Pembatalan perkawinan menurut undang-undang No. 1 tahun 1974

kemukakan oleh imam hanafi dan maliki . Sedangkan menurut Syafi’i wanita tersebut tidak wajib iddah namun tetap mendapat mahar mitsil. 18 2. Jika pembatalan terjadi sebelum jimak hubungan intim maka, ulama sepakat bahwa istri tidak berhak atas mahar suami dan tidak ada masa iddah. 19

B. Pembatalan perkawinan menurut undang-undang No. 1 tahun 1974

Menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 Bab IV pasal 22 tentang batalnya perkawinan, bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pasal 6 UU No. 1 tahun 1974. 20 Dalam penjelasannya kata “dapat” dalam pasal ini bisa diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, apabila menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Istilah dapat dibatalkan dalam Undang-undang ini berarti dapat difasidkanmenjadi relatif nietig. Dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap ketentuan aturan tertentu. 21 Pada dasarnya pembatalan perkawian itu dapat terjadi disebabkan oleh dua kemungkinan. Yang pertama karena adanya pelanggaran terhadap prosedural 18 Wahbah zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, jilid:9 Jakarta:Gema Insani dan Darul Fikir, 2011. Cet, ke- 1. Hal 107-111. 19 Musthafa al-khin, musthafa al-bugho, Ali As-Syarbaji, Kitab Fikih Madzhab Syafie, Kuala Lumpur: Pustaka Salam SDN BHD, 2005, hal.857. 20 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan 21 Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Direktorat Pembinan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama RI, Tahun 2001. h. 154. perkawinan. Misalnya, tidak terpenuhinya syarat- syarat perkawinan, tidak dihadiri oleh para saksi atau tidak dihadiri oleh wali nikah dan lain-lain. Yang kedua adanya pelanggaran terhadap materi perkawinan. Misalnya perkawinan di lakukan di bawah ancaman, tejadi salah sangka mengenai calon suami istri pasal 27 UU No. 1 Tahun 1974. 22 a. Sebab-sebab pembatalan perkawinan, seperti yang terdapat di dalam UUP antara lain: 23 Pasal 22 , perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 24 , barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasl 3 ayat 2 dan pasal 4 UU ini. Pasal 26 1 , perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri. 22 Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 11974 sampai KHI. Jakarta: Kencana Prenada Media Grub, Juli 2006, cet.ke-3.h.107 23 Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 11974 sampai KHI. Jakarta: Kencana Prenada Media Grub, Juli 2006,108-109 Pasal 26 2 , hak utuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat 1 pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbarui supaya sah. Pasal 27 1 , seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. Pasal 27 2 , seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka menganai diri suami atau istri. b. Pihak-pihak yang berkualitas sebagai penggugat dalam perkara pembatalan perkawinan adalah: 24 1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri; 2. Suami atau istri; 3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; 4. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat 2 pasal 16 UU ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. 24 Abdul Mannan dan fauzan, pokok-pokok hukum perdata: Wewenang Peradilan Agama, Jakarta: rajawali pers,2000, hal. 19

C. PEMBATALAN PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF KHI