Pengaruh Dexamethason Dan Ketorolac Terhadap kadar Neutrofil Pada Pasien Pascaincisi TESIS

(1)

PERBEDAAN PENGARUH DEXAMETHASON DAN KETOROLAC TERHADAP KADAR NEUTROFIL

PADA PASIEN PASCAINSISI TESIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi MagisterKedokteran Keluarga

MinatUtama: IlmuBiomedik

Oleh Haris Riyadi

S501002005

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2014 commit to user


(2)

ii

PERBEDAAN PENGARUH DEXAMETHASON DAN KETOROLAC TERHADAP KADAR NEUTROFIL PADA PASIEN PASCAINCISI

TESIS

Oleh : Haris Riyadi

S501002005

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing Komisi

Pembimbing Nama

Tanda

Tangan Tanggal

Pembimbing I: Prof. Dr. Harsono Salimo, dr, SpA(K) NIP. 19441226 197310 1 001

……… ….2014

PembimbingII : Eko Setijanto, dr.,M.Si.Med,Sp.An,KIC

NIP. 19710322 201001 1002 ……… ….201 4

Telah dinyatakan memenuhi syarat Pada tanggal ...2014

Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga

Dr. Hari Wujoso, dr. SpF, MM NIP. 19621022 199503 1001


(3)

iii

PERBEDAAN PENGARUH DEXAMETHASON DAN KETOROLAC TERHADAP KADAR NEUTROFIL PADA PASIEN PASCAINCISI

TESIS Oleh : Haris Riyadi S501002005

Telah diuji Dewan

penguji Nama

Tanda

Tangan Tanggal Ketua Dr. Hari Wujoso, dr. SpF, MM

NIP. 19621022 199503 1001 ……… ….2014

Anggota Dr. dr. Sri Sulistyowati, SpOG (K) NIP. 19620822 198912 2 001

……… ….2014

Anggota Prof. Dr. Harsono Salimo, dr, SpA(K) NIP. 19441226 197310 1 001

……… ….2014

Anggota Eko Setijanto, dr.,M.Si.Med,Sp.An,KIC

NIP. 19710322 201001 1002 ……… ….2014

Telah dipertahankan di depan penguji Dinyatakan telah memenuhi syarat

Pada tanggal ...2014

Direktur PPS UNS

Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS NIP. 1961717 198601 1 001

Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga

Dr. Hari Wujoso, dr. SpF, MM NIP. 19621022 199503 1001 commit to user


(4)

iv

PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS

1. Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa :Tesis yang berjudul “PERBEDAAN PENGARUH DEXAMETHASON DAN KETOROLAC TERHADAP KADAR NEUTROFIL PADA PASIEN PASCAINCISI”, ini adalah karya penelitian saya sendiri dan bebas plagiat, serta tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis digunakan sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang– undangan(Permendiknas No. 17, tahun 2010).

2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus seijin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author dan PPs UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang–kurangnya satu semester (enam bulan sejak pengesahan Tesis), saya tidak melakukan publikasi dari sebagian atau keseluruhan Tesis ini, maka Program Studi Kedokteran Keluarga UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan Program Studi Kedokteran Keluarga UNS. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.

Surakarta, September 2014 Haris Riyadi

S501002005 commit to user


(5)

v

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk dan rahmat yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul :

Perbedaan Pengaruh Dexamethason Dan Ketorolac Terhadap Kadar Neutrofil Pada Pasien Pascaincisi”.

Tesis ini dimaksudkan sebagai penelitian yang merupakan salah satu persyaratan untuk mencapai derajat magister, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Prof.Dr.Ravik Karsidi, Drs, MS selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan di Universitas Sebelas Maret ini.

2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

3. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr, SpPD-KR FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret.


(6)

vi

4. Dr. Hari Wujoso, dr. SpF, MM selaku Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti studi Program Magister Kedokteran Keluarga.

5. Prof. Dr. Harsono Salimo, dr, SpA(K) selaku pembimbing metodologis yang dengan kesabarannya membimbing dan meneliti tesis ini sehingga menjadi lebih baik.

6. Ari Natali P. dr. MPH. Ph.D. selaku Sekretaris Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan studi pada program Magister Kedokteran Keluarga.

7. Mulyo Hadi Sudjito dr, SpAn KNA selaku Ketua Prodi Pendidikan Dokter Spesialis Anestesi dan Terapi Intensif FKUNS/RSDM yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

8. Marthunus judin, dr, SpAn. selaku Kepala Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FKUNS/RSDM. Terima kasih telah memberikan kesempatan dan dukungan untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

9. Sugeng Budi Santosa, dr, SpAn. KMN selaku SPS Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FKUNS/RSDM. Terima kasih telah memberikan kesempatan dan dukungan untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.


(7)

vii

10.Purwoko dr, SpAn KAKV selaku Sekretaris Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif FKUNS/RSDM yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

11.Eko Setijanto, dr, MSI.Med, SpAn, KIC selaku pembimbing substansi yang telah memberikan bimbingan dalam pembuatan usulan tesis ini.

12.Kedua Orang tua, M.Salam dan Siti Aminah, Istri saya Noni Aliasih S.IP, anak-anak saya syifa dan hanun yang telah memberikan semangat dan dukungannya selama ini.

13.Rekan-rekan residen anestesi yang telah membantu dan mendukung. 14.Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan usulan tesis ini yang

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran dari pembaca, penulis harapkan sehingga lebih sempurna.

Surakarta, September 2014

Haris Riyadi


(8)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

ABSTRAK ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat penelitian ... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. Kajian Teori... 4

1. Patofisiologi Inflamasi dan Nyeri ... 4

2. Persepsi Nyeri dan Nosisepsi ... 7

3. Mediator Inflamasi dan Modulasi Nyeri ... 8

4. Asam Arakidonat ... 13

5. Sintesis Eikosanoid ... 14 commit to user


(9)

ix

6. Dexamethason ... 19

a. Struktur Kimia ... 20

b. Mekanisme Kerja... 20

c. Farmakokinetik... 21

d. Sediaan, Dosis dan Cara Pemberian ... 21

e. Efek Samping ... 22

7. Ketorolac... . 23

a. Struktur Kimia... 23

b. Mekanisme kerja... 24

c. Farmakokinetik... 24

d. Sediaan, dosis dan cara pemberian... 25

e. Efek Samping... 26

8. Neutrofil ... 26

9. Hubungan dexamethason dengan ketorolac terhadap kadar neutrofil……….. 29

B. Kerangka Teori ... 33

C. Kerangka Konsep ... 34

D. Hipotesis ... 35

BAB III. METODE PENELITIAN ... 36

A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 36

B. Rancangan Penelitian ... 36

C. Sampel dan teknik pengambilan sampel ... 37

1. Sampel ... 37 commit to user


(10)

x

2. Besar Sampel ... 37

D. Variabel Penelitian ... 38

1. Variabel bebas ……….. 38

2. Variable terikat ………. 38

E. Definisi Operasional ... 38

F. Perijinan Penelitian ... 39

G. Alur Penelitian ... 40

H. Jalannya Penelitian ... 40

I. Alat dan Bahan ... 42

J. Pengolahan Data ... 42

K. Jadwal Kegiatan dan Organisasi Penelitian ... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 44

A. Hasil Penelitian ... 44

B. Analisis Hasil Penelitian ... 46

1. Analisis Demografi Responden ……… 47

2. Analisi Perbedaan Jumlah Neutrofil ……… 47

a. Uji Keseimbangan Awal ( sebelum insisi ) …….. 47

b. Uji Hipotesis ( sesudah insisi ) ……….. 47

C. Pembahasan ... 52

BAB V PENUTUP ... 57

A. Kesimpulan ………. 57

B. Saran ………... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58 commit to user


(11)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Uji Normalitas Data Demografi Responden ………... 44 Tabel 4.2 Uji Normalitas Data Jumlah Neutrofil………...…….. 45 Tabel 4.3 Gambaran Jenis Kelamin Responden Berdasarkan Kelompok

Penelitian………...………...………... 46 Tabel 4.4 Gambaran Data Demografi Pasien Berdasarkan Usia (n=30) 47

Tabel 4.5 Gambaran Data Demografi Pasien Berdasarkan Berat Badan

(n=30) ... 48 Tabel 4.6 Perbedaan jumlah neutrofil antara kelompok dexamethason

dan kelompok ketorolac sebelum insisi (n=30) ... 49 Tabel 4.7 Perbedaan jumlah neutrofil antara kelompok dexamethason

dan kelompok ketorolac sesudah insisi (n=30) ... 51


(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1.

Gambar 2.2.

Jaras nyeri……… Jalur pelepasan dan metobolisme asam arakidonat…...

11

12

Gambar 2.3. Imunofisiologi nyeri inflamasi...………. 13

Gambar 2.4. Biosintesis prostanoid...……….………... 17

Gambar 2.5.

Gambar 2.6.

Gambar 2.7.

Gambar 2.8.

Biosintesis leukotrien...

Rumus molekul dexamethason...………

Rumus molekul ketorolac...

Kerangka teori... 19

20

24

33

Gambar 2.9.

Gambar 3.1

Kerangka konsep...………... Alur penelitian...

34

40

Gambar 4.1 Diagram batang rata-rata jumlah neutrofil sebelum insisi…. 50 Gambar 4.2 Diagram batang rata-rata jumlah neutrofil sebelum insisi…. 52


(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Persetujuan Uji klinik (Informed consent) Lampiran 2. Formulir dan Check List Penelitian

Lampiran 3. Ethical Clearance RSUD Dr. Moewardi Surakarta


(14)

xiv

Haris Riyadi, S501002005, 2014. Perbedaan Pengaruh Dexamethason Dan Ketorolac Terhadap kadar Neutrofil Pada Pasien Pascaincisi. TESIS. Pembimbing I: Prof. Dr. Harsono Salimo, dr, SpPA(K). Pembimbing II: Eko Setijanto, dr, MSI.Med, SpAn, KIC. Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran, Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

ABSTRAK

Latar Belakang : Leukotrien yang dikeluarkan pada proses inflamasi memicu datangnya sel-sel lekosit seperti neutrofil, basofil dan sel mast sehingga proses inflamasi yang terjadi bertambah hebat. Dexamethason antiinflamasi steroid meningkatkan respon Polimorfonuklear pada hambatan kemampuan neutrofil untuk melepaskan metabolit oksidatif aktif dan hambat fosfolifase A2. Ketorolac antiinflamasi non steroid menghambat sintesis prostaglandin pada jalur siklooksigenase dan tidak mempengaruhi leukotrien. Penelitian ini menganalisis perbedaan pengaruh pemberian dexamethason dan ketorolac dalam mengurangi reaksi inflamasi yang berlebihan sehingga bisa digunakan sebagai alternatif atau terapi tambahan dalam pencegahan terjadinya proses inflamasi sehingga dapat mengurangi nyeri pasca operasi.

Tujuan penelitian : Menganalisis apakah ada perbedaan dari pemberian dexamethasone dan ketorolac efektif dalam mengendalikan kadar neutrofil yang terjadi pada pascaincisi.

Metode : Penelitian ini adalah penelitian uji klinik dengan desain Randomized Controlled Trial Double Blind pada pasien yang menjalani operasi elektif sebagai subyek dengan membandingkan jumlah neutrofil kelompok dexamethason dan kelompok ketorolac pasca incisi operasi. Data yang didapatkan diuji dengan independent t-test.

Hasil : Penelitian menggunakan subjek 30 orang; 15 orang premedikasi dexamethason dan 15 orang dengan ketorolac. Pada uji keseimbangan sebelum incisi didapatkan hasil tidak ada perbedaan jumlah neutrofil yang signifikan antar kedua kelompok sehingga subjek layak untuk uji selanjutnya. Uji hipotesis setelah incisi didapatkan perbedaan jumlah neutrofil yang signifikan antara kelompok dexamethason dan ketorolac dengan nilai p= 0.000. Jumlah neutrofil pada kelompok dexamethason minimal adalah 61.90% dan maksimal adalah 84.70%, dengan rata-rata 76.973 (73.770-80.177)%, sedangkan pada kelompok ketorolac jumlah neutrofilminimal adalah 82.90% dan maksimal adalah 91.90%, dengan rata-rata 87.247 (85.659-88.834)%.

Kesimpulan : Ada perbedaan yang signifikan antara jumlah neutrofil pada kelompok dexamethason dan kelompok ketorolac sesudah insisi. Pemberian dexamethason lebih dapat sebagai anti-inflamasi dibandingkan dengan pemberian ketorolac, dengan rata-rata jumlah neutrofil pasca operasi pada kelompok dexamethason sebesar 76.973 (73.770-80.177)%, sedangkan pada kelompok ketorolac jumlah neutrofilsebesar 87.247 (85.659-88.834)%.

Kata Kunci : dexamethason, ketorolac, neutrofil, inflamasi, inflamasi pasca


(15)

xv

Haris Riyadi, S501002005. 2014. Differences Of The Influence Between Dexamethasone And Ketorolac To Neutrophyl Serum Quantity In The Post Incision. THESIS. Supervisor I: Prof. Dr. Harsono Salimo, dr, SpPA(K) Supervisor II : Eko Setijanto, dr, MSI.Med, SpAn, KIC. Anesthesiology and Intensive Care Faculty of Medicine, Program Study of Occupation Medicine, Post-graduate Program of Sebelas Maret University, Surakarta.

ABSTRACT

Background : Leukotrien which is produced during inflammation process triggers the appearances of leucocytes cells like neutrofil, basophil and mast cell in result the inflammation process becomes greater. Steroid anti inflammation such as dexamethasone increases Polimornuklear response on stimulation, cell membrane changes in the binding of calcium, the obstacles of neutrophyl ability to release active oxidative metabolites and disturbs phospholipase A2. Non steroidal anti inflammation ketorolac stops prostaglandin synthesis on the cyclooxygen pathway and doesn’t affect leukotrien. This research is intended to analyze differences of the influence in dexamethasone and ketorolac in decreasing inflammation reaction, therefore, it can be used as alternative or adjuvant therapy in preventing the occurrence of inflammation process so that it will decrease post surgery pain.

Research objective : analyze efficacy of dexamethasone compared to ketorolac in controlling amount of neutrophyles after surgery

Methode : This study is a clinical trial with Randomized Controlled Trial Double Blind design in patients with elective surgery as a subject by comparing the amount of neutrophyl in dexamethasone cluster and ketorolac cluster after incision in surgery. The data input is tested with independent t-test.

Result : In this research 30 people were obtained as samples, with 15 people used dexamethasone premedication and the other 15 people used ketorolac. In the initial balance test which was before the incision there was no significant differences in the amount of neutrophyles between two clusters so subjects were eligible for the next test. Hypothetical test after the incision resulted in the significant differences of the neutrophyles amount between dexamethasone and ketorolac clusters with the value of p= 0.000. the amount of neutropyles in the dexamethasone clusters was at least 61.90% and at the maximum of84.70%, with average of 76.973 (73.770-80.177)%, meanwhile in the ketorolac cluster at the minimum of 82.90% and the maximum of 91.90%, with average 87.247 (85.659-88.834)%.

Conclusion : There was significant differences between the amount of neutrophyles in the dexamethasone cluster and ketorolac cluster after incisio. Dexamethasone has more anti-inflammation compares with ketorolac, with average of neutrophyles amount after incision in the dexamethasone cluster as much as 76.973 (73.770-80.177)%, meanwhile in the ketorolac cluster the amount of neutrophyleswas 87.247 (85.659-88.834)%.

Key words : dexamethasone, ketorolac, neutrophyles, inflammation, post surgery inflammation commit to user


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Inflamasi atau radang adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan yang mengalami cedera, seperti karena terbakar, luka operasi atau terinfeksi (Baratawidjaja, 2006). Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia (histamin, bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di dalam sistem kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi (Baratawidjaja, 2006, Kumar et al. (2005).

Terjadinya inflamasi setelah insisi pembedahan diawali dengan adanya produksi prostaglandin, prostasiklin dan leukotrien. Leukotrien memicu datangnya sel-sel lekosit seperti neutrofil, basofil dan sel mast yang melepaskan mediator inflamasi terutama yang diperankan oleh sel mast, sehingga proses inflamasi yang terjadi bertambah hebat (Smyth & Fitzgerald, 2012). Beberapa mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, telah diketahui menghasilkan nosisepsi selama periode pasca operasi (Yasuda et al., 2013

Dexamethason sebagai kortikosteroid berefek antiinflamasi yaitu efek pada lipokortin yaitu meningkatkan respon PMN pada rangsangan, perubahan membran sel pada pengikatan kalsium, hambatan kemampuan neutrofil untuk


(17)

melepaskan metabolit oksidatif aktif dan menghambat fosfolifase A2 (Aryana dan Biran, 2006). Dexamethason bekerja dengan cara menghambat enzim fosfolifase A2 sehingga metabolisme fosfolipid yang menghasilkan senyawa asam arakhidonat yang bersumber dari jaringan atau sel yang rusak tidak terjadi dan pada akhirnya prostaglandin dan leukotrien serta mediator inflamasi lain tidak terbentuk, sehingga proses inflamasi akibat luka operasi dapat berkurang atau dapat diminimalisasi(Smyth & Fitzgerald, 2012). Sebagai konsekuensi dari tidak terbentuknya prostaglandin, leukotrien, dan mediator inflamasi, maka migrasi neutrofil pun terhambat.

Ketorolac tromethamine merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik yang lemah dan anti-inflamasi cukup kuat. Ketorolac menghambat sintesis prostaglandin pada jalur siklooksigenase yaitu dengan cara hambatan pada enzim siklooksigenase. Hambatan pada enzim ini menyebabkan asam arakhidonat hanya dimetabolisme melalui jalur lipoksigenase (Smyth & Fitgerald, 2012, Mansjoer, 2003). Leukotrien masih diproduksi dan migrasi neutrofil oleh LTB4 tetap terjadi, sehingga proses inflamasi pada jalur ini terus berlangsung.

Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan pengaruh pemberian dexamethason dan ketorolac dalam mengurangi reaksi inflamasi yang berlebihan dengan melihat perbandingan jumlah neutrofil dalam darah pasca insisi, sehingga bisa digunakan sebagai alternatif atau terapi tambahan dalam pencegahan terjadinya proses inflamasi untuk mengurangi nyeri pasca operasi


(18)

B. RUMUSAN MASALAH

Adakah perbedaan dexamethason dengan ketorolac terhadap kadar neutrofil pada pasien pascaincisi ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Menganalisis apakah ada perbedaan dari pemberian dexamethason dan ketorolac efektif dalam mengendalikan kadar neutrofil yang terjadi pada pascaincisi.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan untuk mendukung teori dalam upaya menerangkan tentang perbedaan pengaruh pemberian dexamethason dan ketorolac pada reaksi inflamasi pasca insisi operasi

2. Apabila penelitian ini terbukti, maka dapat dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan bahwa hambatan produksi neutrofil dengan menggunakan dexamethason atau ketorolac yang dapat dilihat dari penurunan jumlah neutrophil bisa digunakan sebagai pencegahan inflamasi atau nyeri pasca operasi.


(19)

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KAJIAN TEORI

1. Patofisiologi Inflamasi Dan Nyeri

Nyeri merupakan salah satu tanda adanya proses inflamasi. Inflamasi adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan yang mengalami cedera, seperti karena terbakar, luka operasi atau terinfeksi. Radang atau inflamasi merupakan satu dari respon utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia (histamin, bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di dalam sistem kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi (Murphy at al, 2007)

Perkembangan pengetahuan mengenai mekanisme nyeri telah membawa kita pada perbaikan penatalaksanaan klinis terhadap nyeri. Di masa mendatang diharapkan penatalaksanan nyeri dapat langsung menuju sasaran sesuai proses patofisiologi yang menyebabkan gejala nyeri yang spesifik (Marsaban et al, 2009).

Inflamasi mempunyai tiga peran penting dalam perlawanan terhadap infeksi yaitu memungkinkan penambahan molekul dan sel efektor ke lokasi infeksi untuk meningkatkan performa makrofage menyediakan rintangan


(20)

untuk mencegah penyebaran infeksi mencetuskan proses perbaikan untuk jaringan yang rusak (Janeway at al, 2001, Baratawidjaja, 2006, Murphy at al, 2007).

Respon inflamasi dapat dikenali dari rasa sakit, kulit lebam, demam dan lainnya, yang disebabkan karena terjadi perubahan pada pembuluh darah di area infeksi/lesi yaitu pembesaran diameter pembuluh darah, disertai peningkatan aliran darah di daerah infeksi. Hal ini dapat menyebabkan kulit tampak lebam kemerahan dan penurunan tekanan darah terutama pada pembuluh kecil, aktivasi molekul adhesi untuk merekatkan endotelia dengan pembuluh darah, kombinasi dari turunnya tekanan darah dan aktivasi molekul adhesi, akan memungkinkan sel darah putih bermigrasi ke endotelium dan masuk ke dalam jaringan. Proses ini dikenal sebagai ekstravasasi (Murphy at al, 2007).

Bagian tubuh yang mengalami inflamasi memiliki tanda-tanda sebagai berikut: tumor atau membengkak, calor atau menghangat, dolor atau nyeri, rubor atau memerah, functio laesa atau daya pergerakan menurun, dan kemungkinan disfungsi organ atau jaringan (Janeway at al, 2001, Murphy at al, 2007).

Nyeri hampir selalu merupakan manifestasi dari proses patologi yang sering menjadi keluhan utama yang dirasakan pasien sehingga mencari pertolongan ke dokter atau praktisi kesehatan lain. Penanganan nyeri itu sendiri harus ditujukan terhadap proses yang mendasari dari timbulnya nyeri tersebut, termasuk dalam usaha mengontrol nyeri yang terjadi. Pasien


(21)

biasanya menerima penatalaksanaan nyeri dari dokter umum atau spesialis setelah diagnosis ditegakkan dan penanganan terhadap proses penyakit yang mendasari nyeri tersebut mulai dilakukan (Morgan et al., 2006)

Marsaban et al (2009) membedakan beberapa tipe atau jenis nyeri, yaitu pertama nyeri nosiseptif yang disebabkan oleh aktivasi nosiseptor (reseptor nyeri) sebagai respon terhadap respon yang berbahaya, kedua adalah nyeri neuropatik yaitu nyeri yang disebabkan oleh sinyal yang diproses di sistem syaraf perifer atau pusat yang menggambarkan kerusakan sistem syaraf. Terdapat beberapa hal yang sama pada pola nyeri yaitu pola distribusi temporal dan spasial, karakteristik nyeri (superfisial dan dalam), gejala-gejala klinis yang diakibatkannya, dan petunjuk-petunjuk penting lainnya yang dapat mengarahkan ke suatu diagnosis dan penatalaksanaan.

Nyeri akibat kerusakan jaringan bisa terjadi karena ada kerusakan jaringan itu sendiri (nyeri nosiseptif), karena adanya reaksi inflamasi (inflammatory pain), dan bisa juga karena adanya kerusakan jaringan syaraf yang disebut nyeri neuropatik (neuropatic pain). Nyeri pasca bedah adalah suatu nyeri akut yang termasuk nyeri patologik dan terjadi oleh sebab kerusakan jaringan dan reaksi inflamasi. Sensasi nyeri yang dirasakan pasca bedah bisa disebabkan oleh karena ada sensitisasi syaraf perifer dan sensitisasi syaraf sentral. Dari segi perjalanan waktu, nyeri terbagi atas nyeri akut dan nyeri kronik, dimana nyeri pasca bedah termasuk dalam nyeri akut. Nyeri akut selalu disebabkan oleh adanya kerusakan jaringan (nosiseptif), sedangkan nyeri kronik tidak selalu disebabkan oleh adanya nosiseptif ini.


(22)

Nyeri akut yang tidak ditangani dengan baik bisa berkembang menjadi nyeri kronik (Lalenoh, 2009)

2. Persepsi Nyeri dan Nosisepsi

Salah satu fungsi saraf yang penting adalah menyediakan informasi tentang adanya ancaman bahaya atau cedera. Stimulasi suhu (>42oC), kimia (misalnya pH, produk plasma) atau kerusakan mekanis pada ujung sensorik perifer akan menimbulkan keluhan secara verbal dan usaha menghindar pada manusia. Nosiseptor adalah aferen-aferen primer yang berespon terhadap stimulasi yang berbahaya dan intens. Pertama, stimulasi nyeri mencetuskan aktivitas pada grup aferen primer di neuron-neuron ganglion sensorik (nosiseptor). Melalui sistem spinal dan berbagai sistem intersegmental, informasi tersebut mengakses pusat supraspinal di batang otak dan talamus. Sistem poyeksi ini mewakili dasar rangsangan somatik dan visera yang memberikan hasil berupa usaha menarik diri atau keluhan verbal (Marsaban et al, 2009)

Nosisepsi merupakan istilah yang menunjukkan proses penerimaan informasi nyeri yang dibawa dari reseptor perifer di kulit dan viseral ke korteks serebri melalui penyiaran neuron-neuron. Neuron-neuron sensorik pada akar dorsal ganglia mempunyai ujung tunggal yang bercabang ke akson-akson perifer dan sentral. Akson perifer mengumpulkan input sensorik dari reseptor jaringan, sementara akson sentral menyampaikan input sensorik tersebut ke medula spinalis dan batang otak. Akson sensorik


(23)

(aferen nosiseptif) tersebar luas di seluruh tubuh (kulit, otot, persendian, visera, meninges) dan terdiri dari tiga macam serabut saraf (tabel 1.1) (Marsaban et al, 2009)

3. Mediator Inflamasi dan Modulator Nyeri

Kerusakan jaringan seperti misalnya akibat infeksi, inflamasi atau iskemia, akan memicu produksi berbagai mediator yang bekerja langsung melalui ligant-gated ion channel atau dapat pula melalui reseptor metabotropik yang berkaitan dengan sistem second messenger untuk dapat mengaktifkan dan atau mensensitasi nosiseptor. Sistem ini diatur secara khusus dengan memperhatikan hubungan linier antara intensitas rangsangan, aktivitas pada nosiseptor, besar pengaruh pelepasan transmiter spinal dan aktivitas neuron yang memproyeksi medula spinalis ke otak (Marsaban et al, 2009).

Jumlah mediator inflamasi dan nyeri semakin bertambah dan tidak hanya terbatas dengan mediator-mediator seperti yang di atas, tetapi juga berbagai sitokin, kemokin dan faktor-faktor pertumbuhan yang harus diperhatikan. Akhir-akhir ini diidentifikasi kepentingan relatif untuk setiap perbedaan mediator dan mekanisme kerja pada saat nyeri. (Marsaban et al, 2009)

Tahap proses terjadinya nyeri diawali dengan transduksi. Kerusakan jaringan menyebabkan terlepasnya substansi kimiawi endogen berupa bradikinin, substansi P, serotonin, histamin, ion H, ion K, dan prostaglandin.


(24)

Zat kimia ini terlepas ke dalam cairan ekstraseluler yang melingkupi nosiseptor. Kerusakan membran sel akan melepaskan senyawa phospholipid yang mengandung asam arakhidonat dan terjadi aktivasi ujung aferen nosiseptif. Asam arakhidonat atas pengaruh prostaglandin (PG) endoperoxide synthase akan membentuk cyclic endoperoxide (PGG2 dan PGH2) akan membentuk mediator inflamasi sekaligus mediator nyeri tromboksan (TXA2), prostaglandin (PGE2, PG2α), prostasiklin (PGI2). Terbentuk pula leukotrien (LT) atas pengaruh 5-lipooksigenase. Setelah kerusakan jaringan timbul mediator nyeri atau inflamasi berupa substansi P, PGs, LTs dan bradikinin. Dari sel mast dilepaskan histamin. Kombinasi senyawa ini menimbulkan vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas vaskuler lokal sehingga membantu gerakan cairan ekstravasasi ke dalam ruang interstisial jaringan rusak. Proses ini mengawali mekanisme respon inflamasi yang merupakan langkah pertama dalam proses pertahanan jaringan dan reparasi luka. Mediator juga mengaktifkan nosiseptor. PGs dan LTs tidak langsung mengaktifkan melainkan mensensitisasi nosiseptor agar dapat distimuli oleh senyawa lain seperti bradikinin, histamin sehingga terjadi hiperalgesia, yaitu respon stimuli yang meningkat, pada kondisi normal sudah menimbulkan sakit. Pelepasan mediator kimiawi terus menerus dapat menyebabkan stimulasi dan sensitisasi terus menerus pula sehingga terjadi hiperalgesia, alodina dan proses berakhir sesudah terjadi proses penyembuhan. Selanjutnya leukotrien D4 (LTD4) mengaktifkan makrofage dan basofil yang akan menstimuli dan meningkatkan pelepasan


(25)

eikosanoid, yaitu metabolit yang terlepas akibat terjadinya metabolisme asam arakhidonat. Leukotrien D4 juga melepas substansi P dan secara tidak langsung bekerja pada neuron sensoris dengan menstimuli sel lain untuk melepaskan bahan neuron aktif. Lekosit PMN melepaskan leukotrien B4 (LTB4). Keduanya berperan dalam sensitisasi nosiseptor. Pada inflamasi, sistem imun akan melepaskan sitokin proinflamasi : interleukin IL1β, IL6, TNF, IFN. Sitokin ini dengan cepat akan berinteraksi dengan saraf perifer melalui mediator. IL1β berinteraksi dengan neuron sensoris, mengaktifkan eikosanoid dalam sel seperti fibroblas dan menyebabkan terlepasnya prostaglandin. Platelet dan sel mast melepas serotonin yang langsung mengaktifkan atau mensensitisasi nosiseptor dan menimbulkan hiperalgesia. Proses transduksi dapat dihambat oleh obat anti inflamasi non steroid (AINS). Setelah terjadinya transduksi yang dipicu oleh adanya mediator inflamasi maka akan dilanjutkan dengan proses transmisi, modulasi dan persepsi (Gambar 2.1) (Setiabudi, 2005).


(26)

Gambar.2.1. jaras nyeri ( sumber Gottschalk A et al. Am Fam physician 2001 and kehlet H et al anesth analg 1993 )

Pada awal fase transduksi yang dipicu adanya mediator inflamasi yang dihasilkan dari kerusakan jaringan seperti prostaglandin, leukotrien dan prostasiklin yang merupakan hasil metabolisme dari asam arakhidonat (Gambar 2.2). Semakin besar kerusakan jaringan yang ada semakin besar pula mediator inflamasi yang dihasilkan dan semakin luas juga proses inflamasi yang terjadi sehingga akibat yang ditimbulkan yaitu nyeri juga akan semakin besar dirasakan (Baratawidjaja, 2006; Mansjoer, 2003)


(27)

Gambar 2.2 Jalur pelepasan dan metabolisme asam arakidonat (Sumber: Smyth & Fitgerald, 2012)

Sindroma nyeri inflamasi dan nyeri neuropati dianggap sesuatu yang berbeda. Inflamasi merupakan fenomena yang khas, yang melibatkan kaskade dari sel-sel imun , seperti sel mast, neutrofil, makrofage dan limfosit-T. Sel-sel imun tersebut menghasilkan komponen-komponen sebagai mediator nyeri. Beberapa tipe sel imun juga berperan penting dalam patogenesis dan berubahnya karakter proses nosisepsi pada nyeri neuropatik perifer. Walaupun peran dan waktu pemunculan sel-sel tersebut belum jelas benar, mereka tampak bersamaan pada saat proses inflamasi terjadi. Gambar 2.3 menjelaskan, pasca cedera sel mast dan makrofage diaktifkan, beberapa blood-born immune cells termasuk netrofil dilibatkan dalam usaha


(28)

melakukan aksi algesik baik secara langsung di nosiseptor maupun tidak langsung dengan melepaskan berbagai mediator imun (Thackeret al., 2007).

Gambar 2.3 Imunofisiologi nyeri inflamasi (Sumber : thacker et al., 2007). Dalam responnya terhadap cedera,sel-sel imun setempat teraktivasi,

dan blood-borne immune cells dikerahkan ketempat cedera. Disamping sebagai pertahanan, sel imun berperan juga dalam munculnya sensitisasi nosiseptor perifer melalui sintesa dan pelepasan mediator inflamasi serta interaksinya dengan neurotransmiter dan reseptor-reseptornya. Sel-sel imun ,sel glia dan sel syaraf membentuk jaringan yang terintegrasi yang mengkoordinir respon imun dan memodulasi eksitabilitas dari jalur nyeri (Ren& Dubner, 2010).

4. Asam Arakhidonat

Asam arakhidonat merupakan prekusor eikosanoid yang paling penting dan terbanyak, merupakan asam lemak 20-karbon (C20) yang


(29)

mengandung empat ikatan ganda yang dimulai pada posisi omega-6 untuk menghasilkan asam 5,8,11,1eikosatetraenoat (dinyatakan dengan C20: 4-6). Eikosanoid sendiri adalah hasil produk oksigenasi asam lemak rantai panjang tak jenuh ganda, banyak ditemukan pada hewan dan juga ditemukan bersama prekusornya pada berbagai jenis tumbuhan. Agar sisntesis eikosanoid dapat terjadi, mula-mula asam arakidonat harus dilepaskan atau dimobilisasi dari fosfolifid membran oleh satu atau lebih lipase dari tipe fosfolipase A2 (PLA2) (Gambar 2.2). Setidaknya ada tiga fosfolipase yang memperantarai pelepasan arakidonat dari lipid membran: PLA2 sitosol, PLA2 sekretori dan PLA2 yang tak bergantung pada kalsium. Selain itu, arakhidonat juga dilepaskan oleh kombinasi fosfolipase C dan lipase digliserida (Smyth & Fitgerald, 2012)

Setelah terjadinya mobilisasi, asam arakhidonat dioksigenasi melalui empat jalur terpisah: jalur siklooksigenase (COX), lipoksigenase (LOX), epoksigenase P450 dan isoproston. Sejumlah faktor menentukan jenis eikosanoid yang disintesis yaitu spesies, jenis sel dan fenotipe tertentu sel. (Smyth & Fitgerald, 2012)

5. Sintesis Eikosanoid

Eikosanoid merupakan senyawa yang disintesis dari arakhidonat dan beberapa asam lemak tak jenuh ganda C20 (eikosanoat) yang umumnya terdapat dalam bentuk teresterifikasi dalam membrane sel (fosfolipid). Eikosanoid yang terdiri atas prostaglandin, tromboksan, leukotrien, dan


(30)

lipoksin merupakan salah satu pengatur fungsi sel paling kuat di alam dan dihasilkan oleh hampir setiap sel tubuh. Zat-zat ini aktif secara fisiologis ataupun farmakologis (Murray et.al, 2006)

a. Jalur siklooksigenase

Dua isozim COX yang unik mengubah asam arakhidonat menjadi endoperoksida prostaglandin. Sintase PGH-1 (COX-1) diekspresikan secara konstan pada kebanyakan sel tanpa adanya rangsangan dari luar. Sebaliknya, sintase PGH-2 (COX-2) dapat dirangsang, ekspresinya sangat bervariasi bergantung pada stimulus. COX-2 merupakan produk gen respon dini yang terangsang secara bermakna oleh shear stress, faktor pertumbuhan, promotor tumor dan sitokin. COX-1 menghasilkan prostanoid unruk perlindungan seperti sitoprotektif epitel lambung, sedangkan COX-2 merupakan sumber utama prostanoid pada inflamasi dan kanker. Terdapat proses fisiologis dan patofisiologis yang melibatkan masing-masing enzim secara unik dan ada keadaan lain ketika keduanya berfungsi secara sinergis. Contohnya, COX-2 epitel merupakan sumber utama prostasiklin vaskular, sedangkan prostanoid yang berasal dari COX-2 ginjal penting untuk perkembangan ginjal yang normal dan pemeliharaan fungsinya. Varian COX-3 telah ditemukan pada anjing, namun kelihatannya tidak berhubungan secara fungsional dengan spesies lainnya (Smyth & Fitgerald, 2012, Baratawidjaja, 2006)

Sintase sangat penting karena pada tahap inilah obat antiinflamasi nonsteroid menimbulkan efek terapinya. Indometasin dan sulindac


(31)

bersifat sedikit selektif untuk COX-1. Meklofenamat dan ibuprofen kira-kira sama kuatnya untuk COX-1 dan COX-2, sedangkan celecoxib, diklofenak, refecoxib, limiracoxib dan etoricoxib menghambat COX-2 dengan selektivitas yang meningkat. Aspirin mengasetilasi dan menghambat kedua enzim secara kovalen. Dosis rendah (<100 mg/hari) menghambat khususnya, namun tidak secara ekslusif untuk COX-1, sedangkan pada dosis yang lebih tinggi dapat menghambat COX-1 dan COX-2 (Smyth & Fitgerald, 2012).

Prostaglandin, tromboksan dan prostasiklin yang secara keseluruhan disebut sebagai prostanoid dibentuk melalui kerja isomerase dan sintase. Prostaglandin berbeda satu dengan yang lainnya karena dua hal: substituen cincin pentana (yang dinyatakan dengan hurup terakhir, misal, E dan F pada PGE dan PGF) dan jumlah ikatan ganda pada rantai samping (dinyatakan dengan subscript, misal PGE1 dan PGE2. Prostasiklin (PGI2, epoprostenol) disintesis terutama oleh endotel vaskular dan merupakan suatu vasodilatator kuat dan inhibitor agregasi trombosit (Smyth & Fitgerald, 2012).


(32)

Gambar 2.4 Biosintesis prostanoid (prostaglandin, tromboksan dan prostasiklin) (Sumber: Smyth & Fitgerald, 2012)

Tromboksan (TXA2) memiliki efek agregasi trombosit dan vasokontriksi. Oleh karena itu antagonis TXA2 dan inhibitor sintesisnya telah dikembangkan untuk indikasi kardiovaskular meskipun penggunaan klinis obat-obat ini (kecuali aspirin) masih harus dipastikan (Smyth & Fitgerald, 2012).

b. Jalur lipoksigenase

Metabolisme asam arakhidonat oleh 5-,12-, dan 15-lipoksigenase (LOX) menghasilkan produk asam hidroperoksieikosatetraenoat (HPETE) dan leukotrien (Gambar 2.5). Arakhidonat yang dimetabolisme melalui penggabungan molekul oksigen oleh 5-LOX,


(33)

disertai dengan protein pengaktivasi 5-LOX (FLAP) kemudian menghasilkan epoksida leukotrien A4 (LTA4) yang tidak stabil. Zat antara ini dapat berubah menjadi dihidroksi leukotrien B4 atau berkonjugasi dengan glutation untuk menghasilkan leukotrien C4 (LTC4) yang mengalami degradasi bertahap pada gugus glutation oleh peptidase untuk membentuk LTD4 dan LTE4. Ketiga produk ini dikenal sebagai leukotrien sisteinil atau peptidoleukotrien. Secara neuroendokrin LTC4 dan LTD4 merangsang sekresi LHRH dan LH (Smyth & Fitgerald, 2012).

LTC4 dan LTD4 merupakan bronkokontriktor yang poten menyebabkan peningkatan permeabilitas mikrovaskular, eksudasi plasma dan sekresi mukus di saluran napas dan dikenal sebagai komponen utama dari substansi bereaksi-lambat anafilaksis (SRS-A) yang disekresikan pada asma dan anafilaksis. Kedua leukotrien ini juga yang berperan penting dalam kemampuan mengundang sel-sel inflamasi bermigrasi ke tempat dimana jaringan atau sel mengalami kerusakan atau inflamasi yang disebut efek kemotaktik (Smyth & Fitgerald, 2012, Crawley et al, 1995).

LTC4 dan LTD4 efek pada jantung dapat mengurangi kontraktilitas miokardium dan aliran darah koroner yang menyebabkan depresi miokardium (Smyth & Fitgerald, 2012).


(34)

Gambar 2.5 Biosistesis leukotrien (LT): LTC4, LTD4 dan LTE4 secara keseluruhan dikenal sebagai leukotrien sisteinil (CysLTs). glutamil transpeptidase (GT), glutamil leukotrienase (GL) (Sumber: Smyth &

Fitgerald, 2012)

6. Dexamethason

Dexamethasone merupakan golongan adrenokortikosteroid sintetik long acting yang terutama mempunyai efek glukokortikotiroid dan mempunyai aktifitas anti inflamasi, antialergi, hormonal dan efek metabolik.


(35)

a. Struktur Kimia

Dexamethason memiliki nama bangun yaitu 9-Fluoro-11β,17,21 -trihidroksi-16α-metilpregna-1,4-diena-3,20-dion. Formula molekul dari dexamethason adalah C22H29FO5dan memiliki berat molekul 392,47

g/mol (Pubchem, 2013; Ganiswara, 2000).

Gambar 2.6. Rumus molekul dexamethason (Sumber : Pubchem, 2013, Ganiswara, 2000).

b. Mekanisme Kerja

Dexamethason sebagai antiinflamasi glukokortikoid bekerja dengan hambatan aktivitas dari enzim fosfolipase A2 sehingga senyawa arakhidonat tidak terbentuk sehingga jalur setelahnya tidak terjadi yaitu metabolisme arakhidonat melaui jalau COX yang menghasilkan prostaglandin, tromboksan A2 dan prostasiklin, dan jalur LOX yang menghasilkan leukotrien. Pada banyak penelitian dan kondisi klinis, dexamethason tercatat mampu mencegah atau mengurangi proses inflamasi dan mengurangi pelepasan histamin, protease sel mast, myeloperoxidase leukotriens, PAF dan bermacam-macam prostaglandin. Dexamethason dapat mendepresi sistem imun (immunosupresan) yaitu commit to user


(36)

hambatan proliferasi dari sel leukosit teutama limfosit sehingga antibodi (imunoglobulin) tidak diproduksi (Mansjoer, 2003, Ganiswara, 2000)

Dexamethason dapat menghambat perkembangan reseptor Fc

epsilon receptor I (FcεRI) yaitu reseptor IgE pada sel mast sehingga

berkontribusi dalam hambatan proses degranulasi sel mast (Kurniawan, 2013)

c. Farmakokinetik

Menurut Widodo (1993), ikatan protein plasma dexamethason yaitu 70% (pada dosis yang lebih tinggi lebih kecil), terikat pada transcortin (afinitas tinggi, kapasitas kecil) dan pada albumin (afinitas rendah, kapasitas besar). Informasi tentang kecepatan dan tingkat absorpsi obat jarang mempunyai kepentingan klinis.

Proses absorpsi, distribusi dan eliminasi (metabolisme dan ekskresi) yang dialami oleh hampir semua obat pada dosis terapi mengikuti kinetika tahap pertama, artinya kecepatan proses-proses tersebut sebanding dengan jumlah obat yang ada (yang tinggal). Jadi jumlah obat yang diabsorpsi, distribusi dan dieliminasi persatuan waktu makin lama makin sedikit, sebanding dengan jumlah obat yang masih belum mengalami proses tersebut (Pubchem, 2013, Setiawati, 2005). d. Sediaan, Dosis, dan Cara Pemberian

Sediaan dexamethason tablet untuk pengunaan oral yaitu 0,5 mg, dan 0,75, 1, 1.5, 2, 4 and 6 mg USP, Dexamethasone Oral Solution, 0.5 mg per 5 mL dan Dexamethasone Oral Solution (Concentrate), 1 mg per


(37)

mL untuk penggunaan peroral. Penggunaan parenteral injeksi ampul 1 mL larutan 0,5% atau 5 mg/mL. Ada juga sedian injeksi ampul 0,4% atau 4 mg/mL Dosis peroral bisa diberikan dengan dosis awal 0,5 – 9 mg per hari tergantung kebutuhan dan indikasi. Pada pasien anak, dosis awal dexamethason sangat tergantung pada spesifikasi penyakit yang diderita. Dosis awal antara 0,02 sampa 0,3 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi tiga atau empat (0.6 - 9 mg/m2bsa/hari) (Pubchem, 2013)

e. Efek Samping

Efek samping berikut adalah tipikal untuk semua kortikosteroid sistemik; gangguan pada cairan dan elektrolit,retensi sodium, retensi cairan, gagal jantung kongestif, kehilangan kalium pada pasien yang rentan, hipokalemia alkalosis, hipertensi.Jaringan otot ; steroid miopati, lemah otot, osteoporosis, nekrosis aseptik, keretakan tulang belakang, keretakan pathologi.Saluran pencernaan; ulserasi peptik dengan kemungkinan perforasi dan perdarahan, pankreatitis, ulserasi esofagitis, perforasi pada perut, perdarahan gastrik, kembung perut. Peningkatan Alanin Transaminase (ALT, SGPT), Aspartat Transaminase (AST, SGOT), dan Alkaline Phosphatase telah diteliti pada pengobatan dengan kortikosteroid. Dermatologi : mengganggu penyembuhan luka, menipiskan kulit yang rentan, petekie, ekimosis, eritema pada wajah, banyak keringat.Metabolisme : Keseimbangan nitrogen yang negatif sehubungan dengan katabolisme protein. Urtikaria dan reaksi alergi lainnya, reaksi anafilaktik dan reaksi hipersensitif. dilaporkan pernah terjadi pada


(38)

pemberian oral maupun parenteral.Neurologi : Peningkatan tekanan intrakranial, perubahan fisik, pseudotumor cerebri, dan epilepsi.Endokrin : Menstruasi yang tidak teratur, terjadinya keadaan “cushingoid“, supresi pada pituitary-adrenal axis, penurunan toleransi karbohidrat, timbulnya gejala diabetes mellitus laten, peningkatan kebutuhan insulin atau hypoglikemia oral, menyebabkan diabetes, menghambat pertumbuhan anak, tidak adanya respon adrenokortikoid sekunder dan pituitary, khususnya pada saat stress atau trauma, dan sakit karena operasi.Mata : Katarak posterior subkapsular, peningkatan tekanan intrakranial, glaukoma dan eksophtalmus (Pubchem, 2013).

7. Ketorolac

Ketorolac tromethamine adalah obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) yang sudah digunakan sejak 1990 dan merupakan OAINS parenteral yang diindikasikan untuk nyeri pascaoperasi (Marino dan Sutin, 2007 cit. Setyono, 2009).

a. Stuktur kimia

Ketorolac memiliki nama bangun (±)-5-benzoyl-2,3 - dihydro - 1H - pyrrolizine-1-carboxylic acid, 2-amino-2-(hydroxymethyl)-1,3-propanediol. Rumus kiminya adalah C15H13NO3 dan dengan berat molekul sebesar255.27 g/mol.


(39)

Gambar 2.7 Rumus molekul ketorolac(Sumber : Pubchem, 2013) b. Mekanisme kerja

Asam arakhidonat dari kerusakan sel atau jaringan akan dimetabolisme salah satunya melewati jalur siklooksigenase yang menghasilkan produk inflamasi: prostaglandin, tromboksan A2 dan prostasiklin yang memiliki peran dalam proses inflamasi pasca trauma. Ketorolac bekerja dengan cara mempengaruhi enzim siklooksigenase yaitu terjadinya hambatan enzim siklooksigenase sehingga produk endoperoksid tidak terbentuk. Pemberian ketorolac atau OAINS secara tunggal tanpa pemberian obat yang mempengaruhi metabolisme asam arakhidonat pada jalur lioksigenase akan memicu lebih banyak lagi metabolisme asam arakhidonat pada jalur ini, sehinga akan lebih banyak leukotrien dihasilkan (Smyth & Fitgerald, 2012, Mansjoer, 2003, Ganiswara, 2000).

c. Farmakokinetik

Ketorolac tromethamine diserap dengan cepat dan lengkap setelah pemberian intramuskular dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma sebesar 2,2 mcg/ml setelah 50 menit pemberian dosis commit to user


(40)

tunggal 30 mg. Waktu paruh terminal plasma 5,3 jam pada dewasa muda dan 7 jam pada orang lanjut usia (usia rata-rata 72 tahun).

d. Sediaan, Dosis dan Cara Pemberian

Ketorolac tromethamine tersedia dalam bentuk tablet dan injeksi. Pemberian injeksi lebih dianjurkan. Pemberian Ketorolac tromethamine hanya diberikan apabila ada indikasi sebagai kelanjutan dari terapi Ketorolac tromethamine dengan injeksi. Terapi Ketorolac tromethamine baik secara injeksi ataupun tablet hanya diberikan selama 5 hari untuk mencegah ulcerasi peptic dan nyeri abdomen. Efek analgesic Ketorolac tromethamine selama 4-6 jam setelah injeksi.

Untuk injeksi intramuscular pasien dengan umur <65 tahun diberikan dosis 60 mg Ketorolac tromethamine/dosis. Pasien dengan umur >65 tahun dan mempunyai riwayat gagal ginjal atau berat badannya kurang dari 50 kg, diberikan dosis 30 mg/dosis. Untuk injeksi intravena : pasien dengan umur <65 tahun diberikan dosis 30 mg ketorolac tromethamine/dosis. Pasien dengan umur >65 tahun dan mempunyai riwayat gagal ginjal atau berat badannya kurang dari 50 kg, diberikan dosis 15 mg/dosis. Pemberian ketorolac tromethamine baik secara injeksi maupun oral maksimal : pasien dengan umur <65 tahun diberikan dosis 120 mg/hari. Bila diberikan dengan injeksi intravena, maka diberikan setiap 6 jam sekali. Pasien dengan umur >65 tahun maksimal 60 mg/hari.


(41)

e. Efek Samping

Selain mempunyai efek yang menguntungkan, Ketorolac tromethamine juga mempunyai efek samping. Efek pada gastrointestinal: Ketorolac tromethamine dapat menyebabkan ulcerasi peptic, perdarahan dan perlubangan lambung. Sehingga Ketorolac tromethamine dilarang untuk pasien yang sedang atau mempunyai riwayat perdarahan lambung dan ulcerasi peptic. Efek pada ginjal: Ketorolac tromethamine menyebabkan gangguan atau kegagalan depresi volume pada ginjal, sehingga dilarang diberikan pada pasien dengan riwayat gagal ginjal. Ketorolac tromethamine menghambat fungsi trombosit, sehingga terjadi gangguan hemostasis yang mengakibatkan risiko perdarahan dan gangguan hemostasis. Dalam pemberian Ketorolac tromethamine bisa terjadi reaksi hypersensitivitas dari spasme bronkus hingga shock anafilaktik, sehingga dalam pemberian Ketorolac tromethamine harus diberikan dosis awal yang rendah

8. Neutrofil

Neutrofil (leukosit polimorfonuklear / PMN) adalah granulosit dalam sirkulasi yang berperan dalam inflamasi akut, bermigrasi ke jaringan sebagai respon terhadap invasi mikroba. Dalam kerjanya neutrofil juga berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun spesifik. Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingkat, yaitu kemotaksis,


(42)

menangkap, memakan (fagositosis), membunuh, dan mencerna (Stites et.al, 1997)

Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis, tetapi sel utama yang berperan dalam pertahanan non-spesifik adalah sel mononuklear (monosit dan makrofag) serta sel polimorfonuklear atau granulosit (neutrofil, eosinofil, basofil) (Stites et.al, 1997; Baratawidjaja, 2006).

Sistem imun non spesifik (alamiah/natural/innate) merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi berbagai serangan mikroorganisme, oleh karena dapat memberikan respon langsung, sedangkan sistem imun spesifik ( didapat / adaptive / acquired ) membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan responsnya. Disebut sistem imun non spesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu, telah ada pada tubuh kita dan siap berfungsi sejak lahir (Baratawidjaja, 2006).

Fagosit polimorfonuklear atau polimorf atau granulosit dibentuk dalam sumsum tulang dengan kecepatan 8 juta/menit dan hidup selama 2-3 hari. Neutrofil merupakan 70% dari jumlah leukosit dalam sirkulasi . Biasanya hanya berada dalam sirkulasi kurang dari 48 jam sebelum bermigrasi. Neutrofil dan juga granulosit lainnya ditemukan juga diluar pembuluh darah oleh karena dapat menembus dinding pembuluh darah. Fungsi utama neutrofil adalah fagositosis. Jumlah polimorf yang menurun


(43)

sering disertai dengan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi (Baratawidjaja, 2006).

Neutrofil dengan proses kemotaksis berfungsi sebagai fagosit dan bakterisid yang mengontrol kontaminasi lokal dan mencegah infeksi. Neutrofil melepaskan protease yaitu elastase dan kolagenase yang berfungsi untuk memperbaiki kerusakan sel, merubah extracellular matrix dan membersihkan luka dari sel yang rusak. Luka yang bersih, bebas infeksi akan memperbaiki penyembuhan luka (Baratawidjaja, 2006; Salo, 1992).

Di jaringan sasaran, neutrofil aktif mematikan dan menghancurkan mikroba. Jumlahnya meningkat cepat dan mencapai puncaknya dalam 24 – 48 jam. Bila tidak terjadi infeksi, neutrofil berumur pendek dan jumlahnya menurun dengan cepat setelah hari ke-3 (Morisaki et.al, 1997).

Neutrofil akan bereaksi terhadap inflamasi dengan berakumulasi mendekati sel endotel dinding venula. Proses ini disebut marginasi. Akumulasi dan penempelan neutrofil pada permukaan endotel terjadi karena adanya molekul adhesi yang dilepaskan endotel akibat pengaruh IL-1 yang diproduksi neutrofil. Molekul adhesi tersebut antara lain P-selektin, intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Selanjutnya neutrofil bergulir pada permukaan endotel akibat daya dorong aliran plasma. Penempelan neutrofil pada endotel makin kuat dan bergerak aktif secara diapedesis, kemudian berhenti dan mengeluarkan pseudopodia,


(44)

mengerutkan diri menyusup melewati celah antara membran basalis sel endotel dan bermigrasi meninggalkan kapiler menuju jaringan interstitial yang rusak (Morisaki et.al, 1997).

Akhir dari proses ini akan terjadi apoptosis, yaitu suatu proses yang merupakan regulasi dari bunuh diri sel. Selanjutnya neutrofil yang melakukan apoptosis akan terisolasi dari daerah infeksi. Berbeda dengan kematian sel secara degeneratif atau nekrosis, apoptosis mempunyai karakteristik seperti sel yang menyusut, mengendap, kondensasi kromatin, dan kondensasi intranukleosomal DNA. Apoptosis akan melimitasi risiko kerusakan jaringan dengan melepaskan oksigen reaktif dan meningkatkan perbaikan terhadap respon infeksi (Udelsman, 2002).

Pada mekanisme biologis neutrofil, leukotrien dan mediator inflamasi memiliki peran yang cukup penting. Leukotrien merupakan agen yang sangat penting dalam respon inflamasi. Beberapa seperti LTB4 memiliki efek kemotaktik dalam migrasi neutrophil, dan dapat membantu sel yang dibutuhkan ke jaringan. Leukotrien juga memiliki efek yang kuat dalam bronkokonstriksi dan meningkatkan permeabilitas vaskuler (Dahlen et.al, 1981).

9. Hubungan dexamethason dan ketorolac terhadap kadar neutrofil Dexamethason merupakan kortikosteroid yang mampu menghambat sintesis eikosanoid, kemungkinan dengan merangsang sintesis beberapa protein penghambat yang secara kolektif disebut aneksin atau lipokortin.


(45)

Zat-zat ini menghambat aktivitas fosfolipase A2, kemungkinan dengan menggangu pengikatan fosfolipid dan dengan demikian mencegah pelepasan asam arakhidonat. NSAID tidak menghambat aktivasi lipoksigenase bahkan dengan mencegah konversi asam arakhidonat melalui jalur COX, ini bisa menyebabkan lebih banyak substrat yang dimetabolisme melalui jalur lipoksigenase yang menyebabkan meningkatnya pembentukan leukotrien peradangan (Mansjoer, 2003; Sayed et al, 1989)

Pada penelitian Ghupta et al. (2006) dan Murphy et al. (2011) pemberian dexamethason dosis rendah (5 mg intravena) preoperasi dapat mencegah terjadinya postoperative neusea vometing (PONV) dan mengurangi nyeri post operasi pada pasien yang dilakukan operasi laparoscopic cholecystectomy. Pada penelitian lain pemberian dexamethason dosis tunggal preoperatif dengan dosis antara 1,25- 20 mg secara statistik dapat memberikan keuntungan dan dengan signifikan memberikan efek analgesik post operasi, namun peningkatan kadar gula darah terjadi pada 24 jam pertama post operasi (Waldron et al., 2012).

Pemberian kortikosteroid sistemik dosis tinggi dapat menurunkan sensitisasi kemotaktik neutrofil dan penyerapan jaringan berikutnya. Selain itu, kortikosteroid dapat menghambat aktivasi sitokin (Loef et. al, 2004). Pada penelitian Mohtafizur et.al (2014) menerangkan bahwa senyawa bioaktif sphingolipid sphingosine 1-phosphate (S1P) yang menginduksi


(46)

kemoatraktan neutrofil direpresi oleh steroid deksametason. Sehingga pemberian steroid dapat menekan kadar neutrofil serum.

Akan tetapi, pada penelitian Huber et.al (1992) mengenai efek dexametason pre-operasi terhadap reaksi inflamasi setelah operasi jantung pada anak didapatkan bahwa tidak ada perbedaan respon inflamasi post-operasi antara subjek yang diberi deksametason dengan yang diberi plasebo. Penelitian ini menggunakan deksametason 1 mg/kg dan antibiotik profilaksis cefuroxim.

Ketorolac selain digunakan sebagai antiinflamasi juga memiliki efek analgesik yang bisa digunakan sebagai pengganti morfin pada keadaan pasca operasi sedang sampai berat (Marino dan Sutin, 2007 cit. Setyono, 2009). Ketorolac bekerja dengan cara mempengaruhi enzim siklooksigenase yaitu terjadinya hambatan enzim siklooksigenase sehingga produk endoperoksidasi tidak terbentuk. Pemberian ketorolac atau OAINS secara tunggal tanpa pemberian obat yang mempengaruhi metabolisme asam arakhidonat pada jalur lipooksigenase akan memicu lebih banyak lagi metabolisme asam arakhidonat pada jalur ini, sehinga akan lebih banyak leukotrien dihasilkan (Smyth & Fitgerald, 2012, Mansjoer, 2003, Ganiswara, 2000). Peningkatan leukotrien tersebut akan berdampak pada peningkatan migrasi netrofil.

Hal tersebut didukung oleh penelitian Yeon Hong (2005) yang melakukan penelitian mengenai efek pemberian ketorolak preoperatif terhadap respon sel darah putih dan nyeri pada 25 pasien dengan operasi


(47)

laparoskopi endometriosis yang diberi ketorolak 0.5mg/kg sebelum induksi anestesi. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa ketorolak intravena pre-operasi mempengaruhi leukosit dengan peningkatan neutrofil, serta penurunan monosit dan eosinofil post operasi.

Walaupun tidak dapat menekan jumlah neutrofil, ketorolac dapat menghambat adhesi neutrofil, degranulasi dan pelepasan anion superoksida (Hyers et. al, 1992)

Sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan dexamethason dan ketorolac terhadap neutrofil sebagai agen antiinflamasi serta analgetik terdapat pada mekanisme kerja kedua obat tersebut. Dexamethason memblok aktivasi fosfolipase A2 yang mengganggu pelepasan fosfolipid sebagai prekursor asam arakhidonat sehingga sekresi mediator-mediator inflamasi baik dari jalur sikloosigenase maupun jalur lipoksigenase dapat dihambat. Sedangkan ketorolac bekerja menghambat enzim siklooksigenase saja, mediator inflamasi pada jalur siklooksigenase dapat dihambat, akan tetapi ketorolac tidak menghambat pada jalur lipooksigenase sehingga kadar neutrofil akan tetap tinggi.


(48)

B. KERANGKA TEORI

Gambar 2.8 Kerangka teori

Enzim fosfolipase A2

Enzim Lipoksigenase Enzim Siklooksigenase

Keterangan:

: tidak diperiksa : yang diperiksa Trauma pembedahan

Asam Arakidonat

Hidroperoksida Endoperoksida

si

PG, Tromboksan A2, Prostasiklin

TNF α , IL-1β, IL-6,

Histamin, PGE2, NGF

Kerusakan pada membran sel

Fosfolipid

Leukotrien

Migrasi Netrofil, makropage, sel

mast

Inflamasi / Nyeri akut pasca bedah Dexamethason

Menghambat enzim fosfolipase

Ketorolac menghambat enzim

siklooksogenase


(49)

C. KERANGKA KONSEP

Gambar 2.9 Kerangka konsep

Enzim Siklooksigenase Trauma Pembedahan

Asam Arakidonat

Hidroperoksida Endoperoksidasi

PG, Tromboksan A2,

Prostasiklin Kerusakan pada membran sel

Fosfolipid

Enzim fosfolipase A2

Leukotrien Enzim Lipoksigenase

jumlah neutrofil tetap

Ketorolac

menghambat enzim siklooksogenase Dexamethason

menghambat enzim fosfolipase A2

Peningkatan jumlah neutrofil

Keterangan:

: berhubungan : deksametason : ketorolak

Anestesi

Migrasi Netrofil, makropage, sel mast


(50)

Setelah teranestesi dilakukan insisi pembedahan (trauma pada sel). Membran fosfolipid sel dengan bantuan enzim fosfolipase membentuk asam arakhidonat pada jalur lipoksigenase yang kemudian membentuk leukotrien. Kemudian diberikan dexamethason yang menghambat aktivasi enzim fosfolipase A2 sehingga asam arakhidonat tidak terbentuk dan diharapkan kadar leukotrien akan turun. Sehingga migrasi neutrofil akan terhambat. Sedangkan pemberian ketorolac menghambat jalur siklooksigenase tanpa mempengaruhi jalur lipoksigenase, sehingga kadar leukotrien tidak turun pada pemberian ketorolac,terjadi migrasi neutrofil, sehingga jumlah neutrofil pun meningkat mengakibatkan nyeri dan inflamasi pasca operasi meningkat.

D. HIPOTESIS

Ada perbedaan jumlah neutrofil dalam darah pascaincisi pada pasien yang diberikan dexamethason dibandingkan dengan pasien yang diberikan ketorolac.


(51)

36 BAB III

METODE PENELITIAN

A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RSUD Dr. Moewardi Surakarta, dimulai pada bulan mei sampai juli 2014. Penelitian ini dilakukan di Instalasi Bedah Sentral ini oleh karena tiap harinya tindakan pembedahan yang dilakukan dengan anestesi umum cukup banyak.

B. RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini merupakan uji klinik dengan desain Randomized Controlled Trial Double Blind yang pada pasien yang menjalanai operasi elektif sebagai subyek penelitian dengan tujuan mencari perbedaan pengaruh pemberian dexamethason dan ketorolac terhadap jumlah neutrofil pasca operasi. Kelompok penelitian dibagi menjadi dua yaitu kelompok dexamethason (K1), dan ketorolac (K2), penjelasannya sebagai berikut :

K1 : Kelompok pasien yang menjalani operasi elektif yang diberikan dexamethason injeksi sebelum tindakan operasi

K2 : Kelompok pasien yang menjalani operasi elektif yang diberikan ketorolac injeksi sebelum tindakan operasi


(52)

C. SAMPEL DAN TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL 1. Sampel

Populasi yang diikutsertakan dalam penelitian ini adalah pasien yang menjalani pembedahan elektif dengan status fisik ASA I dan II di Instalasi Bedah Pusat RSUD Dr.Moewardi dalam kurun waktu Mei sampai dengan Juli 2014.

Kriteria inklusi :

a. Pasien dengan operasi elektif. b. Umur 18 - 60 tahun.

c. Status fisik ASA I dan II

d. Hasil pemeriksaan darah rutin dalam batas normal. e. Pasien bersedia diikutsertakan dalam penelitian Kriteria eksklusi :

a. Pasien menolak diikutsertakan dalam penelitian b. Pasien mendapatkan terapi kortikosteroid lain c. Pasien dengan pengobatan dengan NSAID d. Pasien yang mengkonsumsi antihistamin

e. Pasien alergi terhadap dexamethason atau ketorolac 2. Besar Sampel

Pada penelitian ini terdapat dua variabel bebas yaitu pemberian dexamethason dan ketorolac dan satu variabel terikat yaitu kadar neutrofil serum, maka besar sampel minimal dapat menggunakan pedoman ”rule of thumb”. Dengan ”rule of thumb” maka besar sampel yang diperlukan


(53)

adalah 30 pasien, jadi masing-masing kelompok adalah 15 pasien (Murti, 2010).

D. VARIABEL PENELITIAN 1. Variabel Bebas

Pemberian obat antiinflamasi (dexamethason atau ketorolac) 2. Variabel Terikat

Jumlah Neutrofil

E. DEFINISI OPERASIONAL

1. Pemberian obat antiinflamasi adalah memasukkan obat antiinflamasi kepada subjek yang berupa:

a. Dexamethason adalah pemberian injeksi dexamethason dosis 0,2 mg/kgBB dua jam sebelum incisi.

Alat ukur : -

Skala pengukuran : -

b. Pemberian ketorolac adalah pemberian ketorolac injeksi intravena 30 mg dua jam sebelum insisi

Alat ukur : -

Skala pengukuran : -

2. Jumlah neutrofil merupakan jumlah neutrofil absolut dari sampel darah tepi yang dihitung dengan alat advia dengan system Flow Cytometry,


(54)

diperiksa dua kali sebelum pemberian dexamethason atau ketorolac dan satu jam setelah insisi di labolatorium klinik RSUD Moewardi Surakarta. Alat ukur : Advia

Skala data : rasio Satuan : %

Cara pengukuran : system flow cytometry

F. PERIJINAN PENELITIAN Ethical clearance

Mendapatkan ijin melakukan penelitian setelah pengkajian oleh Panitia Kelaikan Etik Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta-Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret dengan prinsip tidak melanggar etika praktek kedokteran dan tidak bertentangan dengan etika penelitian pada manusia.

Ijin Subyek Penelitian

Penelitian ini dilakukan atas persetujuan pasien atau keluarga terhadap informed consent yang diajukan peneliti, setelah sebelumnya mendapat penjelasan mengenai tujuan dan manfaat dari penelitian tersebut.


(55)

G. ALUR PENELITIAN

Gambar 3.1 Alur Penelitian

T1 : Jumlah neutrofil 2 jam sebelum insisi (base line). T2 : Jumlah Neutrofil1 - 2 jam setelah insisi.

H. JALANNYA PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Instalasi Bedah Sentral RSUD Dr. Moewardi Surakarta setelah mendapatkan persetujuan komite etik. Tata cara dilakukan sebagai berikut :

Kriteria inklusi Pasien rencana pembedahan

Sampel

Anestesi

Analisis data Kriteria Eksklusi

Randomisasi

Kelompok Ketorolac (K2)

Kelompok Dexamethason (K1)

Dexamethason 0,2 mg/kgBB IV

Ketorolac 30 mg IV Data dasar (T1)

Data kedua (T2) Irisan pembedahan


(56)

a. Pasien ASA I dan II yang tiba di kamar operasi yang dijadwalkan untuk dilakukan operasi dilakukan monitoring standar.

b. Dilakukan identifikasi identitas (nama, jenis kelamin, umur), berat badan, status fisik (ASA), dan monitoring vital sign (tekanan darah, nadi, suhu). c. Dilakukan randomisasi untuk menentukan pasien dimasukkan dalam

kelompok dexamethason (K1) atau kelompok ketorolac (K2).

d. Diambil sampel ke I (T1) darah vena sebanyak 3 mL dan dimasukkan ke dalam tabung Vacutainer, dikocok perlahan.

e. Dilakukan tindakan anestesi f. Dilakukan tindakan pembedahan

g. Setelah kurang lebih 1 - 2 jam irisan pembedahan diambil sampel kedua(T2) darah vena sebanyak 3 mL dan dimasukkan ke dalam tabung Vacutainer, dikocok perlahan.

h. Kedua sampel darah kemudian dibawa ke laboratorium klinik RSUD Moewardi Surakarta untuk diolah.


(57)

I. ALAT DAN BAHAN

Alat dan bahan yang digunakan : a. Monitor vital sign otomatis. b. Spuit 3 mL

c. Dexamethason injeksi ampul 5 mg/mL. d. Ketorolac injeksi ampul 3 % ( 30 mg/mL) e. Tabung Vacutainer tutup warna ungu. f. Alat hitung Advia

J. PENGOLAHAN DATA

Data yang didapatkan dilakukan analisis dengan program SPSS Statistic 17.0 . Data demografi dan hasil penelitian dinilai apakah distribusinya normal atau tidak dilakukan Uji Shapiro-Wilk karena jumlah sampel 30.

Untuk menilai perbedaan jenis kelamin antara kedua kelompok dilakukan dengan menggunakan uji Chi-Square Test. Untuk menguji data dasar umur dan berat badan dilakukan dengan Independent Samples t Test apabila distribusi data normal. Bila distribusi data tidak normal maka digunakan Mann-Whitney U test. Sedangkan untuk mengetahui apakah ada perbedaan bermakna antara jumlah neutrofil pada kelompok dexamethason dibandingkan dengan kelompok ketorolac dilakukan dengan Independent Samples t Test bila distribusi data normal. Bila distribusi data tidak normal maka digunakan Mann-Whitney U test. dan dianggap memiliki kemaknaan statistik apabila nilai p yang diperoleh adalah p < 0,05.


(58)

K. JADWAL KEGIATAN DAN ORGANISASI PENELITIAN Bulan Mei – Juli 2014

KEGIATAN WAKTU

Mei Juni Juli Perijinan

Pelaksanaan penelitian Pengolahan data Penyusunan laporan penelitian


(59)

44 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSUD Dr. Moewardi Surakarta, dimulai pada bulan Mei sampai Juli 2014. Pasien yang memenuhi syarat dilakukan randomisasi kemudian dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu kelompok dexamethason dan kelompok ketorolac. Kedua kelompok kemudian diukur jumlah kadar neutrofil serum sebelum dan sesudah operasi. Kemudian data dianalisa dengan program SPSS Statistic 17.0. Untuk mengetahui data demografi dan hasil penelitian dinilai terlebih dahulu apakah distribusinya normal atau tidak, dengan dilakukan Uji Shapiro-Wilk.

Tabel 4.1 Uji Normalitas Data Demografi Responden

Variabel Kelompok Statistic Df p-value Ket Usia Dexamethason 0.910 15 0.138 Normal

Ketorolac 0.885 15 0.057 Normal Berat Badan Dexamethason 0.954 15 0.590 Normal Ketorolac 0.930 15 0.227 Normal

Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa dari variabel usia maupun berat badan dari kelompok Dexamethason dan kelompok Ketorolac mendapatkan nilai p-value >0,05, yang artinya dari semua variabel tidak ada perbedaan commit to user


(60)

antara sebaran distribusi data dengan garis normal, atau dapat dikatakan distribusi data usia dan berat badan berdistirbusi normal. Karena distribusi datanya normal sehingga untuk mengetahui perbedaan usia dan berat badan mengunakan uji independen sample t-test.

Tabel 4.2 Uji Normalitas Data Jumlah Neutrofil

Neutrofil Kelompok Statistic Df p-value Ket Sebelum Dexamethason 0.939 15 0.364 Normal

Ketorolac 0.939 15 0.375 Normal Sesudah Dexamethason 0.889 15 0.065 Normal Ketorolac 0.959 15 0.670 Normal

Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa sebelum insisi maupun sesudah insisi dari kelompok Dexamethason dan kelompok Ketorolac mendapatkan nilai p-value >0,05, yang artinya dari semua variabel tidak ada perbedaan antara sebaran distribusi data dengan garis normal, atau dapat dikatakan distribusi data neutrofil berdistirbusi normal. Karena distribusi datanya normal sehingga untuk mengetahui perbedaan jumlah neutrofil pada kelompok Dexamethason dengan kelompok Ketorolac mengunakan uji independen sample t-test.


(61)

B. Analisis Hasil Penelitian

1. Analisis Demografi Responden

Data demografi pada penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia, dan Berat Badan.

a. Jenis Kelamin

Berdasarkan data yang didapat dari hasil penelitian maka diketahui distribusi data jenis kelamin dalam tabulasi silang sebagai berikut:

Tabel 4.3 Gambaran Jenis Kelamin Responden Berdasarkan Kelompok Penelitian

Jenis Kelamin

Kelompok

Total p-value Dexamethason Ketorolac

Perempuan 7 (23.3%) 4 (13.3%) 11 (36.7%) 0.256 Laki-laki 8 (26.7%) 11 (36.7%) 19 (63.3%)

Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa jumlah responden dengan jenis kelamin perempuan ada 11 pasien (36,7%), dengan 7 pasien (23,3%) pada kelompok dexamethason, dan 4 pasien (13,3%) pada kelompok ketorolac. Untuk responden dengan jenis kelamin laki-laki ada 19 orang (63,3%) dengan 8 pasien (26,7%) pada kelompok dexamethason, dan 11 pasien (36,7%) pada kelompok ketorolac. Diketahui bahwa nilai p-value 0.256 (p-value > 0,05), jadi tidak ada


(62)

perbedaan jenis kelamin antara kelompok dexamethason dengan kelompok ketorolac.

b. Usia

Berdasarkan data yang didapat dari hasil penelitian maka diketahui deskripsi data usia responden sebagai berikut:

Tabel 4.4 Gambaran Data Demografi Pasien Berdasarkan Usia (n=30)

Variabel Kelompok Min Max Mean 95%CI p-value Usia Dexamethason 18 59 42.467 34.897 ─ 50.036 0.867 (Tahun) Ketorolac 18 60 43.333 35.304 ─ 51.363

Berdasarkan tabel 4.4 diketahui usia responden pada kelompok dexamethason minimal adalah 18 tahun dan maksimal adalah 59 tahun, dengan rata-rata 42.467 (34.897-50.036) tahun, sedangkan pada kelompok Ketorolac usia minimal adalah 18 tahun dan maksimal adalah 60 tahun, dengan rata-rata 43.333 (35.304-51.363) tahun. variabel usia mendapat nilai p-value = 0,867 (p-value > 0,05) yang artinya tidak ada perbedaan yang nyata antara usia responden pada kelompok dexamethason dan kelompok Ketorolac.

c. Berat Badan

Berdasarkan data yang didapat dari hasil penelitian maka diketahui deskripsi data berat badan responden sebagai berikut:


(63)

Tabel 4.5 Gambaran Data Demografi Pasien Berdasarkan Berat Badan (n=30) Variabel Kelompok Min Max Mean 95%CI p-value Berat

Badan (Kg)

Dexamethason 40 70 54.133 49.011 ─ 59.256 0.166 Ketorolac 41 86 60.133 52.683 ─ 67.583

Berdasarkan tabel 4.5 diketahui bahwa Berat badan responden pada kelompok dexamethason minimal adalah 40 kg dan maksimal adalah 70 kg, dengan rata-rata 54.133 (49.011-59.256) kg, sedangkan pada kelompok ketorolac berat badan minimal adalah 41 kg dan maksimal adalah 86 kg, dengan rata-rata 60.133 (52.683-67.583) kg. variabel berat badan mendapat nilai p-value = 0,166 (p-value > 0,05) yang artinya tidak ada perbedaan yang nyata antara berat badan responden pada kelompok dexamethason dan kelompok Ketorolac. 2. Analisis Perbedaan Jumlah Neutrofil

a. Uji Keseimbangan Awal (sebelum insisi)

Uji ini dilakukan dengan mengambil nilai jumlah neutrofil 2 jam sebelum insisi (base line) pada kelompok dexamethason dan kelompok ketorolac. Hal ini digunakan untuk mengetahui bahwa tidak ada perbedaan jumlah neutrofil yang signifikan antara kelompok dexamethason dan kelompok ketorolac.


(64)

Tabel 4.6 Perbedaan jumlah neutrofil antara kelompok dexamethason dan kelompok ketorolac sebelum insisi (n=30)

Neutrofil Kelompok Min Max Mean 95%CI p-value Sebelum Dexamethason 47.60 70.20 60.293 57.279 ─ 63.308 0.487 (%) Ketorolac 51.20 74.10 61.987 57.801 ─ 66.173

Berdasarkan tabel 4.6 diketahui jumlah neutrofil pada kelompok dexamethason minimal adalah 47.60% dan maksimal adalah 70.20%, dengan rata-rata 60.293 (57.279-63.308)%, sedangkan pada kelompok ketorolac jumlah neutrofil minimal adalah 51.20% dan maksimal adalah 74.10%, dengan rata-rata 61.987 (57.801-66.173)%. Perbedaan jumlah neutrofil sebelum insisi mendapat nilai p-value = 0,487 (p-value > 0,05) yang artinya tidak ada perbedaan yang nyata antara jumlah neutrofil pada kelompok dexamethason dan kelompok ketorolac sebelum insisi, sehingga sampel pasien pada kelompok dexamethason dan kelompok ketorolac baik digunakan untuk diuji pada tahap selanjutnya. Berikut ini gambaran rata-rata jumlah neutrofil sebelum insisi dalam diagram batang.


(65)

Gambar 4.1 Diagram Batang Rata-Rata Jumlah Neutrofil Sebelum Insisi b. Uji Hipotesis (sesudah insisi)

Uji ini digunakan untuk mengetahui perbedaan nilai kadar neutrofil pada kelompok dexamethason dan kelompok ketorolac. dimana kelompok dexamethason mendapatkan Dexamethason dosis 0,2 mg/kbBB 2 jam sebelum dilakukan insisi. Sedangkan kelompok ketorolac mendapatkan Ketorolac dosis 30 mg intravena 2 jam sebelum dilakukan insisi. Uji ini dilakukan dengan mengambil nilai jumlah neutrofil 1 – 2 jam setelah insisi pada kelompok dexamethason dan kelompok ketorolac. Hasil uji beda dengan mengunakan independent sampel t test sebagai berikut.

40.000 45.000 50.000 55.000 60.000 65.000 70.000 Dexamethason Ketorolac 60.293 61.987 Ju m la h N e u tr o fi l ( % ) Dexamethason Ketorolac


(66)

Tabel 4.7 Perbedaan jumlah neutrofil antara kelompok dexamethason dan kelompok ketorolac sesudah insisi (n=30)

Neutrofil Kelompok Min Max Mean 95%CI p-value Sesudah Dexamethason 61.90 84.70 76.973 73.770 ─ 80.177 0.000 (%) Ketorolac 82.90 91.90 87.247 85.659 ─ 88.834

Berdasarkan tabel 4.7 diketahui jumlah neutrofil pada kelompok dexamethason minimal adalah 61.90% dan maksimal adalah 84.70%, dengan rata-rata 76.973 (73.770-80.177)%, sedangkan pada kelompok ketorolac jumlah neutrofil minimal adalah 82.90% dan maksimal adalah 91.90%, dengan rata-rata 87.247 (85.659-88.834)%. Perbedaan jumlah neutrofil sesudah insisi mendapat nilai p-value = 0,000 (p-value <0,05) yang artinya ada perbedaan yang nyata antara jumlah neutrofil pada kelompok dexamethason dan kelompok ketorolac sesudah insisi. Berikut ini gambaran rata-rata jumlah neutrofil sesudah insisi dalam diagram batang.


(67)

Gambar 4.2 Diagram Batang Rata-Rata Jumlah Neutrofil Sesudah Insisi

C. Pembahasan

Neutrofil (leukosit polimorfonuklear / PMN) merupakan granulosit dalam sirkulasi yang berperan dalam inflamasi akut, bermigrasi ke jaringan sebagai respon terhadap invasi mikroba. Dalam kerjanya neutrofil juga berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun spesifik. Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingkat, yaitu kemotaksis, menangkap, memakan (fagositosis), membunuh, dan mencerna (Stites et.al, 1997)

Terjadinya inflamasi setelah insisi pembedahan diawali dengan adanya produksi prostaglandin, prostasiklin dan leukotrien. Leukotrien memicu datangnya sel-sel lekosit seperti neutrofil, basofil dan sel mast yang melepaskan mediator inflamasi terutama yang diperankan oleh sel mast, sehingga proses inflamasi yang terjadi bertambah hebat. Beberapa mediator

70.000 72.000 74.000 76.000 78.000 80.000 82.000 84.000 86.000 88.000 Dexamethason Ketorolac 76.973 87.247 Ju m la h N e u tr o fi l ( % ) Dexamethason Ketorolac


(1)

57 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian diatas maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara jumlah neutrofil pada kelompok dexamethason dan kelompok ketorolac sesudah insisi dengan nilai p-value =0,000.

B. Saran

Penelitian ini dapat di jadikan untuk mendukung teori dalam upaya menerangkan bahwa hambatan produksi neutrofil dengan menggunakan dexamethason atau ketorolac yang dapat dilihat dari penurunan jumlah neutrofil bisa digunakan sebagai pencegahan inflamasi pasca operasi. Dexamethasone tampak lebih efektif dalam mencegah inflamasi pasca operasi dan dapat digunakan sebagai premedikasi pasien yang akan dilakukan insisi operasi.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja KG. 2006. Imunologi Dasar Edisi ke tujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

David LN dan Michael MC. 2008. Lehninger's Principles of Biochemistry, Fifth

Edition. W.H. Freeman and Co. P: 359

Forget P, Machiels JP, Coulie PG, Berliere M, Poncelet AJ, Tombal B, Stainer A, Legrand C, Canon JL, Kremer Y, De Kock M. 2013. Neutrophile: lymphocyte ratio and intraoperative use of ketorolac or diclofenac are prognostic factors in different cohorts of patiens undergoing breast, lung, and kidney cancer surgery.Ann surg oncol.2013 Dec;20 Suppl 3:S650-60

Kumaraswamy MV dan Satish S. 2008. Antioxidant and Anti-Lipoxygenase Activity of Thespesia lampasDalz & Gibs. Department of Studies in Microbiology, Herbal Drug Technology Laboratory University of Mysore, Mysore. Advances in Biological Research 2 (3-4): 56-59.. Lalenoh HJ dan Lalenoh DC. 2009. Pregabalin dan Gabapentin sebagai Analgesia

Preemptif. Majalah Anesthesia & Critical Care. Vol. 27:3.

Liu D, Xiong R, Chen X, Li P, Ning Y, Peng Y, Zhao Y, Yang N, Zhou Y. The glucocorticoid dexamethasone inhibits U937 cell adhesion and neutrophil release via RhoA/ROCK1-dependent and independent pathways. Cellular Physiology and Biochemistry : International Journal of Experimental Cellular Physiology, Biochemistry, and Pharmacology [2014, 33(6):1654-1662]

Loef BG, Henning RH, Epema AH, Rietman GW, van Ooeveren W, Navis GJ, Ebels T. 2004. Effect of Dexamethasone on Perioperative Renal Function Impairment during Cardiac Surgery with Cardiopulmonary Bypass. British Journal of Anaesthesia 93 (6): 793–8

Marsaban AHM, Bagianto H, Ma’as EM, 2009. Mekanisme dan Fisiologi Nyeri. In: Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. Jakarta: Departemen Anestesiologi FKUI. pp: 1-24.

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2006. Paint Management. In: Clinical Anesthesiology. McGraw-Hill Companies, Inc. pp: 359-412.

Murti B. 2010. Desain dan ukuran sampel untuk penelitian kualitatif dan kuantitatif di bidang kesehatan. Edisi ke-2 Yogyakarta: Gajah Mada University Press. commit to user


(3)

Murphy Glenn S., Szokol Joseph W, Greenberg Steven B, Avram Michael J, Vender Jeffery S, Nisman Margarita and Vaughn Jessica, 2011. Preoperative Dexamethasone Enhances Quality of Recovery after Laparoscopic Cholecystectomy: Effect on In-hospital and Postdischarge Recovery Outcomes. Anesthesiology Perioperative MedicineVolume 114 - Issue 4 - pp 882-890

Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2006. Biokimia Kedokteran Harper edisi 27. Jakarta: EGC

Pubchem. 2013. Methylprednisolone – Compound Summary. http://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/summary/summary.cgi?cid=6741 Setiabudi A. 2005. Perbandingan Ekspresi Sel T CD4+ di Jaringan Sekitar Luka

dengan dan Tanpa Infiltrasi Levobupivakain pada Nyeri Pasca Incisi. Tesis S2, Universitas Diponegoro, Semarang.

Setyono Kristika Catur. 2009. Pengaruh ketorolac intravena dan deksketoprofen intravena sebagai analgesia pascabedah terhadap waktu perdarahan.

Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. Pp: 1-5. Smyth EM dan Fitzgerald GA. 2012. Golongan Eikosanoid: Prostaglandin, Tromboksan, Leukotrien dan Senyawa Sejenis In:Katzung Farmakologi dasar dan klinik. Jakarta: EGC. Hal. 298-313

Thacker, MA, Clark AK, Marchand F, McMahon SB. 2007. Pathophysiology of Peripheral Neuropathic Pain: Immune Cells And Molecules. Anesth Analg. 105:838–847

Tshori S dan Razin E. 2010. Mast Cell Degranulation and Calcium Entry-the Fyn-Calcium Store Connection. Journal of Leukocyte Biology. 88: 837-838 Waldron NH, Jones C A, Gan T J, Allen TK, Hab AS. 2012. Impact of

perioperative dexamethasone on postoperative analgesia and side-effects: systematic review and meta-analysis. British Journal of Anaesthesia, 10.1093 Pp: 1-10

Yasuda M, Kido K, Ohtani N, Masaki E. 2013. Mast Cell Stabilization Promotes Antinociceptive Effect, in A Mouse Model of Postoperative Pain.

Journal of Pain Research. 3: 6, 161-6.

Yeon Hong, Jeong. 2005. The Effect of Preoperative Ketorolac on WBC Response and Pain in Laparoscopic Surgery for Endometriosis. Yonsei Medical Jouenal vol. 46: 6, pp. 812-817


(4)

Lampiran 1

SURAT PERSETUJUAN UJI KLINIK (Informed Consent)

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : ………

Umur : ………

Alamat : ………

Pekerjaan : ………

No. Rekam Medik : ………

Setelah mendapat keterangan secukupnya dan menyadari manfaat serta resiko penelitian yang berjudul “Perbedaan Pengaruh Dexamethason Dan

Ketorolac Terhadap Kadar Neutrofil Pada Pasien Pascaoperasi”.

Saya dengan sukarela menyetujui diikutsertakan dalam uji klinik diatas dan akan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam penelitian. Persetujuan ini saya buat dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan dari pihak manapun.

Surakarta,………2014 Peneliti

Haris Riyadi

Peserta

...


(5)

Lampiran 2

Formulir dan Check List Penelitian

Perbedaan Pengaruh Dexamethason Dan Ketorolac Terhadap Kadar Neutrofil Pada Pasien Pascaoperasi

No sampel :………..

Tanggal :………..

No RM :………..

Nama :………..L/P

Umur :………...

Berat badan :………...

Status Fisik : ASA I/II

Pemeriksaan T1

Sebelum induksi

T2 Sesudah induksi Sampel darah

(beri tanda √)

Pelaksana

(………)


(6)

Lampiran 3

Lembar Ethical Clearance

LEUKOTRIEN