Advokasi SKA-PKPA (Sanggar Kreativitas Anak – Pusat Kajian dan Perlindungan Anak) Dalam Penanggulangan Kekerasan Pada Anak Jalanan

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Ababil, Jufri Bulian. 2006. Menjaga Anak Indonesia. Medan: Pusat Kajian dan Perlindungan Anak.

Azhar, Fadhil & Iswan Kaputra. 2012. Pendampingan Pemberdayaan Masyarakat. Medan: BITRA Indonesia.

Bungin, Burhan. 2013. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

_____________. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Huraerah, Abu. 2007. Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak). Bandung: Penerbit Nuansa.

Johnson, Victoria. 2002. Anak-Anak Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: Research, Education, and Dialogue (REaD) Book.

Kolip, Usmman & Elly M. Setiadi. 2011. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Maliki, Zainuddin. 2012. Rekonstruksi Teori Sosial Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


(2)

Moloeng, Lexy J. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Narwoko, Dwi & Bagong Suyanto. 2004. Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Prinst, Darwin. 1997. Hukum Anak Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Purwoko, Herudjati & Hendrarti. 2008. Aneka Sifat Kekerasan. Jakarta: PT. Indeks.

Ritzer, George. 2008. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Rozaki, Abdur dkk. 2009. Mengembangkan Gampong Peduli Hak Anak. Yogyakarta: IRE (Institute for Research and Empowerment).

Saripudin, Didin. 2010. Interpretasi Sosiologi Dalam Pendidikan. Bandung: Karya Putra Darwati.

Silalahi, Uber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama.

Soemitro, Irma Setyowati.1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi Aksara.


(3)

Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suharto, Edi. 2009. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: PT. Refika Aditama

Suyanto, Bagong. 2010. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Wirawan. 2012. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Zeitlin, Irving. 1995. Memahami Kembali Sosiologi, Kritik Terhadap Teori Sosiologi Kontemporer. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Zubaedi. 2013. Pengembangan Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Rujukan dari Internet:


(4)

http://www.google.com/search?q=jumlah+anak+jalanan+tahun+2011+di+kota+m Diakses pada tanggal 12 November 2015, pukul 22.00 WIB.

Diakses pada tanggal 16 November, pukul 10.30 WIB.

Rujukan berupa Jurnal :

Itsnaini, Mursyid. 2010. Pemberdayaan Anak Jalanan Oleh Rumah Singgah Kawah di Kelurahan Klitren, Gondokusuma, Yogyakarta. Fakultas Ushuluddin, Studi Agama Dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jaga.

Suharto, Edi. 2006. Filosofi Dan Peran Advokasi Dalam Mendukung Program Pemberdayaan Masyarakat.

Rujukan berupa Dokumen :

Undang-Undang Perlindungan Anak (UU RI No. 23 Tahun 2002).


(5)

Riset atau Penelitian:

Kaji Ulang Situasi Anak Jalanan Kota Medan dan Pengembangan Program Aksi, diterbitkan PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak) bekerjasama dengan KNH (Kinder Not Hilfe) Germany, 2011.

Rujukan berupa Skripsi atau Tesis:

Mutiara Ginting. 2014. Kehidupan Pekerja Anak Penyusun Batu Bata di Jalan Pelak Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang. Tesis (S-2) Tidak Diterbitkan. Medan. Program Studi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(6)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan metode studi kasus (case study). Peneliti memilih penelitian studi kasus karena penelitian studi kasus berusaha menggambarkan kehidupan dan tindakan-tindakan manusia secara khusus pada lokasi tertentu dengan kasus tertentu. Studi kasus merupakan penelitian yang penelaahannya kepada suatu kasus dilakukan secara intensif, mendalam dan mendetail. Subjek penelitian dapat berupa individu, kelompok, institusi atau masyarakat. Penelitian kualitatif sebagai pendekatan yang dapat menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang dapat diamati (Moleong, 2006). Penelitian kualitatif berorientasi pada upaya memahami fenomena secara menyeluruh. Dengan demikian, penneliti akan memperoleh data atau informasi yang diinginkan.

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SKA-PKPA (Sanggar Kreativitas Anak – Pusat Kajian dan Perlindungan Anak) yang berlokasi di Jl. TB. Simatupang Gg. Wakaf II No. 3 (belakang Terminal Pinang Baris), Medan. Adapun penentuan SKA-PKPA ini sebagai sasaran tempat penelitian, dipilih secara sengaja


(7)

(purposive) karena SKA berfokus melayani anak jalanan dan didasarkan pada pertimbangan bahwa SKA-PKPA ini masih dikunjungi dan mengunjungi anak jalanan serta masih melakukan pendampingan kepada anak jalanan secara terencana dan terprogram.

3.3. Unit Analisis dan Informan 3.3.1. Unit Analisis

Unit analisis adalah satuan tertentu yang akan dijadikan sebagai objek kajian dalam penelitian. Unit analisis pada umumnya dilakukan untuk memperoleh gambaran yang umum dan menyeluruh tentang situasi yang diteliti oleh objek penelitian (Sugiono, 2007:68). Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah anak jalanan yang mengalami tindak kekerasan.

3.3.2. Informan

Informan merupakan subjek yang memahami permasalahan penelitian sebagai perilaku, dan selain itu juga orang-orang yang menjadi sumber informasi yang aktual dan dapat dipercaya kebenarannya tentang permasalahan penelitian yang sedang diangkat. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah:

1. Koordinator atau Pembina SKA-PKPA.

2. Pekerja sosial atau relawan yang bekerja di SKA-PKPA. 3. Anak jalanan yang mengalami tindak kekerasan.


(8)

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling penting dalam penelitian karena tujuan utamanya adalah mendapatkan data. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut:

3.4.1. Pengumpulan Data Primer

Data primer merupakan data yang diambil dari sumber data pertama di lapangan. Teknik pengumpulan data primer adalah peneliti melakukan kegiatan langsung ke lokasi penelitian untuk mencari data-data yang lengkap dan berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Adapun teknik data dilakukan dengan cara :

a. Observasi. Observasi merupakan kemampuan seorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja panca indera mata serta dibantu dengan panca indera lainnya. Dalam hal ini peneliti dapat melihat secara langsung. b. Wawancara. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.

Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2009:186). Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya-jawab sambil bertatap muka antara pewawancara


(9)

dengan informan, dimana percakapan di dalamnya bersifat terbuka dan tidak baku.

3.4.2. Pengumpulan Data Sekunder

Data sekunder ialah data yang diperoleh dari sumber kedua yang diharapkan dapat membantu memberi keterangan atau data pelengkap. Teknik pengumpulan data sekunder ialah pengumpulan yang dilakukan melalui penelitian studi kepustakaan yang diperlukan untuk mendukung data yang diperoleh dari buku-buku, hasil penelitian, makalah, artikel, jurnal, majalah, dan hasil laporan yang relevan dengan objek yang peneliti teliti. Studi pustaka ini merupakan salah satu hal atau langkah yang harus dilakukan peneliti, selain itu tujuan utama dari studi pustaka ialah mencari referensi-referensi untuk membangun suatu kerangka berpikir, sehingga dapat memperoleh pendalaman yang lebih luas.

3.5. Interpretasi Data

Interpretasi data merupakan suatu tahap pengolahan data, setelah data terkumpul dalam catatan lapangan, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya. Maka akan dilakukan pengolahan, analisis, penafsiran data yang diperlukan dari lapangan tadi berupa hasil observasi dan wawancara, kemudian peneliti akan menyederhanakan dan mengedit agar lebih mudah untuk dipahami. Data yang telah terkumpul, kemudian akan disusun lagi sedemikian rupa, kemudian data tersebut akan diinterpretasikan secara kualitatif. Hal ini dilakukan agar peneliti


(10)

lebih jelas memperoleh hasil yang lebih mendalam dan meluas sesuai teori yang relevan. Pada akhirnya peneliti akan menyusun sebagai laporan akhir penelitian ini. Proses ini sudah dilakukan sejak proposal penelitian dibuat, hingga akhir penelitian akan menjadi sebuah laporan penelitian yang memiliki ciri kualitatif.

3.6. Jadwal Kegiatan

No Kegiatan

Bulan ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Pra Observasi

2 ACC judul Penelitian

3 Penyusunan proposal penelitian

4 Seminar proposal

5 Revisi proposal

6 Penelitian lapangan

7 Pengumpulan dan pengolahan data

8 Bimbingan/laporan akhir


(11)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian 4.1.1. Keadaan Geografis

Terminal Terpadu Pinang Baris merupakan terminal perhubungan darat kedua terbesar yang ada di kota Medan setelah Terminal Terpadu Amplas. Jika Terminal Terpadu Amplas sebagai pintu masuk kota Medan dari arah tenggara, maka terminal Pinang Baris ini khusus menampung bus-bus antar provinsi dan dalam provinsi yang masuk ke kota Medan dari arah barat seperti Aceh, kota Pangkalan Brandan, Binjai, Stabat, Brastagi dan sekitarnya. Terminal ini terletak di Kecamatan Medan Sunggal di kelurahan Pinang Baris. Terminal ini dibangun diatas lahan dengan luas total 33.430 m². Di terminal Pinang Baris ini terdapat 48 unit loket bus, 34 unit bangunan kios, 8 unit toilet, tempat parkiran yang mampu menampung 500 unit angkutan, 400 unit bus antar kota, dan bangunan utama (induk) yang berfungsi sebagai kantor, ruang tunggu dan telepon umum.

Kondisi ekonomi masyarakat yang tinggal di terminal Pinang Baris lebih banyak masyarakat kelas ekonomi menengah kebawah dan sering sekali disebut sebagai Komunitas Miskin Kota (KMK). Kawasan terminal Pinang Baris memiliki status yang sama dengan terminal Amplas sebagai lokasi bekerja bagi anak jalanan dan bahkan sekaligus menjadi tempat tinggalnya. Banyak


(12)

anak-anak jalanan yang memanfaatkan terminal Pinang Baris sebagai tempat mereka mencari uang. Anak-anak yang bekerja di terminal Pinang Baris ini kebanyakan bekerja sebagai tukang sapu angkot ataupun bus. Namun ada juga anak-anak yang bekerja sebagai pengamen, penjual asongan, kernek angkot atau bus, dan juga pengantar air minum (galon).

4.1.2. Sejarah Berdirinya SKA-PKPA

Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) didirikan pada tanggal 21 Oktober 1996 di Medan oleh sejumlah aktivis LSM, dosen dan mahasiswa untuk menyikapi realita anak dan perempuaan pada saat itu. Melihat realita bahwa masih banyak anak yang dilanggar dan terabaikan haknya, dan menjadi korban dari berbagai bentuk tindak kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, diskriminasi, bahkan tindakan yang tidak manusiawi terhadap anak menunjukkan kurang memadainya perlindungan terhadap anak, padahal anak belum cukup mampu melindungi dirinya sendiri. Anak membutuhkan perlindungan yang memadai dari keluarganya, masyarakat dan pemerintah. Lembaga ini dicita-citakan bisa independen, memegang teguh prinsip pertanggungjawaban publik, mengedepankan peluang dan kesempatan partisipasi pada anak dan perempuan, menghargai dan memihak prinsip dasar hak anak serta pluralisme, dan memegang prinsip kesetaraan gender.


(13)

PKPA memiliki visi dan misi. Visi PKPA adalah terwujudnya kepentingan terbaik bagi anak, sedangkan misinya adalah advokasi kebijakan yang diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan danperlindungan anak serta menegakkan hak-hak anak. Yayasan PKPA melaksanakan berbagai program pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak dan perempuan di Provinsi Sumatera Utara dan Aceh, serta program emergency di berbagai provinsi Indonesia. Adapun program-program reguler yang dilakukan yaitu advokasi litigasi dan non litigasi, rehabilitasi dan reintegrasi, pendidikan informal dan non formal, pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap, layanan kesehatan, penelitian, publikasi, pengembangan partisipasi anak, kesiapsiagaan bencana serta program tanggap darurat dalam situasi bencana. Guna implementasi program tersebut, PKPA membentuk Divisi dan Unit diantaranya Divisi Informasi dan Dokumentasi (INDOK), Divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang), Divisi Pendidikan dan Latihan (Diklat), Unit Pusat Pengaduan Anak (PUSPA), Pusat Informasi Kesehatan Reproduksi dan Gender (PIKIR), dan Sanggar Kreativitas Anak (SKA). Dari enam divisi dan unit yang telah dibentuk, Sanggar Kreativitas Anak (SKA) adalah unit layanan yang menangani anak-anak jalanan.

Unit layanan Sanggar Kreativitas Anak (SKA) dibentuk pada tahun 1998 di Pinang Baris, Medan. Berawal dari PKPA menggelar pekan anak jalanan, seminggu sekali mengumpulkan anak-anak jalanan untuk mengajak mereka


(14)

bermain, makan-makan dan belajar. Kegiatan inilah yang menjadi awal pembentukan rumah singgah. SKA pada awalnya adalah rumah singgah yang fokus pendampingan anak jalanan yang berada di terminal Pinang Baris. Namun pada tahun 1999 nama rumah singgah diganti menjadi Sanggar Kretivitas Anak (SKA). Di sanggar inilah mulai diadakan pendidikan informal dan perpustakaan mini untuk anak-anak jalanan. Sanggar ini secara khusus mendampingi dan mengembangkan program pencegahan dan penggalian bakat-bakat yang dimiliki oleh anak jalanan.

Beberapa program pencegahan dan pengembangan bakat yang dilakukan oleh SKA-PKPA adalah:

a) Sekolah Sepak Bola (SSB) Scorpions.

Sekolah sepak bola terbentuk karena melihat mahalnya biaya yang harus dibayar kepada pihak pengelola sekolah sepak bola yang mengakibatkan banyak anak jalanan yang merasa untuk dapat bersekolah sepak bola hanyalah sebuah mimpi (angan-angan). Sekolah sepak bola terbentuk berawal dari kerjasama dengan sekolah bola Sinar Sakti. Anak jalanan dampingan SKA diterima sebagai siswa di sekolah tersebut. Setelah melihat kemampuan anak-anak jalanan yang bermain sepak bola sudah bagus, maka diputuskanlah untuk mendirikan sekolah sepak bola sendiri.

“Awal berdirinya SSB Scorpions ini diakhir tahun 2005 dan langsung kami daftarkan di Pengda (Pengurus Daerah) PSSI kota


(15)

Medan. Untuk bulan dan tanggal pastinya terbentuk abang gak ingat dek karena memang udah cukup lama dan abang juga masih setahun lebih kerja disini. SSB ini sebenarnya ada bukan saja untuk sekedar hobby anak-anak laki-laki yang tidak tersalurkan, tapi cara untuk anak-anak supaya memiliki kemampuan atau skill untuk masa depannya yang lebih baik (Hery, staff SKA)”.

Nama Scorpions diambil dari nama binatang yang berbisa. Nama ini menjadi kekuatan bagi anak-anak untuk dapat mematikan lawannya dipertandingan. Selama SSB Scorpions berdiri, telah banyak melakukan berbagai perlombaan baik bersifat persahabatan, kompetisi lokal ataupun resmi dari pemerintah. SSB Scorpions pernah menjadi juara I di Turnamen Sekolah Sepak Bola Anak se-SUMUT pada tahun 2006. SSB Scorpions saat ini mengalami kemajuan di dalam beberapa teknik bermain bola dan berencana akan mengikuti pertandingan di bulan Oktober. Walaupun saat ini, Sekolah Sepak Bola belum memiliki lapangan sendiri dan masih bekerjasama dengan beberapa lembaga yang lain ataupun pribadi.

“Untuk Sepak Bola kita disini dilatih dan ditanggungjawabi sama bang Hery aja dek. Gak ada yang lain, karena hanya bang Hery satu-satunya pekerja laki-laki di SKA. Latihannya itu gak setiap hari dek, dalam seminggu 1-2 kali di lapangan dekat kampung lalang, atau terkadang di daerah binjai. Cuman sekarang yang jadi masalahnya, banyak anak jalanan yang awalnya mau ikut, ternyata gak datang-datang dan sulit dicari. Padahal mereka udah tau kalau di sanggar ada sekolah sepak bola gratis. Anak jalanan ini berpikir lebih baik mereka cari uang daripada harus ikut-ikut main bola (Hery, staff SKA).”


(16)

Awal terbentuknya studio musik karena melihat banyaknya anak jalanan (laki-laki dan perempuan) yang menjadi pengamen sebagai pilihannya yang utama untuk mendapatkan uang dari setiap orang pengguna jalan. Walapun sebenarnya, tidak semua anak jalanan yang menjadi pengamen memiliki suara ataupun permainan musik yang baik. Tetapi dari anak jalanan tersebut ada yang memiliki kemampuan bermain musik dan suara yang bagus, dan bisa menjadi kemampuan untuk masa depan yang lebih baik. Melihat potensi anak-anak ini, SKA pada akhirnya menyediakan ruangan khusus (studio musik) bagi anak jalanan yang memiliki bakat dalam musik.

“Kalau untuk studio musik, lebih banyak anak-anak yang laki-laki datang untuk latihan di studio. Beberapa anak belajar main drum sendiri. Studio musik ini ada untuk menampung dan mengembangkan bakat mereka yang memang senang dengan musik. Dilatih supaya punya modal untuk lebih baik (Lia, Koordinator SKA).”

Saat ini studio musik di SKA sudah jarang untuk digunakan dikarenakan jarangnya anak yang datang. Pernah juga terjadi, ketika anak-anak diizinkan latihan, anak-anak tidak latihan di dalam ruangan, tetapi menghirup lem di dalam studio. Pada akhirnya, diputuskanlah untuk tidak membuka studio musik secara bebas, hanya ketika akan latihan saja ruangan akan dibuka.

c) Sanggar Tari dan Teater.

Kegiatan sanggar tari dan teater dilakukan khusus untuk anak-anak yang memiliki kemampuan dan hobby menari. Sanggar tari diadakan hampir setiap hari


(17)

pada sore hari di SKA, sedangkan untuk teater latihan dilakukan ketika ada event-event terntu . Sanggar tari dan teater hanyalah salah satu cara untuk menyalurkan kemampuan anak-anak khususnya perempuan untuk memberikan mereka modal untuk masa depan mereka. Terkait dengan sanggar tari, anak-anak perempuan yang mengikuti sanggar akan dilatih untuk merias wajah sendiri ketika akan tampil di dalam perlombaan maupun pertunjukkan.

“Ada beberapa program yang kami mau usulkan ditahun ini dek terkait sanggar tari, supaya anak-anak yang ikut di sanggar lebih baik dan maju. Rencananya kami mau mengusulkan untuk les merias wajah (make up) biar bisa dandan wajahnya sendiri saat mau manggung. Tapi ada batas umurnya dek. Kemungkinan besar yang akan diajari dari usia 12 tahun ke atas. Kita juga rencananya mau buat uji panggung sebelum mereka tampil, atau minimal tampil dua minggu sekali di panggung kecil untuk melatih percaya diri mereka. Penontonnya anak-anak jalanan aja dan dilakukan di sanggar aja (Lia, Koordinator SKA).”

d) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) didirikan awal tahun 2007. Tujuan dibentuknya sekolah non-formal PAUD di SKA untuk melakukan pencegahan perkembangan anak jalanan sejak usia dini. Anak-anak diharapkan bisa mengenal pendidikan sejak kecil, bukan malah sebaliknya mengenal dunia jalanan seperti yang dialami oleh beberapa anak dari keluarga yang hidup di jalanan maupun tinggal di jalanan. PAUD juga ada untuk merealisasikan hak anak atas pendidikan terutama anak-anak yang tidak mampu membayar atau membiayai sekolah formal.


(18)

“PAUD sebenarnya hanyalah cara dari sekian banyak cara untuk mencegah anak-anak menjadi anak jalanan/turun ke jalanan. Rata-rata yang sekolah di PAUD ini anak-anak yang memang rentan menjadi anak jalanan. Anak-anak itu ada yang kakak atau abangnya yang anak jalanan juga. Anak-anak ini mau datang pagi-pagi ke sini dengan kondisi belum mandi dan masih kumal. Tapi walaupun gitu, kami senang karena mereka semangat untuk datang bermain dan belajar disini. Gak bisa dipungkiri juga dek, mengurus dan mengajari mereka kita harus lebih ekstra dibandingkan mengajar anak biasa. Karena mereka memang sudah hidup di lingkungan yang tidak sehat, yang mungkin saja mempengaruhnya setelah besar nanti. Tapi kita tetap harus berusaha supaya meminimalisir anak-anak yang turun ke jalanan ini (Lia, Koordinator SKA)”.

4.2. Profil Informan

Dalam penelitian ini ada 8 (delapan) orang yang menjadi informan penelitian, diantaranya 5 (lima) orang anak jalanan yang pernah mengalami kekerasan dan 3 (tiga) orang yang bekerja SKA-PKPA. Berikut ini adalah profil seluruh informan penelitian, yaitu:

4.2.1. Anak Jalanan

4.2.1.1. JB. Sagala (Laki-laki - 15)

JB. Sagala merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. JB berumur 15 tahun pada saat ini. JB bersuku Batak Toba dan beragam Kristen. Ia berasal dari Tebing Tinggi, namun saat ini ia sudah bertempat tinggal di daerah Terminal Pinang Baris. JB bekerja sebagai tukang sapu angkot di terminal Pinang Baris. Sebelum menjadi tukang sapu angkot, JB pernah bekerja sebagai kernek angkutan


(19)

umum 64. JB saat ini sudah tidak bersekolah lagi, karena keinginan diri sendiri dan pengaruh dari teman-temannya. JB hanya menempuh pendidikan sampai tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) saja. JB lahir dari kedua orangtua yang sudah berpisah. Ayah JB adalah seorang dokter di daerah Tebing Tinggi. Ayah JB sudah menikah sebanyak 7 (tujuh) kali dan Ibu JB adalah wanita ke-enam yang dinikahi oleh ayahnya.

JB memiliki 3 (tiga) saudara tiri. Ibu dan ayah JB bercerai tanpa perceraian yang resmi. Ibu JB memilih meninggalkan ayah JB dan memilih pulang ke rumah orang tua ibunya di Padang. Ibunya membawa kakak JB ke Padang, sedangkan JB ditinggalkan untuk tinggal bersama ayahnya di Tebing Tinggi. Namun, ketika ayah JB kembali menikah lagi, JB seperti diabaikan atau diasingkan dan akhirnya ia pergi untuk mengikuti kakaknya dan istri pertama ayahnya tinggal di Medan, tepatnya di Terminal Pinang Baris. Ayah JB baru saja meninggal satu bulan yang lalu karena sakit, namun JB tidak datang melihat pemakaman ayahnya. Sedangkan hubungan JB dengan ibunya sudah tidak ada komunikasi lagi.

Ibu JB sulit untuk dihubungi karena sudah tinggal di Padang. JB mengenal kehidupan jalanan dari lingkungan di sekitarnya. JB memilih untuk bekerja sebagai tukang kernek angkot karena mudah mendapatkan uang. Kakak dan ibu tirinya tidak pernah melarangnya melakukan apapun kecuali ngelem. Tetapi


(20)

walaupun sudah dilarang dan diancam oleh kakak dan ibunya, JB pernah sembunyi-sembunyi menghirum lem dan menggunakan sabu-sabu karena diajak oleh supir angkot. Kakak dan ibunya tau kalau JB hanya menggunakan rokok saja.

4.2.1.2. S. Sitorus (Laki-laki - 16)

S. Sitorus merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Ia baru saja bekerja sebagai tukang sapu angkot di terminal Pinang Baris. Sebelum menjadi tukang sapu angkot, S bekerja sebagai pengamen di jalanan. Ketika mengamen di jalan, S bersama teman-temannya pernah terkena razia oleh Satpol PP. Ia di tangkap dan dibawak ke kantor. Saat di kantor, S langsung di pukuli dan di hukum berdiri dengan satu kaki dan kedua tangan memegang telinga. S. Sitorus beragama Kristen dan bersuku Batak Toba. Ia sudah sejak lahir tinggal di daerah terminal Pinang Baris. S. Sitorus lahir dari keluarga yang sudah bercerai. Ayah S adalah seorang preman yang sudah sering masuk penjara karena kasus pembunuhan dan ayahnya suka memukulnya karena memiliki emosi yang tinggi. S pernah dipukuli oleh ayahnya tanpa sebab dengan menggunakan tali pinggang sampai seluruh badan S berdarah, karena takut ayahnya akan memukulinya lebih parah lagi, S memilih kabur dan tidak tinggal beberapa hari di rumah.

Saat ini S tinggal bersama dengan ibunya dan ayah tirinya di daerah terminal Pinang Baris. S sudah tidak bersekolah lagi. Ia hanya menempuh pendidikan sampai tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ia dikeluarkan dari


(21)

sekolah karena memiliki absen yang banyak. Saat ini bukan hanya S saja yang bekerja dijalanan dan tidak bersekolah lagi, tetapi adik kandungnya juga tidak bersekolah dan memilih untuk bekerja di jalanan bersama dengannya. Ibu S tidak pernah melarangnya untuk melakukan apapun yang ia inginkan.

4.2.1.3. RI. Manik (Laki-laki - 15)

RI. Manik adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia sudah lama tinggal di daerah terminal Pinang Baris. RI bekerja sebagai tukang sapu angkot di terminal Pinang Baris. RI tinggal bersama kedua orangtuanya. RI beragama Islam dan bersuku Batak dan Padang. Ibu RI bekerja sebagai tukang sapu angkot, sedangkan ayahnya saat ini bekerja sebagai kuli bangunan. RI sudah tidak bersekolah lagi saat ini. Ia hanya menempuh pendidikan sampai kelas 5 Sekolah Dasar (SD). RI tidak lagi bersekolah karena tidak adanya biaya untuk membiayai pendidikannya.

Ayah RI adalah seseorang yang menggunakan sabu-sabu. Ayahnya tidak pernah memberikan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Uang yang didapatkan ayah RI digunakan untuk membeli sabu-sabu dari temannya. RI dan ayahnya tidak memiliki hubungan yang harmonis. RI hanya akan berbicara kepada ayahnya jika ia rasa perlu untuk berbicara. RI bekerja sebagai tukang sapu untuk memenuhi kebutuhan keluarganya setiap hari. RI sering disuruh ayahnya untuk pergi ke warung nasi tempat neneknya berjualan.


(22)

Jika RI tidak membawakan nasi untuk ayahnya, maka ayah RI akan memukul RI. Ia sering di pukul karena tidak membawa nasi dari warung neneknya ketika pulang ke rumah.

4.2.1.4. AP (Perempuan - 13)

AP adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Ia tinggal di daerah terminal Pinang Baris bersama keluarganya. Ibu AP bekerja sebagai penyetrika pakaiaan, sedangkan Ayahnya bekerja sebagai supir angkot. Ayah AP tidak setiap hari pergi bekerja. Ayahnya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Ayah dan ibu AP sering bertengkar karena masalah sifat ayahnya yang malas bekerja. Abang AP sudah tidak bersekolah lagi dan bekerja sebagai tukang sapu angkot.

AP saat ini masih bersekolah dan duduk di kelas 6 (enam) SD. Abang AP sudah tidak bersekolah lagi karena tidak adanya biaya dan bekerja sebagai tukang sapu angkot di terminal Pinang Baris. AP tidak memiliki banyak teman di lingkungan rumah maupun di sekolah. AP sering sekali di ejek oleh teman-temannya sebagai perempuan yang tidak benar. AP di ejek karena AP pernah mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh saudaranya sendiri (paman). AP pernah tidak masuk sekolah beberapa hari karena takut di ejek lagi.


(23)

4.2.1.5. YL (Perempuan – 18)

YL adalah anak pertama dari empat (4) bersaudara. YL tinggal di sekitar daerah terminal Pinang Baris. Ibu YL bekerja sebagai tukang setrika dan cuci baju, sedangkan ayahnya bekerja sebagai tukang bangunan. YL sangat takut dengan ayahnya karena ayahnya sering memarahinya dan memukulnya jika ia pulang malam. YL pernah kabur dari rumah karena dipukul oleh ayahnya. YL pernah mengalami kekerasan seksual (pemerkosaan) pada saat berumur 15 tahun. YL diperkosa oleh seorang oknum aparat pemerintahan dan dibawak kabur ke daerah Pemantang Siantar selama 4 (empat) bulan. Sejak kejadian itu, YL tidak lagi melanjutkan pendidikannya sampai sekarang. Saat ini YL sudah memiliki seorang anak laki-laki yang berumur ± 3 (tiga) tahun.

4.2.2. Pekerja atau Staff SKA-PKPA

4.2.2.1. Camelia Nasution (Koordinator SKA-PKPA)

Camelia atau sering dipanggil kak Lia merupakan koordinator atau pembina di SKA-PKPA. Kak Lia sudah lama bekerja di SKA. Ia bertugas sebagai pengkoordinir semua pekerja staff project/staff PKPA, membuat rencana kerja bulanan ataupun tahunan, serta sebagai advokasi akses layanan kesehatan bagi anak jalanan dan advokasi kebijakan kota Medan menuju kota layak anak. Kak Lia dapat juga dikatakan sebagai asisten PKPA khusus di unit SKA. Kak Lia menjabat sebagai koordinator SKA-PKPA periode 2014-2016.


(24)

4.2.2.2. Dewita Pebriani (Staff SKA-PKPA)

Dewita Pebriana atau sering dipanggil kak Dewi merupakan staff PKPA bagian penjangkauan anak. Kak Dewi sudah satu tahun bekerja di SKA-PKPA. Ia khusus melakukan kunjungan dan pendataan anak jalanan di lokasi anak bekerja ataupun tinggal, melakukan kunjungan kepada keluarga anak-anak untuk konseling bahkan penyadaran, dan juga tempat pencarian dan penyelamatan anak dampingan yang hilang kontak, serta perlindungan awal anak korban kekerasan.

4.2.2.3. Sumaryani (Staff SKA-PKPA)

Sumaryani atau sering dipanggil kak Sumi adalah staff SKA-PKPA bagian pengembangan ekonomi yang bertugas untuk membuat dan memastikan profil ekonomi keluarga anak jalanan, bahkan mencari peluang alternatif usaha/pekerjaan anak jalanan remaja yang telah mendapatkan pendidikan vicational training. Kak Sumi sudah bekerja di PKPA selama 6 tahun, namun bekerja di SKA-PKPA masih satu tahun. Kak Sumi merupakan staff pindahan dari PKPA di Simeulue.


(25)

4.3. Karakteristik Anak Jalanan di Terminal Terpadu Pinang Baris

Anak jalanan yang berada di terminal Pinang Baris yang masih berstatus sekolah masih cukup banyak yaitu 48,2%, sedangkan yang sudah putus sekolah yaitu 49,8%, dan yang sama sekali tidak pernah sekolah ialah 2,3%. Dalam kenyataannya rata-rata anak jalanan hanya mampu menamatkan pendidikannya sampai di jenjang Sekolah Dasar (SD), bahkan tidak sedikit jumlah anak jalanan yang berhenti sekolah sebelum tamat SD. Jumlah anak jalanan yang ada di terminal pinang baris sendiri sebanyak 118 anak jalanan. Anak jalanan di daerah ini memiliki pekerjaan utama sebagai tukang sapu angkot atau bus kota. Anak jalanan yang ada di terminal Pinang Baris ini memiliki beberapa sifat atau karakteristik yang terlihat yaitu memandang orang lain yang tidak hidup di jalanan seperti mereka sebagai orang-orang yang dapat dimintai uang, mandiri, terlihat kotor di dalam berpakaian dan tidak memiliki ketakutan untuk berbicara kepada siapapun selama mereka di jalanan.

4.3.1. Status Anak Jalanan di Terminal Pinang Baris

Dari 5 (lima) anak jalanan yang menjadi informan, 3 (tiga) diantaranya adalah anak yang memiliki kategori anak yang bekerja di jalanan (children of the street). Mereka masih mempertahankan hubungan dengan orang tua ataupun keluarga, karena sebagian besar anak-anak ini masih tinggal bersama orang tua ataupun keluarga. Anak-anak tersebut selalu pulang ke rumah setiap harinya


(26)

untuk memberikan uang hasil kerja mereka kepada ibu ataupun ayahnya. Walaupun tidak semua uang hasil bekerja diserahkan ke ayah atau ibunya. Salah seorang anak jalanan mengaku sangat menyayangi ibunya. Inilah hasil wawancara dari anak jalanan tersebut.

“Aku sayang kali sama mamakku kak. Cuman dia yang peduli sama ku. Keg tadi ku bilang kak, walaupun bapak kerja tapi uangnya kan dipakek dia untuk nyabu. Udah pernah lagi di depanku bapak keg gitu. Gara-gara itulah mamak jadi harus kerja tukang sapu angkot. Aku pulang ke rumah karena mamak ajanya kak. Kasihan mamak gak ada yang bantuin, jadi tiap hari ku kasihlah uang untuk beli beras. Walaupun mamak gak minta, tapi aku senang ngasihnya. Sebagian lagi uangnya ku buat main warnet kak (RI, 15)”.

Sedangkan 2 (dua) anak jalanan lainnya merupakan kategori anak yang rentan menjadi anak jalanan (vurnerable to be street children). Anak-anak ini masih tinggal dan berhubungan dengan keluarganya dan salah satu dari mereka masih bersekolah. Mereka berdua adalah anak-anak yang memang hidup di sekitar ataupun keluarga yang bekerja di jalanan dan sudah putus sekolah. Seperti yang di sampaikan oleh salah satu informan pada saat wawancara.

“Kalau aku kak memang masih sekolah kak di SD negri dekat sini. Sebenarnya aku udah kelas 2 (dua) SMP kiannya kak, tapi sempat putus karena gak ada biaya. Sekolahku sekarang bukannya orang mamak yang biayai, tapi kakak-kakak sanggar ini kak. Abangku udah gak sekolah lagi kak, dia kerja di terminal jadi tukang sapu-sapu angkot gitu. Kalau kami di rumah udah memang dibiarin gitu kak sama mamak bapak. Kalau mau sekolah, ya sekolah. Gak terlalu diperhatikanlah kak. Aku sih


(27)

masih pengen kak terus sekolah, tapi ya gitu. Gak tau kak gimana ke depannya.

Bukan hanya AP yang mengalami pengaruh dari lingkungan atau keluarga yang bekerja di jalanan. Seorang informan juga mengaku hampir terpengaruh dengan kehidupan di sekitar terminal Pinang Baris.

“Kalau aku kan kak, hanya tamatan SMP-nya kak. Dulu waktu masih 15 tahun, hanya sebentarnya aku ngerasain jadi anak SMA gitu. Sekolah sampe kelas satu kak, itupun cuman satu semester aja kak. Teman-temanku banyak di terminal ini kak. Kami mau pulang itu keseringan jam-jam 9 atau 10 malam kak, main-main dulu sama mereka. Bapak marah sih memang, tapi ya gitu kak, akunya terus keg gitu. Lagian sepulang sekolahnya aku keg gitu kak. Apalagi mamak dan bapak kan kerja. Manalah mereka tau-tau itu kak. Cuman ya keg gitu, akhirnya gara-gara keseringan, jadi bapak bukan hanya marahin aja tapi mukul. Kar’na takut dipukul bapak lagi, aku kabur dari rumah ke tempat kawan. Eh, kar’na kabur itu aku malah jadi keg gini kak. Nyesal juga sih kak pernah mau bergaul dengan mereka., kalau tau bakal keg gini (YL, 18)”.

4.3.2. Faktor Penyebab Anak di Jalanan

Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan anak-anak turun ke jalanan. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh adalah masalah kemiskinan. Berdasarkan data yang di dapat dari SKA-PKPA diketahui bahwa yang menyebabkan anak turun ke jalanan adalah karena permasalah ekonomi. Kondisi keluarga anak jalanan yang digolongkan dalam keadaan miskin, memaksa anak untuk tetap survive dengan cara hidup ataupun bekerja di jalanan. Walaupun tidak


(28)

semua anak jalanan di paksa untuk secara langsung untuk pergi kejalanan, tetapi anak-anak melihat bahwa orang tua mereka tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan kehidupan keluarga mereka. Jumlah beban anggota keluarga yang lebih tinggi dibandingkan pendapatan orangtua, dimana mayoritas orang tua anak jalanan bekerja di sektor formal seperti supir angkot, pemulung, tukang bangunan dan sebagainya.

Keluarga juga tidak mampu mengelola keuangan untuk melihat prioritas pengeluaran. Misalnya biaya rokok dan membeli sabu-sabu menjadi kebutuhan utama yang rutin untuk masuk ke dalam daftar pengeluaran dan pada akhirnya mengabaikan atau mengorbankan biaya pendidikan dan kebutuhan anak yang lain. Berikut adalah hasil wawancara dari anak jalanan yang mengaku hidup di jalanan karena kondisi keluarga yang sudah tidak mampu lagi.

“Aku ke jalanan kak gaknya disuruh mamak atau ayah. Tapi memang aku kasihan lihat mamak kerja sendiri jadi tukang sapu dan itupun uangnya gak cukup untuk makan kami kak. Kalau ayah memang kerja kak, tapi uangnya untuk beli sabu-sabu kak. Gak ada ayah kasih uang ke mamak. Malah mamak sering dimarahi kak. Makanya aku milih kerjalah jadi tukang sapu kak. Mamak juga gak pernah nanya atau apapunlah kak tentang aku milih jadi keg gini (RI, 15)”.

Kemiskinan bukanlah faktor yang berdiri sendiri sebagai penyebab anak turun ke jalanan. Baik buruknya keluarga memberikan dampak yang besar terhadap perkembangan anak, baik jiwa dan jasmani anak-anak. Jika di dalam


(29)

keluarga selalu dipenuhi dengan konflik yang serius sehingga dapat menyebabkan keretakkan keluarga yang pada akhirnya terjadinya perceraian, maka sering sekali terjadi banyak kesulitan yang akan terjadi pada anggota keluarga tersebut, terkhusus anak-anak. Bukan itu saja, dimana peran orang tua juga tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Adanya disfungsi peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan peran ibu sebagai sosok yang membimbing dan menyayangi keluarganya. Keadaan ini membuat anak merasa ditelantarkan dan adanya ketidakpastian. Orang tua yang bercerai/berpisah mengakibatkan anak menjadi tertekan dan merasa terluka. Berikut adalah hasil wawancara dari anak jalanan yang orang tuanya telah berpisah.

“Bapak dan mamak udah bercerai waktu aku kecil kak. Aku lupalah kapan pastinya. Tapi memang, mamak udah gak tahan lagi sama bapak karena bapak suka kali nikah kak. Udah 7 kali dia nikah. Mamak orang ke 6 yang dinikahi bapak. Karena bapak nikah lagi, mamak gak terima kak. Jadi mamak milih pigi bawak kakakku ke Padang dan aku di tinggal sama bapak. Tapi waktu bapak udah nikah, aku gak nyaman kak di rumah. Bapak udah punya anak lagi dari mamak tiri, aku keg gak dipedulikan lagi sampe dibiarkanlah aku pigi ke Medan kak nyusul kakak. Itupun gak ada di carinya. Lebih baguslah aku disini kak walaupun gak sekolah dan kerja di terminal daripada harus balek ke sana lagi. Percuma juga kak. Mamak ataupun bapak mana pernah nyariin aku. Mamak aja ku telepon, nomernya gak nyambung lagi. Terakhir ku dengar, bapak katanya udah meninggal kak. Aku belum tau kak mau kesana atau enggak (JB, 15)”.

Lingkungan juga memiliki pengaruh yang cukup besar yang dapat menyebabkan anak menjadi anak jalanan. Baik buruknya lingkungan akan


(30)

mempengaruhi perkembangan anak, terlebih jika orang tua membiarkan anak-anaknya meninggalkan sekolah dan menikmati kehidupan di jalanan. Lingkungan terminal Pinang Baris yang banyak dihuni oleh orang-orang yang memiliki perilaku negatif yang dapat membuat anak terpengaruh. Berikut adalah hasil wawancara dari anak jalanan yang pergi ke jalanan karena pengaruh dari teman.

“Aku udah lama kak di jalanan ini. Sebenarnya mamak gak adanya nyuruh aku ke jalanan gitu kak. Tapi karena ku lihatnya kawanku ngamen dan sapu-sapu angkot kak. Diajaklah aku kak ikut kerja, daripada aku dirumah dan gak ada kerjaan. Aku pun udah gak sekolah lagi kak, jadi kerjalah aku kak. Waktu mamak tau aku kerja keg gitu, biasa aja sih kak reaksi mamak. Malah adik ku sekarang juga udah gak sekolah dan kerja keg aku juga. Kalau anak-anak di terminal ini kak hampir semuanya anak jalanan. Apalagi keluarganya pada bisa dibilang miskinlah kak. Gak bisa bayar uang sekolah. Jadi mamak pun keg mamak-mamak yang lain. Gak ngelarang gitu (S, 16)”.

4.4. Pelaku dan Bentuk Kekerasan Pada Anak Jalanan

Kekerasan terhadap anak tidak hanya terjadi di lingkungan keluarga dan sekolah tetapi juga terjadi di lingkungan sosial terutama bagi anak-anak jalanan. Anak-anak jalanan harus terus bertahan hidup dengan kemampuan dan caranya sendiri karena di jalanan anak-anak menghadapi beragam konflik dan ancaman kekerasan. Tindak kekerasan dapat dilakukan oleh siapapun. Mulai dari keluarga anak jalanan itu sendiri, sesama anak jalanan, supir di terminal, aparat pemerintahan seperti Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), dan sebagainya.


(31)

Dalam penelitian UNICEF pada tahun 2005 yang mengenai kekerasan terhadap anak di mata anak Indonesia, hasil konsultasi anak tentang kekerasan terhadap anak di 18 Provinsi dan Nasional menyebutkan bahwa pelaku tindak kekerasan terhadap anak antara lain terdiri dari keluarga anak, guru di sekolah, aparat pemerintahan, majikan/mandor di tempat anak bekerja. Seperti yang dinyatakan oleh salah seorang anak jalanan yang pernah terkena razia aparat Satpol PP. Ketika melakukan razia, Satpol PP sering menggunakan kekerasan.

“Aku pernah kak di pukuli dan di tendangi sama Satpol PP. Waktu itu aku lagi ngamen, terus mereka datang langsung ngejar karena aku kabur dan waktu tertangkap mereka langsung tarik bajuku dan pukuli aku di jalan itu baru dinaikkan aku ke mobilnya. Waktu di kantor, aku langsung di hukum lagi di suruh berdiri dengan satu kaki, terus tanganku dua-duanya megang telinga kak. Aku di suruh berdiri keg gitu lama kali kak. Kalau goyang dikit atau kakiku turun langsung di pukuli kak. Sakit sih badanku, lebam-lebamlah kak. Cuman gak berani aku bilang sama mamak. Ku bilang aja aku jatuh, padahal udah ditendangi aku semalaman. Aku juga gak berani lagi jadi pengamen kak, karena kata bapak itu kalau mereka tangkap aku lagi, bakal lebih parah lagi dibuatnya (S, 16)”.

Orangtua yang seharusnya memiliki peran yang paling besar untuk melindungi keluarganya, malah orangtua kerap sekali menjadi pelaku kekerasan terhadap anak jalanan. Seperti yang dialami oleh informan yang sering dipukuli oleh ayahnya di rumah.

“Bapak pemakai sabu kak. Aku udah biasa nengok bapak makek keg gitu. Aku gak diajak sih kak makek dan memang gak ada niatku kak. Cuman ya gitu kak, bapak orangnya kumat-kumattan


(32)

kak. Gak tertebak emosinya kapan. Tapi aku selalu di pukul bapak kalau aku gak bawak nasi yang keg ku bilang tadi kak. Jadi nenek itukan punya warung nasi, jadi selalulah aku di suruh minta nasi untuk bapak padahal bapak gak ada ngasih uang untuk beli. Manalah mau nenek ngasih gratis terus kak, apalagi nenek tau bapak gak ngasih uang untuk kebutuhan kami. Aku paling gak suka kak di suruh keg gitu, karena setiap aku ke sana pasti kenak marahi nenek aku kak, dibentak-bentaknya. Terus pulanglah aku gak bawak nasi, dipukuli bapaklah aku karena di bilang gitu aja gak bisa. Sampe pernah aku di pukul pakek tali pinggang kak. Sampe pernah sekali aku gak pulang ke rumah kak karena malas gak suka lihat bapak, tapi kasihan mamak. Jadi pulanglah aku kak dan sampe sekarang kalau ketemu bapak di rumah gak ku cakapi kalau itu gak perlu kak (RI, 15)”.

Hal yang sama juga dialami oleh anak jalanan yang lain. Berikut hasil wawancaranya.

“Kalau aku kak dipukuli Satpol PP itu memang sakit kalilah kak. Gak nyangka aja mereka keg gitu. Tapi kak, ada yang buat aku gak pernah lupa. Waktu bapakku mukuli aku kak. Jadi ceritanya itu, bapakkan preman kak dan udah keluar masuk penjaralah kak. Pernahlah kejadian aku gak pulang ke rumah, nginap tempat kawan. Terus aku minjam baju kawanku untuk ku pakek, bapak langsung marah kak. Dia gak suka kalau anaknya minjam baju orang, padahal bajuku basah kak di situ. Tanpa nanya alasannya, bapak langsung ambil tali pinggang kak dan dipukulinya badanku pakek kepala tali pinggang itu sampe jatuh aku kak. Gara-gara dipukuli kek gitu, ku bilang sama bapak, matikan aja sekalian aku. Kupikir bakalan stop bapak kak, ini malah semakin dipukulinya aku sampe berdarah badaku. Karena takut aku semakin gila bapak mukuli, lari aku langsung dari rumah. Untung aja ada kakakku waktu itu belain aku, jadi waktu bapak berhenti sebentar mukul, aku kabur. Seminggu aku gak pulang karena takut kak. Seram kalilah bapak kak. Gak lihat-lihat siapa yang dipukulinya (S, 16)”.


(33)

Berbeda dengan RI dan S, seorang anak jalanan merasa sudah diabaikan atau ditelantarkan oleh orangtuanya. Orangtua merupakan seseorang yang harusnya bertanggung jawab dan memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak.

“Aku udah gak pernah lagi komunikasi sama bapak, mamak ataupun kakak kandungku kak. Mereka itu udah punya hidup masing-masing kak. Buktinya aja aku gak pernah dihubungi ataupun dicariin. Sejak bapak nikah lagi itulah kak, aku udah mulai diabaikan bapak. Malah waktu aku milih pergi dari rumah, bapak gak nyariin sampe kakakku yang sekarang tempat aku tinggal, dia yang ngasih tau bapak aku di medan. Percuma dia dokter kak, buktinya itu gak menjamin hidupku kan? Lagian mungkin pun sekarang mereka udang gak nganggap aku lagi anaknya. Tapi yaudahlah kak, minggu lalu ada yang telepon ngasih tau bapak udah meninggal. Aku sih biasa aja kak, gak terlalu berpengaruh sama kek aku dulu dibiarkan dia kak. Gak berpengaruh juga di hidupnya kak. Pokoknya kek gitulah kak, aku udah gak mau tau lagilah tentang bapak mamak karena gara-gara mereka aku kek gini. Mungkin, kalau gak baik kian kakak dan istri pertama bapak ini, mungkin udah di usir aku kak (JB, 15)”.

Anak jalanan juga rentan untuk mengalami kekerasan seksual terkhusus anak perempuan. Kekerasan seksual terhadap anak jalanan bukanlah hal yang baru untuk kita dengar. Seperti yang dialami oleh salah seorang anak perempuan yang mengalami kekerasan seksual, dimana ia dipaksa untuk berhubungan seks tanpa persetujuan darinya. Kekerasan itu dilakukan oleh seorang aparat pemerintahan.

“Aku sebenarnya dikenali kak sama temanku. Waktu itu aku memang nakalah kak. Pulang main-main jam 9 atau 10 malam. Bapak ya marah-marah aja. Tapi pernahlah aku malas pulang


(34)

kerumah dan pigilah sama kawan. Waktu kami jalan-jalan dikenalilah aku kak sama si lelaki ini. Dia udah berumurlah kak, punya istri juga. Tapi aku gak curiga karena kami rame-rame kak sama temanku yang lain. Dibawaklah kami naik mobilnya kak dan makan-makan. Rupanya setelah itu dibawaknyalah aku ke kost-kost’an gitu kak di daerah Siantar sana, diancam dan dipaksanya. Takut aku kak karena badannya besar dan gemuk, seram lagi kak waktu marah. Setelah itu, dibawaknya aku kabur kak selama empat bulan kak. Setelah empat bulan itu ku berani-beranikan telepon orang mamak karena udah gak tahan lagi aku kak. Terus pigi aku kak sembunyi-sembunyi balek ke Medan untuk pulang kak (YL, 18)”.

Hal yang serupa juga dialami oleh seorang informan yang lain. Namun, jika YL pelakunya adalah aparat pemerintahan. Informan ini dilakukan oleh keluarganya sendiri (paman). Berikut hasil wawancaranya.

“Gimana ya kak, malu aku bilang sama kakak. Udah satu kampung ini ngejek aku kak. Bahkan teman-teman di sekolah juga kak. Sebenarnya setahun atau dua tahun yang lalu kejadiannya kak. Jadi, aku itu sering dulu ke rumah paman kak karena rumah paman dekat sekolahku. Paman itu baik kali kak, setiap hari aku dikasihnya uang untuk jajan. Makanya aku sukak kak disana. Waktu itu cumqn qku sama paman dirumah. Gak ada yang lain. Jadi tiba-tiba paman dekat-dekati aku kak dan maksa aku kak. Pokoknya kek gitulah kak, aku malu ceritain itu kak karena udah semua tau. Banyak orang yang nilai aku gak benar kak. Udah dua hari ini aku gak mau juga ke sekolah kak, kawan-kawanku ngejek terus kak. Malu aku kak. Lebih sukak aku berteman dengan anak-anak kecil daripada yang sama kek aku kak besarnya. Mereka setiap jumpa sama aku, pastinya mukaknya gak enak kak, kek gak suka gitu kak (AP, 13)”.


(35)

4.4.1. Dampak Terjadinya Kekerasan Pada Anak Jalanan

Kekerasan yang dialami oleh anak-anak dapat mengakibatkan dampak yang buruk secara fisik, psikis dan bahkan secara sosial. Secara fisik seperti mengakibatkan luka-luka di sekitar daerah tubuh atau semua kerusakkan yang terlihat nyata oleh panca indra kita. Kekerasan fisik yang berlangsung terus-menerus atau dilakukan berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan dapat meninggalkan bekal luka serius secara fisik, bahkan dapat mengakibatkan kematian. Namun, dari semua anak jalanan yang menjadi informan dalam penelitian ini, tidak ada bekas luka yang sampai menimbulkan cedera serius, seperti perngakuan dari salah seorang informan anak jalanan.

“Bapak gak tiap hari kak mukulin aku. Terkadang dia baik kali kak, tapi kayak tadi kak, kalau bapak nyuruh ambil nasi ke tempat nenek terus nenek gak ngasih. Aku dipukulah kak. Terkadang dimarahi aja. Masih mending dimarahi kak, ini dipukulnya. Bapak gak tertebak kak kapan baik, kapan enggak. Paling kalau dia lagi makek ajalah kak aman-aman. Paling memar-memar kak, terus seminggu lagi udah hilangnya itu. Udah kebal juga badanku ini kak. Jadi gak terlalu terasa lagi sih (RI, 15)”.

Jika dampak secara fisik terlihat secara nyata oleh panca indra, berbeda dengan dampak secara psikis. Dampak secara psikis sulit diidentifikasi karena tidak meninggalkan luka yang nyata secara fisik, namun meninggalkan luka yang tersembunyi yang termanifestasikan atau menimbulkan rasa takut atapun rasa tidak aman di dalam diri, pendendam, kurangnya rasa percaya diri, depresi, menurunnya semangat belajar, bahkan bagi anak-anak yang mengalami kekerasan


(36)

seksual dapat membuat anak tersebut menjadi takut untuk menikah, trauma akibat eksploitasi seksual yang dialaminya. Jika dalam waktu jangka panjang dapat menimbulkan perubahan perilaku di dalam diri anak tersebut. Sedangkan secara sosial, anak-anak yang mengalami kekerasan tanpa ada penanganan atau penanggulangan terhadap masalah yang dialaminya, anak-anak tersebut dapat menarik diri dari lingkungannya, sulitnya berkomunikasi dengan orang lain, menutup diri dari pertemanan dan menjadi sulit untuk mempercayai orang lain. Ini juga yang sedang terjadi oleh salah seorang anak jalanan yang mengalami kekerasan seksual sampai saat ini, seperti yang dikatakan oleh salah seorang staff SKA-PKPA.

“Dia kemungkinan akan sulit dek terbuka tentang kejadian yang pernah dialaminya dulu. Karena itukan baru setahun yang lalu terjadi. Sampai sekarang dia gak suka bergabung rame-rame sama temannya karena orang-orang disini juga tau kasus dia dek, dan ngejek dia. Jadi AP ini cukup menarik diri dari siapapun. Hanya saja kalau dia sudah merasa nyaman dan menganggap seseorang temannya, dia pasti mau terbuka. Tapi ya gitu dek, harus pelan-pelan karena dia sudah cukup dewasa berpikir walaupun secara umur dia masih anak-anak. Sekarang aja dia jarang terlihat datang ke sanggar karena takut di ejek temannya (Era, Staff SKA-PKPA)”.


(37)

4.5. Advokasi SKA-PKPA Dalam Penanggulangan Kekerasan Pada Anak Jalanan

Umumnya anak jalanan berasal dari keluarga-keluarga miskin. Anak jalanan sering sekali dipandang negatif oleh masyarakat karena sering sekali berperilaku negatif dan merugikan banyak orang yang ada di sekitarnya. Mereka terbiasa hidup tanpa aturan apapun, berkelahi bahkan berbicara yang tidak baik. Anak-anak ini berpikir bahwa hidup di jalanan menjanjikan karena mudah untuk mencari uang dan melupakan bahwa mereka tidak jarang menghadapi resiko kekerasan yang dapat dilakukan oleh siapapun. Anak jalanan tetaplah anak-anak yang memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan. Walaupun banyak anak jalanan yang tidak mengerti apa yang menjadi hak mereka sebagai seorang anak. Anak jalanan merasa bahwa ketika mereka mengalami kekerasan di jalanan, misalnya di palak oleh preman, dipukuli oleh Satpol PP, dan bahkan jika dirumah mereka dipukul yang dilakukan oleh keluarganya, serta ketika mereka harus bekerja dan tidak sekolah lagi (drop out) adalah hal wajar. Seperti yang dinyatakan oleh seorang anak jalanan.

“Biasanya itu kak kalau kami di palak atau di tokok kepala kami sama supir angkot kak. Walaupun kakak sanggar pernah bilang sama kami, kalau kami dipalak atau dipukuli, atau ditendang Satpol PP lagi gitu gak boleh, bilang aja ke kakak itu, tapi untuk apalah kami laporkan kak ? Namanya juga jalanan, udah biasa. Dikit-dikit dipukul atau ditendang itu bukan hal yang baru sama


(38)

kami kak. Yang penting kami itu masih hidup belum masuk rumah sakit aja kak (S, 16)”.

Jika kekerasan pada anak terkhusus anak jalanan terus dilakukan, maka anak jalanan akan terbiasa dengan pola hidup kekerasan. Anak jalanan bahkan akan menerapkan tindakan kekerasan tersebut dalam masyarakat sekitar. Sebab itu, harus ada upaya untuk melindungi dan menyadarkan mereka akan apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh orang lain kepada mereka dan sebaliknya. Upaya yang dilakukan terkait dengan kekerasan pada anak jalanan ini adalah dengan melakukan pendekatan advokasi. Advokasi merupakan pendekatan sistematis dan terorganisir yang dilakukan oleh individu atau organisasi dalam rangka mendapatkan solusi atas permasalahan dan/atau sengketa dan/atau kebijakan yang berpotensi menciptakan ketidakadilan dan merugikan masyarakat. Dalam melakukan advokasi harus ditetapkan tujuan yang akan dicapai (Azhar, 2012:24).

Melakukan advokasi berarti bertindak sebagai pembela, penengah, perantara atau penghubung. Advokasi saat ini sudah dilakukan oleh banyak LSM, salah satunya PKPA. Misi PKPA adalah advokasi kebijakan yang diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak serta menegakkan hak-hak anak baik secara litigasi maupun non-litigasi. Anak jalanan juga perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak. Untuk menangani masalah anak jalanan, pada akhirnya PKPA membentuk suatu unit


(39)

khusus yang menangani permasalahan anak jalanan termasuk mengenai kekerasan pada anak jalanan. Seperti yang diungkapkan oleh koordinator SKA-PKPA.

“Sanggar ini ada khusus menangani anak jalanan dek. Sebenarnya bukan hanya di daerah Terminal Pinang Baris saja, tetapi juga daerah terminal Amplas, Klambir, Semalingkar, Ayahanda juga. Hanya saja kami berfokus ke anak-anak yang di terminal ini karena lebih banyak di sini anak-anak jalanan yang memang sudah turun ke jalanan. Untuk yang di daerah lain kebanyakan masih status rentan anak jalanan dan strateginya mendampingi keluarganya, supaya anak-anak tersebut tidak turun ke jalanan (Lia, Koordinator SKA-PKPA)”.

Bagi PKPA, anak jalanan merupakan korban. Anak jalanan menerima keadaan yang menyakitkan ataupun menyengsarakan hidup mereka baik secara fisik maupun non-fisik dimana keadaan tersebut diluar kehendak mereka. Advokasi yang dilakukan sebenarnya tidaklah besifat netral karena lebih menekankan pada pembelaan korban. Dalam melakukan advokasi, SKA menyadari beberapa hal yang mereka rasa perlu untuk diperhatikan, yaitu pertama,menyadari bahwa apa yang terjadi dalam kehidupan anak jalanan mulai dari intimidasi, kekerasan dan konflik dalam keluarga mereka adalah hal yang harus terus diperjuangkan sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat maupun hukum. Kedua,pelanggaran ataupun kejahatan terhadap hukum yang dilakukan anak jalanan tidak boleh dibiarkan karena akan menjadi persoalan dalam masyarakat. Ini karena kegiatan advokasi dilakukan untuk mencegah munculnya persoalan-persoalan baru. ketiga,kgiatan advokasi


(40)

dimaksudkan supaya anak jalanan mampu untuk mengorganisir dirinya sendiri, sehingga jika ada persoalan yang akan muncul dapat dicegah. Advokasi tidak selamanya diselesaikan melalui jalur hukum, namun juga dengan cara penyadaran.

Dalam melakukan advokasi kepada anak jalanan, terkhusus dalam penanggulangan kekerasan yang terjadi pada mereka tidaklah mudah. Karena sifat advokasi yang tidaklah netral tadi dan berpihak kepada anak jalanan, maka dalam pengerjaannya menghadapi beberapa kekuasaan yang sangat kuat yang mungkin akan dapat dengan mudah mematahkan kegiatan advokasi. Seperti halnya yang pernah dilakukan oleh SKA di dalam menangani kasus kekerasan seksual (pemerkosaan) yang dialami oleh seorang anak jalanan yaitu YL. SKA melakukan advokasi litigasi namun juga non-litigasi dalam kasus YL. Bukan hanya berperan sebagai pembela yang membela anak jalanan tersebut supaya mendapatkan keadilan secara hukum, tetapi juga pada akhirnya menjadi penhubung antar keluarga karena terjadinya konflik baik dari keluarga anak jalanan maupun pelaku yang adalah aparat pemerintahan yang memiliki jabatan dan sudah berkeluarga.

“Kasus YL ini cukup lama selesai. Ada lebih satu tahunlah. Awalnya YL gak mau bilang apa yang udah terjadi sama dia. Dia tiba-tiba jadi beda gitu kata mamaknya. Akhirnya setelah kami dekati, kami dampingi, juga kerjasama sama temannya, dan juga kami konseling dia biar gak malu, dia akhirnya terbuka dek. Memang dia gak terbuka pertama kali sama kami, tapi sama temannya yang kami juga bekerjasama mendekatinya secara perlahan. Ternyata bukan hanya diperkosa, tapi dia udah hamil kira-kira 3 atau 4 bulan gitu. Karena kami udah tau siapa


(41)

pelakunya, kami langsung siapkan berkas dan melaporkannya ke polisi atas nama PKPA dek. Walaupun pasti akan banyak masalah yang harus dihadapi karena yang dilawan adalah salah satu aparat pemerintahan. Dan memang benar, berkas kami lama dan harus tiap minggu memastikan ke polsek apa berkasnya sudah di proses atau belum. Mereka menyuruh kami sabar karena pelaku ini adalah salah seorang yang memiliki jabatan dan perlu waktu jika ingin di proses dek. Karena ia juga adalah orang yang cukup ditakuti dek, tapi itu katanya (Lia, koordinator SKA-PKPA)”.

Hal ini juga diperkuat oleh ibu YL yang mengaku bahwa proses hukum anaknya sangat lama. Berikut hasil wawancara dengan ibu YL.

“Gimana ya dek, kasus anak ibu ini panjang prosesnya. Masalahnya dia ada jabatan pulak di situ, dan dikenal cukup takut orang-orang sama dia. Capeklah dek harus terus bolak-balik hanya mastikan laporan itu di proses atau belum. Bapaknya aja sampe sering bolos kerja kar’na harus kek gitu (Ibu YL)”.

Jika kita melihat dari pernyataan di atas, maka posisi atau kedudukan tertentu di dalam masyarakat mampu membuat seseorang tunduk bahkan takut. Adanya kekuasaan yang dimilikinya membuat ia mampu memaksakan kemauannya meskipun mendapatkan perlawanan. Sama halnya yang di katakan oleh Dahrendorf yang menyatakan bahwa wewenang dan kekuasaan yang berbeda dapat menjadi faktor yang menentukan terjadinya konflik. Kekuasaan selalu memisahkan dengan tegas antara penguasa dan yang dikuasai.

Kelompok yang menduduki posisi otoritas memiliki kepentingan untuk mengontrol atau mengendalikan orang yang berada di bawahnya. Melihat sulitnya


(42)

kasus berjalan seperti ini, akhirnya SKA-PKPA mengambil keputusan untuk melapor atas nama PKPA bukan lagi keluarga korban. SKA-PKPA pada akhirnya mengumpulkan lebih banyak bukti karena ini adalah kasus pemerkosaan anak di bawah umur. Sebelum kasus YL ini disidangkan, keluarga dari pihak pelaku tidak terima atas kejadian ini. Seperti yang diungkapkan oleh ibu YL.

“Sulit kali dek kalau melawan orang yang berpangkat ini. Mungkin, kalau SKA-PKPA gak bantu kami, pasti kasusnya gak di proses dek. Apalagi mamak dan istri si laki-laki itu datang ke rumah. Mereka marah-marah karena kami melapor ke polisi dan mereka ajak berdamai sebenarnya dek. Mereka mau bayar 20 atau 25 juta, ibu udah agak lupa. Tapi uang itu dicampakkan istrinya itu ke dinding dan disuruhnya ibu ambil. Ibu gak maulah dek. Bukan soal duit sekarang, tapi keadilan untuk anak sekarang (Ibu YL)”.

Konflik yang terjadi antara keluarga anak jalanan dan pelaku kekerasan memang menimbulkan dampak negatif yaitu terjadinya keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai sampai saat ini. Bukan itu saja, pihak pelaku juga mengancam keselamatan korban, seperti pernyatan YL.

“Setelah dijatuhkan hukuman penjara kak, laki-laki itu ngancam saya. Katanya lihat aja kalau nanti aku udah keluar dari sini. Agak takut si kak sebenarnya, tapi untung aja sekarang udah pindah rumah aku kak. Jadi dia gak tau rumahku yang baru (YL, 18)”.

Namun konflik juga menimbulkan dampak positif, dimana konflik meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok yang mengalami konflik dengan kelompok lain. Seperti yang diakui oleh YL.


(43)

“Sejak kejadian ini kak, hubungan aku sama bapak jadi dekat kak. Dulu itu aku takut kali sama bapak kar’na bapak sering marah. Itulah juga yang buat aku takut bilangkan kak. Tapi sekarang beda kak. Dari awal proses sampai udah selesai kasusnya, bapak gak kek dulu lagilah kak. Lebih ramah dan enal diajak biacara (YL, 18)”.

SKA-PKPA di dalam mencegah kembali terjadinya kekerasan pada anak jalanan pada akhirnya melakukan pendekatan advokasi kepada anak-anak jalanan mencakup kegiatan upaya membangun kesadaran anak jalanan. Namun, di dalam melakukan ini semua SKA-PKPA tidak dapat sendiri melakukan pendekatan strategi advokasi, mereka memerlukan yang lain untuk mampu menolong mereka untuk maksimal di dalam melakukan proses advokasi. Karena itu SKA-PKPA memperluas jaringan, baik itu perseorangan, kelompok atau organisasi yang memiliki kesamaan visi dan misinya bersedia terlibat dalam proses advokasi.

SKA-PKPA bekerjasama dengan KNH (Kinder Not Hilfe) dari Jerman untuk mengadakan pertemuan Komite Penasihat Anak yang bertujuan untuk berkonsultasi dengan anak untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai mereka, serta memotivasi dan mendukung anak melaksanakan rencana aksi dan melakukan advokasi untuk meningkatkan kehidupan mereka. Pertemuan ini bukan hanya untuk memastikan apa yang menjadi pandangan mereka tentang diri mereka sendiri, tetapi juga pada akhirnya memastikan setiap saran mereka akan di dengar dalam Konferensi Global yang rencananya akan diadakan di Argentina tahun 2017 dengan tema “It’s Time to Talk”. Pertemuan Komite


(44)

Penasihat Anak ini sudah dilaksanakan sebanyak 2 (dua) kali. Workshop ini hanyalah cara untuk anak-anak jalanan dapat menyadari apa yang menjadi hak mereka. Seperti yang dikatakan oleh seorang informan anak jalanan yang mengikuti pertemuan tersebut.

“Ternyata kak aku baru sadar kalau ternyata yang dilakukan Satpol PP itu gak benar kak, dan yang dilakuin bapak juga. Bahkan seharusnya mereka itu dihukumkan kak karna udah mukuli anak-anak yang ngamen sampe memar. Nangkap memang wajar, tapi dipukuli ternyata gak wajar kak. Seharusnya aku sekolah kak, bukan kerja kek gini. Biar tau aku kan kak. Aku jadi pengen sekolah sih, tapi mungkin tahun depanlah kak masuk. Kemarin kakak sanggar nanya lagi ke aku, mau atau enggak sekolah biar di bantu. Jadi aku jawab iya kak. Sebenarnya udahnya beberapa kali kakak itu nanya, tapi aku jawab enggak (S, 16)”.

Pernyataan yang sama juga diungkapkan oleh anak jalanan lainnya yang mengikuti pertemuan komite anak. Berikut adalah hasil wawancaranya.

“Rupanya diterlantarkan itu termasuk kekejaman orangtua ya kak. Aku pikir itu cuman urusan pribadi kek gitu-gitu aja. Rupanya enggak kak (JB, 15)”.

Jika anak-anak jalanan yang pernah mengalami kekerasan menyadari bahwa mereka tidak bisa diperlakukan seperti itu dan tidak meninggalkan trauma yang berkepanjangan. Namun berbeda dengan seorang anak jalanan yang pernah mengalami kekerasan yaitu AP. AP masih mengalami dampak secara psikis yang sulit untuk dilepaskannya. Ia menjadi anak yang tertutup dan sulit untuk mengatakan apa yang dirasakannya kepada orang lain. Kasus kekerasan seksual


(45)

yang dialami AP tidak diproses secara hukum karena pihak keluarga tidak mau untuk memperpanjang masalah, walaupun pada akhirnya anak mengalami taruma yang cukup besar. Keluarga AP bisa dikatakan adalah keluarga yang tidak terlalu mempedulikan anak-anaknya. Melihat kondisi keluarga AP maupun AP, sampai saat ini hal yang dapat dilakukan SKA-PKPA masih terus melakukan pendekatan advokasi kepadanya dengan cara konseling (penyadaran) akan apa yang menjadi haknya sebagai seorang anak yang harus dilindungi. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang staff SKA-PKPA.

“AP itu tertutup sekali dek. Dia hanya akan cerita sama orang yang memang dia yakin untuk cerita. Karena memang masalah dia ini sekampung ini tau dek karna disini sedikit aja ada masalah, langsung kesebar. Ditambah lagi kasusnya kan gak di proses dek. Kemarin kami mau proses, tapi keluarganya gak mau dek dan diselesaikan secara kekeluargaan. Cuman sekarang udah agak berubah dia itu dek, udah mau ngomong dan senyum sama orang sedikit-sedikit (Dewi, staff SKA-PKPA)”.

Penanggulangan kekerasan pada anak jalanan tidak dapat hanya melibatkan anak itu sendiri tetapi juga keluarga. Banyaknya anak jalanan di jalan membuat SKA-PKPA pada akhirnya melakukan usaha pendampingan yang bertujuan untuk memahami anak, mengenali mereka secara mendalam mengenai kehidupan anak jalanan dan pada akhirnya mampu memberikan penyadaran akan hak mereka sebagai anak bahkan penyadaran terhadap kekerasan yang mereka akan alami atau sudah pernah di alami supaya tidak terjadi lagi.


(46)

Di dalam penelitian ini ditemukan bahwa banyaknya anak jalanan yang harus didampingi membuat pendampingan kepada setiap anak jalanan kurang maksimal. Staff yang khusus menangangi anak jalanan tidak seimbang dengan anak-anak jalanan yang didampingi. Anak-anak jalanan yang ada di Terminal Pinang Baris ini juga tidak terlalu banyak yang mengalami kekerasan di tahun ini, karena sudah dilakukannya penertiban preman terminal di awal tahun 2016 yanglalu oleh pihak kepolisian.


(47)

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, berikut beberapa kesimpulan yang telah didapat, yaitu anak jalanan merupakan anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan untuk bekerja, bermain atau beraktivitas lain. Anak jalanan tumbuh dengan berbagai latar belakang sosial seperti anak broken home ataupun anak-anak yang lari dari berbagai problema keluarga maupun masyarakat, serta anak-anak yang harus membantu ekonomi keluarganya. Akan tetapi sesungguhnya peran orangtua anak jalanan tidak berperan secara maksimal, ini dapat kita lihat saat orangtua anak mendukung dan membiarkan anaknya bekerja di jalanan.

Keberadaan anak di jalanan beresiko mengalami kekerasan terhadap diri mereka sendiri. Anak-anak jalanan harus bertahan hidup dengan kemampuan dan caranya sendiri. Tidak heran pada akhirnya jika anak-anak jalanan seperti terlihat sebagai anak yang nakal yang pada akhirnya sulit mendapatkan simpatik dari masyarakat. Kekerasan terhadap anak jalanan tidak hanya terjadi di lingkungan keluarga dan sekolah tetapi juga di lingkungan sosial. Tindak kekerasan dapat dilakukan oleh siapa saja, mulai dari sesama anak jalanan, orang dewasa yang


(48)

berada di sekitar jalanan seperti preman, supir dan bahkan aparat pemerintahan. Orangtua tidak lagi sebagai tempat pelindung dan yang mengayomi anak, karena saat ini banyak orangtua yang tidak berpikir panjang untuk melakukan kekerasan pada anaknya sendiri.

Anak jalanan mengalami kekerasan, baik secara fisik, psikis, kekerasan seksual, bahkan penelantaran anak. Berbagai kekerasan yang dialami anak jalanan ini menimbulkan dampak secara fisik, psikis bahkan sosial. Sayangnya, anak jalanan yang mengalami tindakan kekerasan tersebut takut dan malu untuk melaporkan apa yang mereka alami kepada pihak yang berwenang. Banyak kekerasan yang dialami oleh anak jalanan dan hak-hak dasar anak untuk hidup dan tumbuh berkembang secara optimal yang telah dirampas oleh lingkungan mereka harusnya dapat dikembalikan secara optimal. Namum, untuk menarik anak-anak dari jalanan bukanlah hal yang mudah karena semakin lama seseorang berada di jalanan maka semakin sulit untuk menariknya dari jalanan.

Anak jalanan telah melakukan banyak penyesuaian sikap perilaku sebagai upaya mereka untuk menghadapi kekerasan di jalanan dan juga bahaya yang lainnya. Anak jalanan bukan tidak memiliki peluang untuk mengubah nasibnya. Mereka masih berpeluang untuk mengubah nasibnya melalui belajar dan pendekatan yang didasarkan rasa empati, bukan dengan cara pemaksaan apalagi disertai dengan cara kekerasan. Anak jalanan adalah anak-anak yang juga perlu


(49)

dilindungi dari tindak kekerasan. Masyarakat banyak berharap terhadap pemerintah yang memiliki suatu kebijakan akan permasalahan anak jalanan. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada anak jalanan, tetapi upaya tersebut tidak terealisasi dengan baik.

Masalah anak jalanan bukanlah masalah yang hanya menjadi fokus pemerintah saja, tetapi tanggung jawab bersama. Inilah yang pada akhirnya melahirkan LSM, termasuk PKPA yang membangun suatu unit khusus yang menangani anak jalanan yaitu SKA. Di dalam penanggulangan anak-anak yang mengalami kekerasan, SKA tidak langsung melakukan upaya pemberdayaan karena menyadari bahwa anak-anak yang berada di jalanan tidak mengerti dan memahami apa yang menjadi hak mereka. Anak jalanan merasa bahwa mereka tidak memiliki tempat untuk mereka bercerita tentang apa yang terjadi pada mereka. Untuk itulah, SKA berpikir untuk hadir secara langsung dan dekat setiap harinya dengan anak jalanan, dan cara pertama adalah membangun sanggar tepat di dekat mereka bekerja.

Salah satu cara SKA dalam menanggulangi kekerasan pada anak jalanan adalah melalui pendekatan advokasi. Pendekatan advokasi bukanlah hal yang baru untuk dilakukan oleh para LSM termasuk SKA-PKPA. Di dalam mengadvokasi, SKA-PKPA tidak dapat melakukannya sendiri. Perlunya jaringan yang kuat untuk mampu melakukan pembelaan dan penyadaran kepada anak-anak jalanan,


(50)

khususnya anak yang mengalami kekerasan. Oleh sebab itu, SKA-PKPA bekerjasama dengan KNH Germany untuk menanggulangi masalah yang terjadi pada anak jalanan. Advokasi selalu berawal dari adanya issu yang diperjuangkan dengan cara mempromosikan pengembalian hak-hak mereka.

5.2. Saran

Adapun saran yang dapat disampaikan dari penelitian ini ialah:

1) Keluarga merupakan agen pertama atau institusi dasar yang menjadi pengaruh sangat besar dalam tumbuh kembang anak. Keluarga yang tidak harmonis baik antara orangtua dan anak maupun antara ayah dan ibu memberikan pengaruh yang buruk bagi kehidupan anak-anak. Sebagi keluarga yang juga berperan sebagai pelindung, sudah seharusnya menjalankan nilai dan fungsi keluarga secara benar dengan cara memberikan perhatian atau kasih sayang kepada anak bukan melakukan kekerasan kepada anak.

2) Jika anak diizinkan untuk terlibat di dalam menolong perekonomian keluarga bukan berarti keluarga dapat membiarkan anak tidak bersekolah lagi, namun harus mendorong anak untuk bersekolah dan tidak membiarkan anak menjadi putus sekolah. Orangtua ataupun keluarga memiliki tanggung jawab di dalam membiayai dan mendukung pendidikan anak baik secar formal maupun informal.


(51)

3) SKA-PKPA lebih mengenal anak-anak jalanan yang mengalami kekerasan dan memperhatikan database anak jalanan yang mengalami kekerasan, supaya penanganan anak jalanan yang mengalami kekerasan dapat dilakukan lebih baik lagi.

4) SKA-PKPA meningkatkan komunikasi dan berkerjasama dengan pemerintah bahkan lembaga lain untuk berupaya menangani permasalahan anak jalanan, khususnya anak-anak yang mengalami kekerasan.

5) Meningkatkan perlindungan kepada anak jalanan melalui advokasi sehingga dapat mencegah anak jalanan mengalami kekerasan di jalanan serta bekerjasama antara pemerintah, LSM dan masyarakat untuk melakukan upaya penyediaan pelayanan sesuai dengan kebutuhan anak jalanan.

6) Memperlakukan anak jalanan hanya sebagai objek program dan kepentingan hanya akan mengakibatkan nasib anak jalanan akan tetap sengsara sepanjang hidupnya.

7) Masyarakat perlu mengubah cara pandang, cara berpikir dan sikap terhadap anak jalanan. Tidak satupun anak jalanan yang bercita-cita menjadi anak jalanan.


(52)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Advokasi

Istilah advokasi sering sekali dihubungkan dengan profesi hukum. Menurut bahasa Belanda, advocaat atau advocateur adalah pengacara atau pembela. Banyak orang menganggap bahwa advokasi merupakan kerja-kerja pembelaan hukum (litigasi) yang dilakukan oleh pengacara dan hanya merupakan pekerjaan yang berkaitan dengan praktek beracara di pengadilan. Pandangan ini kemudian melahirkan pengertian yang sempit terhadap apa yang disebut sebagai advokasi. Advokasi seoalah-olah merupakan urusan sekaligus monopoli dari organisasi yang berkaitan dengan ilmu dan praktek hukum semata. Karena itu tidak mengherankan jika advokasi sering diartikan sebagai kegiatan pembelaan kasus di pengadilan. Namun jika kita mengacu pada kata advocate dalam bahasa Inggris, pengertian advokasi akan menjadi luas, tidak hanya berarti to defend (membela), melainkan pula to promote (mengemukakan atau memajukan), to create (menciptakan) dan to change (melakukan perubahan).

Istilah advokasi dapat merujuk kepada dua pengertian, yaitu pertama, pekerjaan atau profesi dari seorang advokat dan kedua, perbuatan atau tindakan pembelaan untuk atau secara aktif mendukung suatu maksud (Edi Suharto, 2006:1). Ada beberapa pengertian terkait dengan definisi advokasi, antara lain:


(53)

 Mansour Faqih dkk, mengartikan advokasi sebagai usaha sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental).

 Institut Advokasi Washington DC, mengartikan advokasi sebagai usaha terorganisir maupun aksi yang menggunakan sarana-sarana demokrasi untuk menyusun dan melaksanakan undang-undang dan kebijakan yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan merata.

 Webster’s New Collegiate Dictionary, memberikan pengertian advokasi sebagai tindakan atau protes untuk membela atau memberi dukungan. Jika kita melihat dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa advokasi lebih merupakan suatu usaha sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesak perubahan dengan memberikan dukungan dan pembelaan terhadap kaum lemah (miskin,terbelakang, dan tertindas) atau terhadap mereka yang menjadi korban ketidakadilan. Ada banyak sekali alasan mengapa seseorang diharuskan untuk melakukan advokasi.

Secara umum alasannya ialah: (a) karena kita selalu diperhadapkan dengan persoalan-persoalan kemanusiaan dan kemiskinan, (b) keserakahan, kebodohan, dan kemunafikan semakin tumbuh subur di sekitar kita, (c) yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin dan tertindas. Dari beberapa alasan inilah timbul kesadaran untuk melakukan suatu perubahan, perlawanan, dan pembelaan


(54)

atas apa yang dirasakan oleh banyak orang. Salah satu bentuk perlawanan dan pembelaan yang ‘anggun (elegan)’ ialah advokasi.

Ada dua unsur penting dalam membangun konsep advokasi yaitu pertama, advokasi ditujukan untuk membela dan meringankan beban kelompok yang lemah dan tujuan yang seharusnya berorientasi kepada perubahan sosial. Kedua, advokasi dapat dijadikan untuk membuka kemungkinan baru bagi masyarakat yang menjadi korban untuk menentukan strategi dan orientasi perubahan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Melakukan advokasi berarti bertindak sebagai seorang perantara, penengah, atau pembela yang akan bertindak seperti penghubung.

Advokasi akan lebih efektif jika dilaksanakan dengan prinsip kemitraan, yaitu dengan membentuk jejaring advokasi atau forum kerjasama. Dengan dilakukannya advokasi diharapkankesadaran dan pemahaman kelompok masyarakat maupun individu semakinmeningkat untuk memperjuangkan hak-haknya serta mengorganisir dirinyasecara berkesinambungan.

Beberapa karakteristik advokasi, antara lain:

a) Berorientasi tindakan, yaitu suatu advokasi berorientasi kepada tindakan untuk mencapai perubahan.


(55)

c) Tidak netral, yaitu para pekerja berpihak kepada yang lemah, yang perlu dibantu melalui usaha advokasi.

d) Mengaitkan kebijakan kepada praktek, yaitu kegiatan advokasi adalah menterjemahkan kebijakan ke dalam praktek dan memberi manfaat kepada semua orang.

e) Kesabaran dan penuh harapan, yaitu advokasi harus dilakukan dengan kesabaran penuh agar hasil advokasi dapat tercapai dengan baik.

f) Pemberdayaan, yaitu setiap usaha advokasi tujuannya ialah pemberdayaan korban agar dapat mengatasi masalah dan mandiri.

Konsep advokasi sering sekali disandingkan dengan pemberdayaan, karena proses advokasi yang dilakukan oleh banyak LSM membutuhkan pengorganisasian dan pemberdayaan kelompok masyarakat yang diajak untuk melakukan advokasi. Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan (Edi Suharto, 2009:59).


(56)

Pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai tujuan, pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi atau pendapat di depan umum, mempunyai mata pencaharian, dan sebagainya.

Oleh sebab itu, advokasi dan pemberdayaan tidak dapat dipisahkan. Pemberdayaan dan avokasi bagaikan dua sisi mata uang yang keduanya memiliki tujuan akhir yang sama yaitu perubahan sosial di masyarakat menuju masyarakat yang lebih bermanfaat dan sejahtera. Di dalam penanggulangan terhadap kaum lemah ataupun marginal yang pertama sekali dilakukan adalah mengadvokasi mereka yang menjadi korban ketidakadilan sebelum memberdayakan mereka. Pemaknaan advokasi di pemberdayaan tidak hanya sebagai pembela yang menjadi korban, melainkan bersama-sama dengan masyarakat melakukan upaya-upaya perubahan sosial secara sistematis.


(57)

2.2. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

Lembaga Swadaya Masyarakat adalah organisasi swasta yang secara umum bebas dari intervensi pemerintah. LSM didirikan dengan sebuah idealisme untuk memberikan perhatian terhadap isu-isu sosial, kemanusiaan, perbaikan kesejahteraan kelompok marginal, perlawanan terhadap kesenjangan dan kemiskinan. Menurut PBB, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah sebuah organisasi non pemerintah yang tidak mencari keuntungan materi, didirikan secara sukarela oleh masyarakat dengan skala lokal maupun internasional, serta bertujuan untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat. LSM didirikan dengan tujuan-tujuan tertentu oleh sekelompok orang yang memiliki kesamaan pandangan.

Lembaga Swadaya Masyarakat melakukan berbagai pelayanan dan fungsi kemanusiaan, menyampaikan keinginan warga Negara kepada pemerintah, memonitor implementasi kebijakan dan program, serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan Negara. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan suatu organisasi kemasyarakatan yang dibentuk atas prakarsa masyarakat untuk membantu pelaksanaan program pembangunan. Istilah LSM secara tegas didefinisikan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 8 tahun 1990 yang ditujukan kepada Gubernur di seluruh Indonesia tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat.


(58)

Lampiran II dari Inmendagri menyebutkan bahwa LSM adalah organisasi atau lembaga yang anggotanya adalah masyarakat warga negara Republik Indonesia yang secara sukarela atau kehendak sendiri berniat bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi atau lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya. Dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan pasal 1, yang dimaksud dengan organisasi kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat WNI (Warga Negara Indonesia) secara suka rela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Masa Esa untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila.

Menurut Philips J. Elridge, kelahiran LSM di Indonesia didorong oleh dua hal. Pertama,adanya upaya mencari model partisipasi dalam pembangunan sosial dan ekonomi yang memberikan penekanan lebih besar bagi masyarakat sendiri dalam menentukan kebutuhan dan meningkatkan kemampuan dalam mengelola kegiatan pembangunan secara mandiri. Kedua,adanya tuntutan kepada LSM sebagai katalisator bagi pengembangan nilai-nilai dan proses demokrasi dalam kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia secara lebih luas. Peter Hannan,


(59)

seorang pakar ilmu-ilmu sosial dari Australia yang pernah melakukan penelitian tentang LSM di Indonesia pada tahun 1986, menyatakan bahwa LSM ialah organisasi yang bertujuan untuk mengembangkan pembangunan pada level masyarakat bawah (grassroots), biasanya melalui penciptaan dan dukungan terhadap kelompok-kelompok swadaya lokal. Kelompok ini biasanya mempunya 20 sampai 50 anggota. Sasaran LSM adalah untuk menjadikan kelompok-kelompok ini berswadaya setelah proyeknya berakhir. Organisasi ini dalam terjemahan harfiahnya dari bahasa Inggris dikenal juga sebagai Organisasi non pemerintah yang disingkat Ornop atau ONP (bahasa Inggris non-governmental organization; NGO).

Menurut Hadiwinata mengatakan bahwa LSM telah menjadi sektor ketiga, yaitu sektor publik yang mengedepankan kepedulian sosial atau personal. Sektor pertama adalah sektor negara atau pemerintah yang berkewajiban menjamin pelayanan bagi warga Negaranya dan menyediakan kebutuhan sosial dasar, sedangkan sektor kedua adalah sektor swasta yang terdiri dari kalangan bisnis dan industrial yang bertujuan mencari penghidupan dan menciptakan kekayaan. Sebagai sektor ketiga, LSM beroperasi diluar pemerintah dan pasar. Secara garis besar ciri-ciri LSM ataupun organisasi non pemerintah sebagai berikut :

 Formal, artinya secara organisasi bersifat permanen, mempunyai kantor dengan seperangkat aturan dan prosedur.


(60)

 Swasta, artinya kelembagaan yang berada di luar atau terpisah dari pemerintah.

 Tidak mencari keuntungan, yaitu tidak memberikan keuntungan (profit) kepada direktur atau pengurusnya.

Menjalankan organisasinya sendiri (self-governing), yaitu tidak dikontrol oleh pihak luar.

Sukarela (voluntary), yaitu menjalankan derajat kesukarelaan tertentu.  Nonreligius, artinya tidak mempromosikan ajaran agama.

 Nonpolitik, yaitu tidak ikut dalam pencalonan di pemilu.

LSM lahir dalam konteks untuk mengimbangi peran dominatif negara. Tujuannya adalah untuk menjadi sparing partner pemerintah secara kritis dan memberdayakan masyarakat agar mereka memiliki kekuatan dalam bernegosiasi dan berjaringan guna menentukan masa depannya sendiri. Tidak jarang peran LSM cenderung radikal dan galak terhadap pemerintah lantaran kebijakan pembangunannya yang dianggap elitis. Peran LSM sering kali menjadi tumpuan dan harapan masyarakat yang hak-hak sosial politik dan ekonominya telah terampas. Sebaliknya, LSM tidak didirikan dengan tujuan untuk mendapatkan uang atau materi. Jika ada LSM yang proses pendiriannya dimotivasi oleh tujuan-tujuan materi, maka ia telah menyalahi kodratnya sebagai LSM. (Zubaedi, 2013:89).


(61)

2.3. Anak

Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Anak adalah tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita bangsa, memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara di masa mendatang. Menurut Konvensi Hak-hak Anak (Convention on The Right of The Child ), yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden (Keppres) nomor 39 tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah setiap individu yang berusia dibawah 18 tahun. Sebaliknya, Undang-Undang No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, batasan seseorang dapat dikatakan sebagai anak ialah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, disebut sebagai anak jika seseorang telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah nikah. Selain itu dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 pasal 1 ayat (1), anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Abu Huraerah, 2007:31).

2.4.Anak Jalanan

Istilah anak jalanan pertama sekali diperkenalkan di Amerika Selatatan (Brazil) dengan nama Menimos de Ruas untuk menyebutkan kelompok anak-anak yang hidup di jalanan dan tidak memiliki ikatan dengan keluarga. Dalam diskusi


(1)

Semoga kalian dapat menjadi lebih baik, baik secara akhlak maupun kehidupan.

8. Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) Reminiscere Deveno (Kak Mutiara Ginting, Kak Putri dan Bang Binsar) juga Kak Sri dan Kak Yolanda yang telah menjadi saudara baik di dalam suka dan duka, bertumbuh bersama dan yang senantiasa menegur, menolong bahkan mendoakan penulis selama ini. Semoga kasih kita kepada Allah semakin melimpah dan menjadi saluran berkat bagi semua orang di sekitar kita.

9. Adik-adik Kelompok Kecil Dehel Dominus (Lamria dan Rafita) serta Sav Theos Alena (Christy, Diana dan Novia). Penulis mengucap syukur setiap kali mengingat kalian semua dan terimakasih telah menjadi bagian di dalam hidup penulis. Kiranya kasih kalian kepada Allah semakin melimpah dalam pengenalan yang benar dan menghasilkan buah kebenaran untuk kemuliaan Allah.

10. Sahabat-sahabat penulis (Dessyani, Dewinia, Lorina dan Karunia). Terimakasih untuk semua pengalaman yang pernah kita lewati. Bertengkar, menangis bersama, tertawa dan dukungan yang telah diberikan selama kita bersama.


(2)

11. Pelayanan UKM KMK USU dan UKM KMK USU UP PEMA FISIP yang telah menjadi tempat bagi penulis untuk bertumbuh serta Tim Pengurus Pelayanan (TPP) 2014 dan 2015.

12. Panitia KDS 2016 (Rumondang, Suhendra, Tiwi, Tumiar, Ayu, Shelly, Yulius, Tuti, Dewi, Yosevin, Alwi, Adven, Erna, All ria, Ira, Novita, Putri, Monica dan Ranika) yang telah memberikan dukungan semangat kepada penulis dan juga untuk setiap kebersamaan kita yang singkat namun bermakna. Semoga kita terus bersemangat untuk melayani.

13. Seluruh teman-teman mahasiswa Departemen Sosiologi, khususnya Sosiologi stambuk 2012. Terimakasih untuk kebersamaannya selama empat tahun ini. Semoga kita menjadi alumni-alumni yang pada akhirnya bermanfaat kepada setiap orang yang ada disekitar kita.

14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu penulis untu menyelesaikan skripsi ini.

Medan, Oktober 2016

Peneliti


(3)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

1.5. Definisi Konsep 1.5.1. Advokasi ... 11

1.5.2. Anak ... 11

1.5.3. Anak Jalanan ... 12

1.5.4. Kekerasan ... 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Advokasi ... 13


(4)

2.4. Anak Jalanan ... 22

2.5. Kekerasan ... 30

2.6. Teori Konflik ... 33

2.7. Penelitian Terdahulu ... 39

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 42

3.2. Lokasi Penelitian ... 42

3.3. Unit Analisis dan Informan ... 43

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 44

3.5. Interpretasi Data ... 45

3.6. Jadwal Kegiatan ... 46

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian 4.1.1. Keadaan Geografis ... 47

4.1.1. Sejarah Berdirinya SKA-PKPA ... 48

4.2. Profil Para Informan ... 54

4.2.1. Anak Jalanan ... 54

4.2.2. Pekerja atau Staff SKA-PKPA ... 59


(5)

4.3.1. Status Anak Jalanan di Terminal Pinang Baris ... 61

4.3.2. Faktor Penyebab Anak di Jalanan ... 63

4.4. Pelaku dan Bentuk Kekerasan Pada Anak Jalanan ... 66

4.4.1. Dampak Terjadinya Kekerasan Pada Anak Jalanan ... 70

4.5. Advokasi SKA-PKPA Dalam Penanggulangan Kekerasan Pada Anak Jalanan ... 72

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 81

5.2. Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 86


(6)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1. Perbedaan Anak Jalanan yang Hidup di Jalanan

dan Anak yang Bekerja di Jalanan ... . 27 2.2. Bentuk Kekerasan yang dialami Anak Jalanan