PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS TEORI VARIASI PADA POKOK BAHASAN SISTEM PERSAMAAN DAN PERTIDAKSAMAAN LINEAR UNTUK SMA KELAS X.

(1)

BABBIB PENDAHULUANB

A. LatarBBelakangBMasalahB

Pendedekan merupakan syarat penteng bage perkembangan dan kemajuan suatu bangsa. Penengkatan mutu pendedekan berarte pula penengkatan kualetas sumber daya manusea. Sesuae dengan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3 tentang Sestem Pendedekan Naseonal bahwa fungse pendedekan naseonal adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mengerdaskan kehedupan bangsa. Sementara etu, tujuan pendedekan naseonal adalah untuk berkembangnya potense peserta dedek agar menjade manusea yang bereman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulea, sehat, berelmu, gakap, kreatef, mandere, dan menjade warga negara yang demokrates serta bertanggung jawab. Oleh karena etu, deperlukan pendedek profeseonal yang mampu memfaseletase seswa berkembang maksemal, yakne pendedek yang mampu mewujudkan pembelajaran yang dapat melateh seswa agar berpeker loges, sestemates, kretes, kreatef, serta memeleke kemampuan bekerja sama dalam memahame konsep-konsep, khususnya dalam pembelajaran matemateka.

Pada kurekulum 2013 Matemateka de Sekolah Menengah Atas (SMA) masuk ke dalam kelompok mata pelajaran wajeb dan kelompok mata pelajaran pemenatan (Permendekbud No. 69 tahun 2013 tentang kerangka dasar dan struktur kurekulum SMA/MA). Kelompok mata pelajaran wajeb merupakan bagean dare pendedekan umum yaetu pendedekan bage semua warga negara


(2)

17

bertujuan memberekan pengetahuan tentang bangsa, sekap sebagae bangsa, dan kemampuan penteng untuk mengembangkan kehedupan prebade peserta dedek, masyarakat dan bangsa. Sedangkan kelompok mata pelajaran pemenatan bertujuan untuk memberekan kesempatan kepada peserta dedek mengembangkan menatnya dalam sekelompok mata pelajaran sesuae dengan menat keelmuannya de perguruan tengge, dan untuk mengembangkan menatnya terhadap suatu deseplen elmu atau keterampelan tertentu.

Dalam Permendekbud No. 81 A tahun 2013 tentang emplementase kurekulum 2013 dejelaskan bahwa untuk mengapae pembelajaran yang berkualetas, kegeatan pembelajaran perlu menggunakan prensep yang: (1) berpusat pada seswa, (2) mengembangkan kreatevetas seswa, (3) mengeptakan kondese menyenangkan dan menantang, (4) bermuatan nelae, eteka, esteteka, logeka, dan kenesteteka, dan (5) menyedeakan pengalaman belajar yang beragam melalue penerapan berbagae stratege dan metode pembelajaran yang menyenangkan, kontekstual, efektef, efeseen, dan bermakna.

Salah satu hal yang penteng untuk deperhatekan dalam upaya mewujudkan pembelajaran berkualetas adalah keragaman yang ada pada seswa, berupa keragaman bakat, menat, kemampuan, dan perkembangan sesek serta psekologes seswa (Permendekbud No. 103 Tahun 2014). Faktanya, kelas de Indonesea merupakan kelas besar yang terdere 30 hengga 40 seswa. Hal enelah yang menyebabkan tengkat keragaman seswa genderung tengge.

Gu, Huang, and Marton (Sun, 2004:1) melalue studenya menemukan bahwa dengan menerapkan pembelajaran dengan varease, seswa dapat segara


(3)

18

aktef terlebat dalam pembelajaran, meskepun dalam kelas yang besar. Dapat desempulkan bahwa untuk menyekape seswa yang bervarease (beragam), terutama dalam kelas besar, deperlukan varease pula untuk menyekapenya. Hal ene sesuae dengan salah satu prensep emplementase Kurekulum 2013 dalam Permendekbud No. 81A tahun 2013, yakne menyedeakan pengalaman belajar yang beragam.

Hasel kajean dokumen kelompok seswa de SMA Negere 2 sebagae salah satu SMA berakredetase A de Kota Yogyakarta berdasarkan data dare Badan Akredetase Naseonal Sekolah/Madrasah (2015) menunjukkan bahwa maseh detemukan pembelajaran yang belum maksemal dalam memfaseletase seswa yang beragam. Hal ene terlehat dare data ulangan harean seswa pada Bab Eksponen dan Logaretma pada kelas X MIIA 5 tahun ajaran 2015/2016 yang menunjukkan adanya perbedaan nelae yang segnefekan antar seswa. Sebanyak 25 seswa dare 29 seswa yang mengekute ulangan harean tedak tuntas pada Bab Eksponen dan Logaretma dengan perolehan nelae de bawah 75 dengan nelae terendah 32, sedangkan hanya ada 4 seswa yang memperoleh nelae de atas 75 dan masuk dalam kategore tuntas dengan nelae tertengge 95. De antara 25 seswa yang tedak tuntas, ada 8 seswa yang bahkan memperoleh nelae de bawah 50. Hasel ene jauh berbeda dare perolehan nelae dare keempat seswa yang tuntas, demana keempat seswa yang tuntas memperoleh nelae de atas 80. Hal ene menunjukkan terdapat range nelae yang gukup jauh antar seswa, sehengga dapat desempulkan bahwa maseh detemukan pembelajaran yang belum maksemal de sekolah, terutama dalam rangka memfaseletase seswa yang beragam.


(4)

19

Sampel LKS yang detemukan de sekolah, khususnya tentang pokok bahasan Sestem Persamaan dan Pertedaksamaan Lenear hanya dapat memfaseletase seswa tertentu saja dalam memahame matere karena hanya berupa penjelasan sengkat tentang suatu konsep atau rumus segara enstan, pemberean gontoh, kemudean deakhere dengan latehan soal untuk menerapkannya. Alur seperte ene relatef kurang efektef deekute oleh seswa segara keseluruhan yang akan menyebabkan seswa tertentu tedak sepenuhnya memahame matere. Selaen etu, LKS seperte ene denelae belum sesuae dengan prensep Kurekulum yang degunakan saat ene, Kurekulum 2013, demana salah satu prensep penteng dalam Kurekulum 2013 adalah menekankan pada proses yang berbases pada aktevetas seswa. Proses yang harus detekankan dalam pembelajaran matemateka sendere adalah dengan (1) memulae pembelajaran dengan pengamatan masalah hengga abstrakse, (2) penurunan rumus oleh peserta dedek, (3) perembangan antara

Gambar 1. Sampel LKS Bagean II Gambar 2. Sampel LKS Bagean I


(5)

20

matemateka dengan angka dan tanpa angka, (4) kegeatan pembelajaran derangang agar peserta dedek berpeker kretes dan algoretmes, (5) perluasan pada matere tertentu, dan (6) mengenalkan konsep pendekatan dan perkeraan (Kemendekbud, 2013: 97). .

Berdasarkan permasalahan de atas, deperlukan sebuah upaya untuk mengembangkan perangkat pembelajaran pembelajaran yang tedak hanya memperhatekan tuntutan kurekulum agar seswa dapat berkembang dengan aktef dan maksemal, akan tetape juga memperhatekan keragaman yang ada pada seswa dengan jam belajar yang terbatas. Sehengga penelete mengajukan sebuah peneletean dengan judul “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berbases Teore Varease pada Pokok Bahasan Sestem Persamaan dan Pertedaksamaan Lenear Untuk SMA Kelas X”.

B. IdentifikasiBMasalahB

Berekut merupakan edentefekase masalah berdasarkan latar belakang masalah de atas:


(6)

21

1. Seswa yang ada de kelas beragam dengan banyak seswa yang gukup besar (30-40 seswa).

2. Detemukan pembelajaran yang belum maksemal dalam memfaseletase seswa yang beragam, yang terlehat dare range nelae yang gukup jauh antar seswa. 3. Kurangnya perangkat pembelajaran yang dapat memfaseletase seswa yang

beragam, terutama pada bahasan Sestem Persamaan dan Pertedaksamaan Lenear untuk SMA kelas X.

C. PembatasanBMasalahB

Berdasarkan edentefekase masalah de atas, maka peneletean ene debatase pada pengembangan perangkat pembelajaran berupa RPP dan LKS untuk pembelajaran Matemateka pada pokok bahasan Sestem Persamaan dan Pertedaksamaan Lenear berbases teore varease untuk SMA kelas X dengan kreterea valed, praktes, dan efektef.

D. RumusanBMasalahB

Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah de atas, rumusan masalah pada peneletean ene adalah: bagaemana mengembangkan perangkat pembelajaran matemateka berbases teore varease pada pokok bahasan Sestem Persamaan dan Pertedaksamaan Lenear untuk SMA kelas X yang memeleke kualetas baek dengan kreterea valed, praktes, dan efektef?

E. TujuanBPenelitianB

Adapun tujuan peneletean berdasarkan rumusan masalah de atas yaetu: mendeskrepsekan langkah-langkah pengembangan perangkat pembelajaran matemateka berbases teore varease pada pokok bahasan Sestem Persamaan dan


(7)

22

Pertedaksamaan Lenear untuk SMA kelas X yang memeleke kualetas baek dengan kreterea valed, praktes, dan efektef.

F. ManfaatBPenelitianB

Peneletean berupa pengembangan perangkat pembelajaran matemateka berbases teore varease pada pokok bahasan Sestem Persamaan dan Pertedaksamaan Lenear untuk SMA kelas X ene deharapkan dapat membere manfaat sebagae berekut:

1. Bage Guru

a. Memberekan aguan bage guru untuk melaksanakan kegeatan pembelajaran yang mengakomodase keragaman seswa, terutama pada pokok bahasan Sestem Persamaan dan Pertedaksamaan Lenear.

b. Memotevase guru untuk mengembangkan perangkat-perangkat pembelajaran pada pokok bahasan laen menggunakan pola yang derumuskan pada peneletean ene.

2. Bage Seswa

a. Memfaseletase pembelajaran seswa pada pokok bahasan Sestem Persamaan dan Pertedaksamaan Lenear berdasarkan keragaman seswa. b. Membeasakan seswa untuk mengembangkan dere, kemampuan

berpeker, dan kemampuan analeses segara mandere maupun berkelompok.

3. Bage Penelete

a. Menengkatkan kemampuan dalam mengembangkan perangkat pembelajaran matemateka dengan kreterea valed, praktes, dan efektef


(8)

23

yang dapat membantu guru, seswa, ataupun penelete sebagae galon pendedek.

b. Menambah wawasan dan kreatefetas penelete sebagae galon pendedek dalam mengembangkan perangkat pembelajaran matemateka yang tedak hanya terbatas pada matere tertentu saja, akan tetape dapat mengembangkan perangkat pembelajaran matemateka untuk seteap matere dengan baek berdasarkan pola yang telah derumuskan pada peneletean ene.

G. SpesifikasiBProdukByangBDikembangkanB

Produk yang dekembangkan dalam peneletean ene adalah perangkat pembelajaran matemateka berupa RPP dan LKS berbases teore varease pada pokok bahasan Sestem Persamaan dan Pertedaksamaan Lenear untuk SMA kelas X dengan spesefekase sebagae berekut:

1. Perangkat pembelajaran yang dekembangkan dalam peneletean ene mengakup pokok bahasan Sestem Persamaan dan Pertedaksamaan Lenear untuk SMA kelas X semester 1 berupa RPP dan LKS berbases teore varease yang mengakup pola varease tertentu pada aktevetas seswanya, yaetu: Contrast, Generalization, Separation, dan Fusion.

2. Perangkat pembelajaran matemateka yang dekembangkan memeleke kualefekase valed berdasarkan penelaean ahle matere dan medea, praktes berdasarkan penelaean guru matemateka dan seswa, serta efektef berdasarkan tes hasel belajar kelompok seswa.


(9)

24 H. AsumsiBdanBKeterbatasanBPengembanganB

Pengembangan perangkat pembelajaran pada peneletean ene dedasarkan pada asumse bahwa:

1. Penelaean seswa terhadap perangkat pembelajaran merupakan penelaean yang objektef berdasarkan pengalaman seswa dalam menggunakan perangkat pembelajaran de lapangan.

2. Penelaean guru matemateka terhadap perangkat pembelajaran merupakan penelaean yang objektef berdasarkan pengalaman guru dalam menggunakan perangkat pembelajaran de lapangan.

Keterbatasan pengembangan dalam peneletean ene yaetu: matere yang dekembangkan dalam perangkat pembelajaran ene terbatas pada pokok bahasan Sestem Persamaan dan Pertedaksamaan Lenear untuk SMA kelas X.


(10)

25 BABBIIB

KAJIANBPUSTAKAB A. KajianBTeoriB

1. PembelajaranBMatematikaB

Konsep yang tidak bisa diabaikan dalam mendefiniskan pembelajaran ialah konsep belajar, dimana secara bahasa, kata ‘belajar’ merupakan kata dasar dari pembelajaran. Gagne (1979:43) mendefinisikan belajar sebagai seperangkat proses kognitif yang menjadikan suatu organisasi berubah perilakunya sebagai akibat dari pengalaman. Berdasarkan definisi tersebut, ditemukan dua poin penting dalam mendefinisikan belajar, yakni ‘pengalaman’ dan ‘perubahan tingkah laku atau pandangan’ yang dapat dipandang sebagai kesatuan sebab dan akibat.

Secara lebih detail, Bruner (1971:50-53) menjelaskan tentang proses yang terjadi saat seseorang belajar, yakni proses memperoleh informasi, mentransformasi informasi, dan menguji relevansi serta mencocokkan dengan pengetahuan yang sudah ada. Saat belajar, seseorang akan mengkonstruksi pengetahuannya dengan cara menghubungkan informasi yang masuk dengan pengetahuan yang telah ada sebelumnya dengan cara mencari struktur atau model dari informasi tersebut untuk mengelompokkan hal-hal tertentu dan membangun hubungan dengan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Proses inilah yang mendasari perubahan tingkah laku atau pemahaman seseorang sebagai hasil dari proses belajar.


(11)

26

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mendefinisikan pembelajaran sebagai proses interaksi antara siswa dengan guru dan sumber belajar pada lingkungan belajar. Pembelajaran dipandang sebagai upaya menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan, kompetensi, minat, bakat, dan kebutuhan siswa yang beragam sehingga terjadi interaksi optimal antara guru dan siswa, dan antara siswa dan siswa (Suyitno, 2004: 2).

Berdasarkan penjelasan tentang definisi pembelajaran di atas, hubungan belajar dan pembelajaran dapat dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Belajar merupakan proses seseorang atau sekelompok orang untuk memperoleh perubahan tingkah laku atau pandangan sebagai akibat dari pengalaman, sedangkan pembelajaran sendiri merupakan upaya untuk membelajarkan seseorang atau sekelompok orang. Dengan kata lain, pembelajaran merupakan upaya untuk membuat seseorang atau sekelompok orang untuk memperoleh pengalaman untuk menghasilkan perubahan tingkah laku.

Salah satu pembelajaran yang menarik dikaji adalah pembelajaran matematika. Matematika sendiri merupakan salah satu mata pelajaran pokok yang dipelajari di sekolah formal, mulai dari tingkat dasar pada level taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah, hingga perguruan tinggi. Mata pelajaran ini dianggap memiliki andil besar dalam pengembangan diri siswa, terutama terkait pengembangan kemampuan bernalar siswa (Ramlah, et al, 2014: 68).


(12)

27

Urgensi matematika tersebut tidak sejalan dengan minat siswa untuk mempelajari matematika, dimana tak jarang siswa menganggap matematika sebagai pelajaran yang menakutkan. Siswa mengenal matematika hanya sebagai pelajaran tentang angka-angka dengan begitu banyak rumus yang harus diingat. Reuben Hersh (Boaler, 2008: 2), seorang filsuf dan matematikawan, menulis sebuah buku berjudul ‘What is Mathematics, Really?’ yang mengkaji tentang hakekat matematika, menemukan poin penting bahwa siswa tidak menyukai matematika karena terjadi kesalahan penyajian (mis-representation) matematika di sekolah, dimana penekanan kegiatan belajar matematika di sekolah hanya seputar mengenal aturan dalam matematika dan menerapkannya untuk menyelesaikan soal-soal. Matematika hanya dipandang sebagai produk olah pikir orang terdahulu yang harus dikenal dan digunakan.

Untuk mengatasi kekeliruan ini, diperlukan pemahaman tentang hakekat matematika, dimana matematika pada hakekatnya adalah cara untuk menjelaskan hubungan yang ada di dunia ini. Matematika menjelaskan hubungan itu dengan angka, himpunan, bentuk, objek, dan konsep yang melibatkan aktivitas pengumpulan data, analisis data, dan mendeskripsikan data tersebut secara visual, simbolik, lisan ataupun dengan tulisan (Alberta, 2007: 11). Oleh karena itu, prinsip pembelajaran matematika di sekolah tidak seharusnya jauh dari domain di atas.

Ebbut dan Straker (Marsigit, 2012: 8) menjelaskan lebih jauh tentang prinsip penyajian matematika di sekolah atau lebih dikenal dengan konsep


(13)

28

matematika sekolah. Mereka menyatakan bahwa matematika sekolah dapat didefinisikan sebagai berikut: a) matematika sebagai pencarian pola dan hubungan; b) matematika sebagai aktivitas kreatif, yang melibatkan imaginasi, intuisi, dan penemuan; c) matematika sebagai cara menyelesaikan masalah; dan d) matematika sebagai sarana mengkomunikasikan informasi atau ide.

Konsep matematika sekolah tersebut belum diterapkan secara maksimal di sekolah, sehingga masih ditemui siswa yang mengenal matematika sebagai pelajaran mengingat rumus untuk menyelesaikan persoalan matematis belaka. Hal ini mungkin terjadi karena pembelajaran matematika di sekolah masih terfokus pada matematika sebagai cara menyelesaikan masalah. Padahal ada tujuan lainnya yang perlu ditekankan juga agar pembelajaran matematika siswa dapat lebih bermakna.

Sebagaimana telah dijelaskan tentang pengertian belajar, maka pembelajaran matematika sendiri dapat didefinisikan sebagai proses yang sengaja dirancang untuk memfasilitasi interaksi siswa dan guru serta sumber belajar dalam rangka memperoleh pengalaman dan pengetahuan tentang matematika. Proses yang dimaksud dalam pembelajaran matematika tersebut ialah proses yang sesuai dengan prinsip pembelajaran matematika yang tertuang dalam konsep matematika sekolah.

2. KarakteristikBSiswaBSMAB

Siswa adalah individu yang unik antara satu dan lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan individu (individual differences) yang dimiliki


(14)

29

siswa. Perbedaan individu tersebut yang membuat karakteristik siswa menjadi beragam. Secara umum, perbedaan individu pada siswa terbagi menjadi dua jenis, yakni: quantitative differences dan qualitative differences. Berikut penjelasan lebih lanjut tentang kedua jenis perbedaan individu tersebut berdasarkan publikasi dari UNESCO dalam laporan program rducation for All 2005 (Lubart, 2004: 3-4):

a. Quantitative differences

Quantitative differences mengacu pada perbedaan individu yang bersifat kuantatif, seperti: kecepatan dan tingkat kedalaman belajar atau biasa dikenal dengan istilah ‘kemampuan kognitif’(Lubart, 2004: 3). Hal ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perbedaan capaian belajar siswa.

1) Keragaman Kemampuan Kognitif Siswa

Jean Piaget, seorang psikolog dari Swiss berhasil merumuskan sebuah teori tentang perkembangan kognitif berdasarkan tingkatan usia seseorang. Menurut Piaget (Santrock, 2009: 41-42), setiap individu akan melalui 4 tahapan perkembangan kognitif, yakni: a) tahap sensori motor (0-2 tahun); b) tahap pra-operasional (2-7 tahun); c) tahap operasional konkret (7-12 tahun); dan d) tahap operasional formal (12 tahun ke atas). Setiap tahapan pada teori tersebut memiliki ciri-ciri tersendiri yang berimplikasi terhadap bagaimana individu belajar.


(15)

30

Berdasarkan teori perkembangan kognitif di atas, siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) berada pada tahap akhir, yakni tahap operasional formal. Individu pada tahap ini berpindah dari penalaran tentang hal konkret kepada pemikiran yang lebih abstrak, idealis, dan logis (Santrock, 2009: 45). Proses penalaran yang terjadi dalam struktur kognitif siswa pada tahap ini memungkinkan siswa untuk mampu menggunakan simbol-simbol, ide-ide, abstraksi, dan generalisasi. Selain itu, siswa juga telah mampu untuk menyusun serangkaian hipotesis dan menyusun kombinasi-kombinasi yang mungkin dari sebuah sistem (Dahar, 2011: 140).

Faktanya, masih ditemukan siswa yang perkembangan kognitifnya belum sepenuhnya sampai pada tahap operasional formal meski usia mereka telah mencukupi. Hal ini seperti yang diungkapkan Sutherland (Oakley, 2004: 29) bahwa hanya 50% siswa yang berada pada tahap operasional formal sesuai dengan usia yang diperkirakan. Hampir separuh dari siswa yang berusia 16 tahun masih ditemukan berada pada tahap operasional konkret. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa meski berada pada tingkatan usia yang relatif sama, masih terdapat keragaman tingkat perkembangan kognitif pada siswa SMA. Dengan kata lain, secara kuantitatif, setiap siswa memiliki tingkat kecepatan dan kedalaman tersendiri dalam perkembangan kognitifnya (Lubart, 2004: 3). Hal


(16)

31

inilah yang kemudian menyebabkan keragaman kemampuan kognitif pada siswa.

Selain kemampuan kognitif, quantitative differences juga menyangkut conative differences pada siswa. Conative differences meliputi faktor psikologis siswa, seperti: karakter, motivasi, kebutuhan, dan minat yang juga meliputi pendekatan serta orientasi belajar siswa (Lubart, 2004: 4).

2) Keragaman Pendekatan dan Orientasi Belajar Siswa

Banyak siswa tidak mendapat poin dari apa yang mereka pelajari karena sebenarnya mereka tidak mencarinya (Rhem, 1995: 1). Siswa cenderung tidak mencari makna, melainkan fakta-fakta yang mereka pikir akan keluar pada soal ujian. Siswa seperti ini disebut dengan siswa dengan surface approach. Marton dan Säljö (Felder & Brent, 2005: 63) membagi pendekatan belajar siswa menjadi tiga, yaitu: pendekatan permukaan (surface approach), pendekatan mendalam (deep approach), dan pendekatan strategis (strategic approach). Pendekatan belajar tersebut didasari oleh orientasi belajar siswa, berikut penjelasannya:

a) Siswa yang memiliki orientasi peniruan (reproducing orientation) cenderung memilih pendekatan permukaan yang mengandalkan hafalan dan penggunaan rumus dengan sedikit usaha untuk memahami materi pembelajaran (Felder & Brent, 2005: 58).


(17)

32

b) Siswa yang memiliki orientasi pemaknaan (meaning orientation) cenderung memilih pendekatan mendalam saat belajar dengan memeriksa dan mempertanyakan, serta mengeksplorasi materi pembelajaran (Felder &Brent, 2005: 58).

c) Siswa yang memiliki orientasi pencapaian (achieving orientation) cenderung memilih pendekatan strategis, melakukan yang dibutuhkan untuk menggapai grade atau nilai yang tinggi, baik menggunakan pendekatan permukaan ataupun mendalam. Usahanya dalam belajar disesuaikan dengan kebutuhan untuk menggapai nilai yang tinggi (Felder & Brent, 2005: 58).

b. Qualitative Differences

Qualitative differences meliputi perbedaan kualitatif dalam diri siswa ketika belajar, yaitu meliputi perbedaan cara belajar siswa (Lubart, 2004: 4). Cara belajar siswa menyangkut strategi yang memungkinkan siswa belajar dengan maksimal atau biasa dikenal dengan istilah ‘gaya belajar’.

Salah satu model yang dianggap lengkap adalah model yang dikembangkan oleh Felder dan Silverman. Model ini memuat kombinasi dari model Myers-Briggs (sensing/intuitive) dengan dimensi pengolahan informasi (active/reflective) dari model Kolb dalam mendeskripsikan gaya belajar (Moallem, 2007: 219).


(18)

33

Berdasarkan model yang dikembangkan oleh Felder dan Silverman (Felder & Brent, 2005: 60), kriteria siswa berdasarkan gaya belajarnya dapat dilihat dari beberapa aspek. Berikut penjelasannya:

1) Dari jenis informasi yang lebih cenderung diterima: sensing learners (konkret, praktis, berorientasi pada fakta serta prosedur) dan intuitive learners (konseptual, inovatif, berorientasi pada teori dan makna).

2) Dari cara informasi sensoris paling efektif diterima: visual learners (menyukai representasi visual, seperti: gambar, grafik, serta diagram) dan verbal learners (menyukai penjelasan dengan tulisan maupun perkataan).

3) Dari cara siswa mengolah informasi: active learners (belajar dengan praktek, berkerja dengan tim) dan reflective learners (belajar dengan renungan, bekerja sendiri).

4) Dari cara siswa memperoleh pemahaman: sequential learners (linear, berurutan, dapat bekerja dengan pemahaman parsial yang diajarkan) dan global learners (holistik, pemikir sistemik, dapat bekerja setelah menemukan pemahaman utuh serta menemukan keterkaitan materi dengan hal yang telah dipahami sebelumnya) . Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik siswa SMA sangatlah beragam. Keragaman tersebut setidaknya dapat dilihat dari tiga perspektif, yakni: kemampuan kognitif, pendekatan dan orientasi belajar, serta gaya belajar siswa. Keragaman tersebut seharusnya


(19)

34

berimplikasi pada pembelajaran siswa, karena salah satu ciri pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang mampu mengakomodasi keragaman dan kebutuhan siswa (Permendikbud No. 81A tahun 2013).

3. ImplikasiB KeragamanB KarakteristikB SiswaB dalamB PembelajaranB MatematikaB

a. Implikasi Keragaman Kemampuan Kognitif Siswa

Meskipun Jean Piaget telah merumuskan sebuah teori perkembangan kognitif berdasarkan usia siswa, pada kenyataannya, tingkat perkembangan kognitif siswa mungkin saja berbeda, seiring dengan perbedaan kecepatan siswa secara individu untuk melalui setiap tahapan (Ojose, 2008:26). Perbedaan kecepatan inilah yang kemudian menimbulkan keragaman kemampuan kognitif pada siswa sebagai hasil perkembangan kognitif yang berbeda-beda. Data dari Sutherland (Oakley, 2004: 29) menunjukkan bahwa hanya 50% siswa yang berada pada tahap operasional formal sesuai dengan usia yang diperkirakan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ada 50% siswa lainnya yang belum berkembang secara maksimal untuk menjangkau level yang diprediksikan.

Permasalahan di atas seharusnya berimplikasi pada pembelajaran, dimana berkembangnya potensi siswa sendiri ialah fungsi dari pendidikan (Undang-Undang No.20 Tahun 2003) dan pembelajaran merupakan ujung tombaknya. Oleh karena itu, cara terbaik untuk menyikapi keragaman kemampuan kognitif siswa adalah dengan


(20)

35

membantu siswa meningkatkan kemampuan kognitifnya melalui pembelajaran yang diberikan (Felder & Brent, 2005: 67).

Secara garis besar, siswa SMA terbagi menjadi dua kelompok jika dilihat dari tingkat perkembangan kognitifnya, yakni siswa yang berada pada tahapan operasional formal dan operasional konkret (Oakley, 2004: 29). Oleh karena itu, hal yang perlu dilakukan adalah memperdalam kemampuan kognitif siswa yang berada pada tahapan operasional formal dan meningkatkan kemampuan siswa yang berada pada tahapan operasional konkret untuk mencapai level operasional formal. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menyajikan pembelajaran sesuai kedua tahapan perkembangan dengan porsi tahapan operasional formal yang lebih besar. Tahapan operasional konkret digunakan sebagai pijakan untuk menjangkau level yang lebih tinggi bagi siswa.

Tahapan operasional konkret adalah tahapan lanjutan dari tahapan pra-operasional, dimana siswa telah dapat berpikir logis dan mulai dapat memperhatikan objek berdasarkan beberapa perspektif secara bersamaan, dibanding hanya fokus pada tampilan visual (Reedal, 2010: 17). Pengalaman belajar secara hands-on dan penyajian matematika dalam berbagai representasi dapat membantu perkembangan kognitif siswa pada tahap ini. Aktivitas tersebut dapat membantu siswa membuat ide abstrak menjadi konkret dan memudahkan aktivitas penyelesaian masalah (Ojose, 2008: 27).


(21)

36

Tahapan operasional formal adalah tahapan transisi dari penalaran tentang hal konkret kepada pemikiran yang lebih abstrak, idealis, dan logis (Santrock, 2009: 45). Siswa pada tahap ini dapat membuat hipotesis, berpikir tentang konsekuensi, membuat kesimpulan, mengevaluasi ide, dan mencoba suatu konsep ke konsep lain, sehingga tidak memerlukan pengalaman konkret seperti pada tahapan sebelumnya (Reedal, 2010: 17). Contohnya, siswa pada tahap ini dapat menyelesaikan operasi yang melibatkan variabel tanpa harus dibantu oleh penyajian secara konkret (Ojose, 2008: 27).

b. Implikasi Keragaman Pendekatan Belajar Siswa

Efek dari pendekatan belajar siswa pada hasil belajar telah menarik perhatian peneliti dalam bidang pendidikan. Berikut beberapa hasil penelitian mengenai hal tersebut:

1) Ramsden (Felder & Brent, 2005: 64) menemukan bahwa siswa dengan deep approach akan cenderung membuat rangkuman yang komprehensif dan terintegrasi dari materi yang dibacanya, menginterpretasikan informasi dibanding hanya mengingatnya. Sementara itu, siswa dengan surface approach akan cenderung mengutip bagian dari bacaan secara acak. Siswa dengan deep approach cenderung akan mengingat informasi lebih lama (karena informasi dipelajari dalam konteks dibanding hanya mengingatnya) dan secara konsisten memperoleh nilai yang lebih tinggi.


(22)

37

2) Meyer et al (Felder & Brent, 2005: 64) menemukan bahwa siswa dengan deep approach akan cenderung dapat menuntaskan pembelajaran dibanding siswa dengan surface approach. Selain itu, siswa dengan deep approach secara umum akan merasa lebih puas dengan pembelajaran.

Berdasarkan hasil penelitian-penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa dengan deep approach cenderung lebih sukses dalam pembelajaran, baik dilihat dari proses maupun hasil belajar. Oleh karena itu, memfasilitasi siswa untuk menggunakan pendekatan mendalam (deep approach) dalam belajar adalah hal yang perlu dilakukan, khususnya sebagai implikasi keberagaman pendekatan belajar yang mungkin dimiliki siswa.

Beberapa strategi dapat digunakan untuk memotivasi dan memfasilitasi siswa menggunakan pendekatan mendalam (deep approach), khususnya dalam pembelajaran matematika (Felder & Brent, 2005: 64). Strategi tersebut antara lain adalah:

1) Menggunakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa, seperti: active learning (melibatkan siswa dalam kegiatan kelas dibanding hanya mendengarkan ceramah) dan cooperative learning (memfasilitasi siswa bekerjasama dalam pembelajaran). Hal ini dikarenakan pembelajaran seperti itu dapat mengakomodasi keaktifan dan keterlibatan jangka panjang siswa sehingga dapat memfasilitasi deep approach bagi siswa. Selain itu, active learning


(23)

38

dan cooperative learning juga memungkinkan adanya proses bertukar pikiran secara aktif antar siswa dengan pendekatan berbeda.

2) Menggunakan metode pembelajaran induktif, seperti: problem based learning atau project based learning. Hal ini dinilai dapat memotivasi siswa belajar dengan mendalam karena menggunakan pengetahuan dan pemahaman awal siswa dalam manjangkau materi yang akan dipelajari.

3) Memperjelas ekspektasi pembelajaran dalam bentuk instructional objectives (penjelasan mengenai tugas belajar siswa yang dapat diamati, seperti: menentukan; menjelaskan; menghitung; menurunkan; memodelkan). Hal ini dilakukan agar siswa, terutama siswa dengan kecenderungan surface approach, dapat memahami tugas-tugas belajar dengan jelas.

c. Implikasi Keragaman Gaya Belajar Siswa

Inti dari adanya model gaya belajar bukan untuk membuat guru mengajar setiap siswa secara eksklusif berdasarkan preferensinya, melainkan lebih untuk membantu guru dalam menerapkan pembelajaran yang seimbang (Moallem, 2007: 219). Pembelajaran yang seimbang adalah pembelajaran yang terkadang sesuai dengan preferensi siswa, sehingga tingkat ketidaknyamanannya siswa untuk belajar secara efektif tidak terlalu tinggi, dan terkadang tidak sesuai dengan preferensi siswa agar dapat menjangkau keterampilan dari gaya


(24)

39

belajar di luar preferensinya. Hal ini dikarenakan kebutuhan siswa sendiri, dimana untuk berperan aktif dan efektif dalam dunia profesional siswa nantinya, siswa membutuhkan keterampilan karakteristik dari setiap jenis gaya belajar (Felder & Brent, 2005: 62).

Untuk mewujudkan pembelajaran yang seimbang, diperlukan analisis pada setiap aspek model gaya belajar untuk menghasilkan strategi pembelajaran yang operasional. Hasil analisis ditampilkan pada tabel 1(Moallem, 2007: 222-223).


(25)

40

Tabel 1. Strategi dalam Mengakomodasi Perbedaan Gaya Belajar PerspektifB GayaB BelajarB SiswaB JenisB FleksibilitasB &BAdaptasiBB StrategiBdalamBMengakomodasiB PerbedaanB Jenis informasi yang lebih cenderung diterima siswa Sensing

Learners  Konten Rangkaian kurikulum

 Menyajikan contoh konkret pada konsep.

 Mendemonstrasikan prosedur dengan contoh.

 Menyajikan aktivitas dari kehidupan sehari-hari.

Intuitive

Learners  Memasukkan aktivitas atau tugas yang membutuhkan kreativitas konseptual.

 Menyajikan konsep dalam bentuk penjelasan tertulis, rangkuman, atau diagram. Cara informasi sensoris paling efektif diterima siswa Visual

Learners  Presentasi  Menyajikan konten dalam bentuk diagram, matriks, gambar, atau peta.

Verbal

Learners  Menyajikan konten dengan tulisan maupun audio secara terperinci.

 Menawarkan presentasi dan diskusi interaktif dalam pembelajaran.

Cara siswa mengolah informasi.

Active

Learners  Pendekatan Metakognitif  Problem

Solving

 Menyajikan kegiatan problem solving tentang masalah sehari-hari dengan bekerjasama.  Memberikan supervisi saat

siswa bekerja berkelompok.  Memberikan kesempatan untuk

diskusi dalam kelompok besar (kelas)

Reflective

Learners  Memberikan tugas individu. Memberikan kuis untuk mengecek pemahaman diri siswa secara pribadi pada setiap unit

Cara siswa memperoleh pemahaman.

Sequential

Learners  Pendekatan Metakognitif  Problem

Solving

 Menampilkan langkah step-by-step untuk menyelesaikan tugas, baik dalam bentuk teks maupun bentuk visual (tabel, diagram, gambar)

Global

Learners  Mengembangkan materi secara terstruktur agar terlihat hubungan antar bagian.

 Menampilkan pengantar pada setiap unit.


(26)

41 4. PerangkatBPembelajaranB

Perangkat pembelajaran adalah alat atau perlengkapan untuk melakukan proses yang memungkinkan guru dan siswa melakukan kegiatan pembelajaran. Menurut Suhadi (2007: 24) perangkat pembelajaran adalah sejumlah bahan, alat, media, petunjuk, dan pedoman yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran, sedangkan Nazarudin (2007: 113) menjelaskan bahwa perangkat pembelajaran adalah persiapan yang disusun oleh guru agar pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran dapat dilakukan secara sistematis dan memperoleh hasil yang diharapkan. Secara umum, perangkat pembelajaran adalah segala bentuk bahan, alat, media, petunjuk, dan pedoman yang dipersiapkan guru dalam rangka mengadakan proses pembelajaran dan evaluasi pembelajaran yang sesuai dengan harapan.

Perangkat pembelajaran dalam penelitian ini terdiri dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kegiatan Siswa (LKS). RPP digunakan sebagai panduan guru untuk mengadakan pembelajaran. Sedangkan LKS sendiri digunakan sebagai panduan kegiatan siswa dalam pembelajaran untuk menggapai kompetensi-kompetensi tertentu.

a. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) 1) Pengertian

Secara umum, Lesson Plan atau Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah road map dari seorang guru tentang apa yang perlu dipelajari siswa dan bagaimana hal itu bisa diwujudkan dalam pembelajaran. Sesuai dengan definisi sebelumnya, Rencana


(27)

42

Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) pada Standar Proses (Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013) adalah rancangan kegiatan pembelajaran yang dipersiapkan guru sebelum pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan silabus guna mengarahkan kegiatan pembelajaran siswa untuk mencapai kompetensi yang diharapkan. 2) Komponen RPP

Sebuah lesson plan yang baik harus memuat tiga rincian utama, yakni: tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan strategi untuk mengetahui pemahaman siswa. Secara lebih sistematis dan rinci, Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 juga telah menjelaskan tentang komponen dalam RPP yang terdiri atas: identitas sekolah yaitu nama satuan pendidikan; identitas mata pelajaran atau tema/subtema; kelas/semester; materi pokok; alokasi waktu ditentukan sesuai dengan keperluan untuk pencapaian KD; kompetensi dasar dan indikator pencapaian kompetensi; tujuan pembelajaran yang dirumuskan berdasarkan KD; materi pembelajaran; metode pembelajaran; media pembelajaran; sumber belajar; langkah-langkah pembelajaran dilakukan melalui tahapan pendahuluan, inti, dan penutup; dan penilaian hasil pembelajaran. 3) Prinsip Pengembangan RPP

Menurut Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, prinsip-prinsip pengembangan RPP harus memperhatikan hal-hal berikut:


(28)

43

Memperhatikan perbedaan individu siswa; mendorong partisipasi aktif siswa; mengembangkan budaya membaca dan menulis; memberikan umpan balik positif dan tindak lanjut yang bisa berupa penguatan,pengayaan, serta remidi; memperhatikan keterkaitan dan keterpaduan antar komponen pembelajaran; disusun dengan mengakomodasikan pembelajaran tematik, keterpaduan lintas mata pelajaran, lintas aspek belajar, dan keragaman budaya; menerapkan teknologi informasi dan komunikasi secara terintegrasi, sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi. Prinsip-prinsip pengembangan RPP pada Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tersebut digunakan dalam pembuatan RPP dan lembar validasi RPP. b. Lembar Kegiatan Siswa (LKS)

1) Pengertian

Hendro dan Kaligis (1993: 40) mendefinisikan LKS sebagai salah satu sarana yang dapat digunakan guru untuk meningkatkan keterlibatan siswa atau aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar. Sedangkan menurut Azhar Arsyad (2011: 78), LKS merupakan lembar kegiatan bagi siswa dalam kegiatan intrakulikuler maupun kokurikuler untuk mempermudah pemahaman siswa terhadap materi tertentu. Selanjutnya ia juga menjelaskan bahwa :

LKS bertujuan untuk menuntun siswa pada berbagai kegiatan yang perlu diberikan serta mempertimbangkan proses berpikir yang akan ditumbuhkan pada diri siswa. LKS mempunyai fungsi sebagai urutan kerja yang diberikan dalam kegiatan baik intrakurikuler maupun ekstrakurikuler terhadap


(29)

44

pemahaman materi yang telah diberikan. Azhar Arsyad (2011: 78)

LKS merupakan lembaran di mana siswa mengerjakan sesuatu terkait dengan apa yang sedang dipelajarinya seperti melakukan percobaan, mengidentifikasi bagian-bagian, membuat tabel, melakukan pengamatan, dan menuliskan atau menggambar hasil pengatamantannya, melakukan pengukuran dan mencatat data hasil 43 pengukurannya, menganalisis data hasil pengukuran, dan menarik kesimpulan (Slamet Suyanto, 2011: 2). Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa LKS adalah kumpulan kegiatan-kegiatan yang disusun secara sistematis yang bertujuan untuk membantu siswa melakukan proses berpikir dalam pembelajaran sehingga dapat memfasilitasi siswa belajar secara aktif.

2) Manfaat LKS

Endang Widjajanti (2008: 2) menjelaskan bahwa dalam kegiatan pembelajaran di kelas, LKS memiliki beberapa manfaat diantaranya adalah sebagai berikut:

a) merupakan alternatif bagi guru untuk mengarahkan pengajaran atau memperkenalkan suatu kegiatan tertentu sebagai kegiatan belajar mengajar,

b) dapat digunakan untuk mempercepat proses pengajaran dan menghemat waktu penyajian suatu topik,


(30)

45

c) dapat digunakan untuk mengetahui seberapa jauh materi yang telah dikuasai siswa,

d) dapat mengoptimalkan alat bantu pengajaran yang terbatas, e) membantu siswa dapat lebih aktif dlam proses belajar mengajar, f) dapat membangkitkan minat siswa jika LKS disusun secara rapi, sistematis mudah dipahami oleh siswa sehingga mudah menarik perhatian siswa,

g) dapat menumbuhkan kepercayaan pada diri siswa dan meningkatkan motivasi belajar dan rasa ingin tahu,

h) dapat mempermudah penyelesaian tugas perorangan, kelompok atau klasikal karena siswa dapat menyelesaikan tugas sesuai dengan kecepatan belajarnya,

i) dapat digunakan untuk melatih siswa menggunakan waktu seefektif mungkin, dan

j) dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah.

3) Syarat Lembar Kegiatan Siswa yang baik

Dalam Permendikbud No. 71 tahun 2013 yang mengatur tentang buku teks pelajaran dan buku panduan guru untuk pendidikan dasar dan menengah, menyebutkan bahwa suatu buku teks atau bahan ajar (termasuk LKS) dinyatakan baik dan layak digunakan apabila memenuhi empat aspek kriteria kelayakan, yaitu kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan grafika.


(31)

46

Berikut uraian mengenai kriteria kelayakan buku teks atau bahan ajar (Pudji Muljono, 2007: 21):

a) Kelayakan isi

Komponen kelayakan isi diuraikan menjadi beberapa subkomponen atau indikator berikut: (1) kesesuaian dengan SK dan KD mata pelajaran, (2) kesesuaian dengan perkembangan peserta didik, dan (3) substansi keilmuan yang meliputi keakuratan dan kemutakhiran materi.

b) Kelayakan bahasa

Komponen kebahasaan ini diuraikan menjadi beberapa subkomponen atau indikator berikut: (1) keterbacaan, (2) kesesuaian dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan (3) logika berbahasa.

c) Penyajian

Komponen penyajian ini diuraikan menjadi beberapa subkomponen atau indikator berikut: (1) teknik penyajian materi, (2) pendukung penyajian, dan (3) ketepatan penyajian dalam pembelajaran.

d) Kegrafikaan

Komponen kegrafikaan ini diuraikan menjadi beberapa subkomponen atau indikator berikut: (1) ukuran/format buku, (2) desain bagian sampul yang meliputi tata letak, tipografi, dan


(32)

47

ilustrasi, dan (3) desain bagian isi yang meliputi tata letak, tipografi, dan ilustrasi.

Selain itu, menurut Azhar Arsyad (2011: 88-89), LKS merupakan salah satu media teks berbasis cetakan yang menuntut beberapa elemen yang perlu diperhatikan pada saat menyusunnya agar menjadi suatu media yang berkualitas, beberapa elemen tersebut adalah sebagai berikut:

a) Konsistensi

(1) Konsistensi format dari halaman ke halaman diusahakan tidak menggabungkan cetakan huruf dan ukuran huruf. (2) Konsistensi penentuan jarak spasi antara judul dan baris

pertama serta garis samping, antara judul dan teks utama supaya sama.

b) Format

(1) Tampilan satu kolom akan lebih sesuai untuk paragraf yang panjang. Sebaliknya, jika paragraf yang digunakan pendek, lebih baik memakai tampilan dua kolom.

(2) Isi yang berbeda dipisahkan dan dilabel secara visual. (3) Taktik dan strategi pengajaran yang berbeda dipisahkan dan

dilabel secara visual. c) Organisasi

(1) Mengupayakan siswa/pembaca untuk mengetahui dimana posisinya dalam teks secara keseluruhan


(33)

48

(2) Teks disusun sedemikian rupa sehingga informasi mudah diperoleh.

(3) Kotak-kotak dapat digunakan untuk memisahkan bagian-bagian dari teks.

d) Daya tarik

Memperkenalkan setiap bab/bagian baru dengan cara yang berbeda. Ini diharapkan dapat memotivasi siswa untuk membaca.

e) Ukuran Huruf

(1) Ukuran huruf harus sesuai dengan siswa, pesan, dan lingkungannya.

(2) Penggunaan huruf kapital untuk seluruh teks harus dihindari agar tidak menyulitkan proses membaca.

f) Ruang kosong

(1) Memberi kesempatan kepada siswa/pembaca untuk beristirahat pada titik-titik tertentu dengan menambahkan ruang kosong yang tak berisi teks atau gambar. Ruang kosong dapat berbentuk: (a) ruangan sekitar judul; (b) batas tepi (margin); (c) spasi antar kolom; (d) permulaan paragrap diidentifikasi; dan (e) penyesuaian spasi antar baris atau antar paragraf,

(2) Menyesuaikan spasi antar baris untuk meningkatkan tampilan dan tingkat keterbacaan.


(34)

49

(3) Menambahkan spasi antar paragraf untuk meningkatkan tingkat keterbacaan.

5. AssessmentBdanBBPrestasiBBelajarBSiswaB

Untuk mengetahui keoptimalan pembelajaran diperlukan pengukuran. Secara umum, Kumano (Wulan, 2007:2) mendefinisikan asesmen (assessment) atau pengukuran sebagai “the process of collecting data which shows the development of learning”, sedangkan Fenton (Zainul, 2001:1) menambahkan bahwa pengukuran digunakan untuk pengambilan keputusan terkait pembelajaran. Selanjutnya, Stiggins (Wulan, 2007:2) merinci pengukuran sebagai pengukuran terhadap proses, kemajuan, dan hasil belajar siswa. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa asesmen (assessment) atau pengukuran adalah proses pengumpulan data tentang proses, kemajuan, dan hasil belajar siswa untuk pengambilan keputusan terkait pembelajaran.

Terdapat dua jenis asesmen (assessment) atau pengukuran, yakni pengukuran formative dan summative. Formative assessment dilaksanakan pada proses pembelajaran untuk menghasilkan data yang digunakan untuk meningkatkan pembelajaran selama pembelajaran berlangsung (Garisson dan Ehringhaus, 2010:1-2). Asesmen ini membantu guru maupun siswa untuk mencapai target pembelajaran. Sedangkan summative assessment dilaksanakan setelah pembelajaran yang membantu mengevaluasi keefektifan program, baik pada tingkat kelas, sekolah, regional maupun nasional (Garisson dan Ehringhaus, 2010:1).


(35)

50

Hasil dari assessment kemudian dapat dievaluasi untuk menghasilkan pretasi belajar siswa (Cahyo, 2010:20), dimana prestasi belajar ini merupakan bukti keberhasilan usaha yang dicapai oleh siswa setelah memperoleh pengalaman belajar atau mempelajari sesuatu (Winkel, 2005:160) berupa perubahan tingkah laku, baik dalam ranah pengetahuan, keterampilan, maupun sikap. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar menurut Muhibbin Syah (2008:132), yakni:

a. Faktor internal siswa, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang meliputi faktor fisiologis dan psikologis. Faktor fisiologis merupakan kondisi organ-organ fisik siswa, seperti kondisi alat indera, sedangkan faktor psikologis merupakan kondisi kejiwaan siswa seperti: motivasi, tingkat kecerdasan, hingga sikap siswa.

b. Faktor eksternal siswa, yaitu faktor yang berasal dari luar diri siswa yang meliputi faktor lingkungan sosial dan non-sosial. Faktor lingkungan sosial seperti: kondisi guru, kondisi teman kelas, budaya, hingga kondisi keluarga siswa, sedangkan lingkungan non-sosial seperti: sarana pembelajaran, alat-alat belajar, cuaca dan waktu belajar siswa.

c. Faktor pendekatan dan gaya belajar, yaitu strategi yang digunakan peserta didik dalam menunjang efektivitas dan efesiensi proses pembelajaran. Strategi dalam hal ini merupakan seperangkat langkah operasional yang direkayasa sedemikian rupa untuk memecahkan masalah/mencapai tujuan belajar tertentu.


(36)

51 6. TeoriBVariasiB

Ilmu yang mendasari pengembangan teori variasi adalah phenomenography, yakni ilmu yang mengkaji segala sesuatu sebagai fenomena, termasuk pembelajaran. Lebih jauh lagi, phenomenography berfokus pada perbedaan cara pandang seseorang dalam mengalami peristiwa (fenomena) yang sama secara kualitatif. Ahli pendidikan pun membawa konsep kajian dalam fenomenagrafi tersebut dalam pembelajaran dan menyadari bahwa pada hakekatnya siswa pun dapat memiliki cara pandang yang berbeda pula dalam merespon pembelajaran (Marton & Booth, 1997: 24-128). Sebelum memasuki kelas, siswa telah membangun konsep dan kepercayaannya sendiri tentang objek yang akan dipelajari (Lo, 2012: 20).

Perlu disadari bahwa setiap siswa dapat memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang sesuatu yang sama, termasuk tentang apa yang dijelaskan guru. Oleh karena itu, tugas utama guru adalah untuk menyibak cara pandang awal siswa tentang objek pembelajaran, sehingga guru dapat mendesain pembelajaran yang cocok untuk menyinkronkan pandangan siswa dengan pandangannya (Lo, 2012: 25).

Dalam teori variasi, aspek perbedaan cara pandang ini begitu diperhatikan. Seseorang dikatakan telah belajar apabila seseorang tersebut telah menyadari aspek lain atau lebih banyak aspek secara bersamaan pada suatu objek dibanding sebelum memulai proses pembelajaran (Marton & Booth, 1997: 142). Dengan kata lain, belajar dapat didefinisikan sebagai ‘a


(37)

52

change in the eyes through which we see the world’ dimana perubahan cara pandang merupakan konsekuensi dari belajar. Siswa yang telah melalui proses belajar akan memiliki kesadaran yang lebih tinggi tentang aspek-aspek dari objek yang dipelajari.

a. Cara Pandang yang Kuat (Powerful Way of Seeing)

Tugas utama seorang guru ialah memfasilitasi siswa belajar. Berdasarkan pengertian belajar dari teori variasi, siswa dikatakan telah belajar jika siswa mampu menyadari aspek lain dari objek yang dipelajari. Dengan kata lain, tugas utama guru ialah membantu siswa melihat objek yang dipelajari dengan lebih mendalam. Marton dan Booth (1997) mengatakan bahwa mempelajari suatu objek pembelajaran berarti mempertajam pandangan terhadap objek tersebut. Hal inilah yang kemudian disebut dengan cara pandang yang kuat dalam belajar, yakni cara pandang yang memungkinkan siswa untuk mempertajam pandangan kepada objek yang dipelajari.

Cara pandang yang kuat dapat dikembangkan dengan variasi. Untuk mempertajam cara pandang terhadap suatu objek dan membedakannya dari objek lain, perlu digunakan variasi objek sehingga perhatian siswa akan terfokus pada objek yang dipelajari. Dengan menggunakan variasi pada aspek-aspek dari objek yang dipelajari, meskipun dengan keterbatasan waktu dan tempat, konsep menjadi mungkin untuk bisa dipelajari. (Mason, 2011: 107)


(38)

53

Secara analog, cara kerja teori variasi ini seperti sebuah kamera, yakni menggunakan variasi untuk mengarahkan fokus siswa yang memiliki pandangan beragam kepada aspek-aspek tertentu dari suatu objek yang dipelajari. Siswa dapat belajar dengan menemukan pola dan aspek kritis yang ‘disembunyikan’ guru melalui variasi.

b. Komponen Teori Variasi

1) Objek Pembelajaran (Object of Learning)

Pembelajaran tidak terlepas dari apa yang harus dipelajari, yakni objek pembelajaran atau object of learning. Objek pembelajaran memiliki makna yang berbeda dari tujuan pembelajaran. Objek pembelajaran adalah menyangkut hal yang harus dikembangkan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Misalkan jika terdapat tujuan pembelajaran agar siswa dapat memahami konsep pecahan, maka objek pembelajaran adalah hal-hal yang harus dipelajari siswa agar dapat mengerti tentang konsep pecahan. Objek pembelajaran bisa diibaratkan sebagai starting point dari sebuah perjalanan pembelajaran dibanding akhir dari proses pembelajaran.

2) Aspek Kritis (Critical Feature)

Seperti yang telah disebutkan di muka, sebuah objek memiliki banyak aspek. Misalkan sebuah apel dapat dilihat dari bentuknya, rasanya, warnanya, ukurannya, maupun jenisnya. Oleh karena itu, akan ada banyak interpretasi yang dihasilkan dari menyaksikan sebuah apel.


(39)

54

Jika guru menginginkan siswa melihat suatu objek sesuai dengan caranya melihat objek tersebut, maka siswa haruslah fokus pada aspek-aspek yang dilihat guru. Untuk melakukan hal itu, guru harus fokus pada aspek tertentu yang perlu dilihat siswa. Aspek ini biasa juga disebut dengan aspek kritis dari suatu objek. (Lo, 2012: 27)

Untuk melakukan hal tersebut diperlukan identifikasi aspek kritis dari objek pembelajaran. Berikut merupakan ulasan lebih lanjut mengenai pentingnya memahami aspek kritis dari pembelajaran: (1) Untuk memfasilitasi siswa memahami objek pembelajaran

Guru dan siswa bisa saja memandang sesuatu yang sama dengan cara yang berbeda. Oleh karena itu, jika guru ingin membuat siswa mengerti dengan cara yang sama seperti gurunya, guru harus membantu dengan mempertajam aspek kritis dan berfokus pada hal itu. Konsekuensinya, siswa dapat mencocokkan cara pandang yang telah mereka miliki dengan cara pandang yang baru.

Hal tersebut sesuai dengan teori kognitif sosial (social cognitive theory). Bandura (Lestari et. al., 2014: 3) menyatakan bahwa siswa dapat belajar melalui proses mengamati dan meniru, baik perilaku maupun sikap orang lain sebagai model. Menurut teori Bandura, dalam pembelajaran terjadi interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara perilaku model


(40)

55

(contoh), lingkungan, dan proses kognitif siswa. Cara individu melakukan pembelajaran adalah dengan proses mengenal perilaku model (perilaku yang akan ditiru), kemudian mempertimbangkan dan memutuskan untuk meniru untuk menjadi perilakunya sendiri apabila sesuai dengan keadaan dirinya (Surya, 2004: 44). Siswa memiliki kemampuan proaktif dan mengatur diri daripada sebatas mampu berperilaku reaktif dan dikontrol oleh kekuatan biologis atau lingkungan (Mukhid, 2009: 107).

Sebagai contoh saat anak belajar bersepeda. Banyak orangtua berpikir (terutama orangtua yang sibuk) bahwa membuat anak bisa mengendarai sepeda adalah dengan membelikannya sepeda dan menyuruhnya berlatih sehingga ia dapat terbiasa kemudian bisa mengendarainya. Hal ini memang mungkin terjadi. Namun demikian, kondisi akan berbeda dibandingkan dengan orangtua yang mau meluangkan waktunya untuk mengajari anaknya mengendarai sepeda, waktu yang dibutuhkan anak untuk belajar mengendarai sepeda akan lebih cepat. Hal ini dikarenakan dengan adanya bimbingan (contoh) yang diberikan orangtua, anak dapat lebih cepat menangkap aspek-aspek kritis dalam mengendarai sepeda, seperti pentingnya keseimbangan, pentingnya membuat dorongan yang kuat pada pedal saat pertama kali, dan aspek-aspek lainnya.


(41)

56

(2) Membantu guru menyikapi perbedaan individu

Berdasarkan teori variasi, belajar merupakan aktivitas untuk memperdalam atau bahkan mengubah cara pandang siswa yang berbeda-beda terhadap suatu objek (Marton & Booth, 1997: 142). Dengan kata lain, belajar memiliki fokus untuk menampilkan aspek-aspek yang mungkin diabaikan siswa sebelumnya. Ketika siswa gagal mempelajari suatu objek, hal ini bisa jadi bukan karena ia tidak mampu, tetapi siswa tersebut gagal menyadari aspek kritis dari objek pembelajaran. Hal ini bisa terjadi karena kesalahan siswa sendiri yang mungkin tidak memperhatikan saat pembelajaran atau bisa jadi karena guru yang tidak menciptakan pengalaman belajar yang mempertajam aspek-aspek kritis dalam objek pembelajaran.

3) Pola Variasi (Pattern of Variation)

Untuk menciptakan pembelajaran yang mampu mempertajam aspek-aspek kritis dalam objek pembelajaran, siswa harus diberi pengalaman belajar dengan variasi. Dengan menggunakan konsep variasi, siswa akan cenderung lebih memperhatikan objek yang bervariasi atau berbeda dari yang lainnya (Marton & Pang, 2006: 199). Berbagai pola variasi yang bisa digunakan guru dalam pembelajaran, yakni: 1) Contrast, 2) Separation, 3) Generalisation, dan 4) Fusion (Pang, 2008: 5). Berikut penjelasan lebih lanjut tentang jenis-jenis pola variasi tersebut:


(42)

57

(1) Contrast: sebuah pembandingan antara contoh dan bukan contoh dari objek (Mok, 2006: 134). Menggunakan pola variasi contrastBberdasarkan teori variasi adalah dengan menampilkan contoh dan bukan contoh dari konsep yang dipelajari secara bersamaan, sehingga siswa dapat memahami konsep dengan membandingkanBcontoh dan bukan contoh tersebut. Contohnya, agar siswa dapat mendefinisikan pecahan, maka guru menampilkan variasi contoh dan bukan contoh pecahan.

(2) Separation: sebuah pemisahan aspek kritis suatu objek dari aspek lainnya, yakni dengan memvariasikan suatu aspek dan membuat aspek lainnya tetap (Mok, 2006: 134). Menggunakan pola variasi separation berdasarkan teori variasi adalah dengan menampilkan variasi suatu aspek kritis dari suatu objek dan membuat aspek lain dari objek tersebut tetap secara bersamaan agar siswa dapat menyadari aspek kritis dari objek yang dipelajari dengan mencari pola. Contohnya, agar siswa dapat memahami makna pembilang pada suatu pecahan, maka guru menyajikan variasi pembilang dengan membuat penyebut tetap, begitupun sebaliknya.

(3) Generalization: sebuah pengalaman belajar dengan menggunakan penyajian yang variatif dari suatu objek (Mok, 2006: 134). Menggunakan pola variasi generalization berdasarkan teori variasi adalah dengan membawa representasi


(43)

58

lain dari suatu objek agar siswa dapat memahami suatu objek secara lebih menyeluruh. Contohnya, agar siswa dapat mengeneralisir tentang konsep 1/2, guru memberikan variasi contoh penerapan konsep 1/2 yang berbeda-beda, misalnya 1/2 terang bulan, 1/2 hari, dan sebagainya.

(4) Fusion: sebuah pengalaman belajar dengan membawa beberapa aspek kritis secara bersamaan (Mok, 2006: 134). Menggunakan pola variasi fusion berdasarkan teori variasi adalah dengan menampilkan variasi berupa gabungan beberapa aspek kritis secara bersamaan agar siswa dapat menyadari aspek lain dari suatu objek secara bersamaan. Contohnya, agar siswa dapat memahami hubungan pembilang dan penyebut dalam suatu pecahan, guru memberikan variasi pada penyebut dan pembilang secara bersamaan.

7. PembelajaranBMatematikaBBerbasisBTeoriBVariasiB

Berdasarkan publikasi dari Organization for rconomic Cooperation and Development (OECD) sebagai penyelenggara PISA di dunia (2014), pada PISA 2012, Shanghai-China memperoleh nilai tertinggi dalam matematika, dengan rata-rata skor mencapai 613 poin yang berada di atas rata-rata OECD. Seperti halnya hasil dari PISA, China juga berhasil menembus lima besar terbaik pada TIMSS 2011, yakni tepatnya berada pada posisi ketiga (Hong Kong, China) dan posisi keempat (Chinese Taipei) untuk tingkat empat. Hasil ini tak jauh berbeda pada tingkat delapan,


(44)

59

dimana Chinese Taipei berhasil menduduki posisi ketiga dan Hong Kong berhasil menduduki posisi keempat (Mullis, et al: 2012).

Xuhua Sun (2011: 5) menyatakan dalam studinya bahwa yang menarik untuk digarisbawahi pada pembelajaran di China adalah materi-materi tidak disajikan secara terisolasi atau terpisah-pisah, tetapi disajikan sebagai himpunan materi pembelajaran. Konsekuensinya, pengetahuan yang diperoleh siswa menjadi komprehensif. Pembelajaran matematika di China terfokus pada penyajian objek pembelajaran yang dilihat sebagai satu kesatuan utuh dan ditampilkan dengan variasi.

Secara umum, terdapat beberapa prinsip pengajaran dengan teori variasi yang sesuai dengan prinsip pengajaran secara konsensus, yakni: (Lo, 2012: 105-108)

a. Guru harus mengetahui dan bekerja dengan pemahaman awal siswa; b. Guru harus menciptakan pembelajaran yang mendalam, memberikan

banyak contoh, dan membangun fondasi yang kuat pada pamahaman siswa;

c. Pengajaran kemampuan metakognitif harus diintegrasikan pada berbagai macam topik pembelajaran.

Berikut merupakan langkah-langkah dalam menggunakan teori variasi dalam pembelajaran matematika:

a. Memilih objek pembelajaran (object of learning) dan mengidentifikasi aspek kritis


(45)

60

Langkah awal yang bisa dilakukan untuk merencanakan pembelajaran adalah memilih objek pembelajaran. Objek pembelajaran memiliki makna yang berbeda dengan tujuan pembelajaran. Objek pembelajaran adalah mengenai hal-hal yang perlu dipahami siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai.

b. Mengetahui pemahaman awal siswa

Teori variasi sangat memperhatikan aspek pengetahuan awal siswa sebagai dasar guru merencanakan pembelajaran. Hal ini dilakukan agar guru dapat memfasilitasi siswa belajar. Untuk mengetahui pemahaman awal siswa tentang suatu topik, guru dapat merancang pre-tes, berdiskusi dengan guru lain, hingga menganalisis bahan yang akan diajarkan dengan dibantu pengalaman mengajar sebelumnya.

c. Melaksanakan pembelajaran dengan pola variasi dan menyimpulkan Setelah mengetahui tentang pandangan awal siswa tentang suatu materi pembelajaran, guru kemudian menggunakan pola variasi yang telah dipelajari di muka untuk merancang pembelajaran. Pola variasi ini digunakan untuk membawa aspek yang telah diidentifikasi oleh guru ke dalam struktur pemahaman siswa. Proses belajar siswa dilakukan dengan mengamati pola dalam variasi yang ditampilkan dan menarik kesimpulan tentang aspek kritis yang diperoleh dari pola tersebut.B


(46)

61

8. PerangkatBPembelajaranBBerbasisBTeoriBVariasiB

Perangkat pembelajaran berbasis teori variasi yang dikembangkan pada penelitian ini berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kegiatan Siswa (LKS). Komponen-komponen pembelajaran berbasis teori variasi termuat dalam perangkat pembelajaran. Komponen ini didapatkan dari analisis pada langkah-langkah pembelajaran menggunakan teori variasi yang telah dijelaskan sebelumnya. Berikut merupakan komponen pembelajaran berbasis teori variasi yang dimaksud: a. Terdapat tujuan pembelajaran yang telah ditentukan sebelumnya; b. Terdapat pre-test untuk mengetahui pemahaman awal siswa;

c. Terdapat aktivitas pembelajaran yang menggunakan pola variasi contrast;

d. Terdapat aktivitas pembelajaran yang menggunakan pola variasi separation;

e. Terdapat aktivitas pembelajaran yang menggunakan pola variasi fusion; f. Terdapat aktivitas pembelajaran yang menggunakan pola variasi

generalization;

g. Terdapat aktivitas menyimpulkan untuk mengetahui aspek kritis yang ditemukan siswa melalui variasi yang telah diberikan.

9. ModelBPengembanganBPerangkatBPembelajaranB

Salah satu model pengembangan produk adalah model 4D yang dikembangkan oleh Thiagarajan. Pada model tersebut terdapat 4 tahapan dalam mengembangkan suatu produk yang meliputi: tahapan define


(47)

62

(pendefinisian), design (perancangan), develop (pengembangan), dan disseminate (penyebarluasan) (Thiagarajan, 1974: 5-9).

a. Tahapan Define

Pada tahap define dilakukan analisis kebutuhan dan syarat-syarat pengembangan produk yang sesuai dengan kebutuhan pengguna produk, dimana secara lebih rinci dilakukan kegiatan berikut:

1) Analisis ujung depan (front-end analysis) dengan mengajukan diagnosa awal untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran.

2) Analisis siswa (learner analysis) dengan mempelajari karakteristik siswa dan implikasinya dalam pembelajaran.

3) Analisis tugas (task analysis) dengan menganalisis tugas-tugas yang harus dikuasai siswa untuk mencapai kompetensi minimal. 4) Analisis konsep (concept analysis) dengan menganalisis konsep

yang diajarkan dan menyusunnya secara sistematis.

5) Analisis tujuan pembelajaran (specifying instructional objects) dengan merumuskan tujuan pembelajaran dengan kata kerja operasional agar memudahkan dalam implementasi.

b. Tahapan Design

Terdapat empat kegiatan dalam tahapan design yang menghasilkan prototype dari produk yang dikembangkan, yaitu:

1) Menyusun tes kriteria sebagai alat evaluasi setelah implementasi kegiatan (constructing criterion-referenced test).


(48)

63

2) Memilih media (media selection) untuk pembelajaran yang sesuai dengan materi dan karakteristik siswa.

3) Pemilihan bentuk (format selection) pada penyajian pembelajaran yang disesuaikan dengan media yang akan digunakan.

4) Membuat rancangan awal (initial design) dari perangkat pembalajaran, berupa RPP dan LKS.

c. Tahapan Develop

Terdapat dua kegiatan yang dilakukan pada tahapan develop, yaitu: expert appraisal berupa penilaian kelayakan rancangan awal produk dan pemberian saran untuk penyempurnaan produk oleh ahli, serta developmental testing berupa ujicoba rancangan produk yang telah diperbaiki berdasarkan saran ahli pada sasaran subjek sesungguhnya untuk memperoleh respon. Respon tersebut digunakan untuk penyempurnaan produk akhir dari penelitian.

d. Tahapan Disseminate

Kegiatan yang dilakukan pada tahapan disseminate adalah packaging serta difussion dan adoption. Inti kegiatan dari tahapan ini adalah mengupayakan penggunaan produk akhir untuk skala yang lebih luas.

10. KualitasBPerangkatBPembelajaranB

Ada tiga kriteria yang digunakan untuk menentukan kualitas suatu produk, dimana suatu produk dikatakan memiliki kualitas baik jika memenuhi kriteria valid, praktis, dan efektif (Nieveen, 1999: 126-128).


(49)

64 a. Kevalidan

Suatu produk yang dikembangkan dikatakan valid apabila “...the material (the intended curriculum) must be well considered and the component and the material should be based on state-of-the-art knowledge (content validity) and all components should be consistently linked to each other (construct validity)” (Nieveen, 1999:127)

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kevalidan suatu perangkat pembelajaran dapat dilihat dari kevalidan konten yang berupa materi dan kevalidan konstruksi yang menghubungkan semua komponen materi satu sama lain. Untuk menjamin validitas perangkat pembelajaran dalam penelitian ini, digunakan penilaian para ahli/validator yang terdiri dari ahli materi dan ahli media. Aspek kevalidannya meliputi dua hal, yakni perangkat pembelajaran yang dikembangkan haruslah berdasarkan teori yang kuat (content validity) dan setiap komponen teori haruslah terkait satu dengan lainnya (construct validity). Selain itu, agar perangkat pembelajaran yang dikembangkan dapat dinyatakan valid, maka ada beberapa aspek yang perlu dipenuhi, antara lain: 1) kesesuaian dengan teori variasi, 2) kelayakan isi, 3) kelayakan bahasa, 4) kelayakan penyajian, dan 5) kelayakan grafika.

b. Kepraktisan

Suatu produk pengembangan mempunyai kualitas kepraktisan yang tinggi apabila “... teacher and other experts consider the materials to


(50)

65

be usable and that is easy for teachers and students to use the materials in a way that so largely compatible with the developers’ intention...” (Nieveen, 1999: 127)

Dalam penelitian ini, perangkat pembelajaran yang dikembangkan dikatakan praktis jika guru dan siswa sebagai pengguna perangkat pembelajaran menyatakan bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan dapat diterapkan dan digunakan di lapangan. Kepraktisan produk dalam penelitian ini dapat diketahui dari hasil penilaian angket respon guru dan respon siswa pada akhir pembelajaran yang telah menggunakan perangkat pembelajaran yang dikembangkan. c. Keefektifan

Keefektifan suatu produk pengembangan dapat tercapai apabila “...students appreciate the learning program and that desired learning take place and it should impact the formative evaluation of the target group.” (Nieveen, 1999: 127-128)

Perangkat pembelajaran yang dikembangkan dinyatakan efektif jika perangkat pembelajaran yang dikembangkan dapat memfasilitasi kelompok siswa sebagai target group mencapai kompetensi yang harus dimilikinya. Tes hasil belajar adalah cara untuk mengetahui hasil belajar siswa dimana ketuntasan kelompok siswa menjadi tolok ukurnya. Pada penelitian ini, perangkat pembelajaran dikatakan efektif jika presentase ketuntasan kelompok siswa mencapai 75%.


(51)

66 B. PenelitianByangBRelevanB

Terdapat penelitian relevan yang dijadikan sebagai acuan bagi peneliti, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ming Fai Pang (2008) yang berjudul “Using The Learning Study Grounded on The Variation Theory to Improve Students’ Mathematical Understanding”. Penelitian ini relevan ditinjau dari teori yang digunakan dalam penelitian, yakni teori variasi. Pang menemukan bahwa kolaborasi guru pada learning study yang berbasis teori variasi efektif dalam meningkatkan pemahaman matematika siswa.

Penelitian relevan lainnya yang dijadikan acuan adalah penelitian dari Ida Ah Chee Mok (2006) yang berjudul “Shedding Light on the rast Asian Learner Paradox: Reconstructing Student-Centredness in a Shanghai Classroom”. Penelitian ini relevan ditinjau dari teori yang dijadikan dasar bagi penelitian ini. Mok menemukan bahwa berdasarkan analisis yang dilakukan pada pembelajaran sebuah kelas di China, imej pembelajaran di China yang berorientasi pada konten dan berpusat pada guru tidak sepenuhnya benar. Guru di China memiliki pandangannya sendiri tentang konsep pembelajaran yang berpusat pada siswa, yakni pandangan yang terinspirasi dari teori variasi.

Selain itu, juga terdapat penelitian dari Rongjin Huang dan Frederick K. S. Leung (2005) yang berjudul “Deconstructing Teacher-Centeredness Dichotomy: A Case Study of a Shanghai Mathematics Lesson” yang juga sejalan dengan dua penelitian sebelumnya. Huang dan Leung menemukan bahwa fenomena teacher centeredness pada pembelajaran di China tidak


(52)

67

sepenuhnya benar. Dengan eksplorasi mendalam, mereka menemukan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah guru mendorong siswa menjangkau pengetahuan secara aktif di bawah kontrol guru dengan perspektif variasi. C. KerangkaBBerpikirB

Salah satu hal yang penting untuk diperhatikan dalam upaya mewujudkan pembelajaran berkualitas adalah keragaman yang ada pada siswa. Faktanya, kelas-kelas di Indonesia bukanlah kelas-kelas kecil dengan 10 sampai 15 siswa saja, melainkan kelas besar yang bisa terdiri dari 30 hingga 40 siswa. Konsekuensinya, guru perlu menggunakan strategi khusus untuk merespon keragaman tersebut. Guru harus mampu menyediakan fasilitas, media, sumber belajar, dan mampu mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran di kelas sesuai tuntutan Kurikulum 2013. Namun, perangkat pembelajaran yang digunakan di lapangan masih cenderung menekankan pada latihan soal dan belum berfokus kepada pemahaman materi secara mendalam.

Perangkat pembelajaran berbasis teori variasi dinilai dapat membantu memfasilitasi siswa yang beragam untuk mampu mengembangkan cara pandang yang kuat dalam mempelajari materi yang dikehendaki. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan variasi. Siswa difasilitasi untuk mengamati variasi tentang suatu konsep dan diminta untuk mencari pola, kemudian menemukan aspek kritisnya. Cara belajar menggunakan variasi ini dianggap mampu memfasilitasi semua siswa yang pada awalnya memiliki pandangan beragam untuk fokus kepada aspek kritis yang seharusnya mereka perhatikan.


(53)

68

Selain itu, perangkat pembelajaran juga perlu memperhatikan teori-teori tentang keragaman individu serta implikasinya dalam pembelajaran. Namun demikian, perangkat pembelajaran berbasis teori variasi ini belum banyak dikembangkan. Hal ini yang kemudian menjadi latar belakang penelitian ini. Sehingga hasil dari penelitian ini adalah pola pengembengan perangkat pembelajaran dan produk berupa perangkat pembelajaran berbasis teori variasi pada pokok bahasan sistem persamaan dan pertidaksamaan linear untuk SMA kelas X yang memenuhi kriteria valid, praktis, dan efektif serta yang paling penting adalah siswa dapat menghayati kegiatan belajarnya sendiri tanpa harus bergantung sepenuhnya pada penjelasan guru.

D. PertanyaanBPenelitianB 1. Tahap Define

a. Bagaimana karakteristik siswa Sekolah Menengah Atas (SMA)? b. Apa saja tugas-tugas pokok dan konsep yang harus dikuasai siswa

untuk mencapai kompetensi maksimal?

c. Apa saja tujuan pembelajaran atau indikator pencapaian kompetensi siswa pada pokok bahasan Sistem Persamaan dan Pertidaksamaan Linear?

2. Tahap Design dan Develop

a. Bagaimana rancangan awal perangkat pembelajaran yang sesuai dengan hasil penelusuran pada tahap define?

b. Bagaimana kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan perangkat pembelajaran yang dikembangkan?


(54)

69 BABBIIIB

METODEBPENELITIANB A. JenisBPenelitianB

Penelitian ini merupakan penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan langkah-langkah pengembangan perangkat pembelajaran matematika berbasis teori variasi berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kegiatan Siswa (LKS) pada pokok bahasan Sistem Persamaan dan Pertidaksamaan Linear untuk SMA kelas X.

B. MetodeBPenelitianB

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode R&D (Research & Development) tipe 4-D yang terdiri dari tahap

Define (pendefinisian), tahap Design (Perancangan), tahap Develop

(Pengembangan), dan tahap Deseminate (Penyebarluasan). Karena keterbatasan waktu, pengembangan perangkat pembelajaran dalam penelitian ini hanya dibatasi pada proses define, design, dan develop saja. 1. TahapBDefineB(Pendefinisian)B

Pada proses pendefinisian dilakukan analisis kurikulum matematika SMA khususnya untuk materi Sistem Persamaan dan Pertidaksamaan Linear. Analisis tersebut difokuskan pada kompetensi dasar serta indikator-indikatornya. Analisis kurikulum digunakan sebagai dasar dalam merumuskan tujuan pembelajaran serta pengembangan bahan ajar yang akan disusun. Selain itu juga dilakukan analisis karakteristik siswa SMA


(55)

70

dengan cara wawancara dengan guru matematika dan observasi kegiatan pembelajaran, serta kajian secara teoritis. Hasil dari pendefinisian ini adalah penentuan aspek-aspek yang menjadi dasar merancang perangkat pembelajaran. Secara umum, terdapat 5 kegiatan utama yang dilakukan pada tahap ini, yaitu:

a. Analisis ujung depan

Pada tahap ini dilakukan analisis yang bertujuan mengidentifikasi dasar pengembangan dan permasalahan dalam pembelajaran matematika sehingga dibutuhkan pengembangan perangkat pembelajaran berupa RPP dan LKS.

b. Analisis siswa

Analisis siswa dilakukan untuk mengetahui karakteristik siswa yang meliputi tingkat perkembangan kognitif, gaya belajar, dan pendekatan belajar siswa.

c. Analisis tugas

Analisis tugas dilakukan untuk mengetahui tugas-tugas belajar yang harus dikuasai siswa untuk mencapai kompetensi minimal.

d. Analisis konsep

Analisis konsep dilakukan dengan mengidentifikasi konsep-konsep yang akan diajarkan dan disusun secara sistematis dan rinci. Hasil dari analisis ini berupa peta konsep.


(56)

71

e. Perumusan tujuan pembelajaran

Pada tahap ini dilakukan perumusan tujuan pembelajaran atau indikator pencapaian kompetensi pada topik Sistem Persamaan dan Pertidaksamaan Linear.

2. TahapBDesignB(Perancangan)B

Setelah tahap pendefinisian selesai, selanjutnya dilakukan tahap perancangan perangkat pembelajaran matematika berupa rancangan awal RPP dan LKS. Pembuatan rancangan awal RPP dan LKS dilakukan dengan langkah-langkah seperti yang telah dijelaskan pada bagian kajian teori. Sebelum desain produk dilanjutkan ke tahap berikutnya, pada tahap ini dilakukan validasi instrumen penilaian produk oleh dosen ahli pembelajaran.

3. TahapBDevelopB(Pengembangan)B

RPP dan LKS yang telah disusun sesuai rancangan awal kemudian dikonsultasikan kepada dosen pembimbing. Rancangan awal yang telah mendapat masukan dari dosen pembimbing, selanjutnya divalidasi oleh ahli materi serta ahli media untuk mengetahui kelayakan perangkat pembelajaran. Jika sudah dianggap layak, maka perangkat pembelajaran bisa diujicobakan. Hasil validasi dianalisis dan ditindaklanjuti sesuai masukan ahli materi serta ahli media yang akan digunakan untuk uji coba. Dalam penelitian ini dilakukan tahap uji coba sebagai berikut:


(57)

72

a. Penilaian produk

Penilaian produk ini menggunakan lembar penilaian perangkat pembelajaran. Subjek penilai yaitu satu ahli materi dan satu ahli media pembelajaran. Objek penelitian yakni perangkat pembelajaran untuk siswa SMA berdasarkan aspek kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan grafika.

b. Ujicoba terbatas

Ujicoba terbatas dilakukan pada siswa kelas X SMA Negeri 2 Yogyakarta untuk mengetahui keterbatasan perangkat pembelajaran yang dikembangkan.

c. Penilaian respon guru dan siswa

Setelah menggunakan perangkat pada kegiatan pembelajaran, siswa dan guru diminta mengisi angket respon terhadap perangkat yang telah dikembangkan untuk mengukur tingkat kepraktisan perangkat. Guru menilai RPP dan LKS, sedangkan siswa hanya menilai LKS. d. Tes evaluasi hasil belajar

Tes evaluasi hasil belajar dilakukan untuk mengetahui tingkat keefektifan perangkat setelah dilakukannya kegiatan pembelajaran dengan perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan.

C. MetodeBPenilaianBProdukB

1. SubjekBPenelitianB

Subjek penelitian pada penelitian pengembangan ini adalah siswa dan guru matematika SMA Negeri 2 Yogyakarta pada kelas X MIIA 5.


(58)

73

2. WaktuBdanBLokasiBPenelitianB

Penelitian ini dilakukan pada tahun ajaran 2014/2015 pada bulan Agustus-Desember 2015 di SMA Negeri 2 Yogyakarta. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang lokasi penelitian dilakukan pengumpulan data sebelum ujicoba dari wawancara tidak terstruktur kepada guru matematika dan siswa SMA Negeri 2 Yogyakarta, serta observasi ketika guru mengajar di kelas. Berikut hasil pengumpulan data tersebut:

1) Berdasarkan wawancara dengan guru dan pengamatan pada data prestasi belajar siswa, siswa SMA Negeri 2 Yogyakarta khususnya yang ada di kelas X MIIA 5 memiliki kemampuan matematika yang beragam. Hal ini terlihat dari data ulangan harian siswa pada Bab Eksponen dan Logaritma pada kelas X MIIA 5 tahun ajaran 2015/2016 yang menunjukkan adanya perbedaan nilai yang signifikan antar siswa. Sebanyak 25 siswa dari 29 siswa yang mengikuti ulangan harian tidak tuntas pada Bab Eksponen dan Logaritma dengan perolehan nilai di bawah 75, sedangkan hanya ada 4 siswa yang memperoleh nilai di atas 75 dan masuk dalam kategori tuntas. Di antara 25 siswa yang tidak tuntas, ada 8 siswa yang bahkan memperoleh nilai di bawah 50. Hasil ini jauh berbeda dari perolehan nilai dari keempat siswa yang tuntas. Empat siswa yang tuntas memperoleh nilai di atas 80. Hal ini menunjukkan terdapat range nilai yang cukup jauh antar siswa serta terdapat


(59)

74

perbedaan proporsi yang tinggi antara jumlah kelompok siswa yang tuntas dan tidak tuntas.

2) Berdasarkan pengamatan saat pembelajaran berlangsung serta wawancara terhadap siswa, siswa di kelas X MIIA 5 SMA Negeri 2 Yogyakarta tidak menyukai diskusi kelompok. Ketika guru menginstruksikan untuk diskusi kelompok, siswa cenderung mempercayakan tugas kepada seorang siswa yang dianggap pandai. 3) Berdasarkan hasil tes pemahaman awal siswa yang dilakukan

sebelum pembelajaran, siswa di kelas X MIIA 5 SMA Negeri Yogyakarta memiliki kemampuan dasar yang cukup baik terutama dalam menyelesaikan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV) bahkan ada beberapa siswa yang telah mampu menyelesaikan Sistem Persamaan Linear Tiga Variabel. (SPLTV) Hanya saja, sebagian besar siswa masih melakukan kesalahan dalam membuat model matematika terutama dalam memisalkan. Selain itu, siswa secara umum masih kesulitan membedakan konsep Persamaan Linear Dua Variabel (PLDV) dan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV) serta masih kesulitan menjelaskan perbedaan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV) bersolusi tunggal, banyak, maupun tidak memiliki solusi. Sedangkan untuk topik Sistem Pertidaksamaan Linear Dua Variabel (SPtLDV), siswa secara umum sudah mampu menggambar grafik garis lurus namun masih


(60)

75

kesulitan dalam menentukan daerah penyelesaian suatu Pertidaksamaan Linear Dua Variabel (PtLDV).

4) Berdasarkan pengamatan pada saat pembelajaran berlangsung, siswa kelas X SMA Negeri 2 Yogyakarta memiliki jadwal kegiatan ekstrakulikuler yang padat karena berada pada tahun awal yang berarti tahun pengkaderan organisasi, sehingga beberapa siswa sering ijin untuk mengikuti kegiatan lain di tengah proses pembelajaran.

3. JenisBDataB

Data yang digunakan pada penelitian pengembangan ini adalah sebagai berikut:

a. Data kualitatif mengenai proses pengembangan produk berupa data yang diperoleh pada tahap define, design, dan develop yang meliputi data hasil pengumpulan referensi, hasil rancangan perangkat pembelajaran, pembuatan instrumen penilaian, validasi instrumen penilaian dan hasil analisis serta masukan dari ahli materi dan ahli media.

b. Data kuantitatif mengenai kualitas produk yang diharapkan ditinjau dari aspek kevalidan, keefektifan, dan kepraktisan yang diperoleh dari data validasi materi dan media oleh ahli, angket respon guru dan siswa terhadap pembelajaran siswa dengan LKS, serta tes hasil belajar siswa.


(1)

57


(2)

58

2. Buatlah sistem pertidaksamaan yang daerah penyelesaiannya berbentuk persegi

panjang jika diketahui titik sudut persegi panjang adalah (-3, 0), (-3, 2), (-6, 0), dan (-6, 2).

3. Misalkan kamu pergi ke sebuah pemancingan yang memiliki dua jenis ikan

untuk dipancing, yaitu ikan nila dan gurameh. Pemancingan tersebut memiliki peraturan tertentu untuk setiap pengunjungnya, dimana kamu tidak boleh menangkap lebih dari 15 ikan nila per harinya, tidak boleh menangkap lebih dari 10 ikan gurameh per harinya, dan tidak boleh menangkap lebih dari 15 ikan per harinya.

a. Buatlah model matematika dari persoalan di atas dan lukislah daerah


(3)

59

b. Gunakan grafik untuk mengetahui apakah kamu boleh menangkap 11 ikan

nila dan 9 ikan gurameh dalam sehari. Jelaskan.

4. Sebuah percetakan foto memiliki fasilitas self-service dimana pengunjung dapat

memilih jenis pencetakan dan mencetak fotonya sendiri melalui komputer yang disediakan. Setiap jenis pencetakan dihargai Rp.8.000,- setiap lembarnya. Jumlah gambar yang bisa dicetak pada setiap jenis pencetakan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

a. Kamu ingin mencetak minimal 16 foto dengan sembarang ukuran dan

berharap tidak menghabiskan lebih dari Rp. 48.000,- untuk biaya pencetakan. Tulis dan lukislah daerah penyelesaian dari sistem pertidaksamaan yang terbentuk dari situasi ini.


(4)

60

b. Dapatkah kamu memperoleh 12 foto dari pencetakan jenis A dan 6 foto dari


(5)

61

Apa yang telah kamn pelajari?

Isilah titik-titik di bawah ini untuk merangkum hal yang telah kamu pelajari melalui LKS ini.

1. Perbedaan PLDV dan PtLDV terletak pada ... Kemungkinan tanda yang dimiliki PtLDV yaitu ...

2. Secara umum, SPtLDV adalah ... yang saling ...

3. Secara umum, langkah-langkah yang bisa digunakan untuk menentukan daerah

penyelesaian dari Sistem Pertidaksamaan Linear Dua Variabel

adalah... ... ... ... ... 4. Secara umum, langkah-langkah yang bisa digunakan untuk menentukan Sistem

Pertidaksamaan Linear Dua Variabel dari daerah penyelesaiannya adalah... ... ... ... ...

Rangkuman


(6)

62

DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2013). Matematika

Kelas X. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Larson, Ron dkk. Algebra 1. (2011). Texas: Holt McDougal, a division of Houghton

Mifflin Harcourt Publishing Company.

Liang, Su. (2013). Middle-grades Mathematics Classrooms Instruction in China: A Case

Study. Mathematics Teaching-Research Journal Online, vol. 6, No. 4, 62-81.

Lo, Mun Ling. (2012). Variation Theory and The Improvement of Teaching and

Learning. Goteborg : Acta Universitatis Gothoburgensis.

Marton, F., & Booth, S. (1997). Learning and Awareness. Mahwah, New Jersey:

Lawrence Erlbaum Associates Publishers.

Marton, Ference dan Ming Fai Pang. (2006). On Some Necessary Conditions of

Learning, The Journal of Learning Sciences, 15(2), 193-220.

Marton, Ference. (1981). Phenomenography: Describing Conceptions of the World

Around Us, Instructional Science 10 (1981) 177-200.

Mason, John. (2011). Explicit and Implicit Pedagogy: variation theory as a case study. Prosiding, the British Society for Research into Learning Mathematics 31(3) November 2011. Oxford: University of Oxford and Open University

Mok, Ida Ah Chee. (2006). Shedding Light on the East Asian Learner Paradox:

Reconstructing Student-centredness in a Shanghai Classroom, Asia Pacific journal

of Education, vol.26, No. 2, November 2006, 131-142.

Pang, Ming Fai. (2008). Using the Learning Study Grounded on the Variation Theory to

Improve Students’ Mathematical Understanding. Hong Kong : Creative Common