Teori Konflik KAJIAN PUSTAKA

dieksploitasi, atau menelantarkan anggota keluarga. Misalnya, mengambil uang korban secara paksa, mengawasi pengeluaran uang sampai sekecil- kecilnya, semuanya dengan maksud hanya untuk dapat mengendalikan tindakan korban.

2.6. Teori Konflik

Teori konflik adalah suatu pandangan bahwa masyarakat sebagai satu sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda, dimana komponen ini saling menaklukkan satu sama lain untuk mendapatkan keuntungan bagi kepentingan diri sendiri maupun kelompok. Konflik berasal dari bahasa Latin yaitu con yang berarti bersama dan figere, yang artinya benturan atau tabrakan saling memukul. Menurut Soerjono Soekanto, konflik merupakan suatu proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman atau kekerasan. Kekerasan terjadi dikarenakan tidak dapat diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan kekerasan, baik itu dari kekerasan yang terkecil hingga peperangan. Konflik merupakan gejala sosial yang selalu hadir dalam kehidupan sosial, artinya konflik akan senantiasa hadir dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan, karena dalam masyarakat menapun pasti Universitas Sumatera Utara pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Menurut teori konflik, masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan, setiap masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik, setiap elemen dalam masyarakat menyumbang pada disintegrasi dan perubahan sosial, serta setiap keteraturan yang terdapat di dalam masyarakat didasarkan atau berasal dari paksaan atas beberapa anggotanya oleh orang lain. Teoritisi konflik menekankan pada peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat Wirawan, 2012:74. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang seharusnya menjadi permasalahan bukanlah bagaimana meredam konflik, tetapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak menghancurkan hubungan antar pribadi, bahkan menghancurkan tujuan organisasi. Ralf Dahrendorf mengatakan bahwa ada empat jenis konflik, yaitu: a Konflik antar atau yang terjadi dalam peranan sosial yang biasa disebut dengan konflik peran. Konflik peran adalah suatu keadaan di mana individu menghadapi harapan-harapan yang berlawanan dari bermacam- macam peranan yang dimilikinya. b Konflik antara kelompok-kelompok sosial. Misalnya antar keluarga atau antar gank. Universitas Sumatera Utara c Konflik antara kelompok-kelompok yang terorganisir dan tidak terorganisir. Misalnya, polisi yang melawan massa. d Konflik antara satuan nasional. Seperti antar partai politik, antar negara, atau organisasi internasional. Dahrendorf adalah tokoh utama yang berpendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah konflik dan konsensus dan karena itu teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian: teori konflik dan teori konsensus. Teoritisi konsensus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat dan teoritisi konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama dihadapan tekanan Ritzer, 2014:148. Dahrendorf mengakui bahwa masyarakat tidak akan ada tanpa konsensus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain. Jadi, seseorang tidak akan punya konflik kecuali ada konsensus sebelumnya. Sebaliknya konflik dapat mengarahkan konsensus dan integrasi. Menurutnya, masyarakat disatukan oleh ‘ketidakbebasan’ yang dipaksakan kekuatan pemaksa. Dengan demikian posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas wewenang terhadap posisi yang lain. Kekuasan diartikan sebagai kemampuan untuk memaksakan kemauan seseorang meskipun mendapatkan perlawanan, sedangkan otoritas diartikan sebagai hak yang sah untuk mengharapkan kepatuhan dari seseorang. Otoritas Universitas Sumatera Utara tidak terletak dalam individu, tetapi dalam kedudukan dan kewenangan. Otoritas yang melekat pada posisi adalah elemen kunci dalam analisis Dahrendorf. Mereka yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengontrol atau mengendalikan orang yang berada di bawahnya. Mereka berkuasa karena harapan orang-orang di sekelilingnya, bukan karena karakteristikciri-ciri psikologis mereka. Seperti otoritas, harapan ini melekat pada posisi kedudukan bukan pada orangnya Maliki, 2012:237. Otoritas bukanlah fenomena sosial yang umum, mereka yang tunduk pada kontrol dan mereka yang dibebaskan dari kontrol, ditentukan di dalam masyarakat. Karena otoritas adalah absah, sanksi dapat dijatuhkan pada hak yang menentang. Menurutnya, otoritas tidak konstan karena terletak dalam posisi bukan di dalam diri orangnya Ritzer, 2014:150. Banyak faktor telah menyebabkan terjadinya konflik, diantarnya: • Perbedaan pendirian dan keyakinan orang perorangan telah menyebabkan konflik-konflik antar individu. Dalam konflik seperti ini terjadilah bentrokan-bentrokan pendirian dan masing-masing pihak berusaha membinasakan lawannya. Membinasakan tidak selalu harus diartikan sebagai pembinasaan fisik, tetapi bisa diartikan dalam bentuk pemusnahan simbolik atau melenyapkan pikiran-pikiran lawan yang tidak disetujuinya. Kenyataannya bahwa setiap individu tidak satu pun memiliki karakter Universitas Sumatera Utara yang sama, sehingga perbedaan pendapat, keinginan dan tujuan dapat memperngaruhi munculnya timbulnya sosial. • Perbedaan kebudayaan. Perbedaan kebudayaan tidak hanya akan menimbulkan konflik antar individu, akan tetapi dapat juga antar kelompok. Pola-pola kebudayaan yang berbeda akan menimbulkan pola- pola kepribadian dan pola-pola perilaku yang berbeda dikalangan khalayak kelompok yang luas, sehingga apabila terjadi konflik karena alasan ini, kemungkinan besar konflik tersebut akan bersifat luas dan karenanya dapat bersifat konflik antar kelompok. • Kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda. Mengejar tujuan kepentingan masing-masing yang berbeda-beda, kelompok-kelompok akan bersaing dan berkonflik untuk memperebutkan kesempatan dan sarana Narwoko, 2004:68. Konflik tidak selamanya berdampak negatif seperti keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai, kerusakkan harta benda, bahkan hilangnya jiwa manusia. Adapun konflik juga memiliki fungsi, antara lain a konflik dapat dipakai sebagai indikator kekuatan dan stabilitas suatu hubungan, b konflik tidak selalu berakhir dengan rasa permusuhan, c meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok in-group yang mengalami konflik dengan kolompok lain. d mempunyai fungsi komunikasi, dan e mengaktifkan peranan individu yang Universitas Sumatera Utara semula terisolasi. Apabila terjadi pertentangan antara dua kelompok yang berlainan, individu-individu akan mudah untuk mengubah kepribadiannya untuk mengidentifikasikan dirinya secara penuh dengan kelompoknya Soetomo, 2008:105. Menurut Nasikun, ada beberapa bentuk-bentuk pengendalian konflik diantaranya: 1 Konsiliasi. Pengendalian ini dapat terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan-keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan. 2 Mediasi. Bentuk ini dilakukan bila dari kedua belah pihak yang bersengketaberkonflik bersama-sama sepakat untk memberikan nasihatnya tentang bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan pertentangan mereka. 3 Arbitrasi yang berarti melalui pengadilan dengan seorang hakim arbiter sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan konsiliasi dan mediasi. Seorang hakim arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua pihak yang bersengketa, yang artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak menerima keputusan itu, maka Universitas Sumatera Utara ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih tinggi sampai kepada instansi pengadilan nasional yang tertinggi. 4 Perwasitan. Di dalam hal ini kedua belah pihak yang bertentanganberkonflik bersepakat untuk memberikan keputusan- keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi diantara mereka.

2.7. Penelitian Terdahulu yang Relevan