sementara dia bukan yang menghamilinya. Karena, akibat hukum yang ditimbulkan seakan-akan kebolehan tersebut memberi peluang kepada orang-
orang yang kurang atau tidak kokoh keberagamaannya, akan dengan gampang menyalurkan kebutuhan seksualnya di luar nikah.
B. Kawin hamil dalam perspektif KHI dan Undang-Undang No. 1 tahun
1974
Status perkawinan wanita hamil telah dijelaskan dalam BAB VIII Kompilasi Hukum Islam pasal 53 yaitu:
1 Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2 Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3 Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung
lahir.
8
Dengan melihat rumusan pasal 53 ayat1 dapat dimaknai bahwa wanita hamil dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya dan
dapat pula tidak dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Inilah konsekuensi dari kata “dapat”. Kata ini juga digunakan dalam pasal 2
ayat2 Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Di sana disebutkan bahwa dalam tindak hal pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu,
8
Kompilasi Hukum Islam, BAB VIII pasal 53 ayat 1, 2 dan 3, PDF
pidana mati dapat dijatuhkan. Oleh karena dalam pasal ini juga digunakan kata “dapat”, maka walaupun korupsi diadakan dalam keadaan tertentu
seperti dimaksudkan oleh pasal 2 ayat2 ini, pidana mati dapat pula tidak dijatuhkan. Sehingga sampai hari ini tidak ada seorang koruptor pun di
Indonesia yang pernah dijatuhi hukuman mati. Inilah konsekuensi dari pemakaian kata dapat.
Disinilah sebab tim perumus KHI menggunakan kata “dapat” pada rumusan pasal 53 ayat1 ini tujuan adalah sebagai langkah antisipatif.
Sebab dalam kasus hamil di luar nikah, bisa saja terjadi kehamilan akibat perkosaan dalam kasus hamil karena perkosaan, sudah barang tentu wanita
korban perkosaan itu tidak akan pernah dikawinkan dengan pria pemerkosa. Sehingga rumusan pasal ini bisa berbunyi seorang wanita
hamil di luar nikah dapat tidak dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
9
Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal1 dinyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang
Maha Esa. Kemudian pasal2 dijelaskan bahwa, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya. Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa perkawinan wanita hamil itu sah hukumnya jika dilakukan menurut agama
9
M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta:Amzah, 2012 cet. Ke-1 hal. 166
dan kepercayaannya masing-masing. Karena lazimnya perkawinan itu adalah sebuah ikatan suci yang dapat menghalalkan hubungan suami istri.
Namun perlu digarisbawahi hubungan suami istri yang dilakukan sebelum terjadinya perkawinan itulah yang dianggap tidak benar dan tidak disah
kan baik itu menurut hukum agama maupun hukum positif yang ada. Kemudian dilihat dari anak yang dikandung oleh wanita hamil
tersebut, dalam pasal 42 Undang-undang No. 1 tahun 1974 dijelaskan yaitu, bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 43 ayat1 menyatakan, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya. Ayat2 kedudukan anak tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam ayat1 selanjutnya akan di atur
dalam peraturan pemerintah. Dari pasal 42 di atas dapat disimpulkan bahwa, apabila wanita hamil tersebut menikah dengan pria yang
menghamilinya ataupun pria yang bukan menghamilinya sebelum anak yang dikandungnya itu lahir maka anak tersebut merupakan anak yang sah
dari pasangan suami istri tersebut meskipun suami bukanlah merupakan bapak biologis dari anak tersebut. Kemudian dari pasal 43 ayat1 UU No.
1 tahun 1974 dapat disimpulkan, apabila wanita hamil tersebut tidak menikah sampai anak yang dikandungnya lahir, maka status keperdataan
anak tersebut jatuh kepada ibu dan keluarga dari ibunya.
39
BAB IV ANALISIS PERKARA PEMBATALAN PERKAWINAN