Pembatalan perkawinan akibat istri hamil dengan pria lain (analisis putusan nomor: 1500/pdt.G/2013/PA.Tgrs)

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Husnul Abrar

NIM.1110044100086

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT ISTRI HAMIL DENGAN PRIA LAIN (Analisis Putusan Nomor: 1500/pdt.G/2013/PA.Tgrs)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Husnul Abrar

NIM. 1110044100086

Di Bawah Bimbingan:

Dr.H.M. Nurul Irfan, MA.

NIP. 197308022003121001

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(3)

(Analisis Putusan Nomor: 1500/Pdt.G/2013/PA.Tgrs)” telah diajukan dalam sidang munaqasah Fakultas Syariah Dan Hukum Prodi Studi Hukum Keluarga Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 7 April 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Hukum Keluarga Islam.

Jakarta, 7 April 2015 Mengesahkan

Dekan,

Dr. Asep Saefuddin Jahar, M.A. NIP. 196912161996031001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Dr. Kamarusdiana, S.HI., M.H (……….)

NIP. 197202241998031003

2. Sekertaris : Sri Hidayati, M.Ag (……….)

NIP. 197102151997032002

3. Pembimbing : Dr.H.M. Nurul Irfan, M.A (……….) NIP. 197308022003121001

4. Penguji 1 : Dr. KH.A. Juaini Syukri, Lc, M.A (……….)

NIP. 195507061995031001

5. Penguji 2 : Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A (……….)


(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memproleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif HIdayatullah Jakarta.

Jakarta, 30 Maret 2015


(5)

v

Husnul Abrar. NIM : 1110044100086. PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT ISTRI HAMIL DENGAN PRIA LAIN (Analisa Putusan Nomor: 1500/pdt.G/2013/PA.Tgrs). Program Studi Hukum Keluarga, Kosentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. viii + 58 halaman 5 lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengenalkan kepada masyarakat yang sangat minim atau belum mengetahui lebih dalam prihal pembatalan perkawinan, dan memberi pemahaman yang lebih luas tentang pembatalan perkawinan.

Metode yang digunakan adalah deskriptif dengan jenis penelitian data kualitatif, dalam teknik pengumpulan data penulis melakukan wawancara Hakim yang menangani Putusan Perkara Nomor: 1500/pdt.G/2013/PA.Tgrs.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah, ada dua macam kawin hamil yaitu kawin hamil akibat zina dan kawin hamil dalam massa iddah, Nomor: 1500/pdt.G/2013/PA.Tgrs, Ulama sepakat dengan keharaman menikahi wanita yang hamil akibat zina kecuali laki-laki yang menghamilinya. Pembatalan perkawinan dapat diajukan apabila terdapat cacat atau salah sangka terhadap suami atau istri, akan tetapi bila salah satu diantara mereka mengetahui dan menerima atau menunjukan tanda-tanda menerima maka hilang haknya untuk mengajukan pembatalan perkawinan. Dalam skripsi ini terjadi perkawinan terhadap wanita hamil, setelah suami mengetahui awalnya suami menerima akan tetapi dikarenakan adanya percekcokan suami mengajukan pembatalan perkawinan, yang seharusnya kasus ini menjadi cerai talak ternyata hakim menjatuhkan dengan pembatalan perkawinan dengan alasan hakim hanya memutuskan sesuai dengan permintaan pemohon yaitu pembatalan perkawinan.

Pembimbing : Dr. H. M. Nurul Irfan, MA. Daftar Pustaka : Tahun 1949 s.d. Tahun 2013


(6)

vi

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang memberi petunjuk, kelancaran dan kemudahan sehingga berkat Ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta Salam tak lupa selalu tercurah kepada Baginda Muhammad saw, beserta Keluarga, Sahabat dan UmatNya.

Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Kosentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak akan dapat menyelesaikan jika tanpa dukungan, bantuan dan saran dari berbagai pihak, terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan dengan tulus kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saefuddin Jahar, M.A., P.hd selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Kamarusdiana, S.HI., M.H., Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag., Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. H. Nurul Irfan, M.A., Dosen Pembimbing Skripsi yang tidak pernah lelah dalam membimbing, mengarahkan dan memotivasi dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak DR. KHA. Juaini Syukri, Lc, M.A dan bapak Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA selaku penguji skripsi.

5. Ibu Maskufa, M.A sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang mengarahkan penulis sejak awal masuk perkuliahan.

6. Ibunda dan ayahanda tercinta, Yusmanidar dan yurizal serta kakak-kakakku Fitri Yulidar, Nofria Alamsyah, Mega Yozalini, adikku tersayang Miftahurrizki, Kakak-kakak iparku Medi yuliardi, Syarif


(7)

vii

staf/Karyawan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang membantu proses administrasi penulis, terima kasih atas bantuannya. .

8. kepala Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberi kemudahan dalam mengumpulkan refrensi kepada penulis.

9. Ketua dan seluruh staf Pengadilan Agama Tigaraksa, khususnya kepada bapak-bapak Hakim PA Tigaraksa bapak H. Antung Jumberi, S.H., M.H dan bapak Drs. H. Syaifullah yang banyak membantu dan mendukung hingga penelitian karya ilmiah ini berjalan lancar.

10.Sahabat-sahabatku yang sudah seperti saudara sendiri Ibrahim Nalo, Anas Kudus, Ubaydillah, dan seluruh mahasiswa baik PA-A maupun PA-B yang tidak bisa penulis sebut satu persatu.

Jakarta, 16 Maret 2015


(8)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………...i

PERSETUJUAN PEMBIMBING …...ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...…...iii

LEMBAR PERNYATAAN …………...iv

ABSTRAK …………...v

KATA PENGANTAR ………...vi

DAFTAR ISI ………...viii

BAB I: PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ...1

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah ……...5

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian …...6

D.Review Studi Terdahulu …...7

E.Metode Penelitian …………...9

F. Sistematika Penulisan ……...12

BAB II: PEMBATALAN PERKAWINAN A.Pembatalan perkawinan menurut perspektif Fikih ……...14 B.Pembatalan perkawinan menurutUndang-Undang No.1


(9)

ix

BAB III: STATUS HUKUM KAWIN HAMIL

A. Kawin hamil menurut perspektif Fikih …...29 B. Kawin hamil dalam perspektif KHI dan Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 ………..35

BAB IV: ANALISIS PERKARA PEMBATALAN PERKAWINAN (No: 1500/Pdt.G/2013/PA.Tgrs)

A. Deskripsi kasus perkara No: 1500/Pdt.G/2013/PA.Tgrs ...39 B. Analisis Putusan No: 1500/Pdt.G/2013/PA.Tgrs

Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan

Kompilasi Hukum Islam ………....………...51 C. Analisis penulis terhadap Putusan

No: 1500/Pdt.G/2013/PA.Tgrs ...………...…..53

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ………...56 B. Saran-Saran ………...57 DAFTAR PUSTAKA ………...59 LAMPIRAN-LAMPIRAN :


(10)

x

1. Surat Permohonan Data/Wawancara ….……….………60

2. Hasil Wawancara Hakim ………..………..61

3. Data Laporan Tahunan 2013 tentang Perkara Yang Diterima ...………62 4. Data Laporan Tahunan 2013 tentang Perkara Yang Diputus ………….63 5. Putusan Perkara Pembatalan Perkawinan No. 1500/Pdt.G/2013/PA.


(11)

1

Allah menciptakan manusia sebagai mahluk yang tidak dapat hidup sendiri, karena itulah allah swt mentakdirkan manusia hidup berpasang-pasangan

sebagaimana tertulis dalam alqur’an yang berbunyi, “hai sekalian manusia

bertakwalah kepada tuhanmu yang menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam) dan Allah menciptakan pasangannya (Hawa) dan dari dirinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak bertakwalah kepada Allah dengan mempergunakan namanya kamu meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturrahim sesunguhnya Allah selalu menjaga dan

mengawasimu.”(QS. Annisa; 01).

Ayat tersebut mengandung makna berpasang-pasangan dapat diartikan sebagai sebuah perkawinan antara laki-laki dan perempuan. kawin menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh1. Perkawinan menurut Undang-Undang perkawinan tahun 1974 pasal 1 adalah ikatan lahir batin antara seorang laki laki dan perempuan sebagai suami istri yang bertujuan membentuk kehidupan yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Dalam falsafah hukum Islam bahwa perkawinan adalah ikatan berencana antara seorang laki-laki dan perempuan yang

1

Dep dikbud, kamus besar bahasa indonesia,(jakarta:balaipustaka,1994),cet.ke-3,edisi ke2,hal 456.


(12)

2

telah dewasa atas dasar suka sama suka tanpa paksaan untuk membina rumah tangga yang sehat.2 sedangkan menurut Abu yahya zakaria al anshori mendefinisikan bawa nikah menurut istilah syara’ perkawinan adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafadz nikah atau dengan kata- kata yang semakna dengannya3. Sayyid bin sabiq, lebih lanjut mengomentari: perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku bagi semua mahluk tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan acara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak pinak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masig-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak menjadikan manusia seprti mahluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarkhi tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridoi, dengan upacara ijab qabul sebagai lambang adanya rasa ridho meridhoi dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat. Bentuk perkawinan ini telah memberikan jalan yang aman pada naluri seks, memelihara keturan dengan baik, dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana rumpun yang bisa dimakan oleh binatang ternak dengan seenaknya.

2

Fuad m fahruddin, filsafat dan hukum syariat islam, (jakarta:bulam bintang,1981),cet.ke-3, jilid 1,hal.160

3


(13)

Pergaulan suami istri menurut ajaran Islam diletakkan dibawah naluri keibuan dan kebapakan sebagaimana ladang yang baik yang nantinya menumbuhkan tumbuhan-tumbuhan yang baik dan menghasilkan buah yang baik pula.4

Pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang di sunnahkan kepada seluruh ummat muslim sebagaimana yang dianjurkan rasulullah SAW untuk menjalin silaturrahmi yang bertujuan untuk menciptakan keluarga yang sakinnah mawaddah warahmah yang pada akhirnya menciptakan masyarakat yang damai dan tentram

Pernikahan telah dinyatakan sah apabila telah memenuhi sarat sahnya dan rukun perkawinan tersebut serta ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Apabila perkawinan yang semacam itu telah terlaksana maka dapat dibatalkan sesuai ketentuan undang undang yang berlaku5. Adapun undang-undang yang mengatur pembatalan perkawinan yakni undang undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 22 sampai dengan pasal 28, sedangkan dalam KHI pembatalan perkawinan terdapat dalam pasal 70 sampai dengan 76. Salah satu penyebab perkawinan dapat dibatalkan ialah apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.6

Sebelum melangsungkan perkawinan hendaknya diawali dengan ta’aruf (pengenalan) antara kedua pihak agar saling mengenal lebih dalam hingga dapat

4

Sayyid Sabiq,Fiqh al-sunnah,(Beirut:Dar al-Fikr,1983), Cet.ke-4,jilid 2,h.5

5

Abdurrahman, Kompilasi hukum islam, Jakarta: Akademika Presindo), ha, 129-131.

6


(14)

4

menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing, hal ini bertujuan untuk menghindari salah sangka atau penipuan yang dapat merugikan salah satu pihak hingga berakhir pada perceraian atau pembatalan pernikahan.

Dalam kasus pembatalan pernikahan yang terjadi di Pengadilan Agama Tigaraksa bahwasanya setelah berlangsungnya pernikahan dalam kurun waktu dua hari si istri dinyatakan telah hamil dua bulan dengan pria lain (bukan suami sahnya), mengetahui si istri dalam keadaan hamil dengan pria lain maka suami tidak dapat menerima kenyataaan yang terjadi, oleh sebab itu suami mengajukan pembatalan pernikahan karena istri dianggap tidak jujur kepada pihak suami sebelum melangsungkan pernikahan. Untuk menjaga nilai-nilai perkawinan dalam islam dan kemashlahatan antara keduabelah pihak agar tidak ada yang dirugikan antara keduanya maupun salah satunya, maka Pengadilan Agama Tigaraksa memutuskan agar pernikahan ini di fasakh (batal).

Melihat dan mengamati lebih dalam dari kasus yang terjadi diatas, maka penulis berinisiatif untuk mengangkat permasalahan yang telah dikemukakan di atas untuk diketahui lebih lanjut serta mengetahui apa saja hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut, dengan menjadikannya sebuah skripsi dengan judul: PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT ISTRI HAMIL DENGAN PRIA LAIN (Analisis Putusan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 1500/Pdt. G/ 2013/PA. Tgrs).


(15)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Adapun yang menjadi pembahasan dalam penulisan skripsi ini agar lebih terarah maka penulis memfokuskan pada:

a. Pembatalan Perkawinan yang di sebabkan istri dalam keadaan hamil dengan pria lain.

b. Pengadilan Agama yang dimaksudkan dalam skripsi ini adalah Pengadilan Agama Tigaraksa.

2. Perumusan Masalah

Pada hakikatnya suatu perkawinan dapat dibatalkan karena tidak memenuhi syarat-sahnya sebuah perkawinan hingga dikhawatirkan terjadinya cacat hukum baik dari segi agama maupun negara sebagai akibat dari suatu kebohongan dan kekeliruan atau karena adanya paksaan. Begitupun halnya yang terjadi dalam kasus ini, bahwasanya si istri yang pernah melakukan hubungan seksual dengan pria lain sebelum melangsungkan perkawinan dengan suaminya sekarang hingga akhirnya si suami mengetahui bahwa istrinya telah hamil dengan pria tersebut dan hal ini di sebabkan karena ketidak jujuran istri sebelum melangsungkan perkawinan hingga pada akhirnya suami memutuskan untuk mengajukan pembatalan perkawinan ke Pengadilan Agama Tigaraksa. Menurut KHI pembatalan perkawinan dapat diajukan apabila terdapat cacat atau salah sangka terhadap diri suami atau


(16)

6

istri, kenyataannya dalam kasus ini tidak ada memiliki cacat akantetapi pengadilan memutuskan perkara ini dengan pembatalan perkawinan.

Sehubung dengan permasalahan di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana hukum menikahi wanita yang telah hamil dengan orang lain? 2. Apa dasar-dasar hukum yang berhubangan dengan pembatalan

perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI.

3. Apa yang menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam memutuskan perkara Pembatalan Perkawinan Nomor 1500/Pdt.G/2013/PA. Tgrs?

C. Tujuan dan manfaat penelitian 1. Tujuan penelitan

Adapun tujuan penulis dalam membuat skripsi ini adalah:

a. Mengetahui bagaimana hukum menikahi wanita yang telah hamil dengan pria lain (bukan dengan suaminya)

b. Mengetahui dasar-dasar hukum yang berhubangan dengan pembatalan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI.

c. Mengetahui landasan yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara ini


(17)

2. Manfaat penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, terkandung beberapa manfaat baik dari segi dari teoritis maupun praktis diantaranya adalah:

a. Manfaat teoritis

Dapat memberikan wawasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum islam, tentang pembatalan perkawinan akibat istri hamil dengan pria lain.

b. Manfaat praktis

Sebagai bahan pertimbangan bagi pencari keadilan dan menambah pengetahuan untuk dijadikan sumber referensi bagi masyarakat umum yang masih minim pengetahuan dalam khazanah hukum islam khususnya tentang ketentuan hukum dan undang-undang yang mengatur pembatalan perkawinan.

D. Review Studi Terdahulu

Dalam review studi terdahulu penulis menemukan beberapa buku dan judul skripsi yang hampir sama dengan penulis buat. Disini penulis akan memaparkan persamaan dan perbedaan dari beberapa buku dan judul skripsi terdahulu, antara lain:

1. status anak akibat pembatalan perkawinan (analisa putusan pengadilan agama depok Nomor 1723/Pdt. G/ 2009/PA.Dpk)


(18)

8

tahun 2011 yang ditulis oleh Ahmad Syadhali (107044101992) Skripsi ini membahas kedudukan status nasab anak sewaktu kedua orang tuanya mengajukan pembatalan perkawinan untuk selama-lamanya karena kedua orang tua si anak memiliki hubungan nasab seibu. Perbedaannya dengan skripsi yang ditulis oeh penulis adalah, bahwasannya skripsi yang ditulis membahas mengenai pembatalan perkawinan dengan alasan istri telah hamil dengan orang lain yang diketahui pihak suami setelah dua hari pernikahan, kemudian penulis juga membahas mengenai hukum menikahi wanita hamil serta mengetahui dasar-dasar hukum dan pertimbangan hakim tentang perkara pembatalan nikah tersebut. 2. pembatalan perkawinan karena kawin paksa (analisis putusan

hakim pengadilan agama Jakarta Timur Nomor

530/Pdt.G/2008/PA.Jt) Tahun 2011. Yang ditulis oleh Kumala (107044102127). Skripsi ini membahas pembatalan perkawinan karena kawin paksa dari pihak perempuan terhadap pihak laki-laki serta argumentasi yang dikemukakan hakim dalam perkara ini. Perbedaannya dengan skripsi yang ditulis oeh penulis adalah, bahwasannya skripsi yang ditulis membahas mengenai pembatalan perkawinan dengan alasan istri telah hamil dengan orang lain yang diketahui pihak suami setelah dua hari pernikahan, kemudian penulis juga membahas mengenai hukum menikahi wanita hamil


(19)

serta mengetahui dasar-dasar hukum dan pertimbangan hakim tentang perkara pembatalan nikah tersebut.

3. pembatalan perkawinan dengan alasan ketidak gadisan (analisa Putusan Nomor 019/Pdt. G /2007/PA.Bks) Tahun 2011. Yang ditulis oleh Laila Wahdah (107044100297). Skripsi ini membahas tentang pembatalan perkawinan dikarenakan si istri yang baru dinikahi tidak perawan lagi (sudah pernah melakukan hubungan sex dengan kekasihnya terdahulu) sehingga majelis hakim memutuskan perkara ini agar menghindari terjadinya cacat hukum yang disebabkan kebohongan dari salah satu pihak. Perbedaannya dengan skripsi yang ditulis oeh penulis adalah, bahwasannya skripsi yang ditulis membahas mengenai pembatalan perkawinan dengan alasan istri telah hamil dengan orang lain yang diketahui pihak suami setelah dua hari pernikahan, kemudian penulis juga membahas mengenai hukum menikahi wanita hamil serta mengetahui dasar-dasar hukum dan pertimbangan hakim tentang perkara pembatalan nikah tersebut.

E. Metode Penelitian

Metode dalam sebuah penelitian merupakan hal yang penting dan harus dipegang untuk mencapai hasil yang dapat dipertanggung jawabkan


(20)

10

secara ilmiah. Metodologi dibutuhkan agar penelitian yang dilakukan terlaksana dengan teratur sesuai dengan prosedur keilmuan yang berlaku.

Dalam penyusunan skripsi ini, metode yang digunakan penulis adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan dan jenis penelitian

Dalam penelitian ini diaplikasikan model pendekatan kasus, yaitu mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus lalu dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam aturan hukum dalam praktik hukum.

Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yang menggunakan kualitas sesuai dengan pemahaman deskriptif. Penelitian ini berupa analisis terhadap kasus berkenaan dengan pembatalan perkawinan akibat istri hamil ini termasuk penelitian hukum normatif. Yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.7 Sedangkan jenis data yang digunakan yaitu kualitatif.

2. Sumber Data

a. sumber data primer bersumber dari Putusan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor Perkara 1500/Pdt.G/2013/PA. Tgrs. Tentang

7

Soerjono Soekanto dan Sri Muadji, penelitian hukum normatif, Cet. II, (Jawa timur:Baymedia publising, 2006), h. 321


(21)

pembatalan perkawinankarea istri hamil dengan orang lain, Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, dan hasil wawancara hakim yang menyelesaikan perkara nomor 1500/Pdt.G/2013/PA. Tgrs.

b. Data sekunder yang bersumber dari buku-buku limiah, makalah, peraturan perundang-undangan yang terkait.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Observasi, untuk mendapatkan data tentang pembatalan perkawinan karena istri telah hamil dengan pria lain. Observasi dilakukan dengan langsung datang ke Pengadilan Agama.

b. Wawancara mendalam (indept interview), yaitu teknik pengumpulan data untuk mendapat informasi dengan cara mengajukan pertanyaan dan meminta penjelasan kepada hakim yang memutus perkara tersebut. Wawancara ini bertujuan untuk mendapatkan data tentang pembatalan perkawinan akibat istri telah hamil dengan pria lain.

c. Dokumentasi, yaitu menelaah bahan-bahan yang diambil dari dokumentasi dan berkas yang mengatur tentang pemeriksaan putusan pembatalan perkawinan serta putusan hakim yang menyangkut pembatalan perkawinan.


(22)

12

d. Analisis Data

Bahan yang diperoleh, lalu dianalisis secara kualitatif yang dilakukan terhadap data yang diolah dengan menggunakan uraian-uraian untuk memberi gambaran, sehingga menjadi sistematis dan menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Data yang ada dianalisis sehingga dapat membantu sebagai dasar aturan dan pertimbangan hukum yang berguna dalam pengambilan putusan pelimpahan hak asuh anak kepada bapak.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab Pertama berisi pembahasan tentang latar belakang masalah, batasan masalah dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metodelogi penulisan dan sistematika penulisan.

Bab kedua berisi pembahasan pembatalan perkawinan dalam islam yang meliputi tentang pengertian fasakh, sebab jatuhnya fasakh, hukum menikahi wanita yang telah hamil dengan orang lain, pengertian pembatalan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI , alasan pembatalan perkawinan menurut KHI dan Undang-undang No. 1 tahun 1974, dan akibat pembatalan perkawinan menurut KHI dan Undang-undang No. 1 tahun 1974.


(23)

Bab ketiga berisikan profil Pengadilan Agama Tigaraksa yaitu sejarah singkat berdirinya, struktur organisasi, dan tugas dan fungsi.

Bab keempat berisi dalam bab ini yaitu mengenai analisis Putusan Pengadilan Agama Tigaraksa tentang perkara pembatalan perkawinan akibat istri telah hamil dengan orang lain yang berisi duduk perkara, pertimbangan hukum hakim, dan analisis penulis terhadap Putusan Pengadilan Agama Tigaraksa nomor perkara 1500/Pdt.G/2013/PA. Tgrs.

Bab kelima berisi dalam bab ini membahas tentang kesimpulan, gambaran umum dari seluruh pembahasan serta saran-saran dari penelitian ini agar dapat dijelaskan dengan baik.


(24)

14 BAB II

PEMBATALAN PERKAWINAN A. Pembatalan Perkawinan menurut perspektif Fikih 1. Pengertian Fasakh dalam perkawinan

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pembatalan berasal dari kata batal, yang artinya menganggap tidak berlaku, menganggap tidak sah, menganggap tidak pernah ada.1

Dalam kamus hukum, fasakh berarti perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim pengadilan agama.2

Dasar pokok dari hukum fasakh ialah seorang atau kedua

suami-istri merasa dirugikan oleh pihak yang lain dalam perkawinannya karena ia tidak memperoleh hak-hak yang telah ditentukan oleh syara‟ sebagai seorang suami atau sebagai seorang istri. Akibatnya salah seorang atau kedua suami-istri itu tidak sanggup lagi melanjutkan perkawinannya atau kalaupun perkawinan itu dilanjutkan juga keadaan kehidupan rumah tangga diduga akan bertambah buruk, pihak yang dirugikan bertambah buruk keadaannya sedang Allah tidak menginginkan terjadinya keadaan yang demikian. 3

1

Departemen pendidikan nasional, kamus besar bahasa indonesia pusat bahasa,(jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008) cet. Ke-1, edisi ke IV, hal. 145

2

Setiawan Widagdo, kamus Hukum, (jakarta:prestasi pustaka, 2012), cet ke-1, hal. 161 3

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (jakarta: Bulan Bintang, 1974) cet. Ke-I, hal. 194


(25)

Didalam ilmu fikih, batalnya perkawinan disebut juga dengan

fasakh.yang dimaksud dengan fasakh, secara etimologi atau menurut

bahasa yang dikemukakan oleh Al-Abu Luwis Ma‟lufi:

ِزْم ْلأا ُضْقَوٌَُُ ُخْسَفْنَا دْقَعْنا ََِا

4

fasakhadalah merusak pekerjaan atau akad”

Sedangkan secara terminologi atau istilah syar‟i, fasakh adalah pembatalan akad perkawinan dan memutuskan tali perhubungan yang mengikat antara suami dan istri.5

ِهْيَجََْشنا َهْيَب ُطُبْزَت ِّتّنا ِتَطِبَزنا ُمَح ََ ًُُضْقَو ِدْقَعْنَا ُخْسَف 6

“fasakh akad (perkawinan) adalah membatalkan akad perkawinan dan memutuskan

tali perhubungan yang mengikat antara suami istri.”

Dalam kitab fikih tradisional terdapat istilah nikahul fasid, nikahul fasid terdiri dari dua kata yaitu nikah dan fasid, seara harfiah sebagaimana dituliskan

dalam fikih syafi‟i, nikah adalah berkumpul atau bercampur tetapi menurut para

fuqoha, arti nikah secara majazi adalah akad, sedangkan pengertian fasid adalah yang rusak. Dengan demikian, nikah fasid ialah pernikahan yang rusak.7

4

Firdaweri Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan Karena Ketidak Mampuan Suami Menunaikan Kewajibannya , (jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1989), Cet Ke-1, hal.52

5

Sayyid Sabiq, fiqih sunnah, (Beirut: Daarul Fikr, 1983), Cet Ke-37, hal. 268 6

Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawunan Karena Ketidak Mampuan Suami Menunaikan Kewajibannya, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya), hal 52

7

Abdul manan, Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (jakarta:kencana,2008) cet. Ke-2, hal. 40


(26)

16

Para fuqoha juga membedakan pengertian nikah fasid dengan nikah bathil, menurut al-jaziri, yang dimaksud dengan nikah fasid ialah, nikah tidak memenuhi syarat-syarat sahnya untuk melaksanakan pernikahan, sedangkan nikah bathi adalah nikah yang tidak memenuhi rukun nikah yang telah ditetapkan oleh syara‟.

Menurut ash-shan‟ani mengemukakan bahwa nikah fasid itu tidak ada dalam al-quran dan hadist. lebih lanjut Ash-shan‟ani mengemukakan bahwa pada

dasarnya dalam syari‟at Islam hanya ada nikah yang sah dan nikah yang bathil saja. Meskipun kedua hal ini menjadi ikhtilaf para ulama dan para ahli hukum islam, akan tetapi kedua hal ini nuansanya tidak bisa dipisahkan dan sangat sulit dibedakan. Nikahul bathil adalah pernikahan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang wanita tetapi rukun nikah yang ditetapkan syara‟ tidak terpenuhi, sedangkan nikahul fasid adalah nikah yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan wanita tetapi syarat-syarat yang ditetapkan oleh syara‟ tidak terpenuhi.

Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab karangannya fikih sunnah mengatakan,

bahwa di dalam memfasakh akad nikah adalah membatalkan dan melepaskan ikatan pertalian antara suami dan istri, fasakh bisa terjadi karena syarat syarat yang tidak terpenuhi pada akad nikah atau karena pada hal hal lain yang datang membatalkan kelangsungan perkawinan.8

8

Sayyid Sabiq, fiqih sunnah, terjemahan. Nor Hasanuddin, (jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hal.211.


(27)

Ali Hasabillah dalam bukunya al-furqah baina zaujani, mendefinisikan

fasakh secara terminologi adalah suatu yang merusak akad (perkawinan) dan dia

tidak dinamakan talaq.9

Para ulama berpandapat bahwa fasakh dilakukan apabila di antara salah satu pasangan baik itu suami maupun istri terdapat aib, akan tetapi apabila salah satu pihak telah mengetahui sebelum akad berlangsung ia sudah rela secara tegas atau menunjukan tanda-tanda kerelaan pada dirinya maka ia tidak memiliki hak meminta fasakh dengan alasan aib tersebut.

Menurut mazhab Hanafi, nikah fasid adalah nikah yang tidak lengkap syarat-syarat sahnya. Berbeda dengan nikah bathil, nikah yang letak kecacatannya terdapat dalam asas akad yang berupa rukun suatu perbuatan.

Menurut madzhab Maliki, istilah fasid dan batil mempunyai makna yang sama. Oleh karena itu, nikah fasid atau batil adalah nikah yang di dalamnya terdapat unsur cacat, baik menyangkut rukun maupun syaratnya.

Menurut madzhab Syafi‟i, pengertian nikah fasid adalah suatu akad yang cacat syaratnya. Sedangkan nikah batil adalah nikah yang cacat rukunnya. Setidaknya terdapat sembilan jenis nikah fasid atau batil atas dasar adanya larangan untuk melaksanakannya, yaitu sebagai berikut:

1. Nikah syigar

2. Nikah mut‟ah

9


(28)

18

3. Nikahnya orang yang sedang berihram, baik ihram haji maupun ihram umrah, dalam hal ini mengakad nikahkan juga tidak diperbolehkan

4. Poliandri atau sedikitnya bersuami dua

5. Nikah dengan wanita yang masih dalam masa „iddah atau istibra‟

6. Nikah dengan wanita yang dimungkinkan sedang hamil yang sah, bukan hamil di luar nikah sampai habis masa „iddah, yaitu melahirkan

7. Nikah dengan wanita bukan ahlul kitab seperti penyembah berhala atau beragama Majusi

8. Nikah dengan wanita yang berpindah-pindah agama

9. Menikahkan anak wanitanya dengan lelaki kafir atau menikah dengan wanita murtad.10

Menurut madzhab Hanbali, nikah fasid adalah nikah yang cacat syarat-syaratnya. Ada dua jenis nikah fasid yaitu:

1. Nikah yang bisa batal dengan sendirinya

2. Nikah yang bisa sah kalo tidak disertai syarat-syarat tertentu, seperti adanya syarat untuk tidak berhubungan badan, atau pihak suami tidak memberi mahar atau nafkah. Nikah seperti ini menurut mazhab hambali dianggap sebagai nikah fasid.11

a. Dasar Hukum Fasakh

10

Nurul Irfan, Nasab Dan Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta:Amzah), Cet ke-1 hal. 72 yang mengutip Wahbah zuhaili, Al-Fiqh Al- Islam Wa Adillatuhu, jilid 7, hal. 118-120

11

Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam,(jakarta:amzah, 2013) cet, ke-2. Hal 72


(29)

Adapun dasar mengenai fasakh atau batalnya perkawinan sebagaimana hadist nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu katsir yaitu:

َشَت َمَهَس َ ًِْيَهَع للها ّّهَص للها َلُُْسَر ْنِا َهَخَد َامَهَف ٍرَافَغ يِىَب هِم ًةأزْما َجََ

َاٍِحْشَكِب ِأَر ًِْيَهَع ت ََ

ًاحْض اٍِهٌَْا َّنِا َاٌَدزَف زيثك هبإ َ دمحأ ياَر(.

) 12

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW menikah dengan seorang

perempuan dari Bani Ghifar. Ketika dia memasuki (bilik) nabi, beliau melihat disebalah rusuknya ada warna putih (penyakit sopak atau penyakit kulit berwarna putih belang belang), kemudian beliau menolak (mengembalikan) dia kepada keluarganya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Kastir).

Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Al-Hakim tentang fasakh perkawinan:

ْيَس ْهَعََ َب ْهِم َتَيِناَعناا َمَهَس ََ ًِْيَهَع ُللها ّّهَص ِللها ُلُُْسَر َجَََشَت :َلاَق ًِْيِبأ ْهَع َةَزْجُع ِهْب ِبَعَك ِهْب ِد ِّى

َِأَر اٍََباَيِث ْتَعَضََََ ًِْيَهَع ْتَهَخَد اَمَهَف ٍراَفَغ ْيِقِحْنَأََ ِكَباَيِث ْيِسَبنِإ :َلاَقَف ,اًضاَيَب اٍَِحْشَكِب

َزَمَاََ ِكِهٌَْأِب

مكاحنا ياَر( ِقاَدِصّنااِب اٍََن )

13

Artinya: “Hadis dari Zaid bin Ka‟ab bin „Ujrah dari bapaknya dia berkata: Rasulallah SAW mengawini seorang wanita dari bani Ghoffar. Ketika Rasul hendak bersetubuh dengannya, wanita itu membuka pakaiannya. Rasul melihat warna putih dirusuknya. Lantas rasul berkata: pakailah pakaianmu dan pergilah kerumah orang tuamu, dan rasul memberinyamahar.” (HR Hakim).

Hadis ini tidak menerangkan fasakh perkawinan secara tegas, namun demikian dengan seiring hadis ini Ibnu Katsir meriwayatkan:

12

Abi Abdullah al-Hakim, al- Mustadrak „ala ash- Shohihaini Jilid 4, (Mesir: Jami‟ al- Sunnah, 1427 H) Cet. Ke-1 Hal. 34 No. Hadist 6810.

13

Abi Abdullah al-Hakim, al- Mustadrak „ala ash- Shohihaini Jilid 4, (Mesir: Jami‟ al- Sunnah, 1427 H) Cet. Ke-1 Hal. 34 No. Hadist 6808.


(30)

20

ٌَ َََِرْدَق ًَُوَأ َمَهَسََ ًِْيَهَع ُللها َّهَص ًَُوأ ٍظْفَهِب ٍزْيِثَك ُهْبإ َثْيِدَحنا اَذ

تَهَخَدَامَهَف ٍِْيَهَع

ا ِأَر

اَنِاَاٌَدزَفًاحْضََاٍِحْشَكِب َأ

اٍِهٌْ )زيثك هبإ ياَر( .َيَهَع ْمُتْسَنَد :َلاَقََ 14

Artinya: “Sesungguhnya diriwayatkan hadis ini oleh Ibnu Katsir dengan lafadz: bahwa Rasulullah SAW mengawini wanita dari bani Ghoffar, ketika ia ingin bersetubuh dengannya, rasul melihat warna putih dirusuknya, rasul mengembalikannya pada keluarganya, dan beliau bersabda: kamu telah menipuku.” (HR Ibnu Katsir)

Ibnu katsir menyebutkan ini di dalam Bab al-Khiyar, berarti berdasarkan hadis ini dapat dijadikan alasan, apabila cacat itu terdapat pada suami si istri berhak meminta fasakh dan begitu pula sebaliknya.

b. Sebab sebab batalnya perkawinan

Adapun sebab-sebab batalnya perkawinan adalah:

1. Karena tidak terpenuhinya rukun atau syarat-syarat sahnya perkawinan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Abu Hanifah, antara lain:15 a. Nikah tanpa saksi

b. menikah dengan lima orang sekaligus dalam satu kali akad c. menikahi perempuan dan saudari atau bibinya

d. menikahi istri orang lain dan mengetahui bahwa ia telah menikah e. menikahi mahramnya

14

Ahmad bin Hasan bin Ali bin Musa al-Khusraujirdy al- Khurasany dan Abu Bakar Al-Baihaqy, al- Sunan Al- Kubra Jilid 7, (Lebanon(Beirut), Daar al-Kutub al- Ilmiyah, 1424 H) Hal. 348 No. Hadis 14. 219.

15

Wahbah zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, jilid:9 (Jakarta:Gema Insani dan Darul Fikir, 2011). Cet, ke- 1. Hal 106


(31)

2. Karena kecacatan baik itu dari suami maupun istri, imam syafi‟i menjelaskan kecacatan yang membolehkan fasakhnya suatu perkawinan, antara lain:16

a. Terputusnya kemaluan suami b. Suami impoten

c. Tumbuh daging pada kemaluan istri atau tulang yang menutup lubang faraj

d. Suami atau istri gila e. Penyakit kusta

f. Penyakit sopak . Sopak (Barash) adalah penyakit yang ditandai bercak putih pada bagian luar kulit hingga selanjutnya dapat berakibat belang kulit serta menghilangkan kemampuan peredaran darah dalam kulit. Dan biasanya rambut yang tumbuh pada organ tubuh yang terjangkit akan berwarna putih. Jenis inilah yang biasa diistilahkan dengan kusta kering.17

c. Akibat pembatalan perkawinan

Adapun implikasi/akibat dari pembatalan perkawinan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh pendapat imam madzhab antara lain adalah:

1. Jika pembatalan perkawinan terjadi setelah jimak(hubungan intim)

maka, suami wajib membayar mahar, tetapnya nasab anak kepada mantan suami (jika ada anak hasil perkawinan tersebut sebelum dibatalkan), wajib iddah atas wanita tersebut. Pendapat ini di

16

Musthafa al-khin, musthafa al-bugho, Ali As-Syarbaji, Kitab Fikih Madzhab Syafie, (Kuala Lumpur: Pustaka Salam SDN BHD, 2005), hal. 852.

17

http://peutrang.blogspot.com/2013/10/obat-untuk-penyakit-sopak.html. Diakses pada sabtu, 28 Februari 2015 pukul: 17.30 WIB.


(32)

22

kemukakan oleh imam hanafi dan maliki. Sedangkan menurut Syafi‟i wanita tersebut tidak wajib iddah namun tetap mendapat mahar mitsil.18 2. Jika pembatalan terjadi sebelum jimak (hubungan intim) maka, ulama

sepakat bahwa istri tidak berhak atas mahar suami dan tidak ada masa iddah.19

B. Pembatalan perkawinan menurut undang-undang No. 1 tahun 1974

Menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 Bab IV pasal 22 tentang batalnya perkawinan, bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pasal 6 UU No. 1 tahun 1974).20

Dalam penjelasannya kata “dapat” dalam pasal ini bisa diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, apabila menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Istilah dapat dibatalkan dalam Undang-undang ini berarti dapat difasidkanmenjadi relatif nietig. Dengan demikian perkawinan dapat

dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap ketentuan aturan tertentu.21

Pada dasarnya pembatalan perkawian itu dapat terjadi disebabkan oleh dua kemungkinan. Yang pertama karena adanya pelanggaran terhadap prosedural

18

Wahbah zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, jilid:9 (Jakarta:Gema Insani dan Darul Fikir, 2011). Cet, ke- 1. Hal 107-111.

19

Musthafa al-khin, musthafa al-bugho, Ali As-Syarbaji, Kitab Fikih Madzhab Syafie, (Kuala Lumpur: Pustaka Salam SDN BHD, 2005), hal.857.

20Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan

21Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Direktorat Pembinan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama RI, Tahun 2001. h. 154.


(33)

perkawinan. Misalnya, tidak terpenuhinya syarat- syarat perkawinan, tidak dihadiri oleh para saksi atau tidak dihadiri oleh wali nikah dan lain-lain. Yang kedua adanya pelanggaran terhadap materi perkawinan. Misalnya perkawinan di lakukan di bawah ancaman, tejadi salah sangka mengenai calon suami istri (pasal 27 UU No. 1 Tahun 1974). 22

a. Sebab-sebab pembatalan perkawinan, seperti yang terdapat di dalam UUP antara lain:23

Pasal 22, perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 24, barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasl 3 ayat 2 dan pasal 4 UU ini.

Pasal 26 (1), perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri.

22

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. (Jakarta: Kencana Prenada Media Grub, Juli 2006), cet.ke-3.h.107

23

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. (Jakarta: Kencana Prenada Media Grub, Juli 2006),108-109


(34)

24

Pasal 26 (2), hak utuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat 1 pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbarui supaya sah.

Pasal 27 (1), seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.

Pasal 27 (2), seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka menganai diri suami atau istri.

b. Pihak-pihak yang berkualitas sebagai penggugat dalam perkara pembatalan perkawinan adalah:24

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;

2. Suami atau istri;

3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;

4. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat 2 pasal 16 UU ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

24

Abdul Mannan dan fauzan, pokok-pokok hukum perdata: Wewenang Peradilan Agama, (Jakarta: rajawali pers,2000), hal. 19


(35)

C. PEMBATALAN PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF KHI

Pembatalan perkwinan didalam KHI telah diatur dalam pasal 70 sampai dengan 76. Di dalam pasal 70 KHI dinyatakan perkawinan batal demi hukum apabila : 25

a) Suami melakukan perkawinan sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj‟i

b) Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili‟annya

c) Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bekas istrnya tersebut pernah manikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba‟da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya

d) Perkawinan dilakukan antara orang yang mempunyai hubungan darah, semendak dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal delapan UU No1 tahun 1974, yaitu:

1. Berhubungan darah dalam garis lurus ke bawah atau ke atas 2. Berhubungan darah dalam garis lurus keturunan menyamping

yaitu antara saudara, antara saudara dengan saudara orang tua dan atara seorang dengan saudara neneknya

25

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. (Jakarta: Kencana Prenada Media Grub, Juli 2006), cet.ke-3


(36)

26

3. Berhubungan semenda, yaitu mertua anak tiri menantu dan ibu dan ayah tiri

4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan anak sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.

e) Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri isrinya.

Selanjutnya pada pasal 71 dijelaskan perkawinan yang dapat dibatalkan apabila:26

a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama

b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria yang mafqud

c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain

d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan pasal 7 UU No1 tahun 1974 e. Perkawinan dilangsugkan tanpa wali atau dilaksanakan

oleh wali yang tidak berhak

f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

26

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. (Jakarta: Kencana Prenada Media Grub, Juli 2006), cet.ke-3


(37)

Dalam penjelasan pasal 72 ayat 1 berbunyi, bahwa seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawia apabila perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. Ayat 2 seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai suami atau istri.

a. Pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan menurut KHI pasal 73 di antaranya yakni:27

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau istri

2. Suami atau istri

3. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanan perkawinan menurut undang- undang

4. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan mnurut hukum islam dan peraturan perundang undangan sebgaimana tersebut dalam pasal 67.

27

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. (Jakarta: Kencana Prenada Media Grub, Juli 2006), cet.ke-3.h.112


(38)

29

BAB III

STATUS HUKUM KAWIN HAMIL A. Kawin Hamil menurut Perspektif Fiqih

1. Pengertian kawin Hamil

Perkawinan wanita hamil adalah seorang wanita yang hamil sebelum melangsungkan akad nikah, kemudian dinikahi oleh pria yang menghamilinya.1

Ada dua macam kategori kawin hamil yakni, kawin hamil yang dilakukan oleh wanita hamil akibat perzinaan serta kawin hamil yang dilakukan oleh wanita hamil yang berada dalam masa iddah. Allah swt berfirman dalam surah Ath-Thalaq ayat 4 yang berbunyi:

 …                      ... )قلاطلا(

Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan

dalam urusannya.”(QS. Ath-Thalaq:4)

Menurut fuqoha perkawinan antara pria dan wanita yang sedang hamil terjadi karena dua kemungkinan yakni, bisa jadi pria tersebut adalah pria yang menghamili wanita tersebut dan bisa juga pria tersebut bukanlah orang yang menghamili wanita tersebut.2

1

Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta:Sinar Grafika, 2006) cet. Ke-2 hal. 45

2

Mahjuddin, Masail Fiqhiyah (Berbagai Kasus yang Dihadapi “Hukum Islam” Masa Kini), (Jakarta:Kalam Mulia) hal.36


(39)

2. Pendapat ulama tentang kawin hamil

Beberapa ulama berbeda pendapat dalam memandang pernikahan wanita dalam keadaan hamil zina, baik pernikahan itu kepada laki-laki yang menghamilinya maupun kepada laki-laki yang bukan menghamilinya. Dalam kasus wanita yang hamil karena zina dan menikah dengan laki-laki yang menghamilinya para ulama fiqh sepakat memperbolehkan pernikahan tersebut, sedangkan wanita hamil akibat zina yang menikah dengan laki-laki yang bukan menghamilinya ulama fiqh memiliki beberapa pendapat, yakni:3

a. Menurut Imam Syafi‟i, wanita yang hamil boleh menikah dengan orang yang bukan menghamilinya, walau ia sedang dalam keadaan hamil.

b. Imam malik berpendapat bahwa wanita yang zina tidak boleh dinikahi kecuali ia telah menyelesaikan iddahnya yaitu hingga lahir anak yang dikandungnya .

c. Mazhab Imam Hanafi, jika perempuan yang dizinahi tidak hamil, maka sah akad perkawinannya dari laki-laki yang tidak melakukan zina kepadanya. Begitu juga jika dia hamil akibat perbuatan zina tersebut maka dia boleh dinikahi, menurut abu hanifah dan Muhammad. Akan tetapi, dia tidak digauli sampai dia melahirkan anaknya.

3

Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu jilid 7,(Jakarta: Gema Insani, 2011) cet. Ke-2 hal.


(40)

31

d. Menurut pendapat Yusuf dan Zufar, tidak boleh melaksanakan akad nikah terhadap perempuan yang tengah hamil akibat hubungan zina, karena kehamilan ini mencegah persetubuhan, maka dilarang juga pelaksanaan akad, sebagaimana kehamilan juga mencegah penetapan nasab. Maksudnya sebagaimana tidak sah dilaksakan akad terhadap perempuan yang hamil yang bukan karena hubungan zina, maka tidak sah dilaksanakan akad terhadap perempuan yang hamil akibat perbuatan zina.

e. Mazhab Maliki berpendapat, tidak boleh dilaksanakan akad terhadap perempuan yang melakukan perbuatan zina sebelum dia dibebaskan dari zina dengan tiga kali haid, atau setelah lewat tiga bulan. Jika dilaksanakan akad pernikahan kepadanya sebelu dia dibebaskan dari zina, maka akad pernikahannya adalah sebuah akad yang fasid. Akad ini harus dibatalkan, baik muncul kehamilan ataupun tidak.

Dari berbagai perbedaan pendapat ulama di atas tentang mengawini wanita hamil karena zina, jumhur ulama sepakat bahwa, wanita yang pernah melakukan zina baik dalam keadaan hamil dari zina maupun tidak, boleh dan sah dinikahi oleh pria yang menzinahinya. Hal ini telah disepakati oleh mayoritas ulama dari kalangan sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, ibnu Abbas, ibnu Musayyab, „Urwah dan Zuhri, maupun dari kalangan ulama generasi sesudahnya seperti Imam Malik, Imam


(41)

282).4

3. Fatwa MUI Propinsi DKI Jakarta mengenai Kawin Hamil5

Dari berbagai perbedaan pendapat yang telah dikemukakan mengenai kawin hamil akibat zina, ulama MUI sepakat menggunakan pendapat zina boleh dan sah dinikahi oleh laki-laki lain yang tidak menzinahinya seta sesudah akad nikah mereka boleh melakukan hubungan suami istri dengan pertimbangan-pertimbangan sebagi berikut:

a. Argumentasi dan dalil-dalil yang dikemukakan imam Syafi‟i lebih kuat dan lebih sesuai dengan kemashlahatan.

b. Menurut ilmu biologi, sperma yang masuk pada Rahim wanita yang telah hamil tidak akan mempengaruhi janin yang sudah jadi. Dengan demikian, tidak perlu dikhawatirkan akan terjadinya percampur-adukan antara sperma laki-laki yang menzinahinya dengan sperma laki-laki yang menikahinya dengan sah.

c. Jika wanita yang sedang hamil dari zina tidak boleh dan tidak sah dinikahi oleh laki-laki lain yang tidak menzinahinya, maka akan menyulitkan wanita tersebut atau keluarganya, manakala laki-laki yang menghamilinya tidak bertanggung jawab. Hal ini tentu akan menimbulkan rasa malu dan gangguan psikologis bagi wanita tersebut dan keluarganya.

4

Hamdan Rasyid, Fiqih Indonesia Himpunan Fatwa-fatwa aktual,(Jakarta: PT. AL Mawardi Prima, 2003), cet ke-1 hal. 184

5

Hamdan Rasyid, Fiqih Indonesia Himpunan Fatwa-fatwa aktual,(Jakarta: PT. AL Mawardi Prima, 2003)hal. 192


(42)

33

4. Dasar Hukum

Dalam Alqur‟an, Allah SWT memberi keterangan hukum menikahi

wanita yang berzina dalam surah An-Nur [24]:3

                                 ) :رونلا(

Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.”(QS. An-Nur:3)

Ayat tersebut menggambarkan kepada kita bahwa laki-laki yang berzina boleh nikah dengan perempuan yang berzina atau yang musyrik. Demikian pula sebaliknya, perempuan yang berzina boleh dinikahi oleh laki-laki yang berzina atau musyrik. Mengenai masalah ini para ulama sepakat. Namun mereka berbeda pendapat tentang laki-laki yang tidak berzina menikahi perempuan yang berzina.

Menurut Ali, Al-Barrai, Siti Aisyah dan Ibn Mas‟ud hukumnya haram, berdasarkan pada firman Allah di atas.

Sedangkan Abu Bakar, Umar, Ibn Abbas dan jumhur ulama menyatakan boleh. Mereka mengatakan bahwa zina itu haram, sedangkan nikah itu halal. Yang haram tidak dapat mengharamkan yang halal, sesuai dengan sabda Nabi


(43)

ُوُلَوَّا ٌحاَفِس ُهُرِخآَوّ ٌحاَكِن ُماَرَحلاَوّ ُمِرَحُياَل لاَلَحْلَا ) هاوّر ىناربطلا ىنطقرادلاوّ 6

Artinya: “Permulaannya perzinaan, tetapi akhirnya adalah pernikahan. Dan yang haram itu tidak mengharamkan yang halal.”

Maksud dari hadis di atas adalah walaupun zina itu diharamkan, tetapi tidak dapat menhalangi kebolehan nikah yang hukumnya halal.

Di antara jumhur ulama ada yang menyatakan bahwa ayat di atas telah di nasakh oleh QS. An-Nur [24]:32, yang berbunyi:

                             ) :رونلا(

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, allah akan memampukan mereka dengan karunianya. Dan Allah maha luas (pemberianNya)

lagi maha mengetahui.”(QS. An-Nur [24]: 32)

Sedangkan perempuan-perempuan yang berzina itu termasuk kategori yang tidak bersuami. Larangan terhadap beberapa jenis pernikahan sebagaimana disebutkan di atas sejalan dengan tujuan mulia pernikahan dalam Islam, yakni upaya mengangkat harkat dan martabat manusia bahwa manusia berbeda dengan binatang. Manusia adalah makhluk yang bermoral, pergaulannya diatur oleh norma dan undang-undang.7

Bagi mayoritas ulama hadis yang diriwayatkan oleh Jabir ini menerangkan tentang tidak bolehnya seorang laki-laki nikah dengan wanita yang hamil,

6

Ali Bin Umar Abu Hasan Ad-Daruquthni Al-Bughdadi, Al-Sunan Ad-Daruquthni Jilid 4, (Lebanon(Beirut), Darul Ma‟rifah, 1996), Hal. 368 No. Hadis 3681.

7Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga

(Jakarta: eLSAS, 2008). Cet, ke-1. Hal 39-41.


(44)

35

sementara dia bukan yang menghamilinya. Karena, akibat hukum yang ditimbulkan seakan-akan kebolehan tersebut memberi peluang kepada orang-orang yang kurang atau tidak kokoh keberagamaannya, akan dengan gampang menyalurkan kebutuhan seksualnya di luar nikah.

B. Kawin hamil dalam perspektif KHI dan Undang-Undang No. 1 tahun 1974

Status perkawinan wanita hamil telah dijelaskan dalam BAB VIII Kompilasi Hukum Islam pasal 53 yaitu:

(1) Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.

(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil

tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.8

Dengan melihat rumusan pasal 53 ayat(1) dapat dimaknai bahwa wanita hamil dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya dan dapat pula tidak dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Inilah

konsekuensi dari kata “dapat”. Kata ini juga digunakan dalam pasal 2

ayat(2) Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Di sana disebutkan bahwa dalam tindak hal pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu,

8Kompilasi Hukum Islam


(45)

pidana mati dapat dijatuhkan. Oleh karena dalam pasal ini juga digunakan

kata “dapat”, maka walaupun korupsi diadakan dalam keadaan tertentu

seperti dimaksudkan oleh pasal 2 ayat(2) ini, pidana mati dapat pula tidak dijatuhkan. Sehingga sampai hari ini tidak ada seorang koruptor pun di Indonesia yang pernah dijatuhi hukuman mati. Inilah konsekuensi dari pemakaian kata dapat.

Disinilah sebab tim perumus KHI menggunakan kata “dapat” pada

rumusan pasal 53 ayat(1) ini tujuan adalah sebagai langkah antisipatif. Sebab dalam kasus hamil di luar nikah, bisa saja terjadi kehamilan akibat perkosaan dalam kasus hamil karena perkosaan, sudah barang tentu wanita korban perkosaan itu tidak akan pernah dikawinkan dengan pria pemerkosa. Sehingga rumusan pasal ini bisa berbunyi seorang wanita hamil di luar nikah dapat tidak dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.9

Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal(1) dinyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Kemudian pasal(2) dijelaskan bahwa, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa perkawinan wanita hamil itu sah hukumnya jika dilakukan menurut agama

9

M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta:Amzah, 2012) cet. Ke-1 hal. 166


(46)

37

dan kepercayaannya masing-masing. Karena lazimnya perkawinan itu adalah sebuah ikatan suci yang dapat menghalalkan hubungan suami istri. Namun perlu digarisbawahi hubungan suami istri yang dilakukan sebelum terjadinya perkawinan itulah yang dianggap tidak benar dan tidak disah kan baik itu menurut hukum agama maupun hukum positif yang ada.

Kemudian dilihat dari anak yang dikandung oleh wanita hamil tersebut, dalam pasal 42 Undang-undang No. 1 tahun 1974 dijelaskan yaitu, bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 43 ayat(1) menyatakan, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Ayat(2) kedudukan anak tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam ayat(1) selanjutnya akan di atur dalam peraturan pemerintah. Dari pasal 42 di atas dapat disimpulkan bahwa, apabila wanita hamil tersebut menikah dengan pria yang menghamilinya ataupun pria yang bukan menghamilinya sebelum anak yang dikandungnya itu lahir maka anak tersebut merupakan anak yang sah dari pasangan suami istri tersebut meskipun suami bukanlah merupakan bapak biologis dari anak tersebut. Kemudian dari pasal 43 ayat(1) UU No. 1 tahun 1974 dapat disimpulkan, apabila wanita hamil tersebut tidak menikah sampai anak yang dikandungnya lahir, maka status keperdataan anak tersebut jatuh kepada ibu dan keluarga dari ibunya.


(47)

39

A. Deskripsi Kasus Perkara No:1500/Pdt.G/2013/PA.Tgrs 1. Pihak-pihak yang berperkara

Pengadilan Agama Tigaraksa yang memeriksa dan mengadili perkara perdata dalam tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam perkara pembatalan perkawinan antara:

MS bin Suwignyo, umur 40 tahun, agama Islam, pendidikan S.2, pekerjaan PNS, tempat tinggal di Permata Medang Cluster Barleria B1/E1 RT.03 RW.16 Kelurahan Medang, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang. Selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

BA binti Syahbudin, umur 25 tahun, agama Islam, pendidikan S.1, tempat tinggal di Dasana Indah UD 6/10B RT.002 RW. 28, Kelurahan Bojong Nangka, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang. Selanjutnya disebut sebagai Termohon.

2. Duduk Perkara

Pemohon dalam surat permohonannya pada tanggal 18 Juni 2013 yang telah didaftarkan di kepanitraan Pengadilan Agama Tigaraksa dengan Nomor Registrasi: 1500/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dengan alasan-alasan sebagai berikut:


(48)

40

a. Bahwa pada tanggal 13 April 2013, Pemohon dengan Termohon melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang sebagaimana ternyata dari Kutipan Akta Nikah Nomor: 319/53/IV/2013 tanggal 15 April 2013;

b. Bahwa setelah menikah Pemohon dan Termohon hidup berumah tangga terakhir tinggal di alamat Termohon di atas;

c. Bahwa Pemohon mengajukan permohonan pembatalan nikah ini dengan alasan sebagai berikut: Penipuan oleh pihak Termohon, yaitu Termohon ternyata sudah dalam kondisi hamil 2 bulan dengan orang lain (bukan suaminya sendiri) dan sudah ada pengakuan dari pihak dan keluarga Termohon;

d. Bahwa untuk menjaga kepastian hukum dan untuk menghindari penyalahgunaan hukum, maka Pemohon dan Termohon patut diperintahkan untuk menyerahkan Kutipan Akta Nikah Nomor 319/53/IV/2013 tanggal 15 April 2013 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang kepada Pengadilan Agama Tigaraksa, dan Kepala KUA Kecamatan Legok diperintahkan untuk mencoret Buku Kutipan Akta Nikah tersebut dari Register Akta nikah;

Bahwa pada hari persidangan yang telah ditentukan Pemohon dan Termohon secara pribadi (in person) telah hadir di depan persidangan, selanjutnya untuk


(49)

dilanjutkan terlebih dahulu diadakan mediasi dengan hakim mediator H. Rosmani Daud, S.Ag. Dan menurut laporan mediator bahwa mediasi dinyatakan tidak berhasil;

Menimbang, bahwa atas permohonan Pemohon, Termohon telah mengajukan jawaban secara tertulis dan penjelasan di depan persidangan yang secara rinci sebagaimana tertuang dalam berita acara perkara ini yang untuk mempersingkat putusan pada pokoknya adalah sebagai berikut:

a. Bahwa benar pada tanggal 13 April 2013 Termohon dan Pemohon melangsungkan pernikahan, namun Termohon tidak benar melakukan penipuan kepada Pemohon karena Termohon benar-benar tidak mengetahui pada saat menikah dengan Pemohon dalam keadaan hamil. Orang tua Termohon pun tidak mengetahui kondisi kehamilan Termohon. Sebelum Pemohon hadir dalam kehidupan Termohon, Termohon sudah terlebih dahulu menjalin hubungan dengan pria lain bernama H, umur 50 tahun, PNS pada Pemkab Tangerang tanpa sepengetahuan orang tua Termohon (backstreet), dan Termohon telah berhubungan

sex dengan pria tersebut sekali dan memang benar sewaktu menikah dengan Pemohon, Termohon sedang terlambat haid setelah berhubungan sex dengan pria lain;

b. Bahwa benar setelah menikah Termohon dan Pemohon tinggal di rumah kontrakan selama satu minggu, Pemohon dan Termohon telah berhubungan suami isteri dua kali. Karena Termohon telat


(50)

42

datang bulan, maka pada tanggal 15 April 2013 Termohon meminta izin kepada Pemohon untuk memeriksakan diri ke dokter. Berdasarkan keterangan dokter, Termohon hamil kosong (hamil anggur), lalu Termohon memeriksakan diri ke dokter yang lain, dan hasilnya Termohon positif hamil. Pada waktu itu, baru lah Termohon mengetahui dan yakin sedang dalam keadaan hamil;

c. Bahwa pada Sabtu sore, tanggal 20 April 2013, Pemohon mengajak Termohon ke hotel. Di hotel itu, Pemohon menanyakan sikap Termohon yang tidak seperti layaknya pasangan pengantin baru. Lalu di sana Termohon menjelaskan bahwa Termohon telah hamil oleh perbuatan pria lain, Termohon meminta maaf kepada Pemohon dan menyerahkan segalanya keputusan kepada Pemohon, pada saat itu Pemohon memeluk dan memaafkan Termohon serta menyatakan Pemohon bersedia menerima Termohon apa adanya. Lalu Pemohon ingin menggauli Termohon, namun Termohon menolaknya karena Termohon sedang hamil karena pria lain, maka Pemohon kecewa. Termohon tidur di lantai lalu sakit perut dan pingsan kemudian dirawat di rumah sakit selama dua hari yang selalu dijaga oleh Pemohon;

d. Bahwa setelah Termohon sembuh, Pemohon mengantarkan Termohon ke rumah orang tua Termohon dengan tujuan


(51)

Pemohon akan menceritakan perihal kehamilan Termohon kepada ibu Pemohon, namun ternyata ibu Pemohon marah dan tidak mau menerima Termohon. Lalu diadakan musyawarah keluarga dan dengan menghadirkan ustaz. Hasil musyawarah, Pemohon memilih untuk dipisahkan sementara. Setelah dua bulan dipisahkan kenapa tiba-tiba Pemohon berubah pikiran dengan mengatakan Termohon telah melakukan penipuan, bahkan mengajukan pembatalan perkawinan ke Pengadilan Agama Tigaraksa. Kalau mau menipu kenapa Pemohon yang Termohon pilih, yang rumah saja masih kontarakan;

e. Bahwa Pemohon mengambil kembali mahar Termohon berupa cincin kawin, ketika Termohon memintanya, Pemohon menyatakan nanti di pengadilan;

3. Pertimbangan Hukum

Bahwa berdasarkan posita permohonan, Pemohon telah mengajukan permohonan pembatalan nikah dan dengan didasarkan kepada dalil Pemohon sendiri tentang domisili Pemohon dan Termohon yang berada di wilayah hukum Pengadilan Agama Tigaraksa, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 49 ayat (1) huruf a dan penjelasan pasal 49 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan Kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, Pengadilan Agama Tigaraksa secara formal dinilai berwenang untuk menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan permohonan Pemohon.


(52)

44

Menimbang, bahwa pada persidangan yang telah ditentukan Pemohon dan Termohon telah menghadap sendiri (in person) di muka persidangan. Majelis Hakim telah berupaya mendamaikan Pemohon dan Termohon agar menyelesaikan permasalahannya secara kekeluargaan dan kembali membina rumah tangga, namun tidak berhasil. Demikian pula upaya mediasi sebagaimana kehendak PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentag mediasi telah dilaksanakan, namun tetap tidak berhasil. Maka, ketentuan Pasal 130 ayat (1) HIR dan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 telah terpenuhi.

Menimbang, bahwa berdasarkan alat bukti T.2 (Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Termohon) merupakan akta otentik, oleh karenanya secara formil dinyatakan dapat diterima, dan berdasarkan alat bukti a quo telah terbukti secara meyakinkan Termohon berdomisili di wilayah hukum Pengadilan Agama Tigaraksa. Dengan demikian pemeriksaan dapat dilanjutkan.

Menimbang, bahwa atas permohonan Pemohon dalam mengajukan pembatalan nikah telah mendalilkan suatu alasan bahwa Pemohon dan Termohon telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 13 April 2013 di Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang dengan status Pemohon sebagai seorang jejaka dan Termohon sebagai seorang perawan dan juga telah hidup bersama sebagai suami isteri. Namun Termohon sewaktu menikah dengan Pemohon tenyata dalam keadaan hamil dua bulan, sedangkan Termohon tidak pernah memberitahukan kepada Pemohon tentang kehamilannya sebelum perkawinan, maka sesuai dengan ketentuan pasal 27 (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 72 (2) Kompilasi


(53)

Hukum Islam tentang perkawinan, secara formal perkara ini dapat diterima untuk diperiksa lebih lanjut.

Menimbang, bahwa berdasarkan Foto Kopi Kutipan Buku Nikah atas nama Pemohon dan Termohon yang telah melangsungkan pernikahannya pada tanggal 13 April 2013 dengan Nomor : 319/53/IV/2013 yang telah dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Legok Kabupaten Tangerang pada tanggal 15 April 2013, sebagaimana bukti P.1 dan T.1, bahwa Pemohon dan Termohon telah terbukti sebagai suami isteri, maka berdasarkan pasal 2 ayat (1)dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dapatlah dinyatakan bahwa Pemohon dan Termohon telah terikat dalam perkawinan yang sah.

Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon dan Termohon sebagai suami isteri yang telah terikat dalam suatu perkawinan yang sah, maka Pemohon dan Termohon dinilai sebagai pihak yang tepat dalam perkara ini (legitima standi in judicio).

Menimbang, bahwa pada persidangan pertama Pemohon telah mengajukan penambahan permohonan tentang tuntutan ganti rugi terhadap seluruh biaya prosesi acara pernikahan antara Pemohon dengan Termohon sampai pesta perkawinan beserta seluruh biaya rumah sakit Termohon. Hal ini dinilai oleh Pemohon ada unsur penipuan. Maka, berdasarkan pasal 49 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan Kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, dalam hal adanya penipuan, bukanlah menjadi wewenang


(54)

46

Pengadilan Agama, maka permohonan Pemohon harus dinyatakan untuk tidak dapat diterima.

Menimbang, bahwa dari jawab menjawab antara Pemohon dengan Termohon, maka hal-hal yang telah diakui kebenarannya oleh Termohon adalah sebagai berikut:

a. Bahwa benar Pemohon dengan Termohon telah terikat hubungan suami isteri yang sah, bahwa benar Termohon sebelum menikah dengan Pemohon telah berhubungan sex dengan seorang pria lain berinisial HB PNS pada Pemda Kabupaten Tangerang sebanyak 1 (satu) di luar nikah. b. Bahwa benar sewaktu Termohon menikah dengan Pemohon dalam

keadaan terlambat haid setelah berhubungan sex dengan pria lain kemudian dua hari setelah pernikahan diketahui sedang hamil dua bulan. Sedangkan hal yang dibantah oleh Termohon adalah bahwa Termohon membantah telah melakukan penipuan terhadap Pemohon tentang kondisi kehamilan Termohon, karena Termohon mengetahui sedang hamil setelah terjadi pernikahan.

Menimbang, bahwa segala hal yang telah diakui kebenarannya merupakan suatu fakta yang tetap sehingga tidak perlu dibuktikan lagi.

Menimbang, bahwa berdasarkan alat bukti P.2 s/d P.5, dan diakui kebenarannya oleh Termohon, secara formil dinyatakan dapat diterima yang menerangkan bahwa Betha Annisa telah dirawat di rumah sakit Bethsaida Hospital sekitar tanggal 21-04-2013 dan pula menerangkan bahwa BA sedang dalam keadaan hamil.


(55)

Menimbang, bahwa berdasarkan alat bukti P.6 s/d P.11, dan diakui kebenarannya oleh Termohon, secara formil dinyatakan dapat diterima. Akan tetapi alat bukti a quo berhubungan dengan permohonan ganti rugi yang diajukan oleh Pemohon. Maka alat bukti tersebut harus dikesampingkan.

Menimbang, bahwa atas keterangan dua orang saksi yang diajukan oleh Pemohon di depan persidangan, telah menerangkan berdasarkan apa yang dilihat dan dialaminya sendiri dan bukan orang yang terhalang menjadi saksi secara sehingga secara formil dapat diterima, sedangkan secara materiil keterangan saksi saling bersesuaian antara yang satu dengan yang lain, serta mendukung dalil-dalil Permohonan Pemohon, sehingga telah memenuhi syarat formil dan materiil sebagai saksi, oleh karena itu Majelis Hakim menilai kesaksian tersebut dapat diterima dan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah serta menguatkan dalil-dalil Permohonan Pemohon.

Menimbang, bahwa dua orang saksi yang diajukan oleh Termohon di depan persidangan, telah menerangkan berdasarkan apa yang dilihat dan dialaminya sendiri dan bukan orang yang terhalang menjadi saksi sehingga secara formil dapat diterima, sedangkan secara materiil keterangan saksi saling bersesuaian antara yang satu dengan yang lain, serta mendukung dalil-dalil bantahan Termohon, sehingga telah memenuhi syarat formil dan materiil sebagai saksi, oleh karena itu Majelis Hakim menilai bahwa keterangan 2 (dua) saksi tersebut dapat diterima dan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah serta menguatkan dalil-dalil bantahan Termohon.


(1)

dengan ketentuan Pasal 49 ayat (1) huruf a dan penjelasan pasal 49 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan Kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, Pengadilan Agama Tigaraksa secara formal dinilai berwenang untuk menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan permohonan Pemohon;

Menimbang, bahwa pada persidangan yang telah ditentukan Pemohon dan Termohon telah menghadap sendiri (in person) di muka persidangan. Majelis Hakim telah berupaya mendamaikan Pemohon dan Termohon agar menyelesaikan permasalahannya secara kekeluargaan dan kembali membina rumah tangga, namun tidak berhasil. Demikian pula upaya mediasi sebagaimana kehendak PERMA Nomor 1 Tahun 2008 telah dilaksanakan, namun tetap tidak berhasil. Maka, ketentuan Pasal 130 ayat (1) HIR dan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 telah terpenuhi;

Menimbang, bahwa berdasarkan alat bukti T.2 (Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Termohon) merupakan akta otentik, oleh karenanya secara formil dinyatakan dapat diterima, dan berdasarkan alat bukti a quo telah terbukti secara meyakinkan Termohon berdomisili di wilayah hukum Pengadilan Agama Tigaraksa. Dengan demikian pemeriksaan dapat dialnjutkan;

Menimbang, bahwa atas permohonan Pemohon dalam mengajukan pembatalan nikah telah mendalilkan suatu alasan bahwa Pemohon dan Termohon telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 13 April 2013 di Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang dengan status Pemohon sebagai seorang jejaka dan Termohon sebagai seorang perawan dan juga telah hidup bersama sebagai suami isteri. Namun Termohon sewaktu menikah dengan Pemohon tenyata dalam keadaan hamil dua bulan, sedangkan Termohon tidak pernah memberitahukan kepada Pemohon tentang kehamilannya sebelum perkawinan, maka sesuai dengan ketentuan pasal 27 (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 72 (2) Kompilasi Hukum Islam, secara formal perkara ini dapat diterima untuk diperiksa lebih lanjut;

Menimbang, bahwa berdasarkan Foto Kopi Kutipan Buku Nikah atas nama Pemohon dan Termohon yang telah melangsungkan pernikahannya pada tanggal 13 April 2013 dengan Nomor : 319/53/IV/2013 yang telah dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Legok


(2)

Kabupaten Tangerang pada tanggal 15 April 2013, sebagaimana bukti P.1

dan T.1, bahwa Pemohon dan Termohon telah terbukti sebagai suami

isteri, maka berdasarkan pasal 2 ayat (1)dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dapatlah dinyatakan bahwa Pemohon dan Termohon telah terikat dalam perkawinan yang sah;

Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon dan Termohon sebagai suami isteri yang telah terikat dalam suatu perkawinan yang sah, maka Pemohon dan Termohon dinilai sebagai pihak yang tepat dalam perkara ini (legitima standi in judicio);

Menimbang, bahwa pada persidangan pertama Pemohon telah mengajukan penambahan permohonan tentang tuntutan ganti rugi terhadap seluruh biaya prosesi acara pernikahan antara Pemohon dengan Termohon sampai pesta perkawinan beserta seluruh biaya rumah sakit Termohon. Hal ini dinilai oleh Pemohon ada unsur penipuan. Maka, berdasarkan pasal 49 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan Kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, dalam hal adanya penipuan, bukanlah menjadi wewenang Pengadilan Agama, maka permohonan Pemohon harus dinyatakan untuk tidak dapat diterima;

Menimbang, bahwa dari jawab menjawab antara Pemohon dengan Termohon, maka hal-hal yang telah diakui kebenarannya oleh Termohon adalah sebagai berikut: bahwa benar Pemohon dengan Termohon telah terikat hubungan suami isteri yang sah, bahwa benar Termohon sebelum menikah dengan Pemohon telah berhubungan sex dengan seorang pria lain bernama Hambali PNS pada Pemda Kabupaten Tangerang sebanyak 1 (satu) di luar nikah. Bahwa benar sewaktu Termohon menikah dengan Pemohon dalam keadaan terlambat haid setelah berhubungan sex dengan pria lain kemudian dua hari setelah pernikahan diketahui sedang hamil dua bulan. Sedangkan hal yang dibantah oleh Termohon adalah bahwa Termohon membantah telah melakukan penipuan terhadap Pemohon tentang kondisi kehamilan Termohon, karena Termohon mengetahui sedang hamil setelah terjadi pernikahan;

Menimbang, bahwa segala hal yang telah diakui kebenarannya merupakan suatu fakta yang tetap sehingga tidak perlu dibuktikan lagi;


(3)

kebenarannya oleh Termohon, secara formil dinyatakan dapat diterima yang menerangkan bahwa Betha Annisa telah dirawat di rumah sakit Bethsaida Hospital sekitar tanggal 21-04-2013 dan pula menerangkan bahwa Betha Annisa sedang dalam keadaan hamil;

Menimbang, bahwa berdasarkan alat bukti P.6 s/d P.11, dan diakui kebenarannya oleh Termohon, secara formil dinyatakan dapat diterima. Akan tetapi alat bukti a quo berhubungan dengan permohonan ganti rugi yang diajukan oleh Pemohon. Maka alat bukti tersebut harus dikesampingkan;

Menimbang, bahwa atas keterangan dua orang saksi yang diajukan oleh Pemohon di depan persidangan, telah menerangkan berdasarkan apa yang dilihat dan dialaminya sendiri dan bukan orang yang terhalang menjadi saksi secara sehingga secara formil dapat diterima, sedangkan secara materiil keterangan saksi saling bersesuaian antara yang satu dengan yang lain, serta mendukung dalil-dalil Permohonan Pemohon, sehingga telah memenuhi syarat formil dan materiil sebagai saksi, oleh karena itu Majelis Hakim menilai kesaksian tersebut dapat diterima dan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah serta menguatkan dalil-dalil Permohonan Pemohon;

Menimbang, bahwa dua orang saksi yang diajukan oleh Termohon di depan persidangan, telah menerangkan berdasarkan apa yang dilihat dan dialaminya sendiri dan bukan orang yang terhalang menjadi saksi sehingga secara formil dapat diterima, sedangkan secara materiil keterangan saksi saling bersesuaian antara yang satu dengan yang lain, serta mendukung dalil-dalil bantahan Termohon, sehingga telah memenuhi syarat formil dan materiil sebagai saksi, oleh karena itu Majelis Hakim menilai bahwa keterangan 2 (dua) saksi tersebut dapat diterima dan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah serta menguatkan dalil-dalil bantahan Termohon;

Menimbang, bahwa berdasarkan semua hal yang telah dipertimbangkan tersebut di atas, Majelis Hakim dapat menemukan dan menyimpulkan fakta di persidangan yang pada intinya sebagai berikut:

 Bahwa Pemohon dan Termohon adalah sebagai suami isteri sah yang telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 13 April 2013 di Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang dengan


(4)

status Pemohon sebagai jejaka dan Termohon berstatus perawan;

 Bahwa Pemohon dengan Termohon telah hidup bersama selama lebih kurang satu minggu dan telah berhubungan sebagaimana layaknya suami isteri sebanyak dua kali;

 Bahwa sebelum pernikahan Pemohon dengan Termohon, Termohon telah berhubungan sex dengan pria lain bernama Hambali PNS pada Pemda Kabupaten Tangerang sebanyak 1 (satu) kali dan hal tersebut tidak diberitahukan oleh Termohon kepada Pemohon sebelum pernikahan;

 Bahwa pada saat acara pernikahan, Termohon sedang terlambat haid setelah berhubungan sex dengan pria lain di luar nikah kemudian Termohon memeriksakan diri dua hari setelah acara pernikahan. Dan atas hasil pemeriksaan dokter, Termohon positif hamil 2 (dua) bulan kemudian diberitahukan kepada Pemohon satu minggu setelah pernikahan;

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, maka majelis berpendapat bahwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan :

 bahwa Pemohon dan Termohon telah terikat dalam perkawinan yang sah semenjak tanggal 13 April 2013 dengan status antara jejaka dengan perawan;

 bahwa Pemohon tidak mengetahui keadaan Termohon yang berstatus perawan. Dan ternyata Termohon dalam keadaan hamil dua bulan akibat berhubungan sex dengan pria lain bernama Hambali PNS pada Pemda Kabupaten Tangerang sebanyak 1 (satu) sebelum menikah dengan Pemohon;

Menimbang, bahwa berdasarkan apa yang telah terbukti sebagaimana tersebut di atas, ternyata Pemohon merasa tertipu dan tidak dapat melanjutkan rumah tangganya dengan Termohon, karena hal tersebut sangat mengganggu batin Pemohon, oleh karena itu majelis menilai jika rumah tangga Pemohon dan Termohon tetap diteruskan, maka kemudlaratan akan menimpa keduanya. Oleh karena itu menyelamatkan mereka dari keadaan tersebut melalui pembatalan pernikahan merupakan tindakan yang lebih baik dan maslahat bagi keduanya daripada tetap mempertahankan perkawinan mereka;


(5)

Menimbang, bahwa berdasarkan pertibangan-pertimbangan tersebut di atas, maka majelis berkesimpulan bahwa permohonan pemohon telah terbukti dan cukup alasan untuk melakukan pembatalan nikah sesuai dengan pasal 27 ayat (2) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Jo. pasal 72 ayat (2) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, oleh karena itu permohonan Pemohon patut untuk dikabulkan;

Menimbang, bahwa semua dalil dalil dan alat bukti baik surat maupun saksi yang diajukan oleh Pemohon maupun Termohon di depan sidang sepanjang tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim, maka harus dinyatakan untuk dikesampingkan;

Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 89 ayat 1 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka biaya perkara ini seluruhya dibebankan kepada Pemohon;

Mengingat segala peraturan perundang-undangan yang berlaku serta hukum syara' yang berkaitan dengan perkara ini;

MENGADILI

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;

2. Membatalkan pernikahan Pemohon ( Mazhar Setiabudi bin Suwignyo)

dengan Termohon ( Betha Annisa binti Syahbudin ) yang dilaksanakan pada tanggal 13 April 2013 tercatat di Kantor Urusan Agama Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang;

3. Memerintahkan kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang untuk mencoret Buku Kutipan Akta Nikah Nomor 319/53/IV/2013 tanggal 15 April 2013 dari Register Akta Nikah;

4. Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima selain dan selebihnya;

5. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar seluruh biaya perkara ini Rp 291.000,- ( Dua ratus Sembilan puluh satu ribu rupiah);

Demikian dijatuhkan putusan ini di Tigaraksa, pada hari Kamis tanggal 29 Agustus 2013 Masehi bertepatan dengan tanggal 22 Syawal


(6)

1434 H. dalam permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa yang terdiri dari Drs. H. Saifullah sebagai Hakim Ketua Majelis serta H. Antung Jumberi, SH., MH dan Musidah, S.Ag., M.HI masing-masing sebagai hakim-hakim Anggota. Putusan tersebut diucapkan oleh Ketua Majelis pada hari itu juga dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota serta Fathiyah Sadim, S.Ag sebagai Panitera Pengganti dan dihadiri oleh Pemohon dan Termohon

Ketua Majelis

Drs. H. Saifullah

Hakim Anggota Hakim Anggota

H. Antung Jumberi, SH., MH Musidah, S.Ag., M.HI

Panitera Pengganti

Fathiyah Sadim, S.Ag

Perincian biaya perkara :

1. Biaya Pendaftaran Rp. 30.000,- 2. Biaya ATK Rp. 50.000,- 3. Biaya Panggilan Rp 200.000,- 4. Biaya redaksi Rp. 5.000,- 5. Biaya Meterai Rp 6.000,-

Jumlah Rp 291.000,-