29
BAB III STATUS HUKUM KAWIN HAMIL
A. Kawin Hamil menurut Perspektif Fiqih
1. Pengertian kawin Hamil Perkawinan wanita hamil adalah seorang wanita yang hamil
sebelum melangsungkan akad nikah, kemudian dinikahi oleh pria yang menghamilinya.
1
Ada dua macam kategori kawin hamil yakni, kawin hamil yang dilakukan oleh wanita hamil akibat perzinaan serta kawin hamil yang
dilakukan oleh wanita hamil yang berada dalam masa iddah. Allah swt berfirman dalam surah Ath-Thalaq ayat 4 yang berbunyi:
…
... اطلا
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan
dalam urusannya.”QS. Ath-Thalaq:4 Menurut fuqoha perkawinan antara pria dan wanita yang sedang
hamil terjadi karena dua kemungkinan yakni, bisa jadi pria tersebut adalah pria yang menghamili wanita tersebut dan bisa juga pria tersebut bukanlah
orang yang menghamili wanita tersebut.
2
1
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,Jakarta:Sinar Grafika, 2006 cet. Ke-2 hal. 45
2
Mahjuddin, Masail Fiqhiyah Berbagai Kasus yang Dihadapi “Hukum Islam” Masa
Kini, Jakarta:Kalam Mulia hal.36
2. Pendapat ulama tentang kawin hamil Beberapa ulama berbeda pendapat dalam memandang pernikahan
wanita dalam keadaan hamil zina, baik pernikahan itu kepada laki-laki yang
menghamilinya maupun
kepada laki-laki
yang bukan
menghamilinya. Dalam kasus wanita yang hamil karena zina dan menikah dengan laki-laki yang menghamilinya para ulama fiqh sepakat
memperbolehkan pernikahan tersebut, sedangkan wanita hamil akibat zina yang menikah dengan laki-laki yang bukan menghamilinya ulama fiqh
memiliki beberapa pendapat, yakni:
3
a. Menurut Imam S yafi’i, wanita yang hamil boleh menikah dengan
orang yang bukan menghamilinya, walau ia sedang dalam keadaan hamil.
b. Imam malik berpendapat bahwa wanita yang zina tidak boleh dinikahi kecuali ia telah menyelesaikan iddahnya yaitu hingga lahir anak yang
dikandungnya . c. Mazhab Imam Hanafi, jika perempuan yang dizinahi tidak hamil,
maka sah akad perkawinannya dari laki-laki yang tidak melakukan zina kepadanya. Begitu juga jika dia hamil akibat perbuatan zina
tersebut maka dia boleh dinikahi, menurut abu hanifah dan Muhammad. Akan tetapi, dia tidak digauli sampai dia melahirkan
anaknya.
3
Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu jilid 7,Jakarta: Gema Insani, 2011 cet. Ke- 2 hal.
d. Menurut pendapat Yusuf dan Zufar, tidak boleh melaksanakan akad nikah terhadap perempuan yang tengah hamil akibat hubungan zina,
karena kehamilan ini mencegah persetubuhan, maka dilarang juga pelaksanaan akad, sebagaimana kehamilan juga mencegah penetapan
nasab. Maksudnya sebagaimana tidak sah dilaksakan akad terhadap perempuan yang hamil yang bukan karena hubungan zina, maka tidak
sah dilaksanakan akad terhadap perempuan yang hamil akibat perbuatan zina.
e. Mazhab Maliki berpendapat, tidak boleh dilaksanakan akad terhadap perempuan yang melakukan perbuatan zina sebelum dia dibebaskan
dari zina dengan tiga kali haid, atau setelah lewat tiga bulan. Jika dilaksanakan akad pernikahan kepadanya sebelu dia dibebaskan dari
zina, maka akad pernikahannya adalah sebuah akad yang fasid. Akad ini harus dibatalkan, baik muncul kehamilan ataupun tidak.
Dari berbagai perbedaan pendapat ulama di atas tentang mengawini wanita hamil karena zina, jumhur ulama sepakat bahwa,
wanita yang pernah melakukan zina baik dalam keadaan hamil dari zina maupun tidak, boleh dan sah dinikahi oleh pria yang menzinahinya. Hal
ini telah disepakati oleh mayoritas ulama dari kalangan sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, ibnu Abbas,
ibnu Musayyab, „Urwah dan Zuhri, maupun dari kalangan ulama generasi sesudahnya seperti Imam Malik, Imam
Syafi’i, Rab’iyah, Abi Tsaur, dan lain-lain.Nailul Authar juz VI halaman
282.
4
3. Fatwa MUI Propinsi DKI Jakarta mengenai Kawin Hamil
5
Dari berbagai perbedaan pendapat yang telah dikemukakan mengenai kawin hamil akibat zina, ulama MUI sepakat menggunakan
pendapat zina boleh dan sah dinikahi oleh laki-laki lain yang tidak menzinahinya seta sesudah akad nikah mereka boleh melakukan hubungan
suami istri dengan pertimbangan-pertimbangan sebagi berikut: a. Argumentasi dan dalil-dalil yang dikemukakan ima
m Syafi’i lebih kuat dan lebih sesuai dengan kemashlahatan.
b. Menurut ilmu biologi, sperma yang masuk pada Rahim wanita yang telah hamil tidak akan mempengaruhi janin yang sudah jadi.
Dengan demikian, tidak perlu dikhawatirkan akan terjadinya percampur-adukan antara sperma laki-laki yang menzinahinya
dengan sperma laki-laki yang menikahinya dengan sah. c. Jika wanita yang sedang hamil dari zina tidak boleh dan tidak sah
dinikahi oleh laki-laki lain yang tidak menzinahinya, maka akan menyulitkan wanita tersebut atau keluarganya, manakala laki-laki
yang menghamilinya tidak bertanggung jawab. Hal ini tentu akan menimbulkan rasa malu dan gangguan psikologis bagi wanita
tersebut dan keluarganya.
4
Hamdan Rasyid, Fiqih Indonesia Himpunan Fatwa-fatwa aktual,Jakarta: PT. AL Mawardi Prima, 2003, cet ke-1 hal. 184
5
Hamdan Rasyid, Fiqih Indonesia Himpunan Fatwa-fatwa aktual,Jakarta: PT. AL Mawardi Prima, 2003hal. 192
4. Dasar Hukum D
alam Alqur’an, Allah SWT memberi keterangan hukum menikahi wanita yang berzina dalam surah An-Nur [24]:3
:رونلا
Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang
berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin
.”
QS. An-Nur:3 Ayat tersebut menggambarkan kepada kita bahwa laki-laki yang berzina
boleh nikah dengan perempuan yang berzina atau yang musyrik. Demikian pula sebaliknya, perempuan yang berzina boleh dinikahi oleh laki-laki yang berzina
atau musyrik. Mengenai masalah ini para ulama sepakat. Namun mereka berbeda pendapat tentang laki-laki yang tidak berzina menikahi perempuan yang berzina.
Menurut Ali, Al- Barrai, Siti Aisyah dan Ibn Mas’ud hukumnya haram,
berdasarkan pada firman Allah di atas. Sedangkan Abu Bakar, Umar, Ibn Abbas dan jumhur ulama menyatakan
boleh. Mereka mengatakan bahwa zina itu haram, sedangkan nikah itu halal. Yang haram tidak dapat mengharamkan yang halal, sesuai dengan sabda Nabi
لَّا ٌحا س
رخآّ ٌحا ن
ارحلاّ ِرحيال
ا حْلا اّر
ىناربطلا ىنطقرادلاّ
6
Artinya: “Permulaannya perzinaan, tetapi akhirnya adalah pernikahan. Dan yang
haram itu tidak mengharamkan yang halal.”
Maksud dari hadis di atas adalah walaupun zina itu diharamkan, tetapi tidak dapat menhalangi kebolehan nikah yang hukumnya halal.
Di antara jumhur ulama ada yang menyatakan bahwa ayat di atas telah di nasakh oleh QS. An-Nur [24]:32, yang berbunyi:
:رونلا
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-
orang yang layak berkawin dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, allah akan
memampukan mereka dengan karunianya. Dan Allah maha luas pemberianNya lagi maha mengetahui.”QS. An-Nur [24]: 32
Sedangkan perempuan-perempuan yang berzina itu termasuk kategori yang tidak bersuami. Larangan terhadap beberapa jenis pernikahan sebagaimana
disebutkan di atas sejalan dengan tujuan mulia pernikahan dalam Islam, yakni upaya mengangkat harkat dan martabat manusia bahwa manusia berbeda dengan
binatang. Manusia adalah makhluk yang bermoral, pergaulannya diatur oleh norma dan undang-undang.
7
Bagi mayoritas ulama hadis yang diriwayatkan oleh Jabir ini menerangkan tentang tidak bolehnya seorang laki-laki nikah dengan wanita yang hamil,
6
Ali Bin Umar Abu Hasan Ad-Daruquthni Al-Bughdadi, Al-Sunan Ad-Daruquthni Jilid 4
, LebanonBeirut, Darul Ma’rifah, 1996, Hal. 368 No. Hadis 3681.
7
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga Jakarta: eLSAS, 2008. Cet, ke-1. Hal 39-41.
sementara dia bukan yang menghamilinya. Karena, akibat hukum yang ditimbulkan seakan-akan kebolehan tersebut memberi peluang kepada orang-
orang yang kurang atau tidak kokoh keberagamaannya, akan dengan gampang menyalurkan kebutuhan seksualnya di luar nikah.
B. Kawin hamil dalam perspektif KHI dan Undang-Undang No. 1 tahun