T1 712009057 Full text

(1)

PENDIDIKAN PERDAMAIAN DALAM KELUARGA

(Peranan Orang Tua dalam Penerapan Nilai-nilai Perdamaian dalam Keluarga

di GKMI Siloam)

RENDRA ANDI CHRISTIANTO

Mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak adalah lembaga sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan aktif dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Di bidang pendidikan, keluarga merupakan sumber pendidikan utama, karena segala pengetahuan dan kecerdasan intelektual manusia

diperoleh pertama-tama dari orang tua dan anggota keluarganya sendiri.1 Segala sesuatu yang

diajarkan di dalam keluarga baik hal positif maupun negatif, sangat berpengaruh pada anak, daripada bila diajarkan di lembaga-lembaga lain. Di dalam keluargalah dimulai pendidikan

anak-anak.2

Pada umumnya setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya masing-masing. Khususnya bagi keluarga Kristen, apabila masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka setiap anggota keluarga akan mendapatkan pelajaran yang berharga, yaitu menyadari dan mengerti perasaan, kepribadian juga pengendalian emosi tiap anggota keluarga, sehingga

terwujudlah kebahagiaan dan keharmonisan. Keluarga Kristen di sini adalah ―gereja mini‖, yang

menjadi pendidik para orang tua Kristen sesungguhnya adalah gereja. Dengan demikian gereja mempunyai peran yang sangat penting untuk fokus pada pemberdayaan keluarga melalui pengajarannya. Dalam konteks ini keluarga merupakan sarana yang istimewa bagi penerusan

nilai-nilai agama.3 Anak adalah karunia Tuhan, yang diberikan kepada orang tua tetapi anak tetap

milikNya yang harus dididik bagi kemuliaan nama Tuhan. Karena keluarga merupakan tempat

yang pertama dan utama dari Pendidikan Agama Kristen.4 Anak perlu dididik tentang nilai-nilai

perdamaian sejak dini supaya dapat mencegah timbulnya hal-hal negatif misalnya: kekerasan

1Ny. Y. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, Psikologi Untuk Keluarga(Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2003), 1.

2R.I. Sarumpaet, Pedoman Berumahtangga, ed. E.E. Saerang (Bandung: Indonesia Publishing

House, 1995), 125.

3

Maurice Eminyan, Teologi Keluarga, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 11.

4

Daniel Nuhamara, Pembimbing PAK, Pendidikan Agama Kristen,(Bandung: Jurnal Info Media, 2007), 57.


(2)

dalam keluarga, tawuran antar pelajar, romantis tapi sadis dalam hal berpacaran, dan permusuhan antara kelompok-kelompok pelajar maupun orang dewasa yang dilakukan oleh generasi muda, termasuk pemuda-pemudi Kristen sebagai penerus bangsa.

Keluarga Kristen di GKMI Siloam sebagai keluarga Kristen yang tidak lepas dari keluarga-keluarga Kristen yang lain, yang seharusnya wajib menerapkan nilai-nilai perdamaian dalam keluarganya. Penerapan nilai perdamaian dalam keluarga di GKMI Siloam perlu dideskripsikan, oleh karena itu diadakan penelitian secara khusus di GKMI Siloam berkaitan dengan peranan orang tua dalam penerapan nilai-nilai perdamaian dalam keluarganya.

Penelitian ini dilakukan karena GKMI Siloam sudah memiliki bukti tentang upaya perdamaian. Dalam kalender gerejawi pun gereja sudah memiliki bulan-bulan pengajaran tertentu misalnya: Bulan Keluarga, Bulan Perdamaian, dan Bulan Misi. Secara khusus dalam lagu Mars

GKMI berjudul ―GKMI Membawa Damai‖.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana cara-cara gereja memberdayakan orang tua untuk mendidik keluarganya

tentang nilai-nilai perdamaian?

2. Bagaimana cara-cara orang tua menerapkan nilai-nilai perdamaian dalam keluarganya?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mendiskripsikan cara-cara gereja memberdayakan orang tua untuk mendidik keluarganya

tentang nilai-nilai perdamaian.

2. Mendiskripsikan cara-cara orang tua menerapkan nilai-nilai perdamaian dalam

keluarganya. 1.4 Signifikansi

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini untuk mengetahui peran yang dilakukan, baik yang sudah maupun yang belum dilaksanakan, sehingga orang tua menjadi sadar akan pentingnya pendidikan perdamaian dalam keluarga. Khususnya untuk pembinaan warga gereja.

1.5 Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan dalam meneliti status kelompok manusia, suatu obyek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu kelas peristiwa masa sekarang. Penelitian deskriptif bertujuan mendeskripsikan atau menjelaskan sesuatu hal secara sistematis, faktual dan


(3)

akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi tertentu yang ada di lapangan.5 Dalam penelitian ini akan mendiskripsikan bagaimana cara GKMI Siloam dalam membekali orang tua berkaitan dengan nilai perdamaian dan bagaimana cara orang tua dalam menerapkan nilai-nilai perdamaian dalam keluarganya.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang mempergunakan data verbal dan kualifikasinya bersifat teoritis. Data sebagai bukti dalam menguji kebenaran atau ketidakbenaran hipotesis, tidak diolah melalui perhitungan matematik dengan berbagai rumus statistika. Pengolahan data dilakukan secara

rasional dengan mempergunakan pola berpikir tertentu menurut hukum logika.6 Peneliti akan

memakai metode penelitian ini di GKMI Siloam. Data penelitian dikumpulkan melalui beberapa teknik dan sumber data sebagai berikut :

a. Interview/Wawancara

Teknik wawancara dipergunakan untuk mendapatkan data primer. Teknik ini bertujuan untuk mendapatkan keterangan yang lebih mendalam tentang objek yang diteliti. Bentuk wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur, yaitu wawancara yang terarah untuk mengumpulkan data-data yang relevan. Dengan memberi pertanyaan yang terarah diharapkan data lebih mudah diolah sehingga memungkinkan analisa yang kualitatif serta kesimpulan yang dapat dipertanggung-jawabkan. Sebagai informan dalam penelitian ini peneliti akan mewawancarai 1 (satu) pendeta, serta 3 (tiga) majelis gereja.

b. FGD (Focus Group Discussion)

FGD merupakan suatu metode pengumpulan data dengan memuaskan teknik

pengambilan data melalui diskusi kelompok dan terarah. Lebih lanjut, Krueger7

menggambarkan untuk melakukan FGD harus ditentukan besar peserta, menentukan lamanya diskusi, pengaturan posisi duduk, menentukan tempat diskusi, serta menentukan komposisi kelompok. Dalam diskusi FGD peneliti akan dibantu 1 orang teman sebagai pencatat proses yang berlangsung. Sedangkan peneliti sendiri sebagai moderator penghubung dengan peserta dan pengatur logistik. FGD akan dilakukan kepada warga dewasa, dan pemuda-remaja.

5Sumardi Suryabarata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), 18. 6Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

1983), 32.

7Richard A. Krueger, Focus Groups: a Practical Guide For Applied Research (Newburg Park


(4)

c. Kepustakaan

Melalui studi kepustakaan ini, diharapkan akan memperoleh bahan-bahan yang tepat dan sesuai dengan topik. Selain itu studi kepustakaan ini bermanfaat sebagai salah satu narasumber, demi menyusun landasan teoritis yang akan digunakan dalam menganalisa data dari hasil penelitian di lapangan.

d. Lokasi Penelitian

Peneliti akan meneliti di GKMI Siloam, Jl. Talangtirto No.5, Salatiga – Jawa Tengah.

II. TEORI RUJUKAN UNTUK PERDAMAIAN DALAM KELUARGA

2.1 Pendidikan Perdamaian

Di dalam konsep Pendidikan Perdamaian ada dua dasar pengertian, yaitu

―pendidikan‖ dan ―perdamaian‖.

Pengertian Pendidikan

Pendidikan dilihat dari sudut etimologinya bahwa istilah ―pendidikan‖ merupakan

terjemahan dari ―education‖ dalam Bahasa Inggris. Kata ―education‖ berasal dari Bahasa

Latin: ducare yang berarti membimbing (to lead), ditambah awalan ―e‖ yang berarti keluar

(out). Jadi istilah dasar dari pendidikan adalah: suatu tindakan untuk membimbing keluar.8

Secara teoritis filosofis pendidikan adalah: pemikiran manusia terhadap masalah-masalah kependidikan untuk memecahkan dan menyusun teori-teori baru berdasarkan pemikiran-pemikiran normatif, spekulatif, rasional empirik, rasional filosofis, maupun historis filosofis. Sedangkan dalam pengertian praktis, pendidikan adalah suatu proses pemindahan pengetahuan atau pengembangan potensi yang dimiliki subjek didik untuk mencapai perkembangan secara optimal, serta membudayakan manusia melalui proses transformasi

nilai-nilai yang utama.9

Pengertian Perdamaian

Kata perdamaian berasal dari kata ―damai‖ yang bisa berubah konsepsi sesuai waktu

dan budaya. Sementara konsep damai dapat diartikan dalam dua perspektif, yaitu perspektif

yang tegas (positive) dan sangkalan (negative). Secara tegas (positive) damai melibatkan

pembangunan dan pengembangan masyarakat sehingga tidak terhindar dari kekerasan

8

Daniel Nuhamara, Pembimbing PAK, pendidikan agama kristen, (Bandung: Jurnal Info Media, 2007), 57.

9

Tony Tampake, Buku Bacaan Pendidikan Perdamaian, ed. Theo Litaay, dkk (Salatiga: Griya Media, 2011), 22-23.


(5)

langsung dan kekerasan struktural atau ketidakadilan sosial. Dalam hal ini damai berarti suatu kualitas kehidupan individu dan masyarakat yang sesuai dengan harkat, martabat, dan hak-hak asasinya sebagai manusia sehingga memungkinkan mereka untuk berinteraksi

dengan adil, setara, dan rukun. Secara sangkalan (negative) damai berarti ketiadaan

kekerasan ragawi (physical violence) dalam skala besar dan ketiadaan keadaan perang

(condition of war) di dalam sebuah masyarakat.10

Makna damai dalam teks-teks Alkitab, beberapa teks dalam Perjanjian Lama juga mengartikan damai sebagai hal yang bertentangan dengan segala jenis konflik termasuk

didalamnya adalah perang. Kremer,11 sebagai contoh, menegaskan hal ini dengan mengambil

Pengkhotbah 3:8 ―… ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk damai‖ sebagai bukti bahwa damai bertentangan dengan perang. Damai dimaknai sebagai keadaan setelah berakhirnya perang, yakni ketika pemenang menentukan nasib pihak yang kalah. Maka damai menjadi diartikan sebagai pengaturan relasi legal yang ditentukan oleh pihak pemenang terhadap wilayah-wilayah taklukan.

Dalam teks-teks Perjanjian Baru, dimensi transendental dari damai sangat kental dalam ajaran-ajaran Tuhan Yesus. Walaupun tak dapat dipungkiri, Tuhan Yesus

menggunakan kata damai (eirene) sebagai salam perjumpaan dan salam perpisahan namun

salam tersebut memuat berkat yang tercurah karena peranan Tuhan. Disamping itu, Yesus mengajarkan ideal damai yang terkait erat dengan ajaran utamaNya tentang Kerajaan Allah. Secara simplistis, Kerajaan Allah digambarkan sebagai situasi ketika dan dimana Tuhan

―meraja‖. Tanda-tanda kehadiran Kerajaan Allah adalah ketika kedamaian, keadilan, kasih,

kerendahan hati, pengampunan, penghargaan pada martabat manusia dan kesejahteraan menjadi nilai-nilai yang menentukan kehidupan manusia. Jadi dalam ajaran Yesus tentang

Kerajaan Allah, damai merupakan kondisi yang tak boleh tidak ada (conditio sine qua non)

dalam Kerajaan Allah. Tanpa damai, Kerajaan Allah tak dapat terhadirkan dan tanda dari kehadiran Kerajaan Allah adalah kehadiran damai itu sendiri. Ajaran Tuhan Yesus yang teramat konkrit tentang damai dalam bingkai konsep Kerajaan Allah termuat dalam catatan-catatan sebagaimana yang dipreservasi oleh Injil Matius, yang terkenal sebagai Khotbah di Bukit (Matius pasal 5-7). Tiga hal yang sangat menonjol dalam Khotbah di Bukit berkaitan dengan konsep damai adalah penekanan solidaritas pada kaum miskin, tindakan etis yang

10

Ibid, 25. 11

Yusak B, Setyawan, Buku Bacaan Pendidikan Perdamaian, ed. Theo Litaay, dkk (Salatiga: Griya Media, 2011), 29.


(6)

melampaui ortodoksi/legalisme keagamaan dengan kasih radikal sebagai daya penggerak, serta citra Tuhan Allah sebagai sosok yang sangat amat baik dan berbelas kasih. Menurut Paulus, Yesus adalah pembawa damai yang menyebabkan relasi antara Allah dan manusia dipulihkan. Bahkan dalam beberapa bagian tulisannya, Paulus menyebut Yesus sebagai Dialah damai kita dan pembawa kabar baik tentang damai. Maka dalam kaitannya dengan ide tersebut di atas, Tuhan Yesus diimani sebagai pembawa keselamatan, juruselamat. Dengan demikian, orang-orang yang mengalami damai adalah mereka yang hidup di dalam

Kristus, begitu kata Paulus dalam Surat Roma.12

Berdasarkan kedua definisi tersebut di atas, maka dapat dipahami pendidikan perdamaian didefinisikan sebagai sebuah area edukasi interdisipliner yang tujuannya adalah

pengajaran – formal maupun informal – tentang perdamaian dan untuk perdamaian. Maksud

pendidikan perdamaian tersebut adalah untuk menolong individu dan masyarakat agar mereka mendapatkan keterampilan dalam menyelesaikan konflik tanpa menggunakan kekerasan dan memperkuat keterampilan mereka demi aksi yang lebih aktif dan bertanggung jawab di dalam masyarakat ketika mereka mempromosikan nilai-nilai perdamaian. Karena

itu, tidak seperti konsep resolusi konflik yang berlaku surut (retroactive) – berupaya

menyelesaikan konflik sesudah konflik itu terjadi – pendidikan perdamaian memiliki

pendekatan yang lebih proaktif. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya konflik atau untuk mendidik individu-individu dan masyarakat agar dapat mewujudkan eksistensi yang damai berdasarkan sikap hidup non kekerasan, toleransi, kesetaraan, penghormatan terhadap

perbedaan, dan keadilan sosial.13

2.2 Pengertian Gereja

Gereja adalah persekutuan orang beriman.14 Dalam Perjanjian Baru, kata yang

dipakai untuk menyebutkan persekutuan orang beriman adalah Ekklesia, diartikan sebagai

umat Allah yang terpanggil keluar untuk tujuan khusus dan pasti. Gereja dalam Perjanjian

Lama ditempatkan dalam sejarah keselamatan bangsa Israel.15 Dalam Ulangan 7:8

disebutkan bahwa Tuhan Allah sendirilah yang memangil Israel untuk menjadi umatNya.16

Walaupun dalam Perjanjian Baru jelas bahwa gereja mula-mula tidak melihat keberadaannya

12

Ibid., 39-40. 13

Ibid.

14

G.C. van Niftrik dan B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 359.

15

Ibid., 12. 16


(7)

sebagai kelanjutan dari bangsa dan agama Yahudi. Namun karya keselamatan Allah yang diwujudnyatakan dalam Gereja sudah mulai dilaksanakan dalam sejarah bangsa Israel. Secara teologis Gereja adalah tubuh Kristus dimana Kristus adalah kepala dan Gereja adalah

anggota tubuhNya. Gereja ada karena Kristus sendiri yang memanggil.17

Gereja memiliki tiga tugas pangilan yaitu: a. Koinonia (persekutuan)

Koinonia adalah tugas menyatakan persekutuan atau persatuan sebagai umat di dalam Yesus Kristus. Kita harus bersekutu dengan saling melayani dan membantu satu dengan yang lain. Persekutuan itu adalah tindakan menghadirkan kasih Kristus dalam kehidupan kita lewat ibadah dan persekutuan lainnya.

b. Diakonia (pelayanan)

Diakonia adalah pelayanan yang dilakukan kepada sesama di dalam maupun di luar kehidupan bergereja, karena kita tidak dapat menutup mata terhadap realitas di luar kehidupan bergereja.

c. Marturia (kesaksian)

Marturia adalah penjelasan atas perbuatan kita yang bersekutu dan melayani. Tidak melakukan kristenisasi dalam arti memaksa orang lain untuk mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat tetapi dibalik semua tindakan itu, ada kasih Tuhan Yesus

Kristus pada manusia.18

Gereja Mennonite

Gereja Mennonite adalah cabang dari Gereja Kristen, dimulai di Swiss tahun 1525 dengan akar di sayap radikal dari abad ke-16 bagian dari Reformasi Protestan yang berupaya memulihkan Gereja Perjanjian Baru. Di dalam kepercayaan dan pengungkapan imannya Gereja Mennonite sungguh-sungguh mengakui ke-Tuhan-an Yesus Kristus dan terikat secara mutlak pada Alkitab dan berupaya memajukan persaudaraan, memelihara ajaran dan

kehidupan yang bersih, dan melayani sebagai suatu kesaksian terhadap orang lain.19

Istilah Mennonite berasal dari nama Menno Simons, seorang imam dan tokoh

gerakan Anabaptis negara Belanda yang menganut garis moderat – anti kekerasan dan

17

T. Jacobs S.J. Dinamika Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 1990),12-13. 18

Dien Sumiyatiningsih, dkk, Teladan kehidupan 3 (Yogyakarta: Andi, 2006), 19-20. 19

Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja (Jakarta: Gunung Mulia,


(8)

membantu memimpin itu menjadi terkenal di Belanda pada abad pertengahan ke-16.20 Aliran Mennonite merupakan bagian dari gerakan Anabaptis yang muncul di daratan Eropa tak lama sesudah Martin Luther mencanangkan Reformasi. Aliran ini kini terjelma dalam puluhan organisasi gereja yang tersebar di lima benua, kendati jumlah warganya tidak besar dibanding beberapa rumpun gereja Protestan lainnya. Aliran Mennonite termasuk salah satu aliran yang sudah lama hadir di Indonesia. Kehadirannya terutama lewat dua organisasi gereja, yakni Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) yang berpusat di Pati dan Persekutuan Gereja Kristen Muria Indonsia ([P]GKMI) yang berpusat di Semarang. Kedua gereja ini sudah sejak lama menjadi anggota Dewan Gereja Indonesia (DGI) / Persatuan Gereja Indonesia (PGI), GITJ sudah sejak DGI berdiri pada tahun 1950, sedangkan [P]GKMI sejak

1960.21

Mennonite dikenal karena penekanan mereka pada isu-isu seperti perdamaian,

keadilan, kesederhanaan, komunitas, layanan, dan saling membantu.22

Beberapa Pokok Ajarannya:

1.Alkitab sebagai satu-satunya patokan iman dan perilaku

2.Kuasa Roh Kudus

3.Penetapan-penetapan (ordinances) di dalam Perjanjian Baru.

4.Nir (tidak menggunakan) kekerasan

5.Larangan Bersumpah

6.Kepatuhan Iman

Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) adalah salah satu dari tiga Gereja Mennonite yang ada di Indonesia, selain Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) dan Gereja Jemaat Kristen Indonesia (JKI). Nama Gereja Kristen Muria Indonesia diambil dari nama gunung (Gunung Muria) yang terletak di daerah Jawa Tengah bagian Utara. Di seputar Gunung Muria itulah GKMI mulai berkembang dan menyebar dari Kudus ke Jepara, Pati, Demak, Semarang dan sekitarnya. Dari Kudus, GKMI meluas melintasi batas kesukuan dan wilayah. Saat ini (2013) tercatat GKMI ada di lima wilayah persekutuan, yaitu Persekutuan Gereja Muria Wilayah (PGMW) I : Jakarta, Sumatera, dan Kalimantan; PGMW II : Semarang dan sekitarnya serta DIY; PGMW III : Kudus dan sekitarnya; PGMW IV : Jepara dan sekitarnya; PGMW V :

20

John D. Roth, Sejarah Mennonite (http://history.mennonite.net, diterjemahkan oleh google.com, di unduh pada 7/11/2013, pukul 12:39 WIB)

21

Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja (Jakarta: Gunung Mulia,

2008), 105.

22 Ibid.


(9)

Jawa Timur, Bali, Sulawesi dan Indonesia Bagian Timur, dengan jumlah total 50 gereja GKMI dewasa, 74 cabang, dan 53 cabang perintisan.

Menilik sejarahnya, GKMI berawal dari seorang pengusaha Tionghoa di Kudus, Jawa Tengah, bernama Tee Siem Tat. Pada tahun 1960, Persatuan Gereja-Gereja Kristen Muria Indonesia (Sinode GKMI) diterima sebagai anggota penuh DGI/PGI. Sinode GKMI tercatat sebagai anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia dengan nomor 29. Dalam mengatur keberadaannya, GKMI menganut asas konggregasional-sinodal dengan jemaat sebagai pengambil keputusan tertinggi dan sinode sebagai pemersatu gerak dan kebijakan seluruh

GGKMI.23

2.3 Pengertian Keluarga

Definisi keluarga menurut Bailon dan Maglaya24 adalah dua atau lebih individu yang

tergabung karena adanya hubungan darah, perkawinan dan adopsi dalam satu rumah tangga yang saling berintegrasi satu sama lain dalam peran dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya. Pada umumnya keluarga dimulai dengan perkawinan laki-laki dan perempuan dewasa. Pada tahap ini, relasi yang terjadi berupa relasi suami-istri. Ketika anak pertama lahir muncullah bentuk relasi yang baru, yaitu relasi orang tua - anak. Ketika anak berikutnya

lahir, muncul lagi bentuk relasi yang lain yaitu sibling (saudara sekandung). Ketiga macam

relasi tersebut merupakan bentuk relasi yang pokok dalam sebuah keluarga inti.25 Unit paling

dasar dari sebuah kehidupan disebut keluarga, yang terbentuk melalui suatu pernikahan yang sah. Keluarga merupakan dasar pembentuk utama struktur sosial yang lebih luas, dengan pengertian bahwa lembaga-lembaga lainnya bergantung pada eksistensinya. Secara menyeluruh dapat dikatakan bahwa keluarga merupakan alat untuk perantara masyarakat yang lebih luas. Kegagalan yang terjadi dalam keluarga, bisa menyebabkan tujuan

masyarakat yang lebih besar tidak akan tercapai secara tepat guna.26

Fungsi Keluarga

Menurut Friedman27, fungsi keluarga adalah sebagai berikut:

23

Sinode GKMI, Sejarah GKMI (http://sinodegkmi.com/?page_id=2, di unduh 7/11/2013,

pukul 13:11 WIB)

24

Zaidin Ali, Pengantar keperawatan keluarga (Jakarta: Penerbit buku kedokteran, 2010), 5.

25

Sri Lestari, Psikologi Keluarga (Prenada Media Group, 2005), 9.

26

Willian Goode, Sosiologi Keluarga (Jakarta: Bina Aksara, 1983), 3-5.

27


(10)

a) Fungsi afektif adalah fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain.

b) Fungsi sosialisasi dan tempat bersosialisasi adalah fungsi mengembangkan dan tempat

melatih anak untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah.

c) Fungsi reproduksi adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga

kelangsungan keluarga.

d) Fungsi ekonomi yaitu berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan

tempat untuk mengembangkan kemampuan individu meningkatkan penghasilan dan memenuhi kebutuhan keluarga.

e) Fungsi perawatan/pemeliharaan kesehatan yaitu fungsi untuk mempertahankan keadaan

kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas tinggi.  Keluarga Kristen

Allah menetapkan keluarga menjadi pusat kehidupan manusia seutuhnya, karena dalam keluargalah setiap orang dibentuk untuk menjadi seseorang yang diproses sesuai dengan cara Tuhan untuk menggenapi rencana Tuhan terhadap setiap makhluk ciptaan-Nya yang diciptakan sesuai dengan gambar diri-Nya. Dalam pembentukan keluarga Kristen, kesadaran akan tanggung jawab seseorang sebagai perpanjangan tangan Allah dalam pembentukan tatanan dunia yang teratur, damai dan sejahtera menjadi peranan yang sangat menentukan. Dalam hal ini tentunya keluarga Kristen juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam pembentukkan masyarakat yang makmur, adil dan sejahtera. Ada tanggung jawab dalam setiap keluarga Kristen untuk memberi dampak yang positif dalam pembentukkan

masyarakat yang teratur, damai dan sejahtera.28

28


(11)

Sosialisasi dan Edukasi

Menurut Atmadja-Hadinoto, sosialisasi dan edukasi sama-sama bermanfaat dan mutlak diperlukan dalam PAK keluarga. Sosialisasi saja tidak cukup untuk membawa orang

kepada kedewasaan iman.29 Seperti proses fungsional yang meneruskan nilai-nilai dan

kebiasaan-kebiasaan dari orang tua kepada anak-anak, dari generasi kepada generasi seperti terjadi dalam masyarakat yang hampir berlangsung dengan sendirinya, tanpa sadar dan sengaja. Beberapa tokoh-tokoh teori sosialisasi Kristen seperti Nelson dan Westerhoff memang mengakui keterbatasan sosialisasi. Namun Groome yang merupakan tokoh PAK terkemuka mengkritik mereka, bahwa mereka hanya memperluas cakupan sosialisasi sebagai pendidikan secara sengaja, tetapi melupakan bahwa yang penting adalah edukasi yang berperan sebagai koreksi, kritik terhadap proses sosialisasi yang tidak dikehendaki. Untuk itu edukasi saja, atau sosialisasi saja, tidak mungkin. Harus diusahakan relasi antara kedua proses ini, dan gerak dialektis antara keduanya. Sehingga PAK menghasilkan pendidikan yang mendasar dan memberi kepastian serta pegangan hidup bagi si pelajar.

2.4 Pemberdayaan Keluarga

Untuk pembahasan mengenai Pemberdayaan Keluarga, Peneliti akan mengutip konsep dari pemberdayaan masyarakat dalam ilmu sosial, lalu mengembangkannya dalam konteks Keluarga.

Istilah pemberdayaan merupakan terjemahan dari istilah Bahasa Inggris yaitu empowerment. Secara harafiah, empowerment berarti pemberian kekuasaan. Pendapat Ife

yang dikutip Fahrudin mengatakan: empowerment aims to increase the power of

disadvantaged (pemberdayaan bertujuan memberikan kekuatan atau kekuasaan kepada

orang-orang yang tidak beruntung).30 Torre yang dikutip Fahrudin mengidentifkasikan tiga

dimensi yang berkaitan dengan konsep empowerment yaitu31:

1. Suatu proses perkembangan yang dimulai ketika individu tumbuh dan mungkin dapat

mencapai puncak dalam perubahan sosial yang lebih besar.

2. Suatu keadaan psikologis yang ditandai; keyakinan diri, efikasi diri, dan kontrol diri.

29

Nieke Kristiana Atmadja-Hadinoto, Dialog dan Edukasi: Keluarga Kristen dalam Masyarakat Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 184-216.

30 Adi Fahrudin, Pemberdayaan Partisipasi & Penguatan Kapasitas Masyarakat, (Bandung:

Humaniora), 16-17.

31


(12)

3. Kebebasan sebagai hasil dari suatu gerakan sosial, dimana bermula dengan pendidikan dan politisasi kekuasaan rakyat dan secara kolektif dengan kekuasaannya untuk memperoleh kekuatan dan untuk merubah struktur-struktur sosial yang timpang dan menekan.

Seorang ahli pemberdayaan masyarakat, Payne pernah mengemukakan pendapat

mengenai pemberdayaan (empowerment), yaitu suatu kegiatan membantu klien memperoleh

daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan, terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari

lingkungannya. 32

Shardlow melihat bahwa berbagai pengertian yang ada mengenai pemberdayaan, pada intinya adalah membahas bagaimana individu, kelompok, ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Dalam kesimpulannya, Shardlow menggambarkan bahwa pemberdayaan sebagai suatu gagasan tidaklah jauh berbeda dengan gagasan yang ada di

dalam Ilmu Kesejahteraan Sosial dengan nama ―Self Determination‖. Prinsip ini pada intinya mendorong klien untuk menentukan sendiri apa yang harus ia lakukan dalam kaitannya dengan upaya mengatasi permasalahan yang ia hadapi sehingga klien mempunyai kesadaran

dan kekuasaan penuh dalam membentuk hari depannya.33

Dalam perkembangannya di ilmu sosial, konsep mengenai pemberdayaan ini dapat dilakukan dalam intervensi sosial terhadap pembangunan sosial. Intervensi sosial memiliki tiga tahapan yaitu, level individu dan keluarga (mikro), level komunitas (messo) dan level

pemerintahan (makro).34

Bagaimanapun cara orang memandang pemberdayaan, tidak bisa tidak itu adalah

tentang kekuasaan – individu atau kelompok yang memiliki/menggunakan kesempatan untuk

meraih kekuasaan ke dalam tangan mereka, meredistribusikan kekuasaan dari kaum

―berpunya‖ kepada kaum ―tidak berpunya‖ dan seterusnya. Oleh karena itu, perlu

32

Malcolm Payne, Modern Social Work Theory. Second edition (London: Macmillan Press Ltd, 1997). 266.

33

Steven Shardlow, Values, Ethics and Social Work dalam Adams, Robert, Lena Dominelli, dan Malcolm Payne (eds). Social Work: Themes, Issues and Critical Debates (London: MacMillian Press Ltd, 1998), 32.

34

James Midgley, Social Development : The Developmental Perspective in Social Welfare


(13)

diperhatikan bahwa beberapa penulis tentang pemberdayaan dan praktisi yang mengatakan mereka menggunakan suatu model pemberdayaan tidak cukup memberikan perhatian kepada konsep kekuasaan. Kekuasaan adalah suatu gagasan yang kompleks dan diperdebatkan, dan terdapat beragam pandangan tentang kekuasaan yang telah diidentifikasikan oleh para ahli

teori sosial dan politik.35

Berdasarkan kedua konsep dari Pemberdayaan dan Keluarga di atas, maka Peneliti akan mengembangkannya dalam konteks keluarga dengan melakukan intervensi sosial terhadap pembangunan sosial level individu dan keluarga (mikro). Para ahli mengartikan empowerment sebagai suatu cara di mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar dapat berkuasa atas kehidupannya. Dengan demikian, pemberdayaan keluarga dapat dipahami sebagai upaya untuk memberdayakan keluarga atau mengarahkan agar dapat berkuasa atas kehidupannya sendiri. Sehingga menjadi wahana untuk mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat, guna tercapainya keluarga yang harmonis dan damai sejahtera.

Dengan kata lain pemberdayaan adalah pembangunan kepada kepala/pimpinan keluarga yang dipadukan satu dengan yang lainnya. Memberikan bimbingan dan sosialisasi kepada keluarga terutama kepada orang tua (ayah, dan ibu). Salah satu tujuannya, mengenai peningkatan pengetahuan keluarga di bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan, keagamaan, olahraga, kesenian, kesejahteraan sosial dan juga meningkatkan peranan orang tua dalam menerapkan nilai-nilai di keluarganya. Keluarga yang telah mengetahui peran dan fungsinya tersebut dapat berkuasa atas kehidupannya sendiri dan meningkatkan pengetahuan secara mandiri.

35

Jim Ife dan Frank Tesoriero, Community Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 130.


(14)

III. HASIL PENELITIAN DAN ANALISA 3.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Kota Salatiga, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah. Kota ini

berbatasan sepenuhnya dengan

Kabupaten Semarang. Salatiga terletak 49 km sebelah selatan Kota Semarang atau 52 km sebelah utara Kota Surakarta, dan berada di jalan negara

yang menghubungan

Semarang-Surakarta. Secara administratif Kota Salatiga terdiri atas 4 kecamatan, yakni Argomulyo, Tingkir, Sidomukti, dan Sidorejo.

Pada awalnya Kotamadya

Salatiga hanya terdiri dari satu

kecamatan saja yaitu Kecamatan

Salatiga. Seiring dengan adanya

pemekaran wilayah, Kota Salatiga mendapatkan beberapa tambahan daerah yang berasal dari Kabupaten Semarang.

Hingga sekarang Kota Salatiga terdiri dari 4 Kecamatan dan 22 Kelurahan.36 Menurut Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga (Januari 2011), jumlah total penduduk akhir tahun 2011 adalah 177.088 orang. Data pemeluk agama pada tahun 2011 menunjukkan jumlah pemeluk agama Islam adalah 136.870 orang, pemeluk agama Kristen adalah 30.193 orang, pemeluk agama Katolik adalah 9.035 orang, pemeluk agama Hindu adalah 98 orang, pemeluk

agama Budha adalah 882 orang dan kepercayaan 10 orang.37

36

Diakses dari http://www.salatigakota.go.id/TentangWilayah.php, pada 3 September 2013, pukul 14.15 WIB.

37


(15)

3.1.1 Sejarah Berdirinya GKMI Siloam

Gereja Kristen Muria

Indonesia (GKMI) Siloam, adalah gereja yang berada di wilayah Kota Salatiga. Berdirinya GKMI Siloam melalui proses yang panjang. Sinode GKMI pernah mengalami perpecahan hingga menyebabkan GKMI terpecah menjadi dua gereja, yaitu GKMI dan GKMII (Gereja Kristen Muria Injili Indonesia) beraliran Injili.

Salah satu anggota GKMII adalah GKMII Kenari yang terletak di Kota Kudus. Seiring dalam perkembangannya GKMII Kenari mengutus salah seorang jemaatnya yang bernama Sudiarto Timoty untuk belajar Teologi di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Ketika mengikuti pendidikan dan melaksanakan pelayanannya, Sudiarto Timoty bertemu dengan bapak D.S.Harso Soedirjo (Alm), bapak Soewigyo (Alm) yang awalnya merupakan anggota jemaat Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU), bapak Soedibyo (Alm), bapak Hendy Lasimin (Alm) dan bapak Suwarno YS yang merupakan salah satu simpatisan yang beragama Islam. Mereka berencana untuk membangun sebuah POS PI (Pos Pelayanan Injil). Pada tahun 1978 terbentuklah POS PI GKMII Kenari yang dinamakan POS PI Pancuran yang dirintis oleh Sudiarto Timoty dan kawan-kawan pada tanggal 5 Februari 1978, pada saat itu juga dilakukanlah persekutuan yang pertama kalinya. Pada awalnya persekutuan dilakukan dengan berpindah-pindah tempat: (1) Di daerah Langensuko tahun 1978, dilaksanakan tepatnya di depan Hotel Mutiara. (2) Di rumah bapak Rustamaji, Jl.Taman Pahlawan, yang sekarang menjadi pasar Blauran II. (3) Di daerah Pancuran tahun 1983 hingga sekarang, yang bertempat di Jalan Talang Tirto No.5 Salatiga.

Sejak tahun 1978, POS PI Pancuran telah memiliki 4 cabang yaitu: (1) Plakaran, Kabupaten Tuntang; (2) Kadipira, Kabupaten Semarang (3) Banaran dan (4) Karanggondang. Namun dalam perkembangan selanjutnya, keempat POS PI ini mulai memisahkan diri oleh karena cabang Karanggondang adalah jemaat transmigran dan beberapa cabang yang lainnya memisahkan diri karena mereka menuntut adanya bangunan Pastori, dan alat-alat musik. POS PI

GKMI Siloam, memiliki 170 anggota jemaat. Foto diambil 13 Nopember 2013


(16)

Pancuran tidak sanggup untuk memenuhi tuntutan mereka, sehingga menyebabkan mereka memisahkan diri.

Seiring waktu berjalan, GKMII Kenari bersatu dengan GKMI pada tahun 1980-an, sehingga tidak ada lagi perselisihan diantara keduanya. Dengan demikian, POS PI Pancuran juga mengikuti induknya. Kemudian POS PI Pancuran menjadi gereja dewasa pada tanggal 17 bulan Agustus tahun 1988 dengan nama GKMI Siloam, alamat Jalan Talang Tirto No.5 Salatiga. Nama

―Siloam‖ dari bahasa Yunani artinya ―yang diutus‖. Bersamaan dengan pendewasaan POS PI

Pancuran menjadi gereja dewasa, Guru Injil Bpk. Yan Takaria ditahbiskan menjadi Pendeta pertama di GKMI Siloam. Gembala jemaat yang pernah melayani di GKMI Siloam antara lain: (1) Pdt.Yan Takaria (1988 - 2003) (2) Pdm. Elfriend P. Sitompul (2009 - sekarang). Saat ini (2013) GKMI Siloam hanya memiliki satu cabang yaitu Cabang Krobokan.

Jemaat GKMI Siloam terdiri dari orang-orang Jawa maupun pendatang dari tempat lain. Kehadiran dari pendatang disebabkan karena beberapa faktor yakni perkawinan, pekerjaan, dan berdagang. Jemaat GKMI Siloam terdiri dari 3 Rayon pelayanan dan memiliki satu cabang yaitu Cabang Krobokan. Tingkat pendidikan jemaat beragam yaitu pendidikan tertinggi doktor (hanya satu orang), sarjana dan diploma (sebagian kecil), dan sebagian besar tamatan SMA dan SMP. Sebagian besar profesi warga jemaat adalah pedagang, disamping itu juga ada yang berprofesi sebagai guru, dosen, dan pensiunan.

3.2 Proses Pendidikan Perdamaian Yang Dilakukan Gereja Pada Keluarga

Pendidikan perdamaian sangat dibutuhkan dalam masyarakat saat ini, yaitu untuk menolong individu dan masyarakat agar mereka mendapatkan keterampilan dalam mencegah konflik tanpa menggunakan kekerasan dan memperkuat keterampilan demi aksi yang lebih aktif dan bertanggung jawab di dalam masyarakat ketika mereka mempromosikan nilai-nilai perdamaian. Selain itu pendidikan perdamaian bertujuan untuk mencegah terjadinya konflik atau untuk mendidik individu-individu dan masyarakat agar dapat mewujudkan eksistensi yang damai berdasarkan sikap hidup non kekerasan, toleransi, kesetaraan, penghormatan terhadap perbedaan, dan keadilan sosial. Dalam proses pelaksanaan pendidikan perdamaian, gereja melakukan pemberdayaan kepada orang tua melalui beberapa cara, yakni:


(17)

a. Ajaran Tentang Perdamaian

Pada tahun 2011 yang lalu, Badan Pelaksana Harian Sinode GKMI38 dengan sengaja

telah membagikan 15.000 batas Alkitab, kepada segenap anggota jemaat GKMI dengan tujuan untuk mensosialisasikan makna perdamaian yang Alkitabiah. Harapannya adalah agar segenap anggota jemaat paham bahwa GKMI merupakan gereja perdamaian. Di satu sisi dari

pembatas Alkitab tersebut terdapat tulisan, ―GKMI Membawa Damai‖. Kemudian di sisi

lainnya dari batas Alkitab tersebut terdapat tulisan, ―Damai berarti . . . —hidup yang

berpusat pada Yesus Kristus; —moral yang bersih dan tulus; —tubuh yang sehat, cukup

sandang, pangan, papan; —hubungan yang benar dengan Tuhan, diri sendiri, sesama, dan

alam lingkungan.‖

Di samping itu GKMI Siloam sendiri juga mensosialisasikan melalui Visi dan Misi sebagaimana yang tertulis pada warta jemaat. Visi: Menjadi tanda kerajaan Allah di Kota Salatiga. Misi: Menjadi komunitas yang berubah dan berbuah, yang menjadi dan menjadikan

murid Yesus, dan yang hidup dalam kasih, keadilan dan damai sejahtera.39 Salah satu ajaran

pokok GKMI adalah menjadi murid Kristus. Yaitu mencontoh teladan hidup Tuhan Yesus yang pernah Dia lakukan dan hal itu diterapkan pada zaman sekarang. Dari observasi yang telah dilakukan, gereja sendiri mensosialisasikan konsep perdamaian melalui tema-tema perenungan Firman Tuhan. Baik tema-tema dalam ibadah minggu, ibadah kelompok, katekisasi dan juga ibadah komisi-komisi. Selain itu Sinode GKMI juga memberikan tema

besar tentang nilai-nilai perdamaian khususnya pada Minggu ketiga.40 Berdasarkan nilai-nilai

kebajikan yang telah dibuat oleh Sinode GKMI dari Tahun 2010-201441, yakni:

a) Tahun 2010: Tahun Kasih, d) Tahun 2013: Tahun Keadilan,

b) Tahun 2011: Tahun Perdamaian, e) Tahun 2014: Tahun Kebenaran.

c) Tahun 2012: Tahun Keutuhan Ciptaan,

Tema-tema tersebut dibuat karena ada suatu hal yang ingin dicapai, salah satunya adalah mewujudkan perdamaian. Dari hasil wawancara dengan gembala jemaat, Ia menyatakan bahwa gereja mensosialisasikan nilai-nilai perdamaian melalui khotbah pada ibadah-ibadah (baik ibadah minggu maupun ibadah kategorial), pemahaman Alkitab (PA), katekisasi dan pernah juga diadakan seminar maupun pembinaan tentang perdamaian. Ia

38

Arsip Berita GKMI. 39

Visi dan Misi terambil dari Warta Jemaat GKMI Siloam yang tertulis pada halaman depan.

40

Hasil Wawancara dengan Gembala Jemaat, Pdm. E P S, 14 Agustus 2013, pukul 19.00 WIB.

41


(18)

menegaskan bahwa sosialisasinya bukan hanya sekedar sebatas khotbah saja. Akan tetapi, khotbah itu menjadi sebuah karakter, sebagai suatu nilai yang ada di dalam kehidupan berjemaat. Selain mensosialisasikan perdamaian, gereja juga melakukan pengajaran

(semacam edukasi) perdamaian melalui kalender gerejawi. Yaitu pada ―Bulan Keluarga‖

pada bulan Juli, dan ―Bulan perdamaian‖ pada bulan September. Namun kendalanya, jemaat

tidak semua hadir dalam ibadah-ibadah yang dilaksanakan dan kurangnya SDM untuk memberikan pengetahuan melalui seminar. Sehingga menyebabkan pemahaman jemaat

tentang konsep perdamaian menjadi minim.42

Menilik sejarahnya, Mennonite dikenal karena penekanan pada isu-isu seperti

perdamaian, keadilan, kesederhanaan, komunitas, layanan, dan saling membantu.43 Secara

sistematis gereja menjadi pengajar dan pembina bagi warga jemaat, untuk mewujudkan pendidikan perdamaian itu secara informal yakni dalam keluarga. Lebih dari itu, gereja telah

melakukan tugas panggilannya yakni: Koinonia, Diakonia, dan Marturia. Hal ini terlihat dari

persekutuan maupun pelayanannya yang dilakukan kepada warga jemaat dan penjelasan atas perbuatan yang bersekutu dan melayani. Pola ajaran GKMI lebih biblis, dengan pembacaan dan penerapan langsung pada kehidupan sehari-hari. Apa yang dibaca, direnungkan dari kehidupan, itulah yang menjadi penerapan. Pembacaan seperti ini menampilkan dinamika Kitab Suci sebagai otoritas bagi kehidupan berjemaat.

b. Bulan Keluarga

Inti pengajaran pada bulan keluarga adalah, berisi pengajaran Firman Tuhan untuk keharmonisan suatu keluarga. Tujuannya membangun keluarga yang benar dihadapan Tuhan. Bulan keluarga yang diadakan pada

bulan Juli ini memiliki kegiatan rutin.44

Kegiatan yang rutin dilakukan biasanya pada ibadah minggu jemaat duduk bersama dengan keluarganya masing-masing. Jadi akan terlihat orang tua dan anak duduk

42

Hasil Wawancara dengan Gembala Jemaat, Pdm. E P S, 14 Agustus 2013, pukul 19.00 WIB.

43

Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), 105.

44

Hasil wawancara dengan majelis Pnt. D S, pada 31 Agustus 2013, pukul 11.00 - 12.30 WIB.

Foto jemaat pada kegiatan Bulan Keluarga 8 Agustus 2010


(19)

bersama satu kursi dalam ibadah minggu sebagai keluarga yang harmonis. Selain itu gereja juga mengadakan ibadah padang yang menyertakan seluruh anggota keluarga, melakukan perkunjungan, pemberian bingkisan kepada keluarga-kerluaga dan lomba-lomba yang menyimbolkan kebersamaan keluarga.

Hal ini baik dilakukan menurut Salomon,45 sebelum keluarga menerapkan nilai

perdamaian di luar keluarga maka keharmonisan keluarga harus terjadi lebih dahulu. Karena jika tidak dimulai dari keluraga inti maka nilai perdamaian tidak dapat dipromosikan pada masyarakat.

c. Bulan Perdamaian

Inti pengajaran pada bulan perdamaian adalah, berisi tentang nilai-nilai perdamaian yang mengajak jemaat untuk mewujudkannya dalam sikap hidup. Bahwa Tuhan telah berdamai dengan manusia dan manusia telah berdamai dengan Tuhan. Selain itu jemaat diingatkan kembali tentang nilai-nilai perdamaian, khususnya pada tahun ini (2013) tema

besarnya adalah tentang ―keadilan‖. Sebagai wujud penerapan dari nilai perdamaian tersebut, maka konsep kegiatannya dirancang oleh panitia. Pada tahun yang lalu (2012) tema bulan

perdamaian adalah tentang ―keutuhan ciptaan‖. Esensinya adalah gereja mempunyai perhatian pada keutuhan ciptaan khususnya terhadap lingkungan secara fisik. Kegiatan yang telah dilakukan adalah memberikan tempat sampah kepada masyarakat sekitar gereja, dan masyarakat merespon sangat baik. Pada ranah keluarga sampai saat ini masih disampaikan pengajaran perdamaian melalui ibadah pendalaman Alkitab (PA), dan ibadah keluarga. Sejauh ini yang terlihat dalam keluarga-keluarga adalah ketika ada konflik dalam keluarga,

anggota jemaat tidak ―menutup diri‖. Tetapi mulai berani terbuka menyampaikan masalah

yang dihadapi keluarga dan mencari solusi. Harapannya keluarga-keluarga tersebut bisa

menyadari kesalahan masing-masing dan memecahkan masalah secara konstruktif.46

Sosialisasi maupun pengajaran dalam bulan perdamaian dan bulan keluarga diatas, ternyata memiliki pengaruh yang sangat baik bagi jemaat terutama pada keluarga-keluarga. Contohnya sampai saat ini jemaat mulai memahami akan arti keluarga, bagaimana membangun relasi, menghargai perbedaan, bagaimana hubungan suami-istri bisa terjaga, dan relasi dengan anak semakin hangat telah terlihat. Sampai sejauh ini, umumnya keluarga hanya dilihat sebagai

45

G.Salomon & Nevo, Peace education: The concept, principles and practices around the world

(New York: Lawrence Elbaum Associates, 2002), 3.

46


(20)

rutinitas, tanggung jawab hanya pada tahap-tahap yang sebatas apa adanya. Akan tetapi dengan adanya bulan perdamaian maupun bulan keluarga dan kegiatan-kegiatan yang dibangun, hal tersebut dapat membentuk keluarga-keluarga menjadi lebih harmonis dan mengupayakan perdamaian. Walaupun pemahaman jemaat tentang perdamaian dapat dikatakan masih kurang.

Pada pengumpulan data melalui teknik Focus Group Discussion (FGD) dengan orang tua,

mereka menyatakan bahwa konsep perdamaian telah disosialisasikan dan diajarkan oleh gereja. Namun untuk penjabaran yang lebih kongkret belum jelas, karena masih disampaikan hanya sebatas khotbah-khotbah, sehingga jemaat kurang memahami dengan tepat tentang konsep perdamaian. Padahal para orang tua menginginkan sesuatu hal yang lebih dari itu. Disamping itu

dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan seperti ―Bulan Perdamaian‖ dan ―Bulan Keluarga‖, jemaat

menginginkan kegiatan yang lebih kreatif dan menarik.47 Demikian juga pada katekisasi, para

pemuda menghendaki seharusnya gereja menanamkan ajaran perdamaian pada peserta katekisasi sampai mendalam dan memberikan kelanjutan pada taraf berikutnya yakni pada kategori pemuda.

Dari hasil teknik Focus Group Discussion (FGD) dengan pemuda yang pernah mengikuti

katekisasi tersebut, terungkap bahwa konsep damai yang mereka pahami adalah arti yang sempit, mereka melakukan prakteknya namun tidak memahami konsep damai dalam arti yang

sesungguhnya.48 Meskipun demikian yang perlu digarisbawahi, bahwa untuk upaya kearah

perdamaian sudah kelihatan.

Satu hal lagi tentang pemberdayaan bahwa berdasarkan data-data penelitian, gereja baru memulai pemberdayaan keluarga dengan cara memberikan sosialisasi dan edukasi kepada orang

tua. Hal ini memiliki kecocokan dengan teori pemberdayaan dari Shardlow49 yang telah peneliti

intervensi pada peran dan fungsi keluarga dari Friedman,50 bahwa maksud pemberdayaan

keluarga adalah memberikan sosialisasi dan pengajaran kepada keluarga terutama kepada orang tua. Salah satu tujuannya, mengenai peningkatan pengetahuan di bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan, keagamaan, olahraga, kesenian, kesejahteraan sosial dan juga meningkatkan peranan orang tua dalam menerapkan nilai-nilai di keluarganya. Keluarga yang telah mengetahui peran

47

Data diperoleh dari FGD dengan Orang tua, yang dilaksanakan di GKMI Siloam pada hari Minggu, 1 September 2013, pukul 07.30 WIB.

48

Data diperoleh dari FGD dengan Pemuda, yang dilaksanakan di GKMI Siloam pada hari Sabtu, 24 Agustus 2013 pukul 18.30 WIB.

49

Steven Shardlow, Values, Ethics and Sosial Work dalam Adams, Robert, Lena Dominelli, dan Malcolm Payne (eds). Social Work: Themes, Issues and Critical Debates (London: MacMillian Press Ltd, 1998), 32.

50


(21)

dan fungsinya tersebut dapat berkuasa atas kehidupannya sendiri dan meningkatkan pengetahuan secara mandiri.

GKMI Siloam melakukan proses pemberdayaan keluarga dengan memulai kepada individu-individu yang ada di dalam keluarga-keluarga terlebih dahulu. Karena jika secara utuh diberdayakan seperti itu, gereja akan mengalami kesulitan. Kesulitan ini disebabkan oleh taraf pendidikan jemaat yang sebagian besar masih menengah kebawah. Upaya yang dilakukan gereja adalah mulai dengan mencari pionir-pionir di dalam keluarga-keluarga. Untuk menjadikan pioner-pioner tersebut masih dimulai pada tahap kepengurusan-kepengurusan dan majelis. Kemudian mereka diarahkan, dididik, diajar, sehingga mereka akan menjadi contoh bagi anggota keluarganya dan juga kepada keluarga-keluarga yang lain, karena bagaimanapun juga jemaat masih melihat pemimpinnya. Ketika pemimpinnya hidup dalam kebenaran dan menerapkan nilai-nilai perdamaian dalam kehidupan keluarganya, maka keluarga yang lain pun akan terpengaruh

dan mengikutinya.51

Berdasarkan cara gereja memberdayakan seperti yang telah diungkap diatas. Berarti pemberdayaan keluarga yang dilakukan gereja belum menyeluruh pada keluarga-keluarga, kendati ranah kepengurusan dan majelis telah mulai diberdayakan oleh gereja dengan tujuan menjadi contoh bagi keluarga-keluarga yang lain.

3.3 Penerapan Nilai Perdamaian Yang Dilakukan Orang Tua

Salah satu fungsi keluarga adalah fungsi sosialisasi, yaitu tempat pembentukan dan

internalisasi norma-norma.52 Berdasarkan hasil wawancara dan teknik Focus Group Discussion

(FGD) dengan orang tua, mereka mengungkapkan bahwa penerapan nilai perdamaian dalam keluarga dilakukan dengan berbagai cara.

Pertama, orang tua mensosialisasikan dan menyampaikan nilai-nilai perdamaian mulai dari keluarga inti secara langsung, yaitu dengan mengajarkan dan menanamkan nilai perdamaian pada anak sejak dini. Misalnya bagaimana mengasihi, bagaimana melayani, bagaimana bekerjasama dan bagaimana menghormati kakak-adik (yang besar mengasihi adiknya lalu adiknya menghormati kakaknya). Orang tua juga sering menekankan sikap yang adil dan jujur dalam segala aspek di dalamnya, misalnya tentang membagikan makanan kepada anak-anak mereka secara adil, membelikan sebuah barang sesuai umur dan kebutuhan anak-anak, serta perhatian kasih sayang secara adil. Orang tua harus bijak, karena orang tua yang bijak tidak pilih

51

Hasil Wawancara dengan Gembala Jemaat, Pdm. E P S, 14 Agustus 2013, pukul 19.00 WIB.

52


(22)

kasih dalam memberikan perhatian kasih sayang kepada anak-anaknya. Orang tua juga menanamkan kejujuran dalam kehidupannya sehari-hari, misalnya dengan melatih anak-anak

untuk mengambilkan uang dari dompet ayah atau ibunya. 53

Kedua, perhatian pada aspek rohani dan jasmani. Perhatian dan kasih sayang dapat menjadikan suatu lingkungan yang hangat bagi anak-anak, sehingga keluarga dapat menolong anak untuk mengembangkan sikap maupun nilai perdamaian. Sesungguhnya dengan perhatian dan kasih sayang saja, orang tua telah menerapkan nilai perdamaian dalam keluarganya. Perhatian jasmani telah dilakukan orang tua dan itu menjadi hal yang penting bagi mereka. Demikian juga bentuk perhatian pada perkembangan rohani anak. Dalam hal ini orang tua tidak sebatas menyerahkan kepada lembaga, misalnya dalam sekolah minggu. Tetapi turut serta dalam memberikan kelanjutan pengajaran pada saat mereka sudah pulang ke rumah. Hal ini mudah dilakukan bagi orang tua karena secara tidak langsung anak-anak telah mengenal nilai

perdamaian dari Sekolah Minggu yang berisi pengajaran tentang cinta damai ―mennonite non

-kekerasan‖.54

Selain itu orang tua sangat mendukung kegiatan gereja dalam berbagai aspek misalnya dana maupun tenaga.

Berdasarkan hasil teknik Focus Group Discussion (FGD) yang telah dilakukan pada

orang tua, juga ditemukan bahwa orang tua menyadari akan pentingnya ibadah dalam keluarga.

Istilah ibadah keluarga bagi GKMI Siloam adalah ―Mimbar Keluarga‖. Pelaksanaannya tidak

terjadwal rutin, dan biasanya selain berkegiatan membaca Alkitab, berdoa, dan bernyanyi memuji Tuhan, setiap anggota keluarga juga berbagi pengalaman dan memberi masukan untuk anggota keluarga lainnya supaya belajar saling mengakui dan menerima kesalahan. Hal ini baik dilakukan, namun jika pelaksanaannya tidak terjadwal rutin maka keluarga akan sering melupakan waktu untuk mimbar keluarga seperti ini, alangkah lebih baik apabila para orang tua dapat membuat jadwal yang tetap untuk melaksanakan mimbar keluarga secara rutin, entah seminggu sekali atau sebulan sekali.

Ketiga, menerapkan nilai perdamaian dalam penyelesaian konflik. Sepanjang sejarah umat manusia, tidak ada keluarga yang berjalan tanpa konflik. Namun konflik tersebut bukanlah sesuatu yang menakutkan, faktanya hampir semua keluarga pernah mengalaminya. Yang menjadi

53

Data diperoleh dari FGD dengan Orang tua, yang dilaksanakan di GKMI Siloam pada hari Minggu, 1 September 2013, pukul 07.30 WIB.

54

Data diperoleh dari FGD dengan Guru Sekolah Minggu, yang dilaksanakan di GKMI Siloam pada hari Minggu, 11 Agustus 2013, pukul 7.30.WIB.


(23)

berbeda adalah cara mengatasi dan menyelesaikan konflik tersebut. Melalui teknik Focus Group Discussion (FGD)55 ditemukan bahwa ada 7 (tujuh) poin cara penyelesaian konflik, yaitu:

1. Bersedia mendiskusikan mencari akar permasalahan itu sendiri apa yang menyebabkan

terjadinya konflik, kemudian melakukan intropeksi diri, mempertimbangkan pendapat dan mencari jalan keluarnya.

2. Tetap berpegang pada pendirian dan tidak menambahkan alasan-alasan baru kalau anak

sudah terbukti salah.

3. Tidak berdebat mengenai perselisihan jika sedang marah atau pada waktu makan bersama.

4. Tidak menyakiti secara fisik atau psikis.

5. Mencari titik pertemuan pendapat dan sikap karena menghadapi anak-anak itu juga melihat

umur-umurnya, dan untuk memulai tahap-tahap penyelesaian, orang tua harus belajar bijak dan arif dalam menghadapi konflik, baik itu penyelesaian konflik dari tahap anak-anak, remaja, dan dewasa.

6. Bersedia mengakui kesalahan bila memang bersalah, terkadang orang tua bisa lepas kontrol

lupa mengendalikan diri, dan tidak seharusnya pendapat orang tua itu selalu benar tetapi kadang-kadang pendapat anak ada benarnya.

7. Bersedia melupakan perselisihan setelah selesai dan memaafkan atau minta maaf apabila hal

ini harus dilakukan.

Keempat, mempertahankan hubungan sebagai suami-istri. Dalam mempertahankan hubungan, mereka juga perlu menerapkan nilai perdamaian. Dalam teknik FGD dengan orang

tua,56 ditemukan bahwa menurut pihak laki-laki mereka mempertahankan hubungan

pernikahannya dengan cara saling menyenangkan satu sama lain, menyadari bahwa istri adalah anugerah pemberian dari Tuhan, berusaha membimbing dan pengorbanan. Menurut salah satu

peserta FGD (E. S.), Ia mengatakan dengan cara ―seni mengasihi‖, yang dimaksud seni

mengasihi yaitu mengasihi melalui keahlian dengan membuat karya yang mengasihi secara fisik. Menurut pihak perempuan, dalam mempertahankan hubungan pernikahannya adalah dengan berlandaskan atas dasar cinta. Mereka memahami bahwa suami itu adalah anugerah yang diberikan Tuhan. Dan mengupayakan saling memaafkan antara suami dan istri sehingga konflik yang terjadi tidak berlarut-larut, karena menurut mereka suka dan duka harus dilalui bersama.

55

Data diperoleh dari FGD dengan Orang tua, yang dilaksanakan di GKMI Siloam pada hari Minggu, 1 September 2013, pukul 07.30 WIB.

56


(24)

Kelima, orang tua menerapkan nilai perdamaian melalui keteladanan. Dari hasil teknik Focus Group Discussion (FGD) dengan para orang tua, orang tua memberikan teladan dengan menjadi ayah dan ibu yang baik. Sebagai kepala keluarga yang penuh tanggung jawab, peranan ayah adalah sangat vital dan sangat mempengaruhi tujuan-tujuan masyarakat bangsa dan dunia. Karena sikap dan tindakan seorang ayah memiliki peranan untuk memimpin perkembangan anak-anak dan membangun kehidupannya dengan isi, tujuan yang mantap, kepercayaan, dan kreativitas. Apalagi peranan seorang ibu, sekalipun ayah mempunyai tanggung jawab yang sama akan kesehatan rohani dan jasmani keluarga, tetapi tak dapat disangkal bahwa kecenderungan-kecenderungan keluarga ke arah kebaikan atau keburukan, secara langsung dipengaruhi oleh perempuannya yang berperan sebagai ibu. Di dalam keluarga orang tua memberikan teladan dari hal terkecil, misalnya: berdoa, kejujuran, dan sikap perbuatan. Hal ini telah diterapkan orang tua dalam kehidupan keluarga, menurut mereka keteladanan ini memiliki tantangan tersendiri. Tantangan terbesar adalah dari pihak orang tua sendiri, bahwa orang tua harus komitmen dalam perkataan dan janjinya kepada anak-anak mereka. Misalnya ketika seorang ayah menjanjikan sesuatu kepada anak, namun janjinya tidak ditepati maka anak akan menagih janji tersebut dan jika terjadi demikian hal ini sangat menyakitkan bagi seorang ayah dan ibu. Selain itu ada juga orang tua yang menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka melakukannya dengan cara tidak menciptakan konflik. Artinya mencegah konflik itu terjadi, tetapi kalau konflik terjadi

maka konflik itu dikelola dan dicari jalan keluar untuk penyelesaian konflik tersebut.57

3.4 Rangkuman

Berdasarkan data dan analisa di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gereja melakukan pendidikan perdamaian dalam keluarga dengan melakukan pengajaran yang mengutamakan Alkitab. Pengajarannya menjadi murid Tuhan Yesus, yang hidup dalam kasih, keadilan dan damai sejahtera. Juga pemberdayaan pada keluarga, gereja memulai dari pionir yang dijadikan contoh bagi yang lain. Keluarga-keluarga menerapkan apa yang telah diajarkan oleh gereja, itu sebabnya Mennonite dekat dengan pemahaman yang natural dari Kitab Suci. Sehingga apa yang dibaca, direnungkan dari kehidupan, itulah yang menjadi penerapan.

Pembangunan karakter keluarga Kristen, sangat ditentukan oleh peran orang tua itu sendiri. Orang tua harus memberikan teladan dengan menjadi ayah dan ibu yang baik. Seperti yang telah peneliti ungkap diatas, bahwa sebagai kepala keluarga yang penuh tanggung jawab, peranan ayah adalah sangat vital dan sangat mempengaruhi tujuan-tujuan masyarakat bangsa dan

57


(25)

dunia. Begitu juga peran sebagai ibu yang memiliki hubungan sangat dekat dengan anak-anaknya. Maka dibutuhkan kerjasama antara suami dan istri, karena hal ini mencakup fungsi dan peran orang tua untuk menerapkan nilai-nilai perdamaian dalam keluarga. Jika peran dan fungsi orang tua belum disadari, maka pendidikan perdamaian tidak akan pernah terwujud dalam keluarga. Oleh karena itu, orang tua membutuhkan peran gereja untuk mendapatkan pengetahuan dan bimbingan dari gereja terlebih dahulu, sehingga orang tua akan menyadari fungsi dan perannya. Menurut Gunarsa, keluarga merupakan sumber pendidikan utama, karena segala pengetahuan dan kecerdasan intelektual manusia diperoleh pertama-tama dari orang tua dan

anggota keluarganya sendiri.58 Dengan demikian segala sesuatu yang diajarkan di dalam keluarga

baik hal positif maupun negatif, sangat berpengaruh pada anak, daripada bila diajarkan di lembaga-lembaga lain. Hal tersebut memperkuat alasan peneliti, bahwa pendidikan perdamaian sangat efektif untuk diterapkan dalam keluarga. Karena keluarga yang telah mengetahui peran dan fungsinya tersebut akan dapat berkuasa atas kehidupannya sendiri dan meningkatkan pengetahuannya secara mandiri untuk melakukan pendidikan perdamaian dalam keluarga.

Problem real itu pasti dihadapi oleh keluarga yaitu konflik. Hal ini sudah dinamika pernikahan yang tidak lepas dari konflik. Namun GKMI sebagai gereja perdamaian, yang kehidupan jemaatnya telah memiliki sikap nilai-nilai terang keutamaan cinta-kasih, pengorbanan, pengampunan dan pengharapan. Yang menjadikan keluarga sebagai sarana bagi Allah untuk menjadi kesaksian gereja. Keluarga-keluarga di GKMI Siloam dapat menjadi contoh bagi keluarga yang lain untuk menerapkan dan mempromosikan nilai-nilai perdamaian. Keluarga Mennonite menampilkan keutamaan-keutamaannya di tengah-tengah perubahan zaman yang kian cepat.

Jadi pendidikan perdamaian dalam keluarga itu adalah suatu upaya untuk menciptakan lingkungan yang kondusif damai, untuk menciptakan sebuah perdamaian, untuk menjadi pelaku perdamaian yang diimplementasikan didalam keluarga dan masyarakat secara terus menerus. Dengan mempelajari tema-tema dan nilai-nilai perdamaian secara bersama-sama antara orang tua dengan anak. Orang tua berperan membentuk anak-anak mulai dini supaya saling mengasihi, saling melayani, saling membantu, saling menghormati dan saling bekerjasama. Sehingga menjadi sebuah karakter di dalam keluarga yang memiliki nilai-nilai kasih dan perdamaian.

58Ny. Y. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, Psikologi Untuk Keluarga (Jakarta: BPK


(26)

IV. REFLEKSI TEOLOGIS

Damai sejahtera adalah suatu kehidupan yang sangat diinginkan setiap makhluk di alam semesta. Sebagai anak-anak Allah patutlah membawa damai di tengah-tengah dunia, sesuai yang

telah tertulis dalam Matius 5:9 ―Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan

disebut anak-anak Allah.‖

Membawa damai kelihatannya sangat sederhana, akan tetapi tidak sesederhana itu. Yang dilakukan oleh seorang pembawa damai adalah ia memperdamaikan Allah dan manusia. Untuk melakukan hal tersebut dia harus mengasihi Allah dan dia juga harus mengasihi sesama manusia. Dia hanya dapat melakukan hal ini oleh Roh Kudus yang mencurahkan kasih tersebut ke dalam hatinya. Juga dia bergantung sepenuhnya kepada anugerah Allah untuk menjadi seorang pembawa damai. Seorang pembawa damai harus mengabarkan berita damai.

Di dalam keluarga Kristen, dibutuhkan peran orang tua dalam keluarga untuk melakukan semuannya itu. Sebelum orang tua menerapkan nilai-nilai perdamaian pada anak-anaknya, maka mereka sendiri harus sungguh-sungguh memperhatikan bagaimana mereka dapat menjadi teladan dan berkomitmen sebagai pembawa damai. Setelah orang tua sendiri memiliki komitmen untuk sungguh-sungguh menjadi pembawa damai, barulah bisa mengajarkan pada anak-anaknya. Cara mengajarkannya ternyata bukan seperti di kelas sekolah pada jam tertentu, tetapi dalam kehidupan keluarga sehari-hari. Artinya seluruh kehidupan berkeluarga adalah suatu kurikulum pendidikan agar anak mengenal dan membawa damai. Jika orang tua dapat memberikan teladan dan contoh yang baik maka anak akan menemukan kasih Tuhan dalam orang tua mereka dan menjadi pembawa damai di generasi ini atas dasar kebenaran.

Secara alami anak punya potensi bertumbuh dan menjadi dewasa. Pertumbuhan itu mencakup banyak sisi kehidupannya, mulai dari perkembangan fisik, motorik, intelektualitas, psiko-sosial dan lain sebagainya. Keluarga merupakan komponen terpenting dalam pembentukan seorang manusia. Di dalam dan melalui keluargalah seorang manusia menjadi siapa dirinya yang sekarang. Keluarga adalah sekolah cinta dan gereja kecil. Melalui keluarga anak mengenal pentingnya doa, iman, harapan serta menghargai terhadap diri sendiri dan orang lain.


(27)

Ada sebuah tulisan anonim yang mengatakan bahwa:

Jika anak dibesarkan dengan kecaman, ia belajar menyalahkan, Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar kekerasan, Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar menjadi pemalu, Jika anak dibesarkan dengan rasa malu, ia belajar merasa bersalah,

Jika anak dibesarkan dengan dorongan dan semangat, ia belajar percaya diri, Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar untuk menghargai,

Jika anak dibesarkan dengan kejujuran, ia belajar tentang keadilan, Jika anak dibesarkan dengan keamanan, ia belajar tentang iman, Jika anak dibesarkan dengan restu, ia belajar menyukai diri sendiri, Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang, ia belajar mengasihi dunia.

Tulisan ini mau menggambarkan bahwa proses pembentukkan pribadi (sifat, karakter, dan kepribadian) dimulai di lingkungan keluarga. Sebenarnya proses pembentukan pribadi setiap anggota keluarga tidak pernah berhenti. Artinya, di dalam keluargalah seseorang berproses untuk bagaimana menjadi suami atau istri yang baik bagi pasangan, bagaimana menjadi orang tua yang arif dan bijaksana bagi anak-anak. Dalam keluargalah seseorang berproses untuk bagaimana menjadi anak-anak yang menghormati orang tua, berproses untuk menjadi kakak-adik yang peduli satu sama lain.

Tuhan Yesus sendiri yang telah mengajarkan demikian melalui khotbahnya di bukit. Berlandaskan pada ayat di atas, sudah sepatutnya gereja dan juga jemaat membawa damai disetiap aspek kehidupannya. Karena alasan itulah, mengapa pendidikan perdamaian dalam keluarga sangat penting. Pendidikan perdamaian dalam keluarga adalah membawa damai itu kedalam keluarga dan secara tidak langsung akan menjadi teladan dan contoh bagi keluarga-keluarga lainnya. Seperti makna damai dalam Alkitab, yaitu damai itu mendatangkan Kerajaan Allah. Sehingga Pendidikan Perdamaian dalam Keluarga menjadi sebuah akar yang utama dalam perwujudan kehidupan damai sejahtera.

”Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya,


(28)

V. PENUTUP 1. Kesimpulan

 GKMI Siloam telah mengupayakan perdamaian yang diterapkan dalam sosialisasi dan

pengajaran, khususnya pada bulan perdamaian maupun bulan keluarga dan kegiatan-kegiatan yang dibangun. Sehingga hal tersebut dapat dipakai sebagai proses pendidikan dan pemberdayaan yang membentuk keluarga-keluarga anggota jemaat menjadi lebih

harmonis dan mengupayakan perdamaian. Menurut Salomon,59 sebelum keluarga

menerapkan nilai perdamaian di luar keluarga maka keharmonisan keluarga harus terjadi lebih dahulu. Karena jika tidak dimulai dari keluraga inti maka nilai perdamaian tidak dapat dipromosikan pada masyarakat. Walaupun pemahaman jemaat tentang perdamaian dapat dikatakan masih kurang. Meskipun demikian yang perlu digarisbawahi, bahwa untuk upaya kearah perdamaian sudah kelihatan.

 Dalam pemberdayaan keluarga GKMI Siloam belum melaksanakannya secara utuh,

seperti yang telah dipaparkan pada hasil penelitian lapangan bahwa gereja baru memulai pemberdayaan keluarga dengan cara memberikan sosialisasi dan bimbingan kepada orang

tua. Hal ini memiliki kecocokan dengan teori pemberdayaan dari Shardlow60 yang telah

peneliti intervensi pada peran dan fungsi keluarga dari Friedman,61 bahwa maksud

pemberdayaan keluarga adalah memberikan sosialisasi dan bimbingan kepada keluarga terutama kepada orang tua. Salah satu tujuannya, mengenai peningkatan pengetahuan di bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan, keagamaan, olahraga, kesenian, kesejahteraan sosial dan juga meningkatkan peranan orang tua dalam menerapkan nilai-nilai di keluarganya. Keluarga yang telah mengetahui peran dan fungsinya tersebut dapat berkuasa atas kehidupannya sendiri dan meningkatkan pengetahuan secara mandiri.

 Peranan orang tua dalam penerapan nilai perdamaian sudah dilakukan khususnya pada

keluarga yang telah diberdayakan oleh gereja untuk dijadikan pionir. Orang tua yang

59

G.Salomon & Nevo, Peace education: The concept, principles and practices around the world

(New York: Lawrence Elbaum Associates, 2002), 3.

60

Steven Shardlow, Values, Ethics and Sosial Work‖ dalam Adams, Robert, Lena Dominelli, dan

Malcolm Payne (eds). Social Work: Themes, Issues and Critical Debates (London: MacMillian Press Ltd, 1998), 32.

61


(29)

mengetahui peran dan fungsinya tersebut dapat berkuasa atas kehidupannya sendiri dan meningkatkan pengetahuannya tentang nilai perdamaian secara mandiri untuk mengupayakan perdamaian. Walaupun tidak semua orang tua mengetahui peran dan fungsinya dalam keluarga. Fungsi keluarga yang tampak menonjol jika dikaitkan dengan pendapat tersebut adalah: (1) Fungsi afektif/pengajaran; (2) fungsi sosialisasi; (3) fungsi reproduksi; (4) fungsi ekonomi; (5) fungsi pemeliharaan.

2. Saran

Dari penelitian ini, peneliti akan memberikan beberapa saran berkaitan dengan pendidikan perdamaian dalam keluarga di GKMI Siloam:

1)Saran Kepada GKMI Siloam

 Sebaiknya GKMI Siloam memberikan pembinaan dengan berbagai teknik tentang

pendidikan perdamaian dalam keluarga kepada warga jemaatnya. Karena jemaat menginginkan lebih dari sekedar khotbah-khotbah pada ibadah.

 Seharusnya GKMI Siloam sadar bahwa gereja ada karena keluarga ada terlebih

dahulu. Keluarga merupakan ―gereja mini‖, maka orang tua harus dibekali dengan

sungguh-sungguh untuk menyiapkan anak-anak sebagai generasi penerus gereja. 2)Saran Kepada Warga Jemaat.

 Sebaiknya setiap orang tua jemaat GKMI Siloam merespon secara positif makna

damai yang disampaikan dan disosialisasikan oleh gereja. Selain itu, orang tua juga dapat mempromosikan pendidikan perdamaian kepada komunitas di luar gereja.

 Seharusnya orang tua mengetahui peran dan fungsinya menjadi teladan bagi

anak-anak untuk mengupayakan perdamaian, karena bagaimana pun juga anak-anak-anak-anak akan menirukan apa yang dilakukan orang tua.


(30)

DAFTAR PUSTAKA Referensi Buku:

Adi, I. R. (2002). Pemikiran-pemikiran dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Jakarta:

Lembaga Penerbit FE-UI.

Aritonang, J. S. (2008). Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta: Gunung Mulia.

Atmadja-Hadinoto, N. K. (1999). Dialog dan Edukasi keluarga kristen dalam masyarakat

indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Boland, G. V. (2006). Dogmatika Masa Kini. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Christano, C. (1987). seri mengenal jemaat mennonite: Asal Mula Jemaat Mennonite. Semarang:

Komisi Literatur Sinode Muria.

Eminyan, M. (2001). Teologi Keluarga. Yogyakarta: Kanisius.

Ernest Watson Burgess, H. J. (1971). The family: from traditional to companionship. Michigan:

Van Nostrand Reinhold Co.

Fahrudin, A. (n.d.). Pemberdayaan Partisipasi & Penguatan kapasitas Masyarakat. Bandung:

Humaniora.

Goode, W. (1983). Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bina Aksara.

Gunarsa, N. Y. (2003). Psikologi untuk keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Hadiwijono, H. (1984). Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Heath, W. S. (2010). TEOLOGI PENDIDIKAN ANAK: Dasar Pelayanan kepada Anak.

Bandung: Yayasan Kalam Hidup.

Ife, F. T. (2008). Community Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era

Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jim Ife & Frank Tesoriero. (2008). Community development. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

KOPTARI; A. Widyamartaya. (2001). Buku Pegangan bagi Promotor Keadilan, Perdamaian,

dan Keutuhan Ciptaan. Yogyakarta: Kanisius.

Krueger, R. A. (1998). Focus Groups: a Practical Guide For Applied Research. Newburg Park

Calif: Sage Publications.

Lestari, S. (2005). Psikologi Keluarga. Prenada media Group.


(31)

Midgley, J. (1995). Social Development: The Developmental Perspective in Social Welfare. London: Sage Publications.

Mulyanto, C. B. (2012). Filsafat Perdamaian. Yogyakarta: Kanisius.

Nawawi, H. (1983). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press.

Nuhamara, D. (2007). Pembimbing PAK pendidikan agama kristen. Bandung: Jurnal Info Media.

Payne, M. (1997). Modern social work theory. second edition. London: Macmillan Press Ltd.

Purwadi, J., & Pupawanti. (2011). mariage and family. Jakarta: Immanuel.

Rudiyanto. (2009). Panduan Hidup: Dalam Komunitas Murid Yesus. Semarang: Pustaka Muria.

Salomon, G. &. (2002). Peace education: The concept, principles and practices around the

world. New York: Lawrence Elbaum Associates.

Sarumpaet, R. (1995). Pedoman Berumahtangga. Bandung: Indonesia Publishing House.

Setiadi. (2008). Konsep dan proses keperawatan keluarga. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Shardlow, S. (1998). Values, Ethics and Social Work. London: MacMillian Press Ltd.

Sitompul, E. M. (2004). Gereja menyikapi perubahan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Snyder, C. A. (2007). Dari Benih Anabaptis. Semarang: Pustaka Muria.

Sugiyo, T. (2001). Keluarga Sebagai Sekolah Cinta. Bandung: Lembaga Literatur Baptis.

Sumiyatiningsih, D. (2006). Teladan Kehidupan 3. Yogyakarta: Andi.

Suryabarata, S. (1998). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

T. Jacobs, S. (1990). Dinamika Gereja. Yogyakarta: Kanisius.

Referensi dari Internet:

GKMI, Sinode. (2011). Sinode GKMI. Retrived Juli 7, 2013, from Sinode GKMI:

http://sinodegkmi.com/?page_id=2

Roth, J. D. (n.d.). Sejarah Mennonite. Retrieved Juli 7, 2013, from History Mennonite:

http://history.mennonite.net

Salatiga, Profile. (2010). Kota Salatiga. Retrieved September 3, 2013, from Profile Salatiga:

http://id.wikipedia.org/wiki/kota_salatiga

Salatiga, Kota. (2013). Profile Kota Salatiga. Retrived September 3, 2013, from Pemkot Salatiga:


(1)

IV. REFLEKSI TEOLOGIS

Damai sejahtera adalah suatu kehidupan yang sangat diinginkan setiap makhluk di alam semesta. Sebagai anak-anak Allah patutlah membawa damai di tengah-tengah dunia, sesuai yang telah tertulis dalam Matius 5:9 ―Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.‖

Membawa damai kelihatannya sangat sederhana, akan tetapi tidak sesederhana itu. Yang dilakukan oleh seorang pembawa damai adalah ia memperdamaikan Allah dan manusia. Untuk melakukan hal tersebut dia harus mengasihi Allah dan dia juga harus mengasihi sesama manusia. Dia hanya dapat melakukan hal ini oleh Roh Kudus yang mencurahkan kasih tersebut ke dalam hatinya. Juga dia bergantung sepenuhnya kepada anugerah Allah untuk menjadi seorang pembawa damai. Seorang pembawa damai harus mengabarkan berita damai.

Di dalam keluarga Kristen, dibutuhkan peran orang tua dalam keluarga untuk melakukan semuannya itu. Sebelum orang tua menerapkan nilai-nilai perdamaian pada anak-anaknya, maka mereka sendiri harus sungguh-sungguh memperhatikan bagaimana mereka dapat menjadi teladan dan berkomitmen sebagai pembawa damai. Setelah orang tua sendiri memiliki komitmen untuk sungguh-sungguh menjadi pembawa damai, barulah bisa mengajarkan pada anak-anaknya. Cara mengajarkannya ternyata bukan seperti di kelas sekolah pada jam tertentu, tetapi dalam kehidupan keluarga sehari-hari. Artinya seluruh kehidupan berkeluarga adalah suatu kurikulum pendidikan agar anak mengenal dan membawa damai. Jika orang tua dapat memberikan teladan dan contoh yang baik maka anak akan menemukan kasih Tuhan dalam orang tua mereka dan menjadi pembawa damai di generasi ini atas dasar kebenaran.

Secara alami anak punya potensi bertumbuh dan menjadi dewasa. Pertumbuhan itu mencakup banyak sisi kehidupannya, mulai dari perkembangan fisik, motorik, intelektualitas, psiko-sosial dan lain sebagainya. Keluarga merupakan komponen terpenting dalam pembentukan seorang manusia. Di dalam dan melalui keluargalah seorang manusia menjadi siapa dirinya yang sekarang. Keluarga adalah sekolah cinta dan gereja kecil. Melalui keluarga anak mengenal pentingnya doa, iman, harapan serta menghargai terhadap diri sendiri dan orang lain.


(2)

Ada sebuah tulisan anonim yang mengatakan bahwa:

Jika anak dibesarkan dengan kecaman, ia belajar menyalahkan, Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar kekerasan, Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar menjadi pemalu, Jika anak dibesarkan dengan rasa malu, ia belajar merasa bersalah,

Jika anak dibesarkan dengan dorongan dan semangat, ia belajar percaya diri, Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar untuk menghargai,

Jika anak dibesarkan dengan kejujuran, ia belajar tentang keadilan, Jika anak dibesarkan dengan keamanan, ia belajar tentang iman, Jika anak dibesarkan dengan restu, ia belajar menyukai diri sendiri, Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang, ia belajar mengasihi dunia.

Tulisan ini mau menggambarkan bahwa proses pembentukkan pribadi (sifat, karakter, dan kepribadian) dimulai di lingkungan keluarga. Sebenarnya proses pembentukan pribadi setiap anggota keluarga tidak pernah berhenti. Artinya, di dalam keluargalah seseorang berproses untuk bagaimana menjadi suami atau istri yang baik bagi pasangan, bagaimana menjadi orang tua yang arif dan bijaksana bagi anak-anak. Dalam keluargalah seseorang berproses untuk bagaimana menjadi anak-anak yang menghormati orang tua, berproses untuk menjadi kakak-adik yang peduli satu sama lain.

Tuhan Yesus sendiri yang telah mengajarkan demikian melalui khotbahnya di bukit. Berlandaskan pada ayat di atas, sudah sepatutnya gereja dan juga jemaat membawa damai disetiap aspek kehidupannya. Karena alasan itulah, mengapa pendidikan perdamaian dalam keluarga sangat penting. Pendidikan perdamaian dalam keluarga adalah membawa damai itu kedalam keluarga dan secara tidak langsung akan menjadi teladan dan contoh bagi keluarga-keluarga lainnya. Seperti makna damai dalam Alkitab, yaitu damai itu mendatangkan Kerajaan Allah. Sehingga Pendidikan Perdamaian dalam Keluarga menjadi sebuah akar yang utama dalam perwujudan kehidupan damai sejahtera.

”Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya,


(3)

V. PENUTUP 1. Kesimpulan

 GKMI Siloam telah mengupayakan perdamaian yang diterapkan dalam sosialisasi dan pengajaran, khususnya pada bulan perdamaian maupun bulan keluarga dan kegiatan-kegiatan yang dibangun. Sehingga hal tersebut dapat dipakai sebagai proses pendidikan dan pemberdayaan yang membentuk keluarga-keluarga anggota jemaat menjadi lebih harmonis dan mengupayakan perdamaian. Menurut Salomon,59 sebelum keluarga menerapkan nilai perdamaian di luar keluarga maka keharmonisan keluarga harus terjadi lebih dahulu. Karena jika tidak dimulai dari keluraga inti maka nilai perdamaian tidak dapat dipromosikan pada masyarakat. Walaupun pemahaman jemaat tentang perdamaian dapat dikatakan masih kurang. Meskipun demikian yang perlu digarisbawahi, bahwa untuk upaya kearah perdamaian sudah kelihatan.

 Dalam pemberdayaan keluarga GKMI Siloam belum melaksanakannya secara utuh, seperti yang telah dipaparkan pada hasil penelitian lapangan bahwa gereja baru memulai pemberdayaan keluarga dengan cara memberikan sosialisasi dan bimbingan kepada orang tua. Hal ini memiliki kecocokan dengan teori pemberdayaan dari Shardlow60 yang telah peneliti intervensi pada peran dan fungsi keluarga dari Friedman,61 bahwa maksud pemberdayaan keluarga adalah memberikan sosialisasi dan bimbingan kepada keluarga terutama kepada orang tua. Salah satu tujuannya, mengenai peningkatan pengetahuan di bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan, keagamaan, olahraga, kesenian, kesejahteraan sosial dan juga meningkatkan peranan orang tua dalam menerapkan nilai-nilai di keluarganya. Keluarga yang telah mengetahui peran dan fungsinya tersebut dapat berkuasa atas kehidupannya sendiri dan meningkatkan pengetahuan secara mandiri.

 Peranan orang tua dalam penerapan nilai perdamaian sudah dilakukan khususnya pada keluarga yang telah diberdayakan oleh gereja untuk dijadikan pionir. Orang tua yang

59

G.Salomon & Nevo, Peace education: The concept, principles and practices around the world


(4)

mengetahui peran dan fungsinya tersebut dapat berkuasa atas kehidupannya sendiri dan meningkatkan pengetahuannya tentang nilai perdamaian secara mandiri untuk mengupayakan perdamaian. Walaupun tidak semua orang tua mengetahui peran dan fungsinya dalam keluarga. Fungsi keluarga yang tampak menonjol jika dikaitkan dengan pendapat tersebut adalah: (1) Fungsi afektif/pengajaran; (2) fungsi sosialisasi; (3) fungsi reproduksi; (4) fungsi ekonomi; (5) fungsi pemeliharaan.

2. Saran

Dari penelitian ini, peneliti akan memberikan beberapa saran berkaitan dengan pendidikan perdamaian dalam keluarga di GKMI Siloam:

1)Saran Kepada GKMI Siloam

 Sebaiknya GKMI Siloam memberikan pembinaan dengan berbagai teknik tentang pendidikan perdamaian dalam keluarga kepada warga jemaatnya. Karena jemaat menginginkan lebih dari sekedar khotbah-khotbah pada ibadah.

 Seharusnya GKMI Siloam sadar bahwa gereja ada karena keluarga ada terlebih dahulu. Keluarga merupakan ―gereja mini‖, maka orang tua harus dibekali dengan sungguh-sungguh untuk menyiapkan anak-anak sebagai generasi penerus gereja.

2)Saran Kepada Warga Jemaat.

 Sebaiknya setiap orang tua jemaat GKMI Siloam merespon secara positif makna damai yang disampaikan dan disosialisasikan oleh gereja. Selain itu, orang tua juga dapat mempromosikan pendidikan perdamaian kepada komunitas di luar gereja.

 Seharusnya orang tua mengetahui peran dan fungsinya menjadi teladan bagi anak-anak untuk mengupayakan perdamaian, karena bagaimana pun juga anak-anak-anak-anak akan menirukan apa yang dilakukan orang tua.


(5)

DAFTAR PUSTAKA Referensi Buku:

Adi, I. R. (2002). Pemikiran-pemikiran dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI.

Aritonang, J. S. (2008). Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta: Gunung Mulia.

Atmadja-Hadinoto, N. K. (1999). Dialog dan Edukasi keluarga kristen dalam masyarakat indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Boland, G. V. (2006). Dogmatika Masa Kini. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Christano, C. (1987). seri mengenal jemaat mennonite: Asal Mula Jemaat Mennonite. Semarang: Komisi Literatur Sinode Muria.

Eminyan, M. (2001). Teologi Keluarga. Yogyakarta: Kanisius.

Ernest Watson Burgess, H. J. (1971). The family: from traditional to companionship. Michigan: Van Nostrand Reinhold Co.

Fahrudin, A. (n.d.). Pemberdayaan Partisipasi & Penguatan kapasitas Masyarakat. Bandung: Humaniora.

Goode, W. (1983). Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bina Aksara.

Gunarsa, N. Y. (2003). Psikologi untuk keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Hadiwijono, H. (1984). Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Heath, W. S. (2010). TEOLOGI PENDIDIKAN ANAK: Dasar Pelayanan kepada Anak. Bandung: Yayasan Kalam Hidup.

Ife, F. T. (2008). Community Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jim Ife & Frank Tesoriero. (2008). Community development. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

KOPTARI; A. Widyamartaya. (2001). Buku Pegangan bagi Promotor Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan. Yogyakarta: Kanisius.

Krueger, R. A. (1998). Focus Groups: a Practical Guide For Applied Research. Newburg Park Calif: Sage Publications.


(6)

Midgley, J. (1995). Social Development: The Developmental Perspective in Social Welfare. London: Sage Publications.

Mulyanto, C. B. (2012). Filsafat Perdamaian. Yogyakarta: Kanisius.

Nawawi, H. (1983). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nuhamara, D. (2007). Pembimbing PAK pendidikan agama kristen. Bandung: Jurnal Info Media.

Payne, M. (1997). Modern social work theory. second edition. London: Macmillan Press Ltd.

Purwadi, J., & Pupawanti. (2011). mariage and family. Jakarta: Immanuel.

Rudiyanto. (2009). Panduan Hidup: Dalam Komunitas Murid Yesus. Semarang: Pustaka Muria.

Salomon, G. &. (2002). Peace education: The concept, principles and practices around the world. New York: Lawrence Elbaum Associates.

Sarumpaet, R. (1995). Pedoman Berumahtangga. Bandung: Indonesia Publishing House.

Setiadi. (2008). Konsep dan proses keperawatan keluarga. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Shardlow, S. (1998). Values, Ethics and Social Work. London: MacMillian Press Ltd.

Sitompul, E. M. (2004). Gereja menyikapi perubahan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Snyder, C. A. (2007). Dari Benih Anabaptis. Semarang: Pustaka Muria.

Sugiyo, T. (2001). Keluarga Sebagai Sekolah Cinta. Bandung: Lembaga Literatur Baptis.

Sumiyatiningsih, D. (2006). Teladan Kehidupan 3. Yogyakarta: Andi.

Suryabarata, S. (1998). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

T. Jacobs, S. (1990). Dinamika Gereja. Yogyakarta: Kanisius.

Referensi dari Internet:

GKMI, Sinode. (2011). Sinode GKMI. Retrived Juli 7, 2013, from Sinode GKMI: http://sinodegkmi.com/?page_id=2

Roth, J. D. (n.d.). Sejarah Mennonite. Retrieved Juli 7, 2013, from History Mennonite: http://history.mennonite.net

Salatiga, Profile. (2010). Kota Salatiga. Retrieved September 3, 2013, from Profile Salatiga: http://id.wikipedia.org/wiki/kota_salatiga

Salatiga, Kota. (2013). Profile Kota Salatiga. Retrived September 3, 2013, from Pemkot Salatiga: http://www.salatigakota.go.id