Sengketa Akibat Pemekaran Wilayah.

(1)

KATA PENGANTAR

Pemekaran wilayah sebenarnya antara lain bertujuan untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan agar dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Prinsipnya pemerintah melayani kepentingan masyarakat dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri negara ini.

Maraknya pemekaran wilayah sebagai keberhasilan gerakan reformasi yang melahirkan otonomi daerah dengan semangat pemberdayaan masyarakat di daerah. Akibatnya banyak daerah yang ingin membentuk daerah otonomi baru. Pembentukan provinsi baru, kabupaten dan kota baru terlepas dari daerah induknya.

Namun demikian tidak semua upaya pemekaran daerah berjalan dengan baik tanpa menimbulkan gejolak. Tahapan atau proses pemekaran daerah terkadang justru menimbulkan kerusuhan yang tidak jarang menimbulkan korban jiwa. Di tahun 2009, misalnya, ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara meninggal dunia akibat amuk massa yang berkeras membentuk provinsi baru Tapanuli yang terpisah dari provinsi Sumatera Utara.

Tidak kalah hebohnya juga adalah pada tahun 2013 pemekaran kabupaten Musi Rawas Utara di Sumatera Selatan yang menelan setidak-tidaknya empat korban jiwa. Empat nyawa ini melayang akibat bentrok dengan aparat keamanan yang berusaha mencegah pemblokiran jalan lintas Sumatera perbatasan provinsi Sumatera Selatan dengan Jambi. Kerusuhan di Sumatera Utara dan di kabupaten Musi Rawas ini hanya sebagian contoh saja betapa tahapan pemekaran daerah seringkali menimbulkan kerusuhan yang menelan korban jiwa. Pemekaran wilayah terkadang diboncengi pula kepentingan politik yang menambah kompleksitas persoalan.

Buku berjudul Sengketa Akibat Pemekaran Daerah ini merupakan bahan bacaan terbatas bagi mahasiwa Fakultas Hukum yang mempelajari ketatanegaraan dalam arti luas dan khususnya terkait dengan Otonomi Daerah. Saya mengakui bahwa sebagian atau pada bagian-bagian tertentu terdapat kutipan-kutipan yang semata-mata bertujuan memperkaya bahan bacaan mahasiswa, tidak bertujuan komersial.

Semoga bahan bacaan ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa khususnya dan siapa saja yang memerlukan bahan bacaan yang terkait dengan pemekaran daerah. Terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penerbitan buku ini.

Palembang, 2 Desember 2013


(2)

BAB I PENDAHULUAN

Krisis ekonomi global terjadi pada tahun 1997 yang berdampak pada perekonomian di seluruh dunia termasuk Indonesia. Di Indonesia, krisis global tersebut tidak hanya menimbulkan dampak pada bidang ekonomi, namun juga memiliki akibat yang lebih luas termasuk di bidang politik. Muncul istilah krisis multi dimensi, untuk menggambarkan bahwa krisis tersebut bukan hanya krisis ekonomi semata.

Sepanjang tahun 1997 sampai tahun 1998 terjadi gelombang protes besar-besaranterhadap sistem pemerintahan Orde Baru yang bersifat sangat sentralistik, yang padaakhirnya membuat sistem pemerintahan Orde Baru harus mengakhiri kekuasaan yangtelah dijalani selama 32 tahun.

Jatuhnya Orde Baru melahirkan Era Reformasi. Era reformasi yang dimulai padatahun 1999 mengubah paradigma desentralisasi administrastif yang dianut Orde Lama(1945-1965) dan Orde Baru (1965-1998) ke desentralisasi politik (Suyanto, 2002). PadaEra Reformasi ini lahirlah Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang PemerintahanDaerah (UU. Otonomi Daerah) dan UU. No.25 tentang Perimbangan Keuangan Pusatdan Daerah yang keduanya merupakan kebijakan desentralisasi di bidang politik,administrasi dan fiskal.

Lahirnya dua paket undang-undang tersebut menandaidimulainya Era Otonomi Daerah di Indonesia.Sejak berlakunya UU.No.22 tahun 1999, daerah mempunyai kewenangan dan peluang yang relatif lebih luas dalam mengelola daerahnya

masing-masing. Pada UU No.22 tahun 1999 banyak kewenangan yang diberikan ke daerah kecuali

bidang-bidang: politik luar negeri, fiskal dan moneter, pertahanan,

hukum dan keagamaan yang masihtetap menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Adanya pelimpahan wewenang yang tinggikepada daerah untuk mengelola wilayahnya secara mandiri melalui otonomi daerah inimenciptakan satu tantangan sekaligus peluang bagi pemerintah daerah.Salah satu fakta yang kemudian merebak pasca kebijakan otonomi daerah diIndonesia adalah fenomena pemekaran daerah. Dengan alasan memanfaatkan peluanguntuk

mengelola daerah secara mandiri, maka hal ini

memicu terjadinyapemekarandi berbagai wilayah di Indonesia, sehingga fenomena yang men yertai pelaksanaanotonomi daerah sejak tahun 2000 adalah munculnya daerah-daerah baru hasil pemekaran.


(3)

Ada dua faktor yang memunculkan pemekaran daerah yaitu faktor pendorong dan faktor penarik. Berbagai faktor penyebab yang mendorong munculnya pemekaran yaitu: faktor

kesejarahan, ketimpangan pembangunan, luasnya rentang kendali

pelayanan publik dan tidak terakomodasinya representasi politik.

Sedangkan faktor penyebab pemekaran yang berupa penarik adalah limpahan fiskal yang berasal dari APBN berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Sebelum era otonomi daerah, di Indonesia hanya terdapat 27 provinsi dan 277 kabupaten/kotamadya. Setelah otonomi daerah, jumlah tersebut membengkak menjadi33 provinsi dan 483 kabupaten/kota dengan tingkat akselerasi pemekaran yang terhitungluar biasa dan sebagaimana diduga sebelumnya, menciptakan ruang-ruang potensimasalah baru.

Pemekaran suatu daerah menjadi beberapa daerah otonom baru

berakibat berubahnyabatasbatas wilayah daerah baik secara administratif maupun geospasial (keruangan), yang menjadi pemicu munculnya permasalahan serius.

Permasalahan tersebut antara lain adalah sengketa batas wilayah. Sekilas tidak ada persoalan terkait batas-batas administratif dan geospasial ini karena di setiap Undang-Undang yang memayungi pembentukan daerah otonom baru tersebut selalu dicantumkan batas-batas antara daerah satu dengan daerah lain walaupun batas-batas tersebut sangat makro.

Akan tetapi kondisi di lapangan seringkali lebihrumit daripada yang diperkirakan sebelumnya. Dalam praktiknya, proses penegasan batas daerah tidak selalu dapat dilaksanakan dengan lancar, bahkan ada kecenderungan jumlah sengketa batas antar daerah meningkat .

Sampai saat ini jumlah kasus sengketa perbatasan antar daerah mencakup 17 permasalahan yangmelibatkan 19 Provinsi dan 50 permasalahan yang melibatkan 81 Kabupaten/Kota. Dari penelitian awal yang dilakukannya, teridentifikasi beberapa penyebab konflik terkait batas wilayah ini, antara lain:1)Yuridis: tidak jelasnya batas daerah dalam Undang-Undang Pembentukan Daerah, 2)Ekonomi: Perebutan Sumber Daya (SDA, Kawasan Niaga/Transmigrasi,Perkebunan)3) Kultural: Isu terpisahnya etnis atau sub etnis.4) Politik & Demografi: Perebutan pemilih & perolehan suara bagi anggotaDPRD/KDH, 5) Sosial: Munculnya kecemburuan sosial, riwayat konflik masa lalu, isu penduduk asli dan pendatang, 6) Pemerintahan: Jarak ke pusat pemerintahan, diskriminasi pelayanan, keinginan bergabung ke daerah tetangga.


(4)

Pasca reformasi 1998, hubungan pusat dan daerah semakin banyak dibicarakan terkait tuntutan desentralisasi. Daerah menggugat sistem pemerintahan yang selama ini sentralistik. Untuk jangka waktu yang lama sebelum gerakan reformasi, daerah merasakan kewenangan dan campur tangan pusat kepada daerah cukup tinggi. Banyak kebijakan-kebijakan daerah terhalang karena keharusan untuk adanya izin dari pemerintah pusat. Tuntutan agar daerah lebih otonom semakin tinggi. Tuntutan agar tercipta otonomi daerah.

Otonomi dapat diartikan sebagai pola pemerintahan sendiri. Sedangkan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, definisi otonomi daerah sebagai berikut: “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan”.

Otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri dengan menghormati peraturan perundangan yang berlaku. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut: “Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kabupaten dan kota berdasarkan asas desentralisasi. Dengan digunakannya asas desentralisasi pada kabupaten dan kota, maka kedua daerah tersebut menjadi daerah otonom penuh .

Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa otonomi daerah dapat diartikan sebagai wewenang yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah baik kabupaten maupun kota untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing dan mengacu kepada kepada peraturan perundangan yang berlaku dan mengikatnya.


(5)

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluasluasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional dan berkeadilan, jauh dari praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme serta adanya perimbangan antara keuangan pemerintah pusat dan daerah.

Dengan demikian prinsip otonomi daerah adalah sebagai berikut:

a. Prinsip Otonomi Luas

Yang dimaksud otonomi luas adalah kepala daerah diberikan tugas, wewenang, hak, dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan yang tidak ditangani oleh pemerintah pusat sehingga isi otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah memiliki banyak ragam dan jenisnya.

Di samping itu, daerah diberikan keleluasaan untuk menangani urusan pemerintahan yang diserahkan itu, dalam rangka mewujudkan tujuan dibentuknya suatu daerah, dan tujuan pemberian otonomi daerah itu sendiri terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sesuai dengan potensi dan karakteristik masing-masing daerah.

b. Prinsip Otonomi Nyata

Yang dimaksud prinsip otonomi nyata adalah suatu tugas, wewenang dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah masing-masing.

c. Prinsip Otonomi yang Bertanggungjawab

Yang dimaksud dengan prinsip otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.


(6)

Tiga Tujuan Otonomi Daerah

Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah yaitu: (1) meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, (2) menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, dan (3) memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.

Tujuan peletakan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Dengan demikian pada intinya tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat dan memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.

Kita tidak menutup mata terhadap berbagai sisi positif dari diberlakukannya otonomi daerah1 di Indonesia. Dari sudut kekuasaan, diantara sisi positif itu adalah semakin

berkurangnya dominasi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Sebelum otonomi daerah, peran pemerintah pusat begitu besar terhadap berbagai sisi kehidupan masyarakat didaerah. Pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif,investasi, perizinan mengikutsertakan kekuasaan pemerintah pusat. Intervensi pemerintah pusat dapat “menjadikan” atau “menggagalkan” suatu urusan.

Kini pemilihan kepala daerah tidak lagi dengan campur tangan pemerintah pusat yang keterlaluan. Hanya sebatas kewajaran sebagai negara kesatuan. Pemerintah pusat sebatas mengeluarkan Surat Keputusan terhadap seorang kepala daerah. Itupun tanpa ada proses berbelit sepanjang masyarakat didaerah telah bersepakat siapa yang menjadi kepala daerahnya. Ditariknya campur tangan pusat dalam pemilihan kepala daerah merupakan suatu kemajuan yang “luar biasa” dalam upaya memberikan kedaulatan yang lebih besar kepada masyarakat daerah.

Namun demikian bukan juga otonomi daerah tanpa masalah. Ada banyak permasalahan yang muncul sebagai akibat diberlakukannya otonomi daerah. Sebagai negara yang senantiasa bersedia melakukan evaluasi terhadap sistem yang diberlakukan,maka “deteksi dini” terhadap permasalahan-permasalahan setelah satu dasawarsa otonomi daerah

1 Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 2000 TENTANG PERSYARATAN PEMBENTUKAN DAN KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH


(7)

diharapkan membantu perbaikan sistem ini dimasa mendatang. Otonomi daerah juga menimbulkan beberapa bentuk sengketa. Bahkan sengketa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Saya tidak se-ekstrim kelompok yang anti dengan otonomi daerah dengan berbagai argumentasi yang dikemukakan. Bahkan temuan Lembaga Survey Indonesia (LSI) yang menyatakan bahwa otonomi daerah dinilai gagal. Menurut LSI berdasarkan hasil riset yang dilakukan LSI di 33 provinsi, menunjukkan indikasi kebijakan otonomi telah gagal. Mayoritas responden dalam survei itu berpendapat, keadaan daerah setelah berlaku otonomi tidak dirasakan menjadi lebih baik.2

Namun demikian harus diakui ada berbagai permasalahan dari diterapkannya otonomi daerah. Jika penerapan otonomi daerah dimaksudkan untuk memberikan porsi keuangan yang lebih besar kepada daerah,maka tujuan tersebut belum sepenuhnya tercapai. Masih juga terjadi ketimpangan antara pusat dan daerah. Pada tahun 2008 anggaran pusat dan daerah adalah 70% berbanding 30%. Berubah sedikit menjadi 69% dan 31% ditahun 2009. Tetap didominasi oleh pemerintah pusat.

Banyak permasalahan-permasalahan yang dapat diinventarisir sebagai upaya perbaikan penerapan otonomi daerah dimasa mendatang. Agar tulisan ini tidak melebar “kemana-mana,” saya membatasi permasalahan utama otonomi daerah yang diharapkan mampu memberikan sumbangsih implementasinya kedepan. Masalah pokok tersebut adalah munculnya beberapa sengketa. Sengketa yang mungkin selama ini tidak pernah terbayangkan akan terjadi. Saya menjadikan dan membatasi pada empat sengketa yang dijadikan permasalahan pokok dalam otonomi daerah.

Permasalahan pertama, otonomi daerah menyebabkan sengketa perbatasan didaerah. Kedua, otonomi daerah menyebabkan sengketa didaerah akibat pemekaran daerah. Ketiga, otonomi daerah menimbulkan sengketa pengelolaan pertambangan. Permasalahan ke-empat, otonomi daerah menimbulkan sengketa pemilihan kepala daerah.

Saya harus menegaskan bahwa sekalipun makalah ini membahas empat sengketa akibat diterapkannya otonomi daerah, bukan berarti otonomi daerah “gagal total.” Ada banyak sisi positif dari penerapan otonomi daerah. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang lebih luas kepada daerah untuk berkembang secara lebih fkesibel.Bahkan “keuntungan lebih” diperoleh oleh daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam.

2 Survei LSI : Otonomi Daerah Dinilai Gagal.


(8)

Permasalahan-permasalahan yang muncul tersebut, tidak menjadikan otonomi daerah kehilangan pendukungnya. Hasil survey yang dilakukan oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa meski dianggap gagal menciptakan perubahan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, otonomi daerah masih tetap didukung oleh mayoritas masyarakat Indonesia (73%), hanya 27% yang menyatakan menolak otonomi daerah. Kondisi tersebut tergambar dalam grafik dibawah ini (Sumber LSI, 2008).

Grafik: Menerima atau Menolak Otonomi Daerah

1. Sengketa Perbatasan Di Daerah

Otonomi daerah ternyata melahirkan sengketa perbatasan wilayah. Suatu objek sengketa yang selama ini tidak pernah terbayangkan. Otonomi daerah menjadikan batas-batas wilayah menjadi penting. Selama ini tidak begitu penting batas-batas antar wilayah di Indonesia baik batas antar desa, antar kecamatan, antar kabupaten/kota bahkan batas antar provinsi. Salah satu alasannya dikarenakan apabila terjadi sengketa batas wilayah dapat diselesaikan dengan mudah oleh kepala pemerintahan yang lebih tinggi. Selain itu, selama ini batas wilayah bukan persoalan yang terlalu penting dikarenakan daerah-daerah tidak memiliki otonomi dalam mengelola wilayahnya sendiri. Era otonomi daerah merubah semua itu.

Ada beberapa alasan mengapa soal batas wilayah menjadi penting. Alasan pertama, era otonomi daerah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola daerahnya. Keadaan ini menguntungkan bagi daerah-daerah yang memiliki sumber daya


(9)

alam yang melimpah. Faktanya, memang sebagian besar wilayah Indonesia sangat potensial kekayaan alamnya. Kondisi demikian ini memunculkan ego kedaerahan sehingga batas wilayah menjadi penting agar ada kepastian “siapa memiliki batas mana.”

Alasan kedua, muncul ego etnis sebagai “orang daerah.” Dalam batas-batas tertentu muncul fanatisme “label” sebagai putra daerah. Kondisi ini juga memunculkan sikap

unwelcome terhadap para pendatang yang juga menjadi alasan untuk memastikan batas

wilayah yang kadang-kadang atas dasar etnic-based. Walaupun mungkin pembatasan

wilayah atas dasar etnic-based ini hanya minoritas saja kejadiannya, tetapi tetap harus

diwaspadai sebagai isu yang sangat rawan bagi kemungkinan konflik etnis di era otonomi daerah.

Alasan berikutnya mengapa batas wilayah menjadi penting karena ada kemungkinan terjadinya pemekaran wilayah. Apabila suatu desa berencana memekarkan diri menjadi suatu kecamatan, maka batas desa menjadi penting. Kecamatan terkadang harus pula dimekarkan karena kepentingan pembentukan kabupaten/kota. Batas wilayah antar kecamatan menjadi penting. Ironisnya, sebagian besar wilayah di Indonesia dari desa hingga ke negara umumnya tidak memiliki administrasi perbatasan yang baik. Wajar kalau kemudian diera otonomi daerah dimana masing-masing daerah merasa “berdaulat” dan ingin “eksis,” batas-batas wilayah menjadi isu yang penting.

Untuk menjadikan keadaan menjadi lebih rawan, ternyata masing-masing wilayah memiliki batas wilayah yang tidak jelas. Tengok saja sengketa batas wilayah antara kabupaten Muara Enim dengan kabupaten Ogan Ilir pada Januari 2009 di Sumsel, masing-masing ngotot dengan batas wilayah versi masing-masing-masing-masing. Kabupaten Ogan Ilir, misalnya, mengandalkan peta zaman penjajahan Belanda yang bertuliskan Arab tahun 1921. Sedangkan kabupaten Muara Enim mengandalkan sejarah tapal batas menggunakan cerita puyang.3 Kedua argumentasi yang sama-sama sulit disesuaikan dengan perubahan zaman dan perubahan ketatanegaraan Indonesia.

Akibat pada satu sisi batas wilayah tidak jelas dan pada sisi lain ada keinginan untuk menguasai wilayah tertentu, baik tingkat desa, kecamatan, atau kabupaten maka disinilah sumber sengketa. Keadaan yang akan semakin worse apabila ternyata daerah yang

diperebutkan “konon khabarnya” kaya akan sumber daya alam. Di Sumatera Selatan sengketa wilayah itu terjadi dibeberapa wilayah. Pada tahun 2007,misalnya, terjadi sengketa perbatasan antara kabupaten OKU Induk dengan kabupaten Muara Enim. Diyakini bahwa

3 Sriwijaya Post, “OI Andalkan Peta Belanda ME Ungkapkan Cerita Puyang,” Kamis, 8 Januari 2009, hal 1.

Baca juga, Sumatera Ekspres, “10 Januari Cek Perbatasan,” Jum’at, 9 Januari 2009, hal 27 dan Sriwijaya Post, Warga Kayuara Masih Trauma,” Jum’at, 9 Januari 2009, hal 1


(10)

wilayah yang disengketakan itu memang mengandung sumber minyak. Bahkan sengketa batas wilayah antara kabupaten Ogan Ilir dengan kabupaten Muara Enim pada Januari 2009 juga terkait dengan kepemilikan perkebunana kelapa sawit.4

2. Sengketa di Daerah Akibat Pemekaran Wilayah

Otonomi daerah ternyata juga “meningkatkan selera” orang-orang didaerah untuk melakukan pemekaran wilayah.5 Sejak 1999 wacana itu dikumandangkan, kini sudah terdapat

7 provinsi, 129 kabupaten, dan 29 kota baru hasil pemekaran. Pemekaran wilayah yang memiliki efek domino dari berbagai sisi. Apabila suatu kabupaten dimekarkan, akan berpengaruh terhadap jumlah kecamatan kabupaten yang ditinggalkan. Wilayah yang jumlah kecamatannya “dikurangi” kemudian juga melakukan pemekaran untuk menambah jumlah kecamatan yang terlanjur “diambil.”

4 Sekitar 175 warga Dusun III, desa Kayuara Batu Kecamatan Muara Belida, Muara Enim mengungsi ke desa

Sungai Menang. Pengungsian itu diduga karena mereka diserang oleh warga desa Pulau Kabal, kecamatan Inderalaya Selatan, Ogan Ilir (OI). Sumatera Ekspres, Kamis, 8 Januari 2009, hal 11.

5 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 2000 TENTANG

PERSYARATAN PEMBENTUKAN DAN KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH Pasal 16 (1) Prosedur Pembentukan Daerah sebagai berikut: a) ada kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat yang bersangkutan; b) pembentukan Daerah harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah; c) usul pembentukan Propinsi disampaikan kepada Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang berada dalam wilayah Propinsi dimaksud, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD; d) usul pembentukan Kabupaten/Kota disampaikan kepada Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota serta persetujuan DPRD Propinsi, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD; e) dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan Tim untuk melakukan observasi ke Daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah; f) berdasarkan rekomendasi pada huruf e, Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah meminta tanggapan para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan dapat menugaskan Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ke Daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut; g) para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah; h) berdasarkan saran dan pendapat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, usul pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah; i) apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan Daerah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul pembentukan Daerah tersebut beserta Rancangan Undang-undang Pembentukan Daerah kepada Presiden; j) apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-undang pembentukan Daerah disampaikan kepada DPR-RI untuk mendapat persetujuan. (2) Prosedur pemekaran Daerah sama dengan prosedur pembentukan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


(11)

Efek domino juga terjadi pada penambahan berbagai fasilitas baik fasilitas perkantoran maupun fasilitas kendaraan dinas dan perumahan. Penambahan pegawai sudah pasti terjadi. Kabupaten yang baru dibentuk juga membutuhkan Polres, pengadilan negeri, kejaksaan negeri atau perkantoran sejenis itu yang baru.

Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, menyebutkan bahwa pemekaran suatu wilayah harus memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan. Ada diantara daerah pemekaran justru kemudian menjadi beban bagi daerah induk dikarenakan tingginya biaya pemekaran.

Sekedar contoh pembentukan Kabupaten Empat Lawang di Sumatera Selatan (UU No. 1/2007). Kabupaten Lahat –sebagai kabupaten induk-- diminta memberikan hibah ‘sesuai kesanggupan’. Kesanggupan itu ditentukan jumlahnya yakni Rp 5 miliar. Sementara, provinsi induk Sumsel harus memberikan bantuan dana Rp10 miliar per tahun selama dua tahun berturut-turut. Bandingkan dengan pembentukan Kabupaten Batu Bara di Sumatera Utara. UU No. 5 Tahun 2007 mengharuskan Pemda Asahan memberikan hibah Rp7,5 miliar per tahun, dan Pemda Sumatera Utara memberikan bantuan dana Rp5 miliar per tahun selama dua tahun berturut-turut.

Belum lagi tercipta “lowongan” untuk menjadi anggota DPRD. Mungkin ada kursi lowong antara 40 s.d 45 orang. Ada kesempatan mejadi ketua DPRD. Terbuka juga peluang untuk menjadi kepala daerah. Itu sebabnya banyak daerah di Indonesia tetap berkeinginan memekarkan wilayahnya. Jumlah daerah otonomi baru terus bertambah. Tengok saja Undang-Undang yang disetujui bersama DPR dan Pemerintah selama ini. Pada tahun 2007 saja, 16 UU pertama yang dihasilkan justru mengatur pembentukan daerah otonomi baru (lihat tabel).


(12)

Tabel 1

Pembentukan Daerah Otonomi Baru (s.d April 2007) No.

UU 2007

Daerah Otonomi Baru yang Dibentuk

1 Kab. Empat Lawang, Sumatera Selatan 2 Kab. Nageleo, Nusa Tenggara Barat

3 Kab. Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur 4 Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara

5 Kab. Batu Bara, Sumatera Utara 6 Kab. Kayong Utara, Kalimantan Barat 7 Kab. Pidie Jaya, NAD

8 Kota Subulussalam, NA

9 Kab. Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara 10 Kab. Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara 11 Kab. Gorontalo Utara, Gorontalo

12 Kab. Bandung Barat, Jawa Barat 13 Kab. Konawe Utara

14 Kab. Buton Utara, Sulawesi Tenggara 15 Kab. Kep. Siau Tegulandang Biaro, Sulut 16 Kab. Sumba Barat Daya, NTT

Tabel diatas menunjukkan betapa tingginya minat daerah untuk memekarkan diri. Sepanjang Januari-April 2007 saja terdapat 16 kabupaten/kotabaru di Indonesia. Patut diduga bahwa jumlah tersebut terus bertambah sampai dengan akhir tahun 2007.

Sengketa di era otonomi daerah juga sebagai akibat terjadinya pemekaran wilayah. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa pemekaran wilayah membawa efek domino yang rentan menimbulkan sengketa. Paling tidak ada empat macam sengketa yang terjadi akibat pemekaran wilayah. Ke-empat macam sengketa tersebut adalah: 1) sengketa asset6, 2)

penentuan ibukota wilayah pemekaran7, 3) penolakan pemekaran oleh kepala daerah8, 4)

penentuan batas wilayah9.

6 Persoalan asset seringkali muncul manakala kota yang baru terbentuk berlokasi diwilayah ibukota kabupaten

induk (kedua daerah berhimpitan). Persoalan asset terjadi dikarenakan kabupaten induk tidak mempersiapkan sedari awal pada saat pengajuan RUU pembentukan daerah baru tersebut. Hasil studi yang saya lakukan bahwa dibeberapa daerah RUU diajukan tanpa melakukan persiapan yang baik melibatkan dua pihak pimpinan tertinggi dikedua pemerintahan yang akan terpisah tersebut. Amzulian Rifai, Beberapa Permasalahan Hukum di Daerah Pada Era Reformasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar, 6 September 2005, hal 17. Baca juga Amzulian Rifai, Sengketa Asset Karena Pembentukan Daerah Baru, Penerbit UNSRI, Palembang, 2004.

7 Penentuan ibukota wilayah pemekaran juga terkadang menjadi sumber sengketa. Sebagian pihak menilai

bahwa letak ibukota akan membawa dampak luas bagi kemajuan ekonomi suatu daerah karena berbagai fasilitas yang mungkin didirikan.


(13)

3. Sengketa Pengelolaan Pertambangan

Otonomi daerah juga berdampak pada manajemen pengelolaan pertambangan. Sebelum otonomi daerah, izin pengelolaan pertambangan (KP) sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah “tidak bisa berbuat apa-apa” apabila para pemilik kuasa pertambangan telah memiliki izin dari pemerintah pusat.

Dibeberapa daerah terjadi konflik yang cukup serius dalam soal pengelolaan pertambangan. Konflik ini antara lain dikarenakan pemerintah tetap mempertahankan kekuasaannya dibidang pertambangan.10 Padahal secara jelas sistem pemerintahan ini telah

berubah. Pola yang selama ini menggunakan istilah “pokoknya” tetap dipertahankan. Selama ini sepanjang para pengusaha bidang pertambangan telah mengantongi izin pemerintah (pusat) maka seakan-akan daerah tidak boleh menolak apalagi menentang para pengelola pertambangan tersebut. Tidak soal bagaimana cara mendapatkan izinnya. Tidak juga masalah apa akibat negatif bagi daerah karena aktivitas pertambangan tersebut. Akibatnya, sejak dahulu hingga sekarang ini konflik pengelolaan pertambangan akan terus berlangsung dikarenakan pemerintah pusat tidak merubah pola hubungan pusat dan daerah tersebut. Secara teori terjadi desentralisasi, namun dalam praktek pemerintah tidak konsisten dengan aturan yang telah dibuatnya sendiri. Lihat saja konflik-konflik pertambangan yang terjadi dibanyak daerah.

Minimal ada empat faktor yang menjadi penyebab terjadinya konflik pertambangan.

Pertama, pemerintah pusat tidak menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 32 tahun

2004 secara konsekuen menyangkut pembagian urusan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Saya berfaham bahwa di era otonomi daerah pemerintah pusat hanya memiliki kewenangan enam urusan saja sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 Ayat (3) diatas. Diluar ke-enam bidang tersebut menjadi urusan dan kewenangan pemerintah daerah. Pemerintah pusat melaksanakan “otonomi setengah hati.” Undang-undang secara tegas membagi urusan yang menjadi kewenangan masing-masing pemerintahan. Namun pemrintah pusat tetap memegang kendali diluar ke-enam bidang yang ditentukan oleh Pasal 10 Ayat (3) tersebut. Jika otonomi daerah dilaksanakan sepenuh hati seharusnya bidang-bidang:

8 Tidak semua kepala daerah dengan lapang dada menerima usulan pemekaran wilayahnya. Penolakan ini

terjadi karena pemekaran wilayah dapat diartikan penggebosan luas wilayah kekuasaan. Biasanya proses pemekaran wilayah dapat berlangsung dengan lancar dan didukung sepenuhnya oleh kepala daerah yang telah menjalani masa jabatan untuk periode yang kedua.

9 Sebagaimana diuraikan secara lebih rinci pada bagian sebelumnya bahwa penentuan batas wilayah juga rawan

sengketa dengan berbagai alasan yang menjadi penyebabnya.

10 Walaupun terjadi perubahan signifikan dalam pengelolaan pertambangan dengan diterbitkannya

Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara 2008 menggantikan Undang-Undang-Undang-Undang Pertambangan No 11 Tahun 1967.


(14)

pertambangan, pertanahan, kehutanan pengelolaannya juga diserahkan kepada daerah. Kenyataannya, pengaturan bidang ini tetap oleh pemerintah pusat. Ironisnya permasalahan-permasalahan tetap ada. Bahkan diantaranya sangat serius. Lihat saja “skandal alih fungsi hutan, diantaranya alih fungsi hutan bakau untuk pelabuhan Tanjung Siapi-api (TAA).” Seharusnya pemerintah pusat tidak boleh ragu-ragu menyerahkan pengelolaan bidang-bidang tersebut kepada daerah. Tentu saja dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan pengaturan yang jelas.

Penyebab yang kedua terjadinya konflik pengelolaan pertambangan adalah akibat

kesalahan dalam pengelolaannya. Selama ini bahan tambang hanya dipandang sebagai komoditas mengumpulkan devisa atau pendapatan asli daerah. Tidak mencengangkan, jika para kepala pemerintah sibuk mengeluarkan ijin tambang agar bisa mengeruk bahan tambang sebanyak mungkin, secepat mungkin, dan tiada henti. Pertimbangan terhadap kepentingan fungsi-fungsi kawasan pun dilupakan. Banyak wilayah tambang menjadi bertumpang-tindih dengan kawasan tangkapan air, sumber-sumber air, hutan lindung, lahan pertanian, perikanan, dan kawasan-kawasan lain yang sebenarnya menjadi tumpuan harapan masyarakat lokal.

Pada tataran inilah kemudian terjadi konflik. Terjadi konflik ”multi arah.” Masyarakat konflik dengan perusahaan. Tidak juga jarang terjadi masyarakat yang bersengketa di antara sesama mereka sendiri. Bahkan di antara pemerintah sendiri, misalnya antar Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dengan Departemen Kehutanan. Terjadi pula antara pemerintah pusat dengan daerah.

Penyebab konflik pertambangan yang ketiga, pemerintah mengingkari hak

penduduk lokal dalam mengelola sumber daya alam mereka, termasuk dalam menentukan pilihan ekonomi. Pengingkaran ini antara lain terlihat dengan jelas pada pasal 26 UU Pertambangan No 11/ 1967:

”... apabila telah didapatkan izin kuasa pertambangan atas sesuatu daerah atau wilayah menurut hukum yang berlaku, maka kepada mereka yang berhak atas tanah diwajibkan memperbolehkan pekerjaan pemegang kuasa pertambangan atas tanah

yang bersangkutan atas dasar mufakat kepadanya".

Makna dari pasal ini berarti Jika terdapat perusahaan tambang masuk sambil mengantongi izin dari pemerintah (pusat), maka penduduk lokal hanya bisa memilih: menerima ganti rugi pelepasan tanah yang biasanya dilakukan sepihak, atau, dipindah paksa karena menolak ganti rugi itu. Biasanya dalam proses ganti rugi selalu saja dengan uang pengganti yang tidak layak.


(15)

Padahal, apabila diteliti lebih lanjut akan diketemukan jira tidak satupun tambang skala besar yang mendapatkan persetujuan penduduk lokal sebelum mereka menambang. Kondisi inilah yang menjadi penyebab suburnya konflik tanah di awal operasi tambang yang terjadi hampir di semua lokasi pertambangan.

Bahkan terkadang kekerasan menjadi ujung dari konflik. Pembakaran camp di Dodo

Rinti misalnya, terjadi akibat frustasi warga yang sudah empat kali berunjuk rasa menolak hutan tangkapan airnya menjadi lokasi tambang Newmont. Dan sepanjang sejarah republik ini, jika berurusan dengan pertambangan, penduduk lokal seolah tak punya hak menolak dan memilih model ekonomi yang berkelanjutan, seperti pertanian, kehutanan, pariwisata atau perikanan.

Sedangkan penyebab ke-empat terjadinya konflik pengelolaan pertambangan baik

yang masuk kategori skala besar maupun kecil, dikarenakan daya rusak yang dahsyat bagi lingkungan sekitar. Kerusakan lingkungan yang sulit untuk dipulihkan.

Biasanya didaerah dimana tambang tersebut beroperasi yang biasanya ditempat itu pula masyarakat setempat hidup dengan bergantung kepada tanah dan kekayaan alam mereka, seluruh mata rantai operasi tambang bisa menurunkan mutu, sampai lenyapnya, kehidupan masyarakat. Mulai dari biofisik, sosial ekonomi, hingga politik tidak mungkin bebas dari dampak operasi tambang, di tahapan manapun.

Kita kemudian menyaksikan kondisi yang menyesakkan dada dimana konflik-konflik yang terjadi di dunia pertambangan jarang sekali mendapatkan penyelesaian yang lebih memihak kepada masyarakat lokal. Jika kita menyimak data yang diperoleh dari Kelompok Kerja Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (Pokja PA-PSDA), pada tahun 2002 saja tercatat sekitar 143 konflik pertambangan.

Dalam banyak konflik, pemerintah sepertinya tidak menemukan cara terbaik dan berpihak kepada masyarakat lokal. Cara-cara yang digunakan tetap memihak kepada pengusaha pertambangan. Diantara cara yang seringkali digunakan adalah pendekatan keamanan, yang lebih suka saya sebut pendekatan teror. Pendekatan yang biasa mereka gunakan untuk sekedar meredam protes rakyat terhadap perusahaan daripada menyelesaikan akar masalah. Terkadang pemerintah tetap menggunakan aparat keamanan dalam meredam konflik-konflik pertambangan. Cara yang bukan hanya tidak populer tetapi juga jauh dari upaya mensejahterahkan masyarakat lokal.

Penyebab konflik yang kelima, ada perbedaan persepsi antara pemerintah pusat

dengan daerah. Pemerintah dan orang-orang didaerah beranggapan bahwa dengan otonomi daerah maka pengelolaan pertambangan (juga) menjadi kewenangan daerah. Sedangkan


(16)

pemerintah pusat tetap mempertahankan kewenangan dibidang-bidang tertentu, termasuk di bidang pertambangan. Perbedaan persepsi ini akan terus meningkat seiring dengan sentimen kedaerahan yang terus pula meningkat. Peningkatan yang juga dipicu masalah ekonomi, masalah lingkungan, masalah keterlibatan masyarakat lokal dalam aktivitas pertambangan. Walaupun kondisi kedepan akan berubah secara signifikan (entah membaik atau memburuk)

dalam pengelolaan pertambangan dengan diterbitkannya Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara 2008 menggantikan Undang-Undang Pertambangan No 11 Tahun 1967.

4. Sengketa pemilihan kepala daerah

Sengketa ke-empat adalah sengketa yang diakibatkan oleh pemilihan kepala daerah. Otonomi daerah merubah cara pemilihan kepala daerah yang sebelumnya oleh anggota DPRD menjadi pemilihan secara langsung.11 Memang ada yang menilai “lebih demokratis” tetapi tidak berarti zero problem. Malah menimbulkan sengketa Pilkada dibanyak daerah di Indonesia. Baik sengketa hukum maupun sengketa antar pendukung yang tidak jarang menciptakan kerusuhan.

Ada beberapa penyebab mengapa terjadinya sengketa pemilukada. Pertama, adanya

dugaan terjadi kecurangan. Diantara kandidat menilai telah terjadi kecurangan. Misalnya terjadi penggelembungan suara. Ada pula kecurigaan ada unsur kesengajaan terjadinya banyak pemilih yang tidak terdaftar. Apalagi ada claim bahwa pemilih yang tidak terdaftar

tersebut adalah pendukung kandidat kepala daerah yang kalah. Biasanya, orang yang paling mungkin melakukan kecurangan serupa ini adalah kandidat incumbent. Dengan berbagai

kelebihan dan hak akses yang dimiliki. Lebih gawat lagi tensi ketegangannya apabila kandidat sedang berkuasa yang berhasil terpilih.

Kedua, ketidaktegasan sikap KPU dan lemahnya peran panitia pengawas Pemilu. KPU

merupakan lembaga penentu terhadap kelangsungan pemilukada. Lembaga yang sangat strategis karena dapat menjadikan seseorang sebagai kepala daerah atau wakil rakyat. Sebaliknya, dapat pula menghentikan mimpi seseorang untuk ”jadi orang.” Oleh karena itu keputusan KPU sangat menentukan. Soal asli tidaknya ijazah seorang kandidat. Tentang lolos tidaknya seseorang untuk ikut dalam pemilukada. KPU pula yang menjadi lembaga final untuk mengumumkan kepada publik soal siapa yang secara sah terpilih sebagai kepala daerah. Tidak heran kalau kemudian para anggota KPU didekati dengan berbagai cara/rupa. Ada saja diantara anggota KPU yang terpengaruh dan berprilaku menyimpang. Akibatnya

11 UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 56 (1) Kepala Daerah dan wakil kepala daerah

dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.


(17)

tidak sedikit KPU yang mengalami public mistrust. KPU harus memiliki strategi jitu agar ada

kepercayaan dan keyakinan bahwa KPU berlaku netral.

Ketiga, ketidaksiapan kandidat menerima kekalahan. Salah satu indikasi bahwa

kandidat tidak siap menerima kekalahan terjadinya perlawanan pasca pemilukada. Perlawanan itu mungkin lewat pengadilan atau juga melalui perlawanan fisik. Memang dibanyak tempat upaya antisipatif itu dilakukan dengan adanya penandatangan dokumen untuk siap kalah dan siap menang. Namun seringkali dokumen-dokumen yang sifatnya

morally binding tersebut tidak dapat dijadikan jaminan bahwa tidak akan ada ”ribut-ribut”

pasca pemilukada.

Ke-empat, berubahnya sikap hakim Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa

pemilukada. Selama ini MK hanya ”melayani” sengketa perhitungan suara, tidak menyangkut proses pelaksanaan Pilkada. Misalnya terbukti terjadi kecurangan yang sistematis seperti pada pemilukada Jawa Timur atau karena pilkada diikuti oleh salah satu calon yang tidak berhak dan tidak memenuhi syarat seperti pada pemilihan kepala daerah Bengkulu Selatan.12 Perubahan sikap para hakim MK ini justru akan ”meningkatkan minat”

orang-orang didaerah untuk bersengketa hasil pemilihan kepala daerah ke Mahkamah Konstitusi.

Bahwa sesungguhnya otonomi daerah bertujuan memberikan hak, wewenang dan kewajiban kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Kondisi ini diharapkan mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat didaerah. Daerah yang memiliki pemimpin yang amanah dan menjalankan peraturan perundang-undangan, akan mampu membawa kearah kebaikan.

Otonomi daerah juga memunculkan berbagai permasalahan. Diantara permasalahan itu munculnya berbagai sengketa. Diantara sengketa tersebut adalah sengketa perbatasan wilayah, sengketa akibat pemekaran daerah, sengketa pengelolaan pertambangan, dan sengketa pemilihan kepala daerah.


(18)

BAB II

Pro dan Kontra Pemekaran Daerah

Wajar jika muncul pro dan kontra terhadap pemekaran daerah otonomi baru (DOB). Mereka yang pro karena menilai bahwa pembentukan daerah baru baik itu kota, kabupaten atau provinsi mampu mempercepat laju pertumbuhan di wilayah tersebut. Pelayanan publik juga dirasakan lebih cepat karena jarak ke ibukota kabupaten/ provinsi menjadi lebih dekat dibandingkan belum dilakukannya pemekaran wilayah.

Namun tidak sedikit juga pihak-pihak yang kurang memberikan dukungan bahkan menunjukkan sikap kontra terhadap pemekaran daerah. Kelompok ini menilai terkadang motivasi pembentukan daerah baru bukan untuk kesejahteraan masyarakat tetapi lebih kepada upaya memperbanyak peluang mendapatkan jabatan.

Ada beberapa hasil kajian yang mencoba mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan apa yang terjadi di beberapa daerah hasil pemekaran tersebut. Ada bebera hasil studi yang dapat dijadikan rujukan.

Bappenas pada, misalnya, pada 2005 telah melakukan Kajian Percepatan Pembangunan Daerah Otonom Baru (DOB). Kajian ini secara khusus mempelajari permasalahan yang terkait pembangunan daerah otonom baru dan sektor yang menjadi andalan dalam pengembangan ekonomi di beberapa kabupaten. Penelitian oleh Bappenas ini berlangsung di Kabupaten Serdang Bedagai (Sumatera Utara), Kabupaten Sekadau (Kalimantan Barat), Kota Tomohon (Sulawesi Utara), Kabupaten Sumbawa Barat (NTB) dan Kota Tasikmalaya (Jawa Barat). Hasil kajian menunjukkan bahwa pendapatan asli daerah (PAD) meningkat, tapi ketergantungan terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) masih tetap tinggi. Selain itu, terjadi pula peningkatan belanja pembangunan, meskipun proporsinya terhadap belanja rutin masih kecil. Tidaklah mengherankan bila para responden menyatakan kualitas pelayanan masyarakat belum meningkat. Hal ini ternyata disebabkan pemda DOB pada tahun-tahun awal memprioritaskan pembenahan kelembagaan, infrastruktur kelembagaan, personil dan keuangan daerahnya.

Lembaga Administrasi Negara (2005) juga melakukan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Otonomi Daerah untuk periode 1999-2003. Studi yang dilakukan di 136 kabupaten/kota ini menyimpulkan bahwa kesejahteraan masyarakat, khususnya dilihat dari indikator ekonomi dan sosial secara umum, mengalami peningkatan. Namun demikian, tetap


(19)

terjadi kesenjangan antara wilayah Indonesia Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur. Salah satu input dalam evaluasi ini adalah indeks pembangunan manusia.

Menurut hasil evaluasi terhadap aspek pelayanan publik, khususnya infrastruktur dasar, studi LAN (2005) menunjukkan bahwa rasio panjang jalan keseluruhan dengan luas wilayah mengalami penurunan.

Sedangkan pada bidang kesehatan dan pendidikan terjadi peningkatan infrastruktur yang cukup berarti. Kemudian, dalam hal demokrasi lokal yang dilihat dari penggunaan hak pilih pada pemilu, angka partisipasi cukup tinggi. Meski studi ini tidak secara langsung berkaitan dengan daerah pemekaran, secara umum daerah induk, daerah DOB dan daerah yang tidak mekar menunjukkan kecenderungan yang hampir sama.

Pusat Litbang Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri (2005) melakukan penelitian Efektivitas Pemekaran Wilayah di Era Otonomi Daerah di sembilan daerah otonom baru. Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara umum tidak ada satupun daerah DOB yang bisa dikelompokkan dalam kategori mampu, meski penataan berbagai aspek pemerintahan untuk menunjang penyelenggaraan pemerintahan telah sesuai dengan pedoman yang ada. Penyebabnya adalah pemerintahan DOB kurang mampu merumuskan dengan tepat kewenangan ataupun urusan yang akan dilaksanakan agar sesuai dengan kondisi, karakteristik daerah serta kebutuhan masyarakat.

Studi ini menemukan bahwa kelembagaan yang terbentuk belum sepenuhnya disesuaikan dengan urusan yang telah ditetapkan sebagai urusan daerah. Beberapa masalah timbul, seperti jumlah kelembagaan (SKPD) yang cenderung berlebihan, struktur organisasi yang cenderung besar, serta belum memperhitungkan kriteria efektivitas dan efisiensi kelembagaan yang baik. Di sektor keuangan daerah, hanya ada satu dari sembilan daerah yang dikategorikan mampu mengelola keuangannya. Problem utamanya adalah rendahnya kemampuan dalam menggali sumber-sumber penerimaan daerah, khususnya PAD.

Ditinjau dari aspek aparatur, hanya ada satu dari sembilan daerah yang dikategorikan sangat mampu dalam pengelolaan pemerintahannya. Dilihat dari ketersediaan, kualifikasi yang dimiliki, serta kesesuaian antara personil yang ada dan struktur yang tersedia. Secara umum, DOB belum mampu menyelesaikan berbagai macam persoalan di atas.13

Sikap pro dan kontra itu akan terus ada. Namun realitanya bahwa upaya untuk melakukan pemekaran daerah berjalan seiring dengan regulasi pembentukan daerah otonom

13 Hasil kajian/ studi dikutip dari Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007, Badan Perencanaan

Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP), http://www.undp.or.id/pubs/docs/pemekaran_ID.pdf, akses, 11 Juli 2013 jam 09:24


(20)

baru yang dianggap lebih mudah daripada waktu sebelumnya. Sebenarnya, salah satu pertimbangan kemudahan tersebut adalah untuk percepatan pertumbuhan demokrasi di daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo PP Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah memang memberikan ruang yang lebih leluasa bagi terbentuknya daerah otonom baru. Pada Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan: “Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain, dan Daerah Otonom dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah jika dipandang sesuai dengan perkembangan daerah”

Di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, perihal pemekaran daerah diatur pada Pasal 46 ayat (3) dan (4), sebagai berikut: Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih?. Pada ayat (4) disebutkan bahwa pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas maksimal usia penyelenggaraan pemerintahan.

Sedangkan dalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan: “Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada pasal 4 harus memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan” Secara yuridis, pembentukan daerah atau dalam hal ini pemekaran daerah tidak bisa dilakukan secara serampangan, terbukti adanya berbagai persyaratan dan kriteria yang harus dipenuhi dalam melakukan pemekaran.

Mengutip Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah yang meneliti berbagai faktor yang melatarbelakangi pemekaran daerah, implikasi yang ditimbulkannya, dan kriteria-kriteria yang dapat ditawarkan dalam melakukan pemekaran daerah di Indonesia.

Bahwa dalam penelitian tersebut metode yang digunakan dalam kajian ini bersifat kualitatif dan pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam. Lokus kajian ini adalah 14 (empat belas) Provinsi dan 28 (dua puluh delapan) kabupaten/kota, yaitu :

1. Provinsi Jawa Barat (Kota Banjar dan Kabupaten Ciamis) 2. Provinsi Banten (Kota Cilogon dan Kabupaten Serang) 3. Provinsi Riau (Kabupaten Siak dan Kabupaten Bengkalis)

4. Provinsi Kepulauan Riau (Kota Tanjung Pinang dan Kota Batam)

5. Provinsi Sumatera Utara (Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai) 6. Provinsi Lampung (Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Tanggamus) 7. Provinsi Bangka Belitung (Kabupaten Bangka dan Kabupaten Bangka Tengah)


(21)

8. Provinsi Sulawesi Utara (Kabupaten Minahasa Utara dan Kabupaten Minahasa) 9. Provinsi Sulawesi Tenggara (Kabupaten Konawe Selatan dan Kabupaten Konawe) 10.Provinsi Kalimantan Timur (Kabupaten Kutai Kertanegara dan Kabupaten Kutai

Timur)

11.Provinsi Gorontalo (Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Gorontalo) 12.Provinsi Maluku Utara (Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan) 13.Provinsi Papua (Kabupaten Keerom dan Kabupaten Jayapura) 14.Provinsi Irian Jaya Barat (Kabupaten Sorong dan Kota Sorong)

Kajian ini telah memperoleh temuan-temuan lapangan yang menarik, di antaranya:

1. Alasan utama pemekaran daerah ternyata lebih didasarkan pada faktor emosional, bukan rasional.

2. Implikasi pemekaran daerah, telah menambah beban anggaran pemerintahan negara. 3. Kriteria-kriteria yang digunakan untuk melakukan pemekaran telah mengacu pada PP

No. 129 Tahun 2000, tetapi pada kenyataannya daerah yang bersangkutan tidak menunjukkan kemajuan (progress) sebagaimana yang diharapkan.

Fakta bahwa pemekaran daerah telah menjadi euforia di era otonomi daerah pasca reformasi menjadi tidak terbantahkan. Sampai awal 2007, jumlah daerah otonom baru sebanyak 7 provinsi dan 162 kabupaten/kota, sehingga total provinsi sebanyak 33 dan kabupaten/kota sebanyak 473. Sebuah pertumbuhan pemerintahan daerah yang luar biasa,

terutama jika dibandingkan dengan masa Orde Baru.

Berdasarkan hasil kajian, terdapat alasan-alasan yang mendasari dilaksanakannya pemekaran daerah adalah:

1. Alasan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dijadikan alasan

utama karena adanya kendala geografis, infrastruktur dan sarana perhubungan yang minim, seperti terjadi pada pemekaran Provinsi Bangka Belitung (pemekaran dari Provinsi Sumatera Selatan) dan Provinsi Irian Jaya Barat (pemekaran dari Provinsi Papua) serta pemekaran Kabupaten Keerom (pemekaran dari Kabupaten Jayapura). 2. Alasan historis, pemekaran suatu daerah dilakukan karena alasan sejarah, yaitu

bahwa daerah hasil pemekaran memiliki nilai historis tertentu. Sebagai contoh: Provinsi Maluku Utara sebelumnya pernah menjadi ibukota Irian Barat, dimana Raja Ternate (Alm. Zainal Abidin Syah) dinobatkan sebagai Gubernur pertama. Disamping


(22)

itu di Pulau Movotai pada Perang Dunia II merupakan ajang penghalau udara Amerika Serikat.

3. Alasan kultural atau budaya (etnis), dimana pemekaran daerah terjadi karena

menganggap adanya perbedaan budaya antara daerah yang bersangkutan dengan daerah induknya. Sebagai contoh: Penduduk Bangka Belitung dengan penduduk Sumatera Selatan, kemudian Provinsi Gorontalo dengan Sulawesi Utara, demikian pula Kabupaten Minahasa Utara yang merasa berbeda budaya dengan Kabupaten Minahasa.

4. Alasan ekonomi, dimana pemekaran daerah diharapkan dapat mempercepat

pembangunan di daerah. Kondisi seperti ini terutama terjadi di Indonesia Timur seperti Papua (Keerom) dan Irian Jaya Barat (Kabupaten Sorong), dan pemekaran yang terjadi di daerah lainnya seperti Kalimantan Timur (Kutai Timur), Sulawesi Tenggara (Konawe Selatan), Sumatera Utara (Serdang Bedagai), dan Lampung (Tanggamus).

5. Alasan anggaran, pemekaran daerah dilakukan untuk mendapatkan anggaran dari

pemerintah. Sebagaimana diketahui daerah yang dimekarkan akan mendapatkan anggaran dari daerah induk selama 3 tahun dan mendapatkan dana dari pemerintah pusat (DAU dan DAK).

6. Alasan keadilan , bahwa pemekaran dijadikan alasan untuk mendapatkan keadilan.

Artinya, pemekaran daerah diharapkan akan menciptakan keadilan dalam hal pengisian jabatan pubik dan pemerataan pembangunan. Contoh: pemekaran Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, dan Provinsi Sulawesi Tenggara.

Dari sisi implikasi, Pembentukan daerah otonom baru telah menimbulkan berbagai implikasi yang terjadi pada semua level pemerintahan, baik bagi pemerintahan daerah maupun pemerintahan pusat.

1. Implikasi pemekaran daerah terhadap daerah, antara lain :

a. Pembentukan kelembagaan baru : Pemekaran daerah menimbulkan implikasi

bagi kelembagaan daerah, yang meliputi organisasi perangkat daerah dan organisasi pusat di daerah. Sebagai konsekuensi logis pemekaran daerah, maka terbentuk kelembagaan daerah yang meliputi organisasi perangkat daerah (Dinas dan Lembaga Teknis Daerah), DPRD, dan BUMD.

b. Pola Hubungan Kerja di Daerah Pemekaran : Hubungan pemerintahan daerah

dengan lembaga lainnya akan dapat berjalan dengan baik jika kondisi internal pemerintahan daerah tersebut telah berjalan baik dikarenakan pemerintahan


(23)

daerah telah mampu menyelesaikan sebagian besar persoalan yang dihadapinya. Penyebab ketidakharmonisan hubungan tersebut antara mengenai proses penyerahan P3D (penganggaran, peralatan, personel dan dokumen) yang tidak tuntas, dan kewajiban-kewajiban lain yang harus diselesaikan oleh daerah induk selama masa pembinaan serta persoalan batas wilayah.

c. Politik lokal : Pemekaran daerah berimplikasi terhadap dinamika politik di

daerah, bukan saja mengenai penentuan ibukota daerah otonom baru dan penentuan batas wilayah, tetapi juga mengenai sumber-sumber kekuasaan dan tarik-menarik kepentingan di antara elit politik di daerah otonom baru, baik berkenaan dengan politik anggaran maupun proses demokratisasi di daerah. d. Sumber daya manusia : Pemekaran secara nyata telah membawa implikasi bagi

dinamika sumber daya manusia di daerah otonom baru, baik itu mengenai demeografinya maupun kualitas dan komposisinya. Hal ini dapat bernilai positif jika itu ditunjukkan untuk meningkatkan kesejahteraan daerah, namun jika terbentuknya daerah baru menimbulkan egosentris suatu masyarakat maka hal ini tentunya sangat merugikan bagi daerah yang bersangkutan.

e. Pemberdayaan Ekonomi: Pemekaran daerah yang telah memperhitungkan

potensi dan kesiapan daerah serta dilakukan dengan mekanisme yang tepat, maka pemekaran berimplikasi positif bagi pertumbuhan ekonomi dan pelayanan publik di daerah tersebut.

f. Lingkungan Hidup : Pemekaran daerah selain membawa implikasi positif juga

dapat berdampak positif, terutama dalam hal pemanfaatan sumber daya alam. Apabila tidak dikelola dengan baik, pemekaran daerah justru dapat menyebabkan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi darerah yang berlebihan.

g. Kemiskinan : Selain meningkatnya pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah

yang secara nyata mempunyai daya saing sebagai daerah otonom baru, ternyata pemekaran daerah juga berpotensi menimbulkan kemiskinan atau dapat dikatakan pemekaran daerah berpotensi menimbulkan terjadinya pemiskinan. Terbitnya berbagai Peraturan Daerah (Perda) yang berorientasi peningkatan PAD telah memberatkan masyarakat dan pada tataran yang lebih luas telah menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy).

2. Implikasi pemekaran daerah terhadap pemerintahan pusat, antara lain :

a. Dalam aspek kelembagaan pemerintahan pusat, implikasi yang terjadi adalah penambahan jumlah kelembagaan vertikal di daerah.


(24)

b. Dalam aspek kewenangan, pemerintah pusat – yang menangani urusan Pemerintah Pusat dan depertemen teknis – harus menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan penyerahan kewenangan tersebut.

c. Dalam aspek hubungan keuangan dengan pemerintah pusat, implikasi yang terjadi adalah penambahan alokasi keuangan/anggaran untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam bentuk DAU maupun DAK.

Secara statistik keinginan daerah untuk membentuk DOB tidak pernah surut. Refleksi dari tingginya animo membentuk daerah otonomi baru ini terlihat bahwa dalam kurun waktu 10 tahun--sejak 1999 hingga 2009--pemerintah telah membentuk 205 daerah otonomi baru.

A. Aspek Positif Pemekaran Daerah

Dalam setiap kebijakan atau keputusan yang diambil pasti ada sisi positif dan sisi negatifnya. Begitu juga dengan penerapan sistem desentaralisasi ini, memiliki beberapa kelemahan dan kelebihan. Secara terperinci mengenai dampak dampak positif dan negatif dari desentarlisasi dapat di uraikan sebagai berikut :

a. Potensi Peningkatan Ekonomi

Pemekaran suatu wilayah membawa dampak positif dari segi ekonomi. Daerah-daerah yang dimekarkan yang memiliki potensi ekonomi yang baik lebih berkesempatan untuk melakukan pengembangan. Di Sumatera Selatan, misalnya, beberapa daerah memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang cukup menjanjikan. Namun dikarenakan sebelumnya harus dibawah kendali pemerintahan yang memiliki tanggung jawab wilayah yang sangat luas, menjadi penghambat bagi pengelolaan sumber daya alam yang ada secara maksimal.

Beberapa kabupaten di Kalimantan Timur seperti Kutai Karta Negara atau di Sumatera Selatan seperti OKU Timur, Ogan Ilir, Banyuasin tentu belum mencapai kemajuan seperti sekarang ini apabila tidak dilakukan pemekaran daerah.

b. Memperpendek Rentang kendali Pelayanan Publik

Salah satu aspek positif yang dirasakan oleh masyarakat sebagai dampak dari pemekaran daerah adalah semakin pendeknya rentang kendali pelayanan publik oleh pemerintah. Kejadian di beberapa daerah jika selama ini semua urusan harus memakan waktu selama beberapa jam (bahkan beberapa hari bagi wilayah-wilayah terpencil) untuk mencapai ibukota kabupaten karena faktor jarak atau kualitas jalan, pemekaran daerah “mendekatkan ibukota kabupaten” kepada masyarakat sehingga berbagai urusan menjadi lebih mudah.


(25)

Untuk kasus Sumatera Selatan, misalnya, selama ini masyarakat di Inderalaya harus bepergian ke kota Kayu Agung (berjarak sekitar .... Km) ketika harus berurusan ke kantor Bupati atau dina-dinas terkait pemerintah kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Namun setelah dilakukan pemekaran daerah, kabupaten OKI dibagi menjadi dua dengan dibentuknya kabupaten Ogan Ilir maka faktor jarak itu teratasi. Penduduk Inderalaya tidak perlu lagi pegi ke kota Kayu Agung karena kota Inderalaya itu sendiri berubah menjadi ibukota kabupaten Ogan Ilir. Rentang pelayanan publik yang harus diberikan oleh pemerintah kabupaten menjadi lebih dekat.

c. Percepatan Laju Pembangunan Infra Struktur di Daerah

Rendahnya kualitas dan kuantitas infra struktur menjadi salah satu kendala utama dalam upaya memajukan daerah-daerah di Indonesia. Akses bagi masyarakat pedesaan untuk mencapai ibukota kecamatan dan dari ibukota kecamatan menuju ibukota kabupaten juga masih banyak menemui kendala. Ini terjadi karena tidak terdapat banyak alternatif jalan yang dapat digunakan. Selain itu jikapun ada alternatif jalan maka kualitas jalan sangat jelek. Bahkan di daerah-daerah tertentu jalan itu harus dilalui dengan menggunakan kendaraan-kendaraan dengan kemampuan four wheel drive (4-WD) atau masyarakat kebanyakan sering

menggunakan istilah “mobil double”.

Namun dengan adanya pemekaran daerah, pembentukan kabupaten-kabupaten baru terjadi percepatan pembangunan sarana dan prasana jalan. Beberapa ruas jalan baru dibuka yang memberikan alternatif lebih bagi masyarakat untuk bepergian. Lalu lintas barang, terutama hasil-hasil pertanian menjadi lebih mudah dipasarkan. Apalagi jika kepala daerah pemekaran adalah sosok yang memiliki akses yang baik kepada pemerintah pusat atau pemerintah provinsi. Akses ini memberikan kesempatan lebih untuk mendapatkan proyek-proyek pembangunan infra struktur di daerahnya.

d. Peningkatan Kesempatan SDM Potensial di Daerah

Selama era sentralisasi sangat terasa ketergantungan daerah dengan sumber daya manusia (SDM) yang berpusat di Jakarta. Dalam banyak hal daerah sangat tergantung kepada arahan pemerintah pusat. Pusat kekuasaan di Jakarta sepertinya menjadi tolok ukur kualitas SDM. SDM di daerah sepertinya tidak memiliki kemandirian. Sebenarnya keadaan ini (ketidak mandirian SDM daerah) justru menyulitkan pemerintah pusat karena harus melayani begitu banyak daerah dengan begitu banyak persoalan yang dihadapi.


(26)

Salah satu aspek positif manajemen pemerintah yang dikelola secara desentralisasi dimana lebih memberikan kesempatan kepada daerah-daerah untuk menjalankan kebijakan sendiri dan atas inisiatif sendiri pula. Memang pada tahap awal daerah-daerah kewalahan untuk memenuhi kebutuhan SDM yang berkualitas.

Era otonomi daerah pula yang membuka peluang yang luas bagi SDM di daerah untuk muncul, untuk berperan serta dalam berbagai bidang. Dalam bidang politik, misalnya, kesempatan SDM terbuka luas untuk turut serta dalam perebutan jabatan kepala daerah. Di era sentarlisasi kesempatan SDM daerah untuk berpartisipasi sangatlah rendah. Bahkan di daerah-daerah tertentu kesempatan itu tertutup rapat. Pada masa itu dominasi untuk menjadi kepala daerah berada di tangan pihak militer dan penguasa birokrasi seperti Bupati/Gubernur yang sedang menjabat yang kebetulan pada era itu “mayoritas” kepala daerah adalah dari kalangan angkatan bersenjata.

Era otonomi daerah membuka kesempatan bagi putra-putri daerah untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah. Suatu kesempatan yang sangat langka ketika Indonesia menerapkan sistem sentralisasi bagi daerah-daerahnya. Otonomi daerah membuat orang-orang daerah terpaksa menambah kemampuan SDM-nya, ada upaya penguatan SDM daerah dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada mereka untuk berkembang. Kondisi terbuka ini juga memaksa “orang-orang daerah” untuk menambah kualitas dirinya yang pada gilirannya menaikkan kualitas SDM daerah secara keseluruhan.

e. Pemberdayaan Masyarakat Daerah

Di era sentralisasi upaya pemberdayaan (empowering) masyarakat daerah relatif

rendah. Sepertinya fokus pemerintah pusat hanya kepada pengembangan masyarakat di pusat atau daerah-daerah perkotaan saja. Sedangkan daerah-daerah yang jauh dari pusat kekuasaan maka akan jauh pula dari sentuhan pemerintah pusat. Oleh karena itu tidak mengherankan jika semakin kita masuk ke wilayah-wilayah di daerah maka akan semakin rendah pula kualitas hidup masyarakatnya.

Era otonomi daerah memberikan kesempatan yang lebih luas bagi daerah untuk memberdayakan masyarakatnya. Pemberdayaan itu dapat berupa antara lain pemberian kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat di daerah untuk berkembang. Memang muncul isu putra daerah dan non-putra daerah. Namun tetap saja era otonomi daerah menjadikan pemberdayaan masyarakat daerah menjadi terbuka luas.

Pemberdayaan masyarakat daerah dapat juga dalam bentuk pemberian program-program yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat. Era sentralisasi “tidak pernah” pemerintah daerah berkesempatan mencanangkan program pendidikan gratis, misalnya. Di


(27)

era desentralisasi (otonomi daerah) cukup banyak pemerintah daerah yang menjadikan program pendidikan gratis bagi warganya. Malah ada diantara pemerintah daerah yang memberikan pendidikan gratis hingga ke tingkat perguruan tinggi.

Pemberdayaan masyarakat di era otonomi daerah juga berarti orang-orang di daerah mendapatkan kesempatan yang sangat terbuka untuk menduduki berbagai jabatan birokrasi. Selama ini adalah “mimpi indah” bagi masyarakat di daerah yang ingin memiliki jabatan sebagai kepala daerah. Pada era sentralistik, jabatan kepala daerah umumnya (malah sepertinya sudah given) untuk militer atau penguasa yang terkait dengan angkatan bersenjata.

Biasanya jabatan-jabatan ini, khususnya untuk Sumatera Selatan, tidak diduduki oleh orang-orang yang berasal dari Sumatera Selatan. Salah satu berkah dari era otonomi daerah, ada pemberdayaan masyarakat daerah.

B. Aspek Negatif Pemekaran Daerah

Tidak menutup kemungkinan adanya pro dan kontra terhadap suatu perubahan. Otonomi daerah adalah suatu perubahan besar bagi sistem pemerintahan Indonesia yang sebelumnya sangat sentralistik. Sikap kontra ini muncul karena menilai “banyak” juga sisi negatif akibat dari pemekaran daerah.

Beberapa sisi negatif pemekaran daerah tersebut misalnya bahwa sebagian otonomi daerah semata-mata untuk pembentukan daerah otonomi baru (DOB) yang tidak mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat, tidak mampu memperbaiki kondisi keuangan daerah, dan tidak juga mampu memperbaiki kinerja daerah tersebut. Salah satu hasil penelitian mengungkapkan beberapa dampak negatif pemekaran daerah.

1. Dampak Dari Pemekaran Wilayah Terhadap Kesejahteraan Masyarakat

Beberapa hasil evaluasi terhadap pemekaran daerah menunjukkan bahwa kebanyakan daerah-daerah pemekaran secara umum memang tidak berada dalam kondisi awal yang lebih baik dibandingkan daerah induk atau daerah kontrol. Namun setelah lima tahun dimekarkan, ternyata kondisi daerah otonom baru (DOB) juga secara umum masih tetap berada di bawah kondisi daerah induk dan daerah kontrol.

Pertumbuhan ekonomi daerah otonom baru (DOB) lebih fluktuatif dibandingkan dengan daerah induk yang relatif stabil dan terus meningkat. Memang pertumbuhan ekonomi daerah pemekaran (gabungan DOB dan daerah induk) menjadi lebih tinggi dari daerah-daerah kabupaten lainnya, namun masih lebih rendah dari daerah-daerah kontrol. Hal ini berarti,


(28)

walaupun daerah pemekaran telah melakukan upaya memperbaiki perekonomian, di masa transisi membutuhkan proses, belum semua potensi ekonomi dapat digerakkan.

Sektor pertanian sangat rentan terhadap gejolak harga, baik harga komoditi maupun hal-hal lain yang secara teknis mempengaruhi nilai tambah sektor pertanian. Oleh karena itu, kemajuan perekonomian DOB sangat tergantung pada usaha pemerintah dan masyarakat dalam menggerakkan sektor tersebut. Porsi perekonomian daerah DOB yang lebih kecil dibandingkan daerah lain dalam perekonomian satu wilayah (propinsi) mengindikasikan, bahwa secara relatif daerah DOB belum memiliki peran dalam pengembangan perekonomian regional.

Beberapa dampak sebagai akibat dari pemekaran daerah antara lain :

a. Penduduk miskin lebih terkonsentrasi pada daerah DOB

Meskipun terjadi pengurangan kemiskinan di seluruh daerah, terlihat bahwa pemekaran mendorong pelepasan penduduk miskin dari daerah induk ke DOB. Data menunjukkan bahwa penduduk miskin justru jadi terkonsentrasi di DOB. Dalam konteks yang lebih luas, peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah DOB belum dapat mengejar ketertinggalannya dari daerah induk, meski kesejahteraan DOB telah relatif sama dengan daerah-daerah kabupaten lainnya. Lebih dari itu, indikator pertumbuhan ekonomi telah menunjukkan bahwa daerah pemekaan (daerah baru dan daerah induk) memiliki pertumbuhan yang lebih baik dari rata-rata daerah secara keseluruhan dan daerah kontrol.

Dari sisi ekonomi, penyebab ketertinggalan daerah DOB dari daerah induk maupun daerah lainnya adalah keterbatasan sumber daya alam, juga keterbatasan sumber daya manusia (penduduk miskin cukup banyak), dan belum maksimalnya dukungan pemerintah dalam menggerakkan perekonomian melalui investasi publik. Masalah-masalah yang dihadapi pada aspek ekonomi cukup beragam dan belum kondusif dalam menggerakkan investasi, pola belanja aparatur, dan pembangunan yang belum sepenuhnya mendukung perekonomian lokal karena masalah tempat tinggal aparatur, pemilihan ibukota kabupaten yang belum dapat menciptakan pusat perekonomian di DOB, keterbatasan berbagai infrastruktur penunjang ekonomi maupun penunjang pusat fasilitas pemerintahan.


(29)

b. Kinerja Keuangan Daerah Otonom Baru (DOB)

Secara umum kinerja keuangan daerah otonom baru (DOB) lebih rendah dibandingkan daerah induk. Selama lima tahun kinerja keuangan DOB cenderung konstan, sementara kinerja keuangan daerah induk cenderung meningkat. DOB memiliki ketergantungan fiskal yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah induk, dengan kesenjangan yang semakin melebar. Pemekaran juga mendorong ketergantungan yang lebih besar di daerah pemekaran dibandingkan dengan daerah kontrol maupun kabupaten lain pada umumnya.

Optimalisasi sumber-sumber PAD di daerah DOB relatif lebih rendah dibandingkan daerah induk. Sementara itu, jika dibandingkan dengan daerah kontrol maupun rata-rata daerah, optimalisasi PAD di daerah pemekaran relatif lebih rendah walaupun perbedaannya cukup rendah. Dapat dikatakan bahwa sumbersumber ekonomi yang juga menjadi sumber-sumber PAD di daerah kontrol atau kabupaten lainnya pada umumnya sudah dalam kondisi mantap (steady state).

Dalam periode 2001-2005, kinerja keuangan pemerintah DOB mengalami peningkatan, baik dari sisi penurunan dependensi fiskal maupun dari sisi kontribusi ekonomi. Hanya saja peningkatan kinerja tersebut belum dapat dikatakan optimal karena masih tergolong dalam dependensi fiskal yang tinggi dengan kontribusi ekonomi yang relatif rendah. Hal ini terjadi dalam kondisi investasi pemerintah

(capital expenditure) DOB yang relatif lebih besar dibandingkan daerah lainnya.

Tentunya ini terkait dengan kenyataan bahwa DOB masih berada dalam fase transisi, baik secara kelembagaan, aparatur maupun infrastruktur pemerintahan.

c. Kinerja pelayanan publik di DOB

Secara umum kinerja pelayanan publik di DOB masih di bawah daerah induk, walaupun kesenjangannya relatif kecil. Kinerja pelayanan publik di DOB plus daerah induk secara umum masih berada di bawah kinerja pelayanan publik di daerah kontrol maupun rata-rata kabupaten. Selama lima tahun terakhir, di semua kategori daerah terlihat kinerja pelayanan publik yang cenderung menurun. Masalah yang dihadapi dalam pelayanan publik ialah :

1. tidak efektifnya penggunaan dana, terkait dengan kebutuhan dana yang tidak seimbang dengan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang relatif sama, 2. ketersediaan tenaga pelayanan pada masyarakat karena perkembangan ekonomi


(30)

3. masih terbatasnya pemanfaatan layanan publik publik yang diberikan.

d. Kinerja aparatur di daerah DOB

Kinerja aparatur secara keseluruhan menunjukkan fluktuasi di DOB dan daerah induk, meskipun dalam dua tahun terakhir posisi daerah induk masih lebih baik daripada daerah DOB. Jumlah aparatur cenderung meningkat selama lima tahun pemekaran. Kualitas aparatur di DOB masih sangat rendah, meskipun data menunjukkan adanya peningkatan persentase aparat dengan pendidikan minimal sarjana. Daerah DOB belum menunjukkan kinerja sesuai dengan yang diharapkan, karena pada masa transisi tidak ada desain penempatan aparatur yang benar-benar baik. Di samping itu, pembatasan jumlah aparatur yang formasinya ditentukan oleh pusat juga ikut menentukan ketersediaan aparatur.

Masalah-masalah yang ditemui pada pengelolaan aparatur di antaranya: adanya ketidaksesuaian antara aparatur yang dibutuhkan dengan ketersediaan aparatur yang ada, kualitas aparatur yang rendah, aparatur daerah bekerja dalam kondisi underemployment, yakni bekerja di bawah standar waktu yang telah

ditetapkan oleh pemerintah.

Pembentukan daerah onomi baru (DOB) bukanlah suatu hal yang seharusnya mendapat tentangan sepanjang bertujuan untuk mensejahterahkan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, tujuan pembentukan DOB akan berhasil jika memenuhi beberapa tahapan dan persyaratan.

Pertama, bahwa pembentukan DOB harus didasarkan atas data dan aspirasi masyarakat. Para inisiator pembentukan DOB harus meyakini benar bahwa pemekaran itu merupakan aspirasi masyarakat, bukan sebagai ambisi politik kelompok atau pribadi tertentu. Aspirasi masyarakat yang semata-mata bertujuan pengembangan daerahnya merupakan modal dasar yang penting bagi keberhasilan pemekaran suatu daerah.

Persyaratan berikutnya bahwa pembentukan DOB harus melibatkan Gubernur secara intens dalam pembahasan pengembangan suatu wilayah baik untuk penghapusan, pemekaran ataupun penggabungan. Di beberapa daerah DOB terkadang tidak melibatkan Gubernur secara rasional karena berbagai alasan. Diantara alasannya karena adanya perbedaan pandangan politik antara Gubernur dan Bupati. Mungkin juga sebagai imbas dari Pemilukada disertai benturan-benturan politik keduanya yang meluas dan membawa implikasi politik. Akibatnya, komunikasi dengan Gubernur agak tersumbat.


(31)

Selain itu harus dilakukan revitalisasi terhadap Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Berbagai langkah dapat dilakukan termasuk menempatkan para pakar yang memahami seluk-beluk otonomi daerah (para pakar) yang memang memiliki kredibilitas tinggi. Hal ini bertujuan agar dewan memiliki kemampuan untuk melakukan evaluasi pengembangan wilayah secara baik.

Seringkali argumentasi yang diajukan sebagai alasan pemekaran wilayah adalah demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Walaupun secara kasat mata seringkali peningkatan kesejahteraan yang dimaksud tidak dapat dilihat secara langsung. Namun demikian seharusnya ada beberapa langkah sekaligus cara untuk dijadikan tolok ukur dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat tersebut antara lain dapat melalui: a) Peningkatan pelayanan kepada masyarakat, b) Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, c) Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, d) Percepatan pengelolaan potensi daerah, f) Peningkatan keamanan dan ketertiban dan g) Peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah.


(1)

Provinsi Tapanuli merupakan rencana pemekaran Provinsi Sumatera Utara, terletak pada bagian Barat kawasan Sumatera Utara saat ini. Kabupaten/kota yang bergabung ke dalam provinsi ini meliputi :

1. Kota Sibolga (ibu kota) 2. Kabupaten Tapanuli Tengah 3. Kabupaten Tapanuli Utara 4. Kabupaten Samosir 5. Kabupaten Toba Samosir

6. Kabupaten Humbang Hasundutan

Demo pemekaran Provinsi Tapanuli di DPRD Sumatera Utara berlangsung rusuh. Massa yang berjumlah ribuan menyerbu gedung Dewan, pagar pembatas gedung yang biasa digunakan celah antara gedung dengan tempat aksi demo roboh.

Massa dengan leluasa masuk ke gedung Dewan. Sebagian dan menyerbu ruang Ketua Dewan Abdul Wahab Dalimunte. Massa yang lain menggedor-gedor kaca. Polisi yang berjaga-jaga tak berkutik. Massa memaksa Ketua Dewan Abdul Wahab Dalimunte menandatangani rekomendasi pemekaran Provinsi Tapanuli. Tuntutan massa akhirnya dikabulkan pimpinan Dewan.

G.M. Candra Panggabean, Ketua Umum Panitia Pemekaran Provinsi Tapanuli, mengatakan sejak 2002 masyarakat menginginkan Tapanuli menjadi provinsi. "Kami ingin lepas dari Sumatera Utara," ucap Candra Panggabean yang juga tercatat sebagai anggota DPRD Sumatera Utara.

Candra mengatakan, kalau ada sedikit kerusuhan itu implementasi rakyat ingin ketemu dengan wakilnya. Sementara itu, pihak kepolisian tidak bersedia dikonfirmasi.

Komisaris Suprayitno, penanggung jawab keamanan luar gedung DPRD Sumatera Utara menghilang. Sedangkan Komisaris Iwan mengatakan, dirinya hanya bertanggung jawab dibagian gedung Dewan. Berdasarkan pengamatan Tempo, kedatangan dan jumlah

massa tidak diantisipasi pihak kepolisian.14

Proses ini berujung pada sebuah peristiwa tragis 3 Februari 2009. Sejarah pun mencatat proses pemekaran di Sumatera Utara itu sebagai salah satu contoh pemekaran paling tragis.

14

Tempo.Com, Demo Tuntutan Pemekaran Tapanuli Rusuh, Selasa,, 24 APRIL 2007, AKSES, 20 AGUSTUS 2013, JAM 12:10


(2)

Pada 3 Februari itu, ribuan pendukung provinsi Tapanuli berunjuk rasa penuh semangat di gedung DPRD Sumatera Utara. Tuntutan mereka satu: meminta DPRD segera memberikan rekomendasi. Ini adalah persyaratan terakhir yang diperlukan untuk meneruskan pembentukan provinsi Tapanuli.

Tapi demonstrasi itu ricuh. Ketua DPRD Sumatera Utara Aziz Angkat dikeroyok massa sampai tewas. Upaya pemekaran seperti terhantam badai. Sebanyak 16 pelaku demonstrasi dan orang-orang di baliknya diseret ke pengadilan satu per satu. Chandra termasuk di dalamnya karena dituding sebagai otak. Chandra, yang bekas anggota DPRD Sumatera Utara, dihukum delapan tahun penjara.

Sejak saat itu, gaung provinsi Tapanuli seperti mereda. Tapi Chandra mengatakan upaya mengusulkan pemekaran tak serta- merta berhenti. “Desakan dari masyarakat masih kuat,”katanya. Menurut Chandra, proses pemekaran tinggal selangkah lagi karena seluruh persyaratan yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah 129 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 078 Tahun 2007 sudah dipenuhi. Satu-satunya yang tersisa adalah rekomendasi DPRD Sumatera Utara.

Chandra menuturkan sederet alasan Tapanuli harus tumbuh sebagai provinsi sendiri. Tapanuli, kata dia, akan terus menjadi daerah tertinggal bila tak dimekarkan. Padahal, pada masa kolonial, Tapanuli termasuk wilayah residen. “Tapanuli adalah satu-satunya residen yang belum menjadi provinsi,” Chandra menambahkan.

Massa juga menuntut ketua DPRD Sumatera Utara memerintahkan anggota Dewan hadir dalam sidang besok. Namun, permintaan itu tak disanggupi Aziz. Alasannya, keputusan tersebut tergantung fraksi.

Massa tak menerima alasan itu. Mereka kemudian meninju muka Aziz secara bertubi-tubi. Aziz diseret sejauh 25 menter sambil dipukuli dan diinjak-injak. Aksi ini berlangsung sekitar sepuluh menit. Akibatnya, wajah dan mulutnya mengeluarkan darah dan tubuhnya membiru di sejumlah tempat.

Massa semakin beringas karena polisi tak segera bereaksi melihat Aziz ayng dikeroyok. Dalam aksi itu sekitar 250 polisi berjaga di sekitar kejadian. Wakil Kepala Kepolisian Kota Besar Medan ikut mengamankan jalannya aksi tersebut.

Saat itu Aziz terkapar. Massa dan polisi kemudian membopongnya ke dalam truk pengendali massa milik kepolisian. Ia dibawa ke rumah sakit Gleneagles di Medan. Aziz sempat dirawat, namun sekitar pukul 13.00 WIB nyawanya tak tertolong (meninggal).


(3)

Empat orang tewas dalam unjuk rasa menuntut pemekaran Musi Rawas Utara (Muratara), Sumatera Selatan, pada Senin malam (29/4). Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Suhardi Alius mengungkapkan, kejadian berawal saat 500 pengunjuk rasa memblokir Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) Muara Rupit Simpang Empat, Karang Dampu, Musi Rawas menuntut pemekaran Muratara.

"Massa memblokir total Jalinsum dengan mendirikan tenda-tenda di perempatan Kelurahan Muara Rupit, Kecamatan Rupit, namun dihimbau Kapolres Musi Rawas AKBP Barly Ramadani agar tidak memblokir jalan," kata Suhardi.

Dijelaskannya, Kapolres dan Sarkowi selaku Ketua Presidium Pemekaran Kabupaten Muratara mendatangi Redy selaku koordinator lapangan unjuk rasa, meminta pengunjuk rasa tidak menutup Jalinsum, namun ditolak Redy. Untuk menghadapi upaya pembubaran polisi, Redy bahkan meminta massa untuk menyiapkan diri dengan senjata api rakitan jenis kecepek dan golok.

Melihat situasi tersebut, Kabag Hukum Pemkab Musi Rawas, Rahman dan Kabag Linmas, Mita Joni, yang diutus Bupati Musi Rawas, lalu menemui pengunjuk rasa dan melakukan negosiasi serta menjelaskan bahwa Muratara setuju untuk dimekarkan. Ketika Kapolres berusaha menenangkan massa terjadi aksi pelemparan batu dari arah massa pengunjuk rasa ke aparat kepolisian.

"Hal itu memicu bentrokan antara massa dengan pihak kepolisian dan terdengar suara letusan senjata api, yang diperkirakan kecepek, dari arah kerumunan massa kemudian dibalas oleh petugas Dalmas," ujar Suhardi.

Massa semakin beringas dan melakukan perusakan dan pembakaran Mapolsek Muara Rupit. Hingga dinihari pukul 01.30 WIB, massa masih berkumpul di RS Muara Rupit dan melakukan pemblokiran di Jalinsum.

Korban tewas akibat bentrokan tersebut, ada empat yaitu Padillah, 45, Nikson, 20, Suharto, 18 dan Rinto.


(4)

EMPAT ORANG TEWAS

Aksi demonstrasi menuntut pemekaran Kabupaten Musi Rawas Utara,Kecamatan Muara Rupit, Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan, Senin 29 April 2013 pagi hingga malam, berakhir bentrok antara Polri dan pendemo.

Akibatnya Empat warga tewas, puluhan warga mengalami luka tembak dua kantor Polsek dibakar.

C. Pengetatan Pemekaran Wilayah

Idealnya, pemekaran wilayah bertujuan memperpendek rentang kendali pelayanan kepada masyarakat. Melalui cara ini diharapkan agar ada percepatan pencapaian kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, pemekaran wilayah yang marak di era otonomi daerah saat ini tidak selamanya berhasil mencapai tujuan tersebut. Konsep pemekaran tersebut seringkali ternodai oleh perebutan kepentingan antara pihak-pihak tertentu yang berdampak pada konflik di masyarakat.

Antuasiasme berlebihan dari masyarakat juga bersinggungan dengan kebijakan Kementerian Dalam Negeri yang menghentian sementara (moratorium) pemekaran wilayah ini. Akibatnya konflik yang tak jarang memakan korban pun terjadi di beberapa daerah.

Seperti pada 2009 silam, Ketua DPRD Provinsi Sumut Abdul Azis Angkat meninggal dunia saat masyarakat pro pemekaran provinsi Tapanuli merangsek masuk ke gedung DPR. Atau yang terbaru, sebanyak empat orang tewas dan 10 anggota polisi luka-luka saat insiden Musi Rawas, Sumatera Selatan.

Atas dasar itu seharusnya persiapan dan penilaian untuk pemberian izin dari pemerintah harus sangat matang. Persoalan diterima atau ditolaknya usulan pengembangan wilayah bisa karena soal administrasi persyaratan yang belum memenuhi persyaratan, tapi bisa jadi juga persoalan pengaruh politik.

Selain itu, provinsi dan kabupaten yang sudah ada saat ini juga sangat penting untuk berlomba-lomba menjadi daerah yang memiliki tata kelola pemerintahan yang baik yang dapat dicontoh oleh daerah-daerah baru hasil pemekaran.

Daerah yang berhasil mengelola wilayahnya berdasarkan asas-asas pemerintahan yang baik, tata kelola pemerintahan yang baik sangat mungkin memberikan kesejahteraan kepada warganya karena keberhasilan pembangunan yang dicapainya. Dengan adanya kemajuan daerah dan masyarakat makin sejahtera, permintaan pemekaran wilayah yang anarkistis, bisa jadi terminimalisir.

Pemekaran daerah, terutama untuk daerah-daerah diluar pulau Jawa masih perlu dimekakrkan baik karena pertimbangan geografis maupun pertimbangan percepatan pembangunan. Namun demikian, apabila suatu daerah akan dimekarkan, maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan.


(5)

Pertama, pengetatan persyaratan pemekaran dan pengaturan sanksi bila terjadi

manipulasi aspirasi dan data. Hasrat yang tinggi untuk memekarkan daerahnya, terkadang daerah menggunakan berbagai cara yang bersifat “menghalalkan segala cara” termasuk menampilkan data yang sepertinya sempurna dan lengkap. Oleh karena itu pihak-pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan penilaian kelayakan usulan pemekaran wilayah harus memastikan benar keaslian, akurasi dan kepastian data yang disampaikan. Jangan sampai terjadi data yang disampaikan sebenarnya tidak sesuai dengan siatuasi sesungguhnya di lapangan. Apabila ini terjadi, termasuk misalnya persoalan batas wilayah, sangat mungkin terjadi sengketa perbatasan dikemudian hari.

Selain itu, harus ada suatu mekanisme penilaian bagi daerah-daerah yang baru dimekarkan. Sebaiknya dilakukan masa percobaan untuk waktu tertentu bagi wilayah pemekaran untuk dilakukan penilain. Pemerintah tidak segan-segan membatalkan pemekaran apabila ternyata dengan tolok ukur yang jelas daerah yang baru dimekarkan tidak mampu mencapai target sebagaimana yang dipersyaratkan tersebut.

Kedua, Gubernur lebih difungsikan lagi dalam dalam pembahasan pengembangan

wilayah (penghapusan, pemekaran atau penggabungan). Bukan berarti selama ini Gubernur sama sekali tidak dilibatkan, namun di era otonomi daerah sikap respek daerah kabupaten/kota kepada Gubernur memang terkesan menurun. Apalagi dalam soal pemekaran wilayah (pembentukan daerah otonomi baru) seakan-akan sepanjang masyarakat menghendaki, persyaratan formal (seperti jumlah kecamatan) terpenuhi dan mendapat dukungan dari DPRD setempat maka tidak ada pihak lain yang dapat/ boleh menghalangi upaya pemekaran wilayah tersebut.

Ketiga, pemerintah pusat harus memiliki mekanisme yang lebih baik dalam menilai

kecocokan suatu wilayah untuk dimekarkan. Harus ada tolok ukur yang jelas dan objektif untuk menentukan apakah suatu wilayah memang pantas untuk dimekarkan. Upaya ini termasuk juga dengan cara merevitalisasi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) dengan lebih banyak diisi oleh pakar yang kredibel agar bisa melakukan evaluasi pengembangan wilayah secara baik.

Keempat, lembaga perwakilan rakyat (dalam hal ini Dewan Perwakilan Daerah dan

Dewan Perwakilan Rakyat) harus berdiri sejajar dalam pembahasan apakah suatu wilayah memang tepat untuk dimekarkan. Anggota DPD seharusnya lebih berperan dan lebih berpeluang untuk menilai secara objektif terhadap suatu wilayah yang mengusulkan diri untuk dimekarkan. Namun harus juga dihindari bahwa adanyanya unsur politik yang kental dalam pemberian dukungan/penolakan terhadap pemekaran suatu daerah.


(6)

DAFTAR BACAAN

Amzulian Rifai, Pengelolaan Pertambangan Di Era Otonomi Setengah Hati, Makalah pada Forum Diskusi Ilmiah Hukum Pertambangan Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya Tanggal 22 Juli 2008

______,Beberapa Permasalahan Hukum di Daerah Pada Era Reformasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar UNSRI, 6 September 2005.

______,Sengketa Asset Karena Pembentukan Daerah Baru, Penerbit UNSRI, Palembang, 2004.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah Kompas, MK Batalkan Hasil Pilkada Bengkulu Selatan,Jum’at,9 Januari 2009,hal 5.

Sriwijaya Post, “OI Andalkan Peta Belanda ME Ungkapkan Cerita Puyang”, Kamis, 8 Januari 2009, hal 1.

_______, Warga Kayuara Masih Trauma,” Jum’at, 9 Januari 2009, hal 1

Sumatera Ekspres, Gubernur Deadline Dua Minggu, Kamis, 8 Januari 2009, hal 11. _______, “10 Januari Cek Perbatasan”, Jum’at, 9 Januari 2009, hal 27.

Survei Lembaga Survey Indonesia : Otonomi Daerah Dinilai Gagal. http://www.lsi.or.id/liputan/237/survei-lsi-otonomi-daerah-dinilai-gagal, akses 09 Januari 2008 jam 06:05

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara 2008 menggantikan Undang-Undang Pertambangan No 11 Tahun 1967