PENDAHULUAN A. Chadidjah Dalimunthe, S.H., M.Hum

I. PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Syariat Islam mengajarkan berbuat baik kepada setiap orang, seperti memberi makan orang miskin, berinfaq, bersedekah, hibah, wasiat dan sebagainya. Demikian pula halnya pengangkatan anak adalah didasari atas penyantunan dan pemeliharaan. Islam juga menganjurkan untuk memelihara anak orang yang tidak mampu, terlantar dan lain-lain. Secara historis, pengangkatan anak adopsi sudah dikenal dan berkembang sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW. Mahmud Syaltut menjelaskan, bahwa tradisi pengangkatan anak sebenarnya dan dipraktikkan oleh masyarakat dan bangsa- bangsa lain sebelum kedatangan Islam, seperti yang dipraktikkan oleh bangsa Yunani, Romawi, India, dan beberapa bangsa pada zaman kuno. Di kalangan bangsa Arab sebelum Islam masa jahiliyah istilah pengangkatan anak dikenal dengan at- tabanni dan sudah ditradisikan secara turun-temurun. 1 Imam Al-Qurthubi ahli tafsir klasik menyatakan bahwa sebelum kenabian, Rasulullah SAW sendiri pernah mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anak angkatnya, bahkan tidak lagi memanggil Zaid berdasarkan nama ayahnya Haritsah, tetapi ditukar oleh Rasulullah SAW, dengan nama Zaid bin Muhammad. Pengangkatan Zaid sebagai anaknya ini diumumkan oleh Rasulullah Muhammad SAW, di depan kaum Quraisy. Nabi Muhammad SAW, juga menyatakan bahwa dirinya dan Zaid saling mewarisi. Zaid kemudian dikawinkan dengan Zainab binti Jahsy, putri Aminah binti Abdul Muththalib, bibi Nabi Muhammad SAW. Oleh karena Nabi SAW, telah menganggapnya sebagai anak, maka para sahabat pun kemudian memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad. 2 Setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul, turunlah surat Al- Ahzab 33 ayat 4-5, 3 yang salah satu intinya, melarang pengangkatan anak dengan akibat hukum seperti di atas saling mewarisi dan memanggilnya sebagai anak kandung. Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa kisah di atas menjadi latar belakang turunnya ayat tersebut. 4 Selanjutnya, pengangkatan anak di Indonesia mulanya dijalankan berdasarkan Staatsblaad Lembaran Negara Tahun 1917 No.129, dalam ketentuan ini pengangkatan anak tidak saja berasal dari anak yang jelas asal usulnya, tetapi juga anak yang lahir di luar perkawinan yang sah tidak jelas asal usulnya. 5 1 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hal. 53. 2 Nasroen Haron, dkk., Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1996, hal. 29. 3 Departemen Agama R.I. Al-qur’an Dan Terjemahannya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1984. 4 H. Ahmad Kamil dan H.M. Fuazan, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008, hal. 99. 5 Nasroen Haron, dkk., op. cit., ha. 29. Erwansyah: Kewarisan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam KHI Dan Staatsblad 1917 No. 129 Penelitian Pada Pengadilan Agama Medan, 2008. USU e-Repository © 2008 Dalam hukum Islam pengasuhan terhadap anak yang tidak jelas asal usulnya, termasuk dalam kelompok ”anak pungut” al-Laqith, yaitu anak yang dipungut dan tidak diketahui asal usulnya secara jelas, karena bayi itu ditemukan di pinggir jalan, dan orang yang menemukan itu mengakui sebagai anaknya, maka nasab anak itu dapat di- nasab-kan dan dipanggil berdasarkan orang tua angkat yang menemukakannya. 6 Dalam perkembangan Hukum Islam di Indonesia terjadi beberapa perkembangan ditandai dengan diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam KHI tahun 1991 sebagai hukum material di lingkungan Peradilan Agama. Peraturan yang mengatur tentang keberadaan Badan Peradilan Agama di Indonesia adalah Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang hanya mengatur tentang hukum formil, sedangkan hukum material diatur di dalam KHI yang diberlakukan dengan Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, tanggal 10 Juni 1991 Jo Keputusan Menteri Agama RI No.154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991, kemudian dikeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan KHI mengandung nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang diformulasikan ke dalam bentuk hukum materil bagi Pengadilan Agama. Keberadaan KHI membawa perubahan yang cukup penting tetang sistem kewarisan yang selama ini dianut masyarakat Islam Indonesia yang bersumber dari Mazhab Sunni yang pada umumnya bersifat patrinial, sedangkan sistem kewarisan yang bersifat bilateral merupakan himpunan yang digali dari kesadaran hukum masyarakat Islam Indonesia yang telah tumbuh lama dan dijalankan secara sukarela. 7 Islam secara tegas melarang pewarisan terhadap anak angkat, untuk itulah para ulama di Indonesia mencari alternatif dengan memberikannya wasiat wajibah, yaitu suatu wasiat yang diperuntukkan bagi anak angkat atau sebaliknya orang tua angkatnya yang tidak diberi wasiat sebelumnya oleh orang tua angkat atau anak angkatnya, dengan pertimbangan akan dapat memberikan ketenteraman dan ketenangan bagi anak angkat. Hal ini tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam KHI pada Pasal 209 ayat 2 memberikan wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 13 sepertiga kepada anak angkat. Dasar melakukan wasiat antara lain terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 180 yang artinya, “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk Ibu Bapa dan karib kerabat secara ma’ruf ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa”. Kemudian, Surat An-Nisa ayat 11, yang artinya, “... sesudah dipenuhi- dipenuhi wasiat yang ia buat atau dan sesudah dibayar hutangnya. 6 H. Ahmad Kamil dan H.M. Fuazan, op. cit., hal. 101. 7 Imran AM, “Hukum Kewarisan dan Hibah Dalam Kompilasi Hukum Islam”, Mimbar Hukum, No.24 Tahun VIII, Jakarta: Yayasan al-Hikmah Ditbinbaperas, 1996, hal.45. Erwansyah: Kewarisan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam KHI Dan Staatsblad 1917 No. 129 Penelitian Pada Pengadilan Agama Medan, 2008. USU e-Repository © 2008 Wasiat merupakan perikatan yang pada dasarnya suatu tindakan manusia atas dorongan kemauan sendiri 8 oleh karena itu wasiat merupakan cara yang dapat digunakan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wajalla. 9 Wasiat yang pada dasarnya merupakan kemauan sendiri, namun dalam keadaan tertentu atau kasuistik, penguasa atau hakim sebagai pejabat negara; mempunyai wewenang untuk memaksa atau membuat keputusan wajib wasiat yang kemudian dikenal dengan wasiat wajibah kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu disebabkan karena: 10 1. Hilangnya unsur ikhtiar bagi pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan penerima wasiat. 2. Ada kemiripan dengan ketentuan pembagian harta waris dalam hal penerimaan laki-laki 2 dua kali lipat bagian perempuan. Dari penjelasan di atas, adapun orang yang berhak menerima wasiat wajibah adalah cucu laki-laki maupun perempuan baik dari pacar laki-laki maupun perempuan yang orang tuanya mati mendahului atau bersamaan dengan kakeknya. Ketentuan hukum tentang wasiat wajibah terhadap anak angkat belum terlaksana sepenuhnya, hanya mengikuti cara menurut agama dan adat istiadat. Khususnya bagi umat Islam Indonesia ketentuan hukumnya diatur dengan Kompilasi Hukum Islam KHI dengan berlandaskan kepada Instruksi Presiden Tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991, No.1, pada konsiderans menimbang point b dan c disebutkan bahwa: “Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut. Bahwa oleh sebab itu Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a perlu disebarluaskan.” 11 Mengenai ketentuan wasiat wajibah anak angkat di dalam Kompilasi Hukum Islam diatur pada Pasal 209 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut: “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan orangtua angkatnya.” 12 Dalam KHI sebagaimana yang tersebut pada Pasal 171 huruf h istilah anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidup sehari-hari biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Sedangkan pada Hukum Perdata, adopsi membawa akibat demi hukum, bahwa orang yang diadopsi, jika ia mempunyai nama keturunan lain daripada laki-laki yang mengadopsinya sebagai 8 Fatchur Rahman, Hukum Waris.., op. cit., hal. 62. 9 M. Hasballah Thaib, Perbandingan Mazhab dalam Ilmu Hukum Islam, Medan: PPS-USU, 1999, hal. 124. 10 Fatchur Rahman, Hukum Waris..., op. cit., hal. 63. 11 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992, hal.44. 12 M.Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam, Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, Mimbar Hukum No.5 Thn.III, Jakarta: Yayasan al-Hikmah Ditbinbaperas, 1992, hal.22. Erwansyah: Kewarisan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam KHI Dan Staatsblad 1917 No. 129 Penelitian Pada Pengadilan Agama Medan, 2008. USU e-Repository © 2008 anak laki-lakinya, memperoleh nama keturunan dari orang yang mengadopsi sebagai ganti dari nama keturunan orang yang diadopsi itu. 13 Bila orang-orang yang kawin mengadopsi seorang laki-laki, maka ia dianggap dilahirkan dari perkawinan mereka. 14 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata pada awalnya tidak diatur dan tidak mengenal lembaga pengangkatan anak. Namun karena kebutuhan di lingkungan masyarakat Tionghoa, yang terhadapnya berlaku KUH Perdata, adopsi atau pengangkatan anak diatur secara tersendiri dalam Staatsblad 1917 No.129. Sehubungan dengan hal tersebut di atas Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak, yang mengatur prosedur hukum mengajukan permohonan pengesahan danatau permohonan pengangkatan anak, memeriksa dan mengadilinya oleh Pengadilan. Tetapi, di dalam prakteknya masih banyak kasus pengangkatan anak yang berdampak negatif. Untuk itu Mahkamah Agung pada tanggal 30 September 1983 mengeluarkan kembali Surat Edaran Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak, yang menyatakan bahwa permohonan pengesahanpengangkatan anak diajukan kepada Pengdilan Negeri yang kemudian diputus tampak kian bertambah. Baik merupakan permohonan khusus pengesahanpengangkatan anak. Yang terakhir ini menunjukkan adanya perubahanvariasi-variasi pada motif dasarnya. Keadaan tersebut merupakan gambaran, bahwa kebutuhan akan pengangkatan anak dalam masyarakat makin bertambah dan dirasakan bahwa untuk memperoleh jaminan kepastian hukum itu hanya didapat setelah memperoleh suatu putusan Pengadilan. 15 Bahwa kendati semangat perumusan KHI mengarah ke sistem bilateral, kedudukan anak angkat tetap diletakan di luar ahli waris, sama dengan yang terdapat dalam fiqih mawaris selama ini, namun dengan mengadaptasi nilai hukum adat secara terbatas ke dalam nilai hukum Islam karena beralihnya tanggung jawab orang tua asal kepada orang tua angkat mengenai pemeliharaan kehidupan sehari-hari dan biaya pendidikan berdasarkan putusan pengadilan, seperti yang disebutkan dalam huruf h, Pasal 171 KHI. 16 . Dalam KHI lebih tegas dijelaskan, pengangkatan seorang anak hanyalah sebagai anak asuh bukan menjadikannya sebagai anak kandung, apabila orang tua yang menginginkan mengangkat anak hanya bermotivasi sosial atau semacam orang 13 Soedharyo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hal.7. 14 Ibid, hal.7. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 tentang pemeriksaan permohonan pengesahanpenangkatan anak, dan Keputusan Menteri Sosial Nomor 41HUKKEPVII1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak menegaskan syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah kawin lima tahun. 15 Bagian Umum, Surat Edaran Mahkamah Agung R.I. Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak 16 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, hal. 331. Erwansyah: Kewarisan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam KHI Dan Staatsblad 1917 No. 129 Penelitian Pada Pengadilan Agama Medan, 2008. USU e-Repository © 2008 tua asuh, 17 justru sangat dianjurkan, perlu digaris bawahi disini adalah bahwa larangan status pengangkatan anak tidak dibenarkan menjadi anak kandung sendiri. Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka dilakukan pengkajian Kewarisan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam KHI dan Staatsblad 1917 No.129 Penelitian Pada Pengadilan Agama Medan.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana prosedur pengangkatan anak dalam Kompilasi Hukum Islam dan Staastblad 1917 No.129? 2. Bagaimana akibat hukum pengangkatan anak menurut Kompilasi Hukum Islam dan Staatsblad 1917 No.129? 3. Bagaimana kewarisan anak angkat menurut Kompilasi Hukum Islam dan Staatsblad 1917 No.129?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui prosedur pengangkatan anak dalam Kompilasi Hukum Islam dan Staatsblad 1917 No.129. 2. Untuk mengetahui apa akibat hukum pengangkatan anak menurut Kompilasi Hukum Islam dan Staatsblad 1917 No.129 3. Untuk mengetahui kewarisan anak angkat menurut Kompilasi Hukum Islam dan Staatsblad 1917 No.129

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan peraturan perundang-undangan tentang hak anak angkat dari orang tua angkat dalam Kompilasi Hukum Islam dan Staatsblad 1917 No.129. 2. Secara Praktis dapat bermanfaat bagi penyelesaian masalah pewarisan terhadap anak angkat.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya dilingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul Kewarisan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam KHI Dan Staatsblad 1917 No.129 Penelitian Pada Pengadilan Agama Medan, belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, dengan demikian penelitian ini adalah asli. 17 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, hal. 12. Erwansyah: Kewarisan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam KHI Dan Staatsblad 1917 No. 129 Penelitian Pada Pengadilan Agama Medan, 2008. USU e-Repository © 2008

F. Kerangka Teori dan Konsepsi