PEMBATALAN PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF KHI

C. PEMBATALAN PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF KHI

Pembatalan perkwinan didalam KHI telah diatur dalam pasal 70 sampai dengan 76. Di dalam pasal 70 KHI dinyatakan perkawinan batal demi hukum apabila : 25 a Suami melakukan perkawinan sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj ‟i b Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah di li‟annya c Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bekas istrnya tersebut pernah manikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya d Perkawinan dilakukan antara orang yang mempunyai hubungan darah, semendak dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal delapan UU No1 tahun 1974, yaitu: 1. Berhubungan darah dalam garis lurus ke bawah atau ke atas 2. Berhubungan darah dalam garis lurus keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara saudara dengan saudara orang tua dan atara seorang dengan saudara neneknya 25 Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 11974 sampai KHI. Jakarta: Kencana Prenada Media Grub, Juli 2006, cet.ke-3 3. Berhubungan semenda, yaitu mertua anak tiri menantu dan ibu dan ayah tiri 4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan anak sesusuan dan bibi atau paman sesusuan. e Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri isrinya. Selanjutnya pada pasal 71 dijelaskan perkawinan yang dapat dibatalkan apabila: 26 a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria yang mafqud c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan pasal 7 UU No1 tahun 1974 e. Perkawinan dilangsugkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. 26 Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 11974 sampai KHI. Jakarta: Kencana Prenada Media Grub, Juli 2006, cet.ke-3 Dalam penjelasan pasal 72 ayat 1 berbunyi, bahwa seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawia apabila perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. Ayat 2 seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai suami atau istri. a. Pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan menurut KHI pasal 73 di antaranya yakni: 27 1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau istri 2. Suami atau istri 3. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanan perkawinan menurut undang- undang 4. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan mnurut hukum islam dan peraturan perundang undangan sebgaimana tersebut dalam pasal 67. 27 Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 11974 sampai KHI. Jakarta: Kencana Prenada Media Grub, Juli 2006, cet.ke-3.h.112 29

BAB III STATUS HUKUM KAWIN HAMIL

A. Kawin Hamil menurut Perspektif Fiqih

1. Pengertian kawin Hamil Perkawinan wanita hamil adalah seorang wanita yang hamil sebelum melangsungkan akad nikah, kemudian dinikahi oleh pria yang menghamilinya. 1 Ada dua macam kategori kawin hamil yakni, kawin hamil yang dilakukan oleh wanita hamil akibat perzinaan serta kawin hamil yang dilakukan oleh wanita hamil yang berada dalam masa iddah. Allah swt berfirman dalam surah Ath-Thalaq ayat 4 yang berbunyi: …                ... اطلا Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”QS. Ath-Thalaq:4 Menurut fuqoha perkawinan antara pria dan wanita yang sedang hamil terjadi karena dua kemungkinan yakni, bisa jadi pria tersebut adalah pria yang menghamili wanita tersebut dan bisa juga pria tersebut bukanlah orang yang menghamili wanita tersebut. 2 1 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,Jakarta:Sinar Grafika, 2006 cet. Ke-2 hal. 45 2 Mahjuddin, Masail Fiqhiyah Berbagai Kasus yang Dihadapi “Hukum Islam” Masa Kini, Jakarta:Kalam Mulia hal.36