BAB III DAMPAK PUTUSAN HAKIM TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA NARKOBA
A. Tujuan Pemidanaan
Seperti telah disebutkan pada awal tulisan ini, narkoba diperlukan dalam kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan di mana penggunaan dan
peredarannya harus mendapat izin dari pihak yang berwenang, karena apabila disalahgunakan dapat merusak kesehatan dan bahkan menyebabkan kematian dari
orang yang menggunakannya
149
. Tetapi bahaya yang ditimbulkan oleh narkoba tidak membuat orang menjadi takut malahan penyalahgunaan narkoba sudah pada tingkat
yang mengkhawatirkan sehingga pemerintah menyatakan perang terhadap narkoba dan pihak-pihak baik yang secara langsung maupun tidak langsung yang ikut dalam
peredaran narkoba serta pihak-pihak lain yang berhubungan dengan penyalahgunaan narkoba
150
. Pernyataan sikap pemerintah untuk berperang terhadap peredaran gelap
narkoba diimplementasikan lewat aparat penegak hukumnya supaya memidana dengan seberat-beratnya terhadap pelaku tindak pidana narkoba yang tertangkap.
Dengan menghukum seberat-beratnya tentu akan timbul efek jera bagi pelaku tindak pidana narkoba sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatannya
151
.
149
Lihat penjelasan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
150
Lihat penjelasan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997.
151
Muchlis Catio, Op.Cit, hal 5.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan, 2009
Beberapa pendapat sarjana tentang pengertian pidana dan teori-teori pemidanaan:
Menurut Roeslan Saleh, Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berupa suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu
152
. Pada hakekatnya hukum pidana dilihat dari 2 segi yaitu:
153
a. Segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi suatu upaya untuk
dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan.
b. Segi pembalasan, yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula
penentuan hukum, merupakan koreksi diri dan reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum.
Dengan demikian pidana adalah perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan hukum. Di samping itu pidana diharapkan sebagai sesuatu
yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.
Menurut Muladi, pidana punisment selalu mengundang unsur-unsur sebagai berikut
154
: a.
Pada hakekatnya merupakan suatu pengertian penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
152
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, 1978, hal. 8.
153
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1998, hal. 22.
154
Ibid, hal 4.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan, 2009
b. Diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuatan
oleh yang berwenang. c.
Dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
Pada dasarnya masalah penjatuhan pidana atau pemidanaan dibagi atas dua teori yaitu:
1. Teori Retribution atau teori pambalasan.
2. Teori Utilitarian atau teori tujuan
155
. Pada teori retribution atau teori pembalasan ini pemidanaan bertujuan untuk:
1. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;
2. Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung sarana-
sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat; 3.
Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana; 4.
Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar; 5.
Pidana melihat kebelakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.
Sedangkan pada teori utilitarian pemidanan bertujuan untuk: 1.
Tujuan pidana adalah pencegahan prevention; 2.
Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan manusia;
155
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op.Cit, hal. 17.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan, 2009
3. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si
pelaku saja misalnya karena sengaja atau culpa yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
4. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan
kejahatan; 5.
Pidana melihat kemuka bersifat prospektif pidana dapat mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat
diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.
Dari kedua teori di atas baik teori retribution maupun teori utilitarian pada dasarnya adalah sama-sama memberikan sanksi pidanahukuman terhadap penjahat
atau pelanggar hukum, hanya saja sifat yang dimiliki antara kedua teori itu yang membedakannya.
Menurut penulis pemberian pidana itu mengandung unsur penderitaan sekaligus unsur penjara. Akan tetapi tujuan pemidanaan atau penghukuman di sini
dimaksudkan bukan hanya sekedar pemberian penderitaan dan efek jera kepada pelaku tindak pidana, agar ia menjadi takut atau merasa menderita akibat suatu
pembalasan dendam terhadap konsekuensi perbuatannya, melainkan penderitaan yang diberikan itu harus dilihat secara luas, artinya penderitaan itu merupakan obat
penyembuh bagi pelaku kejahatan agar ia dapat merenungkan segala kesalahannya dan segera bertobat dengan sepenuh keyakinan untuk tidak mengulangi perbuatannya
lagi di masa yang akan datang.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan, 2009
Bila dibandingkan kedua teori di atas dengan tujuan pemidanaan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana RUU – KUHP
Tahun 2006 sudah mengalami pergeseran Pasal 54 RUU – KUHP Tahun 2006 menyebutkan:
1 Pemidanaan bertujuan:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat; b.
Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d.
Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. 2
Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Pada Pasal 54 RUU – KUHP Tahun 2006 ini jelas disebutkan bahwa tujuan pemidanaan bukan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Berbeda
dengan teori retributionteori pembalasan yang mengandung unsur pemidanaan adalah untuk menderitakan.
Tim RUU – KUHP Nasional secara sadar mengadopsi aliran neo klasik dalam hukum pidana karena melihat kelemahan-kelemahan yang mendasar baik dari aliran
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan, 2009
klasik maupun aliran modern aliran positif
156
. Aliran klasik yang berciri, pidana bersifat pembalasan mewujudkan kelemahan, yakni tidak memperhitungkan harkat
dan martabat manusia dan terlalu mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan umum, Peranan hakim dalam menentukan kesalahan seseorang sangat
dibatasi, Pidana yang ditetapkan oleh Undang-Undang tidak mengenal sistem peringanan atau pemberatan yang berhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa si
pelaku, kejahatan-kejahatan yang dilakukannya terdahulu maupun keadaan-keadaan khusus dari perbuatankejahatan yang dilakukan.
Aliran modern melalui senjata ilmu pengetahuan dengan pelbagai karakteristiknya menunjukkan kelemahannya juga yakni terlalu memanjakan
penjahat.
157
Aliran ini menolak pandangan adanya pembalasan berdasarkan kesalahan yang subjektif. Aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan
mengadakan resosialisasi si pembuat dan sanksi bersifat mendidik. Aliran neo klasik dipandang oleh pelbagai negara sangat manusiawi dan
menggambarkan perimbangan kepentingan secara proporsional. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
158
a. Modifikasi Perubahan dari doctrine of free will yang dapat dipengaruhi
patologi, ketidakmampuan, penyakit gila, atau lain-lain keadaan;
156
Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 47.
157
Ibid, hal. 48.
158
Vernon Fox sebagaimana dikutip Muladi dalam bukunya Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1998, hal. 42-43.
Agustina Wati Nainggolan : Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan, 2009
b. Diterimanya berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan mitigating
cirlumstrances baik fisikal, lingkungan maupun mental; c.
Modifikasi dari doktrin pertanggungjawaban pidana guna menetapkan peringanan pidana dengan pertanggungjawaban sebagian di dalam hal-hal
yang khusus, misalnya gila, di bawah umur, dan keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengatahuan dan nia seseorang pada waktu terjadinya
kejahatan; d.
Diperkenankan masuknya kesaksian ahli expert testimony untuk menentukan derajat pertanggungjawaban.
Tujuan pemidanaan dalam RUU – KUHP yang baru tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Hal ini
mengandung pengertian bahwa dalam setiap pemidanaan harus benar-benar dipertimbangkan mana di antara tujuan pemidanaan tersebut yang mempunyai
relevansi dan kepentingan terbesar dalam kasus terkait dan harus dipertimbangkan oleh pengadilan dengan konsekuensi dijatuhkannya jenis pidana yang berbeda.
159
B. Penjatuhan Pidana terhadap Tindak Pidana Narkoba