Kewarisan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dan Staatsblad 1917 No. 129 (Penelitian Pada Pengadilan Agama Medan)

(1)

NASKAH PUBLIKASI

KEWARISAN ANAK ANGKAT MENURUT KOMPILASI

HUKUM ISLAM (KHI) DAN STAATSBLAD 1917 NO.129

(PENELITIAN PADA PENGADILAN AGAMA MEDAN)

TESIS

Oleh

ERWANSYAH

057011028

/MKn

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

KEWARISAN ANAK ANGKAT MENURUT KOMPILASI

HUKUM ISLAM (KHI) DAN STAATSBLAD 1917 NO.129

(PENELITIAN PADA PENGADILAN AGAMA MEDAN)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan

dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ERWANSYAH

057011028

/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDA N

2008


(3)

Judul Penelitian : KEWARISAN ANAK ANGKAT MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DAN STAATSBLAD 1917 NO.129 (PENELITIAN PADA PENGADILAN AGAMA MEDAN)

Nama Mahasiswa : Erwansyah

Nomor Pokok : 057011028

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, M.A) Ketua

(Dr. T. Keizerina Devi A, S.H., C.N., M.Hum)

Anggota

(Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn) Anggota

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,M.S.,C.N)


(4)

Telah Diuji

PadaTanggal 4 SEPTEMBER 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, M.A

Anggota : 1.

Dr. T. Keizerina Devi A, S.H., C.N., M.Hum

2. Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N. 4. Chadidjah Dalimunthe, S.H., M.Hum


(5)

ABSTRAK

Eksistensi pengangkatan anak atau adopsi di Indonesia sebagai suatu lembaga hukum yang masih belum sinkron, sehingga masalah pengangkatan anak masih merupakan problema bagi masyarakat, terutama ketentuan hukum kewarisannya. Ketidaksinkronan tersebut sangat jelas dilihat, kalau dipelajari ketentuan tentang eksistensi lembaga adopsi dalam sumber hukum yang berlaku di Indonesia, baik menurut Staatsblad 1917 No.129 maupun hukum Islam yang masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam. Oleh karena itu menjadi permasalahan tentang prosedur pengangkatan anak, akibat hukum pengangkatan anak, dan kewarisan anak angkat menurut KHI dan Staatsblad 1917 No.129.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan yuridis normatif terhadap kewarisan anak angkat menurut KHI dan Staatsblad 1917 No. 129 yang diteliti dari bahan kepustakaan dan dokumen berkas kasus pada Pengadilan Agama Medan. Informan dalam penelitian ini berjumlah 4 (empat) orang, yang terdiri dari 3 (tiga) orang Hakim dan 1 (satu) orang Panitera Pengadilan Agama.

Berdasarkan hasil penelitian, prosedur pengangkatan anak baik mengacu pada KHI maupun mengacu pada Staatsblad 1917 No.129 harus melalui penetapan Pengadilan, yaitu untuk agama Islam mengacu pada KHI ditetapkan pada Pengadilan Agama (PA), sedangkan mengacu pada Staatsblad melalui penetapan Pengadilan Negeri (PN). Penetapan PA tidak memutuskan nasab anak angkat dengan orang tua kandungnya sehingga tidak perlu dicatatkan atau dirubah akta kelahiran anak angkat itu, sedangkan penetapan PN memutuskan nasab anak angkat dengan orang tua kandungnya, sehingga harus dicatatkan pada catatan sipil atau perubahan akta kelahiran anak angkat menjadi anak dari orang tua angkatnya. Akibat hukum pengangkatan anak menurut KHI dan Staatsblad 1917 No.129 adalah: a) Nasab, menurut Staatsblad anak angkat terputus dengan nasab orang tua kandungnya, sedangkan menurut KHI tidak terputus dengan nasab orang tua kandungnya, b) Panggilan, menurut Staatsblaad anak angkat dipanggil (bin/binti) dengan nama ayah atau orang tua angkatnya, sedangkan menurut KHI anak angkat dipanggil (bin/binti) dengan nama ayah atau orang tua kandungnya, c) Perwalian, menurut Staatsblad, orang tua angkat menjadi wali penuh terhadap anak angkatnya, termasuk menjadi wali nikah, jika anak angkat perempuan, sedangkan menurut KHI orang tua angkat tidak menjadi wali nikah anak angkatnya, jika anak angkat perempuan, e) Mahram Kawin, menurut Staatsblad anak angkat tidak sah dinikahi oleh orang tua angkatnya, sedangkan menurut KHI anak angkat boleh dinikahi orang tua angkatnya. Dalam hal kewarisan, menurut KHI anak angkat mendapatkan wasiat wajibah yang tidak boleh lebih dari 1/3 bagian dari orang tua angkatnya (Pasal 209 ayat (2)), sedangkan dalam Staatsblad 1917 No.129 anak angkat menjadi ahli waris orang tua angkatnya, dengan pembatasan anak angkat tersebut hanya menjadi ahli waris dari bagian yang tidak diwasiatkan.

Disarankan kepada Pemerintah segera mewujudkan UU Pengangkatan Anak yang sejalan dengan kepentingan masyarakat Indonesia dalam hal kewarisan anak angkat. Kemudian disarankan kepada Pengadilan Agama Medan untuk melakukan koordinasi dengan instansi terkait dan segenap jajarannya untuk mensosialisasikan lagi keberadaan KHI kepada masyarakat muslim Indonesia, sehingga masyarakat meningkat kesadaran hukumnya dan juga KHI benar-benar dapat diwujudkan sebagai hukum positif pada Pengadilan Agama.


(6)

ABSTRACT

The existence of child adoption in Indonesia is a law institution that has not yet synchronous that cause a child adoption as a problem in society in particular of inheritance law. This condition is manifested by a provision about the existence of adoption institution in the source of law applied in Indonesia, either in accordance with Staatsblad 1917 No. 129 or the Islamic law in which majority of citizen is Moslem. Therefore, there is problem in child adoption procedure caused by the child adoption law and the matters pertaining to inheritance in accordance with KHI and Staatsblad 1917 No. 129.

This is a descriptive study by normative juridical approach to the matters pertaining the inheritance of the adopted child according to KHI and Staatsblad 1917 No. 129 that studied in any literatures and document of cases in the Religion Court of Medan. The informant in this study are 4 (four) persons that consists of 3 (three) Judges and 1 (one) clerk of religion court.

Based on the study, the procedure of child adoption either referring to KHI or Staatsblad 1917 No. 129 must determined by the court, i.e. for the Moslem that refer to KHI determined by Religion Court (PA), while if refer to Staatsblad determined by the Court in first instance (PN). The Determining by PA did not determine the fate of the adopted child to his/her owned parents that did not require the recording or revise the birth certificate of the adopted child, while the determining by PN determining the fate of the adopted child to his/her owned parents that must be recorded or the birth certificate must be revisedas a status of the adopted child as a child of his/her adopted parents. The law consequence of the child adoption in accordance with KHI and Staatsblad 1917 No. 129 are : a) according to Staatsblad the Nasab or lineage of the adopted child is severance from his/her owned parents, while according to KHI it is not severance, b) according to staatsblad, a call of the adopted child (bin/binti) with the name of his/her adopted father or parents, while according to KHI, the adopted child is called (bin/binti) with the name of his/her owned father of parents name, c) according to Staatsblad, a guardian of the adopted parents to be a full guardian of the adopted child, include as a marriage guardian if the adopted child is female, while according to KHI the adopted parents can not be a marriage guardian of their adopted child if the adopted child is female, d) according to Staatsblad, Mahram Kawin of the adopted child is not valid if marriaged by his her adopted parents, while according to KHI, the adopted child may be marriaged by his/her adopted parents. In the matters pertaining the inheritance, according to KHI, the adopted child has a Wajibah heritance that did not more than 1/3 of the adopted parents (Article 209 paragraph 2), while in Staatsblad 1917 No. 129 the adopted child to be a heir of his/her adopted parents, in a limitation that the adopted child only to be heir of the untestamented.

It is suggested to the government to realize the child adoption Act for the interest of the Indonesia citizen in matter pertaining the inheritance for the adopted child. And it is suggested to Religion Court of Medan to do a coordination to related institutions in order to socialize the existence of KHI to the Moslem in Indonesia in order to increase the law awareness of the society and KHI will be realized as positive law at the Religion Court. Keywords : Matters pertaining the Inheritance; Adopted Child.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan karunia-Nyalah, maka tesis ini telah dapat diselesaikan dengan judul Kewarisan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dan Staatsblad 1917 No.129 (Penelitian Pada Pengadilan Agama Medan).

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam menyelesaikan penulisan tesis ini, penulis banyak memperoleh bimbingan, bantuan maupun saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih khususnya kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Dr..Ramlan Yusuf Rangkuti, MA, selaku Ketua Komisi Pembimbing, Ibu Dr.T.Kezeirina Devi A. SH., CN., M.Hum, selaku anggota Komisi Pembimbing dan Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH., MKn, selaku anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dan masukan yang sangat berarti dalam penulisan tesis ini.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih secara khusus kepada Bapak Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH., MS., CN., dan Ibu Chadidjah Dalimunthe, SH., M.Hum, selaku dosen yang selama ini telah membimbing dan membina penulis dan pada kesempatan ini dipercayakan menjadi dosen penguji sekaligus sebagai panitia penguji tesis.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Chairuddin P.Lubis, DTM & H, Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada


(8)

penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. Chairun Nisa B, Msc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., dan Ibu Dr. T. Kezeirina Devi A, SH., CN., M.Hum, selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar diantaranya Bapak Prof. Dr. Tan Kamelo, Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH., M.Hum, Bapak Notaris Safnil Gani, SH., M.Hum, Ibu Hj.Chairani Bustami, SH., MKn, dan lain-lain serta para karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatara Utara, yang telah banyak membantu penulis selama masa pendidikan sampai penulis menyelesaikan pendidikan di Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Teman-temanku tercinta di Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan semangat, memberikan dorongan, bantuan pikiran dan mengingatkan dikala lupa kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini dalam rangka untuk menyelesaikan studi.

Secaraa khusus, penulis menghaturkan sembah dan sujud serta ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang sangat penulis cintai dan muliakan Ayahanda (Alm) Suar dan Ibunda (Alm) Nurmani yang telah bersusah payah melahirkan, membesarkan dengan penuh kasih sayang, pengorbanan, kesabaran, dan ketulusan serta memberikan doa restu, sehingga penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara serta semuanya ini penulis persembahkan seiring ucapan terima kasih yang tidak terbatas Istriku yang tercinta dan tersayang Deli Kesuma, serta anak-anakku Azhari Agung Kurniawan, Anggita Dwi Kesuma dan Salsabila Nur Hashifa


(9)

yang selama ini menjadi sumber inspirasi dan sumber kekuatan jiwa bagi penulis untuk terus berjuang untuk mencapai derajat kemuliaan di dunia dan di akhirat.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat rahmat dan Allah SWT dan senantiasa dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada semua pihak, Amin.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangkan ilmu hokum, khususnya dalam bidang ilmu Kenotariatan.

Medan, September 2008

Penulis


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Erwansyah

Tempat/Tanggal lahir : Medan, 1 Nopember 1968

Alamat : Jl. B.Zein Hamid Gg.Family No.15 Medan Pendidikan :

- SD : Tahun 1976 s/d 1982

SD Al-Wasliyah Kampung Baru Medan,

SumateraUtara - S M P : Tahun 1982 s/d 1985

SMP Budi Bakti Kampung Baru Medan,

SumateraUtara - S M A : Tahun 1985 s/d 1988

SMA Negeri-2 Medan, Sumatera Utara

- Perguruan Tinggi/S1 : Tahun 1999 s/d 2003

Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa

Medan, Sumatera Utara

- Perguruan Tinggi/S2 : Tahun 2005 s/d 2008

Sekolah Pascasarjana Program Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara,


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR ISTILAH ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Keaslian Penelitian ... 5

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 6

1. Kerangka Teori ... 6

2. Konsepsi ... 14

G. Metode Penelitian ... 15

1. Jenis dan Sifat Penelitian... 15

2. Metode Penelitian... 16

3. Lokasi Penelitian ... 16

4. Populasi dan Sampel Penelitian ... 16

5. Alat Pengumpulan Data... 17


(12)

II. PROSEDUR PENGANGKATAN ANAK DALAM KOMPILASI

HUKUM ISLAM DAN STAATSBLAD 1917 NO.129... 18

A. ProsedurPengangkatan Anak menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) ... 18

B. Prosedur Pengangkatan Anak dalam Staatsblad 1917 No.129 . 22 III. AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN STAATSBLAD 1917 NO.129 ... 27

A. Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) ... 27

B. Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Staatsblad 1917 No. 129 ... 31

IV. KEWARISAN ANAK ANGKAT MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN STAATSBLAD 1917 NO.129... 33

A. Kewarisan Anak Angkat dalam Kompilasi Hukum Islam... 33

B. Kewarisan Anak Angkat dalam Staatsblad 1917 No.129... 36

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

A. Kesimpulan ... 37

B. Saran ... 38 DAFTAR PUSTAKA


(13)

DAFTAR ISTILAH

A1agrabin : Kerabat dekat

Adoptan atau adoptandus : Anak angkat

Adoptie atau adopt. : Pengangkatan anak atau adopsi

al-Laqith : Anak yang dipungut dan tidak diketahui asal

usulnya secara jelas

Al-musa bih : Harta yang diwasiatkan

Al-musa lah : Yang menerima wasiat

Al-mushaharah : Hasil perkawinan yang sah

Al-musi : Orang yan berwasiat

Al-qarabah, : Hubungan kekerabatan atau keturunan

Array : Susunan urut data

Door echscheiding onbontden : Pecah karena perceraian

Eudomonisme atau Ulitarisme : Manfaat, keuntungan/ kebahagiaan bagi

masyarakat

Extended family : Bentuk keluarga besar

Husnul khatimah : Amal kebaikan

Imperatif. : Bersifat harus ditaati, mengikat dan memaksa

lawan dari persuasif rekomendatif

Ittikhadzahu ibnan : Menjadikannya sebagai anak

Ladzhzah : Rasa enak

Law : Hukum atau Undang-Undang

Law of Rule : Supremasi Hukum

Legitime portie : bagian mutlak dalam warisan


(14)

Luqata : Mengambil anak pungut, artinya pengangkatan anak yang belum dewasa ditemukan di jalan dan tidak diketahui keturunannya.

Mafhum mukhalafah : Logika ”a contrario” suatu metode

pemahaman kalimat dengan menangkap makna di balik yang tersirat

Maqashid : Pemeliharaan tujuan

Mashlahah : (jamaknya mashalih) merupakan sinonim

dari kata manfa’at dan lawan dari kata mafsadat (kerusakan).

Maslahat : Kadang-kadang disebut dengan istilah yang

berarti mencari yang benar

Mumayiz : Orang yang bertindak hukum

Nasab : Nama keturunan

Nuclear family : Bentuk keluarga inti

Political Power : Kekuataan Politik

Problem : Permasalahan

Rule : Kebijakan

Self evident : Kebenaran ideal yang bersifat aksiomatik

Shighat : Lafal ijab dan qabul (ikrar)

Staatsblaad : Lembaran Negara

Tabanny : Anak angkat

Tarikh : Sejarah Islam

Tekstual : Mengatur secara jelas

Testament : Surat wasiat

Tirkah : Harta peninggalan.


(15)

(16)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Syariat Islam mengajarkan berbuat baik kepada setiap orang, seperti memberi makan orang miskin, berinfaq, bersedekah, hibah, wasiat dan sebagainya. Demikian pula halnya pengangkatan anak adalah didasari atas penyantunan dan pemeliharaan. Islam juga menganjurkan untuk memelihara anak orang yang tidak mampu, terlantar dan lain-lain.

Secara historis, pengangkatan anak (adopsi) sudah dikenal dan berkembang sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW. Mahmud Syaltut menjelaskan, bahwa tradisi pengangkatan anak sebenarnya dan dipraktikkan oleh masyarakat dan bangsa-bangsa lain sebelum kedatangan Islam, seperti yang dipraktikkan oleh bangsa-bangsa Yunani, Romawi, India, dan beberapa bangsa pada zaman kuno. Di kalangan bangsa Arab sebelum Islam (masa jahiliyah) istilah pengangkatan anak dikenal dengan

at-tabanni dan sudah ditradisikan secara turun-temurun.1

Imam Al-Qurthubi (ahli tafsir klasik) menyatakan bahwa sebelum kenabian, Rasulullah SAW sendiri pernah mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anak angkatnya, bahkan tidak lagi memanggil Zaid berdasarkan nama ayahnya (Haritsah), tetapi ditukar oleh Rasulullah SAW, dengan nama Zaid bin Muhammad. Pengangkatan Zaid sebagai anaknya ini diumumkan oleh Rasulullah Muhammad SAW, di depan kaum Quraisy. Nabi Muhammad SAW, juga menyatakan bahwa dirinya dan Zaid saling mewarisi. Zaid kemudian dikawinkan dengan Zainab binti Jahsy, putri Aminah binti Abdul Muththalib, bibi Nabi Muhammad SAW. Oleh karena Nabi SAW, telah menganggapnya sebagai anak, maka para sahabat pun kemudian memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad.2

Setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul, turunlah surat

Al-Ahzab (33) ayat 4-5,3 yang salah satu intinya, melarang pengangkatan anak dengan

akibat hukum seperti di atas (saling mewarisi dan memanggilnya sebagai anak kandung. Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa kisah di atas menjadi latar belakang turunnya ayat tersebut.4

Selanjutnya, pengangkatan anak di Indonesia mulanya dijalankan berdasarkan Staatsblaad (Lembaran Negara) Tahun 1917 No.129, dalam ketentuan ini pengangkatan anak tidak saja berasal dari anak yang jelas asal usulnya, tetapi juga anak yang lahir di luar perkawinan yang sah (tidak jelas asal usulnya).5

1

Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 53.

2

Nasroen Haron, dkk., Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hal. 29.

3

Departemen Agama R.I. Al-qur’an Dan Terjemahannya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1984).

4

H. Ahmad Kamil dan H.M. Fuazan, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak di

Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), hal. 99.

5


(17)

Dalam hukum Islam pengasuhan terhadap anak yang tidak jelas asal usulnya, termasuk dalam kelompok ”anak pungut” al-Laqith, yaitu anak yang dipungut dan tidak diketahui asal usulnya secara jelas, karena bayi itu ditemukan di pinggir jalan, dan orang yang menemukan itu mengakui sebagai anaknya, maka nasab anak itu dapat

di-nasab-kan dan dipanggil berdasarkan orang tua angkat yang menemukakannya.6

Dalam perkembangan Hukum Islam di Indonesia terjadi beberapa perkembangan ditandai dengan diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) tahun 1991 sebagai hukum material di lingkungan Peradilan Agama. Peraturan yang mengatur tentang keberadaan Badan Peradilan Agama di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006) yang hanya mengatur tentang hukum formil, sedangkan hukum material diatur di dalam KHI yang diberlakukan dengan Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, tanggal 10 Juni 1991 Jo Keputusan Menteri Agama RI No.154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991, kemudian dikeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan KHI mengandung nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang diformulasikan ke dalam bentuk hukum materil bagi Pengadilan Agama.

Keberadaan KHI membawa perubahan yang cukup penting tetang sistem kewarisan yang selama ini dianut masyarakat Islam Indonesia yang bersumber dari Mazhab Sunni yang pada umumnya bersifat patrinial, sedangkan sistem kewarisan yang bersifat bilateral merupakan himpunan yang digali dari kesadaran hukum masyarakat Islam Indonesia yang telah tumbuh lama dan dijalankan secara sukarela.7

Islam secara tegas melarang pewarisan terhadap anak angkat, untuk itulah para ulama di Indonesia mencari alternatif dengan memberikannya wasiat wajibah, yaitu suatu wasiat yang diperuntukkan bagi anak angkat atau sebaliknya orang tua angkatnya yang tidak diberi wasiat sebelumnya oleh orang tua angkat atau anak angkatnya, dengan pertimbangan akan dapat memberikan ketenteraman dan ketenangan bagi anak angkat. Hal ini tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Pasal 209 ayat (2) memberikan wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) kepada anak angkat.

Dasar melakukan wasiat antara lain terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 180 yang artinya, “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk Ibu Bapa dan karib kerabat secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa”. Kemudian, Surat An-Nisa ayat 11, yang artinya, “... sesudah dipenuhi-dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.

6

H. Ahmad Kamil dan H.M. Fuazan, op. cit., hal. 101. 7

Imran AM, “Hukum Kewarisan dan Hibah Dalam Kompilasi Hukum Islam”, Mimbar


(18)

Wasiat merupakan perikatan yang pada dasarnya suatu tindakan manusia atas dorongan kemauan sendiri8 oleh karena itu wasiat merupakan cara yang dapat digunakan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wajalla.9

Wasiat yang pada dasarnya merupakan kemauan sendiri, namun dalam keadaan tertentu atau kasuistik, penguasa atau hakim sebagai pejabat negara; mempunyai wewenang untuk memaksa atau membuat keputusan wajib wasiat yang kemudian dikenal dengan wasiat wajibah kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu disebabkan karena:10

1. Hilangnya unsur ikhtiar bagi pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan penerima wasiat.

2. Ada kemiripan dengan ketentuan pembagian harta waris dalam hal penerimaan laki-laki 2 (dua) kali lipat bagian perempuan.

Dari penjelasan di atas, adapun orang yang berhak menerima wasiat wajibah adalah cucu laki-laki maupun perempuan baik dari pacar laki-laki maupun perempuan yang orang tuanya mati mendahului atau bersamaan dengan kakeknya.

Ketentuan hukum tentang wasiat wajibah terhadap anak angkat belum terlaksana sepenuhnya, hanya mengikuti cara menurut agama dan adat istiadat. Khususnya bagi umat Islam Indonesia ketentuan hukumnya diatur dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan berlandaskan kepada Instruksi Presiden Tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991, No.1, pada konsiderans menimbang point (b dan c) disebutkan bahwa: “Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut. Bahwa oleh sebab itu Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a perlu disebarluaskan.”11

Mengenai ketentuan wasiat wajibah anak angkat di dalam Kompilasi Hukum Islam diatur pada Pasal 209 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut: “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan orangtua angkatnya.”12

Dalam KHI sebagaimana yang tersebut pada Pasal 171 huruf (h) istilah anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidup sehari-hari biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Sedangkan pada Hukum Perdata, adopsi membawa akibat demi hukum, bahwa orang yang diadopsi, jika ia mempunyai nama keturunan lain daripada laki-laki yang mengadopsinya sebagai

8

Fatchur Rahman, Hukum Waris.., op. cit., hal. 62. 9

M. Hasballah Thaib, Perbandingan Mazhab dalam Ilmu Hukum Islam, (Medan: PPS-USU, 1999), hal. 124.

10

Fatchur Rahman, Hukum Waris..., op. cit., hal. 63. 11

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), hal.44.

12

M.Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam, Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, Mimbar Hukum No.5 Thn.III, (Jakarta: Yayasan al-Hikmah Ditbinbaperas, 1992), hal.22.


(19)

anak laki-lakinya, memperoleh nama keturunan dari orang yang mengadopsi sebagai ganti dari nama keturunan orang yang diadopsi itu.13 Bila orang-orang yang kawin mengadopsi seorang laki-laki, maka ia dianggap dilahirkan dari perkawinan mereka.14

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pada awalnya tidak diatur dan tidak mengenal lembaga pengangkatan anak. Namun karena kebutuhan di lingkungan masyarakat Tionghoa, yang terhadapnya berlaku KUH Perdata, adopsi atau pengangkatan anak diatur secara tersendiri dalam Staatsblad 1917 No.129.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak, yang mengatur prosedur hukum mengajukan permohonan pengesahan dan/atau permohonan pengangkatan anak, memeriksa dan mengadilinya oleh Pengadilan. Tetapi, di dalam prakteknya masih banyak kasus pengangkatan anak yang berdampak negatif. Untuk itu Mahkamah Agung pada tanggal 30 September 1983 mengeluarkan kembali Surat Edaran Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak, yang menyatakan bahwa permohonan pengesahan/pengangkatan anak diajukan kepada Pengdilan Negeri yang kemudian diputus tampak kian bertambah. Baik merupakan permohonan khusus pengesahan/pengangkatan anak. Yang terakhir ini menunjukkan adanya perubahan/variasi-variasi pada motif dasarnya. Keadaan tersebut merupakan gambaran, bahwa kebutuhan akan pengangkatan anak dalam masyarakat makin bertambah dan dirasakan bahwa untuk memperoleh jaminan kepastian hukum itu hanya didapat setelah memperoleh suatu putusan Pengadilan.15

Bahwa kendati semangat perumusan KHI mengarah ke sistem bilateral, kedudukan anak angkat tetap diletakan di luar ahli waris, sama dengan yang terdapat dalam fiqih mawaris selama ini, namun dengan mengadaptasi nilai hukum adat secara terbatas ke dalam nilai hukum Islam karena beralihnya tanggung jawab orang tua asal kepada orang tua angkat mengenai pemeliharaan kehidupan sehari-hari dan biaya pendidikan berdasarkan putusan pengadilan, seperti yang disebutkan dalam huruf h, Pasal 171 KHI.16.

Dalam KHI lebih tegas dijelaskan, pengangkatan seorang anak hanyalah sebagai anak asuh bukan menjadikannya sebagai anak kandung, apabila orang tua yang menginginkan mengangkat anak hanya bermotivasi sosial atau semacam orang

13

Soedharyo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal.7.

14

Ibid, hal.7. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 tentang pemeriksaan permohonan pengesahan/penangkatan anak, dan Keputusan Menteri Sosial Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak menegaskan syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah kawin lima tahun.

15

Bagian Umum, Surat Edaran Mahkamah Agung R.I. Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak

16

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di


(20)

tua asuh,17 justru sangat dianjurkan, perlu digaris bawahi disini adalah bahwa larangan status pengangkatan anak tidak dibenarkan menjadi anak kandung sendiri.

Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka dilakukan pengkajian Kewarisan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Staatsblad 1917 No.129 (Penelitian Pada Pengadilan Agama Medan).

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana prosedur pengangkatan anak dalam Kompilasi Hukum Islam dan Staastblad 1917 No.129?

2. Bagaimana akibat hukum pengangkatan anak menurut Kompilasi Hukum Islam dan Staatsblad 1917 No.129?

3. Bagaimana kewarisan anak angkat menurut Kompilasi Hukum Islam dan Staatsblad 1917 No.129?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui prosedur pengangkatan anak dalam Kompilasi Hukum Islam dan Staatsblad 1917 No.129.

2. Untuk mengetahui apa akibat hukum pengangkatan anak menurut Kompilasi Hukum Islam dan Staatsblad 1917 No.129

3. Untuk mengetahui kewarisan anak angkat menurut Kompilasi Hukum Islam dan Staatsblad 1917 No.129

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan peraturan perundang-undangan tentang hak anak angkat dari orang tua angkat dalam Kompilasi Hukum Islam dan Staatsblad 1917 No.129.

2. Secara Praktis dapat bermanfaat bagi penyelesaian masalah pewarisan terhadap anak angkat.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya dilingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul Kewarisan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dan Staatsblad 1917 No.129 (Penelitian Pada Pengadilan Agama Medan), belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, dengan demikian penelitian ini adalah asli.

17


(21)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori yang digunakan sebagai alat atau pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori maslahat. Secara etimologi kata maslahat, jamaknya mashalih berarti sesuatu yang baik, yang bermanfaat dan merupakan lawan dari keburukan atau kerusakan. Maslahat kadang-kadang disebut dengan istilah yang berarti mencari yang benar. Esensi maslahat adalah terciptanya kebaikan dan kesenangan dalam kehidupan manusia serta terhidar dari hal-hal yang dapat merusak kehidupan umum18

Ibn Taymiyyah, sebagaimana dikutip oleh syekh Abu Zahrah,19 mengatakan bahwa yang dimaksud dengan maslahat ialah pandangan mujtahid tentang perbuatan yang mengandung kebaikan yang jelas dan bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum syara’.

Oleh karena itu masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat.20

Menurut Kamus Bahasa Indonesia manfaat artinya guna, faedah.21 Dalam Bahasa Arab manfaat disebut mashlahah (jamaknya mashalih) merupakan sinonim dari kata manfa’at dan lawan dari kata mafsadat (kerusakan). Secara majas, kata ini juga dapat digunakan untuk perbuatan yang mengandung manfaat. Kata manfaat sendiri selalu diartikan dengan ladzhzah (rasa enak) dan upaya mendapatkan atau mempertahankannya.22

Menurut Radbruch dalam Chainur Arrasyid yang dimaksud dengan nilai kegunaan ialah kenyataan apakah hukum tersebut bermanfaat/berguna bagi masyarakat.23 Pada dasarnya suatu putusan hakim harus bermanfaat, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat. Masyarakat dalam hal ini berkepentingan, karena masyarakat menginginkan adanya keseimbangan tatanan dalam masyarakat. Dengan adanya sengketa keseimbangan tatanan di dalam masyarakat itu terganggu, dan keseimbangan yang terganggu harus dipulihkan kembali.24

18

H.M.Hasballah Thaib, 2002, Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, Konsentrasi Hukum Islam Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, (Medan: 2002).

19

Nasrun Haroen, 1997, Ushul Fiqh, PT. Logos Wacana Ilmu, Ciputat, hal. 126. 20

Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1988), hal. 134 – 135.

21

Bambang Marhijanto, Kamus Lengkap Bahasa Ind Masa Kini, (Surabaya: Penerbit Terang Surabaya, 1999), hal. 236.

22

Husein Hamid Hassan, Nazhariyah Mashlahah Fi Fiqh Islami, (Kairo: Al-Mutanabbi, 1981), hal. 4, dalam Jamaluddin, Analisis Hukum Perkawinan Terhadap Perceraian

Dalam Masyarakat Kota Lhokseumawe Dan Kabupaten Aceh Utara , Disertasi, (Medan: PPs-USU, 2008,

hal. 23. 23

Chainur Arrasyid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal. 18. 24

Sudikno Mertokusumo, 1996, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1996), hal. 90.


(22)

Dalam kehidupan sosial ada nilai-nilai yang lebih tinggi dan nilai-nilai yang lebih rendah, dan yang lebih rendah harus tumbuh menjadi yang lebih tinggi.25 Jadi hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.26

Kompilasi Hukum Islam hadir dalam hukum Indonesia melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan diantisipasi secara organik oleh Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Terpilihnya Inpres menunjukkan fenomena tata hukum yang dilematis pada satu segi, pengalaman implementasi program legislatif nasional memperlihatkan Inpres berkemampuan mandiri untuk berlaku efektif di samping instrumen hukum lainnya, karena memiliki daya atur dalam hukum positif nasional dan pada segi lain Inpres tidak terlihat sebagai salah satu instrumen dalam tata perundang-undangan.

Inpres Nomor 1 Tahun 1991 menginstruksikan kepada Menteri Agama Republik Indonesia supaya menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah terkait maupun masyarakat yang memerlukannya.

Atmadja berpendapat bahwa Inpres sebagai perintah, petunjuk dan atau pedoman bukanlah peraturan perundang-undangan akan tetapi sama halnya dengan surat edaran, surat perintah, nota yang memberikan kewenangan badan/pejabat tata usaha negara untuk pelaksanaan pemerintah sehari-hari.27

Instruksi Presiden ini bersifat teknis operasional untuk melaksanakan sesuatu hal yang bersifat mendesak untuk ditangani secepatnya.28 Lembaga ini muncul dalam. praktek pemerintah wewenang kepala negara untuk mengintruksikan sesuatu dalam rangka implementasi program legislatif dan/atau eksekutif. Dipilihnya instrumen Inpres lebih banyak merupakan putusan pertimbangan praktek ketimbang teknis perundangan. 29

Di lihat dari tata hukum Nasional, KHI dihadapkan dua pandangan yaitu: Pertama, sebagai hukum yang tidak tertulis seperti yang ditunjukkan oleh penggunaan instrumen hukum berupa Inpres yang tidak termasuk dalam rangkaian tata urutan peraturan perundang-undangan yang menjadi sumber hukum tertulis. Kedua, KHI dapat dikategorikan sebagai hukum tertulis, sumber

25

Friedmann, 1990, Teori dan Filsafat Hukum, Idialisme Filosofi dan Problema Keadilan, (Susunan II), (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hal. 120.

26

Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, 2001, Dasar-dasar Filsafat Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 16.

27

Atmadja Gede, “Hukum Dalam Teori Dan Praktek”, Kumpulan Karangan Majalah Ilmiah, (FH Udayana, 1994), hal 111.

28

Daman Rozikin, Hukum Tata Negara (Suatu Pengantar), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hal 78.

29

Nur Fadhil Lubis, Hukum Islam Dalam Kerangka Teori Fiqih Dan Tata Hukum Indonesia, (Medan: Pustaka Ubidya Sarana, 1995), hal.139.


(23)

yang ditujukan KHI berisi Law dan Rule yang pada gilirannya terangkat menjadi

Law dengan potensi Political Power.30

KHI merupakan suatu tonggak panting bagi lebih berperannya Hukum Islam di Indonesia. Posisi hukum Islam menjadi lebih tegas dengan adanya beberapa produk undang-undang dan kebijakan hukum pemerintahan orde baru pada beberapa dasawarsa terakhir. Setiap pengamat hukum bisa menyebutkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan agama dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, sebagai contoh penting terjadi pergeseran beberapa bagian hukum Islam yang universal kearah hukum positif tertulis dari suatu negara.

Pengertian Anak angkat secara bahasa atau etimologi dapat diartikan sebagal berikut: Pertama, anak angkat dalam bahasa Arab disebut "tabanny" 31 yaitu suatu kebiasaan pada masa jahiliyah dan permulaan Islam, yaitu apabila seorang mengangkat anak orang lain sebagai anak, maka berlakulah terhadap anak itu hukum-hukum yang berlaku atas anak kandung dan menurut Muhammad Yunus mengartikannya dengan mengambil anak angkat, sedangkan dalam Kamus Munjid diartikan ‘ittikhadzahu ibnan’, yaitu menjadikannya sebagai anak.32 Kedua anak angkat yang berasal dari kata “luqata” yang berarti mengambil anak pungut artinya pengangkatan anak yang belum dewasa ditemukan di jalan dan tidak diketahui keturunannya.

Pengangkatan anak juga dikenal dengan istilah adopsi yang berasal dari bahasa Inggris yaitu “adoptie” atau “adopt”.33 Pengertiannya dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum adalah Pengangkatan seorang anak untuk diangkat menjadi anak kandung.34

Sejalan dengan pengertian anak angkat, Abdullah Syah manyatakan bahwa unsur-unsur pengangkatan anak itu adalah:

1. Ada anak yang bukan anak sendiri. 2. Ada bapak yang bukan bapak sendiri.

3. Ada kesepakatan diantara kedua belah pihak untuk melakukan pengangkatan anak (untuk bertindak sebagai anak angkat dan bapak angkat).

4. Status nasab kedua belah pihak tidak berubah.35

30

Abdul Ghani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hal 61-62.

31

H. Ahmad Kamil dan H.M. Fauzan, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak di

Indonesia, (PT. RajaGrafindo Persada, 2008), hal.100.

32

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarata: Hidakarya Agung, 1972), hal.4. 33

Muderis Zaini, Op. Cit., hal. 4. 34

R. Soebekti, Kamus Hukum, (Semarang, CV. Aneka Ilmu, 1995), hal.10. 35

H.Abdullah Syah, dkk, Laporan Penelitian Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Adat

Terhadap Anak Angkat Pada Suku Melayu Kecamatan Tanjung Pura Langkat, (Medan: Balai


(24)

Khusus untuk pengertian yang diberikan Kompilasi Hukum Islam mesti dapat dibuktikan dengan adanya putusan Pengadilan.36

Selanjutnya, alasan pengangkatan anak yaitu :

a. Seorang mengambil anak orang lain sebagai anak angkatnya, karena merasa sedih melihat anak itu, sebab pendidikannya tidak terurus, keperluan sehari-harinya juga tidak terpenuhi dikarenakan orang tuanya tidak punya sama sekali atau miskin. Orang tua yang hendak mengangkat anak itu mengetahui dengan jelas bahwa anak itu terlantar, dikarenakan orang tuanya tidak mengakuinya sebagai anak kandungnya yang menyebabkan anak tersebut terlunta-lunta. Dalam hal seperti ini dapat diakui sebagai anak angkat akan tetapi jika anak yang diangkat tersebut seorang perempuan bila hendak dikawinkannya yang menjadi walinya tetap diserahkan kepada orang tua kandungnya, tidak kepada bapak angkatnya, bapak angkatnya hanya boleh memberikan hartanya kepada anak tersebut yang bukan atas nama ahli waris, akan tetapi berbentuk wasiat wajibah dengan ketentuan tidak boleh lebih dari sepertiga hartanya.

b. Seorang mengambil anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak angkat dan anak angkat tersebut dianggapnya sebagai anak kandungnya begitu juga dengan nasabnya dihilangkannya dan beralih kepada nasab bapak angkatnya.37

Alasan yang kedua bertentangan dengan ajaran Islam, karena tradisi seperti ini terjadi pada zaman jahiliyah yang menjadikan anak angkat menjadi anak kandung, hal ini dilarang dan tidak diakui oleh ajaran Islam.

Pengangkatan anak pada masyarakat hukum adat dapat dilakukan dengan cara:38

1. Tunai/kontan artinya bahwa anak itu dilepaskan dari lingkungannya semula dan dirnasukkan kedalam kerabat yang rnengadopsinya dengan suatu pembayaran benda-benda magis, uang, dan/atau pakaian.

2. Terang artinya bahwa adopsi dilaksanakan dengan upacara-upacara dengan bantuan para Kepala Persekutuan, ia harus terang diangkat ke dalam tata hukurn masyarakat.

Menurut Stb. 1917 Nomor 129 tentang Adopsi, bahwa akibat hukum dari perbuatan adopsi sebagai berikut ;

a. Sesuai dengan Pasal 11 bahwa anak adopsi secara hukum mempunyai nama keturunan dan orang yang mengadopsi.39

36

Ibid, hal 46-47. 37

M. Ali Hasan, Masahil Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum

Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal.118-119.

38

Iman Sudiyat, Hukum Adat-Sketsa Adat, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hal.102. 39

Pasal 11 berbunyi : “…bahwa orang yang diadopsi, jika mempunyai nama keturunan lain dari pada laki-laki yang mengadopsinya sebagai anak laki-lakinya memperoleh nama keturunan dari orang yang mengadopsi sebagai ganti dari pada nama keturunan orang yang diadopsi itu.”


(25)

b. Sesuai Pasal 12 ayat (1) bahwa anak adopsi dijadikan sebagai anak yang ditahirkan dari orang yang mengadopsi. Konsekwensinya, anak adopsi, menjadi ahli waris dari orang yang mengadopsi.40

Terhadap Pasal 12 tersebut J.Satrio berkomentar, konsekwensi lebih lanjut adalah bahwa karena dianggap dilahirkan dari perkawinan orang yang mengadopsi, maka dalam keluarga adoptan, adoptandus berkedudukan sebagai anak sah, dengan konsekwensinya lebih lanjut.41 Karena adopsi, maka terputus segala hubungan keperdataan antara anak adopsi dengan orang tua kandungnya.42

Pasal 39 Undang-Undang Nornor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dinyatakan:

1. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak memutuskan hubungan darah antara yang diangkat dan orang tua kandungnya.

3. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.

4. Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

5. Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.

Selanjutnya Pasal 40 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan:

1. Orang tua angkat wajib memberi tahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya.

2. Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (l) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.

Menurut hemat peneliti bahwa semua ajaran agama dan juga hukum adat melarang perkawinan sedarah. Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap anak angkat maka orang tua angkat harus mempunyai data yang jelas mengenai asal usul keluarga anak angkat dan pada saat yang tepat wajib memberitahukannya kepada anak angkatnya.43

Sehubungan dengan itu Hazairin mengemukakan :

Masyarakat yang belum dikenal dapat dicoba mengenalnya pada pokok-pokoknya dengan mempelajari hukum yang berlaku dalam masyarakat, yaitu hukum yang mencerminkan masyarakat dari seluruh hukum maka hukum

40

Bunyi pasal 12 ayat (1) yang menyatakan ; Bila orang-orang yang kawin mengadopsi seorang anak laki-laki, maka ia dianggap dilahirkan dari perkawinan mereka.

41

J.Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal.236.

42

Pasal 14 dan Pasal 15 Stb.1917 No.129 43

Berdasarkan pasal 79 Undang-Undang No.23 tahun 2002, tentang Perlindungan Anak bahwa pengangkatan anak yang bertentangan dengan pasal 39 ayat (1), (2 ) dan (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000,-


(26)

perkawinan dan hukum kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Bentuk kekeluargaan yang berpokok pada sistem (garis) keturunan. Pada pokoknya ada 3 (tiga) sistem keturunan yaitu :

a. Patrilinial b. Matrilinial.

c. Parental (Bilateral).”44

Walaupun aplikasi anak angkat ini secara terperinci berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya maka di hukum adat anak angkat secara otomatis dimasukkan ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat, hubungan hukum antara anak angkat dan orang tua kandung terputus, dan posisi hukum anak angkat dalam kewarisan sama dengan anak kandung.45

Di dalam hukum adat dikenal pengangkatan anak. Cara memperoleh atau mengangkat anak adalah dengan : Anak itu diambil dari lingkungan asalnya dan dimasukkan dalam keluarga orang yang mengangkat ia menjadi anak angkat. Lazimnya tindakan ini disertai dengan penyerahan barang-barang magis atau sejumlah uang kepada keluarga anak semula.46

Secara garis besar hak waris anak angkat dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) cara pewarisan, yaitu :

1. Anak angkat tidak berhak mewarisi sama sekali atas harta orang tua angkatnya. 2. Anak angkat berhak mewarisi harta warisan orang tua angkatnya, akan tetapi

terbatas pada harga gono gini saja. Misalnya di Pariaman, Lembang dan Ciamis, yang terkenal dengan istilah “mendapat air dari dua sumber”.47

3. Anak angkat berhak mewarisi harta orang tua angkatnya, baik dari harta gono gini maupun harta peninggalannya. Cara pewarisan seperti ini biasanya merupakan konsekuensi logis dari putusnya hubungan antara si anak dengan orang tua kandungnya, misalnya di daerah Batak karo dengan persyaratan bahwa anak tersebut diangkat sebelum ia mempunyai anak sendiri.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak diatur dan tidak mengenal lembaga pengangkatan anak, namun karena kebutuhan di lingkungan masyarakat Tionghoa, yang terhadapnya berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adopsi atau pengangkatan anak diatur secara tersendiri dalam Staatsblad 1917 No. 129. Di lingkungan golongan penduduk Tionghoa hanya dikenal adopsi anak laki-laki dengan motif untuk mendapatkan keturunan laki-laki. sebab menurut kepercayaan yang hidup di lingkungan masyarakat Tionghoa, hanya anak laki-laki saja yang berwenang memakai nama keluarga dengan maksud melanjutkan marganya, serta melakukan upacara penghormatan kepada leluhurnya, karena perkembangan masyarakat Staatsblad 1917 No. 129 tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan hukum masyarakat

44

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Tinta Mas, 1997), hal.9. 45

M.Yahya Harahap, Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat Dalam Hukum Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hal.100-115.

46

Suroyo Wognjodiputro, Pengantar Dan Asas Hukum Adat, (Bandung: Sumur, 1979). hal.1 47


(27)

khususnya golongan Tionghoa. Golongan tersebut telah meninggalkan adat istiadat di negara asalnya dan banyak mengikuti nilai-nilai yang hidup di Indonesia, hal ini dapat dimengerti mengingat lingkungan hidup mereka adalah di Indonesia yang berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang tidak membenarkan adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Anak wanita mempunyai derajat dan martabat yang sama dengan anak laki-laki. Di dalam Staatsblad 1917 No.129, cara-cara pengangkatan anak diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 10.

Pemeliharaan anak dianjurkan oleh Islam terutama memelihara anak yatim, anak miskin dan sebagainya. Oleh karena itu perlu diperhatikan larangan Islam seperti memutuskan hubungan nasab dengan orang tua kandung, menyamakan pembagian harta warisan anak angkat dengan anak kandung dan menjadikan anak angkat sebagai budak yang tidak bermartabat.

Pengangkatan anak dapat dibenarkan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

- Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandung dan keluarganya.

- Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkat, melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya.

- Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara langsung.

- Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap anak angkatnya.48

Anak angkat dalam arti memelihara, mendidik dan mengasuh seorang anak lain sangat dianjurkan dalam Islam. Tetapi penamaan anak angkat tidak serta merta menjadikannya sama dengan anak kandung. Hukum Islam tidak mengakui pengangkatan anak, sehingga anak angkat tidak diakui untuk dijadikan sebagai dasar dan sebab mewaris, karena prinsip pokok dalam kewarisan adalah hubungan darah atau arhaam.49

Inpres No. 1 tahun 1991 diharapkan dapat lebih memsosialisasikan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam. Konklusi dari alur pikiran yang berbeda sedapat mungkin dihindari, begitu juga halnya dalam permasalahan warisan terhadap anak angkat, wasiat wajibah merupakan alternatif yang ditawarkan untuk memenuhi rasa keadilan di masyarakat.

Syari’ah Islam merupakan syari’ah yang universal, Al-Qur’an sebagai pokok yang fundamental dalam syari’at Islam berisi ketentuan-ketentuan yang lengkap. Hal ini mencakup ke segenap bentuk tingkah laku manusia yang akan muncul di masa yang akan datang. Semua tingkah laku itu dapat diukur dengan norma dan ukuran

48

M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, (Jakarta: Akademika Presindo, 1991), hal. 18.

49

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Y.P.Universitas Indonesia, 1974), hal. 152.


(28)

yang pedomannya terdapat dalam Al-Qur’an. Dengan demikian garis hukum apapun yang akan dibuat oleh manusia dapat diukur menurut Al-Qur’an.

Ada tiga cara pendekatan untuk memahami Islam atau syari’at Islam, yakni dengan pendekatan nakli atau tradisional, pendekatan aqli atau akal dan pendekatan kasyfi atau mistik. Ketiga pendekatan tersebut sudah ada sejak zaman nabi Muhammad SAW, dan terus digunakan oleh ulama-ulama selanjutnya. Ketiga pendekatan tersebut, salah satu diantaranya sangat berkembang dan berpengaruh, dan pada masa yang lain menjadi berkurang, silih berganti secara pasang surut.50

Memperhatikan pernyataan di atas, suatu saat orang memahami syari’at Islam dengan mengutamakan nakli dari pada akli dan sebaliknya, oleh karena itu memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat dalam memahami syari’at Islam. Pemahaman itu dapat berbeda antara lain karena nash syari’at bersifat umum, dan nash syari’at itu mempunyai beberapa makna sehingga ada alternatif makna yang terkandung dalam nash.

Menurut Hasballah, “sifat nash tersebut menunjukkan kebijakan Allah SWT, karena makhluk ciptaan-Nya memiliki perbedaan kemampuan atau daya kecerdasan sendiri-sendiri.”51

Pernyataan di atas dapat dipahami bahwa hukum Islam selalu berkembang karena akan menjawab masalah yang ada. Hukum Islam mempunyal kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai daya hidup, dapat membentuk dirinya sendiri dengan perkembangan dan kemajuan. Oleh karena itu menurut Hasballah Thaib“dalam mempelajari fiqih diperlukan daya kritis dengan menggunakan metodologi pengkajian yang digunakan.”52 Dengan pengertian lain apa yanq tertuang di dalam kitab-kitab fiqih tidak mutlak diterima dan diaplikasikan, melainkan harus diperhitungkan relevansinya dengan masa dan kondisi dimana akan diterapkan.

Al-Qur’an berisi ketentuan-ketentuan yang universal, ketentuan-ketentuan yang bersifat garis besar dan umum itu merupakan pengkajian dan perumusan untuk dapat diterapkan secara konkrit. Hal ini penting agar tidak terjadi kesenjangan dan kevakuman hukum dalam suatu masyarakat. Adanya ketentuan wasiat wajibah dalam KHI merupakan jembatan yang menutupi ketimpangan yang terjadi selama ini antara anak angkat dan orang tua angkat yang tidak terjadi saling mewarisi, karena memang tidak ada ketentuan sating mewarisi antara keduanya. Keadaan ini telah menyebabkan terjadi kekosongan hukum. Anak angkat yang telah sangat berjasa, merawat dan memelihara orang tua angkat tidak mendapat harta peninggalan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia, atau sebaliknya, kecuali orang tua angkat atau anak angkat itu telah lebih dahulu membuat wasiat. Kalau tidak anak angkat atau orang tua angkat itu tidak mendapat harta apapun. Hal ini telah terasa tidak adil dalam

50

Hasballah Thaib, Memahami Islam Secara Rasional, (Medan: Program Pascasarjana USU, 1998), hal. 4.

51

Ibid., hal. 4. 52

Hasballah Thaib, Elastisitas Hukum Fiqh Islam, (Medan: Program Pascasarjana USU, 1999), hal. 11.


(29)

masyarakat. Anak angkat yang telah mengabdi begitu lama untuk kemaslahatan orang tua angkat atau anak angkat tidak mendapat bagian harta.

2. Konsepsi

Dari dalil Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 18053 dapat dipahami bahwa kewajiban berwasiat adalah dengan ketetapan, agama yang harus dilaksanakan dan bukan dengan keputusan hakim, namun demikian penguasa atau hakim sebagai aparat negara yang mempunyai kekuasaan di dalarn satu pemerintahan, mempunyai hak dan wewenang untuk memaksa seseorang memberikan wasiat atau memberikan surat putusan wajib wasiat, yang terkenal dengan istilah "Wasiat Wajibah" kepada orang tertentu dan dalam keadaan tertentu pula.

Dikatakan wasiat wajibah disebabkan dua hal

a. Hilangnya unsur ikhtiar bagi si pemberi wasiat dan muncuinya unsur kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung kepada orang yang berwasiat dan keputusan si penerima wasiat.

b. Adanya kemiripan dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam penerimaan laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.54

Kitab Undang-Undang Hukum Wasiat Mesir dalam Pasal 78 mewajibkan pelaksanaan wasiat wajibah tersebut tanpa tergantung pada perizinan ahli waris walaupun si mati tidak mewasiatkannya, setelah dipenuhi perawatan dan pelunasan hutang dan wasiat wajibah tersebut harus didahulukan dan wasiat-wasiat lainnya.55

Wasiat wajibah adalah hasil kompromi pendapat-pendapat Ulama Salaf dan Ulama Khalaf, yaitu

a. Tentang kewajiban berwasiat kepada kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka ialah diambil dari pendapat fuqoha dan tabi'in besar ahli fiqih dan ahli hadist, antara lain Said Ibnu Musayyab, Hasanul Bishry, Thawus, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan Ibnu Hazm.

b. Pemberian sebagian harta peninggalan si mati kepada kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka yang berfungsi sebagai wasiat wajibah, bila si mati tidak berwasiat adalah diambil dari pendapat Ibnu Hazm yang dinukil dari fuqaha, tabiin dan dari pendapat mazhab imam Ahmad.

c. Pengkhususan kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka kepada cucu dan pembatasan penerimaan kepada sepertiga peninggalan adalah didasarkan kepada pendapat Ibnu Hazm dan berdasarkan kaidah syari'ah: "pemegang kekuasaan mempunyai wewenang memerintahkan perkara yang

53

Qur’an dan Terjemahannya, Surat Al-Baqarah ayat 180, yang artinya: “diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.

54

Fathur Rahman, Ilmu Waris…, Op.Cit., hal. 63. 55


(30)

mubah, karena ia berpendapat bahwa hal itu akan membawa kemaslahatan umum. Bila penguasa memerintahkan demikian wajiblah ditaati.56

Selanjutnya sebagai pendefinisian konsepsi dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.57

b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.58

c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.59

d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.60

e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.61 f. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau

lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.62

g. Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidup sehari-hari biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.63

h. Wasiat Wajibah adalah wasiat yang diwajibkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang diperuntukkan bagi anak angkat atau sebaliknya orang tua angkatnya yang tidak diberi wasiat sebelumnya oleh orang tua angkat atau anak angkatnya, dengan jumlah maksimal 1/3 dari harta peninggalan.64

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif karena tesis ini didukung oleh data yang diperoleh dari kepustakaan dengan jalan mengumpulkan data sekunder baik barupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

56

Ibid., hal. 65-66. 57

Pasal 171 huruf a KHI 58

Pasal 171 huruf b KHI 59

Pasal 171 huruf c KHI 60

Pasal 171 huruf d KHI 61

Pasal 171 huruf e KHI 62

Pasal 171 huruf h KHI 63

Pasal 171 huruf h KHI 64

H. Ahmad Kamil dan H.M. Fauzan, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak di


(31)

Penelitian ini bersifat deskriptif. Deskriptif artinya penelitian ini termasuk dalam lingkup penelitian yang menggambarkan penerapan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaanya ditengah-tengah masyarakat dengan tujuan untuk menjelaskan secara sistematis, faktual dan akurat.65

2. Metode Penelitian

Penulisan ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dimana penelitian ini dilaksanakan dengan cara meneliti bahan-bahan perpustakaan yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti, serta dokumen-dokumen berkas kasus yang terdapat pada Pengadilan Agama Medan, juga mencari informasi kepada hakim Pengadilan Agama dan Panitera, kalaupun ada penelitian yuridis empiris hanyalah sebagai pendekatan pendukung dalam penelitian ini

3. Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian dilakukan pada Pengadilan Agama Medan dan wilayah hukumnya. Pertimbangannya mudah dijangkau dan banyak kasus yang terjadi yang harus segera diselesaikan oleh Pengadilan Agama Medan, mengingat jumlah penduduknya kebanyakan/mayoritas beragama Islam, yaitu dengan jalan mengambil hasil putusan para hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyangkut perkara hak anak angkat.

4. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri yang sama,66 Maka penelitian ini adalah aparat Pengadilan Agama Medan terdiri dan Hakim dan Panitera. Berdasarkan populasi, ditentukanlah sampel dengan dengan cara purposive yaitu mengambil pihak-pihak tertentu yang diperlukan dapat memberikan informasi data tentang permasalahan yang diteliti.67 Sehubungan dengan penentuan sampel tersebut, Klaus Krippendorf, mengatakan tidak ada jawaban yang pasti untuk menjawab persoalan berapa jumlah sampel yang dapat mewakili populasi.68

Berdasarkan keterangan di atas peneliti menetapkan unit-unit utama yang akan menjadi sampel penelitian kepada para informan.

Adapun informan yang terlibat dalam penelitian ini adalah berjumlah 4 (empat) orang, yang terdiri dari :

a. 3 (tiga) orang Hakim b. 1 (satu) orang Panitera.

65

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 35.

66

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 121. 67

Sanfiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 67. 68

Klaus Krippendorf, Analisi Isi Pengantar Teori dan Metodologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1983), hal. 96


(32)

5. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan untuk penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahuluan yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini berupa peraturan-peraturan dan pendapat para ahli hukum Islam.

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi : 1). Bahan hukum primer yaitu berupa Al-Qur'an dan Al-Hadist.

2.) Bahan hukum Sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, hal ini berupa hasil seminar, pertemuan ilmiah, pendapat pakar hukum sepanjang relevan dengan objek telaah penelitian ini.

3). Bahan hukum Tertier yaitu hukum penunjang dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti Ensiklopedia.

6. Analisis Data

Setelah semua data primer dan sekunder terkumpul, maka langkah berikutnya adalah menganalisa dan mengolah data. Yang pertama sekali dilakukan adalah mengorganisasi data dan mengkategorikannnya yang bertujuan menemukan jawaban dari permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Kemudian data yang telah terkumpul tersebut “diklasifikasikan sehingga merupakan suatu susunan urut data

(array) untuk selanjutnya mengambil kesimpulan”.69

Selanjutnya data tersebut diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kwalitatif artinya data yang telah diklasifikasikan dipaparkan kembali dengan menggunakan kalimat yang sistematis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif yang bertujuan menginventarisir peraturan peraturan yang berhubungan dengan tujuan tulisan ini.

Pada prosedur deduktif, bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui (diyakini) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus. Pada prosedur ini, kebenaran pangkal merupakan kebenaran ideal yang bersifat aksiomatik (self evident) yang esinsi kebenarannya sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi.70 Sedangkan pada prosedur induktif, proses berasal dari proposisi/proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru) berupa asas umum. Sehingga dari kegiatan analisis ini diperoleh kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diteliti dan sesuai dengan tujuan penelitian.

69

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Bineka Cipta, 1986), hal. 244.

70


(33)

II. PROSEDUR PENGANGKATAN ANAK DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN STAATSBLAD 1917 NO.129

A. Prosedur Pengangkatan Anak menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Salah satu tujuan pengangkatan anak adalah untuk menyalurkan rasa cinta dan kasih sayang yang ada pada dirinya. Adopsi atau pengangkatan anak ditekankan kepada segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan memenuhi segala kebutuhannya. Dilihat dari segi keadilan sosial, pengangkatan anak membuka kesempatan kepada si kaya untuk beramal melalui wasiat dan memberikan hak kepadanya untuk mewasiatkan sebahagian dari harta peninggalannya kepada anak angkatnya untuk menutupi kebutuhannya di hari depan, sehingga tidak terhalang pendidikan dan penghidupannya, perbuatan seperti ini adalah merupakan pancaran kecintaan kepada Allah SWT, sebagai satu misi Islam yang sangat utama dalam menegakkan keadilan sosial. Dilihat dari budi pekerti dan sosial, orang yang melakukan adopsi berarti ia melakukan perbuatan yang sangat baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini relevan bagi orang yang mengambil anak yang bertujuan memeliharan secara baik-baik dan penuh kasih sayang.

Menurut Hasballah Thaib ada beberapa alasan seseorang untuk melakukan pengangkatan anak diantarannya: 71

a. Untuk menghilangkan rasa kesunyian diri atau kehidupan keluarga dalam suatu rumah tangga yang telah dibina bertahun-tahun tanpa kehadiran seorang anak. b. Untuk melanjutkan garis keturunan, terutama sekali bangsa yang menganut

sistem pengabdian kepada leluhur (vooronder verering).

c. Karena niat baik untuk memelihara dan mendidik anak-anak yang terlantar, menderita, miskin dan sebagainya. Dalam hal ini dengan tidak memutuskan hubungan biologi dengan orang tua kandungnya.

d. Untuk mencari tenaga kerja atau membantu dalam melaksanakan pekerjaan rutin yang bersifat intern maupun ekstern.

e. Untuk mencapai dan mencari tempat bergantung hidup dihari tua kelak.

f. Untuk memberikan kepuasan bathiniah bagi keluarga yang sangat membutuhkan kehadiran seorang anak dari kehidupan rumah tangga dan seluruh keluarganya.

Tim pengkajian bidang Hukum Islam pada pembinaan Hukum Nasional dalam seminar pengkajian Hukum 1980/1981 di Jakarta yang mengusulkan pokok-pokok pikiran sebagai bahan penyusunan rancangan Undang-Undang tentang anak angkat yang dipandang dari sudut hukum Islam. Pokok-pokok pikiran tersebut antara lain:72

a. Hukum Islam tidak melarang adanya lembaga adopsi, bahkan membenarkan dan menganjurkan demi untuk kesejahteraan anak dan kebahagiaan orang tua.

71

Hasballah Thaib, 21 Masalah Aktual Dalam Pandangan Fiqih Islam, Fakultas Tarbiyah Universitas Dharmawangsa, 1995, hal. 109.

72


(34)

b. Perlu diadakannya pengaturan perundang-undangan tentang pengangkatan anak, yang memadai.

c. Supaya diusahakan adanya penyatuan istilah pengangkatan anak dengan meniadakan istilah-istilah lain.

d. Pengangkatan anak jangan memutuskan hubungan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.

e. Hubungan kekayaan/keharta bendaan antara anak yang diangkat dengan orang tua yang mengangkat dianjurkan agar dalam hubungan hibah dan wasiat.

f. Pengangkatan anak yang terdapat dalam hukum tidak bertentangan dengan Hukum Islam.

g. Pengangkatan anak oleh warga negara asing supaya diadakan pembatasan yang lebih ketat.

h. Tidak dapat dibenarkannya pengangkatan anak oleh orang yang agamanya berlainan.

Selanjutnya pendapat Majelis Ulama yang dituangkan dalam Surat Nomor U-335/MUI/VI/82 tanggal 18 Sya’ban 1402 H/10 Juni 1982, dinyatakan, adopsi yang tujuan pemeliharaan, pemberian bantuan dan lain-lain yang sifatnya untuk kepentingan anak angkat dimaksud adalah boleh saja menurut hukum Islam. Anak-anak yang beragama Islam hendaknya dijadikan Anak-anak angkat (adopsi), oleh ayah/ibu angkat yang beragama Islam pula, agar ke-Islamannya itu ada jaminan tetap terpelihara. Pengangkatan anak angkat (adopsi) tidak akan mengakibatkan hak kekeluargaan yang biasa dicapai dengan nasab keturunan. Oleh karena itu adopsi tidak mengakibatkan hak waris/wali mewali, dan lain-lain. Oleh karena itu ayah/ibu angkat jika akan memberikan apa-apa kepada anak angkatnya hendaklah dilakukan pada masa masih sama-sama hidup sebagai hibah biasa. Adapun adopsi yang dilarang, adalah adopsi oleh orang-orang yang berbeda agama, misalnya Nasrani dengan maksud anak angkatnya dijadikan pemeluk agama Nasrani, bahkan sedapat-dapatnya dijadikan pemimpin agama itu. Pengangkatan anak angkat Indonesia oleh orang-orang Eropa dan Amerika atau lain-lainnya, biasanya berlatar belakang seperti tersebut di atas. Oleh karena itu hal iniada usaha untuk menutup adopsi.73

Menurut Pasal 171 huruf h Kompilasi Hukum Islam, anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.

Pengangkatan anak bagi yang beragama Islam hanya dapat dilakukan oleh orang tua yang beragama Islam, dan pengangkatan anak diperlukan adanya persetujuan dari orang tua asal, wali atau orang/badan yang menguasai anak yang akan diangkat dengan calon orang tua angkatnya.

Prosedur pengangkatan anak menurut KHI dilaksanakan di Pengadilan Agama. Di antara tujuan pengangkatan anak melalui lembaga Pengadilan adalah untuk memperoleh kepastian hukum, keadilan hukum, legalitas hukum, dokumen

73


(35)

hukum. Dokumen hukum telah terjadinya pengangkatan secara legal sangat penting dalam hukum keluarga, karena akibat hukum dari pengangkatan anak tersebut akan berdampak jauh ke depan sampai beberapa generasi keturunan yang menyangkut aspek hukum kewarisan, tanggung jawab hukum, dan lain-lain.

Sedangkan, penetapan Pengadilan Negeri tentang Pengangkatan Anak adalah salah satu dokumen hukum pengangkatan anak yang sangat penting, karena dengan ditetapkannya seorang anak menjadi anak angkat dari suatu pasangan suami isteri sebagai orang tua angkatnya, maka dapat dipandang bahwa anak angkat tersebut seolah-olah sebagai anak yang baru lahir di tengah-tengah keluarga itu, karena anak angkat itu telah terputus hubungan nasab dengan orang tua kandungnya, dan lahir di tengah-tengah keluarga orang tua angkatnya dengan segala hak dan kewajibannya yang dipersamakan dengan anak kandung, maka kewajiban orang tua angkat harus mencatatkan anak angkatnya itu ke Kantor Catatan Sipil untuk memperoleh akta pengangkatan anak yang memuat peristiwa atau kejadian hukum yang timbul antara anak angkat dengan orang tua angkatnya.74 Dasar pengajuan pencatatan anak angkat ke Kantor Catatan Sipil adalah Penetapan Pengadilan Negeri tentang Pengangkatan Anak. Dengan lahirnya surat “Akta Pengangkatan Anak” dari Kantor Catatan Sipil tersebut, maka “Akta Kelahiran Anak” tersebut dari orang tua kandungnya (orang tua asal) secara serta merta menjadi gugur atau hapus dengan sendirinya karena aspek administrasi, tidak mungkin seorang anak memiliki dua akta kelahiran dengan dua orang tua kandung.

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang berlaku mulai tanggal 21 Maret 2006, Pengadilan Agama memiliki kewenangan absolute untuk menerima, memeriksa, dan mengadili perkara permohonan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Sebagaimana produk hukum yang dikeluarkan Pengadilan Negeri tentang Pengangkatan Anak yang berbentuk “Penetapan”, maka produk hukum Pengadilan Agama tentang Pengangkatan Anak yang dilakukan berdasarkan hukum Islam juga berbentuk “Penetapan”. Anak angkat berdasarkan hukum Islam oleh Pengadilan Agama tidak memutuskan hubungan hukum atau hubungan nasab dengan orang tua kandungnya. Anak angkat dalam hukum Islam juga tidak menjadikan anak angkat itu sebagai anak kandung atau anak yang dipersamakan hak-hak dan kewajibannya seperti anak kandung dari orang tua angkatnya, hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua angkatnya seperti hubungan anak asuh dengan orang tua asuh yang diperluas. Oleh karena itu, tidak diandaikan seolah-olah anak angkat itu sebagai anak yang baru lahir di tengah-tengah keluarga orang tua anagkatnya dengan segala hak yang baru lahir di tengah-tengah keluarga orang tua angakatnya dengan segala hak dan kewajiban seperti anak kandung. Kalau demikian halnya, maka akta kelahiran anak angkat tersebut tidak gugurkan atau hapus dengan sendirinya dengan ditetapkannya Penetapan Pengangkatan Anak oleh Pengadilan Agama. Konsekuensi

74

Pasal ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya yang dituangkan dalam akta kelahiran.


(36)

logisnya tidak perlu adanya pencatatan anak angkat yang ditetapkan berdasarkan hukum Islam oleh orang tua angkatnya di Kantor Catatan Sipil.

Adapun proses Pengangkatan Anak di Pengadilan Agama Medan, dari keterangan responden adalah dilaksanakan sebagai berikut:75

a. Pengangkatan anak terhadap seorang orang tua yang tidak kawin (single parent). 1) adanya surat permohonan pengangkatan anak yang dibuat dan ditanda tangani

pemohon sendiri atau melalui kuasanya, dengan melampirkan syarat-syarat dan surat surat bukti, antara lain:

a) Berita Acara penyerahan anak.

b) Foto copy Surat Nikah orang tua kandung si anak

c) Foto copy Kartu Tanda Penduduk orang tua kandung si anak. d) Foto copy Kutipan Akte Kelahiran

e) Foto copy Kartu Keluarga orang tua kandung si anak f). Surat Pernyataan Daftar Gaji atas nama pemohon.76

1) Proses Pemeriksaan di persidangan pada hari yang telah ditetapkan, yaitu: a) Hakim membacakan surat-surat yang berkaitan dan meneliti foto copy

surat-surat bukti yang dilegalisir dan diberi meterai secukupnya.

b) Pemeriksaan Terhadap saksi-saksi paling sedikit dua orang yang mengenal pribadi maupun keadaan orang tua yang mengangkat anak dan anak yang diangkat.

c) Pemeriksaan terhadap pemohon

d) Penetapan hakim pengesahan pengangkatan anak.77

b. Pengangkatan anak terhadap Orang Tua Yang Telah Berkeluarga.

1) Adanya surat permohonan pengangkatan anak yang dibuat dan ditanda tangani pemohon sendiri atau melalui kuasanya, dengan melampirkan syarat-syarat dan surat surat bukti, antara lain:

a) Foto copy Kutipan Akta Nikah Pemohon b) Foto copy Kartu Keluarga Pemohon

c) Foto copy Kartu Tanda Penduduk Pemohon

d) Foto copy Kartu Tanda Penduduk orang tua kandung e) Foto copy Kartu Tanda Penduduk saksi

f) Foto copy Surat Keterangan Kelahiran calon anak angkat

g) Foto copy Surat Keterangan Penyerahan anak dari orang tua kandung 2) Proses Pemeriksaan dipersidangan pada hari yang telah ditetapkan, yaitu ;

a) Hakim membacakan surat-surat yang berkaitan dan meneliti fotocopy surat-surat yang dilegalisir dan diberi meterai secukupnya.

75

Wawancara dengan Bapak Drs. Hafifulloh, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Agama Medan, tanggal 18 Maret 2008 di Medan.

76

Dalam hal yang melakukan pengangkatan anak adalah Notaris yang tentunya tidak punya daftar gaji, Jabatan Notaris telah jelas diatur dalam UU No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris adalah sebagai pejabat umum, dan di dalam Pasal 36 telah diatur tentang Honorarium bagi Notaris.

77

Atas dasar penetapan hakim tersebut, maka kewajiban orang tua anak untuk mencatatkan ke kantor Catatan Sipil untuk dikeluarkan Akta Pengangkatan Anak.


(37)

b) Pemeriksaan terhadap saksi-saksi paling sedikit dua orang yang mengenal pribadi maupun keadaaan orang tua yang mengangkat anak dan orang tua dari anak yang diangkat.

c) Pemeriksaan terhadap pemohon

d) Penetapan hakim pengesahan pengangkatan anak.

c. Pengangkatan anak yang tidak diketahui asal usul orang tua kandung dari calon anak angkat.

1) Adanya surat permohonan pengangkatan anak yang dibuat dan ditanda tangani pemohon sendiri atau melalui kuasanya, dengan melampirkan syarat-syarat dan surat surat bukti, antara lain ;

a) Foto copy Surat Keterangan kelahiran anak yang dikeluarkan oleh Rumah Bersalin atau Surat Keterangan Kelahiran anak yang dikeluarkan oleh Yayasan Panti Asuhan tempat asal si anak.

b) Foto copy Kartu Keluarga / Akta Perkawinan pemohon. c) Foto copy Kartu Tanda Penduduk pemohon

d) Foto copy Surat Keterangan Penyerahan anak yang dikeluarkan oleh Rumah Bersalin/Yayasan Panti Asuhan dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, dan diketahui oleh Kepala Kelurahan/ Camat tempat tinggal orang tua yang mengangkat anak

2) Proses Pemeriksaan dipersidangan pada had yang telah ditetapkan, yaitu ; a) Hakim membacakan surat-surat yang berkaitan dan meneliti foto copy

surat-surat yang dilegalisir dan diberi meterai secukupnya.

b) Pemeriksaan terhadap saksi-saksi paling sedikit dua orang yang mengenal pribadi maupun keadaaan orang tua yang mengangkat anak dan anak yang diangkat.

c) Pemeriksaan terhadap Pemohon

d) Penetapan Hakim mengesahan pengangkatan anak.

B. Prosedur Pengangkatan Anak menurut Staatsblad 1917 No.129

Sebagaimana telah dikemukakan dalam Pasal 5 Staatsblad 1917 Nomor 129 bahwa yang boleh mengadopsi adalah seorang laki beristeri atau telah pernah beristri tak mempunyai keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-laki, baik keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena pengangkatan anak, maka bolehlah ia mengangkat seorang anak laki-laki sebagai anaknya. Ketentuan ini hendak menyatakan bahwa pengangkatan anak hanya boleh dilakukan terhadap anak laki-laki, pengangkatan anak terhadap anak perempuan tidak sah.

Dari ketentuan di atas, maka yang boleh mengangkat anak adalah sepasang suami isteri yang tidak mempunyai anak laki-laki, seorang duda yang tak mempunyai anak laki-laki ataupun seorang janda yang juga tidak mempunyai anak laki-laki, asal saja janda yang bersangkutan tidak ditinggalkan berupa amanah, yaitu berupa surat wasiat dari suaminya yang menyatakan tidak menghendaki pengangkatan anak. Di sini tidak diatur secara konkrit mengenai batasan usia dan orang yang belum berkawin untuk mengangkat anak.


(1)

sehingga harus dilakukan pencatatan kembali anak tersebut pada catatan sipil atau perubahan akta kelahiran si anak angkat menjadi anak dari orang tua angkatnya. 2. Akibat hukum yang ditimbulkan pengangkatan anak menurut Kompilasi Hukum

dan Staatsblad 1917 No.129, adalah: a) Nasab, menurut Staatsblad anak angkat terputus dengan nasab orang tua kandungnya, sedangkan menurut KHI tidak terputus dengan nasab orang tua kandungnya, b) Panggilan, menurut Staatsblaad anak angkat dipanggil (bin/binti) dengan nama ayah atau orang tua angkatnya, sedangkan menurut KHI anak angkat dipanggil (bin/binti) dengan nama ayah atau orang tua kandungnya, c) Perwalian, menurut Staatsblad, orang tua angkat menjadi wali penuh terhadap anak angkatnya, termasuk menjadi wali nikah, jika anak angkat perempuan, sedangkan menurut KHI, orang tua angkat tidak menjadi wali nikah anak angkatnya, jika anak angkat perempuan. d) Hak waris, menurut Staatsblad, anak angkat memiliki hak waris sebagaimana hak waris yang dimiliki oleh anak kandung, sedangkan menurut KHI anak angkat tidak menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya, hanya memperoleh wasiat wajibah yang jumlahnya tidak boleh melebihi sepertiga harta warisan. e) Mahram Kawin, menurut

angkat tersebut juga menjadi ahli waris orang tua angkatnya, dengan pembatasan anak angkat tersebut hanya menjadi ahli waris

ian yang tidak diwasiatkan.

an Undang-Undang

at dapat meningkatkan kesadaran

i belakang hari, dan juga kepada pengadilan agar Staatsblad anak angkat tidak sah dinikahi oleh orang tua angkatnya, sedangkan menurut KHI anak angkat boleh dinikahi orang tua angkatnya.

3. Dalam hal kewarisan, anak angkat dalam KHI adalah tidak melepas nasab dari orang tua kandungnya, maka anak angkat tidak mewaris dari orang tua angkatnya dan sebaliknya, tetapi anak angkat mendapatkan wasiat wajibah yang tidak boleh lebih dari 1/3 bagian dari orang tua angkatnya sesuai dengan Pasal 209 ayat (2) Sedangkan dalam Staatsblad 1917 No.129 bahwa anak angkat akan putus nasabnya kepada orang tua kandungnya, dan terjadi hubungan nasab dengan orang tua angkatnya, sehingga anak

dari bag B. Saran

1. Disarankan kepada Pemerintah harus segera mewujudk

Pengangkatan Anak yang lengkap dan sejalan dengan kepentingan masyarakat Indonesia dalam kaitan dengan kewarisan bagi anak angkat.

2. Disarankan kepada Pengadilan Agama Medan untuk melakukan koordinasi dengan instansi terkait dan segenap jajarannya untuk dapat lebih mensosialisasikan lagi keberadaan Kompilasi Hukum Islam kepada masyarakat Muslim Indonesia, hal ini penting agar masyarak

hukumnya dan juga Kompilasi Hukum Islam benar-benar dapat diwujudkan sebagai hukum positif pada Pengadilan Agama.

3. Disarankan kepada masyarakat agar dalam pengangkatan anak dapat dilakukan secara tercatat dengan putusan pengadilan, dengan dilakukannya hal ini akan menghindari perselisihan d


(2)

39

dalam diktum keputusannya bahwa anak itu diminta kepada Catatan Sipil untuk didaftarkan telah diangkat.


(3)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku:

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992).

Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998).

Al-Bari, Zakaria Ahmad, Ahkam al-Aulad fi al-Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977). AM, Imran, “Hukum Kewarisan dan Hibah Dalam Kompilasi Hukum Islam”, Mimbar

Hukum, No.24 Tahun VIII, (Jakarta: Yayasan al-Hikmah Ditbinbaperas, 1996). Amanat, Anisitus, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW,

(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000).

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Bineka Cipta, 1986).

Arrasyid, Chainur, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001).

Budiarto, M., Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, (Jakarta: Akademika Presindo, 1991).

Departemen Agama R.I. Al-qur’an Dan Terjemahannya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1984).

Departemen Agama R.I., Pedoman Penyuluhan Hukum, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, 1994/1995

Departemen Sosial RI, tt, Program Pengangkatan Anak (Department of Social Affairs Child Adoption Program), Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak Departemen Sosial, Jakarta.

Faisal, Sanfiah, Format-format Penelitian Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999). Friedmann, 1990, Teori dan Filsafat Hukum, Idialisme Filosofi dan Problema Keadilan,

(Susunan II), (Jakarta: Rajawali Pers, 1990).

Gede, Atmadja, “Hukum Dalam Teori Dan Praktek”, Kumpulan Karangan Majalah Ilmiah, (FH Udayana, 1994).

Ghani, Abdul, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994).

Harahap, M.Yahya, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam, Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, Mimbar Hukum No.5 Thn.III, (Jakarta: Yayasan al-Hikmah Ditbinbaperas, 1992).

______, Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat Dalam Hukum Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993).


(4)

Haron, Nasroen, dkk., Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), Jilid I.

Haryono, Anwar dalam Hazairin in Memoriam, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986)

Hasan, M. Ali, Masahil Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995).

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Tinta Mas, 1997). Jamaluddin, Analisis Hukum Perkawinan Terhadap Perceraian Dalam Masyarakat Kota

Lhokseumawe Dan Kabupaten Aceh Utara , Disertasi, (Medan: PPs-USU, 2008. Kamil, H. Ahmad dan H.M. Fuazan, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak di

Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008).

Khatib, Adrianus, Kedudukan Anak Asuh Ditinjau dari Hukum Islam, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002).

Krippendorf, Klaus, Analisi Isi Pengantar Teori dan Metodologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1983).

Lubis, Nur Fadhil, Hukum Islam Dalam Kerangka Teori Fikih dan Tata Hukum Indonesia, (Medan: Pustaka Ubidya Sarana, 1995).

Marhijanto, Bambang, Kamus Lengkap Bahasa Ind Masa Kini, (Surabaya: Penerbit Terang Surabaya, 1999).

Mertokusumo, Sudikno, Mengenai Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1988).

______, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1996).

Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Alma Arif, 1971).

Rasjidi, Lili dan Ira Rasjidi, 2001, Dasar-dasar Filsafat Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001).

Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998).

Rozikin, Daman, Hukum Tata Negara (Suatu Penganlar), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993).

S. Meliala, Djaja, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, (Bandung: Tarsito, 1982). Sarong, A.Hamid, Kompilasi Hukum Islam : Studi Pembaharuan Fiqh Indonesia, Peneliti

DIP IAIN, 1997.

Satrio, J., Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000).


(5)

Soeroso, R., Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995).

Soimin, Soedharyo, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000).

Sudiyat, Iman, Hukum Adat dan Sketsa Azas, (Yogyakarata: Liberty, 1981).

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996).

Sutanto, Ny.Retnowulan, Wanita Dan Hukum, (Bandung: Alumni, 1979).

Syah, H.Abdullah, dkk, Laporan Penelitian Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Adat Terhadap Anak Angkat Pada Suku Melayu Kecamatan Tanjung Pura Langkat, (Medan: Balai Penelitian IAIN Sumatera Utara, 1995).

Thaib, H M.Hasballah, Keputusan Mubahasah Ulama Dayah, (Medan: LPP Best Komputer, 1996).

______, Perbandingan Mazhab dalam Ilmu Hukum Islam, (Medan: PPS-USU, 1999). ______, 21 Masalah Aktual Dalam Pandangan Fiqih Islam, Fakultas Tarbiyah Universitas

Dharmawangsa, 1995.

______, Elastisitas Hukum Fiqh Islam, (Medan: Program Pascasarjana USU, 1999). ______, Memahami Islam Secara Rasional, (Medan: Program Pascasarjana USU, 1998). ______, Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, Konsentrasi Hukum Islam

Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, (Medan: 2002).

Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Y.P.Universitas Indonesia, 1974).

Wongjodiputro, Suroyo, Pengantar Dan Asas Hukum Adat, (Bandung: Sumur, 1979). Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarata: Hidakarya Agung, 1972).

Zaini, Muderis, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistim Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002).

B. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Staatsblad 1917 Nomor 129

Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.


(6)