PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI OSTEOARTHRITIS GENU BILATERAL DENGAN MODALITAS PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI OSTEOARTHRITIS GENU BILATERAL DENGAN MODALITAS MICROWAVE DIATHERMI DAN TERAPI LATIHAN DI RSUD SRAGEN.

(1)

Oleh:

LAELATUL AZIZAH J 100 050 034

KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan Guna Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Menyelesaikan

Program Pendidikan Diploma III Fisioterapi

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008


(2)

ii

Jurusan Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta dan diterima untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan Program Pendidikan Diploma III Fisioterapi, pada:

Hari : Tanggal :

Tim penguji Karya Tulis Ilmiah

Nama Terang Tanda Tangan

Penguji I : Ichwan Murtopo, SKM., M.Kes. ( )

Penguji II : Umi Budi Rahayu ( )

Penguji III : Yoni Rustiana, S.ST., FT. ( )

Disahkan oleh,

Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta


(3)

iii

Telah disetujui pembimbing untuk dipertahankan di depan Tim Penguji Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa Program Studi Fisioterapi Program Diploma III Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Pembimbing


(4)

iv

Jangan pernah di nanti-nanti”

“Maka Allah adalah sebaik-baik penjaga dan Dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang”

(QS. Yusuf, 12: 64)

“Kuatkanlah harapanmu dalam meraih apa-apa yang bermanfaat bagimu” (HR. Muslim)

“Tidak ada seorangpun dapat kembali ke masa lalu untuk membuat suatu awal yang baru. Namun, setiap orang dapat memulai saat ini untuk

membuat suatu akhir yang baru”.

“Jarak paling dekat antara problem dan solusi adalah sejauh jarak antara lutut dengan lantai untuk bersujud”


(5)

v

Karya tulis ini kupersembahkan untuk 1. Ayah dan Ibu tercinta

2. Kakak dan Adikku tersayang 3. Keluarga besarku

4. Rekan-rekan Fisioterapi Angkatan ‘05 5. Agama, Nusa dan Bangsa


(6)

vi

melimpahkan Rahmat, Hidayah dan Ridha-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini yang berjudul “Penatalaksanaan Micro Wave Diathermy dan Terapi Latihan pada Kondisi Osteoarthritis Genu Bilateral Di RSUD Sragen” guna memenuhi tugas dan syarat dalam menyelesaikan Program Pendidikan Diploma III Fisioterapi di Akademi Fisioterapi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini, tidak lepas dari bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Bambang Setiadi, MM, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta.

2. Bapak Arif Widodo, A.Kep., M.Kes., selaku ketua Studi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

3. Ibu Umi Budi Rahayu, S.ST., FT, S.Pd., selaku Ketua Program Studi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

4. Bapak Ichwan Murtopo, SKM., M.Kes., selaku pembimbing terima kasih atas nasehat dan bimbingannya.

5. Segenap Dosen Jurusan Fisioterapi Universitas Muhammadiyah Surakarta, terima kasih atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis.

6. Bapak Guntur Suwarno dan Ibu Sidrotul Muntaha terimakasih atas dorongan dan kasih sayang yang telah engkau berikan, serta buat kakaku Aziz Kholidin, adikku Devi Yuliani Dewi, Novita Wulandari yang selalu memberikan semangat dan motivasi.


(7)

vii

anggok makasih banyak, kamu adalah teman terbaik dan hidupku.

9. Buat teman-teman yang ada di kost Bp. Susilo M. Neini, Idha Idoet, M. Erna, M. Tutik, M Eni Makasih atas bantuannya.

10.Teman teman seperjuangan akfis Fisioterapi D3 UMS semoga kita semua menjadi orang yang sukses di dunia dan akhirat. Amiin.

11.Buat kelompok VI (Koh Cipit (Ari), Nero (Nurma), Ika W, Indriyana, Yulia (Ipeh), Tri R (Tesi), Vasco (Handayani)) terima kasih atas semangat dan dorongannya, semoga suskses buat kalian

12.Buat pembaca yang budiman semoga KTI ini bisa menambah ilmunya... Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini jauh dari sempurna yang tak lain disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu penulis mengharapkan segala saran dan kritik dari semua pihak yang bersifat membangun demi perbaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

Penulis berharap Karya Tulis ini berguna bagi penulis sendiri dan rekan-rekan fisioterapi pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.

Surakarta, 2008


(8)

viii

Laelatul Azizah, 94 halaman, 2008 RINGKASAN

Osteoarthtritis adalah merupakan penyakit sendi degeneratif dimana terjadi suatu gangguan yang seakan-akan merupakan proses penuaan dan ditandai dengan adanya degeneratif pada tulang rawan sendi disertai pertumbuhan tulang baru pada bagian tepi sendi (bony spur). Osteoarthtritis genu bilateral sering menyerang pada mereka yang sudah lanjut usia terutama di atas 40 tahun.

Adapun permasalahan yang akan timbul baik kapasitas fisik berupa: adanya nyeri pada kedua lutut, penurunan lingkup gerak sendi, penurunan kekuatan otot fleksor dan ekstensor kedua lutut, serta masalah kemampuan fungsional berupa gangguan aktifitas jongkok, dan berjalan. Untuk mengetahui seberapa besar permasalahan yang timbul perlu dilakukan pemeriksaan, misalnya untuk nyeri dengan VDS, krepitasi dengan gerak pasif, penurunan lingkup gerak sendi dengan LGS, penurunan kekuatan otot dengan MMT, dan pemeriksaan kemampuan fungsional dengan Skala jette. Dalam mengatasi permasalahan tersebut modalitas MWD dan terapi latihan dapat diperoleh adanya pengurangan nyeri, peningkatan lingkup gerak sendi dan peningkatan kekuatan otot serta berkurangnya gangguan untuk aktivitas fungsional.

Penelitian karya tulis ini menggunakan metode studi kasus dengan pelaksanaan terapi sebanyak enam kali. Adapun hasil setelah dilaksanakan terapi selama enam kali adalah sebagai berikut : nyeri dengan VDS : nyeri gerak lutut kanan T1=5 menjadi T6 = 2, kiri T1 = 6 menjadi T6 = 2, nyeri tekan lutut kanan T1 = 5 menjadi T6 = 2, kiri T1=6 menjadi T6 = 2; lingkup gerak sendi dengan goniometer aktif lutut kanan T1 S=0o-0o-90o menjadi T6 S= 0o-0o-110o, aktif lutut kiri T1 S=0o-0o-90° menjadi T6 S= 0o-0o-110o, pasif lutut kanan T1 S=0o-0o-100o menjadi T6 S= 0o-0o-120o, pasif lutut kiri T1 S=0o-0o-100o menjadi T6 S= 0o-0o -120o, kekuatan otot dengan MMT flexor lutut kanan T1=4 menjadi T6 = 4+,


(9)

ix

pada kondisi Osteoarthtritis genu bilateral yaitu bahwa gangguan aktivitas fungsional dapat diatasi.

Saran pada kasus ini sebaiknya pengobatan untuk memperoleh hasil yang sempurna, fisioterapi hendaknya dapat membina kerjasama yang baik dengan pasien dan pihak medic serta perlu diadakan penelitian lanjutan untuk mengetahui modalitas apa yang paling berpengaruh diantara modalitas yang telah diterapkan tersebut di atas pada kondisi Osteoarthtritis genu bilateral.


(10)

xi

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

RINGKASAN ... viii

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GRAFIK ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan ... 3

D. Manfaat ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Anatomi Fisiologi ... 6

B. Patologi ... 25


(11)

xii

A. Rancangan Penelitian ... 44

B. Kasus Terpilih ... 44

C. Instrumen Penelitian ... 44

D. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45

E. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data ... 45

F. Teknik dan Analisa Data ... 46

BAB IV HASIL DAN PERSEMBAHAN ... 47

A. Pelaksanaan Studi Kasus ... 47

B. Diagnosa Fisioterapi ... 57

C. Tujuan ... 58

D. Pelaksanaan Fisioterapi ... 58

E. Protolol Studi Kasus ... 63

F. Pembahasan Kasus ... 87

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

A. Kesimpulan ... 92

B. Saran ... 93 DAFTAR PUSTAKA


(12)

xiii

Gambar 2.2. Sendi lutut kanan dilihat dari belakang ... 15

Gambar 2.3. Ligamen pada sendi lutut dilihat dari depan ... 18

Gambar 2.4. Ligamen pada sendi lutut dilihat dari belakang ... 19

Gambar 2.5. Bursa disekitar lutut ... 20

Gambar 2.6. Otot sendi lutut dilihat dari (a) depan (b) belakang ... 21

Gambar 2.7. Pembuluh darah arteri pada sendi lutut ... 22

Gambar 2.8. Pembuluh darah vena pada sendi lutut ... 23

Gambar 4.1. Tes laci sorong ke depan ... 53

Gambar 4.2. Tes laci sorong ke belakang ... 53

Gambar 4.3. Hipermobuilitas valgus ... 54

Gambar 4.4. Hipermobuilitas varus ... 54

Gambar 4.5. Hiperekstensi ... 45

Gambar 4.6. Gravity sign ... 45

Gambar 4.7. Assisted active movement ... 75

Gambar 4.8. Free active moveemnt ... 75

Gambar 4.9. Resisted active movement ... 77


(13)

xiv

Tabel 2.1. Otot-otot pada sendi lutut ... 13

Tabel 2.2. Kriteria kekuatan otot ... 37

Tabel 4.1. Nilai VDS pada sendi lutut ... 78

Tabel 4.2. Evaluasi kekuatan otot flexor dan extensor sendi lutut ... 79

Tabel 4.3. Evaluasi LGS sendi lutut ... 81

Tabel 4.4. Hasil penelitian nyeri dengan VDS ... 83

Tabel 4.5. Hasil penelitian lingkup gerak sendi dengan goniometer ... 85

Tabel 4.6. Hasil penelitian otot dengan MMT ... 86


(14)

xv

Grafik 4.2. Penurunan rasa nyeri pada lutut kiri ... 79 Grafik 4.3. Peningkatan kekuatan otot flexor pada lutut kanan ... 80 Grafik 4.4. Peningkatan kekuatan otot flexor pada lutut kiri ... 80 Grafik 4.5. Peningkatan kekuatan otot ekstensor pada lutut kanan dan kiri .. 81 Grafik 4.6. Hasil evaluasi LGS dengan parameter skala ROM gerak aktif

knee kanan dan kiri dalam bidang sagital ... 82 Grafik 4.7. Hasil evaluasi LGS dengan parameter skala ROM gerak pasif

knee kanan dan kiri dalam bidang sagital ... 82 Grafik 4.8. Penilaian status fungsional skala jette berdiri dari posisi duduk 83 Grafik 4.9. Penilaian status fungsional skala jette berjalan 15 meter ... 84 Grafik 4.10. Penilaian status fungsional skala jette naik turun tangga ... 84


(15)

x ABSTRAK

Osteoarhtritis adalah merupakan proses penemuan dan ditandai dengan adanya degeneratif pada tulang rawan sendi. Hal ini mengakibatkan terjadinya permasalahan kapasitas fisik berupa nyeri pada kedua lutut, penurunan lingkup gerak sendi, penurunan kekuatan otot fleksor dan ekstensor kedua lutut dan adanya gangguan aktivitas fungsional berupa gangguan aktivitas jongkok, berdiri lama dan berjalan. Untuk memberikan penanganan yang efektif dan efisien, maka dilakukan suatu penatalaksanaan fisioterapi atau proses fisioterapi yang diadakan serta dokumentasi. Penelitian karya tulis ini menggunakan metode studi kasus dengan pelaksanaan terapi sebanyak enam kali. pelaksanaan meliputi segala tindakan fisioterapi yaitu pemeriksaan nyeri dengan VDS, penurunan lingkup gerak sendi dengan LGS, penurunan kekuatan dengan MMT dan pemeriksaan kemampuan fungsional dengan Skala jette. Hal yang dapat membantu mengatasi permasalahan tersebut di atas dapat digunakan modalitas berupa Micro Wave Diathermy dan Terapi Latihan. Tujuan dari modalitas tersebut yaitu pengurangan nyeri pada kedua lutut, adanya peningkatan lingkup gerak sendi dan kekuatan otot serta adanya pningkatan aktivitas fungsional.

Kata Kunci : Osteoarthritis Bilateral, VDS, LGS, MMT, Skala Jette, Micro Wave Diathermy danTerapi Latihan.


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia sedang giat melaksanakan pembangunan di segala bidang, salah satunya pembangunan di bidang kesehatan. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Mewujudkan derajat kesehatan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan keadaan kesehatan yang lebih baik dari sebelumnya. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal adalah tingkat kondisi kesehatan yang tinggi dan mungkin dapat dicapai pada suatu saat sesuai dengan kondisi dan situasi serta kemampuan yang nyata dari setiap orang atau masyarakat dan harus selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus (UU Kes. No 32 Tahun 1992).

Fisioterapi merupakan salah satu bagian dari tim medis yang bertanggung jawab terhadap pembangunan kesehatan. Menurut Purnamadyawati (2006), fisioterapi memiliki peran dalam mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak serta fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual maupun dengan peralatan seperti electrotherapy dan mekanis.

A. Latar Belakang Masalah

Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi yang paling sering ditemukan di dunia, termasuk di Indonesia. Penyakit ini menyebabkan nyeri dan


(17)

gangguan gerakan sendi sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari (Adnan, 2007).

Sendi lutut merupakan sendi yang paling penting dalam menumpu berat badan, dengan demikian sendi lutut sangat mudah mengalami osteoarthritis yang akan menimbulkan kekakuan sendi, perubahan bentuk dan nyeri untuk berjalan, naik tangga dan berdiri dari duduk. Osteoarthritis banyak menyerang pada usia lanjut. Pada umumnya pria dan wanita sama-sama dapat terkena penyakit ini meskipun pada usia sebelum usia 45 tahun. Osteoarthritis banyak menyerang atau terjadi pada pria dan wanita setelah usia 45 tahun, akan tetapi ostearthritis banyak menyerang wanita (Hudaya, 1996).

Ada beberapa faktor predisposisi yang diketahui berhubungan erat dengan terjadinya osteoarthritis sendi lutut yaitu umur, jenis kelamin, obesitas, faktor hormonal atau metabolisme, genetik, aktivitas kerja dan trauma.

Tujuan dari penatalaksanaan osteoarthritis sendi lutut adalah untuk mencegah atau menahan kerusakan yang lebih lanjut pada sendi lutut, untuk mengatasi nyeri dan kaku sendi guna mempertahankan mobilitas (Carter, 1995).

Modalitas yang digunakan penulis pada kasus ini adalah Micro Vave Diathermy (MWD) dan terapi latihan. MWD adalah salah satu modalitas fisioterapi yang dapat bermanfaat dalam mengurangi nyeri. MWD adalah salah satu modalitas fisioterapi yang dapat bermanfaat dalam mengurangi nyeri. MWD cocok untuk jaringan superficial dan struktur artikuler yang dekat dengan permukaan kulit, misalnya pada permukaan anterior pergelangan tangan dan lutut. Salah satu tujuan utama dari terapi MWD adalah untuk memanaskan jaringan otot


(18)

sehingga akan memberi efek relaksasi pada otot dan meningkatkan aliran darah intra muskuler, hal ini terjadi karena adanya peningkatan temperatur yang signifikan (Low, 2000).

Selain MWD modalitas lain yang digunakan penulis untuk kasus osteoarthritis sendi lutut yaitu terapi latihan. Manfaat dari terapi latihan pada pasien osteoarthritis sendi lutut adalah peningkatan lingkup gerak sendi (LGS), penguatan otot, peningkatan ketahanan (endurance) statik maupun dinamik dan kenyamanan (mellbeing) pasien (Tulaar, 2006).

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah karya tulis ilmiah ini adalah:

1. Apakah pemakaian modalitas MWD dan terapi latihan dapat mengurangi nyeri dan oedem

2. Apakah pemakaian modalitas MWD dan terapi latihan dapat meningkatkan LGS pada penderita osteoarthritis genu bilateral?

3. Apakah pemakaian modalitas MWD dan terapi latihan dapat meningkatkan kekuatan otot pada penderita osteoarthritis genu bilateral?

C. Tujuan 1. Tujuan Umum

Tujuan umum penulisan karya tulis ilmiah pada kasus osteoarthritis genu bilateral adalah untuk mengetahui permasalahan pendekatan fisioterapi pada problem kapasitas fisik dan kemampuan fungsional kondisi osteoarthritis.


(19)

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penulis adalah:

a. Untuk mengetahui pengaruh MWD dan terapi latihan dalam mengurangi nyeri pada penderita osteoarthritis knee bilateral.

b. Untuk mengetahui proses terapi latihan terhadap peningkatan kekuatan otot pada penderita osteoarthritis knee bilateral.

c. Untuk mengetahui proses terapi latihan terhadap peningkatan lingkup gerak sendi pada penderita osteoarthritis knee bilateral.

d. Untuk mengetahui proses peningkatan aktifitas fungsional pada penderita

osteoarthtritis knee bilateral.

D. Manfaat 1. Bagi penulis

Dapat lebih dalam mengenal osteoarthritis lutut sehingga dapat menjadi bekal untuk penulis setelah lulus.

2. Bagi masyarakat

Dapat memberikan informasi yang benar kepada pasien, keluarga, masyarakat, sehingga dapat lebih mengenal dan mengetahui gambaran osteoarthritis lutut dalam pendekatan fisioterapi.

3. Bagi pendidikan

Memberikan informasi ilmiah bagi penelitian mengenai osteoarthritis lutut bagi penelitian selanjutnya.


(20)

4. Bagi institusi kesehatan

Dapat memberikan informasi obyektif mengenai osteoarthritis lutut kepada tenaga medis, baik yang bekerja di rumah sakit maupun puskesmas.

5. Bagi fisioterapi

Dapat lebih mengetahui secara mendalam mengenai osteoarthritis lutut dan dapat digunakan dalam pelaksanaan terapi.


(21)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sebelum pembahasan lebih lanjut akan penulis ungkapkan terlebih dahulu beberapa hal yang merupakan landasan teori yang mendasari proses pemecahan masalah pada OA knee bilateral. Dalam hal ini antara lain: (A) Anatomi, Fisiologi, dan Biomekanik (B) Patologi (C) Obyek yang dibahas dan (D) Modalitas fisioterapi.

A. Anatomi, Fisiologi, dan Biomekanik Regio Lutut 1. Anatomi, fisiologi lutut

a. Tulang Pembentuk Sendi Lutut

Tulang yang membentuk sendi lutut antara lain: Tulang femur distal, tibia proximal, tulang fibula, dan tulang patella.

1) Tulang Femur (Tulang paha)

Tulang femur termasuk tulang panjang yang bersendi ke atas dengan pelvis dan ke bawah dengan tulang tibia. Tulang femur terdri dari epiphysis proximal diaphysis dan epiphysis distalis. Pada tulang femur ini yang berfungsi dalam persendian lutut adalah epiphysis distalis. Epiphysis distalis merupakan bulatan sepasang yang disebut condylus femoralis lateralis dan medialis. Di bagian proximal tonjolan tersebut terdapat sebuah bulatan kecil yang disebut

epicondylus lateralis dan epicondylus lateralis. Pandangan dari depan, terdapat dataran sendi yang melebar ke lateral yang disebut fades patellaris yang nantinya bersendi dengan tulang patella. Dan pandangan dari belakang, diantara condylus


(22)

lateralis dan medialis terdapat cekungan yang disebut fossa intercondyloidea (Platser W, 1993).

2) Tulang patella (Tulang tempurung lutut)

Tulang patella merupakan tulang dengan bentuk segitiga pipih dengan apeks menghadap ke arah distal. Pada permukaan depan kasar sedangkan permukaan dalam atau dorsal memiliki permukaan sendi yaitu fades articularis

lateralis yang lebar dan fades articulararis medialis yang sempit (Platser W, 1993).

3) Tulang Tibia (Tulang kering)

Tulang tibia terdiri dan epiphysisproximalis, diaphysis distalis. Epiphysis proximalis pada tulang tibia terdiri dari dua bulatan yang disebut condylus lateralis dan condylus medialis yang atasnya terdapat dataran sendi yang disebut fades artikularis lateralis dan medialis yang dipisahkan oleh ementio iniercondyloidea (Evelyn, 2002).

Lutut merupakan sendi yang bentuknya dapat dikatakan tidak ada kesesuaian bentuk, kedua condylus dari femur secara bersama sama membentuk sejenis katrol (troclea), sebaiknya dataran tibia tidak rata permukaanya, ketidak sesuaian ini dikompensasikan oleh bentuk meniscus (Platser W, 1993).

Hubungan-hubungan antara tulang tersebut membentuk suatu sendi yaitu: antara tulang femur dan patella disebut articulatio patella femorale, hubungan antara tibia dan femur disebut articulatiotibio femorale. Yang secara keseluruhan dapat dikatakan sebagai sendi lutut atau knee joint (Evelyn, 2002).


(23)

4) Tulang Fibula

Tulang fibula ini berbentuk kecil panjang terletak disebelah lateral dan

tibia juga terdiri dari tiga bagian yaitu: epiphysis proximalis, diaphysis dan

epiphysis distalis.

Epiphysis proximalis membulat disebut capitulum fibula yang ke

proximalis meruncing menjadi apex capitulis fibula. Pada capitulum terdapat dua dataran yang disebut fades articularis capiluli fibula untuk bersendi dengan tibia.

Diapiphysis mempunyai empat crista lateralis, crista medialis, crista lateralis dan fades posterior. Epiphysis distalis ke arah lateral membulat disebut


(24)

Gambar 2.1

Tulang pembentuk sendi lutut (Putz adn Pabtz, 2000) 13 12

11 10 1

2 3

9 8

7 6 4


(25)

b. Ligamentum, kapsul sendi dan jaringan lunak sekitar sendi lutut 1) Ligamentum

Ligamentum mempunyai sifat extensibility dan kekuatan, yang cukup kuat (tensile strength) yang berfungsi sebagai pembatas gerakan dan stabilisator sendi. Ada beberapa ligamen sendi lutut yaitu: (1) Ligamentumcruciatum anterior yang berjalan dari depan culimentio intercondyloidea tibia ke permukaan medial

condyler lateralis femur yang berfungsi menahan hiperekstensi dan menahan bergesernya tibia ke depan, (2) Ligamentum cruciatum posterior berjalan dan

fades lateralis condylus medialis femoris menuju ke fossa intercondyloidea tibia, berfungsi menahan bergesernya tibia ke arah belakang, (3) Ligamentumcollateral lateral yang berjalan dan epicondylus lateralis ke capitulum fibula yang berfungsi menahan gerakkan varus atau samping luar, (4) Ligamentum collateral mediale berjalan dari epicondylus medialis ke permukaan medial tibia (epicondylus

medialistibia) berfungsi menahan gerakan valgus atau samping dalam eksorotasi. Namun secara bersamaan fungsi-fungsi ligament colateralle menahan bergesemya

tibia ke depan pada posisi lutut 90°, (5) ligament popliteum obliqum berasal dari

condylus lateralisfemur menuju ke insertio musculus semi membranosus melekat pada fascia musculus popliteum, (6) ligament ransversum genu membentang pada permukaan anterior meniscus medialis dan lateralis (Evelyn, 2002).


(26)

2) Kapsul sendi

Kapsul sendi lutut terdiri dan dua lapisan yaitu (1) stratum fibroswn

merupakan lapisan luar yang berfungsi sebagai penutup atau selubung (2) stratum synovial yang bersatu dengan bursa suprapatellaris, stratum synovial ini merupakan lapisan dalam yang berfungsi memproduksi cairan synovial untuk melicinkan permukaan sendi lutut. Kapsul sendi lutut ini termasuk jaringan

fibrosus yang avasculer sehingga jika cedera sulit untuk proses penyembuhan (Evelyn, 2002).

3) Jaringan lunak

a) Meniscus

Meniscus merupakan jaringan lunak, meniscus pada sendi lutut adalah

meniscus lateralis, Adapun fungsi meniscus adalah (1) penyebaran pembebanan (2) peredam kejut (shock absorber) (3) mempermudah gerakan rotasi (4) mengurangi gerakan dan stabilisator setiap penekanan akan diserap oleh meniscus

dan diteruskan ke sebuah sendi. b) Bursa

Bursa merupakan kantong yang berisi cairan yang memudahkan terjadinya gesekan dan gerakan, berdinding tipis dan dibatasi oleh membran synovial. Ada beberapa bursa yang terdapat pada sendi lutut antara lain: (1) bursa popliteus, (2)

bursa supra pateliaris (3) bursa infra paterallis (4) bursa sulcutan prapateliaris


(27)

c) Otot-otot penggerak sendi lutut

Disini penulis ingin membahas tentang otot-otot yang bekerja pada sendi lutut termasuk didalamnya perlekatan dan persyarafan serta fungsi dari otot tersebut.

1) Bagian anterior adalah m. rectus femoris, m. vastus lateralis, m. vastusmedialis, m. vastus intermedialis.

2) Bagian posterior adalah m. bicep femoris, m. semitendinosis, m. semimembranosis, m. gastrocnemius.

3) Bagian medial adalah m. sartorius.


(28)

Tabel 2.1. Otot-otot pada sendi lutut

No Nama otot Origo Insertio Innervasi Fungsi

1

Bagian anterior

m. rectus femoris Spina illiaca Anterior Inferior superior

patella n. femoris

L24

Ekstensi

sendi lutut

2

Acetabulum

m. vastus lateralis Dataran

lateral dan anterior trochantor mayor femoris, labium lateralis linia aspera Lateral os patella n. femoris L24 Ekstensi sendi lutut

3 m. vastus medialis Labium medial linea aspera Setengah bagian atas os patella n. femoris L24 Ekstensi sendi lutut 4 m. vastus

intermedius Dataran anterior corpus femoris Tuborisitas tibiae n. femoris L24 Ekstensi sendi lutut 5 Bagian Posterior

m. bicep femoris Tuber Isciadicum Caput brevis,

pada labium laterale linea aspera

Fibula

bagian lateral

dan condylus tibia Condylus medialis tibia n.peroneus communis Exorotasi sendi lutut

6 m. semi-tendinosus

Tuber ischiadicum

Condylus medialis tibia

n. tibialis Flexi dan

endorotasi

sendi lutut 7 m.

semimembranosus

Tuber ischiadicum

Posterior os calcaneus

n. tibialis Flexi dan

endorotasi

sendi lutut 8 m. gastrocnemius Caput medial:

pada condylus medialis femuris Caput lateral:

Pada condylus lateral femoris

Posterior os calcaneus

n. tibialis Flexi sendi lutut


(29)

9

Bagian

Medial

m. sartorius SIAS Tubersitas

tibia n. femoralis L2-3 Flexi Internal rotalor sendi lutut 10 m. gracilis Ramus inferior

osis pubis dan

osis ischii Tuberositas tibia dibelakang tendo m. sartorius n. femoralis L2-4 Flexi external rotatoir sendi lutu 11 Bagian Lateral m. tensorfacia latae Spina iliaca anterior inferior dan

fascialatae

Tractus illio tibialis

m. gluteus superior

cabang n. femoralis L4-5, S1-2 Flexor abduktor, internal rotasi hip


(30)

Gambar 2.2.

Sendi lutut kanan dilihat dari belakang (Putz and Pabstz, 2000) 1

2 3 4 5

6

7

8 9

9 9

10 12

13 14

16 17


(31)

c. Sistem persyarafan

Pada regio lutut, tungkai mendapat persyarafan dari nervus ischiadicus yang berasal dari serabut lumbal ke-4 sampai dengan sacrum ke-3. Ini merupakan serabut yang terbesar di dalam tubuh yang keluar dan foramen ischiadicus mayor, berjalan terus disepanjang permukaan posterior paha ke ruang poplitea, lalu syaraf ini membagi dua bagian yang nervus peroneus communis dan nervus tibialis. Nervus peroneus communis pada dataran lateral capitulum fibula akan pecah menjadi nervus superficialis.

d. Sistem peredaran darah 1) Sistem peredaran darah arteri

Peredaran darah yang akan dibahas kali ini adalah sistem peredaran darah yang menuju ke tungkai dan vena yang juga memelihara darah sekitar sendi lutut, Arteri yang memelihara darah sekitar sendi lutut, arteri yang memelihara sendi lutut.

a) Arteri fermoralis

Merupakan lanjutan dari arteri iliaca external yang keluar dan cavum abdominalis lacuna vasorum lalu berjalan ke lateral dari venanya kemudian ke bawah menuju kedalam fossa illipectiana kemudian masuk ke canal is addectorius sehingga arteri poplitea masuk ke fossa poplitea disisi medial femur, lalu arteri femoralis bercabang menjadi cabang arteri superficial dan cabang profunda.

b) Arteripoplitea

Arteri poplitea merupakan lanjutan dari arteri femoralis masuk melalui canalis addoktorius, masukfossa poplitea pada sisi flexor lutut, bercabang


(32)

menjadi (1) a. genus superior later alls, (2) a. genus superior medialis (3) a. genus inferior lateralis (4) a. genus inferior medialis.

2) Sistem peredaran darah vena

Pada umumnya peredaran darah vena berdampingan dengan pembuluh darah arteri. Pembuluh darah vena pada tungkai sebagian besar bermuara ke dalam vena femoralis. Vena-vena itu adalah: (1) Vena shapena parva, berjalan di belakang maleolus lateralis berlanjut ke (2) Vena poplitea dan mengalirkan terus ke (3) Vena saphena magna dan bermuara ke dalam (4) Venafemoralis.


(33)

Gambar 2.3.

Ligamen pada sendi lutut dilihat dari depan (Putz and Pabtz, 2000) 1 2 3 4 5 6


(34)

Gambar 2.4.

Ligamen pada sendi lutut dilihat dari belakang (Putz and Pabtz, 2000) 1

2

3

4

5

6

7 8

9 10 11 12 13


(35)

Gambar 2.5.

Bursa di sekitar lutut (Putz and Pabts, 2000) 4

1

2


(36)

Gambar 2.6.

Otot sendi lutut dilihat dari (a) depan, (b) belakang (Putz and Pabts, 2000)

a b

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15


(37)

Gambar 2.7

Pembuluh darah arteri pada sendi lutut (Putz and Pabts, 2000) 1

2 3 4 5

6

16 7

8 9 15

14 13

10 11 12


(38)

2.

Gambar 2.8.

Pembuluh darah vena pada sendi lutut (Putz and Pabts, 2000) 1

2 3

4 5

6 7

13 14

15

12 11 10 9 8


(39)

3. Biomekanik lutut

Biomekanik adalah ilmu yang mempelajari gerakan tubuh manusia. Pada bahasan Karya Tulis Ilmiah ini penulis hanya membahas komponen kinematis. ditinjau dan gerak secara osteokinematika dan secara artrokinematika yang terjadi pada sendi lutut.

a. Osteokinematika

Lutut termasuk dalam sendi giglymus (hinge modified) dan mempunyai gerak yang cukup luas seperti sendi siku, luas gerak flexinya cukup besar. Osteokinematika yang memungkinkan terjadi adalah gerak flexi dan extensi pada bidang segitiga dengan lingkup gerak sendi untuk gerak flexi sebesar 130° hingga 135° dengan posisi extensi 0° atau 5°, dan gerak putaran ke dalam 30° hingga 35° sedangkan putaran keluar 40° hingga 45° dari awal mid posisi.

Flexi sendi lutut adalah gerakan permukaan posterior ke bawah menjauhi permukaan posterior tungkai bawah. Putaran ke dalam adalah gerakan yang membawa jari-jari ke arah sisi dalam tungkai (medial). Putaran keluar adalah gerakan membawa jari-jari ke arah luar (lateral) tungkai. Untuk putaran (rotasi) dapat terjadi pada posisi lutut flexi 90°, R (< 90°).

b. Artrokinematika

Pada kedua permukaan sendi lutut pergerakan yang terjadi meliputi gerak slidding dan rolling, maka disinilah berlaku hukum konkaf-konvek. Hukum ini menyatakan bahwa ”jika permukaan sendi cembung (konvek) bergerak pada permukaan sendi cekung (konkaf)” maka pergerakan slidding dan rolling


(40)

berlawanan. Dan ”jika permukaan sendi cekung bergerak pada permukaan sendi cembung, maka gerak slidding dan rolling searah”.

Pada permukaan femur cembung (konvek) bergerak, maka gerakan slidding dan rolling berlawanan arah. Saat gerak flexi femur rolling kearah belakang dan sliddingnya ke depan untuk gerak extensi rollingnya keventral dan sliddingnya kebelakang. Dan pada permukaan tibia cekung (konkaf) bergerak, flexi ataupun extensi menuju kedepan atau ventral.

B. Patologi 1. Etiologi

Sarnpai saat ini etiologi yang pasti dari osteoartritis ini belum diketahui dengan jelas, ternyata tidak ada satu faktor pun yang jelas sebagai proses destruksi rawan sendi, akan tetapi beberapa faktor predoposisi terjadinya OA telah diketahui. Faktor resiko yang berperan pada osteoarthritis dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu, (1) faktor predoposisi umum, antara lain umur, jenis kelamin, kegemukan, hereditas, hipermobilitas, merokok, densitas tulang, hormoral, dan penyakit rematik lainnya, (2) faktor mekanik, antara lain trauma, bentuk sendi, penggunaan sendi yang berlebihan oleh karena pekerjaan atau aktivitas dan kurang gerak (Isbagio, 2003).

Menurut Sidartha, 1999 presdisposisi etiologi dari osteoartritis sebagai berikut:


(41)

a. Umur

Sebagai faktor bahwa semakin tua semakin menurun kualitas cartilago persendian. Cartilago sebagai bantalan penahan tekanan semakin tua semakin berkurang elastisitasnya, sehingga akan mengakibatkan gangguan fungsi.

b. Gangguan mekanik

Trauma langsung atau tidak langsung (trauma kecil-kecil yang dialami sepanjang masa menjelang tua) mengakibatkan rusaknya katilago persendian. c. Kecacatan genu valgus atau genu varus

Kecacatan tersebut lama mengakibatkan kerusakan pada karlilago persendian, karena berat badan hanya ditumpu oleh sebagian dan persendian. d. Infeksi

Infeksi disebabkan oleh virus, virus yang masuk ke dalam tubuh kedalam pembuluh darah kemudian dilalirkan oleh darah. Virus tersebut akan berhenti ke tempat yang disukainya.

e. Metabolic Syndrome

Kaitannya dengan penurunan fungsi dari mitokondria. Mitokondria menghasilkan energi yang akan digunakan oleh inti sel. Usia yang sudah tua akan membuat metokondri tidak mampu menghasilkan energi sehingga DNA tidak bisa menyelenggarakan prises metabolisme tubuh.

f. Kegemukan atau obesitas

Kelebihan berat badan akan menarnbah beban sendi penopang berat badan, dan pada orang gemuk akan timbul genu varus. Hal ini merupakan salah satu penyebab Osteoartritis.


(42)

g. Penyakit Endokrin

Pada hipotiroidisme terjadi produksi air dan garam-garam proteoglikan yang berlebihan pada seluruh jaringan penyokong, sehingga akan merusak si fat fisik rawan sendi, ligamen, tendon, synovial dan kulit pada diabetes mellitus, ghukosa akan menyebabkan produksi proteoglikan menurun. Semua ini akan menyebahkan Osteoartritis.

h. Penyakit sendi lain

Osteoartritis dapat timbul sebagai akibat berbagai penyakit sendi lainnya seperti arthritis, arthritis karena infeksi akut, atau karena infeksi, kronis seperti TBC. Sendi infeksi tersebut menimbulkan reaksi peradangan dan mengeluarkan enzim permukaan matrik rawan sendi oleh membran synovial dan sel-sel radang.

Berdasarkan kriteria A.R.A (American Rheumaticam Associaton),

Osteoarthritis dapat dilklasifikasikan sebagai berikut: a) Osteoarthritis primer

Yang penyebabnya berupa idiopatik dan erosive Osteoarthritis. Osteoarthritis primer dikatakan sebagai perubahan degeneratif yang penyebabnya tidak diketahui. Saiter menyebutkan sebagai ”Aging Process” dan sendi normal. b) Osteoarthritis sekunder

Adalah penyebab Osteoarthritis yang menyertai kelainan seperti kongenital atau kelainan pertumbuhan (contoh: osteochondrosis), penyakit metabolik (contoh: Gout), trauma, inflamasi (contoh: Rheumatoid arthritis). Disebut Osteoarthritis sekunder karena diketahui penyebabnya (Kamiati, 1995).


(43)

2. Perubahan patologi

Pada kondisi osteoartritis terjadi perubahan lokal pada cartilago berupa timbulnya bulla atau blister yang menyebabkan serabut kolagen terputus proteoglikan mengalami pembengkakan pada tahap laju, terjadi perubahan air proteoglikan dan bercerai berai yang mengakibatkan struktur dan tulang rawan sendi rusak (Hudaya, 1996).

Dimana tulang rawan sendi mengadakan reaksi dengan hiperaktifitas pembentukan janngan kolagen baru dan proteoglikan namun reaksi ini kadang tidak menolong. Pada jaringan juga mengadakan selerotis hilang dan akhimya terjadi disorganisasi sendi dan diikuti dengan absorb si kapsula yang berlanjut di dalam suatu kondisi sinovitis yang menyebabkan terjadinya ankilosis (Hudaya, 1996).

Pada Osteoarthritis terdapat proses degradasi, reparasi dan inflamasi yang terjadi dalam jaringan ikat. lapisan rawan, sinovium dan tulang subchondral. Perubahan-perubahan yang terjadi pada Osteoarthritis adalah sebagai berikut: a. Degradasi tulang rawan sendi, yang timbul sebagai akibat dan

ketidakseimbangan antara regenerasi dan degenerasi rawan sendi melalui beberapa tahap yaitu fibrasi, pelunakan, perpecahan, dan pengelupasan lapisan rawan sendi. Proses ini dapat berlangsung cepat dan lambat. Untuk proses cepat dalam waktu 10-15 tahun sedang yang lambat 20-30 tahun. Akhirnya permukaan sendi menjadi botak tanpa lapisan rawan sendi (Parjoto, 2000).


(44)

b. Osteofit, bersama timbulnya degenerasi tulang rawan sendi. Selanjutnya diikuti reparasi tulang rawan sendi. Reparasi berupa pembentukan osteofit ditulang subchondral (Parjoto, 2000).

c. Skierosis subchondral, pada tulang subchondral terjadi reparasi berupa sklerosis (pemadatan atau penguatan tulang tepat di bawah lapisan rawan yang mulai rusak) (Parjoto, 2000).

d. Sinovitis adalah inflamasi dan sinovium yang terjadi akibat proses sekunder degenerasi dan fragmentasi. Sinovitis dapat meningkatkan cairan sendi. Cairan lutut yang mengandung bermacam-macam enzim akan tertekan ke dalam celah-celah rawan, ini akan mempercepat proses pengrusakan tulang rawan (Parjoto, 2000).

Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut, sifat-sifat biomekanis tulang rawan sendi akan berubah, sehingga akan menyebabkan tulang rawan sendi rentan terhadap beban yang biasa (Kamiati, 1995).

3. Gambaran klinis

Secara klinis Osteoarthritis dapat dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu: a. Subklinis, pada tingkatan ini belum ada keluhan atau tanda kilnis lainnya.

Kelainan baru terbatas pada tingkat sekunder dan biokimiawi rawan sendi. b. Osteoartritis manifest, pada tingkatan itu biasanya penderita datang ke

dokter. Kerusakan rawan sendi bertambah luas disertai reaksi peradangan. Tanda dan gejala yang muncul adalah nyeri setelah bergerak beberapa saat, kaku sendi saat memulai gerakan.


(45)

c. Osteoartritis decompensasi, pada tingkatan ini rawan sendi setelah rusak sama sekali biasanya diperlukan tindakan bedah. Tanda dan gejala yang muncul adalah saat istirahat terasa nyeri, kontraktur serta deformitas sendi (Hudaya, 1996).

4. Tanda dan Gejala

Secara umum gejala dan tanda osteoartritis adalah sebagai berikut: (1) nyeri merupakan gejala khnik yang paling menonjol, nyeri pada sendi lutut, nyeri diperberat oleh pemakaian sendi dan menghilang dengan istirahat. Ada 3 tempat yang membedakan nyeri yaitu: (a) sinovuum terjadi akibat reaksi radang yang timbul akibat adanya kristal dalam cairan sendi, (b) kerusakan pada jaringan lunak dapat berupa robekan ligamen, kapsul sendi dan kerusakan meniscus, (c) nyeri juga berasal dari tulang biasanya akibat rangsangan pada periosteum karena osteofit kaya tersebut penerima nyeri (nociceptor): (2) kaku sendi juga gejala yang juga sering ditemukan biasanya pada waktu pagi hari atau lama pada keadaan ini aktifitas, kaku pada pagi hari, nyeri atau kaku sendi timbul setelah immobilitas dalam waktu yang cukup lama atau bahkan setelah bangun tidur. (3) keterbatasan lingkup gerak sendi oleh karena secara fungsional fungsi sendi terganggu oleh berbagai macam masalah seperti nyeri, spasme otot dan pemendekan otot, Keterbatasan LGS, gangguan ini semakin bertambah berat dengan sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri. (4) kelainan bentuk struktur sendi, ini dapat di temukan pada keadaan penyusun yang lanjut dapat berupa genu valgum maupun genu valgus. Bila sudah ditemukan instabilitas ligamen menunjukkan kerusakan yang progresif dan prognosis yang jelek, (5) gangguan aktifitas fungsional yang


(46)

disebabkan oleh akumulasi keluhan yang juga ditambah oleh karena menurunnya kekuatan otot (Isbagyo, 2000).

5. Diagnosis Medis

Diagnosis sendi lutut berdasarkan gambaran klinis dan radiologi. Kriteria Actman merupakan salah satu pedoman diagnosis osteoarthritis sendi lutut. Bila seseorang ditemukan hanya nyeri lutut, diagnosa osteoarthritis harus ditambah tiga dan lima kriteria, yaitu umur diatas 50 tahun, kaku sendi di pagi hari kurang dan 30 menit. nyeri tekan pada tulang pembesaran tulang, perabaan sendi tidak panas.

Bila ada gambaran osteofit pada pemeriksaan radiologi dibutuhkan satu dan tiga kriteria, yaitu umum diatas 50 tahun, kaku sendi kurang dan 30 menit dan krepilasi (Parjoto, 2000).

Diagnosis Osteoarthritis lutut berdasarkan gambaran klinik dan nadiologis. Kriteria Altman merupakan salah satu pedoman diagnosis Osteoarthritis lutut (Parjoto dalam, TITAFI 2000). Bila seseorang ditemukan hanya nyeri lutut, diagnosis harus ditambah 3 dan 5 kriteria yaitu:

a. Umur di atas 50 tahun.

b. Kaku sendi pagi hari kurang dari 0 menit. c. Nyeri tekan pada tulang.

d. Pembesaran tulang.

e. Perabaan sendi tidak panas.

Bila ada gambaran osteofit pada pemeriksaan radiologis dibutuhkan salah satu dan 3 kriteria tambahan:


(47)

a. Umur di atas 50 tahun.

b. Kaku sendi kurangdani 30 menit c. Dan kreditasi.

6. Diagnosa Banding

Pemeriksaan pasien yang sejumlah kemungkinan diderita oleh penderita. Ada kondisi yang mempunyai gejala-gejala hampir sama dengan Osteoartritis sendi lutut sehingga akan mengacaukan kita dalam menentukan diagnosa pada kondisi osteoartritis sendi lutut yang mempunyai rematoid arthritis sendi lutut.

Namun pada rematoid arthritis sendi lutut selalu disertai gejala dan keluhan ekstra artictilar dan aktualisasi inflamasi cukup tinggi. Sementara osteoarthritis sendi lutut tidak dijumpai gejala dan keluhan tersebut. Pada kasus rematoid arthritis sendi lutut didapat keluhan seperti nodul rematoid di jaringan sub cutan vasculatis episkerins miositis, limfadenopaty. Pada rematoid arthritis sendi lutut menyerang umur lebih muda, selalu bilateral, nyeri sangat tajam (sharp pain) morning stiffness. Rematoid arthritis lebih berat selama 1 jam, sendi lebih menonjol disertai demam, kelemahan otot dan penurunan berat badan (Hudaya, 19%).

Kelainan artritis lutut di luar asteoartritis yang umumnya banyak dijadikan diagnosa banding dengan osteoartritis adalah (Kalim, 1997):

a. Rheumatoid Arthritis

Pada Rheumatoid Arthtitis, pembengkakan jaringan lunak dan gejala inflamasi setempat jelas, prediksi sendi yang terkena adalah sendi-sendi kecil, bersifat poliartikuler, simetris dan disertai gejala sistematik (Kalim, 1997).


(48)

b. Gout Arthritis

Adalah sindrom klinis yang mempunyai gambaran khusus yaitu Arthritis akut. Gejala Arthritis akut disebabkan oleh inflamasi jaringan terhadap pembentukan kristal monosodium urat monohidrat akibat adanya gangguan metabolisme purin dalam tubuh. Sering terjadi pada sendi metatarsophalangeal dan pada sendi lutut. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar asam urat yang tinggi dalam darah serta diketahui adanya jumlah leukosit dan laju endap darah yang meningkat (Kalim, 1997).

7. Komplikasi

Penyakit ini apabila tidak mendapat penanganan yang baik dan tepat, maka memerlukan berbagai masalah baru yang teriadi akibat proses penyakit itu sendiri. Seperti adanya spur (osteofit) sehingga teriadi proses penghancuran tulang rawan sendi. Tulang subkondral lama kelamaan dapat menusuk pada metafisis dari tulang tibia dan tulang femur sebagai akibatnya terjadi komplikasi seperti nyeri, kaki terbentuk varus dan valgus, atrofi kelemahan otot meniscus quadriceps femoris, menurunya ketahanan struktur dan komplikasi deformitas varus dan valgus (Reksoprojo, 1990). Terganggunya aktifitas sehari-hari seperti aktifitas beribadah, jongkok, duduk, bendiri dan jalan.

8. Prognosis

Mengingat bahwa osteoartritis adalah penyakit degeneratif, maka dapat dimengerti bahwa penyakit ini progresif sesuai dengan usia, namun apabila diketahui secara dini dan belum menimbulkan deformitas (valgus atau varus)


(49)

maka penjalanan penyakit dapat dihambat dengan cara membuat atau berusaha untuk memperbaiki stabilitas sendi.

a. Quo ad vitam baik, karena mengingat kondisi penyakitnya secara langsung tidak membahayakan jiwa.

b. Quo ad sanam ragu-ragu, karena interverensi fisioterapi tidak dapat menyembuhkan osteoartritis sendi lutut. sifatnya simpthomatik yaitu mengurangi gejala-gejala yang timbul.

c. Quo ad funcionam ragu-ragu, karena tergantung pada derajat nyerinya. d. Quo ad cosmeticam buruk, karena sudah terjadi adanya deformitas varus.

Kita ketahui bahwa stabilitas sendi tergantung dan bentuk sendi, ligamen dan kapsul serta pegang peranan penting adalah otot. Bentuk sendi, ligament dan kapsul tidak dapat dipengaruhi kecuali menjaga agar jangan terlalu mendapat beban dan stress sedangkan otot dapat diperkuat dengan cara latihan, sehingga kunci dan stabilitas yang masih bisa dikendalikan adalah mengurangi rasa sakit dan melatih otot agar menjadi kuat (Reksoprodjo, 1990).

C. Obyek yang Dibahas

Di sini penulis akan membahas masalah yang terjadi pada Osteoarthritis genu bilateral.

1. Nyeri a. Definisi

Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik emosional yang tidak menyenagkan berkaitan dengan jaringan yang rusak atau jaringan yang cenderung rusak (Widiastuti, 1991).


(50)

b. Macam-macam nyeri

Macam-macam nyeri dilihat dari sumber penebab nyeri antara lain: 1) nyeri neuromuscolosceletal non neurogenik yang dirasakan pada anggota gerak yang timbul akibat proses patologik jaringan yang dilengkapi serabut nyeri. 2). Nyeri neuromuscolo societal neurogenik yaitu nyeri akibat iritasi langsung terhadap sensoris perifer dengan ciri khas nyeri menjalar sepanjang kawasan distal saraf yang bersangkutan dan penjalaran nyeri tersebut berpangkal pada bagian saraf yang mengalami iritasi. 3) nyeri ridiculer yaitu nyeri yang timbul akibat adanya iritasi pada serabut sensorik dibagian radiks posterior maupun saraf spinal (Sidarta, 1999)

c. Mekanisme nyeri

Melzack dan wall mengemukakan teori gerbang kontrol yang banyak diterima bayak ahli. Menurut teori afferent terdiri dari 2 kelompok serabut yaitu serabur yang berukuran besar (A-Beta) dan serabut kecil (A-delta dan C). Mekanisme nyeri mealui terapi latihan yaitu: terpi latihan merupakan salah satu pengobatan dalam fisioterapi yang dalam pelaksanaannya menggunakan gerakan tubuh baik secara aktif maupun pasif sehingga dapat mempercepat penyembuhan cidera atau penyakit lainnya yang telah merubah pola hidup yang normal.

Tetapi latihan dilakukan secara berulang-ulang dan dilakukan secara perlahan- lahan secara ritmis dapat mengaktivitasi serabut saraf berpenanampang kecil (Adeta) dan akan menghinbisi serabut saraf beta berarti rasa nyeri tidak dicetuskan.


(51)

d. Pengukuran derajat Nyeri

Perameter yang penulis gunakan yaitu menggunakan skala verbal descriptive scare (VDS) yaitu cara pengukuran derajat nyeri dengan tujuh skala penilaian yaitu : 1) tidak nyeri, 2) nyeri sangat ringan, 3) nyeri ringan , 4) nyeri tidak begitu berat, 5) nyeri begitu berat, 6) nyeri berat, 7) nyeri tidak tertahankan (Mardiman, dkk 1994).

Nyeri diartikan sebagai proses normal pertahanan tubuh yang diperlukan untuk memberi tanda bahwa telah terjadi kerusakan jaringan. Nyeri dapat diukur dengan bebagai skala VDS dan skala 5 tingkat (Wall dan Melzack, 1999).

Penulis melakukan pemeriksaan derajat nyeri dengan menggunakan skala VDS (Verbal Descriptive Scale) adalah dengan cara menanyakan nyeri kepada pasien, pasien disuruh menyebutkan rasa nyerinya sesuai dengan skala penilaian derajat nyeri. Ada tujuh skala penilaian, yaitu: 1) Tidak nyeri, 2) Nyeri sangat ringan, 3) Nyeri ringan, 4) Nyeri tak begitu berat, 5) Nyeri cukup berat, 6) Nyeri berat, 7) Nyeri tak tertahankan.

2. LGS (Lingkup Gerak Sendi)

LGS adalah lingkup gerak sendi yang bisa dilakukan oleh suatu sendi. Alat yang digu nakan adalah goniometer. Posisi awal biasanya posisi anatomi dan disebut Neutral Zero Starting Position (NZSP). Ada tiga bidang gerak dasar yaitu bidanng sagital, bidang frontal dan bidang transversal.

3. Kekuatan Otot (MMT)

MMT adalah suatu usaha untuk menentukan atau mengetahui kemampuan seseorang dalam mengontraksikan otot atau group otot secara voluntary. Untuk


(52)

pemeriksaan MMT ini dengan sistem manual yaitu dengan cara terapis memberikan tahanan kepada pasien dan pasien disuruh melawan tahanan dan terapis dan saat itu terapis menilai sesuai dengan kriteria nilai kekuatan otot (Sujatno, etal., 1993).

Tabel 2.2 Kriteria Kekuatan Otot

Loveit, Naniel dan Worthinghom Kendal dan McCreary Medical Normal : Subyek bergerak

dengan pasien melawantahanan maximal

100%: Subyek bergerak mempertahankan posisi dengan melawan gravitasi dan tahanan maximal

5

Good : subyek bergerak dengan penuh melawan gravitasi tanpa melawan tahanan

80% : Subyek bergerak dan empertahankan posisi dengan melawan gravitasi dan tahanan kurang maximal.

4

Fair : subyek bergerak penuh LGS melawan gravitasi tanpa

melawan gravitasi

50% : Subyek bergerak dan mempertahankan posisi dengan melawan tahanan

3

Poor : subyek bergerak dengan LGS penuh tanpa melawan gravitasi

20% : subyek bisa bergerak sedikit dengan tanpa melawan gravitasi

2

Fraze : kontraksi otot bisa di palpasi tetapi tidak ada pergerakan sendi

5% : kontraksi otot bisa dipalpasitetapi tidak ada pergerakan sendi

1

Zero : ontraksi otot tidak dapat dipalpasi.

0% : kontraksi otot tidak dapat dipalpasi

0

4. Kemampuan Fungsional

Kemampuan fungsional adalah suatu proses untuk mengetahui kemampuan pasien melukukan aktivitas spesifik dalam hubungan dengan rutinitas kehidupan sehari-hari. Pada penderita osteoarthritis kemampuan fungsional dapat diukur dengan skalajette.


(53)

Indeks ini pertama kali digunakan dalam The Pilot Geriatric Arthritis Program, Wilconsm USA tahun 1977 berdasarkan indeks ini, status fungsional mempunyai 3 dimensi yang saling berkaitan yaitu: a) nyeri, derajat nyeri saat melakukan aktivitas terdiri dari tidak nyeri, 2 = nyeri, 3 = nyeri sedang, 4 = sangat nyeri; b) kesulitan, derajat kesukaran untuk melakukan aktivitas, terdiri dan 1 = sangat mudah, 2 = agak mudah, 3 = tidak mudah tetapi juga tidak sulit, 4 = agak sulit, 5 = sangat sulit; c) ketergantungan, derajat ketergantungan seseorang untuk melakukan aktivitas terdiri dari 1 tanpa bantuan, 2 = butuh bantuan alat, 3 = butuh bantuan orang, 4 = butuh bantuan alat dan orang, 5 = tidak dapat melakukan aktivitas (Parjoto, 2000).

D. Modalitas Fisioterapi

Micro Wave Diathermy (EEM 2450 Mhz) merupakan suatu pengobatan dengan menggunakan stressor fisis berupa energi elektromagnetik yang dihasilkan oleh arus listrik bolak-balik frekuensi 2450 MHz dengan panjang gelombang 12,25 km (DepKes, 1993).

1. Efek fisiologis

a. Perubahan panas (temperatur) dapat menimbulkan reaksi lokal pada jaringan misalnya, (1) meningkatkan metabolisme sel-sel lokal ± 13% tiap kenaikan temperatur l°b, (2) meningkatkan vasomation sphinther sehingga timbul homostatik lokal dan akhirnya terjadi vasodilatasi lokal. Reaksi general, mungkin dapat terjadi kenaikan temperatur, tetapi perlu diingat EEM 2450 MHz penetrasinya dangkal (± 13 cm) dan aplikasinya


(54)

lokal. Consersual efek, timbulnya respon panas pada sisi kontra lateral dan segment yang sama (Sujono, 2002).

Penetrasi dan perubahan temperatur lebih terkonsentrasi pada jaringan otot sebab jaringan otot lebih banyak mengandung cairan/daerah.

b. Jaringan ikat

Meningkatkan elastisitas jaringan ikat 5-10 kali lebih baik seperti jaringan/collagen, kulit, otot, tendon, ligamen dan capsul sendi akibat menurunnya viskositas matrik jaringan, tetapi terbatas pada jaringan ikat yang letak kedalamannya ±3 cm (Sujono, 2002).

c. Jaringan otot

Selain meningkatkan elastisitas jaringan otot, juga menurunkan tonus otot lewat normalisasi nocisensorik kecuali hipertonik otot akibat emosional. d. Jaringan saraf

Misalnya: meningkatkan elastisitas pembungkus jaringan saraf, meningkatkan nerve conduction (konduktivitas saraf) dan meningkatkan ambang rangsang/ theshold.

2. Efek terapeutik

a. Penyembuhan luka dapat meningkat proses respirasi jaringan secara fisiologis.

b. Nyeri, hipertropi, gangguan vaskularisasi, dapat menurunkan, nyeri, normalisasi tonus otot lewat efek sedatif, perbankan sistem metabolisme. c. Kontraktur jaringan lemah, dengan peningkatan elastisitas jaringan


(55)

d. Gangguan konduktifitas dan trashold jaringan saraf, apabila elastisitas dan trashold jaringan saraf semakin pula, prosesnya lewat efek fisiologik.

3. Efek-efek yang lain

Efek umum misalnya merasa lemah badan, pusing mengantuk. 4. Indikasi. '

a. Kelainan-kelainan patah tulang, sendi dan otot misalnya rhematoid artritis, post traumatik, low back pain.

b. Kelainan-kelainan pada syaraf perifer seperti neuropati dan neuralgia. 5. Kontra indikasi

a. Logam dalam tubuh

b. Alat elektronis misalnya: jam tangan, alat audiovisual yang sedang dipakai.

c. Gangguan peredaran darah

d. Memakai nilon dan bahan lain yang tidak menyerap keringat

e. Jaringan dan organ yang mempunyai banyak cairan, misalnya: pada mata atau luka basah, eksim basah yang dapat menimbulkan kebakaran di jaringan.

f. Gangguan sensabilitas

g. Infeksi akut dan demam dapat memperluas infeksi bakteri melalui aliran darah.


(56)

i. Menstruasi dan Kehamilan

j. Apabila daerah yang diterapi bagian punggung dan perut.

Terapi Latihan

Tujuan dari terapi latihan adalah: (1) untuk mengurangi nyeri, (2) mengurangi spasme, (3) mobilitas spasme, (4) meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot, (5) meningkatkan lingkup gerak sendi.

Untuk mencapai tujuah tersebut maka latihan yang efektif adalah latihan: 1. Latihan active movement

a. Assisted active movement

Adalah gerakan yang terjadi karena kontraksi otot pasien dibantu oleh kekuatan dari luar (Kisner, 1996) Bantuan berupa alat atau dari terapis. Latihan ini dapat dilakukan dengan posisi tengkurap untuk fleksi knee, tangan terapis memfiksasi pada otot hamstring dan tangan yang satunya membantu menggerakkan. Dilakukan secara bergantian 8x2 hitungan.

b. Free active movement

Adalah gerakan yang berasal dan otot itu sendiri (Kisner, 1996) Latihan pada sendi lutut ini dikerjakan dengan posisi tidur tengkurap atau duduk di tepi bed dengan pasien disuruh menggerakkan fleksi ekstensi. Yang penting tidak dikerjakan dengan posisi menumpu berat badan penuh karena dapat memperberat kerusakan sendinya. Dilakukan secara bergantian 8x2 hitungan.

c. Resisted active movement

Adalah suatu bentuk latihan gerak dimana dalam melakukan gerakan diberikan tahanan dan terapis (Kisner, 1996) Latihan ini dilakukan dengan posisi


(57)

tidur tengkurap, posisi terapis disamping pasien memfiksasi. Tangan kiri berada pada lutut atas dan tangan satu pada pergelangan kaki. Terapis memberikan tahanan minimal dan pasien disuruh menggerakkan atau melawan gerakan tadi ke arah fleksi. Dilakukan secara bergantian kanan dan kiri 8x2 hitungan.

d. Hold relax

Adalah suatu teknik yang mengarah pada kontraksi isometrik rileksasi optimal dan kelompok otot antagonis yang memendek, kemudian otot tersebut rikeks, cara pelaksanaannya teknik hold relax, (1) gerakan atau dimana nyeri terasa timbul, (2) terapis memberi tahanan pada kelompok antagonus yang meningkat perlahan-lahan dan pasien harus meningkat perlahan-lahan dan pasien harus melawan tahanan tersebut, (3) instruksi yang diberikan tahan disini, (4) rileksasi pada kelompok otot antagonis, tunggu beberapa saat sampai ototnya rileks, (5) gerakan aktif dalam pola agonis Kisner, 1996).


(58)

Kerangka Berfikir Osteoartritis Knee Bilateral Ekstrinsik: Aktivitas fisik/ pekerjaan Intrinsik: - Usia - Obesitas - Jenis Kelamin - Faktor hormnonal Kapsik: - Nyeri - Keterbatasan LGS

- Kelemahan otot - Spasme

Kemampuan fungsional: - Kemampuan

jongkok berdiri - Naik turun

tangga - Berjalan jauh

sakit

Fisioterapi:

- MWD

- Terapi latihan - Edukasi

Evaluasi:

1. Nyeri dengan VDS 2. LGS dengan goneometer 3. Kekuatan otot dengan MMT

4. Kemampuan fungsional dnegan skala jette

Hasil terapi:

1. Nyeri berkurang 2. Peningkatan LGS

3. Peningkatan kekuatan otot 4. Peningkatan aktivitas fungsional


(59)

44 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam karya tulis ilmiah dengan adalah studi kasus.

B. Kasus Terpilih

Kasus yang digunakan dalam penelitian karya tulis ilmiah adalah OA genu bilateral.

C. Instrumen Penelitian

Variabel dependent: kondisi OA knee bilateral yang disebabkan karena aktivitas yang berlebihan yang ditandai dengan adanya nyeri saat melakukan aktivitas. Variabel independent: pelaksanaan terapi yang dilaksanakan adalah MWD dan terapi latihan. Dalam instrumen penelian ini digunakan metode operasional sebagai berikut:

1. Verbal Deskriptive Scale (VDS)

Pengukuran derajat nyeri dengan skala penelitian yaitu: 1 = Tidak Nyeri

2 = Nyeri Sangat Ringan 3 = Nyeri Ringan

4 = Nyeri Tak Begitu Berat 5 = Nyeri Cukup Berat 6 = Nyeri Berat


(60)

2. Manual Muscle Testing (MMT)

Suatu usaha untuk mengatahui kekuatan seseorang dalam mengkontraksikan otot atau group otot secara voluntary. Dengan alasan dapat mengetahui kekuatan otot sehingga dapat menentukan jenis terapi latihan yang harus diberikan.

3. Goniometer

Untuk mengetahui luas lingkup gerak sendi yang bisa dilakukan oleh suatu sendi.

4. Skala Jette

Untuk mengetahui kemampuan aktivitas fungsional pasien melakukan aktifltas.

D. Lokasi dan Waktu Penelitian

Kasus penelitian karya tulis ilmiah ini diambil dari poli fisiotepi di RS RSUD Sragen pada tanggal 19 sampai dengan 29 Februari 2008

E. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data 1. Data primer dengah menggunakan

a. Pemeriksaan fisik

Bertujuan untuk mengetahui keadaan fisik pasien. Pemeriksaan fisik terdiri dari: vital sign, inspeksi, palpasi, auskultasi, perkusi.

b. Interview

Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data dengan cara tanya jawab antara terapis dengan sumber data/pasien yaitu dengan autoanamnesis.


(61)

c. Observasi

Dilakukan untuk mengambil perkembangan pasien selama dilakukan terapi.

2. Data sekunder dengan menggunakan a. Studi dokumentasi

Dalam studi dokumentasi penulis mengamati dan mempelajari data-data medis dan fisioterapi dari awal sampai akhir.

b. Studi pustaka

Dari buku-buku, internet, majalah dan yang berkaitan dengan osteoarthritis.

F. Teknik Analisa Data

Cara analisis data yang digunakan adalah pendekatan analisis deduktif-induktif. Data-data yang diperoleh dari hasil tanya jawab dan pemeriksaan umum maupun khusus; dikumpulkan untuk menegakkan diagnosa. Dari diagnosa tersebut dapat menjadi acuan untuk menentukan tindak lanjut dari permasalahan akan didapatkan hasil terapi pertama hingga terapi keenam.


(62)

47 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Studi Kasus 1. Proses Pemecahan Masalah Fisioterapi

Melalui pengenalan penyakit, pemeriksaan umum dan khusus, penulis mendapatkan data yang menjadi bahan analisa untuk menentukan problematika fisioterapi. Dengan ditetapkannya problematika fisioterapi selanjutnya dapat diberikan dengan harapan tercapainya tujuan yang diinginkan.

a. Pengkajian Data

Pengkajian data pada umumnya meliputi teknik dan obyek yang akan diukur atau dikumpulkan data, obyek data yang berhubungan dengan kondisi osteoarthritis bilateral.

1) Teknik Pengumpulan Data a) Anamnesis

Anamnesis adalah cara pengumpulan data dengan jalan tanya jawab antara terapis dengan sumber data, hal ini dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:

(1) Autoanamnesis, bila mengadakan tanya jawab langsung kepada pasien.

(2) Heteroanamnesis, bila anamnesis dilakukan terhadap orang lain yang dianggap mengerti tentang keadaan pasien, dan untuk kasus ini anamnesis yang dilakukan adalah autoanamnesis yang meliputi:


(63)

a) Anamnesis umum

Dari anamnesis ini didapatkan data nama pasien, umur, alamat, agama, jenis kelamin, pekerjaan.

b) Anamnesis khusus

Dari anamnesis khusus ini kita dapat memperoleh keterangan tentang hal-hal yang berkaitan dengan keadaan atau penyakit pasien, seperti:

a) Keluhan utama merupakan keluhan yang paling dirasakan oleh pasien berkaitan dengan penyakit yang dideritanya.

b) Riwayat penyakit sekarang, menggambarkan riwayat perjalanan penyakit secara lengkap.

c) Riwayat penyakit dahulu berupa penyakit-penyakit yang pernah dialami yang tidak berhubungan langsung dengan munculnya keluhan sekarang.

d) Riwayat pribadi menjelaskan tentang pekerjaan maupun hobi

e) Riwayat keluarga, dimaksudkan untuk menelusuri adanya penyakit penyakit yang bersifat menurun (herediter) dan orang tua atau keluarga.

b. Pemeriksaan 1) Pemeriksaan fisik meliputi:

a) Pemeriksaan vital Sign yaitu pemeriksaan yang meliputi pengukuran tekanan darah, denyut nadi, pernafasan, temperatur, tinggi badan, dan hasil pemeriksaan diketahui bahwa kondisi umum penderita osteoarthritis kedua


(64)

lutut ini adalah baik sehingga memungkinkan untuk dilakukan pelaksanaan terapi.

b) Inspeksi, merupakan suatu cara pemeriksaan dengan cara melihat dan mengamati. Pada kasus osteoarthritis kedua lutut ini, inspeksi yang dilakukan didapatkan hasil seperti: (1) keadaan umum baik, (2) Inspeksi statis didapatkan, ekspresi wajah saat diam biasa, tidak ada bengkak pada kedua lutut, tidak ada atropi dan warna kemerahan tidak ada, (3) Inspeksi dinamis, dengan mengamati sejak pasien datang apakah ekspresi wajah menahan nyeri saat pasien duduk, saat jalan pasien tidak menggunakan alat bantu, tripod dan alat bantu lain saat berjalan.

c) Palpasi, merupakan cara pemeriksaan dengan jalan meraba, menekan, dan memegang bagian tubuh pasien. Pada kasus osteoarthritis kedua lutut ini, palpasi yang dilakukan didapatkan: (1) Suhu pada daerah kedua lutut normal, (2) Tidak ada nyeri tekan, pada kedua lutut, (3) Tidak ada bengkak pada kedua lutut, (4) Tidak ada spasme pada otot quadriceps, (5) Tidak terdapat nyeri gerak.

c. Perkusi

Pemeriksaan dengan menggunakan palu atau diketok untuk mengetahui adanya cairan.

d. Auskultasi

Merupakan cara pemeriksaan dengan jalan mendengarkan bunyi dari lutut baik menggunakan stateskop maupun pendengaran. Pada kasus ini didapatkan adanya bunyi dari lutut (krepitasi).


(65)

e. Pemeriksaan gerak dasar

Pemeriksaan dilakukan pada anggota gerak atas dan bawah bawah baik kanan maupun kiri pada penderita osteoarthritis, fexi dan extensi

f. Pemeriksaan gerak pasif

Pemeriksaan gerak pasif pada kondisi osteoarthritis knee bilateral ini tentang gerak knee dextra dan sinistra tetapi pasien dibantu terapis.

g. Pemeriksaan gerak aktif

Pemeriksaan gerak aktif pada kondisi osteoarthritis knee bilateral ini tentang gerak knee dextra dan sinistra tetapi pasien melakukan sendiri.

h. Pemeriksaan gerak isometric melawan tahanan

Tahanan untuk terapis, arah gerak berlawanan flexi dan extensi. Dilakukan untuk kedua tungkai dextra dan sinistra.

i. Pemeriksaan kognitif, intrapersonal, interpersonal osteoarthritis knee bilateral gerak

Kognitif : pasien dapat berkomunikasi dengan baik dengan terapis Intrapersonal : pasien mempunyai keinginan untuk sembuh

Interpersonal : hubungan baik sama terapis dan keluarga saling mendukung j. Kemampuan fiingsional dan lingkungan aktifitas

1) Fungsional dasar

Pasien mampu baring dari tidur, pasien mampu mring kekanan dan miring kekiri, duduk, berdiri dan sampai bejalan secara mandiri disertai nyeri.


(66)

2) Fungsional aktivitas

Dari pemeriksaan untuk mengetahui aktivitas merawat diri secara mandiri, aktivitas sholat tidak mampu untuk membungkuk, aktivitas untuk berjalan jauh apakah pasien merasakan nyeri.

3) Lingkungan aktivitas

Dari pemeriksaan untuk mengetahui Lingkungan rumah: WC jongkok, tidak ada tangga trap atau tangga rumah.dirumah pasien apakah tempat memasak posisinya membungkuk sehingga pasien memasak cenderung membungkuk.

Pemeriksaan spesifik dilakukan untuk mengungkapkan ciri khusus serta ada tidaknya gangguan dan struktur atau jaringan tertentu. Pada kasus osteoarthritis sendi lutut ini, pemeriksaan yang dilakukan meliputi:

a. Tes pengukuran nyeri VDS (Verbal Descriptive Scale)

Yaitu cara pengukuran derajat nyeri dengan tujuh skala penilaian yaitu : (1) tidak nyeri, (2) nyeri sangat ringan, (3) nyeri ringan, (4) nyeri tidak begitu berat, (5) nyeri cukup berat, (6) nyeri berat, (7) nyeri tak tertahankan. Pasien disuruh merasakan nyerinya pada nomor tersebut. Pasien tersebut harus memenuhi persyaratan yaitu bukan anak-anak, tidak buta.

b. Manual Muscle Testing (MMT)

Tes kekuatan otot ini dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosa fisioterapi, jenis terapi atau jenis alat bantu yang akan diberikan dan menentukan prognosis pasien serta bahan evaluasi.

Maka MMT dianggap penting untuk dilakukan. Walaupun pada kondisi osteoarthritis ini hasil yang diperoleh kurang akurat karena adanya rasa nyeri sehingga mempengaruhi kekuatan otot.


(67)

Gradasi nilai otot menurut dr. Robert W lovelt atau metode lovelt adalah: 1) Normal (N) atau 5, yaitu otot dapat berkontraksi dengan LGS penuh, mampu melawan gravitasi, tahanan sebagian, 2) Normal (N) atau 3, yaitu otot dapat berkontraksi dengan LGS penuh, mampu melawan gravitasi tanpa tahanan, 3) poor (P) atau 2, yaitu otot dapat berkontraksi dengan LGS penuh tanpa melawan gravitasi dan tahanan, 4) Trace (T) atau 1, yaitu otot dapat sedikit kontraksi tanpa ada gerakan sendi, 5) Zero (Z) atau 0, tidak ada kontraksi.

c. Test lingkup gerak sendi (LGS)

Pengukuran lingkup gerak sendi bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya keterbatasan untuk sendi lutut. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan menggunakan goniometer dan dapat diukur pada gerak aktif maupun pasif, dan mengacu pada kriteria ISOM normal dimana LGS sendi dextra (aktif) S = 90° (pasif) = S = 120°, knee sinistra (aktif) S=90°, (pasif) S = 0°-0°-120°.

Pada pengukuran LGS sendi knee dextra dan knee sinistra ini dilakukan secara aktif dan pasif. Gerakan pasif dilakukan setelah gerakan aktif.

d. Tes stabilitas sendi lutut 1) Tes laci sorong depan

Posisi pasien berbaring terlentang di atas bed, satu lutut pasien ditekuk dan lutut yang lain tetap lurus. Posisi pemeriksa duduk dipinggir bed,sambil menekan kaki pasien, dimana yang lututnya tadi ditekuk, kedua lengan pemeriksa memberikan tarikan ke arah anterior. Pemeriksaan ini untuk mengatahui stabilitas


(68)

Gambar 4.1.Tes laci sorong ke depan (de Wolf, 1994) 2) Tes laci sorong ke belakang

Posisi pasien berbaring terlentang di atas bed, satu lutut pasien ditekuk dan lutut yang lain tetap lurus. Posisi pemeriksa duduk di tepi bed sambil menekan kaki pasien dimana lututnya ditekuk bersamaan dengan itu pemeriksaan memberikan dorongan ke arah posterior (de wolf, 1994).

Gambar 4.2.Tes laci sorong ke belakang 3) Tes hipermobilitas valgus

Posisi pasien berbaring terlentang di atas bed, satu tungkai terjuntai di bawah bed, posisi tangan terapis di samping pasien yang terjuntai, tangan yang lain berada di atas kaki pasien, gerakannya ke arah varus. Pemeriksaan ini untuk mengetahui stabilitas ligament collateral lateral, (de wolf, 1994)


(69)

Gambar 4.3.Hipermobilitas valgus (de wolf, 1994) 4) Tes Hipermobilitas Varus

Posisi pasien berbaring terlentang di atas bed, satu tungkai bawah pasien terjuntai di bawah bed, posisi terapis di samping penderita dengan satu tangan berada di bawah lutut pasien yang terjuntai, tangan yang lain berada di atas kaki pasien yang terjuntai, gerakannya ke arah valrus. Pemeriksaan ini untuk mengetahui stabilitas ligament collarteral laterale (de wolf, 1954).

Gambar 4.4. Hipermobilitas varus (de wolf, 1994) 5) Tes Hiperekstensi

Pasien berbaring di atas bed dengan kaki dalam posisi lurus, lutut di ganjal, sedangkan kaki di angkat. Dengan membandingkan jarak antara tumit kaki kiri dan kanan bed (de wolf, 1994).


(70)

Gambar 4.5. Hiperekstensi (de wolf, 1994) 6) Tes Gravity Sign

Pasien berada dalam posisi berbaring terlentang, diminta agar kedua kakinya diangkat sehingga lutut dan pangkal pahanya membuat sudut 90 derajat, kedua tumitnya diletakkan di atas tangan pemeriksa. Pemeriksa mengamati kedua

tibia dan menilai apakah tuberositas tibia yang satu letaknya mungkin lebih rendah dari pada yang lainnya. Perbedaan akan tampak lebih jelas bila pasien diminta agar menekan tangan pemeriksa dengan kedua tumitnya (menegangkan hamstring) (de wolf. 1994).

Gambar 4.6. Gravity sign (de wolf, 1994) 7) Pemeriksaan derajat nyeri

Skala penilaian derajat nyeri yang digunakan pada kondisi osteoarthritis knee bilateral ini adalah dengan skala VDS (Verbal Descriptive Scale). Skala ini terdiri dari garis 7 cm yang diberi tanda dari titik awal sampai titik akhir. Salah satu ujung menunjukkan titik nyeri dan ujung yang lain menunjukkan nyeri tak


(71)

tertahankan. Pemeriksaan dengan skala ini tujuannya untuk mengetahui derajat nyeri, dimana pasien di minta untuk menandai pada salah satu titik pada skala dan titik awal sampai akhir yang ditandai pasien adalah nilai intensitas nyeri yang dirasakan pasien.

Tidak Nyeri Nyeri tak tertahankan

1 2 3 4 5 6 7

8) Pemeriksaan luas gerak sendi (LGS)

Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya gerak sendi lutut, pemeriksaan ini dilakukan dengan goniometer dan diukur pada gerak aktif maupun pasif, pada kedua tungkai.

9) Pemeriksaan kekuatan otot

Untuk mengetahui kekuatan otot dapat dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan Manual Muscle Testing (MMT). Otot yang diperiksa yaitu otot fleksor dan ekstensor kedua lutut.

10)Pemeriksaan aktivitas fungsional dasar

Untuk mengetahui ada tidaknya gangguan aktivitas fungsional dasar berupa kemampuan bangkit dari posisi duduk, beijalan 15 meter dan naik tangga 3 step dapat digunakan indeks status fungsional skala "jette" berdasarkan indeks ini status fungsional mempunyai 3 dimensi yang saling berkaitan yaitu:

a) Nyeri, derajat nyeri saat melakukan aktivitas terdiri dari: 1: tidak nyeri, 2: nyeri ringan, 3: nyeri sedang, 4: sangat nyeri. b) Kesulitan, derajat kesukaran untuk melakukan aktivitas terdiri dari:

1: sangat mudah, 2: agak mudah, 3: tidak mudah tetapi juga tidak sulit, 4: agak sulit, 5: sangat sulit.


(72)

c) Ketergantungan, derajat ketergantungan seseorang untuk melakukan aktivitas terdiri dari:

1: tanpa bantuan, 2: butuh bantuan alat, 3: butuh bantuan orang, 4: butuh bantuan alat dan orang, 5: tidak dapat melakukan aktivitas. (Platzer W, Kankle W, Leonhardt H, 1983).

B. Diagnosa Fisioterapi

Diagnosa fisioterapi merupakan upaya menegakkan masalah aktivitas gerak dan fungsi berdasarkan pernyataan yang logis dan dapat dilayani fisioterapi. Adapun tujuan dan diagnosis fisioterapi adalah untuk mengetahui permasalahan fisioterapi yang dihadapi oleh penderita serta untuk menentukan layanan fisioterapi yang tepat. Hasil pemeriksaan fisioterapi yang telah dilaksanakan pada penderita osteoarthritis kedua lutut ini didapatkan permasalahan fisioterapi sebagai berikut:

1. Permasalahan kapasitas fisik untuk Osteoartritis : a. Adanya nyeri pada kedua lututnya saat jongkok

b. Adanya rasa nyeri pada kedua lututnya pada saat duduk diantara dua sujud c. Adanya rasa nyeri pada saat jalan dan berdiri

d. Adanya nyeri tekan dan nyeri gerak pada sendi knee 2. Permasalahan kemampuan fungsional, yaitu:

a. Adanya gangguan saat melakukan gerakan jongkok ke berdiri b. Adanya gangguan saat melakukan sholat karena nyeri


(73)

C. Tujuan

Tujuan fisioterapi akan dibedakan antara tujuan jangka pendek dan jangka panjang.

1. Tujuan jangka pendek ini meliputi: a. Meningkatkan dan memelihara LGS

b. Meningkatkan dan memelihara kekuatan otot c. Mengurangi nyeri tekan dan nyeri gerak

d. Mengurangi spasme pada otot quadriceps dan hamstring. 2. Tujuan jangka panjang, tujuan ini meliputi:

a. Meneruskan tujuan jangka pendek b. Meningkatkan aktivitas fungsional

D. Pelaksanaan Fisioterapi

Pada karya tulis ini penulis akan membahas mengenai penanganan fisioterapi untuk mengurangi nyeri dengan Micro Wave Diathermy dan meningkatkan luas gerak sendi dengan modalitas terapi latihan.

1. Penatalaksanaan Micro Wave Diathermy a. Persiapan alat

Pastikan alat dapat berfungsi dengan baik, pastikan semua tombol pada posisi on atau off, kabel-kabel tidak boleh kontak dengan lantai, pasien atau bersilangan satu sama lain. Hubungkan alat ke sumber arus dan selanjutnya persiapkan elektrode terpilih lalu dicek dengan lampu apakah arus sudah masuk atau belum dengan melihat lampu hidup berarti arus masuk kemudian pasang pada tempat yang akan diterapi.


(74)

b. Persiapan pasien

Sebelum dilakukan terapi, pasien diberi tahu akan tujuan dan terapi, apa yang dirasakan pasien selama terapi. Pasien juga diberitahu untuk segera memberi tahu kepada terapis jika terjadi keadaan sebagai berikut: merasa terlalu panas, keluhan bertambah, merasa pusing atau mual.

Selanjutnya bebaskan daerah yang akan di terapi dari keringat yang berlebihan, pakaian yang tidak menyerap keringat serta benda atau barang yang mengandung metal. Sebelumnya juga dilakukan tes sensibilitas (panas/dingin) pada daerah sekitar lutut. Mungkin agar selama terapi penderita dapat rileks. Pada kondisi ini posisi pasien saat tidur diberikan pemanasan adalah cope/glas elektrode diposisikan di atas.

c. Pelaksanaan terapi

Posisi pasien comfortable agar selama terapi dapat rileks. Pada kondisi osteoarthritis kedua lutut ini posisi pasien adalah tidur tengkurap, kemudian cope/glas elektrode diposisikan pas di atas poplitea. Yang pertama kita sinari dulu yang sebelah kanan dengan waktu terapi ±10 menit, kemudian arur intensitas sesuai dengan toleransi pasien. Setelah waktu habis kop kita alihkan ke poplitea yang sebelah kiri. Disini para meter terapi yang digunakan adalah sebagai berikut:

1) Intensitas: sub mitis (50 mA) 2) Gelombang: continous 3) Waktu: 20 menit


(75)

5) Frekuensi terapi: 6 kali terapi dalam satu minggu selama terapi ini, fisioterapi harus selalu mengontrol perasaaan panas dari pasien yang bersifat subyektif. Jika selama terapi rasa nyeri dan ketegangan otot meninggi, dosis harus dikurangi dengan menurunkan intensitas juga bisa dengan mengakhiri terapi sebelum waktunya.

d. Evaluasi sesaat setelah terapi Terhadap pasien

Jika sudah selesai, fisioterapi memeriksa reaksi umum yang ditemukan. Kadang-kadang timbul reaksi umum, seperti mual, pusing setelah terapi, sehingga penderita harus diistirahatkan dahulu.

2. Terapi latihan dengan teknik hold relax a. Persiapan pasien

Posisi pasien sewaktu latihan adalah duduk ongkang-ongkang ditepi bed dengan posisi lutut flexi 90°.

b. Pelaksanaan Latihan 1) Prosedur latihan

Gerakan lutut (flexi) hingga 110° atau pada batas nyeri pada kedua lutumya pada posisi tersebut (lutut flexi 110°) beri tahanan pada daerah pergelangan kaki bagian belakang dan fiksasi pada daerah atas lutut. Lalu (ekstensi) dengan lawanan tahanan diberikan selama 5 detik besarnya tahanan disesuaikan dengan toleransi atau kekuatan kontraksi pasien kemudian pasien rileks untuk secara perlahan-lahan. Ulangi prosedur diatas sebanyak 3 kali, setelah itu pada akhir gerakan


(76)

diberikan force atau dorongan ke arah flexi untuk menambah LGS fleksi lutut.

2) Waktu latihan

Untuk latihan hold rilex dilakukan 6 - 8 X pengulangan atau sampai batas kemampuan pasien.

3) Frekuensi latihan

Dilakukan oleh pasien setiap hari selama satu minggu atau selama 6 kali terapi

3. Terapi latihan dengan free active movement a. Persiapan pasien

Pasien diposisikan tidur terlentang di bed dan duduk ongkang-ongkang

b. Pelaksanaan latihan

Pada posisi tidur terlentang terapi, meminta pasien untuk menggerakkan tungkainya seperti saat mengayuh sepeda dilakukan sebanyak 5 kali pengulangan lalu pada posisi duduk ongkang-ongkang terapis meminta pasien untuk menekuk dan meluruskan lututnya (fleksi dan ekstensi lutut), terapi memberikan fiksasi pada bagian atas lutut latihan ini juga dilakukan sebanyak 5 kali.

c. Waktu latihan

Untuk latihan free active movement dapat dilakukan 6 - 8 X pengulangan atau sampai batas kemampuan pasien.

d. Frekuensi latihan


(77)

4. Tindak lanjut dan evaluasi a. Tindak lanjut

Setelah dilakukan terapi pertama kali dan dievaluasi sesaat, selanjutnya bisa difikirkan mengenai terapi selanjutnya apakah terapi yang pertama dapat dilanjutkan diberhentikan atau mungkin perlu dilakukan modifikasi terapi selanjutnya. Dilanjutkan dengan cara mengamati apakah terapi pertama yang dilakukan menunjukkan adanya perubahan atau tidak. Dan selanjutnya perlu dilakukan dalam pemberian edukasi pada penderita osteoarthritis kedua lutut ini agar dapat mendukung program dan keberhasilan terapi itu sendiri.

b. Evaluasi

Evaluasi dilakukan 2 tahap, yakni evaluasi sesaat dan evaluasi setelah terapi evaluasi yang dilakukan untuk kondisi osteoarthritis kedua lutut ini hanya merupakan komponen yang menjadi pembahasan kasus pada karya tulis ilmiah ini, yaitu:

1) Nyeri dengan skala VDS

2) Luas gerak sendi dengan goniometer. 3) Kekuatan otot dengan MMT

4) Aktivitas fungsional dasar dengan skala ”jette” 5. Dokumentasi

Nama : Ny. Siti Romdiyah

Umur : 79 tahun


(78)

Pekerjaan : ibu Rumah Tangga Alamat : Pecing 03/14 Sragen Diagnosis : OA Genu Bilateral

Berdasarkan proses fisioterapi dilaksanakan pada penderita

osteoarthritis knee bilateral, maka setelah dilakukan terapi dengan MWD dan terapi latihan sebanyak 6 kali berturut-turut, nyeri sudah berkurang. 2.

E. Protokol Studi Kasus Tanggal Pembuatan Laporan : 23 Februari 2008

Kondisi/Kasus : FTB

I. KETERANGAN UMUM PENDERITA Nama : Ny Siti Romdiyah

Umur : 79 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Alamat : Pecing 03/14 Sragen

Hoby : Membaca al-Qur’an

II. DATA-DATA MEDIS RUMAH SAKIT A. DIAGNOSIS MEDIS:

Osteoarthritis

B. CATATAN KLINIS: Hasil RO (7 Agustus 2007)


(79)

Nampak terdapat osteofit (muncul taji) pada bagian medial dan adanya penyempitan pada tibiafemur joint.

C. TERAPI UMUM (GENERAL TREATMENT): Medica mentosa

- Glukosamine 500 mg 3 x 1 - Atorax al prazolan 0,5 mg x 2 x 1 - Mexophram 15 mg 2 x ½

- Osteocal 300 mg 1 x 1

D. RUJUKAN FISIOTERAPI DARI DOKTER:

Mohon tindakan fisioterapi pada pasien Ny. Siti Romdiyah (79 tahun) dengan diagnosa Osteoarthritis Genu Bilateral.

III. SEGI FISIOTERAPI Tanggal: 19 Februari 2008 A. ANAMNESIS (AUTO)

1. Keluhan utama:

Nyeri pada kedua lutut pada saat melakukan aktivitas sholat terutama pada gerakan duduk diantara dua sujud ke berdiri, pada saat berjalan jauh kedua lulutnya juga merasa nyeri, pada gerakan jongkok ke berdiri nyeri.

2. Riwayat penyakit sekarang:

Pasien mengeluh nyeri pada kedua lututnya sejak bulan Agustus 2007 setelah pulang dari umroh. Kemudian pasien memeriksakan diri ke RSD Prof. Soeharso Surakarta. Pada tanggal 9 November 2007 pasien datang ke RSUD Sragen oleh dokter didiagnosa osteoarthritis genu


(80)

bilateral kemudian pasien dirujuk oleh dokter untuk tindakan fisioterapi pada kedua lututnya.

3. Riwayat penyakit dahulu: - Trauma (-)

- Diabetes millitus (-) - Kolestrol (-)

- Hipertensi (+) - Jantung (+)

4. Riwayat penyakit penyerta:

Tidak ada riwayat penyakit penyerta

5. Riwayat pribadi (keterangan umum penderita):

Pasien adalah seorang ibu rumah tangga dengan hobi membaca Al-Qur’an.

6. Riwayat keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang mengalami penyakit serupa. 7. Anamnesis sistem

a) Kepala dan leher: - pusing (-)

- keluhan kaku leher (-) b) Kardiovaskuler:

- nyeri dada (-) - berdebar-debar (-) c) Respirasi:


(81)

- batuk (-) - asma (-)

d) Gastrointestinalis: - BAB terkontrol - mual, muntah (-) e) Urogenitas:

- BAK terkontrol f) Muskuloskeletal:

- Adanya nyeri gerak pada kedua sendi knee - Keterbatasan gerak karena nyeri

- Adanya spasme pada otot quadriceps dan hamstring - Adanya penurunan kekuatan otot pada kedua lutut g) Nervorum:

Kadang-kadang pasien merasakan kesemutan pada kedua kaki menjalar sampai telapak kaki.

B. PEMERIKSAAN 1. Pemeriksaan Fisik

1.1. Tanda-tanda vital:

a) Tekanan darah : 140/80 mmHg b) Denyut nadi : 70/menit c) Pernapasan : 22/menit d) Temperatur : 36,6OC

e) Tinggi badan : 145 cm f) Berat badan : 49 hg


(82)

1.2. Inspeksi:

Statis : - pasien tidak tampak pucat, tidak ada oedem

- pasien terlihat memakai decker, pada kedua lututnya.

Dinamis : - pasien tampak menahan rasa sakit pada saat bergerak dari posisi duduk ke berdiri, pasien berjalan dengan kaki agak pincang,sudah tampak adanya deformitas ke arah varus.

- tampak adanya deformitas genu varus 1.3. Palpasi:

- Adanya nyeri tekan pada kedua lutut bagian lateral dan medial

- Tidak terdapat puting oedem - Suhu lokal normal

- Spasme M. Hamstring dan M. Quadriceps pada knee bilateral 1.4. Perkusi:

Tidak dilakukan. 1.5. Auskultasi:

Krepitasi (+) pada kedua lututnya. 1.6. Gerakan dasar:

a) Gerak aktif:


(83)

Hip ankle : mampu bergerak aktif, full ROM dan tanpa disertai nyeri kekuatan otot normal

Knee : mampu bergerak aktif, namun tidak full ROM dan disertai nyeri terutama saat flexi > 90o kekuatan otot normal

b) Gerak pasif:

AGB dextrea-sinistra

Hip dan ankle : mampu digerakkan pasif oleh terapis secara full ROM end feel lunak disertai nyeri

Knee : mampu digerakkan pasif oleh terapis, namun tidak full ROM, terutama saat flexi ≥ 90o end feel hard terdapat nyeri serta terasa krepitasinya.

c) Gerak isometik melawan tahanan: AGB knee sinistra-dextra

Hip-ankle : pasien mampu melawan gerak isometrik melawan tahanan minimal dari terapis tanpa disertai nyeri

Knee : pasien mampu melawan gerak isometrik melawan tahanan minimal dari terapis namun disertai nyeri


(1)

Keterangan 2.3

1. Ligamentum cruciatum posterior 2. Ligamentum cruciatum anterior 3. Meniscus medialis

4. Meniscus lateralis

5. Ligamentum collateral medial 6. Ligamentum trasversum genus 7. Ligamentum collaterale lateral


(2)

1. Medial epicondyle 2. Intercondylar notch 3. Medial meniscus

4. Tibial collaterale ligament 5. Posterior cruiatea ligament 6. Popliteal surface of tibial 7. Laterale epicondyle 8. Anterior cruciate ligament 9. Card of femur

10.Laterale meniscus

11.Fibular collaterale meniscus

12.Capsule of proximal tibia-fibula joint 13.Head of fibula


(3)

Keterangan Gambar 2.5

1. Bursa (recessus) supra patellaaris 2. Bursa praepatellaris

3. Bursa infrapatellaris profunda 4. Bursa infrapatellaris superficialis


(4)

Keterangan Gambar 2.6 (a) 1. Tensor faciae latea 2. Illiotibial tract 3. Rectus femoris 4. Vastus lateralis 5. Patella

6. Patella ligament 7. Proneuslongus 8. Tibialis anterior 9. Pereneous brevis

10.Extensor digitorium longus 11.Extensor hallucis longus 12.Superior extensor retinaculum 13.Interior extensor retinaculum 14.Interessio

15.Soleus 16.Tibia

17.Gastrocnemius 18.Vastus medialis 19.Sartorius 20.Gracialis

21.Adductor longus 22.Pectienus 23.Illopsoas

Keterangan Gambar 2.6 (b) 1. Gluteus medius

2. Gluteus maximus 3. Illiotibial tract 4. Semiteninesus 5. Long heat 6. Short heat 7. Gastrocnemius 8. Soleus

9. Proneuslongus 10.Proneus brevis 11.Calcaneus 12.Sartorius

13.Semimembranosus 14.Adductor magnus 15.Gracilis


(5)

Keterangan Gambar 2.7 1. Common iliac artery 2. Internal iliac artery 3. External iliac artery 4. Femoral artery

5. Deep (profiinda) femoral artery 6. Popliteal artery

7. Anterior tibial artery 8. Proneal artery 9. Posterior tibial artery 10.Lateral plantar artery 11.Plantar arterial artery 12.Medial plantar artery 13.Dorsal metatarsal artesis 14.Dorsal artery of foot

15.Perforating branch of personal artery 16.Anterior tibial artery


(6)

1. Common iliac vein 2. Internal iliac vein 3. External iliac vein 4. Femoral vein

5. Great saphenous vein 6. Popliteal vein

7. Small saphenous vein 8. Anterior tibial vein 9. Poroneal vein 10.Posterior tibial vein 11.Lateral plantar vein 12.Medial plantar vein 13.Dorsal venous arch 14. Dorsal vein of foot


Dokumen yang terkait

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kondisi Osteoarthritis Genu Bilateral Di RSO Rof. DR. Soeharso Surakarta.

3 23 14

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA OSTEOARTHRITIS GENU Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Osteoarthritis Genu Bilateral Di Rsud Dr. Moewardi Surakarta.

0 3 14

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI OSTEOARTHRITIS GENU BILATERAL DENGAN MODALITAS ULTRA SOUND, INFRA RED DAN TERAPI LATIHAN DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL.

0 0 9

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI OSTEOARTHRITIS GENU BILATERAL DENGAN MODALITAS PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI OSTEOARTHRITIS GENU BILATERAL DENGAN MODALITAS MICROWAVE DIATHERMI DAN TERAPI LATIHAN DI RSUD SRAGEN.

0 1 6

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI OSTEOARTHRITIS GENU DEXTRA.

0 1 16

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI DENGAN MODALITAS Penatalaksanaan Fisioterapi Dengan Modalitas Sinar Infra Merah Dan Terapi Latihan Pada Kondisi Osteoarthritis Genu Sinistra Di RSUD DR. Muwardi Surakarta.

0 2 13

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kondisi Osteoarthritis Genu Dextra Di RSUD Sragen.

0 2 14

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kondisi Osteoarthritis Genu Dextra Di RSUD Sragen.

0 0 13

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI OSTEOARTHRITIS LUTUT BILATERAL Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kondisi Osteoarthritis Lutut Bilateral Di RSUD Sukoharjo.

0 2 19

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI OSTEOARTHRITIS LUTUT BILATERAL Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kondisi Osteoarthritis Lutut Bilateral Di RSUD Sukoharjo.

0 12 15