Kewarisan Anak Angkat dalam Kompilasi Hukum Islam KHI

RI, untuk masa jabatan 3 tiga tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 kali masa jabatan. Selanjutnya dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut diatur setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 39 ayat 1, ayat 2, dan ayat 4, yaitu: 1 Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 2 Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. 3 Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapt dilakukan sebagai upaya terakhir. Maka akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun danatau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 seratus juta rupiah. IV. KEWARISAN ANAK ANGKAT MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN STAATSBLAD 1917 NO. 129

A. Kewarisan Anak Angkat dalam Kompilasi Hukum Islam KHI

Hukum kewarisan dalam Islam termasuk salah satu hal yang mendapat penjelasan lebih terinci dalam Al-Qur’an dan Al-hadist. Namun demikian tidak ada satupun nash yang mengatur secara jelas tekstual tentang kewarisan anak angkat. Oleh sebab itu status anak angkat tersebut tidak menciptakan hukum saling mewarisi, baik terhadap orang tua angkat, saudara angkat dan yang lainnya. Peralihan hak harta kekayaan dari orang tua angkat kepada anak angkat merupkan perbuatan hukum yang asing dalam masyarakat Indonesia. Selama ini telah terjadi anggapan bahwa antara anak angkat dan orang tua angkat putus hubungannya termasuk pula hubungan peralihan kekayaan, karena pemahaman seperti ini telah menyebabkan adanya keengganan masyarakat Indonesia mengikuti kehendak perundang-undangan melalui KHI tersebut, dalam masalah wasiat wajibah. Wasiat wajibah yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 ayat 2, sebagai salah satu bentuk tingkah laku hukum yang telah disepakati bersama antara kaum muslimin Indonesia harus juga mempunyai dasar hukum dan mengakar dalam Al-Qur’an. Garis hukum yang lepas dari Al-Qur’an akan sulit diterima dalam masyarakat, sebagaimana telah dijelaskan, semua tingkah laku manusia yang akan dibuat aturannya, dapat ditimbang lebih dahulu dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an harus dapat memberi jawaban yang tegas boleh tidaknya aturan hukum yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam dimasyarakatkan di Indonesia. Al-Qur’an berisi ketentuan-ketentuan yang universal, ketentuan-ketentuan yang bersifat garis besar dan umum itu merupakan pengkajian dan perumusan untuk dapat diterapkan secara konkrit. Hal ini penting agar tidak terjadi kesenjangan dan kevakuman hukum dalam suatu masyarakat. Adanya ketentuan wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam merupakan jembatan yang menutupi ketimpangan yang Erwansyah: Kewarisan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam KHI Dan Staatsblad 1917 No. 129 Penelitian Pada Pengadilan Agama Medan, 2008. USU e-Repository © 2008 terjadi selama ini antara anak angkat dan orang tua angkat yang tidak terjadi saling mewarisi, karena memang tidak ada ketentuan sating mewarisi antara keduanya. Keadaan ini telah menyebabkan terjadi kekosongan hukum. Anak angkat yang telah sangat berjasa, merawat dan memelihara orang tua angkat tidak mendapat harta peninggalan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia, atau sebaliknya, kecuali orang tua angkat atau anak angkat itu telah lebih dahulu membuat wasiat. Kalau tidak anak angkat atau orang tua angkat itu tidak mendapat harta apapun. Hal ini telah terasa tidak adil dalam masyarakat. Anak angkat yang telah mengabdi begitu lama untuk kemaslahatan orang tua angkat atau anak angkat tidak mendapat bagian harta. Syari’at Islam tidak membenarkan memberi warisan kepada anak angkat, sebab anak angkat di dalam Islam tidak sama kedudukannya dengan anak kandung, oleh karenanya anak angkat tidak mendapatkan harta peninggalan orang tua angkatnya. Syari’at Islam melarang menghilangkan identitas anak angkat tersebut, anak itu harus dibangsakan kepada ayahnya. KHI cenderung memilih jalan yang kesesuaian, yakni anak angkat tidak termasuk ahli waris yang sama kedudukannya dengan anak kandung, hanya saja mereka dapat menerima wasiat dari orang tua angkatnya berdasarkan wasiat wajibah. Berangkat dari ajaran Islam inilah agaknya KHI dirumuskan, dalam hal memberikan wasiat wajibah kepada anak angkat sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya apabila ayah angkatnya tidak berwasiat. Motivasi dari Pasal 209 KHI ini tidak lain adalah berdasarkan atas rasa keadilan dan prikemanusiaan. Dirasa tidak layak dan tidak adil dan tidak manusiawi kalau hubungan timbal balik antara anak angkat dengan ayah angkatnya selama ini berjalan baik, tetapi setelah meninggalnya salah satu diantara keduanya hubungan ini dirasakan terputus, karena tidak sedikitpun harta yang didapatkan dari hubungan baik selama ini dan pada akhirnya hubungan ini membawa dampak yang buruk disebabkan adanya rasa sakit hati. Kecemasan-kecemasan inilah yang diantisipasi oleh pasal 209 KHI, sehingga kecemasan dan kekhawatiran serta kesedihan tersebut diharapkan tidak akan terjadi lagi. Menurut keterangan dari hasil wawancara dengan responden dinyatakan bahwa, adanya ketentuan wasiat wajibah terhadap anak angkat di dalam KHI merupakan jembatan yang menutup ketimpangan yang terjadi selama ini antara anak angkat dengan orang tua angkat karena tidak saling mewarisi, karena tidak ada ketentuannya. Kondisi ini menyebabkan terjadi kekosongan hukum. 99 KHI untuk memasyarakatkan beberapa ketentuan hukum yang selama ini dianggap belum dapat diselesaikan yang terjadi di masyarakat. Keterikatan antara orang tua angkat dengan anak angkat merupakan keterikatan alamiah dalam kehidupan manusia, oleh sebab itu dengan cara menuangkan dalam aturan perundang- undangan KHI 99 Wawancara dengan Bapak Hafifullah, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Agama Medan, tanggal 18 Maret 2008 di Medan. Erwansyah: Kewarisan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam KHI Dan Staatsblad 1917 No. 129 Penelitian Pada Pengadilan Agama Medan, 2008. USU e-Repository © 2008 Kompilasi Hukum Islam adalah hasil penalaran dari 38 buah kitab fiqh yang selama ini berada dan dikaji oleh kalangan ulama dan pendidikan Islam, akan tetapi ada juga yang menentang kehadirannya di Indonesia, memang ada kemungkinan mereka berkeberatan tercampurnya mazhab dan aliran seakan-akan pemilihan yang ringan-ringan saja yang dimuat dalam KHI. Kehadiran wasiat wajibah dalam masyarakat muslim Indonesia sekarang adalah tuntutan perasaan keadilan hukum masyarakat. Sangatlah kecewa anak angkat atau sebaliknya yang telah bertahun-tahun bersama orang tua angkat atau anak angkat, merawat dan menjaganya, akan tetapi ketika orang tua angkat atau sebaliknya meninggal dunia, anak angkat harus angkat kaki dari rumah yang selama ini ditempati bersama. Anak angkat harus meninggalkan rumah, karena harta itu akan diserahkan untuk ahli warisnya atau baitul mal. Perasaan kecewa ini juga akan dialami oleh orang tua angkat yang telah meninggal, karena tidak sempat membalas jasa-jasa anak angkatnya. 100 Keberadaan wasiat wajibah dalam masyarakat muslim Indonesia sekarang adalah suatu yang aneh. Hal ini disebabkan adanya suatu kepastian wasiat, walaupun si mati tidak berwasit. Dalam hal ini tentunya tidak dikehendaki oleh ahli waris. Sebagaimana dapat dilihat pada yurisprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 8 Januari 1962 No. 291KSIP1962, menetapkan, menurut adat pemberian yang merugikan ahli waris tidak diperkenankan, kecuali dengan persetujuan terlebih dahulu dari ahli waris yang bersangkutan. Di samping itu juga tidak ada sebab pewarisan, antara anak angkat dengan orang tua angkat atau sebaliknya. Dalam Islam diatur siapa saja dilarang kawin atau sama lain. 101 Larangan kawin dalam ayat berlaku bagi yang berhubungan darah atau satu keluarga dari garis lurus ke atas dan ke bawah serta garis menyamping, termasuk mertua menantu, dan anak tiri yang ibunya telah digauli oleh ayah tirinya. Anak angkat tidak dalam salah satu larangan di atas, sebab ia berada di luar kekerabatan orang tua angkatnya. Karena secara timbal balik antara dirinya dan keluarga orang tua angkatnya tidak berhak menjadi wali nikahnya, kecuali diwakilkan kepadanya oleh ayah kandungnya. Hukum ditetapkan ulama fiqih berdasar mafhum mukhalafah. 102 Sesudah itu turun juga wahyu yang menetapkan tentang ketentuan pembagian harta warisan, yang telah digariskan secara qath’i bahwa hanya kepada orang-orang yang ada pertalian darah, keturunan, dan perkawinan yang dapat masuk dalam kelompok ahli waris. 103 Sebagai gantinya KHI memberikan wasiat wajibah terhadap anak angkat sebagaimana tertuang dalam Pasal 209 ayat 2 yaitu terhadap anak angkat yang 100 A.Hamid Sarong, Kompilasi Hukum Islam : Studi Pembaharuan Fiqh Indonesia, Peneliti DIP IAIN, 1997, hal. 47. 101 Departemen Agama R.I. Al-qur’an Dan Terjemahannya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1984, Q.S. An-Nisa 4, ayat 23. 102 Dalam istilah lain, mafhum mukhalafah disebut juga sebagai logika “a contrario” suatu metode pemahaman kalimat dengan menangkap ma’na di balik yang tersurat. 103 Lihat, Departemen Agama R.I. Al-qur’an Dan Terjemahannya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1984, Q.S. An Nisa, ayat 11, 12, dan 13. Erwansyah: Kewarisan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam KHI Dan Staatsblad 1917 No. 129 Penelitian Pada Pengadilan Agama Medan, 2008. USU e-Repository © 2008 tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 13 dari harta warisan orang tua angkatnya. Dengan demikian anak angakat dalam KHI adalah tidak melepas nasab seperti dalam pengertian hukum perdata. Pengertian anak angkat tersebut hanya sebatas pengambilalihan tanggung jawab kesejahteraan anak tersebut. Dalam hal ini tidak termasuk pemutusan nasab. Nasab anak angkat tersebut tetap pada orang tua kandungnya. Anak angkat tidak mewaris dari orang tua angkatnya dan sebaliknya. Anak angkat mendapatkan wasiat wajibah dari orang tua angkatnya dan sebaliknya sesuai dengan Pasal 209 KHI. Wasiat wajibah didapatkan berdasarkan putusan Pengadilan Agama. Pengertian wsiat wajibah adalah wasiat yang dianggap telah ada sebelum pewaris meninggal. Dan hanya bisa didapatkan berdasarkan putusan Pengadilan Agama. Besar bagian dari wasiat wajibah adalah tidak boleh lebih dari 13 bagian. Sedangkan wasiat biasa harus ada 2 orang saksi laki-laki yang telah memenuhi syarat untuk jadi saksi. Atau dalam bentuk tertulis yang disimpan oleh Notaris sebagai pejabat yang berwenang untuk itu dan harus dibacakan kepada ahli waris jika pewaris telah meninggal dunia. Wasiat ini dianggap tidak ada jika tidak ada saksi atau tidak tertulis. Pengangkatan anak menurut KHI ini adalah kewenangan absolut Pengadilan Agama, karena berkaitan dengan kaidah Hukum Islam.

B. Kewarisan Anak Angkat dalam Staatsblad 1917 No.129