ini tidak dapat kami selesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak, yang tidak dapat kami sebutkan saru persatu. Terima kasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Padjadjaran atas kesempatan yang diberikan kepada Tim Peneliti untuk melakukan penelitian ini, Para Evaluator Penelitian yang telah memberikan masukan-masukan yang berharga untuk perbaikan penelitian.Tak lupa, terimakasih kami sampaikan kepada Direktur Institusi Keuangan Non Bank (IKNB) Syariah, Bapak Moch. Muchlasin dan tim, yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi, menerima Tim Peneliti dalam mengumpulkan bahan , baik melalui wawancara maupun bahan-bahan yang diperlukan. Terimakasih kami sampaikan pula kepada Sekretaris Eksekuif- Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI), Bapak Ayim Ayatulloh, atas waktu yang disediakan bagi Tim , dan masukan –masukan yang berharga untuk melengkapi penelitian ini.

Akhir kata, kami menyadari bahwa hasil penelitian ini masih memerlukan kajian-kajian lebih lanjut untuk memperoleh hasil yang optimal, namun besar harapan kami hasil penelitian ini bermanfaat bagi regulator dalam membuat kebijakan, bagi pelaku industri, dan bagi dunia pendidikan , khusunya bidang ekonomi syariah.

Bandung, 29 Oktober 2014

Salaam, Tim Peneliti, Dr . Lastuti Abubakar,S.H.,M.H. Citra Sukmadilaga, S.E.,MBA., Ph.D Tri Handayanai, S.H.,M.H.

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan

Daftar Isi

iv

Daftar Gambar

Daftar Lampiran

vi

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

1.2 Permasalahan Hukum

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1 Polis Sebagai Dasar Hubungan Hukum Antara

Perusahaan Asuransi Syariah dan Peserta (Praktik dan Regulasi di Indonesia)

2.1.1 Kedudukan Polis Dalam Aktivitas Asuransi Syariah

2.1.2 Standarisasi Polis Sebagai Upaya untuk Memastikan

14 Kepatuhan Terhadap Prinsip Syariah (Sharia Compliance)

2.1.3 Pengaturan Standarisasi Polis Asuransi Syariah

2.1.4 Peran Regulator dan AASI dalam Program Standarisasi Polis

24 Asuransi Syariah

2.2 Polis Sebagai Dasar Hubungan Hukum Antara Perusahaan Asuransi Syariah dan Peserta (Praktik dan Regulasi Di Malaysia)

2.2.1 Kedudukan Polis dalam Aktivitas Takaful

2.2.2 Standarisasi Polis Sebagai Upaya untuk Memastikan

38 Kepatuhan Terhadap Prinsip Syariah (Sharia Compliance)

2.2.3 Sertifikasi dalam Aktivitas Takaful di Malaysia

2.2.4 Pengaturan Sertifikasi Terhadap Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai Penunjang Aktivitas Takaful

2.2.5 Peran Bank Negara Malaysia Sebagai Regulator dan

Malaysian Takaful Association dalam Sertifikasi Takaful

BAB III Tujuan dan Manfaat Penelitian

3.1 Tujuan Penelitian

3.2 Luaran Dan Manfaat Penelitian

BAB IV Metode Penelitian

4.1 Spesifikasi Penelitian

4.2 Metode Pendekatan

4.3 Tahap Penelitian Penelitian Dan Teknik Pengumpulan Data BAB V Hasil dan Pembahasan

5.1 Substansi Yang Harus dimuat dalam Standar

kontrak/Akad Asuransi Untuk Menjamin Kepatuhan Terhadap Prinsip Syariah

5.1.1 Pemisahan Akad Tabarru’ dan Tijarah Dalam Polis

5.1.2 Pencantuman Kegunaan Dana Tabarru’ Bagi Peserta

5.2 Jenis Regulasi Yang Tepat untuk Memuat Kewajiban

Sertifikasi Bagi Perusahaan Asuransi Syariah Baik Di Level Management Maupun Agen Penjual

5.2.1 Peraturan OJK Tentang Kewajiban Sertifikasi Kelembagaan

5.2.2 Sertifikasi Agen Penjual Oleh AASI dan Lembaga

5.2.3 Akibat Hukum Tidak Memenuhi Sertifikasi

5.3 Model/ konsep Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran

Prinsip Syariah Oleh Perusahaan Asuransi Syariah

5.3.1 Pusat Pengaduan Nasabah Sebagai Langkah Hukum Perlindungan Bagi Nasabah Asuransi Syariah

5.3.2 Pengawasan Internal Penyelenggaraan Asuransi Syariah Oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS)

5.3.3 Penegakan Hukum Melalui Lembaga Alternatif Penyelesaan Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan

5.3.4 Penegakan Hukum Dan Penjatuhan Sanksi Oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

BAB VI Kesimpulan Dan Saran

Daftar Pustaka

Lampiran

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu kendala yang dihadapi industri asuransi syariah di Indonesia dalam meningkatkan pangsa pasar adalah memberikan pemahaman tentang asuransi syariah. IKNB Syariah OJK mengakui sulitnya mengedukasi masyarakat

terkait aktivitas asuransi syariah ini. 1 Dalam praktik, salah satu hambatan adalah tidak adanya perbedaan cara penjualan produk asuransi syariah dengan

konvensional. Di level terdepan, yakni agen penjual, pemahaman substansi asuransi syariah masih ditafsirkan tidak jauh berbeda dengan produk asuransi konvensional. Berdasarkan wawancara dengan beberapa agen asuransi syariah, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tentang prinsip dasar asuransi syariah menjadi kendala bagi agen untuk meyakinkan nasabah terhadap perbedaan asuransi syariah dan konvensional. Oleh karena itu, diperlukan satu upaya konkrit untuk memastikan bahwa para pelaku usaha asuransi syariah memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang asuransi syariah dan produk yang ditawarkan. Sertifikasi kelembagaan asuransi syariah merupakan salah satu solusinya. Sertifikasi kelembagaan bagi perusahaan asuransi yang menawarkan produk syariah akan berdampak terhadap beberapa hal :

a. Merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perlunya asuransi, khususnya asuransi syariah.

b. Diharapkan sertifikasi dapat meningkatkan pertumbuhan dan mendorong penjualan produk asuransi syariah

c. Upaya untuk mengantisipasi masuknya perusahaan asuransi syariah global yang menjangkau pasar Indonesia.

1 Hasil wawancara dengan Direktur IKNB Syariah OJK, Bapak Muklasin pada tanggal

23 Mei 2014.

d. Memenuhi standar global agar mampu berkompetisi tidak saja di tingkat nasional, namun dapat menjangkau pasar regional dan global.

Berdasarkan hasil penelitian tahun pertama diperoleh hasil bahwa saat ini masih terdapat polis sebagai dasar hubungan hukum yang beragam bentuk dan isinya. AASI sebagai asosiasi baru menggagas adanya polis asuransi yang bersifat standar untuk memberikan kepastian dan jaminan kepada nasabah bahwa operasional takaful sudah patuh terhadap prinsip syariah. Namun demikian, polis yang sekarang digunakan oleh perusahaan asuransi syariah wajib berpedoman pada Fatwa DSN No : 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Beberapa hal yang harus diakomodasikan dalam polis adalah sebagai berikut :

a. Kontrak (akad) tidak mengandung gharar (penipuan); maysir (judi); riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap); barang haram dan maksiat.

b. Kontrak harus jelas menyebutkan akad tabarru untuk kontribusi dari nasabah selaku partisipan takaful, dan akad tijarah untuk pengelolaan dana tabarru.

c. Kontribusi yang diberikan oleh partisipansebagai dana tabarru yang akan dikelola oleh perusahaan takaful.

d. Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan

e. Cara dan waktu pembayaran kontribusi.

f. Jenis akad tijarah dan/atau tabarru serta syarat-syarat yang disepakati sesuai dengan jenis asuransi yang diperjanjikan.

Dalam konteks sertifikasi, pedoman yang lebih rinci dalam pembuatan kontrak (polis) menjadi urgen untuk menghindari kesalahan dalam menerjemahkan prinsip syariah, khususnya untuk menghindari larangan dalam syariah. Oleh karena itu, kontrak standar seharusnya menjadi salah satu objek sertifikasi dalam operasional takaful di Indonesia. Berkenaan dengan polis standar ini, AASI sudah menggagas pedoman polis asuransi syariah, bekerjasama dengan DSN, OJK dan IIS dan saat ini sudah menjadi agenda di OJK untuk Asuransi syariah. Perbedaan mendasar antara asuransi konvensional dan syariah terletak

dari prinsip yang mendasari aktivitasnya, yakni harus terbebas dari unsur-unsur yang secara syariah dilarang termasuk dalam aktivitas ekonomi dilarang riba, maysir dan gharar. Unsur- unsur ini harus dipastikan tidak terdapat dalam aktivitas asuransi syariah baik dari kelembagan, produk maupun proses. Dengan kata lain , perusahaan asuransi syariah (takaful) harus menjamin bahwa perusahaan ,patuh pada pelaksanaan prinsip syariah ( sharia compliance). Calon nasabah atau nasabah berhak mendapat jaminan bahwa perusahaan menjalankan dan mengelola dana takaful sesuai dengan prinsip syariah. Kewajiban perusahaan takaful untuk menjamin kepatuhan terhadap prinsip syariah secara legal dituangkan dalam kontrak (akad) yang merupakan dasar terjadinya hubungan hukum antara perusahaan takaful dengan nasabah. Secara khusus fatwa DSN no : 21/DSN-MUI/IX/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah mengatur secara khusus akad antara perusahaan takaful dan nasabah yang sesuai dengan prinsip syariah , yaitu yang tidak mengandung gharar (penipuan/ketidakpastian); masyir (perjudian); riba ; zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.

Selain secara substansi, akad antara perusahaan takaful dan nasabah harus memenuhi ketentuan di atas, hal yang perlu diperhatikan oleh perusahaan asuransi syariah adalah adanya pembedaan jenis akad yang harus dibuat atau disiapkan oleh perusahaan takaful. Berbeda dengan asuransi konvensional yang menjadikan sertifikat polish sebagai bukti telah dibuatnya perjanjian antara perusahaan asuransi dengan nasabah, yang mengatur kewajiban dan hak para pihak, maka dalam takaful wajib dibuat 2 akad untuk memenuhi unsur saling tolong menolong atau memastikan penerapan mprinsip mutual cooperation yang menghilangkan unsur gharar atau sesuatu yang tidak pasti ( uncertainty) dalam asuransi konvensional Larangan gharar (ketidakpastian/uncertainty) dalam praktik pengelolaan dana takaful dalam mekanisme takaful harus dimaknai secara baik dengan melihat mekanisme akad yang digunakan baik diantara para pastisipan maupun antara partisipan dan pengelola dana takaful. Penggunaan akad tabarru’ pada saat para partisipan mendonasikan dana untuk dimasukkan dalam dana takaful dipandang sebagai cara untuk meniadakan unsur gharar. Berdasarkan Selain secara substansi, akad antara perusahaan takaful dan nasabah harus memenuhi ketentuan di atas, hal yang perlu diperhatikan oleh perusahaan asuransi syariah adalah adanya pembedaan jenis akad yang harus dibuat atau disiapkan oleh perusahaan takaful. Berbeda dengan asuransi konvensional yang menjadikan sertifikat polish sebagai bukti telah dibuatnya perjanjian antara perusahaan asuransi dengan nasabah, yang mengatur kewajiban dan hak para pihak, maka dalam takaful wajib dibuat 2 akad untuk memenuhi unsur saling tolong menolong atau memastikan penerapan mprinsip mutual cooperation yang menghilangkan unsur gharar atau sesuatu yang tidak pasti ( uncertainty) dalam asuransi konvensional Larangan gharar (ketidakpastian/uncertainty) dalam praktik pengelolaan dana takaful dalam mekanisme takaful harus dimaknai secara baik dengan melihat mekanisme akad yang digunakan baik diantara para pastisipan maupun antara partisipan dan pengelola dana takaful. Penggunaan akad tabarru’ pada saat para partisipan mendonasikan dana untuk dimasukkan dalam dana takaful dipandang sebagai cara untuk meniadakan unsur gharar. Berdasarkan

Prinsip mutual cooperation (kerjasama dalam kebajikan atau tolong menolong) dalam mekanisme takaful tidak dapat dilepaskan dari penggunaan akad tabarru pada saat partisipan mendonasikan sejumlah dana ke dalam dana takaful. Namun demkian, prinsip ini tidak menghalangi pengelola dana takaful atau perusahaan asuransi syariah untuk memperoleh keuntungan berdasarkan akad tijarah(komersial) dengan menggunakan model-model akad, antara lain akad wakalah dan mudharabah. Keuntungan yang diperoleh tetap patuh pada prinsip syariah yaitu tidak berasal dari riba, melainkan berasal dari aktivitas pengelolaan dan investasi dana takaful melalui fee based income dan profit sharing. Oleh karena itu, perusahaan takaful harus menggunakan akad yang berbeda dengan perjanjian yang dituangkan dalam sertifikat atau polish asuransi. berkaitan dengan akad yang digunakan, saat ini perusahaan asuransi syariah menggunakan 1 kontrak yang memuat dua akad, artinya hanya dibuat 1 kontrak sebagai dasar hubungan hukum yang memuat baik akad tabarru maupun akad tijarah (pengelolaan atau investasi). Hubungan hukum itu seharusnya dituangkan dalam polis standar sebagai perjanjian diantara perusahaan asuransi dan peserta.

Sebagaimana layaknya pelaku usaha yang melayani nasabah dalam jumlah besar, perusahaan takaful lazim menggunakan standar kontrak sebagai dasar hubungan hukum antara perusahaan dengan nasabah. Regulasi yang ada . tidak menetapkan kontrak standar yang seragam diantara perusahaan asuransi, namun demikian Dewan Syariah Nasional memberikan pedoman dalam membuat perjanjian , khususnya substansi yang harus dimasukkan dalam perjanjian. Fatwa DSN No : 21 memberikan pedoman bahwa setidak-tidaknya klausul dalam akad antara perusahaan takaful dan nasabah harus memuat hal-hal sebagai berikut :

1. Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan;

2. Cara dan waktu pembayaran premi;

3. Jenis akad tijarah dan/atau akad tabarru serta syarat –syaratyang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.

Mengacu pada Fatwa DSN di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dimungkinkan bahwa dalam mekanisme takaful di buat dalam 1 akad yang memuat akad tijarah dan akad tabarru, atau dibuat dalam 2 akad yang terpisah, yakni akad tabarru dan akad tijarah. Pemilihan akad akan menentukan kedudukan para pihak dalam akad yang dibuat. Fatwa DSN memberikan pedoman terkait kedudukan para pihak yakni :

a. dalam akad tijarah (mudharabah) perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis);

b. dalam akad tabarru (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah, sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.

Standar kontrak atau akad yang akan dibuat harus memperhatikan ketentuan bahwa akad tijarah dapat diubah menjadi akad tabarru’ bila pihak yang tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya. Namun demikian, akad tabarru’ tidak dapat diubah menjadi akad tijarah. Kontrak standar atau polis dari perusahaan asuransi syariah menjadi dasar bagi nasabah asuransi untuk memperjuangkan haknya. Oleh karena itu diperlukan polis yang bersifat standar untuk mengakomodasi kepentingan nasabah.

1.2.Identifikasi Masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan dalam latar belakang, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Substansi apa yang harus dimuat dalam standar kontrak/akad asuransi untuk menjamin kepatuhan terhadap prinsip syariah?

2. Jenis regulasi yang tepat untuk memuat kewajiban standarisasi polis dan sertifikasi bagi perusahaan asuransi syariah baik di level manajemen maupun agen penjual?

3. Model /konsep penegakan hukum terhadap pelanggaran prinsip syariah oleh perusahaan asuransi syariah?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2. POLIS SEBAGAI DASAR HUBUNGAN HUKUM ANTARA PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH DAN PESERTA (PRAKTIK DAN REGULASI DI INDONESIA)

2.1.1 Kedudukan Polis dalam Aktivitas Asuransi Syariah

Polis merupakan bentuk dari akad atau perjanjian tertulis antara perusahaan asuransi syariah dengan para peserta yang memuat kesepakatan tertentu , khususnya hak dan kewajiban para pihak sesuai prinsip syariah. Polis asuransi merupakan dasar dari terciptanya suatu hubungan hukum antara perusahaan asuransi dengan pemegang polis, yang dimaksud dengan polis asuransi ini adalah suatu bukti tertulis atau surat perjanjian antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian asuransi. Dengan adanya polis asuransi perjanjian antara kedua belah pihak mendapatkan kekuatan secara hukum. Sementara Definisi dari polis menurut Ketentuan Umum Polis Asuransi Jiwa Kumpulan Syariah dalam Pasal 1 di jelaskan bahwa :

‘Polis merupakan bukti perikatan hukum antara peserta dan pengelola yang memuat antara lain Ringkasan Polis, Ketentuan Umum dan Ketentuan tertulis lainnya (jika ada) yang memuat syarat-syarat asuransi beserta tambahan dan perubahannya.’

Di dalam polis inilah dituangkan hak dan kewajiban masing-masing pihak . Polis asuransi syariah tentunya berbeda dengan polis asuransi konvensional, karena polis asuransi syariah selain harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, juga harus patuh pada prinsip syariah. Berbeda dengan Di dalam polis inilah dituangkan hak dan kewajiban masing-masing pihak . Polis asuransi syariah tentunya berbeda dengan polis asuransi konvensional, karena polis asuransi syariah selain harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, juga harus patuh pada prinsip syariah. Berbeda dengan

a. Pengelolaan risiko : asuransi konvensional menggunakan metode pengalihan risiko dari nasabah ke perusahaan asuransi, sehingga perusahaan asuransi harus membayar kerugian berdasarkan kesepakatan (risk transfer), sedangkan dalam asuransi syariah tidak dikenal transfer risiko, namun seluruh peserta (partisipan) bersama- sama menyisihkan dana atau donasi untuk menolong anggota lain apabila terjadi risiko kerugian yang diderita (risk sharing).

b. Status dan pengelolaan dana : premi yang dibayarkan oleh nasabah asuransi konvensional menjadi milik perusahaan, yang pengelolaannya diserahkan sepenuhnya pada perusahaan, dan atas pembayaran premi ini, peserta mendapatkan hak untuk ganti rugi apabila terjadi peristiwa yang disepakati. Sedangkan dalam asuransi syariah, dana yang berasal dari donasi atau kontribusi para partisipan dikelola sebagai dana yang terpisah dari aset perusahaan dan diinvestasikan pada produk investasi yang memenuhi prinsip syariah. Dana ini akan disimpan dalam rekening khusus,yang apabila terjadi risiko , akan dibayarkan dari dana tersebut yang memang ditujukan sebagai donasi untuk saling tolong diantara sesama partisipan.

c. Jenis kontrak : kejelasan kontrak merupakan unsur esensi dalam praktik muamalah karena menentukan sah atau tidaknya akad. Dalam asuransi konvensional, hubungan antara perusahaan asuransi dan peserta adalah akad jual beli (tabaduli) , dimana peserta membayar premi dan perusahaan akan membayar ganti rugi apabila timbul risiko akibat kejadian yang belum tentu. Pembayaran premi ditentukan oleh usia peserta, yang juga tidak dapat ditentukan masa usianya (dalam asuransi jiwa), sehingga mengandung unsur gharar. Sedangkan dalam c. Jenis kontrak : kejelasan kontrak merupakan unsur esensi dalam praktik muamalah karena menentukan sah atau tidaknya akad. Dalam asuransi konvensional, hubungan antara perusahaan asuransi dan peserta adalah akad jual beli (tabaduli) , dimana peserta membayar premi dan perusahaan akan membayar ganti rugi apabila timbul risiko akibat kejadian yang belum tentu. Pembayaran premi ditentukan oleh usia peserta, yang juga tidak dapat ditentukan masa usianya (dalam asuransi jiwa), sehingga mengandung unsur gharar. Sedangkan dalam

d. Pengembalian dana : dalam asuransi konvensional yang tidak mengandung unsur tabungan, apabila selama satu tahun tidak ada klaim dari peserta asuransi atau peserta tidak melanjutkan pembayaran premi/tidak melanjutkan perjanjian asuransi, maka premi yang sudah dibayarkan tidak dikembalikan atau hangus dan menjadi keuntungan perusahaan asuransi. Dalam asuransi syariah, tidak dikenal dana hangus apabila partisipan berhenti sebelum masa perjanjian berakhir. Berdasarkan Fatwa DSN No : 81/DSN-MUI/III/2011, sebagian dana tabarru akan dikembalikan kepada para partisipan apabila peserta berhenti sebelum masa perjanjian berakhir. Fatwa DSN juga mengatur mengenai ketentuan pengembalian dana tabarru tersebut sebagai berikut :

1) peserta asuransi syariah secara individu tidak boleh meminta kembali dana tabarru yang sudah dibayarkan kepada perusahaan asuransi sebagai wakil dar peserta asuransi secara kolektif;

2) perusahaan asuransi syariah dalam kapasitasnya sebagai wakil para partisipan, tidak berwenang mengembalikan dana tabarru

3) peserta asuransi syariah secara kolektif sebagai penerima dana tabarru, memiliki kewenangan untuk membuat aturan –aturan mengenai

penggunaan dana tabarru’, termasuk mengembalikan dana tabarru kepada peserta asuransi secara individu yang berhenti sebelum masa perjanjian berakhir;

4) dalam hal peserta asuransi syariah secara kolektif memberikan kewenangan kepada perusahaan asuransi , maka kewenangan tersebut harus dinyatakan secara jelas sejak akad dilakukan; dan

5) dalam hal perusahaan asuransi mendapatkan kewenangan dalam kapasitasinya sebagai wakil dari peserta asuransi secara kolektif, perusahaan asuransi syariah harus membuat ketentuan mengenai pengelolaan dana tabarru’, termasuk ketentuan mengenai pengembalian dana tabbaru kepada peserta asuransi secra individu yang berhenti sebelum masa perkanjian berakhir.

Selain perbedaan substansi yang harus diterjemahkan dalam klausul- klausul, maka polis asuransi syariah dibedakan anatara polis asuransi jiwa syariah dan polis asuransi umum syariah. Berkenaan dengan polis asuransi syariah ini, AASI telah menerbitkan pedoman polis asuransi jiwa dan asuransi umum berdasarkan prinsip syariah. Kewajiban menerbitkan pedoman ini mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan No : 18/PMK.010/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No : 227/PMK.010/2012 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah

2.1.3 Standarisasi Polis Sebagai Upaya untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip syariah ( sharia compliance).

Pada dasarnya, hubungan antara perusahaan asuransi syariah dan peserta/partisipan merupakan hubungan kontraktual. Mengacu pada ketentuan umum dalam KUHD, perjanjian asuransi merupakan perjanjian yang bersifat konsensual, artinya kesepakatan diantara para pihak telah menimbulkan hubungan hukum dan mengikat para pihak. Dengan demikian, polis merupakan bukti tertulis adanya kesepakatan diantara para pihak, yang telah lahir berdasarkan kesepakatan. Asas konsensualisme dalam perjanjian Pada dasarnya, hubungan antara perusahaan asuransi syariah dan peserta/partisipan merupakan hubungan kontraktual. Mengacu pada ketentuan umum dalam KUHD, perjanjian asuransi merupakan perjanjian yang bersifat konsensual, artinya kesepakatan diantara para pihak telah menimbulkan hubungan hukum dan mengikat para pihak. Dengan demikian, polis merupakan bukti tertulis adanya kesepakatan diantara para pihak, yang telah lahir berdasarkan kesepakatan. Asas konsensualisme dalam perjanjian

1. kesepakatan diantara para pihak

2. kecakapan melakukan perbuatan hukum

3. objek tertentu

4. sebab yang halal Berdasarkan regulasi, perusahaan asuransi syariah wajib menerbitkan polis sebagai bukti hubungan hukum antara perusahaan dan peserta/partisipan, yang berisi hak dan kewajiban para pihak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bentuk perjanjian asuransi berbentuk perjanjian tertulis atau polis. Namunn demikian, syarat sah nya perjanjian berdasarkan prinsip syariah berbeda dengan asuransi konvensional. Syarat sah nya akad disebut sebagai rukun akad. Menurut ahli hukum Islam

kontemporer, maka rukun akad terdiri dari : 2

a. para pihak yang membuat akad ( al-aqidan)

b. pernyataan kehendak para pihak ( shigatul-aqd)

c. objek akad ( mahallul aqd)

d. tujuan akad (maudhul al-aqd) Berdasarkan rukun akad di atas, maka polis sebagai perjanjian diantara Perusahaan Asuransi syariah dan Peserta pun harus memenuhi rukun akad tersebut. Sebelum pedoman polis asuransi syariah dikeluarkan oleh AASI, polis yang digunakan oleh perusahaan asuransi syariah tidak seragam.

2 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Rajawali Pers, Jakarta, 2007, hlm. 96 .

Permasalahan yang timbul dalam praktik adalah apakah polis yang dibuat sudah memuat substansi perjanjian (akad) yang sesuai dengan prinsip syariah? Bagaimana memastikan bahwa polis sudah memuat prinsip syariah? Keberadaan standar polis yang substansinya telah ditentukan oleh AASI dan otoritas menjadi jawaban untuk permasalahan di atas. Hal ini diperlukan mengingat beberapa kelemahan kontrak standar, yaitu :

a. kontrak standar identik dengan kontrak yang klausulnya ditentukan oleh satu pihak, yang mempunyai posisi tawar lebih kuat, dalam hal ini perusahaan asuransi syariah.

b. Pihak lainnya, yakni peserta asuransi syariah cenderung tidak dapat melakukan negosiasi, atau kesempatan untuk memperjuangkan kepentingan mereka.

c. Berlaku prinsip “take it or leave it” , yang memberikan pilihan tegas bagi para peserta untuk tunduk dan masuk ke dalam perjanjian atau menolak.

Mengingat karakteristik kontrak standar di atas, maka upaya membuat kontrak standar yang seragam dan patuh terhadap prinsip syariah menjadi kewajiban bagi setiap perusahaan asuransi syariah. Berikut ini dapat dilihat substansi polis yang digunakan dalam praktik dengan mengacu pada syarat substansi akad minimal yang ditentukan dalam Fatwa DSN.

Konsep Kontrak dalam pengikatan perjanjian asuransi syariah dalam Perundang-undangan Perasuransian Syariah di Indonesia, diantaranya:

1. Kontrak Baku (Standard Contract) Di dalam dunia bisnis tertentu, misalnya perdagangan dan

perbankan, terdapat kecenderungan untuk menggunakan apa yang dinamakan kontrak baku, berupa kontrak yang sebelumnya oleh pihak tertentu (perusahaan) telah menentukan secara sepihak sebagian isinya dengan maksud untuk digunakan secara berulang- ulang dengan berbagai pihak/ konsumen perusahaan tersebut.

Dalam kontrak strandar tersebut sebagian besar isinya sudah ditetapkan oleh pihak perusahaan yang tidak membuka kemungkinan untuk dinegosiasikan lagi, dan sebagian lagi sengaja dikosongkan untuk memberikan kesempatan negosiasi dengan pihak konsumen, yang baru diisi setelah diperoleh kesepakatan.

2. Pengaturan Kontrak Baru Secara Syariah Latar belakang tumbuhnya perjanjian standar ini adalah karena

keadaan social ekonomi. Perusahaan besar swasta dan perusahaan- perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingannya menciptakan syarat-syarat tertentu,

diajukan kepada contractpartnenrnya. Pihak lawannya (wanderpartif) yang pada umumnya mempunyai kedudukan ekonomi lemah, baik karena

secara

sepihak

untuk untuk

Namun demikian perjanjian ini mengandung kelemahan karena syarat-syarat yang ditentukan secara sepihak dan pihak lainnya terpaksa menerima keadaan itu karena posisinya yang lemah. Setiap orang mempunyai kebebasan untuk melakukan perjanjian dengan siapapun. Perjanjian antara satu pihak dengan pihak lain tersebut bersifat privat, artinya hanya mengikat kedua belah pihak. Karena itu pihak lain tidak mempunyai hak untuk ikut campur dalam perjanjian tersebut, tidak juga negara (dalam bentuk Undang- Undang). Negara hanya bisa melakukan intervensi dalam hubungan privat/perdata apabila salah satu pihak yang melakukan hubungan perdata berada dalam posisi yang lemah.

Pada dasarnya, Hukum Perserikatan Islam juga menganut asas kebebasan berkontrak yaitu suatu perikatan atau perjanjian akan sah dan mengikat kedua belah pihak apabila ada kesepakatan (antaradhin) yang terwujud dalam 2 (dua) pilar yaitu ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan). Namun demikian tentunya sangat berbeda dalam hal-hal prinsip dalam rangka pembatasan asas kebebasan berkontrak tersebut. Batasan dalam asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam KUHPerdata adalah hasil pemikiran dari manusia, kesusilaan dan ketertiban umum, sementara pembatasan yang ada dalam konsep syariah adalah sebagian besar berasal dari firman Allah SWT yang Pada dasarnya, Hukum Perserikatan Islam juga menganut asas kebebasan berkontrak yaitu suatu perikatan atau perjanjian akan sah dan mengikat kedua belah pihak apabila ada kesepakatan (antaradhin) yang terwujud dalam 2 (dua) pilar yaitu ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan). Namun demikian tentunya sangat berbeda dalam hal-hal prinsip dalam rangka pembatasan asas kebebasan berkontrak tersebut. Batasan dalam asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam KUHPerdata adalah hasil pemikiran dari manusia, kesusilaan dan ketertiban umum, sementara pembatasan yang ada dalam konsep syariah adalah sebagian besar berasal dari firman Allah SWT yang

1. Membuat dan menjual barang najis.

2. Membuat barang-barang yang tidak bermanfaat dalam Islam.

3. Mengandung gharar (ketidakpastian).

4. Mengandung riba (bunga uang).

5. Mengandung maisir (perjudian). Lima materi pembatasan tersebut bisa dijadikan penjelasan bagi

konsep kausa yang halal sebagai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata yang kini dipakai dalam perjanjian kontrak baku dalam dunia perbankan dan perasuransian. Konsep syariah juga menganut asas kebebasan berkontrak namun dengan pembatasan-pembatasan yang lebih spesifik.

2.1.3 Pengaturan Standarisasi Polis Asuransi Syariah

Tidak ditemukan regulasi yang mengatur kewajiban tentang standar polis asuransi syariah. AASI baru menerbitkan pedoman polis asuransi syariah baik untuk asuransi jiwa dan umum pada bulan Mei 2014, dan Tidak ditemukan regulasi yang mengatur kewajiban tentang standar polis asuransi syariah. AASI baru menerbitkan pedoman polis asuransi syariah baik untuk asuransi jiwa dan umum pada bulan Mei 2014, dan

Dalam praktik, memang Tim Peneliti menemukan perusahaan asuransi syariah yang cukup rinci memuat ketentuan dalam polis, namun juga menemukan perusahaan asuransi syariah yang membuat standar polis yang sederhana. Polis asuransi Jiwa Syariah Prudential misalnya, memuat

19 pasal dengan lampiran yang lengkap tentang ketentuan tambahan atau ketentuan khusus, sementara itu polis asuransi Jiwa Blife Syariah Unit Link memuat 25 Pasal. Permasalahan hukumnya, bukan pada banyak sedikitnya klausul dalam polis, melainkan apakah seluruh prinsip-prinsip asuransi syariah yang membedakan nya dengan asuransi konvensional sudah diakomodasikan secara baik dalam polis standar. Mengacu pada pedoman polis yang diterbitkan oleh AASI, maka beberapa substansi yang harus dimasukkan ke dalam polis tidak ditemukan dalam polis yang diterbitkan oleh ke dua perusahaan asuransi syariah tersebut.

Tabel 2.1.3. Polis asuransi syariah berdasarkan pedoman AASI

No Substansi menurut pedoman Asuransi Jiwa Blife Syariah AASI

Syariah

Unit Link

Prudential

1 Pembentukan dana tabarru ✔ ✗ untuk setiap lini usaha

2 Penggunaan dana tabarru ✗ ✗

3 Pengembalian dana tabarru ✗ ✗

4 Ketentuan akad tabarru dan ✔ ✗ akad itijarah

5 Tentang kontribusi ✔ ✔

6 Hak dan kewajiban Peserta ✔ ✔ dan Perusahaan

7 Akad wakalah bil ujrah ✔ ✗

8 Pengelolaan dana tabarru ✗ ✗ berdasarkan akad wakalah bil

ujrah

9 Akad Mudharabah ✗ ✗

10 Akad Mudaharabah ✗ ✗ Musytarakah

11 Pemotongan biaya ✗ ✗

12 Biaya bagi peserta ✔ ✔

13 Akad tijarah dalam ✔ ✔ pengelolaan investasi dana

tabarru

14 Surplus underwriting ✗ ✗

15 Ketentuan tentang Qardh ✗ ✗

16 Pengaturan perselisihan ✔ ✔

17 Penutup ✔ ✔

Berdasarkan ke dua polis yang menjadi contoh dapat dicatat beberapa hal :

a. Masing-masing perusahaan menggunakan istilah dan penyebutan yang tidak baku. Kontribusi peserta masih disebut sebagai premi di dalam polis Blife.

b. Dalam hak dan kewajiban Peserta dan Perusahaan, lebih banyak memuat kewajiban peserta dan hak Perusahaan, lazimnya kontrak standar.

c. Belum tampak transparansi yang diharapkan menjadi ciri polis asuransi syariah.

d. Kepatuhan terhadap prinsip syariah belum dijabarkan dengan bahasa yang lugas, sehingga sulit membedakan polis asuransi syariah dengan konvensional, kecuali penyebutan dana tabarru dan akad wakalah bil ujrah ( prudential) Berdasarkan perbandingan ke dua polis, polis asuransi jiwa syariah

prudential memuat lebih banyak substansi yang diharuskan dalam pedoman AASI.

2.1.4 Peran Regulator dan AASI dalam Program Standarisasi Polis Asuransi Syariah.

Dalam program standarisasi polis asuransi syariah terdapat dua institusi yang memegang peran penting, disamping institutsi lainnya, yakni OJK dan AASI sebagai asosiasi yang menaungi asuransi syariah.

2.1.4.1 Peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Otoritas Jasa Keuangan berperan sebagai regulator, pengawas sekaligus melakukan pembinaan terhadap perusahaan asuransi syariah sebagai salah satu institusi keuangan non bank. Berkenaan dengan standarisasi polis asuransi syariah yang bertujuan untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip syariah, OJK berperan memberikan landasan hukum yang kokoh bagi kegiatan standarisasi polis. Oleh karena itu, pedoman polis yang sudah diterbitkan oleh AASI tetap memerlukan tindak Otoritas Jasa Keuangan berperan sebagai regulator, pengawas sekaligus melakukan pembinaan terhadap perusahaan asuransi syariah sebagai salah satu institusi keuangan non bank. Berkenaan dengan standarisasi polis asuransi syariah yang bertujuan untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip syariah, OJK berperan memberikan landasan hukum yang kokoh bagi kegiatan standarisasi polis. Oleh karena itu, pedoman polis yang sudah diterbitkan oleh AASI tetap memerlukan tindak

2.1.4.2 Peran Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI)

Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) dianggap paling mengerti aktivitas dan kebutuhan pelaku industri asuransi syariah, oleh karena itu Asosiasi mempunyai kemampuan yang cukup untuk menetapkan standar dan pedoman yang tepat bagi perusahaan asuransi syariah. Asosiasi juga memahami kendala untuk mengembangkan asuransi syariah, sehingga lebih mudah bagi asosiasi untuk menyediakan kebutuhan infrastruktur legal dan teknis dalam rangka mendorong kepatuhan terhadap prinsip syariah. Sejauh ini, asosiasi telah menerbitkan pedoman polis yang akan berlaku serentak bagi seluruh perusahaan asuransi syariah per januari 2015.

Berdasarkan penelitian lapangan, AASI mengakui hambatan SDM dalam rangka optimalisasi asuransi syariah sebagai salah satu institusi keuangan. Permasalahan utama bagi SDM asuransi syariah adalah pemahaman yang komprehensif tentang prinsip syariah yang harus dijelaskan kepada konsumen. Ketua AASI mengakui bahwa pangsa pasar asuransi syariah masih terbuka lebar untuk dikembangkan. Sebagai Berdasarkan penelitian lapangan, AASI mengakui hambatan SDM dalam rangka optimalisasi asuransi syariah sebagai salah satu institusi keuangan. Permasalahan utama bagi SDM asuransi syariah adalah pemahaman yang komprehensif tentang prinsip syariah yang harus dijelaskan kepada konsumen. Ketua AASI mengakui bahwa pangsa pasar asuransi syariah masih terbuka lebar untuk dikembangkan. Sebagai

momentum pertumbuhan ini. 3 Dimaksudkan dengan industri keuangan Islam ( Islamic finance) meliputi antara lain perbankan, asuransi, pasar

modal, pasar uang, sektor manajemen investasi dan jasa institusi keuangan lainnya. 4 Sebagai bagian dari institusi keuangan Islam, industri asuransi

Islam (Islamic insurance) di tingkat global menunjukkan pertumbuhan dengan berkontribusi sebesar US $ 12,4 milyar melalui 143 perusahaan

asuransi syariah (179 termasuk unit asuransi syariah) 5 . Di Indonesia, pertumbuhan perusahaan asuransi syariah juga

memperlihatkan trend meningkat. Tahun 2014 tercatat 45 perusahaan asuransi syariah dan unit syariah menawarkan produk asuransi syariah dan menyumbang sekitar 15-20 % dari seluruh institusi keuangan dan perbankan syariah, dari semula hanya 4,8% pada tahun 2012. Data ini menunjukkan bahwa industri asuransi syariah mengalami perkembangan, walaupun belum optimal. Diharapkan di masa mendatang industri asuransi syariah dapat menjadi bagian dari perekonomian Indonesia. Tumbuh kembang institusi keuangan Islam, termasuk asuransi syariah di Indonesia memiliki implikasi, minimal terhadap dua hal sebagai factor pendukung kegiatan ekonomi syariah yakni ketersediaan sumber daya manusia yang mumpuni dan menguasai prinsip syariah dan regulasi yang kokoh sebagai landasan hukum bagi aktivitas industri asuransi syariah. Regulasi asuransi syariah, khususnya regulasi sertifikasi sumber daya manusia mendesak untuk dilakukan, mengingat peta sistem hukum positif di Indonesia turut berubah akibat berkembangnya ekonomi syariah di Indonesia. Dapat

3 Iqbal Asaria, Innovations and Developments in Takaful and Re-Takaful, Durham Islamic Finance Summer School 2013, Durham University, UK.

4 Badlisyah Abdul Ghani & Shamsun A Hussainn, The Key Driver of Islamic Finance‐ Demand and Supply, CIMB Islamic, Islamic Finance Review, 2009. 10, hlm. 9 4 Badlisyah Abdul Ghani & Shamsun A Hussainn, The Key Driver of Islamic Finance‐ Demand and Supply, CIMB Islamic, Islamic Finance Review, 2009. 10, hlm. 9

Pemahaman terhadap prinsip syariah ini menjadi urgen mengingat industri asuransi syariah wajib menjamin bahwa mekanisme, produk dan akad asuransi syariah yang ditawarkan patuh pada prinsip syariah (sharia compliance). Dalam praktik, perusahaan yang beraktivitas dalam asuransi syariah ini mengambil bentuk Perseroan Terbatas. Dengan demikian, kepatuhan pada prinsip syariah ini merupakan amanah yang wajib dilaksanakan oleh perusahaan asuransi syariah mengingat UU No : 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas sebagai lex generalis telah mengelaborasi prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good corporate governance) dalam ketentuannya. Good corporate governance bertumpu pada prinsip-prinsip transparency, accountability, responsibility, independency dan fairness. Selanjutnya, untuk menjamin bahwa prinsip syariah ini telah dijalankan, Pasal 109 UU Perseroan Terbatas mengatur tentang keberadaan Dewan Pengawas Syariah (DPS) bagi perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. DPS ini bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah. Tata kelola perusahaan asuransi syariah ini harus dilaksanakan secara transparan, sehingga harapan masyarakat atas produk yang memenuhi prinsip syariah dapat terpenuhi. Secara teknis, jaminan bahwa sumber daya manusia ini berkompeten, dapat dilakukan melalui mekanisme sertifikasi bagi seluruh sumber daya manusia dalam aktivitas asuransi syariah, khususnya manajemen dan agen Pemahaman terhadap prinsip syariah ini menjadi urgen mengingat industri asuransi syariah wajib menjamin bahwa mekanisme, produk dan akad asuransi syariah yang ditawarkan patuh pada prinsip syariah (sharia compliance). Dalam praktik, perusahaan yang beraktivitas dalam asuransi syariah ini mengambil bentuk Perseroan Terbatas. Dengan demikian, kepatuhan pada prinsip syariah ini merupakan amanah yang wajib dilaksanakan oleh perusahaan asuransi syariah mengingat UU No : 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas sebagai lex generalis telah mengelaborasi prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good corporate governance) dalam ketentuannya. Good corporate governance bertumpu pada prinsip-prinsip transparency, accountability, responsibility, independency dan fairness. Selanjutnya, untuk menjamin bahwa prinsip syariah ini telah dijalankan, Pasal 109 UU Perseroan Terbatas mengatur tentang keberadaan Dewan Pengawas Syariah (DPS) bagi perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. DPS ini bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah. Tata kelola perusahaan asuransi syariah ini harus dilaksanakan secara transparan, sehingga harapan masyarakat atas produk yang memenuhi prinsip syariah dapat terpenuhi. Secara teknis, jaminan bahwa sumber daya manusia ini berkompeten, dapat dilakukan melalui mekanisme sertifikasi bagi seluruh sumber daya manusia dalam aktivitas asuransi syariah, khususnya manajemen dan agen

(ketidakpastian) 6 . Hal ini dapat disimpulkan dari beberapa hal; pertama perusahaan asuransi akan melaksanakan kewajiban yaitu menanggung

kerugian yang diderita oleh tertanggung apabila “kejadian yang belum dapat dipastikan “ itu terjadi. Dalam hal kejadian yang belum tentu tersebut tidak terjadi, maka premi tersebut menjadi hak perusahaan. Kedua, premi yang dibayarkan beralih kedudukan hukumnya menjadi milik perusahaan , yang dapat digunakan sesuai kepentingan perusahaan. Lazimnya dana tersebut diinvestasikan, termasuk apabila investasi tersebut mendatangkan keuntungan berbasis bunga (interest based income), sehingga dapat disimpulkan bahwa asuransi konvensional sangat berbeda mekanisme nya dengan asuransi syariah.

Asuransi syariah bertumpu pada prinsip mutual cooperation, atau kerjasama saling menguntungkan antara perusahaan asuransi dan peserta. 7

Kerjasama saling menguntungkan ini , selanjutnya wajib dituangkan dalam akad sebagai dasar hukum hubungan para pihak. Oleh karena itu, harus dipastikan bahwa unsur-unsur yang dilarang dalam ekonomi syariah diakomodasikan dalam akad dan dilaksanakan dengan baik.

6 Engku Rabiah Adawiah Engku Ali ,et.al, Essential Guide To Takaful (Islamic Insurance), Centre For Research And Training, Kuala Lumpur, 2008, hlm 7‐17.

7 Lastuti Abubakar, Analisis terhadap Penerapan Prinsip “Mutual Cooperation” dalam mekanisme Takaful (Asuransi Syariah)‐Peran Hukum Dalam Pembangunan di Indonesia, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm 604‐613.

2.2. POLIS SEBAGAI DASAR HUBUNGAN HUKUM ANTARA PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH DAN PESERTA (PRAKTIK

DAN REGULASI DI MALAYSIA)

Mengingat penelitian ini menggunakan metode perbandingan hukum oleh karena itu dalam penelitian ini tim peneliti membandingkan mengenai perkembangan asuransi syariah di negara lain yang dalam hal penelitian ini negara yang dapat menjadi sumber perbandingan adalah Malaysia, maka pada bab ini juga akan diuraikan beberapa pokok bahasan tentang regulasi dan praktik Takaful di Malaysia .

2.2.1. Kedudukan polis dalam aktivitas takaful