Advokasi SKA-PKPA Dalam Penanggulangan Kekerasan Pada Anak Jalanan

4.5. Advokasi SKA-PKPA Dalam Penanggulangan Kekerasan Pada Anak Jalanan

Umumnya anak jalanan berasal dari keluarga-keluarga miskin. Anak jalanan sering sekali dipandang negatif oleh masyarakat karena sering sekali berperilaku negatif dan merugikan banyak orang yang ada di sekitarnya. Mereka terbiasa hidup tanpa aturan apapun, berkelahi bahkan berbicara yang tidak baik. Anak-anak ini berpikir bahwa hidup di jalanan menjanjikan karena mudah untuk mencari uang dan melupakan bahwa mereka tidak jarang menghadapi resiko kekerasan yang dapat dilakukan oleh siapapun. Anak jalanan tetaplah anak-anak yang memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan. Walaupun banyak anak jalanan yang tidak mengerti apa yang menjadi hak mereka sebagai seorang anak. Anak jalanan merasa bahwa ketika mereka mengalami kekerasan di jalanan, misalnya di palak oleh preman, dipukuli oleh Satpol PP, dan bahkan jika dirumah mereka dipukul yang dilakukan oleh keluarganya, serta ketika mereka harus bekerja dan tidak sekolah lagi drop out adalah hal wajar. Seperti yang dinyatakan oleh seorang anak jalanan. “Biasanya itu kak kalau kami di palak atau di tokok kepala kami sama supir angkot kak. Walaupun kakak sanggar pernah bilang sama kami, kalau kami dipalak atau dipukuli, atau ditendang Satpol PP lagi gitu gak boleh, bilang aja ke kakak itu, tapi untuk apalah kami laporkan kak ? Namanya juga jalanan, udah biasa. Dikit-dikit dipukul atau ditendang itu bukan hal yang baru sama Universitas Sumatera Utara kami kak. Yang penting kami itu masih hidup belum masuk rumah sakit aja kak S, 16”. Jika kekerasan pada anak terkhusus anak jalanan terus dilakukan, maka anak jalanan akan terbiasa dengan pola hidup kekerasan. Anak jalanan bahkan akan menerapkan tindakan kekerasan tersebut dalam masyarakat sekitar. Sebab itu, harus ada upaya untuk melindungi dan menyadarkan mereka akan apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh orang lain kepada mereka dan sebaliknya. Upaya yang dilakukan terkait dengan kekerasan pada anak jalanan ini adalah dengan melakukan pendekatan advokasi. Advokasi merupakan pendekatan sistematis dan terorganisir yang dilakukan oleh individu atau organisasi dalam rangka mendapatkan solusi atas permasalahan danatau sengketa danatau kebijakan yang berpotensi menciptakan ketidakadilan dan merugikan masyarakat. Dalam melakukan advokasi harus ditetapkan tujuan yang akan dicapai Azhar, 2012:24. Melakukan advokasi berarti bertindak sebagai pembela, penengah, perantara atau penghubung. Advokasi saat ini sudah dilakukan oleh banyak LSM, salah satunya PKPA. Misi PKPA adalah advokasi kebijakan yang diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak serta menegakkan hak- hak anak baik secara litigasi maupun non-litigasi. Anak jalanan juga perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak. Untuk menangani masalah anak jalanan, pada akhirnya PKPA membentuk suatu unit Universitas Sumatera Utara khusus yang menangani permasalahan anak jalanan termasuk mengenai kekerasan pada anak jalanan. Seperti yang diungkapkan oleh koordinator SKA-PKPA. “Sanggar ini ada khusus menangani anak jalanan dek. Sebenarnya bukan hanya di daerah Terminal Pinang Baris saja, tetapi juga daerah terminal Amplas, Klambir, Semalingkar, Ayahanda juga. Hanya saja kami berfokus ke anak-anak yang di terminal ini karena lebih banyak di sini anak-anak jalanan yang memang sudah turun ke jalanan. Untuk yang di daerah lain kebanyakan masih status rentan anak jalanan dan strateginya mendampingi keluarganya, supaya anak-anak tersebut tidak turun ke jalanan Lia, Koordinator SKA-PKPA”. Bagi PKPA, anak jalanan merupakan korban. Anak jalanan menerima keadaan yang menyakitkan ataupun menyengsarakan hidup mereka baik secara fisik maupun non-fisik dimana keadaan tersebut diluar kehendak mereka. Advokasi yang dilakukan sebenarnya tidaklah besifat netral karena lebih menekankan pada pembelaan korban. Dalam melakukan advokasi, SKA menyadari beberapa hal yang mereka rasa perlu untuk diperhatikan, yaitu pertama,menyadari bahwa apa yang terjadi dalam kehidupan anak jalanan mulai dari intimidasi, kekerasan dan konflik dalam keluarga mereka adalah hal yang harus terus diperjuangkan sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat maupun hukum. Kedua,pelanggaran ataupun kejahatan terhadap hukum yang dilakukan anak jalanan tidak boleh dibiarkan karena akan menjadi persoalan dalam masyarakat. Ini karena kegiatan advokasi dilakukan untuk mencegah munculnya persoalan-persoalan baru. ketiga,kgiatan advokasi Universitas Sumatera Utara dimaksudkan supaya anak jalanan mampu untuk mengorganisir dirinya sendiri, sehingga jika ada persoalan yang akan muncul dapat dicegah. Advokasi tidak selamanya diselesaikan melalui jalur hukum, namun juga dengan cara penyadaran. Dalam melakukan advokasi kepada anak jalanan, terkhusus dalam penanggulangan kekerasan yang terjadi pada mereka tidaklah mudah. Karena sifat advokasi yang tidaklah netral tadi dan berpihak kepada anak jalanan, maka dalam pengerjaannya menghadapi beberapa kekuasaan yang sangat kuat yang mungkin akan dapat dengan mudah mematahkan kegiatan advokasi. Seperti halnya yang pernah dilakukan oleh SKA di dalam menangani kasus kekerasan seksual pemerkosaan yang dialami oleh seorang anak jalanan yaitu YL. SKA melakukan advokasi litigasi namun juga non-litigasi dalam kasus YL. Bukan hanya berperan sebagai pembela yang membela anak jalanan tersebut supaya mendapatkan keadilan secara hukum, tetapi juga pada akhirnya menjadi penhubung antar keluarga karena terjadinya konflik baik dari keluarga anak jalanan maupun pelaku yang adalah aparat pemerintahan yang memiliki jabatan dan sudah berkeluarga. “Kasus YL ini cukup lama selesai. Ada lebih satu tahunlah. Awalnya YL gak mau bilang apa yang udah terjadi sama dia. Dia tiba-tiba jadi beda gitu kata mamaknya. Akhirnya setelah kami dekati, kami dampingi, juga kerjasama sama temannya, dan juga kami konseling dia biar gak malu, dia akhirnya terbuka dek. Memang dia gak terbuka pertama kali sama kami, tapi sama temannya yang kami juga bekerjasama mendekatinya secara perlahan. Ternyata bukan hanya diperkosa, tapi dia udah hamil kira-kira 3 atau 4 bulan gitu. Karena kami udah tau siapa Universitas Sumatera Utara pelakunya, kami langsung siapkan berkas dan melaporkannya ke polisi atas nama PKPA dek. Walaupun pasti akan banyak masalah yang harus dihadapi karena yang dilawan adalah salah satu aparat pemerintahan. Dan memang benar, berkas kami lama dan harus tiap minggu memastikan ke polsek apa berkasnya sudah di proses atau belum. Mereka menyuruh kami sabar karena pelaku ini adalah salah seorang yang memiliki jabatan dan perlu waktu jika ingin di proses dek. Karena ia juga adalah orang yang cukup ditakuti dek, tapi itu katanya Lia, koordinator SKA- PKPA”. Hal ini juga diperkuat oleh ibu YL yang mengaku bahwa proses hukum anaknya sangat lama. Berikut hasil wawancara dengan ibu YL. “Gimana ya dek, kasus anak ibu ini panjang prosesnya. Masalahnya dia ada jabatan pulak di situ, dan dikenal cukup takut orang-orang sama dia. Capeklah dek harus terus bolak- balik hanya mastikan laporan itu di proses atau belum. Bapaknya aja sampe sering bolos kerja kar’na harus kek gitu Ibu YL”. Jika kita melihat dari pernyataan di atas, maka posisi atau kedudukan tertentu di dalam masyarakat mampu membuat seseorang tunduk bahkan takut. Adanya kekuasaan yang dimilikinya membuat ia mampu memaksakan kemauannya meskipun mendapatkan perlawanan. Sama halnya yang di katakan oleh Dahrendorf yang menyatakan bahwa wewenang dan kekuasaan yang berbeda dapat menjadi faktor yang menentukan terjadinya konflik. Kekuasaan selalu memisahkan dengan tegas antara penguasa dan yang dikuasai. Kelompok yang menduduki posisi otoritas memiliki kepentingan untuk mengontrol atau mengendalikan orang yang berada di bawahnya. Melihat sulitnya Universitas Sumatera Utara kasus berjalan seperti ini, akhirnya SKA-PKPA mengambil keputusan untuk melapor atas nama PKPA bukan lagi keluarga korban. SKA-PKPA pada akhirnya mengumpulkan lebih banyak bukti karena ini adalah kasus pemerkosaan anak di bawah umur. Sebelum kasus YL ini disidangkan, keluarga dari pihak pelaku tidak terima atas kejadian ini. Seperti yang diungkapkan oleh ibu YL. “Sulit kali dek kalau melawan orang yang berpangkat ini. Mungkin, kalau SKA-PKPA gak bantu kami, pasti kasusnya gak di proses dek. Apalagi mamak dan istri si laki-laki itu datang ke rumah. Mereka marah-marah karena kami melapor ke polisi dan mereka ajak berdamai sebenarnya dek. Mereka mau bayar 20 atau 25 juta, ibu udah agak lupa. Tapi uang itu dicampakkan istrinya itu ke dinding dan disuruhnya ibu ambil. Ibu gak maulah dek. Bukan soal duit sekarang, tapi keadilan untuk anak sekarang Ibu YL”. Konflik yang terjadi antara keluarga anak jalanan dan pelaku kekerasan memang menimbulkan dampak negatif yaitu terjadinya keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai sampai saat ini. Bukan itu saja, pihak pelaku juga mengancam keselamatan korban, seperti pernyatan YL. “Setelah dijatuhkan hukuman penjara kak, laki-laki itu ngancam saya. Katanya lihat aja kalau nanti aku udah keluar dari sini. Agak takut si kak sebenarnya, tapi untung aja sekarang udah pindah rumah aku kak. Jadi dia gak tau rumahku yang baru YL, 18”. Namun konflik juga menimbulkan dampak positif, dimana konflik meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok yang mengalami konflik dengan kelompok lain. Seperti yang diakui oleh YL. Universitas Sumatera Utara “Sejak kejadian ini kak, hubungan aku sama bapak jadi dekat kak. Dulu itu aku takut kali sama bapak kar’na bapak sering marah. Itulah juga yang buat aku takut bilangkan kak. Tapi sekarang beda kak. Dari awal proses sampai udah selesai kasusnya, bapak gak kek dulu lagilah kak. Lebih ramah dan enal diajak biacara YL, 18”. SKA-PKPA di dalam mencegah kembali terjadinya kekerasan pada anak jalanan pada akhirnya melakukan pendekatan advokasi kepada anak-anak jalanan mencakup kegiatan upaya membangun kesadaran anak jalanan. Namun, di dalam melakukan ini semua SKA-PKPA tidak dapat sendiri melakukan pendekatan strategi advokasi, mereka memerlukan yang lain untuk mampu menolong mereka untuk maksimal di dalam melakukan proses advokasi. Karena itu SKA-PKPA memperluas jaringan, baik itu perseorangan, kelompok atau organisasi yang memiliki kesamaan visi dan misinya bersedia terlibat dalam proses advokasi. SKA-PKPA bekerjasama dengan KNH Kinder Not Hilfe dari Jerman untuk mengadakan pertemuan Komite Penasihat Anak yang bertujuan untuk berkonsultasi dengan anak untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai mereka, serta memotivasi dan mendukung anak melaksanakan rencana aksi dan melakukan advokasi untuk meningkatkan kehidupan mereka. Pertemuan ini bukan hanya untuk memastikan apa yang menjadi pandangan mereka tentang diri mereka sendiri, tetapi juga pada akhirnya memastikan setiap saran mereka akan di dengar dalam Konferensi Global yang rencananya akan diadakan di Argentina tahun 2017 dengan tema “It’s Time to Talk”. Pertemuan Komite Universitas Sumatera Utara Penasihat Anak ini sudah dilaksanakan sebanyak 2 dua kali. Workshop ini hanyalah cara untuk anak-anak jalanan dapat menyadari apa yang menjadi hak mereka. Seperti yang dikatakan oleh seorang informan anak jalanan yang mengikuti pertemuan tersebut. “Ternyata kak aku baru sadar kalau ternyata yang dilakukan Satpol PP itu gak benar kak, dan yang dilakuin bapak juga. Bahkan seharusnya mereka itu dihukumkan kak karna udah mukuli anak-anak yang ngamen sampe memar. Nangkap memang wajar, tapi dipukuli ternyata gak wajar kak. Seharusnya aku sekolah kak, bukan kerja kek gini. Biar tau aku kan kak. Aku jadi pengen sekolah sih, tapi mungkin tahun depanlah kak masuk. Kemarin kakak sanggar nanya lagi ke aku, mau atau enggak sekolah biar di bantu. Jadi aku jawab iya kak. Sebenarnya udahnya beberapa kali kakak itu nanya, tapi aku jawab enggak S, 16”. Pernyataan yang sama juga diungkapkan oleh anak jalanan lainnya yang mengikuti pertemuan komite anak. Berikut adalah hasil wawancaranya. “Rupanya diterlantarkan itu termasuk kekejaman orangtua ya kak. Aku pikir itu cuman urusan pribadi kek gitu-gitu aja. Rupanya enggak kak JB, 15”. Jika anak-anak jalanan yang pernah mengalami kekerasan menyadari bahwa mereka tidak bisa diperlakukan seperti itu dan tidak meninggalkan trauma yang berkepanjangan. Namun berbeda dengan seorang anak jalanan yang pernah mengalami kekerasan yaitu AP. AP masih mengalami dampak secara psikis yang sulit untuk dilepaskannya. Ia menjadi anak yang tertutup dan sulit untuk mengatakan apa yang dirasakannya kepada orang lain. Kasus kekerasan seksual Universitas Sumatera Utara yang dialami AP tidak diproses secara hukum karena pihak keluarga tidak mau untuk memperpanjang masalah, walaupun pada akhirnya anak mengalami taruma yang cukup besar. Keluarga AP bisa dikatakan adalah keluarga yang tidak terlalu mempedulikan anak-anaknya. Melihat kondisi keluarga AP maupun AP, sampai saat ini hal yang dapat dilakukan SKA-PKPA masih terus melakukan pendekatan advokasi kepadanya dengan cara konseling penyadaran akan apa yang menjadi haknya sebagai seorang anak yang harus dilindungi. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang staff SKA-PKPA. “AP itu tertutup sekali dek. Dia hanya akan cerita sama orang yang memang dia yakin untuk cerita. Karena memang masalah dia ini sekampung ini tau dek karna disini sedikit aja ada masalah, langsung kesebar. Ditambah lagi kasusnya kan gak di proses dek. Kemarin kami mau proses, tapi keluarganya gak mau dek dan diselesaikan secara kekeluargaan. Cuman sekarang udah agak berubah dia itu dek, udah mau ngomong dan senyum sama orang sedikit-sedikit Dewi, staff SKA-PKPA”. Penanggulangan kekerasan pada anak jalanan tidak dapat hanya melibatkan anak itu sendiri tetapi juga keluarga. Banyaknya anak jalanan di jalan membuat SKA-PKPA pada akhirnya melakukan usaha pendampingan yang bertujuan untuk memahami anak, mengenali mereka secara mendalam mengenai kehidupan anak jalanan dan pada akhirnya mampu memberikan penyadaran akan hak mereka sebagai anak bahkan penyadaran terhadap kekerasan yang mereka akan alami atau sudah pernah di alami supaya tidak terjadi lagi. Universitas Sumatera Utara Di dalam penelitian ini ditemukan bahwa banyaknya anak jalanan yang harus didampingi membuat pendampingan kepada setiap anak jalanan kurang maksimal. Staff yang khusus menangangi anak jalanan tidak seimbang dengan anak-anak jalanan yang didampingi. Anak-anak jalanan yang ada di Terminal Pinang Baris ini juga tidak terlalu banyak yang mengalami kekerasan di tahun ini, karena sudah dilakukannya penertiban preman terminal di awal tahun 2016 yanglalu oleh pihak kepolisian. Universitas Sumatera Utara

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, berikut beberapa kesimpulan yang telah didapat, yaitu anak jalanan merupakan anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan untuk bekerja, bermain atau beraktivitas lain. Anak jalanan tumbuh dengan berbagai latar belakang sosial seperti anak broken home ataupun anak-anak yang lari dari berbagai problema keluarga maupun masyarakat, serta anak-anak yang harus membantu ekonomi keluarganya. Akan tetapi sesungguhnya peran orangtua anak jalanan tidak berperan secara maksimal, ini dapat kita lihat saat orangtua anak mendukung dan membiarkan anaknya bekerja di jalanan. Keberadaan anak di jalanan beresiko mengalami kekerasan terhadap diri mereka sendiri. Anak-anak jalanan harus bertahan hidup dengan kemampuan dan caranya sendiri. Tidak heran pada akhirnya jika anak-anak jalanan seperti terlihat sebagai anak yang nakal yang pada akhirnya sulit mendapatkan simpatik dari masyarakat. Kekerasan terhadap anak jalanan tidak hanya terjadi di lingkungan keluarga dan sekolah tetapi juga di lingkungan sosial. Tindak kekerasan dapat dilakukan oleh siapa saja, mulai dari sesama anak jalanan, orang dewasa yang Universitas Sumatera Utara