Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan terhadap Anak

15 Mengeksploitasiekonomi dan seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain Pasal 88; 16 Menempatkan, membiarkan, melibatkan, menuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan produksi atau distribusi narkotika, psikotropika, alkhohol, danatau zat adiktif lainya napza Pasal 89. Berbagai bentuk kekerasan yang ditetapkan sebagai tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dalam UU KDRT adalah sebagai berikut: 1 melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga Pasal 44; 2 melakukan kekerasan psikis dalam rumah tangga Pasal 45; 3 melakukan kekerasan seksual Pasal 46-48; dan 4 menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangga Pasal 49. 61

B. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan terhadap Anak

Sebelum melihat faktor terjadinya tindak kekerasan terhadap anak, baiklah terlebih dahulu memahami profil atau latar belakang dari korban dan pelaku tindak kekerasan ini. Karena tidak dapat dipungkiri, latar belakang dari korban dan pelaku ini sedikit banyak mempengaruhi terjadinya tindak kekerasan ini. Secara umum, anak yang menjadi korban dari tindak kekerasan sebenarnya tidak dibatasi oleh perbedaan jenis kelamin, dalam arti, baik anak laki-laki maupun perempuan keduanya potensial dan merupakan sasaran empuk dari perlakuan semena-mena yang berkembang di masyarakat. Namun demikian, bila dibandingkan secara kuantitatif jumlah anak yang menjadi korban tindak kekerasan biasanya lebih dominan menimpa anak perempuan. Menurut Harkristuti Harkrisnowo, dibandingkan anak laku-laki secara struktural anak perempuan memang lebih vulnerable, lebih lemah, tergantung, dan mudah dikuasai, dan diancam oleh pelaku. 62 Umur anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan relatif bervariasi: bisa menimpa anak-anak remaja berusia sekitar 17 -18 Tahun, tetapi sering kali pula dialami anak-anak balita yang berusia di bawah 5 Tahun atau bahkan para jabang bayi yang masih merah: baru lahir, tetapi karena orang tuanya malu dan untuk menyembunyikan aib, maka bayi yang seharusnya diberi limpahan kasih- 61 Ibid. 62 Bagong Suyanto, op.cit, hal 49, mengutip Harkristuti Harkriswono, “Anak Kekerasan: Kasus di Indonesia”, Dibacakan pada acara Lokakarya Hak Asaso dan Perlindungan Anak. Diselenggaraan oleh Lembaga pers Dr. Soetomo dan UNICEF 6-7 Oktober 1998. Universitas Sumatera Utara sayang dan disambut gembira para orang tuanya itu kemudian dibunuh. Menurut data yang dimuat media massa selama 1994-1996, Irwanto menyimpulkan bahwa anak yang menjadi korban tindak kekerasan separuhnya berusia di bawah 13 Tahun, dan sekitar 20 berusia di bawah 10 Tahun. 63 Latar belakang ekonomi korban menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya tindakan kekerasan terhadap anak. Dari berbagai berita yang diidentifikasi LPA Jatim, memang sebagian besar tidak diketahui dengan pasti bagaimana latar belakang ekonomi korban. Namun di sebagian berita dengan jelas disebutkan bahwa korban umumnya adalah berasal dari golongan masyarakat miskin. Di harian pagi Jawa Pos, diketahui 15 korban adalah berasal dari kelas miskin. Sementara itu, untuk korban yang berasal dari kelas menengah ke atas hanya 8,7. Di harian pagi, Memorandum polanya hampir sama: 18,7 korban adalah berasal dari golongan masyarakat miskin dan 12,2 berasal dari kelas menengah ke atas. Untuk kasus child abuse, seperti anak diperkosa, diperlakukan kasar, dan sebagainya pada dasarnya memang potensial terjadi di lingkungan komunitas yang sederhana, termarginalisasi dan miskin, karena gaya hidup, kondisi lingkungan dan “ruang” untuk terjadinya peristiwa itu memang lebih terbuka. 64 Kekerasan anak kini merupakan problema sosial. Dalam waktu singkat apat didaftarkan beberapa faktor sosial yang menjadi penyebab kekerasan pada anak yaitu: 65 1. Emosional orang dewasa. Konsekwuensi logisnya, kekerasan pada anak yang seyogianya dikurangi dan akhirnya diberantas habis, malah bertambah banyak dengan berbagai modusnya. 2. Nilai-nilai sosial. Struktur ekonomi dan politik selama ini melahirkan gap yang sangat dalam antara individu lainnya dan kelompok satu dengan lainnya. Kelompok yang tertekan secara ekonomis lebih berpotensi melakukan kekerasan terhadap anak. Himpitan ekonomis memaksa orang tua menyuruh anak mencari nafkah dan apabila si anak gagal maka orang tua akan marah dan melakukan tindakan kekerasan fisik terhadap anak. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan terhadap anak demikian kompleks. Menurut Suharto, kekerasan terhadap anak umumnya 63 Ibid. hal. 50, mengutip Muhammad Farid Irwanto Jeffry Anwar, Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus di Indonesia: Analisis Situasi, Jakarta: Kerjasama PKPM Unika Atmajaya Jakarta, Departemen Sosial dan UNICEF, 1999. 64 Suyanto, op.cit., hal.53 65 Manik, loc.cit. Universitas Sumatera Utara disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat, seperti: 66 1. Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, auitsme, anak terlalu lugu, memiliki tempramen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, anak terlalu bergantung pada orang dewasa. 2. Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup, banyak anak. 3. Keluarga tunggal atau keluarga pecah broken home, misalnya perceraian, keatiadaan ibu untuk jangka panjan atau keluarga tanpa ayah dan ibutidak mampu memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi. 4. Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan mendidik anak, harapan orang tua yang terlalu realistis, anak yang tidak diinginkan unwanted child, anak yang lahir di luar nikah. 5. Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orang tua, misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan emosional dan depresi. 6. Sejarah penelantaran anak. Orang tua yang semasa kecilnyaa mengalami perlakuan salah cenderung memperlakukan salah anak-anaknya. 7. Kondisi lingkunan sosial buruk, pemukian kumuh, tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuhtak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatnya faham ekonomi upah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya mekanisme kontrol sosial yang stabil. Sementara itu, Rusmil menjelaskan bahwa penyebab atau risiko terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak dibagi ke dalam tiga faktor, yaitu: faktor orang tuakeluarga, faktor lingkungan sosialkomunitas, dan faktor anak sendiri. 67 1. Faktor orang tuakeluarga Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak.faktor-faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan pada anak diantaranya: a. Praktik-praktik budaya yang merugikan anak: - Kepatuhan anak kepada orang tua 66 Abu Huraerah, op.cit, hal. 50, mengutip Edi Suharto, Pembangunan, Kebijakan Sosial, dan Pekerjaan Sosial, Bandung: Lembaga Studi Pembangunan-Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, 1997, hal. 336-337. 67 Abu Huraerah, op.cit, hal. 51, mengutip Kusnadi Rusmil, “Penganiayaan dan Kekerasan terhadap Anak” Makalah disampaikan pada Seminar Sehari “Penanganan Korban Kekerasan pada Wanita dan Anak”, tanggal 19 Juni di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Universitas Sumatera Utara - Hubungan asimetris b. Dibesarkan dengan penganiayaan c. Gangguan mental d. Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial, terutama mereka yang mempunyai anak sebelum berusia 20 Tahun. e. Pecandu minuman keras dan obat. 2. Faktor lingkungan sosialkomunitas Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi pencetus terjadinya kekerasan pada anak. Faktor lingkungan sosial yang dapat menyebabkan kekerasan dan penelantaran pada anak diantaranya: a. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis b. Kondisi sosial-ekonomi yang rendah c. Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri. d. Status wanita yang dipandang rendah e. Sistem keluarga patriarkal f. Nilai masyarakat yang terlalu individualistis 3. Faktor anak itu sendiri a. Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan ketergantungan anak kepada lingkungannya b. Perilaku menyimpang pada anak. Ada lima faktor secara internal dan eksternal, yaitu: kurang harmonisnya hubungan kekeluargaan dalam rumah tangga, masyarakatlingkungan tempat bergaul dan mengabaikan segi keimanan, kesulitan ekonomi akibat krisis ekonomi, sanksihukuman yang masih dianggap ringan, serta sarana dan prasarana hiburan yang sangat menonjolkan unsur kekerasan atau topik negatif lainnya. 68 Masih ringannya hukuman uang dikenakan kepada si pelaku kekerasan, adalah suatu yang sering terjadi. Kelihatannya sanksi yang dijatuhkan hakim belum membuat insaf para pelakunya. ‘masih ringan’, mungkin inilah anggapannya, sehingga pelaku kekerasan terhadap anak melakukan kekerasan berulang-ulang dan yang lain begitu mudah melakukannya. Lebih ironis kekerasan terhadap anak, apakah di sektor publik atau domestik tidak diproses secara hukum, Polisi, misalnya, bahkan bukan jarang menganjurkan korban dan pelaku berdamai, ataupun pengaduan uang ada tidak ditindaklanjuti, apakah lagi yang tidak diadukan. 69 68 Manik, op.cit, hal. 35 69 Ibid.hal.37 Universitas Sumatera Utara Nurul Huda, SH, M.Hum, menyebutkan ada beberapa faktor sosial yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak, yaitu: 70 1. Tidak ada kontrol sosial pada tindakan kekerasan terhadap anak-anak. 2. Hubungan anak dengan orang dewasa berlaku seperti hirarkhi sosial di masyarakat. 3. Kemiskinan. Sedangkan Richard J. Gelles mengemukakan bawa kekerasan terhadap anak terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor: personal, sosial,d an kultural. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori utama, yaitu: 1 pewarisan kekerasan antar generasi integenerational transmission of violence, 2 stres sosial social stress, 3 isolasi sosial dan keterlibatan masyrakat bawah social isolation and low communitu involvement dan 4 struktur keluarga family structure. 71 Selanjutnya dari sisi pola pengasuhan anak. Pola pengasuhan anak yang keras yang dianggap sebagai adat-budaya yang dianggap merupakan pola pengasuhan turun temurun dimana sang anak harus patuh terhadap semua perintah orang Dengan kondisi demikian, wajar kiranya kalau kasus-kasus kekerasan terhadap anak terus terjadi. Pelaku menganggap bukan sesuatu yang melanggar hukum. Di jalanan misalnya, sering menyaksikan anak-anak bekerja sebagai penjual koran, penjual rokok, penyemir sepatu dan berbagai aktifitas anak jalanan lainnya, diperlakukan seenaknya oleh orang-orang di sekitarnya. Demikian pula di rumah kasus-kasus kekerasan bukan tidak banyak. Orangtua kandung, orangtua tiri, abang kakak dan angota keluarga lainnya merupakan pelaku kekerasan yang berulang-ulang, baik yang dilakukan secara sadar atau tidak. 70 Huda, op.cit, hal. 3-5. 71 Manik, op.cit., hal 53, mengutip Richard J. Gelles., “Child Abuse,” Encyclopedia Articlefrom Encarta. http:Encarta.msn.comEncyclopedia diakses Juli 2004, hal 4-6. Universitas Sumatera Utara tuanya juga terkadang malah mengakibatkan timbul tindakan kekerasan terhadap anak, dan malah dianggap wajar dan diacuhkan oleh masyarakat. C. Perlindungan terhadap Anak Korban Tindak Kekerasan di Indonesia 1 Perlindungan Anak Korban Tindak Kekerasan dalam KUHP Dalam KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dan juga aturan pidananya baik yang secara langsung disebutkan objeknya adalah anak, maupun secara tidak langsung. Beberapa pasal dalam KUHP yang mengaturnya adalah: 72 1. Tindak pidana kejahatan terhadap asal-usul dan perkawinan, yaitu melakukan pengakuan anak palsu Pasal 278; 2. Bab XV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 285, 287, 289, 290, 291, 292, 293, 294, 295, 297, dan 305 KUHP. 3. Kejahatan yang melanggar kesusilaan, seperti menawarkan, memberikan, untuk terus menerus atau sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa Pasal 283, bersetubuh dengan wanita yang diketahui belum berumur lima belas tahun di luar perkawinan Pasal 287, melakukan perbuatan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul terhadap orang yang belum berumur lima beas tahun Pasal 290, melakukan perbuatan cabul terhadap anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak di bawah pengawasan, pemeliharaan, pendidikan, atau penjagaannya, yang belum dewasa Pasal 294, menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak di bawah pengawasan, pemeliharaan, pendidikan, atau penjagaannya, yang belum dewasa dengan orang lain Pasal 295, melakukan perdagangan anak Pasal 297, membikin mabuk terhadap anak Pasal 300, memberi atau menyerahkan seorang anak yang ada di bawah kekuasaannya kepada orang lain untuk melakukan pengemisan atau pekerjaan yang berbahaya atau pekerjaan yang dapat merusak kesehatannya Pasal 301; 72 Sumarwani, loc.cit. Universitas Sumatera Utara 4. Kejahatan terhadap kemerdekaan orang, seperti menarik orang yang belum cukup umum dari kekuasaan yang menurut UU ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang lain Pasal 330, menyembunyikan orang yang belum dewasa Pasal 331, melarikan wanita yang belum dewasa tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya, tetapi disetujui oleh wanita itu Pasal 332; 5. Kejahatan terhadap nyawa, seperti seperti pembunuhan 338, pembunuhan dengan pemberatan 339, pembunuhan berencana 340, merampas nyawa pembunuhan anak sendiri yang baru lahir Pasal 341 dan 342; 6. Kejahatan penganiayaan terhadap anaknya sendiri Pasal 351-356. Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”. Dalam KUHP, penjatuhan hukuman bagi tersangka pelaku tindak pidana bagi anak tidak diatur secara khusus penambahan hukumannya. Selain itu KUHP juga tidak ada mengatur secara khusus anak-anak yang menjadi korban tindak pidana. Di samping memberikan perlindungan secara tidak langsung, hukum pidana positif, dalam hal-hal tertentu, juga memberikan perlindungan secara langsung. Dalam Pasal 14c KUHP ditetapkan bahwa “dalam hal hakim menjatuhkan pidana bersyarat Pasal 14a, hakim dapat dapat menetapkan syarat khusus bagi terpidana, yaitu “mengganti semua atau sebagian kerugian” yang ditimbulkan oleh perbuatannya dalam waktu yang lebih pendek dari masa percobaannya”. Perlindungan yang langsung ini, di samping jarang diterapkan, masih mengandung banyak kelemahan, yaitu: 1 ganti kerugian tidak dapat diberikan secara mandiri, artinya bahwa ganti kerugian hanya dapat diberikan apabila hakim menjatuhkan pidana bersyarat; 2 pidana bersyarat hanya berkedudukan sebagai pengganti dari pidana pokok yang dijatuhkan hakim yang berupa pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan; 3 pemberian ganti kerugian hanya bersifat fakultatif, bukan bersifat imperatif. Jadi, pemberian ganti kerugian tidak selalu ada, meski hakim menjatuhkan pidana bersyarat. 73 Dalam KUHAP, Pasal 98-101, diatur tentang kemungkinan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian perdata ke dalam perkara pidana. Ketentuan ini dapat dikatakan memberikan perlindungan korban 73 Sri Sumarwani, Kekerasan Pada Anak Bentuk, Penanggulangan, dan Perlindungan Pada Anak Korban Kekerasan. http:sumarwani.blog.unissula.ac.id20111007kekerasan-pada- anak-bentuk-penanggulangan-dan-perlindungan-pada-anak-korban-kekerasan diakses pada tanggal 18 Februari 2014, pukul 07.32 Universitas Sumatera Utara kejahatan dalam mempermudah perolehan ganti kerugian, namun model ini juga mempersempit ruang gerak korban sendiri. Dalam penggabungan perkara ini, berakhirnya putusan pidana berarti juga berakhirnya putusan perdata. Jadi, apabila dalam perkara pidana tidak ada upaya hukum, banding misalnya, maka putusan perdata harus mengikuti putusan pidana. Artinya, pihak penggugat yang menitipkan perkara kepada Jaksa tidak dapat melakukan upaya hukum, meski putusan atas tuntutan ganti kerugiannya tidak memuaskan. 74 1 Tindak Pidana Penganiayaan Biasa Pasal tentang penganiayaan sendiri dalam KUHP diatur dalam BAB XX buku kedua KUHP tentang penganiayaan yaitu Pasal 351-358. Penganiayaan biasa yang dapat juga disebut dengan penganiayaan pokok atau bentuk standar terhadap ketentuan Pasal 351 yaitu pada hakikatnya semua penganiayaan yang bukan penganiayaan berat dan bukan penganiayaan ringan. Pasal 351 KUHP 1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua Tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. 2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima Tahun. 3. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh Tahun. 4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. 5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Unsur-unsur penganiayaan biasa, yakni: a Adanya kesengajaan b Adanya perbuatan c Adanya akibat perbuatan yang dituju, rasa sakit pada tubuh, dan atau luka pada tubuh. d Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya 2 Tindak Pidana Penganiayaan Ringan 74 Ibid. Universitas Sumatera Utara Pasal 352 KUHP 1 Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. 2 Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya. 3 Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Unsur-unsur penganiayaan ringan, yakni: a Bukan berupa penganiayaan biasa 75 1 Terhadap bapak atau ibu yang sah, istri atau anaknya; b Bukan penganiayaan yang dilakukan 2 Terhadap pegawai negri yang sedang dan atau karena menjalankan tugasanya yang sah; 3 Dengan memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum; c Tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan dan pencaharian. 3 Tindak Pidana Penganiayaan Berencana Menurut Mr.M.H Tirtaadmidjaja, mengutarakan arti direncanakan lebih dahulu yaitu bahwa ada suatu jangka waktu betapapun pendeknya untuk mempertimbangkan dan memikirkan dengan tenang”. Untuk perencanaan ini, tidak perlu ada tenggang waktu lama antara waktu merencanakan dan waktu melakukan perbuatan penganiayaan berat atau pembunuhan. Sebaliknya meskipun ada tenggang waktu itu yang tidak begitu pendek, belum tentu dapat dikatakan ada rencana lebih dahulu secara tenang. Ini semua bergantung kepada keadaan konkrit dari setiap peristiwa. 75 Ibid Universitas Sumatera Utara Pasal 353 KUHP 2 Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat Tahun. 3 Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh Tahun. 4 Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan Tahun Unsur penganiayaan berencana adalah direncanakan terlebih dahulu sebelum perbuatan dilakukan. Penganiayaan dapat dikualifikasikan menjadi penganiayaan berencana jika memenuhi syarat-syarat: 76 4 Tindak Pidana Penganiayaan Berat a Pengambilan keputusan untuk berbuat suatu kehendak dilakukan dalam suasana batin yang tenang. b Sejak timbulnya kehendakpengambilan keputusan untuk berbuat sampai dengan pelaksanaan perbuatan ada tenggang waktu yang cukup sehingga dapat digunakan olehnya untuk berpikir, antara lain: 1. Resiko apa yang akan ditanggung. 2. Bagaimana cara dan dengan alat apa serta bila mana saat yang tepat untuk melaksanakannya. 3. Bagaimana cara menghilangkan jejak. c Dalam melaksanakan perbuatan yang telah diputuskan dilakukan dengan suasana hati yang tenang. Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 354 KUHP. Perbuatan berat atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain. Pasal 354 KUHP 1 Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan Tahun. 2 Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh Tahun. 76 Ibid Universitas Sumatera Utara Haruslah dilakukan dengan sengaja oleh orang yang menganiayanya. Unsur-unsur penganiayaan berat, antara lain: Kesalahan kesengajaan, Perbuatannya melukai secara berat, Obyeknya tubuh orang lain, Akibatnya luka berat. Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik terhadap perbuatannya, misalnya menusuk dengan pisau, maupun terhadap akibatnya yakni luka berat. Istilah luka berat menurut Pasal 90 KUHP berarti sebagai berikut: a Penyakit atau luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh dengan sempurna atau yang menimbulkan bahaya maut. b Menjadi senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pencaharian. c Kehilangan kemampuan memakai salah satu dari panca indra. d Kekudung-kudungan e Gangguan daya pikir selama lebih dari empat minggu. f Pengguguran kehamilan atau kematian anak yang masih ada dalam kandungan. Penganiayaan berat ada 2 dua bentuk, yaitu: a Penganiayaan berat biasa ayat 1 b Penganiayaan berat yang menimbulkan kematian ayat 2 5 Tindak Pidana Penganiayaan Berat Berencana Tindak Pidana ini diatur oleh Pasal 355 KUHP. Kejahatan ini merupakan gabungan antara penganiayaan berat Pasal 353 ayat 1 dan penganiayaan berencana Pasal 353 ayat 2. Kedua bentuk penganiayaan ini harus terjadi secara serentakbersama. Oleh karena itu harus terpenuhi unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana. Kematian dalam penganiayaan berat berat berencana bukanlah menjadi Universitas Sumatera Utara tujuan. Dalam hal akibat, kesenganjaannya ditujukan pada akibat luka beratnya saja dan tidak pada kematian korban. Sebab, jika kesenganjaan terhadap matinya korban, maka disebut pembunuhan berencana. 2 Perlindungan Anak Korban Tindak Kekerasan dalam UU No 23 Tahun 2002 UU No. 23 tahun 2002, yaitu tentang Perlindungan Anak memberikan perlindungan hukum terhadap hak anak khususnya juga terhadap anak korban tindak pidana kekerasan. Pasal 1 UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak memberikan pengertian tentang perlindungan anak yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan khusus dimaksudkan untuk melindungi anak dalam situasi darurat, anak yang berdapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terekploitasi secara ekonomi dan.atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropoka dan zat adiktif lainnya, anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan fisik danatau mental, anak penyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan anak, anak korban kekerasan, anak korban perlakuan salah dan penelantaran, dilakukan melalui berbagai upaya seperti sosialisasi peraturan perundang-undangan, pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, Universitas Sumatera Utara dan rehabilitasi, baik dilakukan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. 77 Hal ini sesuai dengan Pasal 13 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak “UU Perlindungan Anak” yang menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan f. perlakuan salah lainnya. Dalam UU Perlindungan Anak, kebijakan penangulangan kekerasan pada anak, dapat diidentifikasi pada bagian upaya perlindungan anak, yaitu mencakup: 1 Diwajibkannya ijin penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian kepada orang tua dan harus mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak Pasal 47; 2 Diwajibkannya bagi pihak sekolah lembaga pendidikan untuk memberikan perlindungan terhadap anak di dalam dan di lingkungan sekolah dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya Pasal 54; 3 Diwajibkannya bagi pemerintah untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga Pasal 55; 4 penyebarluasan danatau sosialisasi ketentuan peraturan perundang- 77 Ikatan Dokter Indonesia, Departemen Kesehatan dan UNICEF, op.cit., hal. 9. Universitas Sumatera Utara undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi danatau seksual, dan pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi danatau seksual Pasal 66; 5 penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan Pasal 69. Upaya pencegahan kekerasan pada anak dengan sarana nonpenal. Dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengatur bagaimana pelaksanaan hukum terhadap pihak yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak Hal tersebut diatur dalam Pasal 80 dan 90 UU No. 23 Tahun 2002. Pasal 80 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 1 Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga Tahun 6 enam bulan danatau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 tujuh puluh dua juta rupiah. 2 Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima Tahun danatau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 seratus juta rupiah. 3 Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh Tahun danatau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah. 4 Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya. Pasal 90 1 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Universitas Sumatera Utara Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus danatau korporasinya. 2 Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan ditambah 13 sepertiga pidana denda masing-masing sebagaimana dimaksud dalam ayat 1. Selain itu juga ada terdapat bentuk perlindungan lain terhadap anak, yaitu dalam Pasal 17 ayat 2 yang berbunyi: “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan”. Kemudian dalam Pasal 18 disebutkan: “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya”. Akan tetapi bentuk perlindungan yang diberikan oleh UU Pasal 17 ayat 2 dan Pasal 18 hanya berupa kerahasiaan si anak saja. Dalam penjelasan Pasal 18, hanya disebutkan bahwa: “bantuan lainnya dalam ketentuan ini termasuk bantuan medik,, sosial, rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan”. Dalam Bab IX tentang Penyelenggaraan Perlindungan ditetapkan beberapa bentuk perlidungan anak yang mencakup perlindungan agama, kesehatan, sosial, dan pendidikan. Dalam perlindungan tersebut tidak disebutkan secara khusus tentang perlindungan bagi anak korban kekerasan. Baru dalam bagian kelima Pasal 59-71 diatur tentang perlindungan khusus, namun sayangnya dalam ketentuan ini juga tidak ditegaskan tentang bentuk perlidungan khusus bagi anak korban kekerasan. Dalam ketentuan ini hanya ditetapkan tentang proses dan pihak yang bertanggung jawab atas perlindungan anak korban kekerasan. Misalnya, perlindungan anak korban tindak pidana Pasal 64 ayat 3 hanya ditentukan prosesnya, yaitu melalui: 1 upaya rehabilitasi, baik Universitas Sumatera Utara dalam lembaga maupun di luar lembaga; 2 upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan menghindari labelisasi; 3 pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial; dan 4 pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. Kekerasan juga dapat berupa eksploitasi anak secara ekonomi danatau seksual Pasal 66, perlindungan dilakukan melalui: 1 penyebarluasan danatau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi danatau seksual; 2 pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan 3 pelibatan pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi anak secara ekonomi danatau seksual. Pihak yang bertanggung jawab dalam perlindungan tersebut, semuanya hanya ditentukan, yaitu pemerintah dan masyarakat. Perlindungan yang diberikan oleh UU ini pada dasarnya juga masih bersifat abstrak, tidak secara langsung dapat dinikmati oleh korban kekerasan. Artinya, bahwa korban kekerasan tidak memperoleh perlindungan yang berupa pemenuhan atas kerugian yang dideritanya. Adanya ketentuan tentang Komisi Perlindungan Anak Pasal 74-76 juga belum menunjukkan adanya upaya pemberian perlindungan terhadap anak korban kekerasan, sebab komisi ini tentunya juga hanya tergantung dari ada tidaknya perlindungan yang berupa pemenuhan atas kerugian atau penderitaan anak korban kekerasan. Universitas Sumatera Utara 3 Perlindungan Anak dari UU No. 23 Tahun 2004 Perlindungan anak dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang “Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga” UU KDRT, terbagi dalam beberapa bab. Mengenai perlindungan korban KDRT, ditetapkan dalam Bab IV tentang “Hak-hak Korban”, Bab VI tentang “Perlindungan” dan Bab VII tentang “Pemulihan Korban”. Hak-hak, perlindungan maupun pemulihan korban, dalam UU KDRT, dimaksudkan untuk semua korban KDRT., tentunya termasuk perlindungan terhadap anak korban KDRT. Ketentuan tentang larangan KDRT tercantum dalam Pasal 5, Pasal 8 dan Pasal 9 UU No.23 Tahun 2004. Ketentuan Pasal 5 UU No.23 Tahun 2004 menyebutkan : “Setiap orang dilarang melakukan KDRT terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a. Kekerasan fisik; b. Kekerasan psikis; c. Kekerasan seksual; atau d. Penelantaran rumah tangga. Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang menyebabkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, danatau penderitaan psikis berat pada seseorang. Sedangkan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi : Universitas Sumatera Utara 1. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; 2. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial danatau tujuan tertentu. Pasal 9 ayat 1 dan 2 UU No.23 Tahun 2004 ditentukan, sebagai berikut : 1. “Setiap orang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. 2. Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi danatau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar ruma, sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.” Di samping memuat pasal-pasal yang melarang tindak pidana KDRT, UU No.23 Tahun 2004 juga merumuskan ketentuan pidana sebagai bagian penegakan hukum atas UU No.23 Tahun 2004. Rumusan ketentuan pidana dimaksud tertuang dalam Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52 dan Pasal 53 UU No.23 Tahun 2004. Ketentuan Pasal 44 ayat 1,2, dan 3 UU No.23 Tahun 2004 berbunyi sebagai berikut : 1. “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam ruang lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a Universitas Sumatera Utara dipidana dengan pidana penjara paling lam 5 lima tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.000,00 lima belas juta rupiah. 2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun atau denda paling banyak Rp.30.000.000,00 tiga puluh juta rupiah. 3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 empat puluh lima juta rupiah.” Ketentuan Pasal 45 ayat 1 UU No.23 Tahun 2004 berbunyi sebagai berikut : “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 sembilan juta rupiah.” Ketentuan Pasal 46 UU No.23 Tahun 2004 berbunyi sebagai berikut. “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 dua belas tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 tiga puluh enam juta rupiah.” Ketentuan Pasal 47 UU No.23 Tahun 2004 berbunyi sebagai berikut. “Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b Universitas Sumatera Utara dipidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 dua belas juta rupiah atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah.” Ketentuan Pasal 48 UU no.23 tahun 2004 berbunyi sebagai berikut. “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang- kurangnya selama 4 empat minggu terus-menerus atau 1 satu tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 lima tahun dan pidana penjara paling lama 20 dua puluh tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 dua puluh lima juta rupiah dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah.” Ketentuan Pasal 49 UU No.23 Tahun 2004 berbunyi sebagai berikut : “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 lima belas juta rupiah, setiap orang yang : i. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 1; ii. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 2.” Universitas Sumatera Utara Ketentuan Pasal 50 UU No.23 Tahun 2004 berbunyi sebgaia berikut: “Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa : a Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku; b Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.” Ketentuan Pasal 51 UU No.23 Tahun 2004 berbunyi sebagai berikut : “Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat 2 merupakan delik aduan.” Ketentuan Pasal 52 UU No.23 Tahun 2004 berbunyi sebagai berikut : “Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat 2 merupakan delik aduan.” Dalam UU KDRT, disebutkan: “Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga” Pasal 11. Upaya pencegahan tersebut adalah: a merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga; b menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; c menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga Pasal 12. Universitas Sumatera Utara BAB III PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN PADA ANAK KAJIAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIMALUNGUN NO. 791PID.B2011PN.SIM

A. Sanksi Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan terhadap Anak yang menyebabkan kematian

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM)

5 130 108

Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian Yang Menyebabkan Kematian(Studi Putusan Nomor : 370/Pid.B/2013/Pn.Sim)

1 112 102

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

Tinjauan Kriminologi Dan Hukum Pidana Tentang Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Terhadap Anak Kandungnya (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tulungagung Nomor : 179/Pid.Sus/2012/PN.Ta)

5 134 138

Tinjauan Psikologi Kriminal Penyimpangan Perilaku Seksual Terhadap Tindak Pidana Mutilasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 1036/PID.B/2009/PN.DEPOK)

18 111 171

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak - Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM)

0 0 26

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 9

Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat)

0 1 100

Tinjauan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Medan)

0 11 90