BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1. Defenisi Budaya Organisasi - Pengaruh Budaya Organisasi dan Manajemen Konflik terhadap Kepuasan Kerja Petugas Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Budaya Organisasi

2.1.1. Defenisi Budaya Organisasi

  Budaya organisasi dapat difenisikan sebagai perangkat sistem nilai-nilai (values), keyakinan-keyakinan (beliefs), asumsi-asumsi (assumptions), atau norma- norma yang telah lama berlaku atau disepakati dan diikuti oleh para anggota suatu organisasi sebagai pedoman perilaku pemecahan masalah-masalah organisasinya (Sutrisno, 2011). Robbin dalam Sofiah, 2008 mendefenisikan budaya organisasi sebagai sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota organisasi yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang lain. Budaya organisasi adalah seperangkat nilai-nilai, keyakinan, dan sikap utama yang diberlakukan di antara anggota organisasi (Darmawan, 2013). Budaya organisasi merupakan nilai- nilai dan kebiasaan yang menjadi budaya kerja sumber daya manusia yang diterima sebagai acuan bersama yang diikuti dan dihormati dalam organisasi (Wibowo, 2008). Budaya organisasi merupakan seperangkat asumsi dasar yang diciptakan dan dianut bersama untuk mengarahkan perilaku organisasional dalam beradaptasi dengan lingkungan luar maupun integrasi internal (Poerwanto, 2008). Budaya organisasi adalah seperangkat atau asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-

  (Mangkunegara, 2005 dalam Sembiring, 2012)

2.1.2. Karakteristik Budaya Organisasi

  Inovasi dan keberanian mengambil resiko. Sejauh mana karyawan didorong agar bersikap inovatif dan berani mengambil resiko.

  b.

  Perhatian pada hal-hal rinci/detail. Sejauh mana karyawan diharapkan karyawan diharapkan menjalankan kecermatan atau precision, analisis dan perhatian pada hal-hal detail.

  c.

  Orientasi hasil. Sejauh mana pihak manajemen lebih fokus pada hasil daripada fokus teknik atau proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.

  d.

  Karakteristik budaya organisasi berdasarkan defenisi budaya Robbins dan Judge (2007) dalam Sunyoto (2013) terdiri dari : a.

  e.

  Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja di organisasi pada tim daripada individu-individu.

  f.

  Keagresifan atau aggressiveness. Sejauh mana orang bersikap agresif dan komprehensif daripada santai.

  g.

  Stabilitas.

  Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo sebagai lawan dari pertumbuhan.

  Orientasi orang. Sejauh mana keputusan-keputusan manajemen mempertimbangkan efek dari hasil tersebut terhadap orang-orang yang ada di dalam organisasi. dimensi budaya organisasi sebagai berikut : 1.

  Assumptions about external adaption, meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan adaptasi lingkungan luar organisasi.

  2. Assumptions about internal integration adalah semua fakta yang berkaitan dengan integrasi ke dalam organisasi.

  3. Assumptions about reality and truth, meliputi segala sesuatu asumsi dasar tentang realitas dan kebenaran.

  4. Assumptions about the nature of time and space, meliputi segala sesuatu mengenai sifat waktu dan sifat ruang yang dapat didayagunakan untuk mencapai kinerja anggota dan kinerja organisasi secara keseluruhan.

  5. Assumptions about human nature, activity and relationship adalah faktor-faktor budaya yang berhubungan dengan hakikat sifat manusia, sifat aktivitas manusia dan sifat hubungan antar manusia.

  Pendapat Sembiring (2012) tentang dimensi atau karakteristik budaya organisasi khususnya pada sektor publik atau birokrasi pemerintah adalah

  1. Iman dan taqwa Terdiri atas : hormat kepada Tuhan Yang Maha Esa Pencipta Alam Semesta, menjalankan ibadah secara teratur, kesetiaan, saling menghormati, saling menolong, kejujuran, keadilan, netralitas, dan keteladanan yang baik di dalam dan di luar organisasi. Menurut Wahab (2011), organisasi agama dan kebatinan, merupakan contoh organisasi yang mempunyai budaya yang kuat dan selalu ada tingkat perasaan resiko.

  2. Profesionalisme Terdiri atas : akuntabel, tranparansi, kedisiplinan, kemauan dan kemampuan integrasi internal dan adaptasi eksternal, efektif dan efisien, peningkatan kualitas terus menerus, dinamika, penegakan hukum dan visioner.

  3. Orientasi masyarakat Terdiri atas : pelayanan, pengaturan, pemberdayaan, ketanggapan keluhan, kesejahteraan, aspirasi, partisipasi, penghargaan, pengawasan, dan sanksi hukuman.

  4. Orientasi kinerja Terdiri atas : kerja keras, SOP, kuantitas, kualitas, sumber daya, tim kerja, kinerja tim, evaluasi dan pelaporan kinerja organisasi sektor publik.

  5. Orientasi kesejahteraan pegawai Terdiri atas : jaminan atas resiko pekerjaan, kompensasi, keseimbangan, pengembangan, dan jaminan pensiun.

2.1.3. Fungsi Budaya Organisasi

  Menurut Robbins (2006) dalam Sembiring (2012) yaitu menetapkan tapal batas artinya budaya organisasi menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi lain, budaya memberikan rasa identitas organisasi ke anggota-anggota organisasi, budaya mempermudah timbulnya komitmen pada meningkatkan kemantapan sistem sosial atau mempersatukan anggota organisasi.

  Schein mengemukakan fungsi budaya organisasi dalam tiga fase yaitu fase awal merupakan tahap pertumbuhan suatu organisasi, fase pertengahan hidup organisasi sebagai penyelamat krisis identitas dan membuka kesempatan untuk mengarahkan perubahan budaya organisasi, fase dewasa sebagai penghambat dalam berinovasi karena berorientasi pada kebesaran dan kemapanan masa lalu dan menjadi sumber nilai untuk berpuas diri.

2.2. Manajemen Konflik

2.2.1. Defenisi Konflik

  Thomas (1992 dalam Robbins, 2003) mendefenisikan konflik merupakan proses yang bermula ketika satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah memengaruhi secara negatif. Marquis dan Huston (1998 dalam Asmuji, 2012) mengatakan konflik adalah masalah internal dan eksternal yang terjadi sebagai akibat perbedaan pendapat, nilai-nilai, atau keyakinan dua orang atau lebih. Sedangkan menurut Handoko (1999 dalam Asmuji, 2012) konflik adalah segala macam interaksi pertentangan atau antogonistik antara dua pihak atau lebih.

  Menurut Ross yang dikutip Sumaryanto (2010) bahwa manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau agresif.

2.2.2. Perubahan Pandangan tentang Konflik

  Robbins dan Judge dalam Wibowo (2013) juga membedakan perkembangan pandangan tersebut dalam tiga kategori :

  1. The traditional view of conflict.

  Merupakan keyakinan bahwa semua konflik adalah menyakitkan dan harus dihindari. Konflik dipandang negatif dan didiskusikan dengan terminologi seperti kekerasan, perusakan, dan tidak rasional. Konflik bersifat disfungsional sebagai hasil dari buruknya komunikasi, kurangnya keterbukaan dan kepercayaan di antara orang, dan kegagalan manajer merespon pada kebutuhan dan aspirasi pekerja.

  2. The interaction view of conflict.

  Merupakan keyakinan bahwa konflik tidak hanya merupakan kekuatan positif dalam kelompok, tetapi juga kebutuhan mutlak bagi kelompok untuk berkinerja secara efektif. Menurut pandangan ini tingkat konflik minimal dapat membantu kelompok bergairah, melakukan kritik diri, dan kreatif. Menurut pandangan

  

interactionist tidak semua konflik baik. Functional conflict yang mendukung

  tujuan kelompok dan memperbaiki kinerja merupakan bentuk konflik yang konstruktif. Sedang konflik yang mengganggu kinerja kelompok bersifat destruktif dan dinamakan dysfunctional conflict.

  Resolution focused view of conflict.

  Merupakan pandangan bahwa konflik mungkin tidak dapat dihindarkan dikebanyakan organisasi dan lebih memfokus pada penyelesaian konflik produktif.

  Pandangan ini menemukan metode konstruktif untuk menyelesaikan konflik secara produktif sehingga pengaruh yang mengganggu dapat diminimalkan.

2.2.3. Sumber Konflik

  Munculnya konflik dalam organisasi pelayanan tidak terlepas dari penyebab atau sumber konflik. Manajer harus mampu mengenali sumber konflik sehingga pemecahan masalah dapat dilakukan secara efektif. Sumber konflik dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu :

  1. Variabel komunikasi Penyampaian informasi yang tidak jelas akibat kesalahan semantik, saluran informasi yang terganggu, dan kemampuan komunikasi menerima pesan dapat menyebabkan kesalahpahaman yang menjadi potensi konflik.

  2. Variabel struktur Konflik yang didasarkan atas variabel struktur adalah konflik yang terjadi antara bagian satu dan bagian yang lain, bukan didasarkan atas konflik pribadi. Menurut Robbins (2003 dalam Asmuji, 2012) struktur yang digunakan dalam konteks ini mencakup variabel ukuran kelompok, derajat spesialisasi dalam tugas yang diberikan ke anggota kelompok, kecocokan anggota, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antar-kelompok. tersebut disebabkan semakin besar kelompok, semakin banyak ide dan kemauan sehingga semakin sulit untuk disatukan. Kelompok muda mempunyai potensi konflik lebih besar dibandingkan kelompok tua karena kelompok muda lebih idealis dan lebih menyukai tantangan. Ketidakjelasan peran dan tanggung jawab juga meningkatkan konflik dalam organisasi.

  Gaya kepemimpinan menentukan pula timbulnya konflik. Gaya kepemimpinan tertutup dan pengamatan ketat secara terus-menerus dapat meningkatkan potensi konflik. Akan tetapi, gaya kepemimpinan yang terlalu mengandalkan partisipasi juga dapat merangsang konflik.

  Ketidakadilan dalam sistem imbalan meningkatkan potensi konflik. Kelompok yang sangat tergantung dengan kelompok lain (tidak saling tergantung) merangsang timbulnya konflik.

3. Variabel pribadi

  Sistem nilai dan karakteristik yang dimiliki setiap individu dapat menyebabkan timbulnya perbedaan antar-individu yang secara nyata dapat menyebabkan timbulnya konflik.

  Menurut Asmuji (2012) konflik dalam kehidupan berorganisasi dibagi menjadi lima jenis sebagai berikut.

  1. Dalam diri individu (intrapersonal) Konflik yang terjadi dalam diri individu dapat terjadi karena adanya ketidakcocokan antara keinginan dan kenyataan, status pekerjaan yang tidak pasti, ketidakmampuan individu untuk berbuat sesuai tanggung jawabnya, dan lain-lain.

  2. Antara individu dan individu (interpersonal) Kesalahpahaman, pertentangan dan perbedaan pendapat antar-individu dapat menyebabkan konflik.

  3. Antara individu dan kelompok Konflik ini dapat terjadi jika ketidakcocokan atau pertentangan antara keinginan individu dan kelompok. Individu melanggar kesepakatan kelompok juga dapat menyebabkan konflik.

  4. Antara kelompok dan kelompok Konflik ini dapat terjadi karena kesalahpahaman, pertentangan dan juga perbedaan pendapat antar-kelompok.

  5. Antara organisasi dan organisasi Konflik ini dapat ditimbulkan karena adanya persaingan terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh organisasi. Dengan adanya konflik ini, akan berdampak ke arah pengembangan produk yang dihasilkan. Organisasi akan bersaing untuk menghasilkan produk yang berkualitas, efisien dan terjangkau.

  Proses konflik dalam Asmuji (2012) terdiri dari lima tahap berikut.

  1. Tahap I : Potensi Oposisi atau Ketidakcocokan Tahap pertama dalam proses konflik adalah adanya kondisi yang menciptakan kesempatan munculnya konflik. Pada tahap ini, kondisi yang memengaruhi timbulnya konflik adalah variabel komunikasi, struktur, dan variabel individu. Variabel-variabel tersebut mendorong terjadinya konflik.

  2. Tahap II : Kognisi dan Personalisasi Tahap kedua merupakan wujud adanya oposisi dan ketidakcocokan pada kondisi anteseden. Pada tahap ini, terdapat dua macam konflik, yaitu konflik yang dipersepsikan dan konflik yang dirasakan. Kesadaran individu diperlukan untuk dapat memersepsikan adanya konflik.

  3. Tahap III : Menentukan Maksud Maksud (keinginan, niat) merupakan keputusan untuk bertindak dalam cara tertentu guna menangani konflik yang dirasakan. Penanganan konflik yang dirasakan dan sengaja dimunculkan untuk dicari solusinya dapat dilakukan dengan cara bersaing, kerja sama, berkompromi, menghindar, atau mengakomodasi.

  4. Tahap IV : Perilaku Tahap ini merupakan upaya-upaya nyata dari individu-individu yang mengalami konflik. Upaya ini dapat berupa pernyataan, tindakan, atau juga reaksi terhadap terjadinya konflik.

  Tahap V : Hasil Tahap ini menghasilkan konsekuensi yang telah dibuat oleh pihak yang terlibat konflik. Hasil yang diperoleh dapat bersifat fungsional (meningkatkan kinerja) atau disfungsional (merintangi kinerja kelompok).

2.2.6. Gaya Manajemen Konflik

  Menurut Hendricks (2008) bahwa ada 5 (lima) gaya manajemen konflik yang dapat dilakukan untuk menangani konflik yaitu

1. Gaya penyelesaian konflik dengan mempersatukan (integrating)

  Individu yang memilih gaya ini tukar menukar informasi. Di sini ada keinginan untuk mengamati perbedaan dan mencari solusi yang dapat diterima semua kelompok. Penyelesaian konflik dengan cara mempersatukan (integrating) mendorong tumbuhnya creative thingking (berpikir kreatif). Mengembangkan alternatif adalah salah satu kekuatan gaya integrating. Penyelesaian konflik dengan model mempersatukan menekankan diri sendiri dan orang lain dalam mensintesiskan informasi dari perspektif yang divergen (berbeda). Namun demikian, penyelesaian konflik gaya ini menjadi tidak efektif bila kelompok yang yang berselisih kurang memiliki komitmen atau bila waktu menjadi sesuatu yang sangat penting, karena penyelesaian konflik dengan cara mempersatukan itu membutuhkan waktu yang panjang. Penyelesaian cara ini juga dapat menjadi penyelesaian yang menimbulkan frustasi terutama dalam konflik tingkat tinggi karena penalaran dan pertimbangan rasional seringkali dikalahkan oleh komitmen emosional untuk suatu posisi. Gaya penyelesaian konflik dengan kerelaan untuk membantu (obliging) Kerelaan membantu menempatkan nilai yang tinggi untuk orang lain sementara dirinya sendiri dinilai rendah. Gaya ini mungkin mencerminkan rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Gaya ini dapat juga dipakai sebagai strategi yang sengaja digunakan untuk mengangkat atau menghargai orang lain, membuat mereka merasa lebih baik dan senang terhadap suatu isu. Penggunaan gaya penyelesaian konflik “rela membantu orang lain” (obliging) dengan menaikkan status pihak lain adalah bermanfaat, terutama jika peran individu dalam organisasi secara politis tidak berada dalam posisi yang membahayakan.

  Strategi rela membantu berperan dalam menyempitkan perbedaan antar kelompok dan mendorong mereka untuk mencari kesamaan dasar. Perhatian tinggi kepada orang lain menyebabkan seorang individu merasa puas dan merasa keinginannya terpenuhi oleh pihak lain, kadang-kadang mengorbakan sesuatu yang penting untuk dirinya sendiri. Gaya penyelesaian konflik “rela membantu orang lain”, bila digunakan secara efektif, dapat mengawetkan dan melanggengkan hubungan. Gaya ini dengan tidak disadari, dapat dengan cepat membuat orang untuk rela mengalah misalnya ungkapan yang bernada mengalah “tidak usah menunggu saya”. Dengan menggunakan gaya rela membantu, individu dapat menerima kekuasaan orang lain, luangkan waktu untuk memperkirakan situasi dan menyurvei kemungkinan-kemungkinan. Gaya penyelesaian konflik dengan mendominasi (dominating) Gaya ini tekanannya pada diri sendiri. Dimana kewajiban bisa diabaikan oleh keinginan pribadi, gaya mendominasi ini meremehkan kepentingan orang lain.

  Gaya ini adalah strategi yang efektif bila suatu keputusan yang cepat dibutuhkan atau jika persoalan tersebut kurang penting.

  Strategi ini dapat menjadi reaksioner, yang digerakkan oleh mekanisme mempertahankan diri. Gaya ini tercermin dalam sebuah penyerangan untuk menang yang diekspresikan melalui falsafah “lebih baik menembak daripada ditembak”. Bila isu itu penting, gaya individu mendominasi akan memaksa orang lain untuk menaruh perhatian pada seperangkat kebutuhan spesifik.

  Gaya mendominasi sangat membantu jika individu kurang pengetahuan atau keahlian tentang isu yang menjadi konflik. Ketidakmampuan untuk menyediakan tenaga ahli yang memberikan nasihat atau yang dengan tegas menyampaikan isu inilah pangkal gaya mendominasi. Gaya mendominasi juga paling banyak diasosiasikan dengan gertakan dan “hardball tactic” dari pialang kekuasaan. Strategi penyelesaian konflik dengan gaya mendominasi paling baik dipakai bila dalam keadaan terpaksa. Dipergunakan sepanjang individu merasa memiliki hak dan sesuai dengan pertimbangan hati nurani individu.

4. Gaya penyelesaian konflik dengan menghindar (avoiding) Para penghindar tidak menempatkan suatu nilai pada diri sendiri atau orang lain.

  Gaya ini adalah gaya menghindar dari persoalan. Aspek negatif gaya menghindar termasuk diantaranya menghindar dari tanggungjawab atau mengelak dari suatu mendinginkan konflik – inilah penggunaan gaya penyelesaian konflik menghindar yang paling efektif. Gaya ini juga efektif bila waktu memang dibutuhkan. Di lain pihak, gaya ini dapat membuat frustasi orang lain karena penyelesaian konflik demikian lambat. Rasa kecemasan biasanya berpangkal dari gaya penyelesaian konflik dengan menghindar, dan konflik cenderung meledak bila gaya ini dipakai.

5. Gaya penyelesaian konflik dengan kompromis (compromising)

  Dalam gaya ini perhatian pada diri sendiri maupun pada orang lain berada dalam tingkat sedang. Ini adalah orientasi jalan tengah. Dalam kompromi, setiap orang memiliki sesuatu untuk diberikan dan menerima sesuatu. Kompromi akan menjadi salah bila salah satu sisi itu salah. Tapi kompromi akan menjadi kuat bila kedua sisi adalah benar.

  Kompromi adalah paling efektif sebagai alat bila isu kompleks atau bila ada keseimbangan kekuatan. Kompromi dapat menjadi pilihan bila metode lain gagal dan dua kelompok mencari penyelesaian jalan tengah. Kompromi bisa menjadi pemecah perbedaan atau pertukaran konsesi. Kompromi hampir selalu diarahkan oleh semua kelompok yang berselisih untuk memberikan sesuatu untuk mendapatkan jalan keluar atau pemecahan.

  2.3.1. Defenisi Kepuasan Kerja

  Menurut Handoko dalam Darmawan (2013), kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan ketika karyawan memandang pekerjaan mereka. Sedangkan menurut Darmawan, kepuasan kerja adalah suatu tanggapan secara kognisi dan afeksi dari seorang karyawan terhadap hasil pekerjaan atau kondisi-kondisi lain yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti gaji, lingkungan kerja, rekan kerja, dan atasan.

  2.3.2. Faktor-faktor Kepuasan Kerja

  Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja menurut Burt yang dikutip Sunyoto (2013) yakni 1) faktor hubungan antar karyawan (hubungan antara manajer dengan karyawan, faktor fisik dan lingkungan kerja, sugesti dari teman sekerja); 2) faktor individual, hubungan dengan sikap orang terhadap pekerjaan, usia dan jenis kelamin; 3) faktor keadaan keluarga karyawan; 4) rekreasi, meliputi pendidikan.

  Menurut Ghiselli dan Brown yang dikutip Sunyoto (2013), faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja, yakni : 1) kedudukan, orang beranggapan bahwa seseorang yang bekerja pada pekerjaan yang lebih tinggi akan merasa lebih puas daripada yang berkedudukan lebih rendah; 2) pangkat, pada pekerjaan yang mendasar pada perbedaan tersebut memberikan kedudukan tertentu pada orang yang melakukannya. Jika ada kenaikan upah, maka ada yang beranggapan sebagai kenaikan pangkat; 3) umur, dirasakan adanya hubungan antara kepuasan kerja dengan adalah umur yang biasa menimbulkan perasaan kurang puas terhadap pekerjaannya; 4) mutu pengawasan, kepuasan karyawan dapat ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan dan hubungan yang lebih baik dari pimpinan dan bawahan sehingga karyawan akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian yang terpenting dari organisasi kerja tersebut.

  Pendapat Robbins (2001) dalam Darmawan (2013), bahwa seseorang tidak hanya sekedar melakukan pekerjaan, tetapi juga berhubungan dengan setiap aspek lain seperti interaksi dengan rekan sekerja, atasan, kebijakan organisasi, dan lingkungan kerja tertentu yang memungkinkan untuk tidak sesuai atau sesuai dengan dirinya. Pendapat tersebut menunjukkan kepuasan kerja seseorang dipengaruhi banyak faktor, tidak hanya dinilai dari gaji saja, namun juga berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri serta faktor lainnya seperti hubungan dengan atasan dan rekan sekerja (manajemen konflik) dan aturan-aturan (budaya organisasi).

2.3.3. Kategori Kepuasan Kerja

  Kepuasan kerja dapat mempunyai beberapa bentuk atau kategori. Colquitt, Lepine, Wesson (2011) dalam Wibowo (2013) mengemukakan adanya beberapa kategori kepuasan kerja.

1. Pay Satisfaction

  Mencerminkan perasaan pekerja tentang bayaran mereka, termasuk apakah sebanyak yang mereka berhak mendapatkannya, diperoleh dengan aman dan kemewahan.

   Promotion Satisfaction

  Mencerminkan perasaan pekerja tentang kebijakan promosi perusahaan dan pelaksanaannya, termasuk apakah promosi sering diberikan, dilakukan dengan jujur, dan berdasar pada kemampuan.

  3. Supervision Satisfaction

  Mencerminkan perasaan pekerja tentang atasan mereka, termasuk apakah atasan mereka kompeten, sopan dan komunikator yang baik, dan bukannya bersifat malas, mengganggu, dan menjaga jarak.

  4. Coworker Satisfaction

  Mencerminkan perasaan pekerja tentang teman sekerja mereka, termasuk apakah rekan sekerja mereka cerdas, bertanggung jawab, membantu, menyenangkan, dan menarik. Pekerja mengharapkan rekan sekerjanya membantu dalam pekerjaan. Hal ini penting karena kebanyakan dalam batas tertentu mengandalkan pada rekan sekerja dalam menjalankan tugas pekerjaan.

  5. Satisfaction with the work itself

  Mencerminkan perasaan pekerja tentang tugas pekerjaan mereka sebenarnya, termasuk apabila tugasnya menantang, menarik, dihormati, dan memanfaatkan keterampilan penting daripada sifat pekerjaan yang menjemukan, berulang-ulang dan tidak nyaman.

   Altruism Altruism merupakan sifat suka membantu orang lain dan menjadi penyebab

  moral. Sifat ini antara lain ditunjukkan oleh kesediaan orang untuk membantu rekan sekerja ketika sedang menghadapi banyak tugas.

  7. Status Status menyangkut prestise, mempunyai kekuasaan atas orang lain, atau merasa memiliki popularitas.

  8. Environment Lingkungan menunjukkan perasaan nyaman dan aman. Lingkungan kerja yang baik dapat menciptakan quality of worklife di tempat pekerjaan.

2.3.4. Mengukur Kepuasan Kerja

  Komponen atau unsur yang dapat dipergunakan untuk mengukur kepuasan kerja.

  1. Pandangan Colquitt, Lepine, dan Wesson Colquitt, Lepine, dan Wesson melihat adanya dua unsur yang terkandung dalam kepuasan kerja, yaitu Value Fulfillment atau pemenuhan nilai dan Satisfaction

  with the wok itself atau kepuasan atas pekerjaan itu sendiri.

  2. Pandangan Kreitner dan Kinicki Kreitner dan Kinicki memberikan wawasan tentang cara yang dapat dipakai untuk meningkatkan kepuasan kerja pekerja, yaitu need fulfillment/pemenuhan kebutuhan, discrepancies/ketidaksesuaian, value attainment/pencapaian nilai,

equity /keadilan, dan disposiotional/komponen watak/genetic component/genetik.

  Pandangan Schermerhon, Jr., John R., James G. Hunt, Richard N. Osborn, dan Mary Uhl-Bien Schermerhon, Jr., John R., James G. Hunt, Richard N. Osborn, dan Mary Uhl- Bien (2011) dalam Wibowo (2013) mengemukakan bahwa kepuasan kerja dapat diketahui melalui observasi dan interpetasi secara berhati-hati tentang apa yang dikatakan dan dilakukan orang sambil melakukan pekerjaannya. Mereka menyebutnya kompenen kepuasan kerja. Dalam hal ini ada dua model yang disarankan dapat dipergunakan, yaitu The Minnesota Satisfaction Quesitionaire dan Job Descriptive Index.

  The Minnesota Satisfaction Quesitionaire (MSQ) mengukur kepuasan antara lain dengan (a) working condition, kondisi kerja, (b) chances for advancement, kesempatan untuk maju, (c) freedom to use one’s own judgement, kebebasan untuk mempergunakan pertimbangannya sendiri, (d) praise for doing a good job, memuji karena telah melakukan pekerjaan baik, dan (e) feelings of accomplishment , perasaan atas penyelesaian.

  Sedangkan Job Descriptive Index mengukur kepuasan dari lima segi, yaitu (a)

  

the work itself , pekerjaan itu sendiri, (b) quality of supervision, kualitas

  pengawasan, (c) relationship with co-workers, hubungan dengan rekan sekerja, (d) promotion opportunities, peluang promosi, (e) pay, bayaran.

  Dampak dari ketidakpuasan pekerja dituangkan dalam model teoritik dinamakan EVLN-Model oleh Robbins dan Judge (2011) dalam Wibowo (2013), yang terdiri dari exit, voice, loyality, dan neglect. Kerangka tanggapan pekerja terhadap ketidakpuasan kerja tersebut dibedakan dalam dua dimensi : konstruktif/distruktif dan aktif/pasif, sebagaimana digambarkan di bawah ini.

  Active Destructive Contructive

  Passive

Gambar 2.1. Respon Terhadap Ketidakpuasan Kerja 1.

  Exit. Respon exit merupakan perilaku langsung dengan meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru atau mengundurkan diri.

  2. Voice. Respon voice termasuk aktif dan konstruktif berusaha memperbaiki kondisi, termasuk menganjurkan perbaikan, mendiskusikan persoalan dengan atasan, dan melakukan beberapa bentuk aktivitas perserikatan.

  3. Loyality. Respon loyality berarti secara positif, tetapi secara optimistik menunggu kondisi membaik, termasuk berbicara untuk organisasi menghadapi kritikan eksternal dan mempercayai organisasi dan manajemennya melakukan sesuatu yang benar.

  EXIT

   VOICE NEGLECT LOYALITY

  Neglect. Respon neglect secara pasif memungkinkan kondisi memburuk dan termasuk kemangkiran secara kronis atau keterlambatan, mengurangi usaha, dan meningkatkan tingkat kesalahan.

2.3.6. Petugas Rawat Inap

  Petugas rawat inap di RSUD Kota Padangsidimpuan terdiri dari perawat dan bidan. Berdasarkan Lokakarya Nasional pada Bulan Januari 1983 di Jakarta, telah disepakati pengertian keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosial-spritual yang komprehensif, ditujukan pada individu, keluarga, dan masyarakat, baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia (Asmuji, 2012).

  Ciri dari praktek pelayanan professional secara umum adalah memiliki otonomi, bertanggung jawab dan bertanggung gugat (accountability) menggunakan metode ilmiah berdasarkan standar praktek dan kode etik profesi dan memiliki aspek legal (Depkes RI, 2004).

  Menurut Henderson dalam Nurjannah (2010), indikator kinerja perawat dapat dilihat dari pelaksanaan standar asuhan keperawatan yang merupakan pemberdayaan proses keperawatan meliputi : 1) Pengkajian perawatan : data dianamnesa, untuk menegakkan diagnosa keperawatan, 2) Diagnosa keperawatan : respon pasien yang dirumuskan berdasarkan data status kesehatan pasien, 3) Perencanaan keperawatan : disusun sebelum melaksanakan tindakan, 4) Implementasi atau pelaksanaan tindakan keperawatan : ditentukan dengan maksud agar kebutuhan pasien dipenuhi secara dan rencana tindakan yang terlaksana.

2.4. Landasan Teori

  Budaya memiliki arti penting dalam organisasi. Menurut Poerwanto (2008) budaya organisasi merupakan seperangkat asumsi dasar yang diciptakan dan dianut bersama untuk mengarahkan perilaku organisasional dalam beradaptasi dengan lingkungan luar maupun integrasi internal. Temuan Tepeci (2001) mengungkapkan bahwa budaya organisasi berpengaruh terhadap tingkat kepuasan kerja. Sehubungan dengan kajian mengenai budaya organisasi dalam penelitian ini dilakukan pada pelayanan keperawatan di rumah sakit umum milik pemerintah, maka indikator mengacu pada teori Sembiring (2012) yaitu iman dan taqwa, profesionalisme, orientasi masyarakat, orientasi kinerja, dan orientasi kesejahteraan pegawai.

  Faktor lain yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah manajemen konflik. Proposisi yang diajukan oleh Chuang, Church, dan Zikic (2004) dalam Sopiah (2008), yakni kesesuaian budaya organisasi akan dapat mengurangi terjadinya konflik, baik yang berkaitan dengan pekerjaan maupun yang berkaitan dengan hubungan antarindividu. Penelitian Raditya (2012) menemukan adanya hubungan antara gaya manajemen konflik dengan kepuasan kerja pegawai negeri sipil berupa

  

obliging dan avoiding untuk para staf fungsinal umum dan tertentu. Menurut Ross

  yang dikutip Sumaryanto (2010) bahwa manajemen konflik merupakan langkah- langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dalam penelitian ini mengacu pada toeri Hendricks (2008) bahwa gaya penyelesaian konflik ada mempersatukan (integrating), kerelaan untuk membantu (obliging), mendominasi (dominating), menghindar (avoiding), dan kompromis (compromising).

  Menurut Handoko (2001), kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan dan tidak menyenangkan ketika karyawan memandang pekerjaannya.

  Pendapat Robbins (2001), bahwa seseorang tidak hanya sekedar melakukan pekerjaan, tetapi juga berhubungan dengan setiap aspek lain seperti interaksi dengan rekan sekerja, atasan, kebijakan organisasi, dan lingkungan kerja tertentu yang memungkinkan untuk tidak sesuai atau sesuai dengan dirinya. Pendapat tersebut menunjukkan kepuasan kerja seseorang dipengaruhi banyak faktor, tidak hanya dinilai dari gaji saja, namun juga berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri serta faktor lainnya seperti hubungan dengan atasan dan rekan sekerja (manajemen konflik) dan aturan-aturan (budaya organisasi). Untuk mengukur kepuasan kerja petugas rawat inap di RSUD Kota Padangsidimpuan, penulis mengacu pada Job Descriptive Index yang dikembangkan oleh Smith, Kendall, dan Hullin pada tahun 1969 yang dikutip oleh Sopiah (2008) dan disarankan dipakai oleh Schermerhon, Jr., John R., James G. Hunt, Richard N. Osborn, dan Mary Uhl-Bien (2011) dalam Wibowo (2013).

  Variabel Bebas (X) Variabel Terikat (Y) BUDAYA ORGANISASI KEPUASAN KERJA MANAJEMEN KONFLIK

  Gambar. 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

  Kerangka konsep di atas mengacu pada pendapat Sembiring (2012) mengenai budaya organisasi pemerintah untuk variabel X yaitu iman dan taqwa, 1 profesionalisme, orientasi masyarakat, orientasi kinerja, dan orientasi kesejahteraan pegawai. Pendapat Hendricks (2008) mengenai gaya manajemen konflik untuk variabel X yaitu mempersatukan (integrating) kerelaan untuk membantu (obliging), 2 mendominasi (dominating), menghindar (avoiding), dan kompromis (compromising) serta cara pengukuran kepuasan kerja Job Descriptive Index yang dikembangkan oleh Smith, Kendall, dan Hullin pada tahun 1969 yang dikutip oleh Sopiah (2008) untuk variabel Y.

Dokumen yang terkait

Hubungan Budaya Organisasi dengan Kepuasan Kerja Perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Pirngadi Kota Medan

10 113 104

Pengaruh Budaya Organisasi dan Manajemen Konflik terhadap Kepuasan Kerja Petugas Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

7 342 157

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budaya Organisasi 2.1.1 Defenisi Organisasi - Budaya Organisasi pada BSA Owner Motorcycle’ Siantar di Kota Pematangsiantar

0 2 46

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budaya Organisasi 2.1.1. Pengertian Budaya Organisasi - Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan, Dan Motivasikinerja Terhadap Kinerja Karyawan Pada PDAM Tirtanadi Sumatera Utara

0 1 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budaya Organisasi 2.1.1 Pengertian Budaya Organisasi - Pengaruh Budaya Organisasi Dan Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Pada Cv. Grand Keude Kupie Medan

0 0 25

Hubungan Budaya Organisasi dengan Kepuasan Kerja Perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Pirngadi Kota Medan

0 0 21

Hubungan Budaya Organisasi dengan Kepuasan Kerja Perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Pirngadi Kota Medan

0 1 20

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Budaya Organisasi 1.1. Pengertian Budaya Organisasi - Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Perawat dalam Pelaksanaan Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara

0 1 19

Pengaruh Budaya Organisasi dan Manajemen Konflik terhadap Kepuasan Kerja Petugas Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

0 0 54

Pengaruh Budaya Organisasi dan Manajemen Konflik terhadap Kepuasan Kerja Petugas Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

0 0 6