berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isri.” Apabila suami mengetahui adanya peraturan pembatalan perkawinan
tersebut, maka diharapkan suami berani untuk menuntut atau mempertahankan haknya. Dengan adanya pemahaman tersebut, maka
diharapkan dapat meminimalisir kejadian seperti ini di dalam rumah tangga. Hal ini juga diharapkan akan dapat meredam hasrat suami untuk
tidak meakukan pembatalan perkawinan dan tidak langsung melaporkan ke Pengadilan Agama. Akan tetapi terlebih dahulu melakukan musyawarah
secara kekeluargaan antara suami istri.
C. Analisis Penulis Terhadap Putusan No.1500Pdt.G2013PA.Tgrs
Dalam menganalisa
putusan perkara
Nomor: 1500Pdt.G2013PA.tgrs penulis memandang bahwa keputusan Majelis
Hakim yang berdasarkan bukti-bukti dan saksi-saksi yang telah ada dikemukakan di Pengadilan juga kepada ketentuan Undang-undang No 1
tahun 1974 pasal 27 ayat 2 dan pasal 72 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam bahwa “seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai suami atau istri.” Adalah
benar adanya, karena istri yang telah dinyatakan hamil 2 bulan bukan dengan suaminya pasca berlangsungnya perkawinan. Untuk menjaga
kesucian perkawinan, maka majelis Hakim membatalkan perkawinan tersebut.
Berdasarkan hal ini penulis teringat firman Allah swt yang tercantum
pada Surah An-nur ayat 3:
:رونلا
Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan
yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki
musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin
.”
QS. An-Nur:3 Ayat di atas menjelaskan bahwasanya pernikahan pezina hanya
boleh dilakukan oleh pezina dan orang musyrik hanya boleh dinikahi oleh orang musyrik. Maka jelaslah keharaman menikahi wanita yang berzina
bagi laki-laki yang tidak mezinahinya. Hal ini sangat sesuai dengan KHI pasal 53 ayat 1, seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan
dengan pria yang menghamilinya. Penulis juga bependapat bahwa masalah putusan Nomor :
1500Pdt.G2013PA.Tgrs ini sebenarnya sudah betul dan sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, akan teteapi lebih tepatnya putusan ini
seharusnya mengenai talak raj’i bukan pembatalan perkawinan. Karena permasalahan yang terjadi dalam keterangan yang dinyatakan oleh
termohon dalam Repliknya menyebutkan, bahwa setelah pemohon mengetahui bahwa termohon telah hamil 2 bulan dengan pria lain pemohon
menerima termohon apa adanya, itu bertanda bahwa suami tidak dapat membatalkan perkawinan yang telah terjadi, sesuai dengan pendapat para
ulama, bahwa fasakh dapat diajukan apabila diantara salah satu pihak baik
itu suami maupun istri terdapat aib, akan tetapi apabilah salah satu pihak telah mengetahui sebelum akad berlangsung ia sudah rela secara tegas atau
menunjukan tanda-tanda kerelaan pada dirinya maka iya tidak memiliki hak meminta fasakh dengan alasan aib tersebut. Namun karena sikap termohon
yang enggan melayani pemohon maka, pemohon berubah pikiran sehingga mengajukan pembatalan perkawinan ke Pengadilan Agama Tigaraksa
dengan alasan penipuan. Kemudian dalam pernyataan termohon dan saksi-saksi dari pihak
termohon perihal pemohon yang telah meminta ganti rugi biaya perkawinan padahal tidak terdapat perjanjian sebelum perkawinan bahkan pada saat
sebelum berlangsunnya perkawinan pemohon telah bersedia menanggung seluruh biaya perkawinan. Alasan tersebut tidak dibenarkan oleh Majelis
Hakim karena berdasarkan pasal 49 ayat 2 Undang-undang No. 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 tahun 2006
dan perubahan kedua dengan Undang-undang No. 50 tahun 2009. Dalam hal adanya penipuan, bukanlah wewenang Pengadilan Agama, maka
permohonan pemohon harus dinyatakan untuk tidak dapat di terima. . Dalam keterangan termohon juga disebutkan bahwa, pemohon
mengambil kembali mahar berupa cincin emas berlian yang telah diberikan kepada termohon.
Menurut analisis penulis, seharusnya hakim mencantumkan dalam Amarnya untuk mengembalikan mahar tersebut kepada termohon.
Mengingat pertimbangan Hukum Islam bahwasanya, jika suami
menjatuhkan talak kepada istrinya sedangkan ia telah melakukan hubungan intim layaknya suami istri dukhul, maka suami wajib membayar seluruh
maharnya kepada istri. Namun jika suami menjatuhkan talak kepada istrinya, sedangkan ia belum melakukan hubungan intim dukhul, maka
suami hanya diwajibkan membayar setengah mahar kepada istrinya.
56
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Ada dua macam kawin hamil yakni kawin hamil akibat zina dan kawin hamil dalam masa iddah. Hukum menikahi wanita hamil dalam masa iddah
ialah haram, sampai bayi yang ada dalam kandungannya lahir. Hal ini telah jelas diterangkan dalam Firman Allah swt Surah Ath-Thalaq ayat
4.sedangkan pembahasan penulis terfokus pada kawin hamil akibat zina. Ada dua penafsiran mengenai hukum menikahi wanita hamil yang pertama
jika laki-laki yang menikahi wanita tersebut merupakan laki-laki yang telah menghamilinya maka para ulama sepakat memperbolehkan pernikahan
tersebut, akan tetapi apabila yang menikahinya ialah laki-laki yang bukan mengh
amilinya maka para ulama berbeda pendapat. Imam syafi’I dan Abu Hanifah menghalalkan perkawinan wanita hamil akibat zina dengan pria
yang menghamilinya maupun bukan menghamilinya, sedang Imam Malik, Yusuf dan Zufar berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak sah.
2. Mengenai dasar-dasar Hukum tentang pembatalan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, tercantum pada Bab IV pasal 22, 24,
26 ayat 1 dan 2 dan 27 sebagaimana telah dijelaskan penulis pada