HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH OTORITER DENGA
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH OTORITER DENGAN EMOTIONAL ABUSE DALAM HUBUNGAN BERPACARAN SKRIPSI
Disusun oleh: VIVI PRIMA KHRISMA 05.40.0099 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2011
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH OTORITER DENGAN EMOTIONAL ABUSE DALAM HUBUNGAN BERPACARAN SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Psikologi
Disusun oleh: VIVI PRIMA KHRISMA 05.40.0099 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2011
Dipertahankan di Depan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang dan Diterima untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Psikologi
Pada Tanggal
25 Agustus 2011
Mengesahkan Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Dekan,
( Dr. Kristiana Haryani, M.Si )
Dewan Penguji
1. Drs. D.P. Budi Susetyo, M.Si ......................................................
2. Drs. Y. Sudiantara, M.S .......................................................
3. Drs. HM. Edy Widyatmadi, M.Si ......................................................
PERSEMBAHAN
Karya ini ku persembahkan kepada :
W Papa dan mama ku yang selalu membantu dan mendoakan ku W Kakak dan adik ku yang selalu mamberi semangat W Seseorang yang mencintai ku W Teman-teman ku yang selalu mendukung ku
MOTTO
Musuh yang paling berbahaya di atas dunia ini adalah penakut dan
bimbang. Teman yang paling setia, hanyalah keberanian dan keyakinan yang teguh.
‐ Andrew Jackson ‐
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Allah Bapa Yang Maha Kuasa dan Yesus Kristus atas segala rahmat dan berkat-Nya kepada penulis selama mengerjakan skripsi. Tak lupa ucapan terima kasih yang sangat tulus penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yakni:
1. DR. Kristiana Hayanti, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata yang telah memberikan ijin atas surat-surat penelitian yang diajukan.
2. Drs. D. P. Budi Susetyo, M.Si selaku Dosen Pembimbing Utama yang dengan penuh kesabaran memberikan waktu untuk memberi masukan dan membimbing dengan penuh kesabaran selama penulis mengerjakan skripsi.
3. Drs. HM. Edy Widyatmadi, M.Si selaku Dosen Wali yang telah banyak memberi masukan saat pemilihan mata kuliah dan memberikan ilmu selama penulis menempuh studi di Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang.
4. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata atas ilmu dan bimbingannya yang diberikan selama masa studi penulis.
5. Seluruh staf pengajaran di Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata atas bantuan dan pelayanan yang diberikan kepada penulis.
6. Segenap petugas Perpustakaan yang telah memberikan pelayanan dalam pencarian buku-buku refrensi.
7. Mahasiswa-mahasiswi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang yang telah bersedia membantu penulis dalam proses pengumpulan data.
8. Papa dan Mama yang setia dalam suka dan duka, susah dan senang, pemberi semangat dan selalu mendoakan demi menyelesaikan skripsi ini.
9. Kakak ku Yusuf Chaca Arimatea dan adik ku I Nyoman Elisha yang selalu memberi semangat sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
10. Teman-teman seperjuangan ku Desi, Yosi, Gaby, Rangga, Wewin, Anne, Naning, Eliya, Veni, Pipit dan Mas Dimas yang udah membantu yang saya tidak tahu.
11. Nanda Ariawan yang selalu memberi suport dan doa.
12. Teman-teman Peer Educator angkatan 1, 2, dan khususnya angkatan 3.
13. Keluarga besar Radio ProAlma Fm Siti, Nuril, Aldi, Alan, Mas Fais, Mbak Cici, Putri, Nindya, Riza, Yosi, Adit, Anjar, Mas Idam, Reno Satria, Jendra, Della Dania, Ubay, Dika, Tamma dan anak-anak penyiar baru.
14. Teman-teman Geng Keyboard training Imelda Fm Tante Sekar, Sandy, Prita, Wisnu, Mbak Citra, Izzam, Ulfa, Aditya.
15. Kembaran ku Siska Susanti yang selalu memberi semangat untuk cepat wisuda.
16. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang sudah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan untuk penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.
Penulis
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH OTORITER DENGAN EMOTIONAL ABUSE DALAM HUBUNGAN BERPACARAN
Abstraksi
Memasuki masa dewasa awal umumnya laki-laki dan perempuan yang belum menikah berkeinginan untuk mencari pasangan hidup untuk berkencan dan memulai masa berpacaran. Idealnya sepasang kekasih harus dapat saling mengasihi, menghargai, dan menghormati. Namun yang terjadi di masyarakat menunjukkan adanya perilaku kekerasan dalam pacaran.
Kekerasan dibagi menjadi tiga tingkatan; tingkatan pertama adalah kekerasan verbal dan emosional, tingkatan kedua adalah kekerasan seksual, tingkatan ketiga adalah kekerasan fisik. Verbal abuse dan emotional abuse dapat menjadi tipe kekuasaan dan kontrol yang paling merusak. Perilaku kekerasan biasanya merupakan hasil belajar dari pengalaman masa lalu atau pola asuh tertentu dari orang tua ataupun sebelumnya pernah menjadi korban tindak kekerasan. Tujuan penelitian ini berfungsi menguji secara empirik hubungan pola asuh otoriter dan pengalaman masa lalu dengan emotional abuse dalam hubungan berpacaran.
Populasi dalam penelitian ini berjumlah 100 subyek, dan teknik pengambilan sampelnya menggunakan quota sampling, serta metode pengambilan data penelitian ini menggunakan metode skala, yang digunakan untuk mengungkap variabel-variabel penelitian yaitu ada 2 macam alat ukur yaitu: skala pola asuh otoriter dan emotional abuse. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan product moment.
Hasil uji korelasi product moment yang menguji hubungan pola asuh otoriter dengan emotional abuse menghasilkan r = 0,666 dengan p<0,01. Hasil tersebut menunjukkan ada hubungan positif yang sangat signifikan antara pola asuh otoriter dengan emotional abuse dalam hubungan berpacaran. Jadi semakin besar tingkat pola asuh otoriter maka semakin besar pula perilaku emotional abuse-nya. semakin rendah pola asuh otoriter semakin rendah pula perilaku emotional abuse dalam hubungan berpacaran. Jadi hipotesis penelitian yang penulis ajukan diterima.
Kata kunci: Kekerasan, Emotional abuse, Pola asuh otoriter
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A : SKALA PENELITIAN
A-1 Skala Penelitian Emotional Abuse A-2 Skala Penelitian Pola Asuh Otoriter
LAMPIRAN B : DATA KASAR SKALA PENELITIAN
B-1 Data Kasar Skala Emotional Abuse B-2 Data Kasar Skala Pola Asuh Otoriter
LAMPIRAN C : UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS SKALA
C-1 Uji Validitas Dan Reliabilitas Skala Emotional Abuse C-2 Uji Validitas Dan Reliabilitas Skala Pola Asuh Otoriter
LAMPIRAN D : DATA ITEM VALID
D-1 Data Item Valid Skala Emotional Abuse D-2 Data Item Valid Skala Pola Asuh Otoriter
LAMPIRAN E : UJI ASUMSI
E-1 Uji Normalitas E-2 Uji Linearitas
LAMPIRAN F : UJI HIPOTESIS LAMPIRAN G : IJIN PENELITIAN
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Memasuki masa dewasa awal yaitu usia 18 sampai 40 tahun umumnya laki-laki dan perempuan yang belum menikah berkeinginan untuk mencari pasangan hidup untuk berkencan dan memulai masa berpacaran. Idealnya sepasang kekasih harus dapat saling mengasihi, menghargai, dan menghormati. Namun yang dilihat dan didengar masyarakat dari media elektronik maupun media cetak justru sebaliknya. Contohnya bintang sinetron Jill Gladys yang mendapat perlakuan kasar dari kekasihnya. Sang kekasih tega melarang ibu satu anak itu bertemu dengan anak dan keluarganya (Harian Semarang, 4 Januari 2010). Berbeda lagi dengan Rizki “The Potters”. Vocalis band ini diberitakan di infotainment Insert tanggal 6 Maret 2010 tega menyakiti sang pacar dan berakhir dengan menyiram air panas ke tubuh kekasihnya. Menurut Set (2009, h.37) bahwa kondisi aktivitas dating di kalangan remaja terjadi secara besar-besaran dalam intensitas jumlah dan kualitas pelanggaran/kekerasan yang semakin meningkat. Terbukti sejak tahun 1994-2001, dari 1683 kasus kekerasan yang ditangani, 385 diantaranya adalah Kekerasan Dalam Pacaran atau KDP (Komnas Perempuan, 2002).
Melihat dari contoh-contoh fakta tersebut, pertanyaan yang sering muncul di masyarakat adalah “mengapa pada hubungan berpacaran terjadi kekerasan?” Kekerasan menurut Poerwandari (dalam Jessica dan Roswita, 2007, Melihat dari contoh-contoh fakta tersebut, pertanyaan yang sering muncul di masyarakat adalah “mengapa pada hubungan berpacaran terjadi kekerasan?” Kekerasan menurut Poerwandari (dalam Jessica dan Roswita, 2007,
Pelaku terbesar kekerasan adalah laki-laki, karena perilaku ini dianggap sebagai bentuk rasa cemburu dan rasa sayang yang berlebihan. Bahkan, banyak remaja putri yang justru merasa tersanjung bila pasangannya sangat agresif dan mempunyai rasa cemburu yang ditampilkan over di depan teman-temanya. Lambat laun, rasa cemburu berubah menjadi kekerasan yang justru mengakibatkan penganiayaan terhadap pasangan perempuan (Set, 2009, h. 50-51). Wanita juga melakukan kekerasan terhadap pasangannya. Swan (dalam Knox & Schact, 2009, h. 424) meninjau literatur tentang perempuan yang melakukan kekerasan terhadap pasangannya dan menemukan bahwa kekerasan yang dilakukan wanita mungkin sebagai hal yang lazim seperti kekerasan yang dilakukan laki-laki tetapi cenderung lebih didorong oleh diri sendiri dan rasa takut, sedangkan kekerasan yang dilakukan laki-laki lebih didorong oleh motif kontrol. Maka perempuan yang kekerasan terhadap pasangannya cenderung memberi kesan dari pada memberikan pukulan. Sebuah fakta dari penelitian yang dilakukan oleh Langhinrichsen-rohling dkk (dalam Hamel, 2005, h. 4) lebih dari setengah atau sekitar 83% pasangan berpacaran melakukan emotional abuse dan Pelaku terbesar kekerasan adalah laki-laki, karena perilaku ini dianggap sebagai bentuk rasa cemburu dan rasa sayang yang berlebihan. Bahkan, banyak remaja putri yang justru merasa tersanjung bila pasangannya sangat agresif dan mempunyai rasa cemburu yang ditampilkan over di depan teman-temanya. Lambat laun, rasa cemburu berubah menjadi kekerasan yang justru mengakibatkan penganiayaan terhadap pasangan perempuan (Set, 2009, h. 50-51). Wanita juga melakukan kekerasan terhadap pasangannya. Swan (dalam Knox & Schact, 2009, h. 424) meninjau literatur tentang perempuan yang melakukan kekerasan terhadap pasangannya dan menemukan bahwa kekerasan yang dilakukan wanita mungkin sebagai hal yang lazim seperti kekerasan yang dilakukan laki-laki tetapi cenderung lebih didorong oleh diri sendiri dan rasa takut, sedangkan kekerasan yang dilakukan laki-laki lebih didorong oleh motif kontrol. Maka perempuan yang kekerasan terhadap pasangannya cenderung memberi kesan dari pada memberikan pukulan. Sebuah fakta dari penelitian yang dilakukan oleh Langhinrichsen-rohling dkk (dalam Hamel, 2005, h. 4) lebih dari setengah atau sekitar 83% pasangan berpacaran melakukan emotional abuse dan
Perilaku kekerasan diawali pada masa kecil dan sebagian besar mempunyai profil telah mengalami kekerasan fisik dan psikologis sewaktu anak- anak, pernah melihat salah satu orang tua memukuli atau begitu lebih dominan, salah satu atau kedua orang tuanya mengalami kekerasan, atau terus mengalami kekerasan, pecandu alkohol atau pengguna obat-obatan (Murray, 2000, h. 95-96). Menurut Dinastuti (2008, h. 52) mereka yang memiliki riwayat pernah mengalami kekerasan di masa kecil lebih beresiko untuk memiliki masalah dalam hubungan berpacaran.
Murray (2000, h. 29-69) membagi kekerasan dalam tiga tingkatan; tingkatan pertama adalah kekerasan verbal dan emosional, tingkatan kedua adalah kekerasan seksual, tingkatan ketiga adalah kekerasan fisik. Dari tiga tingkatan tersebut bentuk kekerasan yang paling sering dijumpai adalah kekerasan verbal (Dinastuti, 2008, h. 52). Murray (2000, h. 30) menunjukkan bahwa kekerasan fisik yang terjadi dalam sebuah hubungan, kebanyakan selalu ada sejarah panjang kekerasan verbal dan emosional. Kekerasan verbal dan emosional dapat menjadi tipe kekuasaan dan kontrol yang paling merusak. Dalam substansi ini, salah satu pasangan secara sistematis merendahkan harga diri pasangannya dengan memanggilnya dengan sebutan buruk, membuat tuduhan, mempermalukan di depan umum, menghancurkan benda-benda yang special bagi pasangannya, mengatakan gila, menggunakan tatapan mengancam dan mengintimidasi. Diakui Murray (2000, h. 29-69) membagi kekerasan dalam tiga tingkatan; tingkatan pertama adalah kekerasan verbal dan emosional, tingkatan kedua adalah kekerasan seksual, tingkatan ketiga adalah kekerasan fisik. Dari tiga tingkatan tersebut bentuk kekerasan yang paling sering dijumpai adalah kekerasan verbal (Dinastuti, 2008, h. 52). Murray (2000, h. 30) menunjukkan bahwa kekerasan fisik yang terjadi dalam sebuah hubungan, kebanyakan selalu ada sejarah panjang kekerasan verbal dan emosional. Kekerasan verbal dan emosional dapat menjadi tipe kekuasaan dan kontrol yang paling merusak. Dalam substansi ini, salah satu pasangan secara sistematis merendahkan harga diri pasangannya dengan memanggilnya dengan sebutan buruk, membuat tuduhan, mempermalukan di depan umum, menghancurkan benda-benda yang special bagi pasangannya, mengatakan gila, menggunakan tatapan mengancam dan mengintimidasi. Diakui
Menurut Engel (dalam Dinastuti, 2008, h. 52) selain mencakup verbal abuse di dalamnya, emotional abuse juga meliputi tingkah laku dan sikap yang secara langsung mengintimidasi, memanipulasi, dan menolak perhatian pasangan. Selanjutnya menurut Engel, hal yang paling menarik dari emotional abuse adalah seringkali pasangan yang mengalaminya tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan perlahan tapi menghancurkan hubungan itu sendiri. Tingkah laku mereka biasanya merupakan hasil belajar dari pengalaman masa lalu, entah karena pola asuh tertentu dari orang tua ataupun sebelumnya pernah menjadi korban tindak kekerasan.
Tanggung jawab pertama dalam membentuk manusia yang tangguh terletak pada keluarga. Pendidikan dan pengasuhan yang pertama dalam proses perkembangan anak adalah keluarga, maka peranan orang tua sangat menentukan bagi perkembangan anaknya kelak (Hidayat dalam Handayani.dkk, 2000, h. 33). Murray (2000, h. 96) menegaskan bahwa tugas utama orang tua adalah menjadi model perilaku yang orang tua inginkan anak-anak lakukan pada masa dewasa. Jika anak diasuh dalam rumah tangga dengan kekerasan, maka anak akan melakukan hal yang keliru yaitu perilaku ini diterima (Murray, 2000, h. 161). Menurut Knox & Schact (2009, h. 429) individu yang mengalami kekerasan anak, maka pada usia dewasa cenderung menjadi pelaku kekerasan terhadap pasangannya. Kekerasan orang tua terhadap anak kerap kali muncul secara sengaja atau tidak dalam pola asuh yang dugunakan orang tua dalam mendidik Tanggung jawab pertama dalam membentuk manusia yang tangguh terletak pada keluarga. Pendidikan dan pengasuhan yang pertama dalam proses perkembangan anak adalah keluarga, maka peranan orang tua sangat menentukan bagi perkembangan anaknya kelak (Hidayat dalam Handayani.dkk, 2000, h. 33). Murray (2000, h. 96) menegaskan bahwa tugas utama orang tua adalah menjadi model perilaku yang orang tua inginkan anak-anak lakukan pada masa dewasa. Jika anak diasuh dalam rumah tangga dengan kekerasan, maka anak akan melakukan hal yang keliru yaitu perilaku ini diterima (Murray, 2000, h. 161). Menurut Knox & Schact (2009, h. 429) individu yang mengalami kekerasan anak, maka pada usia dewasa cenderung menjadi pelaku kekerasan terhadap pasangannya. Kekerasan orang tua terhadap anak kerap kali muncul secara sengaja atau tidak dalam pola asuh yang dugunakan orang tua dalam mendidik
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Priyatama (2008, h. 81) menunjukkan ada hubungan positif yang signifikan antara persepsi terhadap sikap over protective orang tua dengan kecenderungan agresi pada remaja. Menurut Berkowitz (1995, h. 225) orang tua yang keras dan suka menghukum agak cenderung menghasilkan anak-anak yang agresif dan antisosial. Penelitian yang dilakukan oleh Busbly dkk (dalam Knox & Schact, 2009, h. 430) dengan 30.600 orang yang melihat orang tuanya saling melakukan kekerasan hingga dewasa cenderung akan melakukan kekerasan dengan pasangannya. Sidi (2005, h. 147) mencatat adanya kasus seseorang yang gemar mencela atau selalu berbicara kasar dan setelah ditelusuri, ternyata dimasa kecil orang tuanya sering melontarkan kata-kata makian yang melukai batinnya dan luka batin itu terbawa hingga dewasa. Sejarah keluarga yang melakukan kekerasan hanya salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku kekerasan.
Orang tua adalah lingkungan pendidikan yang pertama kali bagi anak. Bila orang tua mendidik dengan menggunakan kekerasan, besar kemungkinan anak akan mengalami hambatan dalam hubungan dengan lingkungan sosialnya (Handayani.dkk, 2000, h. 34), sehingga diketahui bahwa pola asuh otoriter memiliki risiko paling tinggi untuk memunculkan perilaku kekerasan terhadap anak. Wawuru (2010, h. 38) berpendapat pola asuh otoriter biasanya berdampak buruk pada anak dan pola asuh seperti ini menghasilkan karakteristik anak yang gemar menentang dan suka melanggar norma-norma. Tindak kekerasan yang Orang tua adalah lingkungan pendidikan yang pertama kali bagi anak. Bila orang tua mendidik dengan menggunakan kekerasan, besar kemungkinan anak akan mengalami hambatan dalam hubungan dengan lingkungan sosialnya (Handayani.dkk, 2000, h. 34), sehingga diketahui bahwa pola asuh otoriter memiliki risiko paling tinggi untuk memunculkan perilaku kekerasan terhadap anak. Wawuru (2010, h. 38) berpendapat pola asuh otoriter biasanya berdampak buruk pada anak dan pola asuh seperti ini menghasilkan karakteristik anak yang gemar menentang dan suka melanggar norma-norma. Tindak kekerasan yang
Hubungan antara pola asuh otoriter dengan emotional abuse dalam hubungan berpacaran adalah bila seseorang yang masa kecilnya diberikan pola asuh yang otoriter, maka dampaknya anak yang menerima kekerasan tersebut akan meniru perilaku orang tuanya sehingga dalam lingkungan bersosial khususnya pada hubungan berpacaran, akan melakukan emotional abuse. Karena perilaku emotional abuse yang diterima dari orang tua dibenarkan oleh anak.
B. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini berfungsi menguji secara empirik hubungan pola asuh otoriter yang dilakukan orang tua kepada anaknya, dengan emotional abuse yang dilakukan anak dalam hubungan berpacaran.
C. MANFAAT PENELITIAN
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini bermanfaat bagi bidang Psikologi khususnya bidang psikologi sosial.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi mahasiswa agar dapat mencermati pola pengasuhan orang tua bahwa pada dasarnya orang tua ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Penelitian ini juga bermanfaat bagi orang tua agar mengerti efek dari pola asuh otoriter untuk anaknya, karena tugas utama orang tua adalah menjadi model perilaku sosial yang pertama dan utama.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Emotional Abuse Dalam Hubungan Berpacaran
1. Pengertian Emotional Abuse Dalam Hubungan Berpacaran
Emotional abuse didefinisikan sebagai segala bentuk kekerasan, agresi, atau trauma yang emosional atau psikologis yang ada di alam (Ali dan Toner dalam Judith Worell, 2001, h. 379). Emotional abuse menurut Engel adalah suatu bentuk kekerasan yang menyelinap di masyarakat, bila dibiarkan akan menjadi kekerasan fisik (Engel, 2008, h. 157). Lebih lanjut Engel menjelaskan (dalam Dinastuti, 2008, h. 53) emotional abuse adalah tingkah laku non fisik atau-pun sikap yang dilakukan untuk mengontrol, mengintimidasi, menaklukkan, merendahkan, menghukum atau mengucilkan orang lain.
Walaupun emotional abuse merupakan salah satu bentuk tindakan kekerasan yang sering ditemui, namun orang yang terlibat di dalamnya sering kali tidak menyadarinya. Banyak orang yang bertanya-tanya apakah emotional abuse ini serius, karena bukti fisiknya tidak terlihat seperti physical abuse (Education Wife Assault, 2001).
Menurut Jantz dan McMurray (2003, h. 3-4) emotional abuse itu sulit ditemukan dan mudah untuk mengingkarinya. Kekerasan fisik dan seksual memiliki tanda-tanda, emotional abuse yang diserang pada rasa Menurut Jantz dan McMurray (2003, h. 3-4) emotional abuse itu sulit ditemukan dan mudah untuk mengingkarinya. Kekerasan fisik dan seksual memiliki tanda-tanda, emotional abuse yang diserang pada rasa
Pada emotional abuse ini si pelaku tidak perlu selalu mengacungkan tinju untuk mendapatkan kekuasaan dan kontrol, seringkali dengan tatapan yang mengancam saja sudah cukup (Murray, 2000, h. 30). Emotional abuse menciptakan bekas luka yang jauh lebih dalam dan lebih kekal dibanding kekerasan fisik (Engel dalam HealthyPlace.com, 2008, h. 1). Satu hal yang tertinggal dari emotional abuse adalah rasa putus asa (Thompson, 1993, h. 6).
Engel (dalam Dinastuti, 2008, h. 54) menegaskan bahwa pelaku emotional abuse seringkali tidak bermaksud dan tidak menyadari akan tingkah lakunya yang menyakiti pasangannya. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Langhinrichsen-rohling dkk (dalam Hamel, 2005, h. 4) lebih dari setengah atau sekitar 83% pasangan berpacaran melakukan emotional abuse dan tingkat kekerasan emosional laki-laki dan perempuan sejajar.
Pacaran adalah sebuah proses untuk memahami lawan jenis secara lebih personal. Bagaimana menerima sifat, sikap, karakter, kekurangan,
h. 21) masa pacaran adalah masa untuk belajar saling mencintai, dengan harapan kelak akan menjadi suami-istri yang bahagia. Kedua muda-mudi yang berpacaran mempunyai hak dan kewajiban untuk semakin mengenal dan menyayangi. Tentu saja kasih sayang itu bukan hanya diomongkan dan dirasakan, namun juga harus diungkapkan dan diwujudkan secara nyata dalam hidup mereka.
Kekerasan emosional dalam pacaran (Supatmiati, 2007, h. 44) adalah keadaan emosi yang sengaja dibuat oleh seseorang untuk mengendalikan pasangannya. Contohnya mengejek, curiga berlebihan, selalu menyalahkan pacar, mengekang, meremehkan, dll. Ironisnya dengan tidak ada bukti fisik, banyak yang beranggapan bahwa korban kekerasan emosional itu terlalu berlebihan. Terlalu sensitif, contohnya suatu teguran mungkin hanya untuk bercanda, tetapi si pacar sudah menganggap itu terlalu kasar. Lalu ada juga yang sebenarnya sudah mengalami kekerasan emosional, tetapi dia merasa pasrah.
Emotional abuse dalam hubungan berpacaran adalah segala bentuk kekerasan non fisik yang sengaja dilakukan untuk mengontrol pasangan dan jika dibiarkan akan menyebabkan trauma psikologis, namun sering kali tidak disadari karena kekerasan tersebut sebagai alasan bentuk rasa kasih sayang terhadap pasangan. Hal ini sering terjadi di dalam hubungan berpacaran tetapi jarang untuk dilakukan penelitian karena sebagian orang menganggap dalam suatu hubungan tidak pernah terjadi emotional
bukti nyata seperti kekerasan fisik, namun jika di biarkan korban akan mengalami trauma psikologis yang mendalam.
2. Faktor-faktor Emotional Abuse dalam Hubungan Berpacaran
Menurut Engel (dalam Dinastuti, 2008, h. 54) ada dua faktor yang memperngaruhi emotional abuse dalam hubungan berpacaran adalah
a. Pola asuh tertentu dari orang tua
b. Pengalaman masa lalu yang sebelumnya pernah menjadi korban tindak kekerasan. Menurut Utamadi dan Muljono (2009, h.1) faktor-faktor yang mempengaruhi emotional abuse dalam hubungan berpacaran adalah
a. Pengaruh keluarga Pengaruh keluarga sangat besar dalam membentuk kepribadian seseorang. Masalah - masalah emosional yang kurang diperhatikan oleh orang tua dapat memicu timbulnya permasalahan bagi individu yang bersangkutan di masa yang akan datang. Misalnya sikap kejam dari orang tua, berbagai macam penolakan dari orang tua terhadap keberadaan anak, dan juga sikap disiplin yang diajarkan secara berlebihan. Hal - hal semacam ini akan berpengaruh pada model peran (role model) yang dianut oleh anak tersebut pada masa dewasanya. Bila model peran yang dipelajari sejak kanak - kanak tidak sesuai dengan model yang normal atau model standart, maka perilaku semacam kekerasan dalam pacaran ini akan muncul. Banyak sekali bukti yang
menunjukkan hubungan antara perilaku orangtua dengan kepribadian anak di kemudian hari. Rata-rata pelaku kekerasan dalam rumah tangga pada masa kecilnya sering mendapat atau melihat perlakukan yang kasar dari orangtuanya, baik pada dirinya, saudaranya, atau pada ibunya. Walaupun secara logika dia membenci perilaku ayahnya, akan tetapi secara tidak sadar perilaku itu terinternalisasi dan muncul pada saat dia menghadapi konflik.
b. Lingkungan sekolah Sekolah dipandang sebagai tempat anak belajar bersosialisasi, dan memperoleh pendidikan dan ketrampilan untuk dapat hidup dengan baik di masyarakat. Sayangnya yang kurang disadari adalah kenyataan bahwa di sekolah pula individu bersosialisasi dengan anak - anak lain yang berasal dari latar belakang yang beraneka. Bila seseorang ini, tidak mampu menyesuaikan diri , maka akan muncul konflik dalam diri. Bila ia tidak mampu melakukan kontrol diri maka akan cenderung memicu perilaku agresif diantaranya berbentuk kekerasan emosional.
c. Pengaruh media massa TV atau Film juga dipandang memiliki sumbangan terhadap munculnya perilaku agresif terhadap pasangannya. Hal yang sering muncul dalam kasus-kasus emotional abuse dalam hubungan berpacaran adalah bahwa korban biasanya memang cenderung lemah, kurang percaya diri, dan sangat mencintai pasangannya. Apalagi karena sang pelaku setelah
menyesal, minta maaf, dan berjanji tidak akan mengulangi tindakan dia lagi, dan bersikap manis kepada pasangannya. Pada saat inilah, karena korban sangat mencintai dan berharap pelaku akan tidak melakukannya lagi, maka korban akan memaafkannya, dan hubungan diharapkan bisa berjalan lancar kembali. Padahal kekerasan ini seperti sesuatu yang berpola, jika seseorang memang mempunyai kebiasaan bersikap kasar pada pasangan, akan cenderung mengulanginya karena hal ini sudah menjadi bagian dari kepribadiannya dan merupakan cara untuk menghadapi konflik atau masalah.
Menurut Susilowati (2008, h.1) penyebab seseorang melakukan emotional abuse dalam hubungan berpacaran antara lain:
a. Pelaku melakukan intimidasi terhadap sikap orang tua mereka dalam memperlakukan orang lain.
b. Pelaku mengalami kekerasan dalam rumah tangga pada masa kanak- kanaknya.
c. Adanya persepsi bahwa hanya sedikit orang yang menyadari akibat dari kekerasan yang dilakukan.
d. Berusaha menjaga citra diri; misalnya dalam diri laki-laki ingin terlihat sebagai pemimpin dan hal ini mendapat dukungan dari masyarakat.
3. Bentuk-bentuk dari Emotional Abuse dalam Hubungan Berpacaran
Salah satu bentuk emotional abuse yang paling umum terjadi dalam hubungan berpacaran adalah agresivitas verbal. Bentuk umum dari
belakang, kompetensi, penampilan fisik; menyumpahi, menggoda, mengejek, mengancam, dan merendahkan (Dinastuti, 2008, h. 57).
Penganiayaan pasangan menurut Singer et al (dalam Videbeck, 2008, h. 257) antara lain dengan mengejek, meremehkan, berteriak dan memekik, merusak barang, dan mengancam, serta bentuk penganiayaan yang lebih tidak terlihat, misalnya menolak berbicara dengan korban atau berpura-pura tidak melihat korban.
Ada bentuk emotional abuse yang dialami oleh pasangan yang menjalin hubungan berpacaran menurut Engel (dalam Dinastuti, 2008, h.
a. Dominasi : usaha untuk mengontrol tingkah laku orang lain.
b. Serangan verbal (Verbal assault): kata-kata yang mengecilkan, merendahkan, mengkritik, mempermalukan, mengejek, mengencam, menyalakan terus menerus, menggunakan kata-kata kasar atau mengekspresikan kebencian.
c. Terus menerus mengkritik dan menyalahkan.
d. Pengharapan yang salah (abusive expectation): mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi oleh pasangan, karena pelaku tidak pernah puas dengan apapun yang dilakukan oleh pasangannya.
e. Pemerasan emosional (emotional blackmail): pelaku secara sadar atau tidak memaksa pasangannya untuk mengikuti kehendaknya dengan memanipulasi ketakutan, rasa bersalah atau kasih sayang dari
f. Respon tidak terduga: perubahan suasana hati yang cepat dan drastir, ledakan emosi secara tiba-tiba tanpa ada sebab yang jelas, dan respons yang tidak konsisten untuk stimulus yang sama.
g. Selalu ingin menciptakan konflik atau krisis: sengaja memulai pertengkaran, selalu bermasalah dengan orang lain, senang berada dalam suatu ‘drama’.
h. Pembunuhan karakter (character assassination): membesar-besarkan kesalahan, mengkritik dan mempermalukan pasangan di depan orang lain, mengecilkan prestasi pasangan.
i. Gaslighting: pelaku menggunakan berbagai cara untuk membuat pasangannya meragukan persepsi, ingatan dan kewarasannya sendiri. j. Pelecehan seksual (sexual harassment): pendekatan secara seksual yang dapat diterima, tingkah laku seksual yang tidak diharapkan atau tidak dapat diterima; misalnya memaksa berhubungan seksual, menyentuh bagian-bagian tubuh tertentu dengan cara yang kasar atau tidak sopan.
Menurut Adinda (2008, h. xviii) bentuk-bentuk emotional abuse dalam hubungan berpacaran seperti rasa cemburu atau rasa memiliki yang berlebihan, merusak barang-barang milik pribadi, mengancam untuk bunuh diri, melakukan pengawasan dan manipulasi, mengisolasi dari kawan-kawan dan keluarganya, dicaci maki, mengancam kehidupan pasangannya atau melukai orang yang dianggap dekat, atau menganiaya binatang kesayangannya.
Menurut Murray (2000, h. 46) pelaku emotional abuse melakukan kekuasaan dan kontrol terhadap pasangan dengan:
a. Kekerasan kemarahan/emosional: merendahkan, membuat pasangan merasa buruk pada dirinya sendiri, memanggil pasangan dengan sebutan yang buruk, membuat pasangannya berpikir bahwa ia gila, menghina, membuat pasangannya merasa bersalah.
b. Menggunakan status sosial: memperlakukan pasangan seperti pelayan, membuat semua keputusan, menjadi orang yang menentukan peran pria dan wanita.
c. Intimidasi: membuat takut dengan tatapan dan gerak tubuh, merusak benda-benda kesayangan, menyiksa hewan kesayangan, memamerkan senjata.
d. Menyangkal/ menyalahkan: menyepelekan kekerasan dan tidak memperdulikannya secara serius, mengatakan bahwa kekerasan itu tidak ada, melemparkan tanggung jawab atas perilaku kekerasan, mengatakan pasangannyalah penyebabnya.
e. Ancaman: membuat dan melakukan ancaman untuk melakukan sesuatu yang menyakiti pasangannya, mengancam akan pergi atau melakukan bunuh diri, membuat tuduhan, membuat pasangannya melakukan hal- hal yang melanggar hukum, mengancam akan melaporkan pasangannya ke polisi.
f. Tekanan teman sebaya: mengancam akan mengekspos kelemahan pasangannya atau menyebarkan gosip, mengatakan kebohongan yang jahat tentang pasangannya kepada kelompok.
g. Pemaksaan seksual: melakukan manipulasi atau ancaman untuk mendapatkan seks.
h. Isolasi pengucilan: mengontrol apa yang dilakukan, siapa yang ditemui dan diajak bicara, apa yang dibaca dan kemana pasangan pergi, membatasi keterlibatan pihak luar, menggunakan rasa cemburu untuk membenarkan tindakan.
Menurut Ali dan Toner (dalam Worell, 2001, h. 381-383) unsur-unsur dalam emotional abuse adalah
a. Membatasi kebebasan Emotional abuse dalam hubungan berpacaran, pelaku menggunakan kekuasaannya untuk membatasi kebebasan pasangannya. bentuk batasannya seperti membatasi waktu di luar rumah dan membuat pasangan sulit bersosialisasi atau bekerja. bentuk batasan yang lebih halus ditunjukkan untuk membuat pasangannya harus ada dimana saja si pelaku berada. misalnya ia mungkin menunjukkan bahwa ia merasa kesepian ketika pasangannya tidak ada atau bahwa ia tidak dapat melakukan apa-apa tanpa pasangannya.
b. Ancaman fisik yang membahayakan
Emotional abuse walaupun tidak disertai dengan kekerasan fisik, tetapi akan ada bahaya ancaman fisik. misalnya, korban melaporkan bahwa pasangannya telah meneror dengan ancaman-ancaman fisik.
c. Ancaman yang melibatkan anak-anak Ancaman fisik tidak hanya melibatkan wanita itu sendiri. ketika korban sudah memliki anak, ancaman juga dapat melibatkan anak- anak. pelaku dapat mengancam akan menyiksa dan mengambil anaknya.
d. Membuat korban ketergantungan Pelaku membuat pasangannya tidak percaya kepada siapa pun dan tidak dapat hidup tanpa dirinya. Hal ini dapat terjadi dengan mengisolasi korban dari keluarga dan teman-temannya.
e. Manipulasi psikologis Tujuannya untuk memaksa korban menghakimi dirinya sendiri dan membuat korban merasa memiliki kelemahan sehingga berpikiran tidak sehat. hal ini menyebabkan korban menjadi lebih tergantung pada pelaku dalam mengambil keputusan dan mendefinisikan kenyataan.
f. Kekerasan keuangan Dalam hal ini, pelaku mencoba mengontrol secara finansial agar tergantung pada dirinya. pelaku meyakinkan korban agar korban memberikan wewenang yang besar untuk mengatur keuangan korban
Secara umum bentuk-bentuk emotional abuse dalam hubungan berpacaran adalah sebagai berikut:
a. Dominasi : pelaku menggunakan kekuasaannya untuk mengontrol dan mengawasi pasangan seperti mengatur tingkah laku, menjadi orang yang menentukan peran pria dan wanita, membuat semua keputusan, mengontrol keuangan yang tujuannya membuat korban kepercayaan kepada pelaku.
b. Agresivitas verbal : mencela, menyumpahi, mengejek-jelekan, merendahkan dengan kata-kata yang buruk, mencaci-maki, mengancam kehidupan pasangan seperti akan melukai orang-orang terdekat, hewan kesayangan atau anak untuk korban yang sudah memiliki anak, mengancam akan meninggalkan korban atau mengancam bunuh diri.
c. Mengkritik dan menyalahkan : tidak pernah menghargai apa yang dilakukan pasangan, tidak mau disalahkan jika terjadi suatu masalah, menyangkal tidak ada kekerasan dan tidak memperdulikan secara serius.
d. Pengharapan yang salah (abusive expectation) : mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi oleh pasangan, karena pelaku tidak pernah puas dengan apapun yang dilakukan pasangan. Contohnya pelaku terbiasa minta uang kepada korban dan saat korban tidak memiliki uang, pelaku akan marah.
e. Pemerasan emosional (emotional blackmail) : pelaku melakukan
mengikuti kehendak pelaku. Tujuannya membuat korban lebih tergantung dengan pelaku dalam mengambil keputusan dan mendefinisikan kenyataan.
f. Respon tidak terduga : perubahan mood atau suasana hati yang cepat dan drastis, ledakan emosi secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas, dan merespon yang berbeda dengan stimulus yang sama.
g. Selalu ingin menciptakan konflik atau krisis : pelaku selalu sengaja memulai pertengkaran atau konflik dengan korban atau dengan orang lain dan senang bila dalam kondisi pertikaian.
h. Pembunuhan karakter (character assassination) : mempermalukan korban didepan umum, membuat korban seperti pelayan, menyebarkan kebohongan kepada teman korban, membesar-besarkan masalah, mengecilkan prestasi korban.
i. Gaslighting : memanipulasi pasangan agar meragukan persepsi, ingatan dan kewarasan korban. j. Pelecehan seksual (sexual harassment) : melakukan manipulasi dan ancaman untuk mendapatkan sex, menyentuh bagian-bagian tubuh tertentu dengan cara yang kasar atau tidak sopan.
k. Intimidasi : membuat korban takut dengan tatapan dan gerak tubuh,
merusak barang-barang kesayangan, memamerkan senjata tajam. l. Mengisolasi : membatasi ruang lingkup korban, mengawasi apa yang dilakukan korban, siapa saja yang ditemui dan diajak bicara, membatasi
keluarga dan sahabat, mengunakan alasan cemburu untuk membenarkan tindakannya.
B. Pola Asuh Otoriter
1. Pengertian Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter menurut David (dalam Shochib, 1997, h. 19) adalah orang tua yang lebih menekankan kekuasaan dibanding relasi. Anak merasa seakan-anak orang tua mempunyai buku peraturan, ketetapan, ditambah daftar pekerjaan yang tidak pernah habis. Orang tua bertindak sebagai bos dan pengawas tinggi dan anak-anak tidak memiliki kesempatan atau peluang agar dirinya “didengarkan”.
Menurut Baumrind (dalam Santrock, 2003, h. 185) pola asuh otoriter adalah gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak individu untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Lebih lanjut Baumrind menjelaskan (dalam Clarke-Stewart dan Friedman, 1987, h. 361) pola asuh otoriter yang menetapkan standar mutlak yang harus dituruti. Kadangkala disertai dengan ancaman, misalnya kalau tidak mau makan, tidak akan diajak bicara atau bahkan dicubit. Orang tua seperti itu akan membuat anak tidak percaya diri, penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, kepribadian lemah dan seringkali menarik diri dari lingkungan sosialnya.
Menurut Berkowitz (1995, h. 233) orang tua otoriter cenderung memaksa anaknya mengikuti aturan mereka secara kaku, tetapi mereka tidak menjelaskan aturan itu secara jelas. Mereka keras dan suka menghukum dalam menerapkan disiplin, dan mereka mudah marah jika anak-anak menentangnya.
Menurut Nilam (2009, h. 11) orangtua yang memiliki pola asuh otoriter ini berusaha membentuk, mengendalikan, dan mengevaluasi perilaku serta sikap anak berdasarkan serangkaian standar mutlak, nilai-nilai kepatuhan, menghormati otoritas, kerja, tradisi, tidak saling memberi dan menerima dalam komunikasi verbal. Orang tua kadang-kadang menolak anak dan sering menerapkan hukuman.
Gaya pengasuhan ini menempatkan orang tua sebagai pusat dan pemegang kendali (Sunarti, 2004, h.118). Menurut Surbakti (2009, h. 43) pola asuh otoritarian sangat menekankan pada kekuasaan tanpa kompromi sehingga menimbulkan korban sia-sia. Bagi orang tua yang menganut pola asuh otoriter segala sesuatu diterapkan berdasarkan instruksi dari atas (orang tua) ke bawah (anggota keluarga). Pola komunikasinya cenderung satu arah (monolog) karena penganut paham otoriter tidak mengenal dialog. Meskipun pola asuh otoriter ini anak-anak bahkan seisi rumah tertekan, namun dalam kenyataan sehari-hari masih terlalu banyak kepala keluarga yang mengendalikan rumah tangganya dengan kekerasan dan kekejaman sehingga anggota keluarga mereka terluka baik fisik maupun psikis.
Menurut Solihin (2004, h. 134) sikap otoriter sering dipertahankan oleh orang tua dengan dalih untuk menanamkan disiplin pada anak. Sebagai akibat dari sikap otoriter ini, anak menunjukkan sikap pasif (hanya menunggu saja), dan menyerahkan segalanya kepada orang tua.
Di samping itu, menurut Watson (dalam Solihin, 2004, h. 134) Tingkah laku yang tidak dikehendaki pada diri anak dapat merupakan gambaran dari keadaan di dalam keluarga. Hal yang paling penting adalah bahwa kehidupan seorang anak hendaknya tidak diatur oleh kebutuhan orang tua dan menjadikan anak sebagai obyek untuk kepentingan orang tua. Efisiensi menurut konsep orang tua ini akan mengeringkan potensi anak, menghambat perkembangan emosional anak, serta menelantarkan minat anak.
Tempramen orang tua, terutama dari ayah, yang sifatnya meledak- ledak, disertai tindakan sewenang-wenang dan kriminil itu tidak hanya memberikan sifat tempramentnya tetapi juga menimbulkan iklim demoralisasi psikis pada lingkungannya. Selain itu juga merangsang reaksi- reaksi emosional yang sangat impulsif pada anak. Pengaruh ini makin memperburuk jiwa anak sehingga berakibat mudah membangkitkan pola kriminil pada anak (dalam Kartono, 1986, h. 225).
Dinamika psikologis orang tua yang otoriter kemungkinan disebabkan karakteristiknya yang dominan atau karena berpegang pada tradisi lama (bahwa orangtua berkuasa penuh atas anak). Mungkin juga
karena memiliki harapan tertentu kepada anak dan mengalami ketegangan tersendiri karena harapan yang terlalu tinggi (Nilam, 2009, h. 12).
Dari definisi-definisi diatas dapat dirumuskan pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan, keras dan kaku di mana orang tua akan membuat berbagai aturan yang “saklek” harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak. Orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tuanya. Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh si anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orang-tua yang telah membesarkannya. Sebagai akibat dari sikap otoriter ini adalah anak menunjukkan sikap pasif dan menyerahkan segalanya kepada orang tua. Kemungkinan terburuk akibat pola asuh otoriter ini dapat membangkitkan pola kriminil pada anak.
2. Ciri-ciri Pola asuh Otoriter
Menurut Hurlock (1992, h. 126) orang tua yang mempunyai sikap otoriter pada umumnya bercirikan :
a. Orang tua menentukan apa yang perlu diperbuat oleh anak tanpa memberikan penjelasan tentang alasannya.
b. Apabila anak melanggar ketentuan yang sudah digariskan oleh orang tua, anak tidak diberikan kesempatan untuk memberikan alasan dan penjelasan sebelum hukuman diterima anak.
c. Pada umumnya hukuman berwujud hukuman fisik.
d. Orang tua jarang atau tidak pernah memberikan hadiah, baik yang berupa kata-kata maupun bentuk lain apabila anak berbuat sesuatu yang sesuai dengan harapan orang tua.
Menurut Berkowitz (1995, h. 234) gaya orang tua otoriter adalah:
a. Menetapkan aturan yang kaku
b. Tidak menerangkan aturan dengan jelas.
c. Menerapkan disiplin dengan keras, suka menghukum.
d. Kurang hangat dan dekat.
e. Bersikap marah dan tidak senang. Ciri-ciri pola asuh otoriter menurut David (Shochib, 1997, h. 20) adalah:
a. Kurang peka dalam memenuhi kebutuhan anak.
b. Adanya kesenjangan antara hubungan orang tua dan anak.
c. Hampir sepanjang waktu anak dimarahi atau ditekan.
d. Anak merasa terancam dan tidak sayang. Ciri-ciri pola asuh otoriter menurut Baumrind (dalam Santrock, 2003,
h. 185):
a. Membuat batasan
b. Lebih cenderung menggunakan hukuman/punishment agar sang anak menurut apa yang diperintahkan.
c. Adanya pemberlakuan aturan.
d. Komunikasi verbal yang sangat minim.
Secara umum ciri-ciri pola asuh otoriter ada enam yaitu orang tua cederung menetapkan aturan yang kaku dan batasan-batasan yang jelas, orang tua selalu menentukan apa yang harus dilakukan oleh anak tanpa memberikan alasan yang jelas, orang tua akan memberi hukuman fisik dan psikis bila anak melanggar sehingga anak merasa terancam, adanya kesenjangan antara orang tua dan anak akibat minimnya berkomunikasi dengan anak, orang tua kurang peka terhadap kebutuhan anak, orang tua jarang memberikan reward pada anak baik dalam bentuk kata-kata maupun benda bila anak berbuat sesuatu yang diharapkan orang tua.
C. Hubungan Antara Pola Asuh Otoriter Dengan Emotional Abuse dalam Hubungan Berpacaran
Pola asuh otoriter adalah sistem pengasuhan orang tua yang membatasi individu untuk menuruti keinginan orang tua akan memicu individu melakukan tindak kekerasan. Mengajari anak memahami dan mengkomunikasikan emosinya akan mempengaruhi banyak aspek dalam perkembangan dan keberhasilan hidupnya. Sebaliknya, gagal mengajari anak memahami dan mengkomunikasikan emosinya dapat membuat mereka rentan terhadap konflik-konflik dengan orang lain (Shapiro, 1998, h. 273).
Anak-anak yang pernah menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga dan yang mengalami tindak kekerasan cenderung menggunakan kekerasan dalam relasinya di kemudian hari (Roberts dan Gilbert, 2009, h. 371). Anak laki-laki yang menyaksikan kekerasan keluarga cenderung menganiaya pasangan
perempuan ketika ia dewasa. Straus dan Gelles (Roberts dan Gilbert, 2009, h. 371) menemukan bahwa dalam suatu perbandingan antar laki-laki pelaku kekerasan dengan kelompok kontrol yang terdiri dari laki-laki non kekerasan, anak lelaki dari orang tua yang mengalami tindak kekerasan mempunyai tingkat memukul istri 900 kali lebih banyak dari pada anak lelaki dari orang tua yang non kekerasan. Hal ini sama seperti pendapat Adinda (2008, h. xviii) bahwa sekitar 75% pelaku kekerasan mengatakan bahwa mereka menyaksikan bagaimana sang ayah telah menyiksa ibu mereka, sisanya karena faktor pencitraan laki-laki yang hebat dan wujud kontrol.
Emotional abuse dalam hubungan berpacaran adalah tingkah laku non fisik atau-pun sikap yang dilakukan untuk mengontrol, mengintimidasi, menaklukkan, merendahkan, menghukum atau mengucilkan kekasihnya (Engel dalam Dinastuti, 2008, h. 53) .
Hubungan antara pola asuh otoriter dengan emotional abuse dalam hubungan berpacaran adalah bila seseorang diasuh dengan sistem pola asuh otoriter maka orang tersebut akan melakukan emotional abuse terhadap lingkungan sosialnya termasuk dalam hubungan berpacarannya.
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian dalam tinjauan pustaka, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: terdapat hubungan yang positif antara pola asuh otoriter (X) dengan emotional abuse dalam hubungan berpacaran (Y). Karena pola asuh otoriter yang dilakukan oleh orang tua bersifat memaksa anak untuk
28
mengikuti kemauan orang tua, sehingga anak akan cenderung meniru perbuatan yang yang dilakukan orang tua. Jika pasangan tidak melakukan yang sesuai dengan yang dipelajari pelaku sejak kecil, maka perilaku semacam emotional abuse dalam hubungan pacaran ini akan muncul.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian
Identifikasi variabel penelitian perlu dilakukan untuk dapat mengenal fungsi dan peranan dari masing-masing variabel penelitian. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Variabel Tergantung : Emotional Abuse dalam Hubungan berpacaran Variabel Bebas : Pola Asuh Otoriter
B. Definisi Oprasional Variabel Penelitian
1. Emotional Abuse dalam Hubungan Berpacaran
Emotional abuse dalam hubungan berpacaran adalah segala bentuk kekerasan non fisik yang sengaja dilakukan untuk mengontrol pasangan dan jika dibiarkan akan menyebabkan trauma psikologis, namun sering kali tidak disadari karena kekerasan tersebut sebagai alasan bentuk rasa kasih sayang terhadap pasangan. Hal ini sering terjadi di dalam hubungan berpacaran tetapi jarang untuk dilakukan penelitian karena sebagian orang menganggap dalam suatu hubungan tidak pernah terjadi emotional abuse. Bentuk kekerasan seperti ini sering tidak disadari karena tidak ada bukti nyata seperti kekerasan fisik, namun jika di biarkan korban akan mengalami trauma psikologis yang mendalam.
Tinggi rendahnya emotional abuse dalam hubungan berpacaran Tinggi rendahnya emotional abuse dalam hubungan berpacaran
Semakin tinggi skor yang diperoleh maka, semakin tinggi pula emotional abuse yang dilakukan individu kepada pasangannya. Sebaliknya, jika nilai skor skala rendah, maka semakin rendah pula emotianal abuse yang dilakukan individu tersebut.
2. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan, keras dan kaku di mana orang tua akan membuat berbagai aturan yang harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak. Orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tuanya. Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh si anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orang-tua yang telah membesarkannya.
Pola asuh otoriter diukur dengan menggunakan skala yang disusun berdasarkan faktor-faktor pola asuh otoriter yaitu orang tua cederung menetapkan aturan yang kaku dan batasan-batasan yang jelas. Orang tua selalu menentukan apa yang harus dilakukan oleh anak tanpa memberikan Pola asuh otoriter diukur dengan menggunakan skala yang disusun berdasarkan faktor-faktor pola asuh otoriter yaitu orang tua cederung menetapkan aturan yang kaku dan batasan-batasan yang jelas. Orang tua selalu menentukan apa yang harus dilakukan oleh anak tanpa memberikan
Semakin tinggi skor yang diperoleh maka mengindikasikan pola asuh otoriter orang tua semakin tinggi dan sebaliknya, jika skor skala semakin rendah maka mengindikasikan pola asuh otoriter orang tua semakin rendah.
C. Subjek Penelitian
1. Populasi
Menurut Azwar (1999, h. 77) populasi adalah kelompok subyek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian. Kelompok subyek ini harus memiliki ciri-ciri atau karakteristik-karakteristik bersama yang membedakannya dari kelompok subyek yang lain.
Subjek yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah mahasiswa dan mahasiswi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, berusia 18-24 tahun, sedang memiliki pacar atau pernah berpacaran. Peneliti memakai mahasiswa dan mahasiswi Universitas Katolik Soegijapranata atas pertimbangan lokasi yang mudah dijangkau oleh peneliti. Alasan peneliti menggunakan subjek usia 18-24 tahun karena pada umumnya usia tersebut seseorang mulai membina hubungan berpacaran secara serius (Dinastuti, 2008, h. 52).
2. Teknik Sampling
Dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan perwakilan populasi (sampel). Menurut Hadi (2000, h. 21) sampel merupakan sebagian dari populasi. Jumlah sampel penelitian sangat tergantung dari besaran tingkat ketelitian atau kesalahan yang diinginkan peneliti. Makin besar jumlah sample mendekati jumlah populasi maka peluang kesalahan dalam melakukan generalisasi akan semakin kecil, dan sebaliknya semakin kecil jumlah sampel penelitian maka diduga akan semakin besar kemungkinan kesalahan dalam melakukan generalisasi.
Sampel yang digunakan dalam penelitian berjumlah 100 orang yang memenuhi karakteristik populasi. Menurut Abrami dkk (dalam Indria dan Nindyati, 2007, h. 95), sampel penelitian sebesar 30 responden dianggap mendekati distribusi normal. Hal ini berarti, semakin besar jumlah sampel, distribusi sampel akan semakin menyerupai distribusi normal. Hal tersebut sangat bermanfaat untuk pengujian hipotesis penelitian agar peluang kesalahan generalisasi semakin kecil.
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan quota sampling. Pada quota sampling peneliti berusaha untuk memasukan ciri-ciri tertentu mengenai respondennya menurut yang dikehendakinya (Adi, 2004,
h. 11).
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode skala sikap. Skala sikap yaitu suatu pernyataan mengenai suatu objek Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode skala sikap. Skala sikap yaitu suatu pernyataan mengenai suatu objek
1. Skala Emotional Abuse dalam Hubungan Berpacaran