Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Staatsblad 1917 No.129

B. Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Staatsblad 1917 No.129

Pengangkatan anak sebagaimana diuraikan dalam Pasal 11, 12, 13 dan 14 Staatsblad 1917 Nomor 129, akan memberikan akibat hukum antara antara angkat dan orang tua angkat serta orang tua kandung anak angkat tersebut. Pasal 11 Staatslaad 1917 No. 129 menyatakan bahwa pengangkatan anak membawa akibat demi hukum, bahwa orang yang diangkat, jika ia mempunyai nama keturunan lain, berganti menjadi nama keturunan orang yang mengangkatnya sebagai ganti dari nama keturunan orang yang diangkat itu. Pasal ini secara jelas mejelaskan bahwa anak yang diangkat seara serta merta menjadi anak kandung orang tua yang mengangkatnya, nama orang tuanya berganti dengan nama ayah angkatnya atau ibu angkatnya, dan secara otomatis terputus hubungan nasab dengan orang tua kandung, kecuali: a. Mengenai larangan kawin yang terdapat pada tali kekeluargaan, b. Mengenai peraturan Hukum Perdata yang berdasar pada tali kekeluargaan, c. Mengenai perhitungan biaya perkara di muka hakim dan penyanderaan, d. Mengenai pembuktian dengan seorang saksi; e. Mengenai bertindak sebagai saksi. Dalam hal orang tua angkatnya seorang laki-laki yang telah kawin, maka anak angkat secara serta merta dianggap sebagai anak yang dianggap dilahirkan dari perkawinan mereka. 96 Sedangkan bagi seorang janda mengangkat seorang anak, maka anak angkat itu dianggap dilahirkan dari perkawinannya dengan suami yang telah meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa anak angkat itu dapat dimasukkan sebagai ahli waris dalam harta peninggalan orang yang telah meninggal dunia, sepanjang tidak ada surat 97 wasiat. Balai harta peninggalan mewajibkan, apabila ada seorang janda yang mengangkat anak, maka harus mengambil tindakan-tindakan yang perlu, guna mengurus dan menyelamatkan barang-barang kekayaan dari anak yang diangkat itu. 98 Staatsblad 1917 Nomor 129 Pasal 14 menyatakan, suatu pengangkatan anak berakibat putusnya hubungan hukum antara anak yang diangkat dengan orang tuanya sendiri. Dalam hubungannya dengan masalah pembatalan suatu adopsi hanya ada satu pasal yang mengatur, yaitu Pasal 15 Staatsblad 1917 Nomor 129 yang menentukan bahwa suatu pengangkatan anak tidak dapat dibatalkan oleh yang bersangkutan sendiri. Kemudian pengangkatan anak perempuan atau pengangkatan anak secara lain daripada dengan akta Notaris, adalah batal dengan sendirinya. Juga ditentukan, bahwa pengangkatan anak dapat dibatalkan, apabila bertentangan dengan Pasal 5, 6, 7, 8, 9 dan 10 ayat 2 dan 3 dari Staatsblad 1917 Nomor 129 tersebut. Dengan demikian dari pembahasan akibat hukum pengangkatan anak menurut Kompilasi Hukum Islam dan Staatsblad 1917 No.129, maka diperoleh perbedaan akibat hukum yang ditimbulkan dari kedua ketentuan tersebut, sebagai berikut: 96 Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 12 ayat 1. 97 Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 12 ayat 2. 98 Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 13 Erwansyah: Kewarisan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam KHI Dan Staatsblad 1917 No. 129 Penelitian Pada Pengadilan Agama Medan, 2008. USU e-Repository © 2008 a. Nasab Menurut Staatsblad, anak angkat terputus dengan nasab orang tua kandungnya, dan dinasabkan kepada orang tua angkatnya. Sedangkan menurut KHI, anak angkat tidak terputus dengan nasab orang tua kandungnya, yang beralih hanyalah tanggung jawab dari orang tua kandung kepada orang tua angkat. b. Panggilan Menurut Staatsblaad, anak angkat dipanggil binbinti dengan nama ayah atau orang tua angkatnya. Sedangkan menurut KHI Anak angkat dipanggil binbinti dengan nama ayah atau orang tua kandungnya. c. Perwalian Menurut Staatsblad, orang tua anagkat menjadi wali penuh terhadap anak angkatnya, termasuk menjadi wali nikah, jika anak angkat perempuan Sedangkan menurut KHI, orang tua angkat tidak menjadi wali nikah anak angkatnya, jika anak angkat perempuan. d. Hak waris Menurut Staatsblad, anak angkat memiliki hak waris sebagaimana hak waris yang dimiliki oleh anak kandung, dapat menghabiskan seluruh harta warisan orang tua angkatnya, dan juga menggugurkan hak waris orang tua dan saudara kandung orang tua angkat, jika orang tua angkat tidak memiliki anak. Sedangkan menurut KHI, anak angkat tidak menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya. Anak angkat dapat memperoleh harta warisan orang tua angkatnya melalui lembaga wasiat wajibah yang jumlahnya tidak boleh melebihi sepertiga harta warisan. e. Mahram Kawin Menurut Staatsblad, anak angkat tidak sah dinikahi oleh orang tua angkatnya. Sedangkan menurut KHI, anak angakat boleh dinikahi orang tua angkatnya. f. Status anak angkat bukan dengan status orang mengangkat Menurut Staatsblad, apabila orang tua angkatnya seorang laki-laki yang telah kawin, maka anak angkat tersebut dianggap sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka yang putus karena kematian. Apabila seorang janda, maka anak angkat harus dianggap dilahirkan dari perkawinananya dengan suami yang telah meninggal dunia. Sedangkan dalam Hukum Islam melarang ketentuan- ketentuan tersebut. Baik di dalam KHI maupun di dalam Staatsblad tidak ada diatur mengenai sanksi hukum di dalam pengangkatan anak. Sanksi hukum dalam kaitan pengangkatan anak dapat ditemui dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu di dalam Pasal 74 diatur tentang Komisi Perlindungan Anak, yang menyatakan dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen. Keanggotaan tersebut terdiri dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak. Keanggotaan ini diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan dari DPR Erwansyah: Kewarisan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam KHI Dan Staatsblad 1917 No. 129 Penelitian Pada Pengadilan Agama Medan, 2008. USU e-Repository © 2008 RI, untuk masa jabatan 3 tiga tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 kali masa jabatan. Selanjutnya dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut diatur setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 39 ayat 1, ayat 2, dan ayat 4, yaitu: 1 Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 2 Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. 3 Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapt dilakukan sebagai upaya terakhir. Maka akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun danatau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 seratus juta rupiah. IV. KEWARISAN ANAK ANGKAT MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN STAATSBLAD 1917 NO. 129

A. Kewarisan Anak Angkat dalam Kompilasi Hukum Islam KHI