Karakteristik Penderita HIV AIDS di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013 – 2014

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi HIV dan AIDS 2.1.1 Definisi HIV

HIV (Human Imunnodeficiency Virus) merupakan oportunis sistem imun yang dapat menggunakan aktivitas sistem imun untuk replikasinya. Virus ini dapat melumpuhkan sebagian besar komponen respons imun penjamu melalui mekanisme langsung maupun tidak langsung (Alam, 2012). HIV merupakan virus golongan retrovirus yang termasuk dalam famili lentivirus. Seperti retrovirus yang lain, HIV menginfeksi tubuh dengan periode inkubasi yang panjang (klinik-laten), dan utamanya menyebabkan munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4 dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam proses ini, virus tersebut menghancurkan CD4 dan limfosit (Kurniawati, 2011).

Virus ini pertama kali diisolasi pada tahun 1983 oleh ilmuwan Prancis Montagnier (Institute Pasteur, Paris). Beliau mengisolasi virus dari pasien dengan gejala limfadenopati dan menemukan virus HIV, sehingga virus ini dinamakan lymphadenopathy associated virus (LAV). Pada tahun 1984 Gallo (National Institute of Health, USA) menemukan virus human T lymphotropic (HTLV-III) yang juga menyebabkan AIDS. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan beberapa tipe HIV, yaitu HIV-1 yang sering menyerang manusia dan HIV-2 yang ditemukan di Afrika Barat. Virus HIV termasuk subfamili Lentivirine dan famili Retroviridae (Widoyono, 2008).


(2)

Virion HIV berukuran sekitar 100 nm dan mengandung dua kopi genom RNA single-stranded. Genom RNA ini dilapisi oleh protein nukleokapsid (NC) dan kompleks protein-RNA ini dilapisi oleh kapsid (CA). Sama seperti virus dengan envelope lainnya, membran virus didapatkan selama proses budding dari sel penjamu, tetapi komponen protein permukaan dan glikoprotein transmembran merupakan hasil pengkodean genom virus. Selain protein stuktural ini, virion juga mengandung tiga protein spesifik yang penting untuk proses replikasi, yaitu reverse transcriptase (RT), protase (PR), dan integrase (IN) (Alam, 2012).

2.1.2 Definisi AIDS

AIDS adalah singkatan dari Acquired Imunne Deficiency Syndrome. Acquired berarti didapat, ditularkan dari satu orang ke orang lain. Bukan penyakit bawaan. Imunne berarti kebal, sistem pertahanan/kekebalan tubuh, yang melindungi tubuh terhadap infeksi. Deficiency berarti kekurangan, menunjukkan adanya kadar atau nilai yang lebih rendah dari normal/biasanya. Dan Syndrome berarti sindrom, suatu kumpulan tanda atau gejala yang bila didapatkan secara bersamaan, menunujukkan bahwa seseorang mengidap suatu penyakit/keadaan tertentu. AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit (sindrom) spesifik yang disebabkan rusaknya sistem kekebalan tubuh maupun spektum keseluruhan masalah kesakitan yang berkaitan dengan infeksi HIV (Ditjen PP&PL RI, 1989).

Acquired Imunne Deficiency Syndrome adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut HIV. Pada umumnya AIDS disebabkan HIV-1, dan beberapa kasus seperti di Afrika tengah disebabkan HIV-2 (Baratwidjaja,K.G., 2006). Virus ini menyerang dan merusak sel-sel limfosit T CD4 sehingga kekebalan penderita rusak dan rentan terhadap berbagai infeksi. AIDS ini bukan


(3)

suatu penyakit saja, tetapi merupakan gejala-gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi berbagai jenis mikroorganisme seperti; infeksi bakteri, virus, jamur, bahkan timbulnya keganasan akibat menurunnya daya tahan tubuh penderita (Murtiastutik, 2008).

2.2 Etiologi dan Patogenesis HIV/AIDS

Retrovirus merupakan virus RNA single-stranded dengan envelope. Virus ini akan mengkode reverse transkriptase (RNA-dependent DNA polymerase) yang mengkopi genom virus menjadi DNA double strainded dan akan berintegrasi dengan genom pejamu. Retrovirus sangat sensitif terhadap faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tekanan permukaan, sehingga tidak dapat ditransmisikan melalui udara dan debu, tetapi membutuhkan kontak erat dengan sumber infeksi. Secara garis besar, retrovirus terdiri atas dua kelompok besar, yaitu oncovirus dan lentivirus. Virus HIV termasuk dalam kelompok lentivirus. Lentivirus dapat bertahan selama bertahun-tahun dalam keadaan laten tanpa menyebabkan kematian sel dan kemudian akan bersifat sitolik saat sel yang terinfeksi mendapat stimulasi tertentu (Alam, 2012).

Secara sederhana sel HIV terdiri dari:

1. Inti-RNA dan enzim transkriptase reversi (polimerase), protease, dan integrase.

2. Kapsid – antigen p24.

3. Sampul (antigen p17) dan tonjolan glikoprotein (gp120 dan gp41). HIV menempel pada limfosit sel induk melalui gp120 sehingga akan terjadi fusi membran HIV dengan sel induk. Inti HIV kemudian masuk ke dalam sitoplasma sel induk. Di dalam sel induk HIVmembentuk DNA HIV dari RNA


(4)

HIV melalui enzim polimerase. Enzim integrasi kemudian akan membantu DNA HIV untuk berintegrasi dengan DNA sel induk (Widoyono, 2008).

DNA virus yang dianggap oleh tubuh sebagai DNA sel induk, akan membentuk RNA dengan fasilitas sel induk. Sedangkan mRNA dalam sitoplasma akan diubah oleh enzim protease menjadi partikel HIV. Partikel ini selanjutnya mengambil selubung dari bahan sel induk untuk dilepaskan sebagai virus HIV lainnya. Mekanisme penekanan pada sistem imun (imunosupresi) ini akan menyebabkan pengurangan dan terganggunya jumlah dan fungsi sel limfosit T (Widoyono, 2008).

HIV menyerang CD4, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T (toxic HIV). Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebutkan sampul gp120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4 yang kemudian menghambat aktivitas sel yang mempresentasikan antigen (APC). Setelah HIV melekat melalui reseptor CD4 dan co-reseptor bagian sampul tersebut melakukan fusi dengan membran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel membran. Pada bagian ini terdapat enzim reverse transcriptase yang terdiri atas DNA polimerase dan ribonuklease. Pada inti yang mengadung RNA, enzim DNA polimerase menyusun kopi DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuklease memusnahkan RNA asli. Enzim polimerase kemudian membentuk kopi DNA kedua dari DNA pertama yang tersusun sebagai cetakan (Baratawidjaja, K.G., 2006).

Setelah terbentuk, kode genetik DNA berupa untaian rantai ganda akan masuk ke inti sel. Kemudian enzim integrase, DNA kopi dari virus disisipkan dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4 kemudian


(5)

bereplikasi menyebabkan sel limfosit CD4 mengalami sitolisis. Selain itu, virus HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien juga menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel-sel bobfour plasenta, sel-sel dedrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel pada usus, dan sel Langerhans di kulit (Kurniawati, 2011).

Patogenesis infeksi HIV merupakan proses yang kompleks dan multifaktoral yang melibatkan faktor penjamu dan virus. Tingkat replikasi virus in vivo menggambarkan keseimbangan antara faktor positif dan negatif yang mengatur ekspresi virus. Tingkat replikasi virus juga berhubungan erat dengan tingkat depresi sel limfosit CD4 dan kecepatan progresi penyakit (Alam, 2012).

Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS, sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler dan menunjukkan gambaran penyakit kronis. Penurunan imunitas biasanya diikuti adanya peningkatan risiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik serta penyakit keganasan. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang menjadi AIDS pada 3 tahun pertama, 50% menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan hampir 100% pasien HIV menunjukkan gejala AIDS setelah 13 tahun (Kurniawati, 2011).

Dalam tubuh ODHA, partikel virus akan bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga orang yang terinfeksi HIV seumur hidup akan tetap terinfeksi. Sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak khas seperti demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam diare, atau batuk pada 3-6 minggu setelah infeksi. Kondisi ini dikenal dengan infeksi primer (Kurniawati, 2011).


(6)

Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu di mana HIV pertama kali masuk ke dalam tubuh. Pada fase awal proses infeksi (imunokompeten) akan terjadi respon imun berupa peningkatan aktivitas imun, yaitu pada tingkat seluler (HLA-DR; sel T; IL-2R); serum atau humoral (beta-2 mikroglobulin, neopterin, CD8, IL-R) dan antibodi unpregulation (gp 120, anti p24; IgA). Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga T-helper tidak dapat memberikan induksi kepada sel-sel efektor sistem imun. Dengan tidak adanya T-helper, sel-sel efektor sistem imun seperti T8 sitotoksik, sel NK, monosit dan sel B tidak dapat berfungsi secara baik. Daya tahan tubuh menurun sehingga pasien jatuh ke dalam stadium lebih lanjut (Kurniawati, 2011).

Pada fase infeksi primer ini, darah pasien menunjukkan jumlah virus yang sangat tinggi, yang berarti banyak virus lain di dalam darah. Sejumlah virus dalam darah atau plasma per milimeter mencapai 1 juta. Orang dewasa yang baru terinfeksi sering menunjukkan sindrom retroviral akut. Tanda dan gejala dari sindrom retroviral akut ini meliputi: panas, nyeri otot, sakit kepala, mual, muntah, diare, berkeringat di malam hari, kehilangan berat badan, serta timbul ruam. Tanda dan gejala tersebut biasanya terjadi 2 – 4 minggu setelah infeksi, kemudian hilang atau menurun setelah beberapa hari dan sering salah terdeteksi sebagai influenza atau infeksi mononukleosis (Kurniawati, 2011).

Selama infeksi akut, jumlah limfosit CD4 dalam darah menurun dengan cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4 pada nodus limfa dan thymus selama waktu tersebut. Individu yang terinfeksi HIV akan mungkin terkena infeksi oportunistik dan membatasi kemampuan thymus untuk memproduksi limfosit T.


(7)

Tes antibodi HIV menggunakan enzym linked imunoabsorbent away (ELISA) yang akan menunjukkan hasil positif (Kurniawati, 2011).

Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok orang yang perjalanan penyakitnya sangat cepat, hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya sangat lambat (Kurniawati, 2011).

Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala akibat infeksi oportunistik (penurunan berat badan, demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain). Fase ini disebut dengan imunodefisiensi. Pada fase ini ditemukan adanya faktor supresif berupa antibodi terhadap proliferasi sel T di dalam serum pasien yang terinfeksi HIV. Adanya supresif pada proliferasi sel T tersebut dapat menekan sintesis dan sekresi limfokin, sehingga sel T tidak mampu memberikan respons terhadap mitogen, terjadi disfungsi imun yang ditandai dengan penurunan kadar CD4, sitokin (IFNχ; IL-2; IL-6); antibodi down regulation (gp120; anti p-24); TNF α; antinef (Kurniawati, 2011).

Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkoba. Lamanya penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi oleh kuman lain akan membuat HIV membelah lebih cepat. Selain itu dapat mengakibatkan reaktivasi virus di dalam limfosit T sehingga perjalanan penyakit bisa lebih progresif (Kurniawati, 2011).


(8)

2.3 Transmisi HIV/AIDS

Pola transmisi yang berhubungan dengan unsur tempat ke luar dan masuknya agen adalah transmisi seksual yang berhubungan dengan semen dan cairan vagina/seviks, serta transmisi non seksual yang berhubungan dengan darah. Hal ini juga terjadi pada transmisi HIV (Ditjen PP&PL, 1989). Proses penularan virus HIV melalui berbagai cara yaitu: secara horizontal melalui hubungan seksual dan melalui darah yang terinfeksi, atau secara vertikal penularan dari ibunya ke bayi yang dikandungnya (Murtiastutik, 2008).

Penularan HIV/AIDS terjadi akibat masuknya cairan tubuh yang mengandung virus HIV melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada penggunaan narkoba, transfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS adalah pengguna narkotika, pekerja seks komersial dan pelanggannya, serta narapidana (Djoerban, 2010).Penyebaran HIV saat ini masih terkonsentrasi pada populasi kunci dimana penularan terjadi melalui penderita yang berisiko seperti penggunaan jarum suntik yang tidak steril pada kelompok penasun dan perilaku seks yang tidak aman baik pada hubungan heteroseksual maupun homoseksual (KPA, 2009).

2.3.1 Transmisi Seksual

Penularan utama dari HIV adalah melalui hubungan seksual dengan orang terinfeksi. Virus HIV dapat memasuki tubuh melalui vagina, vulva, penis, rektum atau mulut saat melakukan hubungan seksual. Hal ini karena pada area-area tersebut, kulit sangat tipis dan dapat mudah robek sehingga menjadi pintu masuknya virus HIV (Sonenklar, 2011).


(9)

Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV tanpa alat pelindung bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur atau mulut sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah. Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual (Kurniawati, 2011).

Hubungan seksual (penetrative sexual intercourse) baik vaginal maupun oral merupakan cara transmisi yang paling sering terutama pada pasangan seksual pasif yang menerima ejakulasi semen pengidap HIV. Diperkirakan ¾ dari jumlah pengidap HIV di dunia mendapatkan infeksi dengan cara ini. HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksaul dari pria-wanita, wanita-pria, dan pria-pria (Irianto, 2014).

Pada hubungan seksual ano-genital, yang dilakukan oleh para homoseks, mukosa rektum mudah mengalami perlukaan karena lapisan mukosa tipis dan tidak diperuntukkan untuk hubungan seksual seperti halnya dinding vagina (Irianto, 2014). Cara hubungan seksual ano-genital merupakan perilaku seksual dengan risiko tertinggi, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seorang pengidap HIV, karena mukosa rektum sangat tipis dan mudah sekali mengalami perlukaan saat berhubungan seksual secara ano-genital. Risiko ini bertambah bila terjadi perlukaan dengan tangan (fisting) pada anus/rektum. Tingkat risiko kedua adalah hubungan oro-genital termasuk menelan semen dari mitra seksual pengidap HIV. Dan tingkat risiko ketiga adalah hubungan genito-genito/ heteroseksual (Ditjen PP&PL, 1989).


(10)

Transmisi HIV melalui hubungan heteroseks dapat terjadi dari pria-wanita maupun sebaliknya. Di negara-negara Afrika, kebanyakan pengidap HIV/AIDS mendapat infeksi melalui hubungan heteroseks. Data yang ada menunjukkan bahwa transmisi dari pria pengidap HIV/AIDS kepada wanita pasangannya lebih sering terjadi dibandingkan dari wanita pengidap HIV kepada pria pasangannya. Hal ini diperkuat dengan adanya penelitian yang melaporkan bahwa 10 wanita pasangan seks telah terinfeksi HIV yang berasal dari 55 pria pengidap HIV dan hanya 2 pasangan seks terinfeksi HIV dari 25 wanita pengidap HIV (Irianto, 2014).

Berbagai aktivitas seksual memberikan risiko penularan HIV yang berbeda-beda. Berdasakan urutan (gradasi) kemungkinan risiko penularan HIV dari yang paling tinggi sampai yang terendah pada berbagai aktivitas seksual adalah sebagai berikut:

1. Hubungan seksual lewat liang dubur (ano-genital). 2. Hubungan seksual lewat liang vagina (genito-gaenital). 3. Kontak dengan menggunakan mulut (oro-genital). 4. Hubungan seksual menggunakan kondom.

5. Ciuman mulut dengan mulut (Irianto, 2014).

2.3.2 Transmisi Non-seksual

Menurut Murtiastutik (2008), penularan virus HIV non seksual terjadi melalui jalur pemidahan darah atau produk darah (seperti; transfusi darah, alat suntik, alat tusuk tato, tindik, alat bedah, dan melalui luka kecil di kulit), jalur transplantasi alat tubuh, jalur transplasental yaitu penularan dari ibu hamil dengan infeksi HIV kepada janinnya (Murtiastutik, 2008).


(11)

Transmisi melalui transfusi darah/produk darah telah di deteksi di negara-negara barat sebelum tahun 1985 dan di negara-negara-negara-negara berkembang terutama Afrika yang sampai saat ini umumnya belum melakukan pemeriksaan/donor darah terhadap HIV. Penularan HIV melalui produk darah juga terjadi di negara yang mendapatkan produk darah dari negara barat, terutama pada penderita hemofilia (Irianto, 2014).

HIV bisa ditularkan melalui jarum suntik yang terkontaminasi. Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan oleh para pengguna narkoba (Injecting Drugs User-IDU) sangat berpotensi menularkan HIV. Transmisi HIV non seksual lewat jarum suntik banyak terjadi di negara barat pada kelompok penyalah guna obat bius/narkotika (Sonenklar, 2011).

Pengguna narkoba yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril dan dipakai bersama merupakan salah satu jalur penularan. Penularan dapat berlangsung akibat terjadi perpindahan sejumlah kecil darah yang tertinggi pada jarum/semprit dari satu orang ke orang lain. Irianto (2014) menyebutkan jumlah penderita AIDS di Amerika Serikat pada kelompok penyalah guna obat bius dengan suntikan menempatkan urutan kedua sesudah kelompok homo/biseksual pria. Jumlah penyalah guna obat bius dengan suntikan saja sekitar 16,7%. Bila disertai dengan ―risk behavior‖ homo/biseksual jumlahnya 7,4% (Irianto, 2014). Pengguna NAPZA suntik berkontibusi terhadap sepertiga penyebab kasus AIDS di Amerika (Sonenklar, 2011).

Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan. Prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01% sampai 0.7%. Bila ibu terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20%


(12)

sampai 35%, sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinannya mencapai 50%. Penularan juga bisa terjadi selama proses persalinan melalui transfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan. Semakin lama proses persalinan, semakin besar risiko penularan. Transmisi lain terjadi selama periode post partum melalui ASI. Risiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10% (Kurniawati, 2011).

Penularan HIV pada neonatus selama proses kelahiran terjadi melalui infeksi membran fetus dan cairan amnion dari vagina atau serviks yang berada di bawahnya melalui masuknya darah ibu penderita HIV pada bayinya saat persalinan serta melalui kontak langsung kulit dan mukosa membran bayi dengan sekresi genital dan darah ibu yang menderita HIV saat persalinan berlangsung (Murtiastutik, 2008).

2.4 Gejala Klinis HIV/AIDS

Ada dua sistem klasifikasi yang biasa digunakan untuk klasifikasi gejala infeksi HIV yaitu menurut WHO (World Health Organization) dan CDC (Centre for Diseases Control and Prevention) (Kurniawati, 2011).

Gejala dari infeksi akut HIV menyerupai mononucleosis infeksiosa, meliputi demam, ruam di kulit, pembengkakan kelenjar getah bening, rasa tidak enak badan yang berlangsung 3-14 hari. Sebagian besar gejala akan menghilang, meskipun pembengkakan kelenjar getah bening masih terjadi. Seiring dengan penurunan imunitas tubuh, penderita akan memperlihatkan gejala-gejala kronis seperti diare lebih dari satu bulan, berat badan menurun hingga 10% dalam satu bulan, demam berkepanjangan selama satu bulan, nafas pendek, serta bercak putih


(13)

pada lidah (kandidiasis oral). Ketika sistem imun sudah semakin buruk, maka muncul penyakit oportunistik berat yang sangat bervariasi atau neoplasma yang tidak umum, terutama sarkoma kaposi. Penderita pada tahap ini sudah dikategorikan ke dalam AIDS (Sonenklar, 2011).

2.4.1 Klasifikasi menurut CDC

CDC mengklasifikasikan HIV/AIDS pada remaja (>13 tahun dan dewasa) berdasarkan dua sistem, yaitu dengan melihat jumlah supresi kekebalan tubuh yang dialami pasien serta stadium klinis. Jumlah supresi kekebalan tubuh ditunjukkan oleh limfosit CD4. Sistem ini didasarkan pada tiga kisaran CD4 dan tiga kategori klinis, yaitu:

1. Klasifikasi berdasarkan tiga kisaran CD4 a. Kategori 1 : ≥ 500 sel/μl

b. Kategori 2 : 200-499 sel/μl c. Kategori 3 : ≤ 200 sel/μl

Klasifikasi tersebut didasarkan pada jumlah limfosit CD4 yang terendah dari pasien. (Kurniawati, 2011).

2. Klasifikasi Berdasarkan Kategori Klinis a. Kategori Klinik A (Klinik Laten)

Meliputi infeksi HIV tanpa gejala (asimptomatik), limfadenopati generalisata yang menetap, dan infeksi HIV akut primer dengan penyakit penyerta atau adanya riwayat infeksi HIV akut (Kurniawati, 2011).

Individu yang terinfeksi HIV tidak akan menunjukkan tanda dan gejala infeksi HIV. Pada orang dewasa yang terinfeksi HIV, fase ini


(14)

berlangsung selama 8-10 tahun. HIV-ELISA dan Western Blot atau Imunofluorescence Assay (IFA) menunjukan hasil positif dengan jumlah limfosit CD4> 500 sel/μl (Kurniawati, 2011).

b. Kategori B (Simptomatik)

Terdiri atas kondisi dengan gejala (simptomatik) pada remaja atau orang dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk dalam kategori C dan memenuhi paling sedikit satu dari kriteria berikut yaitu keadaan yang dihubungkan dengan infeksi HIV atau adanya kerusakan kekebalan dengan perantara sel (cell mediated immunity), atau kondisi yang dianggap oleh dokter telah memerlukan penanganan klinis atau membutuhkan penatalaksanaan akibat komplikasi infeksi HIV. Termasuk kedalam kategori ini yaitu Angiomatosis basilari, Kandidiasis orofaringeal, Kandidiasis vulvovaginal, Displasia leher rahim, Herpes zoster, Neuropati perifer, penyakit radang panggul, listeriosis, oral hairy leukoplakia,purpura idiopatik trombositopenik, serta demam 38,5ᵒ atau diare lebih dari satu bulan (Kurniawati, 2011).

Individu yang terinfeksi HIV dapat nampak sehat selama beberapa tahun dan tanda dan gejala minor dari infeksi HIV mulai nampak. Jumlah virus dalam darah akan menunjukkan peningkatan, sementara pada saat yang sama jumlah limfosit CD4 menurun hingga mencapai 500 sel/μl. Individu dengan kondisi kategori B, akan tetap dalam kategori B. Tapi keadaan ini bersifat tidak tetap karena dapat berkembang menjadi kategori C apabila terjadi kondisinya semakin parah, dan juga tidak dapat kembali lagi ke kategori A bila bersifat asimptomatik (Kurniawati, 2011).


(15)

c. Kategori C (AIDS)

Meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS. Pada tahap ini, individu yang terinfeksi HIV menunjukkan perkembangan infeksi dan keganasan yang mengancam kehidupan, meliputi: Kandidiasis bronki, trakea, dan paru, kandidiasis esophagus, kanker leher rahim invasif, Coccidiodomycosis menyebar atau di paru, kriptokokosis di luar paru, retinitis virus stimegalo, ensefalopati yang berhubungan dengan HIV, Herpes simpleks dan ulkus lebih dari sebulan lamanya, bronkitis, esofagitis atau pneumonia, histoplasmosis menyebar atau di luat paru, Isosporiasi intestinal kronis lebih sebulan lamanya, Sarkoma Kaposi, Limfoma Burkitt, Limfoma imunoblastik, Limfoma primer di otak, Mycobacterium avium complex atau M. kansassi tersebar atau di luar paru, Mikobakterium jenis lain atau jenis yang tidak dikenal menyebar atau di luar paru, Pneumonia Pneumocystis carinii, Pneumonia yang berulang, Leukoensefalopati multifokal progresif, Toksoplasmosis di otak, serta Septikemia Salmonella yang berulang (Kurniawati, 2011).

CDC juga membagi kategori C (AIDS) ke dalam 2 tahapan, yaitu; tahap tanda dan gejala lanjut HIV serta tahap akhir penyakit HIV. Tahap Tanda dan Gejala Lanjut HIV, individu yang terinfeksi HIV menunjukkan infeksi dan keganasan yang mengancam kehidupan. Perkembangan pneumonia (Pneumocystis carinii), toxoplasmosis, cyptosporidiosis, dan infeksi oportunistik lainnya yang biasa terjadi. Individu dapat pula mengalami kehilangan atau penurunan berat badan, jumlah virus terus meningkat, jumlah


(16)

limfosit CD4 menurun hingga <200 sel/μl. Pada keadaan ini individu akan dinyatakan sebagai penderita AIDS (Kurniawati, 2011).

Sedangkan pada tahap akhir penyakit HIV, Individu yang terinfeksi HIV menunjukkan perkembangan infeksi oportunistik baru seperti infeksi sitomegalovirus, kompleks Mycobacterium avium, Meningitis cyptococcal, Leukoencephalophaty multyfocal yang progresif, dan infeksi lain yang biasanya terjadi sekunder terhadap penurunan sistem imun. Jumlah virus sangat meningkat dan jumlah limfosit CD4 < 50 sel/μl. Kematian bisa dikatakan sudah sangat dekat. Sekali kondisi kategori C ini terjadi, maka individu akan tetap pada kategori ini walaupun ada kemungkinan kondisi ini dapat berubah (Kurniawati, 2011).

Klasifikasi CDC juga bisa digunakan untuk surveilans penyakit, penderita yang dikategorikan ke kelas A3, B3, C1-3 dikategorikan AIDS. Sekali dilakukan klasifikasi, maka pasien tidak dilakukan klasifikasi ulang, meskipun terjadi perbaikan status imunologi misalnya peningkatan nilai CD4 karena pengaruh terapi atau faktor fisik (Kurniawati, 2011).

2.4.2 Klasifikasi Menurut WHO

Pada beberapa negara, pemeriksaan limfosit CD4 tidak tersedia, dalam hal ini seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yaitu berdasarkan tanda dan gejala mayor dan minor. Dua gejala mayor ditambah dua gejala minor didefinisikan sebagai infeksi HIV simptomatik (Kurniawati, 2011).

Gejala mayor terdiri dari: penurunan berat badan >10%, demam yang panjang atau lebih dari 1 bulan, diare kronis, tuberkulosis. Gejala minor terdiri


(17)

dari: kandidiasis orofaringeal, batuk menetap lebih dari 1 bulan, kelemahan tubuh, berkeringat malam, hilang nafsu makan, infeksi kulit generalisata, limfadenopati generalisata, herpes zoster, infeksi herpes simplex kronis, pneumonia, sarkoma kaposi (Widoyono, 2008).

Klasifikasi klinis HIV pada orang dewasa menurut WHO dibagi menjadi 4 stadium klinis, yaitu :

a. Stadium I

Bersifat asimptomatik, aktivitas normal dan dijumpai adanya Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP): yakni pembesaran kelenjar getah bening di beberapa tempat yang menetap (Kurniawati, 2011).

b. Stadium II

Simptomatik, aktivitas normal, berat badan menurun <10%, terdapat kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti Dermatitis seroboik, Prorigo, Onikomikosis, Ulkus yang berulang dan Kheilitis angularis, Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir, adanya infeksi saluran nafas bagian atas seperti Sinusitis bakterialis (Kurniawati, 2011).

c. Stadium III

Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktivitas di tempat tidur <50%, berat badan menurun >10%, terjadi diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, terdapat Kandidiasis orofaringeal, Oral hairy leukoplakin, TB paru dalam 1 tahun terakhir, infeksi bakterial yang berat seperti Pneumonia dan Piomiositis (Kurniawati, 2011).


(18)

d. Stadium IV

Pada umumnya kondisi tubuh sangat lemah, aktivitas di tempat tidur >50%, terjadi HIV wasting syndrome, semakin bertambahnya infeksi oportunistik seperti Pneumonia Pneumocystis carinii, Toksoplasmosis otak, Diare Kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan, Kriptosporidiosis ekstrapulmonal, Retinitis virus sitomegalo, Herpes simpleks mukomutan >1 bulan, Leukoensefalopati multifocal progresif, Mikosis diseminata seperti histopasmosis, Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus, dan paru, Tuberkulosis di luar paru, Limfoma, Sarkoma Kaposi, serta Ensefalopati HIV (Kurniawati, 2011).

2.5 Diagnosa HIV/AIDS

HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, dan ASI. Penyebaran infeksi HIV sudah bisa terjadi sejak penderita belum menampakkan gejala klinis. Tanda dan gejala pada infeksi HIV awal bisa sangat tidak spesifik dan menyerupai infeksi virus lain yaitu: letargi, malaise, sakit tenggorokan, mialgia (nyeri otot), demam dan berkeringat. Oleh karena itu, diperlukan sistem diagnosis yang baik bagi penderita, sehingga status HIV positif bisa diketahui dan penyebaran infeksi bisa dikendalikan (Kurniawati, 2011).

Metode yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi: 1. ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay)

Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay). Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi tidak selalu spesifik, karena


(19)

penyakit lain bisa juga menunjukkan hasil positif. Beberapa penyakit yang bisa menyebabkan false positif, antara lain adalah penyakit autoimun, infeksi virus, atau keganasan hematologi. Kehamilan juga bisa menyebabkan false positif (Kurniawati, 2011). Tes ini mempunyai sensitivitas tinggi yaitu sebesar 98,1 %-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. Namun ELISA mempunyai sensitivitas rendah untuk HIV-2 (Widoyono, 2008).

2.Western Blot

Western Blot merupakan elektroforesis gel poliakrilamid yang digunakan untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika tidak ada rantai protein yang ditemukan, berarti hasil tes negatif. Sedangkan bila hampir atau semua rantai protein ditemukan, berarti hasil tes positif. Tes Western Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulang lagi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika tes Western Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka tes Western Blot harus diulang lagi setelah 6 bulan. Jika tes tetap negatif maka pasien dianggap HIV negatif (Kurniawati, 2011). Western Blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6%-100%. Pemerikasaannya cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam (Widoyono, 2008).

Tes Western Blot merupakan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HIV. Tes ini dilakukan jika pemeriksaan penyaringan menyatakan hasil yang reaktif. Dengan kata lain, tes ini merupakan tes lanjutan dari pemeriksaan ELISA (Djoerban, 2010).


(20)

Dalam proses ini, protein virus dipisahkan dengan elektoforesis dan kemudian ditransfer ke nitrocellulose paper serta diinkubasikan dengan antisera. Antibodi yang terikat antigen akan dideteksi dengan enzyme-labeled anti-human globulin sera. Serum penderita yang terinfeksi mengandung antibodi yang bereaksi dengan glikoprotein envelope atau protein inti, atau keduanya. Tes ini untuk medeteksi HIV-1 dapat mendeteksi infeksi HIV-2 dengan tingkat akurasi 60-90% (Alam, 2012).

Interpretasi hasil Western Blot; negatif bila tidak ditemukan adanya band protein, positif bila ditemukan minimal 2 band (dari 3 protein p24, gp41, atau gp120), tiga tau lebih band, dan salah satunya dari gag, pol, env, serta band p24 atau p31 dan p41 atau gp120. Interminate jika ditemukan satu dari 3 band utama. Hasil interminate harus diulang dan bila tidak berubah harus dikonfirmasi dengan tes virulogi (Alam, 2012).

3. PCR (Polymerase chain reaction)

PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas (Kurniawati, 2011). PCR digunakan untuk tes HIV pada bayi. Hal ini dikarenakan zat antimaternal masih ada pada bayi yang dapat menghambat pemeriksaan secara serologis. Seorang ibu yang menderita HIV akan membentuk zat kekebalan untuk melawan penyakit tersebut. Zat kekebalan itulah yang diturunkan pada bayi melalui plasenta yang akan membuat hasil pemeriksaaan seolah-olah sudah ada infeksi pada bayi tersebut. Selain itu, PCR juga digunakan untuk menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok berisiko tinggi, tes pada kelompok


(21)

berisiko tinggi sebelum terjadi serokonversi, dan tes konfirmasi untuk HIV-2 (Widoyono, 2008).

a. PCR HIV DNA

Jumlah sel yang terinfeksi dapat diukur dengan deteksi DNA HIV-1 menggunakan PCR. Pemerikasaan PCR DNA dari PBMC memiliki sentitifitas dan spesifitas yang sebading dengan kultur. Pemeriksaan ini bernilai progresif infeksi HIV. Peningkatan 1-2 kali lipat jumlah sel yang terinfeksi dalam darah perifer biasanya terjadi pada penderita yang progresif. Pemerikasaan ini tetap positif pada penderita yang mendapat terapi HAART, walaupun RNA plasma tidak terdeteksi. Spesifisitas pemeriksaan ini mencapai 100%. Walaupun demikian, hasil negatif palsu maungkin terjadi bila penderita terinfeksi virus dengan strain berbeda (Alam, 2012).

b. PCR HIV RNA

Pengukuran sel dengan mRNA HIV dalam darah perifer, walaupun sulit, dapat memprediksi progresi penyakit menjadi HIV, bahkan pada penderita dengan infeksi tahap awal dan jumlah sel CD4 yang relatif tinggi. Tes ini lebih tepat dipergunakan untuk pemantauan progresi penyakit. Penggunaan tes ini untuk penegakan diagnosis masih belum banyak diteliti. Metode pemeriksaan PCR HIV RNA yang ada saat ini antara lain: HIV-1 RNA reverse transcriptase-polymerase chain (RT-PCR), pengukuran kualitatif HIV RNA dengan branched DNA, pengukuran kuantitatif HIV-RNA (nucleic acid


(22)

sequence-based amplification [NASBA] HIV-1 RNA QT assay) (Alam, 2012).

WHO kini merekomendasikan pemeriksaan dengan rapid test (dipstick) sehingga hasilnya bisa segera diketahui. Menurut WHO dalam mendiagnosis AIDS, minimal dua tanda mayor yang berhubungan dengan tanda minor tanpa diketahui kasus imunosupresi lain seperti kanker dan malnutrisi berat, atau bila terdapat salah satu saja dari tanda lain (Widoyono, 2008).

Hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan tes terhadap antibodi HIV yaitu adanya masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya antibodi yang dapat di deteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi. Jadi, jika pada masa ini hasil tes HIV pada seseorang yang sebenarnya sudah terinfeksi HIV dapat memberikan hasil yang negatif. Untuk itu jika kecurigaan akan adanya risiko terinfeksi cukup tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian (Djoerban, 2010).

2.6 Epidemiologi HIV/AIDS

2.6.1 Distribusi dan Frekuensi HIV/AIDS a. Berdasarkan Orang

Distribusi penderita HIV/AIDS menurut umur di Amerika Serikat, Eropa, Afrika dan ASIA tidak berbeda jauh. Kelompok terbesar adalah golongan umur 30-39 tahun, disusul dengan golongan umur 40-49 tahun dan 20-29 tahun (Irianto, 2014).

Sedangkan distribusi penderita menurut jenis kelamin, penderita AIDS di Afrika dan Amerika Serikat/Eropa menunjukkan pebedaan yang jelas


(23)

sesuai dengan transmisi penularan yang dominan di negara-negara tersebut. Rasio antara pria dan wanita di Afrika hampir sama (1:1), sedangkan di Amerika Serikat/Eropa bervariansi antara 10 sampai 25 kali lebih banyak penderita laki-laki (Irianto, 2014).

Berdasarkan data dari UNAIDS (2008), lebih dari 7.400 orang didiagnosa terinfeksi HIV per hari pada tahun 2008, dan 97% dari mereka yang terinfeksi tinggal di negara miskin dan berkembang. Terdapat 1.200 orang penderita berusia < 15 tahun, dan juga 3.000 orang berusia 15-24 tahun. Serta 48% dari kasus baru tersebut adalah perempuan (Sonenklar, 2011).

Epidemi penyakit ini telah meningkat dengan menampakkan wajah perempuan. Perempuan yang berumur di atas 16 tahun berkontribuasi hampir 50% dalam populasi dengan infeksi HIV/ penyakit AIDS (di wilayah sub-Sahara Afrika jumlahnya mendekati 60%), juga menunjukkan kecenderungan meningkat pula. Kunci demografi yang lain mengarah pada kelompok umur 15-24 tahun, karena orang-orang dalam kelompok umur ini menyumbangkan hampir 1/3 dari jumlah seluruh penderita terinfeksi HIV (Subowo, 2010).

Menurut Kemenkes RI sampai Desember 2013, kasus AIDS tertinggi berada pada kelompok umur 20-29 tahun. Jika dilihat dari jenis kelamin, kasus pada laki-laki lebih tinggi dari perempuan yaitu sebesar 15.565 orang, dan faktor risiko penularan yang paling banyak adalah heteroseksual sebanyak 32.719 kasus, diikuti IDU (8.407 kasus), transmisi perinatal (1.438 kasus), homoseksual (1.274 kasus) dan transfusi darah (123 kasus) (Kemenkes, 2014).


(24)

Situasi masalah HIV-AIDS Januari-Maret tahun 2014 menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Balitbangkes Kemenkes RI) kasus HIV dari bulan Januari sampai dengan Maret 2014 dilaporkan sebanyak 6.626 kasus yang terinfeksi HIV. Persentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (72,3%), diikuti kelompok umur 20-24 tahun (15%), dan kelompok umur ≥ 50 tahun (5,8%). Rasio HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1. Sedangkan presentase faktor risiko tertinggi adalah hubungan seks berisiko pada heteroseksual (55,6%), LSL (lelaki seks lelaki) (14,7%), dan penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun (7%) (Balitbangkes RI, 2014).

Untuk kasus AIDS, Balitbangkes RI (2014) melaporkan bahwa persentase tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (33,4%), diikuti kelompok umur 20-29 tahun (31,2%) dan kelompok umur 40-49 tahun (21,4%). Rasio AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Dan Persentase faktor risiko AIDS tertinggi adalah hubungan seks berisiko pada heteroseksual (88%), LSL (lelaki seks lelaki) (5,5%), dan dari ibu positif HIV ke anak (2-6%) dan pengguna jarum suntik tidak steril pada penasun (1,3%) (Balitbangkes RI, 2014).

Dinkes Sumut (2012) menyatakan berdasarkan karakteristik penderita diketahui penderita terbanyak adalah pria sekitar 75% dan wanita yaitu 25%. Sumber penularan terbanyak melalui hubungan heteroseksual 65% dan pengguna jarum suntik (IDU) 26%. Presentase penularan dari ibu ke bayi (perinatal) meningkat dari 0,6% pada tahun 2007 menjadi 1,6% pada tahun


(25)

2012. Berdasarkan golongan umur yaitu 84% adalah kelompok usia 20-39 tahun, dan berdasarkan kewarganegaran diketahui 99,2% adalah Warga Negara Indonesia (Dinkes Sumut, 2012).

b. Berdasarkan Waktu

Lembaga Dunia Penganggulangan HIV-AIDS merilis bahwa selama 2008 terjadi peningkatan 19 kali lipat jumlah kasus penyakit yang disertai lenyapnya daya tahan tubuh. KPA mencatat hanya sebanyak 171.998 orang kasus HIV-AIDS di Indonesia per Maret 2008. Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan catatan UNAIDS sebanyak 270.000 kasus HIV/AIDS (Subowo, 2010).

Berdasarkan data WHO terdapat 15 juta orang meninggal karena HIV di dunia pada tahun 2013. Ada sekitar 35.000.000 orang hidup dengan HIV sampai dengan akhir tahun 2013 dan 21.000.000 orang di dunia terinfeksi HIV pada tahun 2013 (WHO, 2014).

Di Indonesia sampai 30 Juni 1991 dilaporkan sebanyak 35 orang mengidap HIV, 16 orang menderita AIDS yang pada akhir tahun 1991 orang mengidap AIDS meningkat menjadi 40 orang. Menurut Depkes RI (1993) penderita AIDS sudah mencapai 85 orang. Berdasarkan laporan triwulan Januari-Maret Depkes RI (2009), ada 114 orang terinfeksi HIV dan 854 orang menderita AIDS. Angka kumulatif dari 1 Januari 1987 sampai 30 Maret 2009 terdapat 23.632 orang dengan perincian 6.608 penyandang infeksi HIV dan 16.964 orang penderita AIDS. Setelah tiga tahun berturut-turut (2010-2012) cukup stabil, perkembangan jumlah kasus baru HIV positif di


(26)

Indonesia pada tahun 2013 kembali mengalami peningkatan secara signifikan, dengan kenaikan mencapai 35% dibanding tahun 2012 (WHO, 2014).

Menurut Ditjen PP&PL Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2014, sejak tahun 2008 – 2012 kasus AIDS di Indonesia mengalami peningkatan. Namun pada tahun 2013 terjadi penurunan kasus baru AIDS menjadi sebesar 5.608 kasus. Secara kumulatif, kasus AIDS di Indonesia sampai tahun 2013 sebesar 52.348 kasus (Kemenkes RI, 2014). Angka kematian (CFR) HIV/AIDS menurun dari 3,79% pada tahun 2012 menjadi 1,67% pada bulan Maret tahun 2014 (Balibangkes RI, 2014).

Narapidana di Indonesia yang positif HIV terus meningkat jumlahnya. Pada tahun 2000 terdapat 17,5% dari semua narapidana positif HIV dan jumlah ini meningkat menjadi 22% di tahun 2002. Studi lainnya menunjukkan 24,5% narapidana di Jakarta terinfeksi sedangkan di Bali 10,2%. Pada penjara yang sama di Bali 56% dari narapidana pengguna NAPZA suntik juga terinfeksi. Jumlah tersebut mengalami peningkatan 60% dari tahun 2002 ke tahun 2003 dan 42% di tahun 2004. Walaupun beberapa narapidana telah terinfeksi di luar penjara, terdapat kemungkinan adanya infeksi baru yang terjadi di dalam penjara yang diakibatkan oleh perilaku berisiko tinggi di kalangan narapidana sendiri (KPA, 2007).

Di Sumatera Utara pada tahun 2010 terdapat jumlah kasus baru untuk HIV yaitu 238 kasus dan AIDS sebanyak 564 kasus, dengan prevalensi HIV sebesar 6,21 dan AIDS sebesar 4,17 per 100.000 penduduk. Peningkatan kasus HIV/AIDS terjadi pada tahun 2012, dimana jumlah kasus HIV/AIDS meningkat tajam sebesar 821 kasus baru HIV dan 643 kasus baru AIDS.


(27)

Prevalensi HIV pada tahun ini sebesar 6,21 dan AIDS sebesar 4,87 (Dinkes Sumut, 2012). Hal ini berbeda dengan estimasi dari PP&PL RI (2012) yang mengatakan prevalensi HIV di Sumatera Utara pada tahun 2012 adalah sebesar 0,12 (Dirjen PP & PL, 2012).

c. Berdasarkan Tempat

AIDS merupakan penyakit yang tergolong dalam penyakit defisiensi imun sekunder, yang untuk pertama kalinya dikenal dalam tahun 1980 di Amerika Serikat. Sejak peristiwa itu jumlah penderita terus meningkat dan melanda seluruh negara. Bahkan tidak terbatas di benua Amerika saja melainkan telah meluas pula ke daratan Eropa, Inggris, Asia Selatan, Asia Tengah, Cina, Jepang, dan Hongkong (Subowo, 2010). Berdasarkan data WHO (2014), proporsi kasus HIV tertinggi berada di wilayah Sub-Sahara Afrika yaitu 70% dari seluruh kasus baru di dunia (WHO, 2014).

Walaupun jumlah penderita di Afrika paling buruk, namun jumlah orang terinfeksi oleh HIV meningkat di sebagian besar beberapa wilayah, khususnya Eropa Timur, dan Asia Tengah. Di India dan Cina terjadi peningkatan epidemik dengan prevalensi 1-2 % pada wanita hamil. Namun, walaupun demikian terdapat perbedaan jumlah penderita laki-laki dan perempuan di Amerika Serikat (Subowo, 2010).

Di Indonesia, lebih dari dua per lima provinsi (14 provinsi) di Indonesia memiliki jumlah kasus HIV>440, meliputi seluruh provinsi di Pulau Papua dan Pulau Jawa Bali serta berbagai provinsi di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Jumlah kasus HIV pada kelompok tersebut menyumbang hampir 90% dari seluruh jumlah kasus HIV di Indonesia.


(28)

Provinsi dengan jumlah HIV tertinggi adalah DKI Jakarta, Papua dan Jawa Timur (Kemenkes RI, 2014).

Sedangkan, penambahan kasus baru pada tahun 2011 menyebabkan peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS secara keseluruhan di Sumatera Utara. Pada tahun 2012, jumlah kasus HIV/AIDS meningkat tajam dari tahun sebelumnya, dengan rasio peningkatan hampir 6/5 kali lipat kasus HIV dan 7/5 kasus AIDS. Kasus baru HIV/AIDS tertinggi di 5 Kabupaten/Kota di Sumatera Utara tahun 2012 secara berturut-turut adalah kota Medan yaitu 506 kasus atau sekitar 34,56%, Kabupaten Karo 347 kasus (23,70%), Kabupaten Deli Serdang sebanyak 172 kasus (11,75%) dan Kota Pematangsiantar sebanyak 85 kasus (5,8%) dari total seluruh penderita baru (Dinkes Sumut, 2012).

2.6.2 Determinan HIV/AIDS a. Faktor Host

Kelompok masyarakat yang mempunyai perilaku risiko tinggi tertular HIV adalah kelompok masyarakat yang melakukan promiskuitas atau mereka yang sering berganti-ganti pasangan seks, yaitu pelacur dan pelanggannya, homoseksual/biseksual, waria, pengguna NAPZA suntik, wanita pekerja di panti pijat/klab malam /diskotik, penerima transfusi darah/produk darah berulang dan anak yang lahir dari ibu pengidap HIV. Distribusi penderita AIDS di negara-negara barat menunjukkan kelompok homo/biseksual merupakan penderita terbesar, diikuti oleh kelompok pengguna obat narkotika suntik. Di Afrika, AIDS banyak terjadi pada kelompok heteroseksual. Di Amerika Serikat/Eropa Barat penderita


(29)

kelompok ini cenderung meningkat sejajar dengan makin banyaknya

reservoir’ HIV di masyarakat seperti pada kelompok biseksual, IDU, dan

pelacur (Irianto, 2014).

Berdasarkan data Ditjen PP & PL Depkes RI (2004), rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 1,9:1. Proporsi penularan HIV/AIDS melalui hubungan heteroseksual sebesar 78,0%, Penasun 9,3%, homoseksual 4,3%, perinatal 2,6%, transfusi darah 0,5% dan tidak diketahui penularannya 4,0% (Depkes RI, 2004).

Di Sumatera Utara, menurut Laporaan Program P2P Dinkes Provsu tahun 2012, penderita terbanyak adalah laki-laki dibandingkan perempuan, dengan rasio kasus 3:1. Sumber penularan terbanyak melalui hubungan heteroseksual 65% dan pengguna jarum suntik 26%. Presentasi penularan dari ibu ke bayi (perinatal) meningkat dari 0,6% pada tahun 2007 menjadi 1,6% pada tahun 2012 (Dinkes Sumut, 2012).

b. Faktor Agent

Virus HIV secara langsung maupun tidak langsung akan menyerang sel CD4. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga menggangu sel-sel efektor imun yang lainnya, serta daya tahan tubuh menurun sehingga orang yang terinfeksi HIV akan jatuh kedalam stadium yang lebih lanjut.

Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4 dalam darah menurun dengan cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4 pada nodus limfa dan thymus yang membuat individu terinfeksi akan terkena infeksi opurtunistik. Jumlah virus HIV yang masuk sangat menentukan penularan, penurunan


(30)

jumlah sel limfosit T berbanding terbalik dengan jumlah virus HIV yang ada dalam tubuh.

Berdasarkan data surveilans di Amerika Serikat dan Eropa Barat, angka kematian (cummulative case fatality rate) penderita AIDS yang memenuhi kriteria CDC/WHO kira-kira 50%. Ini berarti bahwa dari semua penderita AIDS yang dilaporkan di Amerika Serikat dan Eropa Barat 50% diantaranya telah meninggal. Untuk penderita AIDS yang sudah didiagnosa 3 tahun sebelumnya menunjukkan CFR 75% dan CFR yang sudah menderita AIDS selama 5 tahun adalah 100% (Irianto, 2014).

c. Faktor Lingkungan

Lingkungan fisik, kimia, biologis berpengaruh terhadap HIV. HIV tidak tahan hidup lama di lingkungan luar seperti panas, zat kimia (desinfektan), dan sebagainya. Oleh karena itu, HIV relatif tidak mudah ditularkan dari satu orang ke orang lain jika tidak melalui cairan tubuh penderita yang masuk ke dalam tubuh orang lain (Irianto, 2014).

Faktor ekonomi, lingkungan, sosial budaya dan norma-norma dalam masyarakat (agama, kepercayaan, kebiasaan) dapat mempengaruhi perilaku kelompok individu, baik perilaku seksual maupun perilaku yang berhubungan dengan kebiasaan tertentu. Bila lingkungan memberikan peluang pada perilaku seksual yang “permisiveness” maka kelompok masyarakat yang seksual aktif akan cenderung melakukan promiskuitas, sehingga akan meningkatkan penyebaran HIV dalam masyarakat (Irianto, 2014).


(31)

2.7 Pencegahan HIV/AIDS 2.7.1 Pencegahan Primer

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya agar orang sehat tetap sehat atau mencegah orang sehat menjadi sakit (Budiarto, 2001). Pencegahan primer merupakan hal yang paling penting, terutama dalam merubah perilaku. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:

a. Pencegahan dilakukan dengan tindakan seks yang aman dengan pendekatan ―ABC‖ yaitu; Abstinence artinya absen seks ataupun tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah merupakan metode paling aman untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual. Be Faithful yang artinya tidak berganti-ganti pasangan. Penggunaan kondom secara konsisten (Use Condom). Berhenti menjadi pengguna NAPZA terutama narkotika suntikan, atau mengusahakan agar selalu menggunakan jarum suntik yang steril serta tidak menggunakannya secara bersama-sama (Kurniawati, 2011).

b. Di sarana pelayanan kesehatan harus dipahami dan diterapkan kewaspadaan universal (universal precaution) untuk mengurangi risiko penularan HIV melalui darah. Keperawatan universal meliputi cuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan, penggunaan alat pelindung yang sesuai untuk setiap tindakan, pengelolaan dan pembuangan alat tajam secara hati-hati, pengelolaan alat kesehatan bekas pakai dengan melakukan dekontaminasi, desinfeksi dan sterilisasi dengan benar (Kurniawati, 2011).


(32)

c. WHO mencanangkan empat straregi untuk mencegah penularan vertikal dari ibu kepada anak yaitu dengan cara mencegah jangan sampai wanita terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah terinfeksi HIV /AIDS mengusahakan supaya tidak terjadi kehamilan, bila sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular dari ibu kepada bayinya dan bila sudah terinfeksi diberikan dukungan serta perawatan bagi ODHA dan keluarganya. Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui penggunaan antiretroviral selama kehamilan, penggunaan antiretroviral selama persalinan dan bayi yang baru dilahirkan, penanganan obstetrik selama persalinan, dan penatalaksanaan selama menyusui. Persalinan sebaikanya dilakukan dengan metode sectio caesarea untuk mengurangi risiko penularan dari ibu ke bayi. (Kurniawati, 2011)

d. Pencegahan penyebaran melalui darah dan donor darah dilakukan dengan skrining adanya antibodi HIV, demikian pula semua organ yang akan didonorkan, serta menghindari tranfusi, suntikan, jahitan dan tindakan invasif lainnya yang kurang perlu. (Kurniawati, 2011) Penggunana jarum suntik hanya sekali saja (disposable) atau jarum suntik dan alat suntik lain harus steril (Irianto, 2014).


(33)

2.7.2 Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder ditujukan kepada penderita yang sudah terinfeksi virus HIV. Infeksi HIV/AIDS menyebabkan menurunnya sistem imun secara progresif sehingga muncul berbagai infeksi oportunistik yang akhirnya dapat berakhir pada kematian. Sementara itu, hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang efektif. Sehingga pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok sebagai berikut :

a. Terapi antiretroviral (ARV),

ARV bekerja langsung menghambat enzim reverse transcriptase atau menghambat kinerja enzim protease. Pengobatan ARV terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi oportunistik menjadi jarang dan lebih mudah diatasi sehingga menekan morbiditas dan mortalitas dini, tetapi ARV tidak dapat menyembuhkan pasien HIV/AIDS ataupun membunuh HIV. Saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV adalah sebelum munculnya infeksi oportunistik yang pertama. Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi ARV dimulai pada saat CD4 <200/mm3. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium III dan IV harus memulai terapi ARV (Murtiastutik, 2008).

Keberhasilan terapi ARV sangat ditentukan oleh kepatuhan (adherence) pasien. Kepatuhan yang dimaksud adalah ketaatan pasien terhadap instruksi atau aturan minum obat, meliputi dosis, cara, waktu minum obat, dan periode. Oleh karena itu, kepatuhan harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap kunjungan. Untuk mencapai supresi virus yang optimal


(34)

setidaknya 90-95% dari semua dosis tidak boleh terlupakan (Murtiastutik, 2008).

Sebelum memulai terapi, maka harus dimantapkan terlebih dahulu mengenai pemahaman pasien tentang terapi ARV tersebut dengan segala konsekuensinya. Rencana pengobatan harus dibuat secara rinci bersama pasien untuk meningkatkan rasa tanggung jawab pasien untuk berobat secara teratur dan terus menerus. Karena terapi ARV harus dilaksanakan seumur hidupnya (Murtiastutik, 2008).

b. Pengobatan suportif,

Yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian makanan yang mempunyai gizi yang lebih baik serta pengobatan pendukung lainnya, serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan (Djoerban, 2010).

c. Pengobatan infeksi oportunistik

Merupakan pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasma, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks (Djoerban, 2010).

Jenis-jenis mikroba yang menimbulkan infeksi sekunder adalah protozoa (Pneumocystis carinii, Toxoplasma, dan Cryptotosporidium), jamur (Kandidiasis), virus (Herpes, cytomegalovirus/CMV, Papovirus) dan bakteri (Mycobacterium TBC, Mycobacterium ovium intra cellular, Streptococcus,


(35)

dll). Penanganan terhadap infeksi oportunistik ini disesuaikan dengan jenis mikroorganisme penyebabnya dan diberikan terus-menerus (Levinson, 2006).

2.7.3 Pencegahan Tersier

Orang yang didiagnosis HIV biasanya banyak menerima diskriminasi saat membutuhkan pengobatan HIV ataupun bantuan dari fasilitas rehabilitasi obat. Selain itu juga dapat mendatangkan trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. ODHA perlu diberikan dukungan berupa dukungan psikososial agar penderita dapat melakukan aktivitas seperti semula.

2.8 Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsep pada penelitian tentang karakteristik penderita HIV/AIDS di RSUD Dr. Jasamen Saragih Pematangsiantar tahun 2013-2014 adalah sebagi berikut:

KARAKTERISTIK PENDERITA HIV/AIDS 1. Sosiodemografi:

Umur

Jenis Kelamin Tingkat Pendidikan Pekerjaan

Status Pernikahan Daerah Tempat Tinggal 2. Transmisi Penularan 3. Jumlah CD4

4. Keadaan Klinis Penderita 5. Infeksi Oportunistik

6. Tahap Terapi Antiretroviral (ART) 7. Keadaan Terakhir Penderita


(1)

jumlah sel limfosit T berbanding terbalik dengan jumlah virus HIV yang ada dalam tubuh.

Berdasarkan data surveilans di Amerika Serikat dan Eropa Barat, angka kematian (cummulative case fatality rate) penderita AIDS yang memenuhi kriteria CDC/WHO kira-kira 50%. Ini berarti bahwa dari semua penderita AIDS yang dilaporkan di Amerika Serikat dan Eropa Barat 50% diantaranya telah meninggal. Untuk penderita AIDS yang sudah didiagnosa 3 tahun sebelumnya menunjukkan CFR 75% dan CFR yang sudah menderita AIDS selama 5 tahun adalah 100% (Irianto, 2014).

c. Faktor Lingkungan

Lingkungan fisik, kimia, biologis berpengaruh terhadap HIV. HIV tidak tahan hidup lama di lingkungan luar seperti panas, zat kimia (desinfektan), dan sebagainya. Oleh karena itu, HIV relatif tidak mudah ditularkan dari satu orang ke orang lain jika tidak melalui cairan tubuh penderita yang masuk ke dalam tubuh orang lain (Irianto, 2014).

Faktor ekonomi, lingkungan, sosial budaya dan norma-norma dalam masyarakat (agama, kepercayaan, kebiasaan) dapat mempengaruhi perilaku kelompok individu, baik perilaku seksual maupun perilaku yang berhubungan dengan kebiasaan tertentu. Bila lingkungan memberikan peluang pada perilaku seksual yang “permisiveness” maka kelompok masyarakat yang seksual aktif akan cenderung melakukan promiskuitas, sehingga akan meningkatkan penyebaran HIV dalam masyarakat (Irianto, 2014).


(2)

2.7 Pencegahan HIV/AIDS 2.7.1 Pencegahan Primer

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya agar orang sehat tetap sehat atau mencegah orang sehat menjadi sakit (Budiarto, 2001). Pencegahan primer merupakan hal yang paling penting, terutama dalam merubah perilaku. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:

a. Pencegahan dilakukan dengan tindakan seks yang aman dengan pendekatan ―ABC‖ yaitu; Abstinence artinya absen seks ataupun tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah merupakan metode paling aman untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual. Be Faithful yang artinya tidak berganti-ganti pasangan. Penggunaan kondom secara konsisten (Use Condom). Berhenti menjadi pengguna NAPZA terutama narkotika suntikan, atau mengusahakan agar selalu menggunakan jarum suntik yang steril serta tidak menggunakannya secara bersama-sama (Kurniawati, 2011).

b. Di sarana pelayanan kesehatan harus dipahami dan diterapkan kewaspadaan universal (universal precaution) untuk mengurangi risiko penularan HIV melalui darah. Keperawatan universal meliputi cuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan, penggunaan alat pelindung yang sesuai untuk setiap tindakan, pengelolaan dan pembuangan alat tajam secara hati-hati, pengelolaan alat kesehatan bekas pakai dengan melakukan


(3)

c. WHO mencanangkan empat straregi untuk mencegah penularan vertikal dari ibu kepada anak yaitu dengan cara mencegah jangan sampai wanita terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah terinfeksi HIV /AIDS mengusahakan supaya tidak terjadi kehamilan, bila sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular dari ibu kepada bayinya dan bila sudah terinfeksi diberikan dukungan serta perawatan bagi ODHA dan keluarganya. Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui penggunaan antiretroviral selama kehamilan, penggunaan antiretroviral selama persalinan dan bayi yang baru dilahirkan, penanganan obstetrik selama persalinan, dan penatalaksanaan selama menyusui. Persalinan sebaikanya dilakukan dengan metode sectio caesarea untuk mengurangi risiko penularan dari ibu ke bayi. (Kurniawati, 2011)

d. Pencegahan penyebaran melalui darah dan donor darah dilakukan dengan skrining adanya antibodi HIV, demikian pula semua organ yang akan didonorkan, serta menghindari tranfusi, suntikan, jahitan dan tindakan invasif lainnya yang kurang perlu. (Kurniawati, 2011) Penggunana jarum suntik hanya sekali saja (disposable) atau jarum suntik dan alat suntik lain harus steril (Irianto, 2014).


(4)

2.7.2 Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder ditujukan kepada penderita yang sudah terinfeksi virus HIV. Infeksi HIV/AIDS menyebabkan menurunnya sistem imun secara progresif sehingga muncul berbagai infeksi oportunistik yang akhirnya dapat berakhir pada kematian. Sementara itu, hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang efektif. Sehingga pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok sebagai berikut :

a. Terapi antiretroviral (ARV),

ARV bekerja langsung menghambat enzim reverse transcriptase atau menghambat kinerja enzim protease. Pengobatan ARV terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi oportunistik menjadi jarang dan lebih mudah diatasi sehingga menekan morbiditas dan mortalitas dini, tetapi ARV tidak dapat menyembuhkan pasien HIV/AIDS ataupun membunuh HIV. Saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV adalah sebelum munculnya infeksi oportunistik yang pertama. Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi ARV dimulai pada saat CD4 <200/mm3. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium III dan IV harus memulai terapi ARV (Murtiastutik, 2008).

Keberhasilan terapi ARV sangat ditentukan oleh kepatuhan (adherence) pasien. Kepatuhan yang dimaksud adalah ketaatan pasien terhadap instruksi atau aturan minum obat, meliputi dosis, cara, waktu minum obat, dan


(5)

setidaknya 90-95% dari semua dosis tidak boleh terlupakan (Murtiastutik, 2008).

Sebelum memulai terapi, maka harus dimantapkan terlebih dahulu mengenai pemahaman pasien tentang terapi ARV tersebut dengan segala konsekuensinya. Rencana pengobatan harus dibuat secara rinci bersama pasien untuk meningkatkan rasa tanggung jawab pasien untuk berobat secara teratur dan terus menerus. Karena terapi ARV harus dilaksanakan seumur hidupnya (Murtiastutik, 2008).

b. Pengobatan suportif,

Yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian makanan yang mempunyai gizi yang lebih baik serta pengobatan pendukung lainnya, serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan (Djoerban, 2010).

c. Pengobatan infeksi oportunistik

Merupakan pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasma, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks (Djoerban, 2010).

Jenis-jenis mikroba yang menimbulkan infeksi sekunder adalah protozoa (Pneumocystis carinii, Toxoplasma, dan Cryptotosporidium), jamur (Kandidiasis), virus (Herpes, cytomegalovirus/CMV, Papovirus) dan bakteri (Mycobacterium TBC, Mycobacterium ovium intra cellular, Streptococcus,


(6)

dll). Penanganan terhadap infeksi oportunistik ini disesuaikan dengan jenis mikroorganisme penyebabnya dan diberikan terus-menerus (Levinson, 2006).

2.7.3 Pencegahan Tersier

Orang yang didiagnosis HIV biasanya banyak menerima diskriminasi saat membutuhkan pengobatan HIV ataupun bantuan dari fasilitas rehabilitasi obat. Selain itu juga dapat mendatangkan trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. ODHA perlu diberikan dukungan berupa dukungan psikososial agar penderita dapat melakukan aktivitas seperti semula.

2.8 Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsep pada penelitian tentang karakteristik penderita HIV/AIDS di RSUD Dr. Jasamen Saragih Pematangsiantar tahun 2013-2014 adalah sebagi berikut:

KARAKTERISTIK PENDERITA HIV/AIDS 1. Sosiodemografi:

Umur

Jenis Kelamin Tingkat Pendidikan Pekerjaan

Status Pernikahan Daerah Tempat Tinggal 2. Transmisi Penularan 3. Jumlah CD4

4. Keadaan Klinis Penderita 5. Infeksi Oportunistik

6. Tahap Terapi Antiretroviral (ART) 7. Keadaan Terakhir Penderita