BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan pihak yang sangat rentan menjadi sasaran tindak kekerasan. Hal ini karena anak merupakan objek yang lemah secara sosial dan
hukum, sehingga anak sering dijadikan bahan eksploitasi dan pelampiasan tindak pidana karena lemahnya perlindungan yang diberikan baik oleh lingkungan sosial
maupun negara terhadap anak. Hal inilah yang menyebabkan maraknya kasus kekerasan terhadap anak terjadi di sekitar lingkup sosial masyarakat Indonesia.
Berbagai jenis dan bentuk kekerasan dengan berbagai variannya diterima anak-anak Indonesia, seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencabulan,
penganiayaan, trafficking, aborsi, pedofilia, dan berbagai eksploitasi anak di bidang pekerjaan, penelentaran, penculikan, pelarian anak, dan penyanderaan.
1
Sekolah tempat anak-anak menimba ilmu pun dianggap bukan merupakan tempat yang aman bagi anak-anak. Data di KPAI menunjukkan, dari seluruh
tindakan KTA, 11,3 persen dilakukan oleh guru atau nomor dua setelah kekerasan dilakukan oleh orang disekitar anak, dan jumlahnya mencapai 18 persen. Fakta ini
didukung analisis data pemberitaan kekerasan terhadap anak oleh semua surat kabar. Sepanjang paruh pertama 2008, kekerasan guru terhadap anak mengalami
peningkatan tajam, 39,6 persen, dari 95 kasus KTA, atau paling tinggi dibandingkan pelaku-pelaku kekerasan pada anak lainnya.
2
1
Merry Magdalena. Melindungi Anak dari Seks Bebas Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010, hal. 40
2
Bagong Suyanto, ed. Rev., Masalah Sosial Anak Jakarta : Kencana, 2013, Hal.23
Universitas Sumatera Utara
Sebuah studi yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia YKAI, menemukan—meski sebatas kasus yang sempat diekspos media massa—
secara kuantitatif ada kecenderungan terjadinya peningkatan tindak kekerasan terhadap anak. Pada 1994 misalnya, tercatat 172 kasus, dan 1995 meningkat
menjadi 421 kasus, dan pada 1996 melonjak lagi menjadi 476 kasus. Walaupun dari tahun ke tahun berita tentang tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-
hak anak terus meningkat, tetapi bila dibandingkan dengan negara-negara maju angka yang berhasil direkam Indonesia umumnya masih tergolong sangat
minimal. Di Amerika Serikat, misalnya diperkirakan ada kurang lebih 500 ribu anak yang diperlakukan secara destruktif setiap tahunnya. Di negara maju seperti
Amerika Serikat, kasus child abuse dapat terdeteksi dengan cukup baik karena hukum di negara itu mewajibkan dokter dan guru untuk melaporkan kasus child
abuse kepada aparat yang berwenang. Kasus child abuse sendiri sudah mulai dikenal publik sekitar 1960-an, yaitu sebanyak 302 kasus di 71 rumah sakit—
dimana 33 anak meninggal dan 85 anak mengalami kerusakan otak yang permanen.
3
Perlindungan terhadap hak-hak anak sebenarnya sudah dijamin permerintah Indonesia dalam perundang-undangan. Pemerintah Indonesia saat ini
sudah memiliki sederet instrumen hukum, baik yang berasal dari hasil ratifikasi instrumen hukum internasional maupun instrumen hukum dalam negeri. Dimana
instrumen hukum tersebut bertujuan untuk melindungi, mensejahterakan dan memenuhi hak-hak anak. Beberapa peraturan pemerintah yang telah mengatur
tentang hak-hak anak Indonesia, diantaranya:
4
- Undang-Undang Dasar 1945
- Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
- Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi KHA
- Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
- Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
3
Ibid. mengutip Henry Kempe, “The Battered Child Syndrome Perlakuan Salah yang Dialami Anak,” Journal of American Medical Association, 1962, hal. 1.
4
RM Ksatria Bhumi Persada, “Kekerasan Personal Terhadap Anak Jalanan Sebagai Individu dalam Ruang Publik : Studi Kasus Terhadap Tiga Anak Jalan Laki-Laki Binaan Rumah
Singgah Dilts Foundation,” Skripsi Sarjana, Fakultas Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, 2012, hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, dari data Komisi Perlindungan Anak, masih terdapat beberapa instrumen hukum untuk perlindungan anak, yaitu:
5
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2012 Tentang
Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak -
Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Keterlibatan Anak Dalam Konflik
Bersenjata -
Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition And Immediate Action For The
Elimination Of The Worst Forms Of Child Labour Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan Dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk
Pekerjaan Terburuk Untuk Anak
- Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang
Pengesahan ILO Convention No. 105 Concerning The Abolition Of Forced Labour Konvensi Ilo Mengenai Penghapusan Kerja Paksa
- Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak,
Prostitusi Anak, Dan Pornografi Anak Pengaturan hukum tertulis yang jelas tentang perlindungan anak
sebenarnya telah dibuat oleh pemerintah, namun tindak kekerasan terhadap anak masih terus terjadi. Hal ini bisa dilihat dari peningkatan angka kasus kekerasan
terhadap anak yang terus meningkat setiap Tahunnya. Sekjen Komnas PA Samsul Ridwan memaparkan, dari 1.424 kasus kekerasan anak selama Januari-Oktober
2013, 452 merupakan kasus kekerasan fisik, 730 kasus kekerasan seksual, dan 242 kekerasan psikis.
6
Kasus kekerasan pada anak akhir-akhir ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kesenjangan ekonomi, kurangnya keharmonisan dalam
5
http:www.kpai.go.idkanalhukum
6
Isnaini, “Kekerasan Pada Anak Terus Meningkat”, http:news.okezone.comread20130719337839343kekerasan-seksual-pada-anak-terus-
meningkat, diakses pada tanggal 20 Oktober 2013 , jam 19.20
Universitas Sumatera Utara
rumah tangga, dan juga rendahnya rasa sosial dalam masyarakat.
7
Kasus tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak anak, acap kali kurang memperoleh perhatian publik, karena selain data laporan tentang kasus
child abuse memang nyaris tidak ada, juga karena kasus ini sering kali masih terbungkus oleh kebiasaan masyarakat yang meletakkan masalah ini sebagai
persoalan internal keluarga, dan tidak layak atau tabu untuk diekspos keluar secara terbuka. Seperti dikatakan Harkristuti Harkrisnowo 1998, bahwa
rendahnya kasus tindak kekerasan terhadap anak yang diketahui publik salah satunya disebabkan sering terjadinya penyelesaian kasus semacam ini dilakukan
secara kekeluargaan dalam tingkat penyidikan, sehingga kasus tindak kekerasan yang dialami anak-anak tidak direkam oleh aparat sebagai tindak pidana. Padahal,
kalau mau jujur sebenarnya kasus tindak kekerasan, eksploitasi, dan bahkan tindak pelecehan seksual terhadap anak tidak hanya terjadi di kehidupan jalanan di
kota besar yang memang keras, di sektor industri atau dunia ekonomi yang konon disebut bersifat eksploitatif, melainkan juga dapat ditemui di dunia pendidikan, di
kehidupan sehari-hari masyarakat, dan bahkan di lingkungan keluarga secara normatif sering dikatakan sebagai tempat paling aman bagi anak.
Tindakan kekerasan terhadap anak kebanyakan dilakukan orang dewasa yang berada di
sekitar lingkungan anak tersebut yang tak terelakkan menimbulkan dampak negatif pada anak berupa trauma atau bahkan sampai menyebabkan kematian.
Oleh sebab itu, perlu ada perhatian yang lebih serius dari aparat penegak hukum untuk lebih serius memberantas dan menjerat pelaku kriminalitas terhadap anak di
bawah umur. Sesungguhnya tidak sedikit anak-anak yang terpaksa dan harus terlibat
dalam situasi yang tidak menyenangkan atau bahkan menjadi korban dari suatu perlakuan yang menyakitkan, baik oleh pelaku tindak pidana yang profesional—
seperti preman, tukang perkosa, perampok, dan sebagainya— maupun oleh sanak saudara atau bahkan orang tua kandung mereka sendiri. Tetapi, kasus dan
permasalahan tindak kekerasan yang dialami anak-anak di bawah umur umumnya masih belum mendapat perhatian sungguh-sungguh dari berbagai pihak. Perhatian
terhadap masalah ini masih kalah jika dibandingkan dengan maraknya kasus anak yang kurang gizi atau busung lapar, atau kasus tingginya angka kematian anak
yang secara faktual lebih mudah dialami dan dideteksi masyarakat.
8
7
Indah Mutiara Kami, “Hingga Oktober 2013 Separuh Kekerasan Pada Anak Adalah Kejahatan Seksual”, 2013,
http:news.detik.comread20131120124846241822410hingga- oktober-2013-separuh-kekerasan-pada-anak-adalah-kejahatan-seksual, Diakses pada tanggal 29
November 2013 , jam 10.15
8
Bagong Suyanto, op.cit. hal.17-19
Universitas Sumatera Utara
Tindakan kekerasan terhadap anak semakin banyak yang berakibat fatal bahkan hingga menyebabkan kematian menimbulkan keprihatinan atas rendahnya
upaya perlindungan terhadap hak hidup anak. Tidak peduli apakah itu di kota besar ataupun di daerah pelosok, terkadang orang dewasa yang berada di
lingkungan sekitarnya kurang peka atau menganggap hal tersebut sebagai hal yang biasa, sehingga tindakan kekerasan itu terus berulang-ulang terjadi pada
anak. Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pada
Tahun 2011, dikatakan bahwa 3 tiga dari 100 anak Indonesia adalah korban kekerasan, 87 nya adalah kekerasan seksual dan 5 kekerasan terhadap anak
yang menyebabkan kematian dan 25 nya menyebabkan cacat fisik WHO.
9
Menurut Seto Mulyadi akrab dipanggil Kak Seto, anak Indonesia berada dalam bayang-bayang. Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
KPAI, selama Tahun 2003 terdapat 481 kasus kekerasan. Jumlah ini meningkat menjadi 547 kasus Tahun 2004, dimana 221 kasus merupakan kekerasan seksual
140 kekerasan fisik, 80 kekerasan psikis, dan 106 permasalahan lainnya.
10
Berdasarkan rekapitulasi data surat kabar, anak korban kekerasan di wilayah Jawa Barat Tahun 2002 oleh Lembaga Advokasi Hak Anak LAHA
Bandung, menunjukkan bahwa sebagian besar anak korban kekerasan di wilayah ini adalah remaja. Dari 450 anak korban kekerasan jumlah remaja sebanyak 65,
sama dengan penelitian di Jawa Timur yang dalam penelitian Tahun 1994-1997 ditemukan 103 kasus kekerasan dengan 65-nya adalah remaja. Kemudian,
pekerja anak di sektor berbahaya dan fenomena anak jalanan, perdagangan, dan
9
“Puskesmas Mampu Tata Laksana Kekerasan terhadap Anak”, http:www.kesehatananak.depkes.go.idindex.php?option=com_contentview=articleid=58:pu
skesmas-mampu-tatalaksana-kekerasan-terhadap-anakcatid=40:subdit-5Itemid=83, diakses tanggal 21 Oktober 2013, jam 19.43
10
Abu Huraerah, Child Abuse Kekerasan terhadap Anak, Bandung: Nuansa, 2007. hal.43, mengutip http:www.tempointeraktif.comhgnasional20041228brk,200441228-
11.id.html.
Universitas Sumatera Utara
penculikan termasuk di dalamnya child trafficking juga merupakan bentuk kekerasan pada remaja. Dari data yang berhasil dikumpulkan oleh LPA Lembaga
Perlindungan Anak Jawa Barat dari berbagai sumber sampai dengan Juli 2003, terdapat 1.281 pekerja anak dan 15.208 anak jalanan di Jawa Barat. Banyaknya
remaja yang terlibat konflik dengan hukum juga menunjukkan tingginya anak yang beresiko mendapatkan perlakuan kekerasan, sehubungan di Indonesia belum
terdapat sarana Pengadilan khusus anak. Survei nasional BPS Badan Pusat Statistik Tahun 1997 menemukan sebanyak 4079 anak di bawah 16 Tahun masuk
penjara dan Jawa Barat menduduki tempat kedua tertinggi secara nasional.
11
Komnas Perlindungan Anak memandang perlu kerjasama pemerintah lintas sektoral dan partisipasi masyarakat untuk menanggulangi masalah anak di
Indonesia yang cakupannya sangat luas. Dari laporan-laporan yang didapatkan Komnas Perlindungan Anak, tampak pemerintah dan stakeholder lainnya bekerja
terbata-bata secara kolektif.
12
11
Ibid. hal. 44, mengutip Kusnadi Rusmil, “Penganiayaan dan Kekerasan terhadap Anak,” Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Penanganan Korban Kekerasan pada Wanita
dan Anak, tanggal 19 Juni di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, hal. 58.
12
Adi Dwijayadi, “Inilah 8 Sebab Kekejaman terhadap Anak”, 2010,
http:nasional.kompas.comread2010122111575989Inilah.8.Sebab.Kekejaman.terhadap.Anak , diakses tanggal 21 Oktober 2013, jam 19.47
Bila permasalahan perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan ini tidak ditangani secara serius, dikhawatirkan korban
kekerasan anak ini akan semakin meningkat. Tindakan kekerasan terhadap anak secara khusus telah diatur dalam Pasal
80 Undang-Undang selanjutnya disingkat UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi :
1 Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 tiga Tahun 6 enam bulan danatau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 tujuh puluh dua juta rupiah.
2 Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima
Tahun danatau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 seratus juta rupiah.
Universitas Sumatera Utara
3 Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh
Tahun danatau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah.
4 Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 apabila yang melakukan
penganiayaan tersebut orang tuanya.
Fakta di lapangan dapat dilihat dari beberapa kasus penganiayaan terhadap anak yang menyebabkan kematian ini tidak mendapat tindakan tegas dari penegak
hukum, bahkan tidak mendapatkan kejelasan dari kelanjutan kasus tersebut. Beberapa contoh kasus tersebut diantaranya adalah :
Kasus Reza Eka Wardana 16, siswa SMA Dominikus Wonosari, Korban pengeroyokan oleh oknum Polisi, akhirnya menghembuskan nafas terakhir
pada pukul 15:00 WIB, tanggal 3 November 2012 setelah koma dan berjuang melawan maut selama sembilan hari di Rumah Sakit Bethesda,
Yogyakarta.
13
Kasus penganiayaan lainnya terjadi pada 2 balita di Jalan Mulawarman, Kecamatan Tembalang, Semarang, Jawa Tengah, Kamis, 10 Oktober 2013
oleh 2 orang perampok yang menyebabkan matinya 2 balita tersebut akibat Sampai sekarang kasus tersebut tidak menemui kejelasan
walaupun pelakunya sudah dinyatakan sebagai tersangka Tahun 2012 lalu.
13
Mawalu, “Rezza Eka Wardana 16, Korban Pemukulan Helm Oleh Polisi, Meninggal Dunia”, 2012, http:metro.kompasiana.com20121104reza-eka-wardana-16-korban-
pemukulan-helm-oleh-polisi-meninggal-dunia-500454.html, diakses tanggal 21 Oktober 2013, jam 19.43
Universitas Sumatera Utara
kepala yang dipukul dengan menggunakan linggis, akhirnya diancam dengan Pasal berlapis pencuriaan dan pembunuhan.
14
14
Parwito, “Perampok Pembunuh 2 Balita di Semarang Terlacak Berkat HP”, 2013,
Terlepas dari kasus-kasus di atas masih banyak lagi kasus kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian, terutama yang dilakukan oleh orang
terdekatnya yaitu kalangan keluarga sendiri seperti ayah atau ibunya sendiri, walaupun tidak semuanya terekspos media. Beberapa kasus di atas dapat menjadi
cerminan dimana perlindungan hukum terhadap anak dari tindakan kekerasan sebenarnya masih sangat kurang, bahkan terhadap yang berakibat kematian anak
tersebut ada yang tidak menemui kejelasan terhadap penyelesaian kasusnya. Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sendiri
dirasakan masih belum dapat memberikan perlindungan yang maksimal terhadap anak dan dirasakan masih kurang memberikan hukuman yang cukup setimpal dari
perbuatannya tersebut dibandingkan ancaman hukuman terhadapnya yang seharusnya memberatkannya, karena seharusnya sebagai pihak yang lebih dewasa
dari segi usia yakni sebagai orang tua, keluarga, pihak sekolah ataupun lingkungan masyarakat seharusnya memberikan perlindungan terhadap anak-anak
yang masih di bawah umur, dan bukan dengan melakukan tindak kekerasan atau penganiayaan apalagi sampai menyebabkan luka berat ataupun kematian.
Penegakan hukum yang tegas dan peran serta masyarakat sekitar adalah unsur yang paling penting demi terciptanya pelaksanaan perlindungan terhadap anak
yang maksimal demi tercapainya kesejahteraan anak Indonesia.
http:www.merdeka.comperistiwaperampok-pembunuh-2-balita-di-semarang-terlacak-berkat- hp.html, diakses tanggal 21 Oktober 2013, jam 19.30
Universitas Sumatera Utara
B. Permasalahan