BAB III PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
KEKERASAN TERHADAP ANAK YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN PADA ANAK
KAJIAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIMALUNGUN NO. 791PID.B2011PN.SIM
A. Sanksi Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan terhadap Anak yang menyebabkan kematian
Diberlakukannya UU No. 232002 tentang Perlindungan Anak seolah menjadi antiklimaks dari banyak aktivis perlindungan anak. Padahal UU ini saja tidak
cukup untuk menurunkan tingkat kejadian kekerasan pada anak. UU ini juga belum dapat diharapkan untuk mempunyai efek deteren karena belum banyak
dikenal oleh aparat maupun masyarakat. Oleh karena itu, kekerasan terhadap anak akan tetap berlanjut dan jumlah kejadiannya tidak akan menurun karena sikon
hidup saat ini sangat sulit dan kesulitan ekonomi akan memicu berbagai ketegangan dalam rumah tangga yang akan merugikan pihak-pihak yang paling
lemah dalam keluarga itu. Anak adalah pihak yang paling lemah dibanding anggota keluarga yang lain.
78
78
Irwanto, Dosen Fakultas Psikologi Unika Atma jaya Jakarta dalam esai yang berjudul, “Perilaku Kekerasan Pada Anak: Apakah Hukuman Saja Cukup?”
bahwa yang dimaksud dengan anak menurut Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perindungan Anak ialah seseorang
yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan ;
http:www.duniaesai.comindex.php?option=com_contentview=articleid=280:perilaku- kekerasan-pada-anak-apakah-hukuman-saja-cukupcatid=45:psikologiItemid=93,, diakses 17
Februari 2014, jam 09.29
Universitas Sumatera Utara
Untuk mengatasi persoalan kekerasan terhadap anak memang diperlukan berbagai tindakan sekaligus. Di Malaysia, misalnya selain UU perlindungan anak
dan KDRT yang telah ada, dengan segera pemerintah kerajaan membuat sebuah sistem deteksi dini, rujukan, penanganan terpadu untuk menanggapi
masalah kekerasaan. Di Malaysia sejak awal Tahun 90-an telah dibentuk SCAN TEAM Suspected Child Abuse and Neglect Team yang keberadaannya diakui
oleh seluruh jajaran pemerintahan sampai pada tingkat RT dan anggota teamnya terdiri dari relawan masyarakat dan pegawai kerajaan, serta anggota kepolisian
dan profesi kesehatan. Setiap kasus ditangani secara terpadu dan semua pemeriksaan, termasuk pemeriksaan kesehatan biayanya ditanggung oleh
pemerintah federal. Dengan sistem seperti ini, masyarakat tahu apa yang mereka harus perbuat dan tidak ragu-ragu untuk mengambil tindakan ketika
menyaksikan peristiwa kekerasaan terhadap anak. Di Indonesia sistem seperti itu belum ada, ada pihak-pihak yang dianggap berwenang dan berkompeten dalam
menangani kasus-kasus kekerasaan seperti tokoh masyarakat, pejabat pemerintahan sampai pada tingkat kelurahan, kepolisian, pekerja sosial
masyarakat, pendidik, dan profesi kesehatan – tetapi peranan mereka tidak diatur salam sebuah sistem yang memungkinkan mereka saling bekerja sama dan tidak
ada kebijakan pemerintah yang membebaskan biaya terhadap tindakan yang diambil untuk meyelamatkan anak. Oleh karena itu jangan heran jika masyarakat
tidak tahu apa yang mereka perbuat, takut, atau ragu-ragu untuk melaporkan dan mengambil tindakan jika melihat peristiwa kekerasan tehadap anak.
79
Indonesia mengadopsi sejumlah Undang-undang untuk menangani kekerasan terhadap anak, termasuk UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Meskipun undang-undang tersebut menetapkan bahwa anak harus dilindungi dari kekerasan, tidak secara larangan secara eksplisit mengenai
hukuman fisik. Dalam laporan terbaru yang disampaikan kepada Komite Hak Anak pada Oktober 2010, Pemerintah mengumumkan rencana untuk menyusun
peraturan nasional dan daerah yang melarang segala bentuk hukuman fisik dan Hal lain yang perlu dipikirkan adalah apa yang harus dilakukan terhadap
pelaku kekerasaan. Dari berbagai pemberitaan yang muncul di media massa, tidak diketahui apakah para pelaku adalah orang-orang yang mengalami
gangguan emosional serius atau pernah menjadi korban kekerasaan pada waktu mereka masih kanak-kanak. Yang tampak jelas adalah bahwa pelaku kekerasaan
adalah orang tua yang mengalami tekanan ekonomi cukup berat dan persoalan relasi gender. Untuk itu hukuman yang didasarkan atas UU saja tentu tidak cukup.
79
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
psikologis bagi anak di rumah dan di sekolah. Permasalahan di sini adalah bahwa terhadap pelaku kekerasan pada anak, lebih lebih dengan cara yang sadis dan
apalagi mengakibatkan kematian pada anak harus dihukum berat. Ada 2 dua peraturan yang dapat dipakai yaitu KUHP dan UU No.23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak, Sebelum ada Undang- Undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak maka aturan yang diterapkan adalah aturan umum KUHP.
Tetapi karena ada asas yang mengatur yaitu “lex specialis derogate lex generalis” yang artinya aturan khusus mengenyampingkan aturan umum, maka yang dipakai
adalah aturan khusus, UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak adalah aturan yang bersifat khusus, sedang KUHP adalah aturan yang bersifat umum.
Hukuman pidana dalam KUHP belum mengatur mengenai hukuman ancaman pidana minimum bagi pelaku tindak kekerasan terhadap anak, jadi hakim bisa saja
memutus rendah karena tidak ada batas minimumnya, berbeda dengan UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, selain itu aturan didalam UU No.23 tahun
2002 tentang perlindungan anak lebih kompleks karena disamping memuat tentang ancaman pidana badan juga memuat tentang denda bagi pelaku.
80
80
Michael Claus dan Nuraini Razak ed. “Stop Kekerasan terhadap Anak Merupakan Urusan Semua Orang,”
Secara khusus, dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak sudah terdapat pasal yang mengatur tentang pemidanaan bagi pelaku tindak kekerasan
terhadap anak, yaitu Pasal 80 yang berbunyi : 1 Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman
kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga Tahun 6 enam bulan danatau denda
paling banyak Rp 72.000.000,00 tujuh puluh dua juta rupiah.
2 Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima
Tahun danatau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 seratus juta rupiah.
3 Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh
Tahun danatau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah.
4 Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 apabila yang melakukan
penganiayaan tersebut orang tuanya.
http:www.unicef.orgindonesiaidmedia_21861.html, diakses tanggal 18 Februari 2014, pukul 11.25
Universitas Sumatera Utara
Pasal 80 ayat 3 secara khusus berbicara tentang pengaturan pidana terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan kematian
pada anak tersebut. 1
Setiap orang; 2
Melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiyaan ;
3 Terhadap Anak ;
4 Mengakibatkan mati ;
Berdasar poin-poin di atas, maka dapat diuraikan unsur-unsur Pasal 80 ayat 3 tersebut. Pertama adalah unsur “setiap orang”. Dalam doktrin hukum
pidana adalah bagian dari bentuk Pertanggungjawaban pidana yang dalam doktrin hukum pidana dikenal dengan istilah “cakap” yang mana dapat dinilai
berdasarkan kemampuan jiwa serta usia seseorang. Kedua adalah unsur “melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan”.
Pada penjelasan pasal 89 KUHP, R. Soesilo menjelaskan bahwa: Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil
secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya. Yang disamakan dengan
kekerasan menurut pasal ini adalah membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya.
81
81
Ray Pratama Siadari. “Tindak Pidana Kekerasan dan Jenisnya”
Sedangkan menurut Yurisprudensi , yang dimaksud dengan kata
penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak penderitaan, rasa
http:raypratama.blogspot.com201202tindak-pidana-kekerasan-dan-jenis.html, diakses tanggal 8 April 2014, pukul 19. 45
Universitas Sumatera Utara
sakit, atau luka. Contoh “rasa sakit” tersebut misalnya diakibatkan mencubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya.
82
Dalam sebuah artikel online, Indonesia Research Foundation melihat aspek UU Perlindungan Anak mengungkapkan, berkaitan dengan kekerasan
terhadap anak masih ada sejumlah kelemahan: pertama, ada pasal yang perlu penjelasan, yakni kata “kekerasan” pada Pasal 54. Arti kekerasan pada Pasal
tersebut menyulitkan untuk memastikan batasan kekerasan tersebut, sehingga perlu penjelasan; kedua, ada yang ambigu dengan KUHP dalam besarnya
pidana, ketiga, Hukuman tidak ada batas minimal yakni Pasal 80 ayat 1, “Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau
penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
tiga tahun 6 enam bulan danatau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 tujuh puluh dua juta rupiah”. Keempat, ada kata sengaja yang sulit dibuktikan.
Karena dalam perspektif hukum klausul “sengaja” harus dibuktikan. Contoh: Unsur ketiga yaitu
“terhadap anak”. Pengertian anak secara jelas tertuang dalam Pasal 1 ayat1 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Keempat, yaitu “mengakibatkan mati”. Dalam hal ini mati artinya mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Selain itu, hukuman pidana yang
dijatuhkan juga telah diatur yaitu pidana penjara paling lama 10 sepuluh Tahun danatau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah. Namun
demikian, Undang-undang ini ternyata masih memiliki beberapa kekurangan .
82
Adi Condro Bawono, ”Pasal untuk Menjerat Pelaku Penganiayaan Anak”, http:www.hukumonline.comklinikdetaillt4f12a3f7630d1pasal-untuk-menjerat-pelaku-
penganiayaan-anak, diakses tanggal 10 April 2014, jam 20.00
Universitas Sumatera Utara
Pasal 81 ayat 1, Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan... dan
seterusnya; kelima, ada pasal yang menyebabkan anak sebagai pelaku di hukum seperti hukuman orang dewasa, karena adanya klasul “setiap orang” tanpa ada
pengecualian, yakni Pasal 81, “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
kekerasan...dan seterusnya; keenam, belum ada ketetapan bila kekerasan dilakukan oleh negara; ketujuh, belum ada pemberatan bila kekerasan dilakukan
oleh petugas yang seharusnya melindungi.
83
B. Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791PID.B2011PNSIM