Peran politik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
PERAN POLITIK ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR)
DI PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.sos.)
Oleh
SUPRIYADI NIM. 202033201148
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(2)
PERAN POLITIK ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR)
DI PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.sos.)
Oleh
Supriyadi NIM. 202033201148
Di Bawah Bimbingan
Ahmad Bakir Ihsan, M.Si. NIP. 150 326 915
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(3)
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul Peran Politik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 1 Desember 2008. skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada jurusan Pemikiran Politik Islam.
Jakarta, 1 Desember 2008
Sidang Munaqasah
Ketua/Merangkap Anggota Sekretaris/Merangkap Anggota
Drs. H. Harun Rasyid, MA Drs. H. Rifqi Muchtar NIP. 150 232 921 NIP. 150 282 120
Anggota,
Nawiruddin, MA Dr. Amin Nurdin, MA NIP. 150 317 965 NIP. 150 232 919
Pembimbing
Ahmad Bakir Ihsan, M.Si NIP. 150 326 915
(4)
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi yang digunakan dalam skripsi ini adalah pedoman transliterasi berdasarkan Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2006/2007.
ا
= tidak dilambangkanف
= fب
= bق
= qت
= tك
= kث
= tsل
= lج
= jم
= mح
= hن
= nخ
= khو
= wد
= dه
= hذ
= dzء
= 'ر
= rي
= yز
= zس
= s Untuk Mad dan Diftongش
= sy ā = a panjangص
= s ī = i panjangض
= d ū = u panjangط
= tوأ
= awظ
= zْوأ
= uwع
= ‘ْيأ
= ai(5)
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR ... i
PEDOMAN TRANSLITERASI ... v
DAFTAR ISI ... vi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Studi Pustaka ... 5
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Metode Penelitian ... 8
E. Sistematika Penulisan ... 8
BAB II. SELAYANG PANDANG TENTANG ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR) ... 11
A. Riwayat Hidup dan Pendidikan ... 11
B. Latar Belakang dan Aktivitas Sosial Politik ... 18
C. Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid ... 26
BAB III. MENGENAL PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB) ... 35
A. Latar Belakang Lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ... 35
B. Visi, Misi, dan Struktur Kepengurusan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ... 41
(6)
C. Karakteristik dan Arah Perjuangan Politik Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) ... 44
BAB IV.ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR) DAN DINAMIKA POLITIK PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB) ... 46
A. Gus Dur dan PKB ... 46
B. Gus Dur, PKB, dan Pemilu 1999 ... 51
1. Masa Pemilu 1999 ... 51
2. Gus Dur Jadi Presiden ... 56
3. Sidang Istimewa 2001 dan Konflik PKB ... 57
C. Gus Dur, PKB, dan Pemilu 2004 ... 61
1. Masa Pemilu 2004 ... 61
2. Konflik II dan Muktamar II PKB ... 64
3. Dinamika Pasca-Muktamar II PKB dan Menjelang Pemilu 2009 ... 65
D. Dinamika Peran dan Pengauh Politik Gus Dur di PKB ... 69
BAB V. PENUTUP ... 74
A. Kesimpulan ... 74
B. Kritik dan Saran ... 75
DAFTAR PUSTAKA ... 78
(7)
BAB I PENDAHULUAN
D. Latar Belakang Masalah
Pembahasan mengenai Abdurrahman Wahid, yang selanjutnya disebut Gus Dur, dalam keterlibatannya secara langsung dengan dinamika perpolitikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sebuah partai yang pernah membawanya kepada kursi kekuasaan pada 1999, adalah sebuah pekerjaan yang sulit dan membutuhkan analisis yang tajam tentu dengan data yang akurat dan referensi yang cukup banyak. Hal ini disebabkan sepak terjang politiknya yang sangat sulit untuk diprediksi.
Gus Dur merupakan tokoh yang fenomenal dan disegani, tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga internasional. Hal ini tentu dipengaruhi oleh latar belakang keluarga dan pendidikannya. Kehadiran kedua kakek yang sekaligus pendiri organisasi besar Islam Nahdlatul Ulama (NU) dan kedua orang tuanya yang juga merupakan tokoh bangsa yang disegani dan dikagumi oleh banyak orang sangat berpengaruh terhadap kepribadian Gus Dur di kemudian hari. Di samping itu, latar belakang pendidikan Gus Dur yang diperoleh di dalam maupun di luar negeri juga sangat membentuk karakter berpikir Gus Dur.
Kehadiran Gus Dur di organisasi besar Islam Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan oleh kakeknya sendiri itu tentunya sangat memberikan efek yang luar biasa terhadap dirinya. Gus Dur, seperti kakek dan kedua orang tuanya, sangat disegani dan dihormati tidak hanya oleh jam’iyyah NU tetapi juga oleh
(8)
golongan-golongan lain di luar organisasi yang membesarkannya. Ia kemudian menjadi panutan dan rujukan oleh banyak orang dalam menyelesaikan segala persoalan-persoalan umat dan bangsa, baik itu yang menyangkut persoalan agama, budaya, kehidupan sosial maupun persoalan-persoalan politik, kebangsaan, dan kekuasaan.
Keterlibatan Gus Dur di sebuah partai besar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), merupakan bentuk nyata dari kepeduliannya terhadap persoalan-persoalan politik, kebangsaan, dan kekuasaan. Kehadiran Gus Dur di dunia politik dengan semua gagasan-gagasan cemerlangnya ternyata dapat diterima oleh berbagai kalangan masyarakat, sekaligus menjadikannya tokoh alternatif dalam suksesi kepemimpinan nasional pada Sidang Umum MPR RI tahun 1999 untuk memimpin bangsa ini dengan legitimasi yang sangat kuat. Sebab, pemerintahannya adalah hasil Pemilu 1999 yang terbilang relatif demokratis, dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya.1 Kemenangan Gus Dur menjadi Presiden RI pada sidang umum yang diselenggarakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada waktu itu secara langsung memberikan efek yang sangat luar biasa terhadap kebesaran eksistensi PKB.
Gus Dur, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang melekat dalam dirinya, telah dijadikan sebagai tokoh sentral partai yang dipuja-puja oleh konstituennya, apa yang dikatakan dan dilakukannya menjadi panutan dan rujukan bagi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
1
Anas Urbaningrum, Melamar Demokrasi: Dinamika Politik Indonesia (Jakarta: Republika, 2004), h. 102.
(9)
Bayangan Gus Dur dalam visi, misi, dan perilaku politik PKB sangat dominan. Pandangan, gagasan, sikap, kebijakan, dan manuver-manuver politik Gus Dur sangat kentara mempengaruhi gerak langkah PKB di pentas percaturan politik nasional sejak Partai ini berdiri, masa kampanye Pemilu 1999, 2004 dan pastinya pada masa-masa berikutnya.2
Visi, misi, dan kebijakan-kebijakan politik PKB akan selalu berada di bawah bayang-bayang Gus Dur. Gus Dur-lah yang pada hakikatnya mengarahkan dan bahkan menentukan keputusan-keputusan politik yang telah dan akan diambil oleh PKB. Selain sebagai pengayom dan pemberi restu bagi berdirinya PKB, Gus Dur secara struktural memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk mengarahkan kebijakan atau keputusan-keputusan politik yang harus diambil oleh PKB.3
Dapat diduga bahwa setidak-tidaknya setiap keputusan dan kebijakan politik yang akan diambil oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan jajaran pimpinannya akan selalu dikonsultasikan dengan Gus Dur terlebih dahulu.4
Gus Dur diakui sebagai pembela kebebasan, demokrasi, dan HAM yang memiliki reputasi bagus di tingkat nasional dan internasional, hal ini tentu saja memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi PKB. Di bawah pijar-pijar bayangan Gus Dur, PKB tumbuh dan berkembang menjadi partai besar walaupun masih muda belia. Sementara itu, partai-partai baru yang seusia dengan PKB
2
Faisal Ismail, NU, Gus Durisme, dan Politik Kiai (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1999), Cet. I, h. 151.
3
Faisal, NU, Gus Durisme, h. 151.
4
(10)
memperoleh suara yang sangat jauh dengan PKB. Tanpa Gus Dur, PKB tidak mungkin menjadi besar. Karena pengaruh Gus Dur dalam PKB sangat dominan, Gus Dur akan selalu menjadi pola anutan dan acuan PKB dalam mengambil kebijakan-kebijakan dan keputusan politiknya.5
Kenyataan di atas lah yang kemudian memunculkan opini bahwa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) adalah milik Gus Dur, dan bukan sebaliknya, Gus Dur milik PKB. Opini ini kemudian meluas sampai pada sebuah perdebatan di kalangan publik, banyak orang beranggapan bahwa peran politik Gus Dur di PKB dikarenakan integritas dan kapabilitasnya sebagai politisi yang memiliki posisi tawar yang tinggi di pentas politik nasional. Ada pula yang beranggapan bahwa peran politiknya yang cukup kental di PKB dikarenakan posisi strukturalnya sebagai Dewan Syuro. Terlepas dari itu semua, pada kenyataannya Gus Dur telah menjadi icon bagi PKB.
Jika demikian, bagaimanakah nasib dan arah pergerakan politik PKB masa depan (pasca-Gus Dur), bukankah sikap ketergantungan yang berlebihan terhadap satu sosok kepemimpinan sangat membahayakan bagi keberlangsungan kaderisasi dan eksistensi suatu partai? Menurut Efendi Ghazali, “Figur seorang yang ditokohkan bisa menjadi bomerang bagi partai itu sendiri.” Jika dilihat bagaimana Megawati di PDI-P begitu ditokohkan, akhirnya PDI-P pecah.6 Golkar berada diambang kehancuran ketika tokoh yang dijadikan sebagai iconnya, Soeharto, hancur pada 1998.
5
Faisal, NU, Gus Durisme, h. 153.
6 “
Demokrat – SBY Pisah Ranjang,” Opini Indonesia, 29 Januari – 4 Februari 2007, h. 17.
(11)
Keberanian partai-partai, seperti PAN yang dulunya sangat bergantung pada popularitas Amien Rais, sekarang sudah berani memasang muka-muka baru sebagai icon partainya. Demikian pula, PBR tidak lagi menjadikan sosok Zaenuddin M.Z. sebagai panutannya. Keberanian partai-partai itu lepas dari figur tokoh karena dipengaruhi oleh kesadaran akan pentingnya proses regenerasi internal. Secara alamiah, partai perlu regenerasi seiring dengan menurunnya kredibilitas dan popularitas tokoh-tokoh lama. Partai Thai Rak di Thailand adalah contoh partai yang begitu bergantung pada ketokohan Taksin (mantan Perdana Menteri Thailand), setelah Taksin dikudeta maka partai tersebut ikut bubar.7 Lalu pertanyaannya, apakah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) akan mengalami hal yang sama, kredibitas dan popularitasnya akan menurun atau bahkan hancur seiring dengan menurun dan hancurnya tingkat popularitas tokohnya? dan apakah PKB juga sadar akan pentingnya proses regenerasi demi menyelamatkan eksistensi Partai dengan melepaskan diri dari figur Gus Dur, seperti yang sudah dilakukan oleh partai-partai pesaingnya?
Dalam tulisan ini, penulis mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, tentu dengan berdasarkan analisis dan kajian historis yang lengkap dan akurat, sehingga jawaban yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan.
E. Studi Pustaka
Kajian tentang Peran Politik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) secara spesifik dapat dikatakan belum ada. Namun,
7 “
(12)
penulis menemukan satu kajian tentang “Nahdlatul Ulama (NU) dan Politik: Sebuah Telaah Terhadap Gerakan Politik NU di Era Reformasi” yang ditulis oleh Zaenal Agus Sugiarto, mahasiswa UIN Jakarta, tahun 2002/2003. Di sini, ia hanya membahas secara umum bagaimana NU sebagai organisasi besar Islam kembali di kancah perpolitikan nasional pasca runtuhnya rezim Orde Baru (Reformasi) dengan melihat PKB sebagai jalan tengah politik NU dan Gus Dur dipandang sebagai bagian terkecil dari sub pembahasan.
Berbeda dengan kajian di atas, di sini penulis mencoba melihat sisi lain dari dinamika politik Gus Dur di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) secara spesifik dan lebih fokus. Hal ini dikarenakan, penulis berasumsi bahwa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sangat bergantung terhadap ketokohan seorang Gus Dur. Artinya, segala aktifitas dan kebijakan-kebijakan politik PKB akan selalu berada di bawah bayang-bayang Gus Dur, dan hal ini yang dipandang oleh banyak tokoh politik sebagai sesuatu yang sangat membahayakan terhadap eksistensi partai, khususnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
C. Batasan dan Perumusan Masalah
Dalam tulisan ini, penulis memberikan objek khusus mengkaji tentang tokoh yang fenomenal dan sering kontroversial, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dalam keterlibatan dan pengaruhnya terhadap dinamika politik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Seperti dikatakan, Peran politik Gus Dur secara struktural dengan kewenangan yang begitu luas di PKB membuat Gus Dur begitu bebas dalam menentukan dan mengarahkan kebijakan atau keputusan-keputusan politik PKB.
(13)
Di samping itu, Gus Dur adalah sosok yang sangat sulit untuk dipahami. Beliau tidak hanya dipandang sebagai politikus handal, tetapi juga sebagai tokoh agama, sosial, dan budaya. Sehingga apa yang dikatakan dan dilakukannya tidak bisa ditafsirkan begitu saja, harus dilihat kapan, di mana, dan posisi sebagai apa beliau pada saat itu, jika tidak maka kesalahpahaman-lah yang akan muncul.
Oleh sebab itu, untuk tidak terjebak dalam kesalahpahaman yang sama, penulis mencoba membatasi kajian ini dengan melihat beliau (Gus Dur) sebagai seorang politikus yang memiliki peran dan pengaruh dalam dinamika perpolitikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang dirumuskan dalam sebuah pertanyaan sebagai berikut: “Bagaimanakah peran dan pengaruh politik Gus Dur dalam dinamika perpolitikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dari sejak partai ini dideklarasikan sampai menjelang pemilu 2009 pasca dikeluarkannya keputusan MK tentang konflik internal PKB?”
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sebagaimana layaknya karya tulis, tentu saja Skripsi ini memiliki beberapa tujuan yang mudah-mudahan bermanfaat. Adapun tujuan dalam penulisan Skripsi ini diantaranya adalah:
D.1. Tujuan Penelitian
Menambah wacana perpolitikan nasional.
Memahami secara konprehensif sejauh mana peran dan pengaruh politik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam dinamika perpolitikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dari sejak partai ini didirikan, tahun
(14)
1998, sampai menjelang Pemilu 2009 pasca dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penyelesaian konflik dualisme di internal PKB.
D.2. Manfaat Penelitian
Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang politik, khususnya tentang Partai Kebangkitan Bangsa.
Sebagai tambahan wacana politik bagi kita dalam turut serta membangun perpolitikan nasional.
Dari hasil penelitian ini, diharapkan nantinya dapat dimanfaatkan untuk menjawab permasalahan serupa yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tehnik pengumpulan data yang berbentuk dokumenter, berupa: buku, majalah, koran, dan artikel yang berhubungan dengan peran politik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Pembahasan penelitian ini menggunakan tehnik deskriptif-analisis, yaitu menggambarkan bagaimana peran politik Abdurrahman Wahid di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan menganalisis berbagai macam data yang tentunya diperkuat oleh pemikiran-pemikiran dan statement yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh yang berkompeten di bidang politik, baik lewat media massa, elektronik, maupun dalam berbagai seminar.
(15)
Untuk pedoman penulisan ini, penulis menggunakan buku Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), Ceqda UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini, disusun berdasarkan bab per bab, kemudian dijelaskan dalam sub-sub setiap tema pembahasan. Dengan demikian, penulis menyusun sistematikanya sebagai berikut:
Pada bab pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari sub-sub bab yang menjelaskan latar belakang masalah, studi pustaka, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Pada bab kedua, akan dibahas selayang pandang tentang Abdurrahman Wahid dengan sub-subbab yang terdiri dari riwayat hidup dan pendidikan, latar belakang dan aktifitas sosial politik, serta pemikiran politiknya.
Pada bab ketiga, akan dibahas mengenal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan sub-sub judul: latar belakang lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), struktur kepengurusan, serta visi, misi, dan arah gerakan politik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Pada bab keempat, penulis mencoba mengungkap bagaimana sebenarnya hubungan antara Abdurrahman Wahid dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan melihat bagaimana peran dan pengaruh Gus Dur dalam dinamika politik Partai Kebangkitan Bangsa, kemudian bagaimana keterlibatan Gus Dur di PKB
(16)
pada Pemilu 1999, bagaimana ketika Gus Dur jadi Presiden RI yang berakhir pada Sidang Istimewa 2001 yang kemudian berujung terjadinya konflik internal di tubuh PKB dan kita akan melihat bagaimana pula peran politik Gus Dur di PKB pada masa Pemilu 2004, pada saat terjadinya konflik II dan Muktamar II PKB, serta dinamika pasca-Muktamar II PKB dalam rangka menyambut Pemilu 2009 pasca dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang konflik dualisme di internal PKB.
Pada bab kelima, akan ditulis kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah di atas, serta kritik dan saran.
(17)
BAB II
SELAYANG PANDANG TENTANG ABDURRAHMAN WAHID
A.Riwayat Hidup dan Pendidikan
Abdurrahman, kata yang sering kita dengar, dan tidak jarang setiap orang yang memakai nama itu tergolong orang-orang yang tumbuh dengan kebesaran dan keagungan. Di antaranya, Syaikh Abdurrahmān al-Akhdori, pengarang kitab klasik Jauhār al-Maknūn, Abdurrahmān al-Dakkhil penakluk kota Spanyol seorang Khalifah Islam di Andalusia, Spanyol, dan mungkin masih banyak lagi.8
Dan, tidak berbeda pula dengan kiai yang satu ini, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang lahir pada bulan Sya‘ban, bulan kedelapan. Tepatnya 4 Sya‘ban 1940 atau 7 September. Akan tetapi, ulang tahunnya sendiri lebih sering dirayakan pada tanggal 4 Agustus. Gus Dur dilahirkan di Denanyar, dekat kota Jombang, Jawa Timur, dalam rumah pesantren milik kakek dari pihak ibunya, Kiai Bisri Syansuri. Kedua kakek Gus Dur, yakni Kiai Bisri Syansuri dan Kiai Hasyim Asy‘ari adalah ulama yang sangat berpengaruh dan dihormati. Keduanya adalah tokoh pendiri NU. 9
Kiai Hasyim Asy‘ari, kakek Gus Dur dari pihak ayah, merupakan tokoh pendiri NU pada tahun 1926. Sebagai seorang pemimpin Islam dalam masyarakat pedesaan yang tradisional, beliau juga dikenal sebagai seorang Nasionalis yang teguh pendirian. Banyak dari temannya merupakan tokoh-tokoh terkemuka
8
Achmad Mufid A.R., Ada Apa Dengan Gus Dur,(Yogyakarta: Kutub, 2005), h. 3.
9
(18)
gerakan Nasionalis pada periode sebelum perang. Setelah NU didirikan, kakek Gus Dur ini diangkat sebagai Ra’is Akbar yang secara harfiah berarti Ketua Agung. Dalam posisi ini, beliau menjadi Kepala Penasihat Agama dalam organisasi NU. Gelar lain dari kakek Gus Dur ini adalah Guru Agung atau Hadrat
al-Syaikh.10 Sedangkan kakek dari pihak ibunya, Kiai Bisri Syansuri, juga
merupakan tokoh kunci organisasi NU bersama dengan Kiai Hasyim Asy‘ari. Selain itu beliau juga aktif dalam pergerakan nasional.
Ayah Gus Dur, Wahid Hasyim, tumbuh besar dan belajar di madrasah ayahnya, Hasyim Asy‘ari. Sedangkan ibu dari Wahid Hasyim (nenek Gus Dur) adalah puteri dari keluarga ningrat Jawa. Wahid Hasyim dibesarkan dengan perlengkapan untuk menjadi bagian dari masyarakat elit perkotaan. Setelah mengenyam dua tahun pendidikan di Mekah, Wahid Hasyim kembali ke Indonesia untuk mengembangkan gagasannya, yakni mengawinkan pendidikan modern dengan pengajaran Islam klasik di Tebuireng. Pada tahun 1938, Wahid Hasyim mulai bergabung dalam organisasi NU untuk menyalurkan hasratnya ikut ambil bagian dalam kancah politik serta gerakan Nasionalis.11
Ibu kandung Gus Dur bernama Solichah. Ayah Gus Dur menikahi ibunya saat usianya baru menginjak enam belas tahun. Karena usianya yang masih begitu muda saat menikah, maka Solichah tidak mengenyam banyak pendidikan, akan tetapi ia selalu ingin tahu dan memiliki pikiran aktif dan keinginan kuat. Solichah
10
Barton, Biografi Gus Dur, h. 26-28.
11
(19)
muda mengenyam banyak pendidikan di madrasah milik ayahnya (Kiai Bisri Syansuri). Setelah menikah Solichah mendapatkan bimbingan dari suaminya.
Sebagaimana kebiasan santri Jawa dan kaum muslim ortodoks, Gus Dur menggunakan nama ayahnya setelah namanya sendiri, yakni menjadi Abdurrahman Wahid (Abdurrahman putera Wahid). Akan tetapi, nama resminya lain lagi, yakni Abdurrahman ad-Dakhil. Gus Dur adalah anak pertama dari Wahid Hasyim dan Solichah.12
Pada akhir tahun 1944, Gus Dur yang baru berusia empat tahun diajak ayahnya untuk menetap di Jakarta, sedangkan ibu dan adik-adiknya tetap berada di Jombang. Gus Dur bersama dengan ayahnya menetap di Menteng, Jakarta Pusat, yang saat itu merupakan tempat bermukimnya para pengusaha terkemuka, para profesional, dan politikus. Daerah Menteng saat itu merupakan pusat kegiatan sehingga dengan mudah Wahid Hasyim dan putera sulungnya setelah selesai melaksanakan ibadah salat di masjid Matraman, secara teratur dapat bertemu dengan pemimpin-pemimpin Nasionalis seperti Moh. Hatta. Ayah Gus Dur juga membina hubungan baik dengan bagian-bagian masyarakat lainnya, termasuk Tan Malaka. Bahkan menurut ingatan Gus Dur, seorang laki-laki asing sering berkunjung untuk menemui ayahnya dan bercakap-cakap berjam-jam lamanya. Atas permintaan orang asing tersebut Gus Dur memanggilnya Paman Husein. Setelah beberapa tahun kemudian Gus Dur kecil baru tahu bahwa tamu asing tersebut adalah Tan Malaka, seorang tokoh Komunis.13
12
Barton, Biografi Gus Dur, h. 33.
13
(20)
Pada tahun 1949, Gus Dur beserta seluruh keluarganya pindah ke Jakarta, ayahnya memangku jabatan Menteri Agama. Wahid Hasyim menduduki jabatan selama lima kabinet dan baru melepaskan jabatan pada tahun 1952. Pada tahap ini pendidikan Gus Dur bersifat sekuler. Gus Dur memulai sekolah dasarnya di SD KRIS di Jakarta Pusat. Ia mengikuti pelajaran di kelas tiga, kemudian di kelas empat. Lalu pindah ke SD Matraman Perwari, yang terletak dekat dengan rumah keluarganya yang baru di Matraman, Jakarta Pusat. Di rumahnya, di Jakarta Pusat tersebut, Gus Dur banyak berjumpa dengan tamu-tamu asing yang datang untuk menemui ayahnya, berbicara dalam berbagai bahasa. Di rumah ini pula banyak terdapat buku, majalah dan koran dalam jumlah yang besar. Dalam tahun-tahun di Jakarta ini pula Gus Dur sering menemani ayahnya pergi ke pertemuan-pertemuan, hingga ia dapat menyaksikan bagaimana ayahnya hidup dalam dunianya dengan cara yang sederhana.14
Pada tanggal 18 April 1953, kecelakaan mobil yang terjadi di jalan antara Cimahi dan Bandung merenggut nyawa Wahid Hasyim, ayah Gus Dur. Saat kecelakaan terjadi Gus Dur ikut dalam mobil ayahnya tersebut. Besarnya kecintaan dan penghormatan masyarakat terhadap ayahnya yang ditunjukkan dengan kesabaran orang-orang yang menunggu untuk menyaksikan perjalanan terakhir seorang Wahid Hasyim ke Jawa Timur, baik di Jakarta maupun di desa, menyadarkan Gus Dur betapa masyarakat mencintai dan menghormati ayahnya. Hal ini menjadi titik tolak bagi Gus Dur untuk memahami “Apa yang mungkin
14
(21)
dapat dilakukan oleh seorang manusia sehingga rakyat sangat mencintainya? Apakah ada prestasi yang lebih baik dari pada hal ini dalam hidup?”15
Pada Tahun 1953 – 1957, Gus Dur belajar di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogya.16 Ia tinggal di rumah K.H. Junaid, beliau adalah seorang ulama yang terlibat dalam gerakan Muhammadiyah, posisinya adalah sebagai anggota Majelis Tarjih atau Dewan Penasihat.17
Untuk melengkapi pendidikan Gus Dur, maka diatur pula agar ia pergi ke Pesantren Al-Munawwir di Krapyak, tiga kali seminggu. Pesantren ini terletak sedikit di luar Yogyakarta. Gus Dur belajar bahasa Arab di sini dengan Kiai Haji Ali Ma‘shum. Kiai Haji Ali Ma‘syum memiliki pergaulan yang luas, baik dengan pejabat pemerintah, pemimpin-pemimpin Muhammadiyah, serta kerabat keraton Yogyakarta. Yogyakarta saat itu telah menjadi kota universitas, banyak tokoh-tokoh yang menjual buku yang semakin merangsang dan mengembangkan kecintaan membaca.18
Gus Dur menamatkan Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta, tahun 1957. Sejak saat itu, ia mulai mengikuti pelajaran di pesantren secara penuh. Hingga tahun 1959, Gus Dur bergabung dengan Pesantren Tegalrejo di Magelang di bawah bimbingan Kiai Khudhori, yang merupakan salah satu pemuka NU. Di saat yang sama, Gus Dur juga belajar di Pesantren Denanyar
15
Barton, Biografi Gus Dur, h. 42-44.
16
Mufid A.R., Ada Apa Dengan Gus Dur, h. 9.
17
Barton, Biografi Gus Dur, h. 47.
18
(22)
di Jombang dengan kakeknya Kiai Bisri Syansuri. Kemudian, di tahun ini pula, Gus Dur pindah ke Jombang dan belajar secara penuh di Pesantren Tambak Beras di bawah bimbingan Kiai Wahab Khasbullah, hingga tahun 1963. Pada saat itu, Gus Dur sangat tertarik pada sisi sufistik dan mistik dari kebudayaan Islam tradisional, dan juga telah membiasakan diri untuk secara teratur berziarah ke makam-makam untuk berdoa dan meditasi pada tengah malam. Pada masa ini juga Gus Dur mengalami konsolidasi dalam studi formalnya tentang Islam dan sastra Arab klasik.19
Sejak di Yogyakarta Gus Dur sangat menggandrungi wayang kulit, film-film di bioskop, dan cerita silat. Ketika ia pindah dari Yogyakarta ke Magelang, yakni memasuki usia remaja, ia mulai serius memasuki dua macam dunia bacaan: pikiran sosial Eropa dan novel-novel besar Inggris, Prancis, dan Rusia. Di Magelang, ia mulai membaca tulisan-tulisan ahli-ahli teori sosial Eropa yang terkemuka. Di masa remajanya, Gus Dur juga sudah mulai memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, Das Kapital oleh Marx, dan What is to be done (Apa yang Harus Dikerjakan) oleh Lenin. Gus Dur juga banyak tertarik pada ide Lenin tentang keterlibatan sosial secara radikal seperti dalam Infantile Communism (Kekiri-kirian Penyakit Kekanak-kanakan) dan dalam Little Red Book-Mao (Kutipan Kata-Kata Ketua Mao). Tetapi, dari apa yang dibacanya bukan politik dan filsafat yang menarik perhatiannya, melainkan bagaimana mempunyai sifat yang manusiawi.20
19
Barton, Biografi Gus Dur, h. 49-50.
20
(23)
Walaupun Gus Dur memiliki ketertarikan akan ide-ide baru dan minat yang besar akan teori sosial Barat liberal juga ide-ide menarik dalam pikiran kaum Marxis, ia tetap merasa terganggu dengan antagonisme Marxisme dengan agama. Gus Dur berharap bahwa dalam Islam ia dapat memperoleh jawaban bagi masalah-masalah ketidakadilan, kemiskinan, dan penindasan. Maka, Gus Dur mulai membaca karya-karya Sayyid Qutb, Sa‘id Ramadan, Hasan al-Banna serta ide-ide di balik organisasi Islam terkemuka di dunia Arab, seperti Ikhwanul Muslimin, dengan harapan dapat memperoleh visi politik yang komprehensif dan padu.21
Tahun 1963 sampai dengan 1971, Gus Dur menghabiskan waktunya di luar negeri. Kota pertama yang menjadi tempat pembelajarannya yang pertama adalah Kairo. Di sana, Gus Dur menempuh studinya di Al-Azhar. Akan tetapi, studi formal Gus Dur mengalami kegagalan. Hal ini dikarenakan metode perkuliahan yang dirasakannya membosankan membuatnya jarang masuk kelas, hal ini mempengaruhi nilai-nilainya. Karena prestasinya yang tidak baik di Al-Azhar, Gus Dur kembali menerima beasiswa untuk studinya di Baghdad. Di sini menjadi tempat berkembangnya intelektual Gus Dur secara mantap. Universitas Baghdad telah menjadi lingkungan yang membuat Gus Dur tumbuh subur sebagai cendikiawan.22
Pertengahan tahun 1970-an, Gus Dur menyelesaikan studi empat tahunnya di Universitas Baghdad dan pindah ke Eropa. Karena ijazah dari
21
Barton, Biografi Gus Dur, h. 54-55.
22
(24)
Universitas Baghdad hampir tidak memperoleh pengakuan di Eropa, maka Gus Dur menghabiskan waktunya di Eropa tanpa menjalankan studi formal dan kembali ke Jawa, tahun 1971.23
Gus Dur yang asli orang Jawa memang berwatak kalem. Di samping itu, Gus Dur punya kebiasaan mendengarkan musik klasik Beethoven, yang mungkin di kalangan para kiai termasuk hobi yang nyeleneh. Dalam segi perjuangan, Gus Dur menggunakan jalan kultural dengan semangat membumikan nilai-nilai Islam, karena dalam pandangan pemikirannya yang pokok untuk ditanamkan bukanlah simbol-simbol Islam melainkan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam itu sendiri. Oleh karena itu, tidak heran jika partai yang dideklarasikannya tidak berasaskan Islam melainkan Pancasila, karena Pancasila merupakan cerminan dari nilai-nilai keislaman.24
B. Latar Belakang dan Aktivitas Sosial Politik
Sejak aktif sebagai mahasiswa di luar negeri, Gus Dur mulai aktif dalam aktifitas sosial dan politik. Sebagaimana diketahui bahwa Gus Dur sejak masa kecilnya adalah seorang anak yang hidup dalam sebuah lingkungan sosial religius sekaligus lingkungan sosial politik. Aktifitas sosial politik kakek dan ayahnya mau tidak mau turut membentuk cakrawala berpikir Gus Dur, bahkan secara sadar membentuk karakter serta menjadi fondasi bagi cita-cita Gus Dur di masa mendatang.
23
Barton, Biografi Gus Dur, h. 106-107.
24
(25)
Di Kairo, walaupun Gus Dur gagal dalam pencapaian akademisinya, akan tetapi, di sinilah Gus Dur mulai aktif mengasah jiwa sosialnya dalam organisasi kemahasiswaan Indonesia di Kairo. Gus Dur menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia, di mana organisasi ini berperan sebagai penghubung para Mahasiswa yang belajar di Timur Tengah.25
Tahun 1964 di Kairo, Gus Dur mulai menulis secara teratur untuk Majalah Perhimpunan Pelajar Indonesia, sebagaimana juga ia menulis untuk majalah-majalah seperti Horison dan Budaya Jaya ketika ia masih di Jember.26
Gus Dur juga secara teratur menyampaikan pidato dalam pertemuan-pertemuan mahasiswa Indonesia. Topik-topik yang disenanginya adalah politik Indonesia, masa depan Indonesia, serta Islam dan modernitas. Selama di Kairo, Gus Dur merasa ragu mengenai NU, ia merasa was-was mengenai pemikiran terbatas banyak ulama NU. Ia juga merasa khawatir ketika melihat tanda-tanda bahwa masyarakat Indonesia berangsur-angsur terbelah menjadi dua. Presiden Soekarno makin beralih ke kiri dan bersatu dengan Partai Komunis Indonesia, sedangkan unsur-unsur konservatif Indonesia, termasuk NU, makin bergerak ke kanan.
Tahun 1965, ketegangan antara kaum kiri dan kaum kanan di Indonesia memuncak. Bertepatan pada tahun ini, Gus Dur bekerja di Kedutaan Besar Indonesia untuk Kairo. Tugas Gus Dur di kedutaan besar adalah menerjemahkan laporan-laporan serta berita teks mengenai situasi di Jakarta. Selama masa kekerasan di Indonesia ini, Gus Dur diminta untuk memberikan laporan tentang
25
Barton, Biografi Gus Dur, h. 87.
26
(26)
mahasiswa Indonesia di Kairo, kalau-kalau di antara mereka dicurigai menganut paham Marxis. Pada masa-masa ini pula, Gus Dur mulai bertanya-tanya mengenai hubungan yang sumbang antara agama dan negara.
Pengalamannya di Mesir adalah salah satu alasan mengapa ia merasa putus asa bahwa masyarakat muslim akan berhasil menghindari polarisasi dan ekstrimisme. Karena hal inilah, Gus Dur mengikuti dengan penuh minat bagaimana Mesir sebagai negara memperlakukan pemikir Islam Sayyid Qutb. Gus Dur telah membaca karya-karya pemikir Islam seperti Hasan al-Banna, Ali Syari‘ati, Sayyid Qutb dan penulis Islam lainnya, dan akhirnya ia berkesimpulan bahwa pemikiran Islam bersifat ekstrimis dan naif. Bagi Gus Dur, para pemikir-pemikir Islam ini kurang memiliki sikap terbuka terhadap kebenaran yang berasal dari sumber-sumber lain yang tidak mereka izinkan. Baginya Islamisme seperti juga Komunisme gagal memberikan jawaban yang lengkap dan manusiawi terhadap masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, terlepas dari ketulusan pendukungnya.27
Tahun 1971, Gus Dur kembali ke tanah air. Kepulangannya saat itu cukup membuat dirinya tersentak. Gus Dur dikejutkan oleh tingkat kemiskinan yang dilihatnya dalam banyak komunitas kecil sekitar pesantren-pesantren NU. Bertepatan dengan tahun kepulangannya ke Indonesia tersebut, Indonesia sedang menyelenggarakan Pemilu 1971. Sebagaimana diketahui sejak 1967 Soeharto telah bergerak untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan melakukan serangkaian perubahan kelembagaan. Golkar memiliki sumber daya yang besar
27
(27)
yang dapat memaksa para pemilih untuk mendukung mereka. Golkar juga dibantu oleh adanya jaringan pengamatan dan kendali yang dilakukan pihak militer secara berjenjang. Jaringan ini memberikan gambaran mengenai birokrasi sipil dari tingkat desa ke atas dan beroperasi seperti badan pengamat lingkungan fantastik.28
Atas permintaan kakeknya, Kiai Bisri Syansuri, Gus Dur menjadi anggota Dewan Syuriah NU. Pada mulanya Gus Dur enggan mengikuti kemauan kakeknya tersebut, akan tetapi ibunya Gus Dur mendorong Gus Dur untuk memenuhi panggilan tersebut. Saat Gus Dur mulai menapakkan langkahnya dalam dunia NU, kakeknya (Kiai Bisri Syansuri) saat itu tengah menjabat sebagai Ketua Dewan Syuriah atau Ra’is ‘Aam. Pengalaman menjadi anggota Dewan Syuriah membuat Gus Dur melihat lebih jelas cakupan dan sifat masalah-masalah yang dihadapi oleh NU dan juga memperkokoh reputasinya sebagai pemimpin muda yang penuh harapan.29
Sejak Muktamar Situbondo 1984, ia menjadi Ketua Umum PBNU hingga tahun 1999. Tulisannya tersebar di berbagai media massa, aktif mengikuti seminar di dalam dan luar negeri. Selain menjadi pimpinan ormas Islam terbesar di Indonesia, Gus Dur juga terkenal sebagai Ketua Pokja Forum Demokrasi. Ia dikenal sebagai tokoh pemikir Islam yang oleh banyak pengamat digolongkan sebagai tokoh neo-modernis.30
Naiknya Gus Dur bersama dengan Ahmad Shiddiq adalah akibat adanya kontroversi dalam tubuh NU, serta sebagai usaha untuk mereformasi NU yang
28
Barton, Biografi Gus Dur, h. 109-113.
29
Barton, Biografi Gus Dur, h. 121-122.
30
(28)
dirasakan semenjak kepemimpinan Idham Khalid telah jauh dari tujuan utama organisasi NU. Idham Khalid dianggap tidak dapat mengaktualisasikan NU sebagai sebuah organisasi keagamaan yang dijalankan oleh ulama dan untuk ulama. Idham Khalid juga dinilai enggan untuk melawan marjinalisasi terhadap NU dalam tubuh PPP, sehingga hal ini membuat marah banyak ulama.
Berdasarkan keadaan NU tersebut, Gus Dur, sebagai Ketua yang baru, memandang penting bagi NU untuk memisahkan diri dari PPP karena dua alasan yang saling berhubungan. Pertama, Gus Dur merasa bahwa mengingat perlakuan yang diterima oleh NU dari rezim yang berkuasa seperti terlihat dari apa yang terjadi dalam PPP dan tekad pemerintah untuk menghalangi semua pembangkangan politik, tak ada gunanya bagi NU untuk memfokuskan diri pada kegiatan-kegiatan civil society. Kedua, Gus Dur yakin bahwa tidaklah sehat bila perhimpunan agama mempunyai hubungan langsung dengan partai politik. Hal ini bukanlah disebabkan Islam (agama lainnya di Indonesia) tidak boleh mencoba mempengaruhi perkembangan politik, tetapi keterlibatan langsung badan-badan keagamaan dalam politik partai akan membatasi kebebasan beragama para anggota dan mendorong sektarianisme dalam politik.31
Kebijakan Gus Dur tersebut di atas kemudian dikenal dengan “kembali ke Khittah 1926.” Konsekuensi logis dari Khittah 1926 adalah, warga NU tidak punya hubungan istimewa atau hubungan famili dengan partai politik tertentu, yang mana saja. Sejak itu, Gus Dur menjaga jarak dengan pemerintah, bahkan Gus Dur lebih dari itu memperlihatkan sikap yang keras dan seringkali
31
(29)
melemparkan kritikan tajam kepada pemerintahan Soeharto. Sampai-sampai, tanpa segan-segan ia menyebut Soeharto sebagai “orang yang bodoh” dalam wawancaranya dengan Adam Scwartz, penulis buku A Nation in Waiting,
Indonesia in the 1990’s. Pada masa ini pula, Gus Dur menggandeng Megawati
Soekarno Putri, Ketua Umum PDI, yang seringkali mendapatkan tekanan dari pemerintahan Soeharto.
Gus Dur sebenarnya lebih dikenal sebagai budayawan ketimbang agamawan atau kiai. Namun, atas restu K.H. As‘ad Syamsul Arifin, maka Gus Dur lolos menjadi Ketua Umum. Selama menjabat sebagai Ketua Umum NU, aktivitas sosial politik Gus Dur banyak yang mengundang polemik di kalangan NU sendiri. Kiai As‘ad yang pada mulanya memberikan restu kepada Gus Dur untuk menduduki kursi ketua umum, lima tahun kemudian mencoba untuk menjegal langkah Gus Dur untuk terpilih kembali pada Muktamar NU ke-28 di Krapyak, Yogyakarta. Saat itu, Kiai As‘ad menyebutnya “imam yang sudah kentut,” sehingga tidak boleh lagi dimakmumi. Hal ini dikarenakan, Kiai As‘ad tidak menyukai ide “pribumisasi Islam” yang dilontarkan Gus Dur di berbagai kesempatan. Antara lain berupa penggantian Assalamu‘alaikum dengan “selamat pagi atau apa kabar,” yang mana hal ini merupakan kesalahpahaman belaka. Kiai As‘ad juga tidak suka atas ulah Gus Dur yang membeberkan “kemiskinan” umat Islam dalam pidatonya di hadapan Sidang Raya Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, di Surabaya, Oktober 1989. Karena hal ini, Kiai As‘ad menjuluki Gus Dur sebagai “Ketua Ketoprak.” Tetapi Gus Dur dengan kepiawaiannya berpolitik mampu untuk membuat muktamirin untuk memilihnya kembali menjadi Ketua
(30)
NU. Karena hal ini, Kiai As‘ad pun mewujudkan janjinya untuk mengasingkan diri dari komunitas NU.
Gus Dur juga sempat memicu polemik di kalangan NU ketika ia menandatangani surat permohonan bantuan dana kepada Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS), pengelola Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). Wakil Ra’is ‘Aam Syuriah saat itu, K.H. Ali Yafie, mengancam akan undur diri jika Gus Dur dan Sekretaris Jenderal PBNU Gaffar Rahman tidak dipecat. Tetapi, setelah Gus Dur mengaku khilaf dan minta maaf, Ali Yafie mengalah. Gus Dur hanya diberi peringatan keras, sedangkan Gaffar dipecat.
Gus Dur juga pernah dituduh sebagai agen Zionisme. Hal ini disebabkan, pada tahun 1994, Gus Dur mengunjungi Israel. Tetapi warga NU tidak mempermasalahkan langkahnya. Perjalanan Gus Dur itu dianggap urusan “diplomatis” dan pribadi. Sebaliknya, kalangan Islam di luar NU meradang menyaksikan kunjungan diplomatis Gus Dur ke negeri Yahudi itu. Bahkan, karena kunjungan itu pula, Gus Dur dicap anti umat Islam. Cap anti Islam sebenarnya sudah melekat pada Gus Dur sejak dirinya mendorong NU menerima konsep Asas Tunggal Pancasila. Sedangkan pada saat konsep itu diluncurkan pada 1983, hampir semua ormas Islam menentangnya.
Selain itu, Gus Dur juga dikecam habis-habisan oleh banyak kelompok Islam karena persahabatannya dengan Menhankam/Pangab saat itu, Jenderal L.B. Moerdani. Cap pengkhianat juga pernah distempelkan kepada Gus Dur, terutama ketika Gus Dur berakrab-akraban dengan Golkar. Terlebih lagi ketika Gus Dur bersedia menjadi anggota MPR dari Fraksi Karya Pembangunan untuk periode
(31)
1987-1992.
Gus Dur juga menunjukkan sikap anti “gerakan kanan” dengan menolak bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada 1990. Pada saat itu, Gus Dur mencurigai ICMI sebagai kelompok sektarian yang berniat membawa Indonesia menuju negara Islam. Di samping itu, Alasan Gus Dur atas sikapnya itu berdasarkan anggapan bahwa banyak orang-orang yang terlibat di dalamnya hanya sekedar untuk mencari-cari kedudukan, bukan untuk kepentingan bangsa, “Saya tidak masuk ICMI justru karena saya tidak mau ikut berebut pangkat, sebab, di sana banyak orang yang begitu. Saya nggak mau ikut-ikutan. Apapun pendapat yang saya kemukakan itukan kapasitas pribadi.”32 Lalu Gus Dur menghadang ICMI dengan Forum Demokrasi (Fordem), manuver terakhir Gus Dur ini nyaris membuat Gus Dur celaka dalam Muktamar NU ke-30 di Cipasung, Jawa Barat, tahun 1994. Saat itu, kursi ketua nyaris lepas ke tangan Abu Hasan yang meraih 46% suara.
Menjelang Pemilu 1997, Gus Dur ‘menggandeng’ Mbak Tutut tanpa meninggalkan Mbak Mega. Kedekatan Gus Dur dengan Mbak Tutut tercermin pada kesediaan Gus Dur mengantar Tutut mengunjungi pesantren-pesantren NU. Menurut Gus Dur, keinginan untuk mengajak Mbak Tutut ke pesantren-pesantren NU sudah ada dalam benak pikirannya jauh sebelum menjelang pelaksanaan Pemilu 1997.
Gus Dur selama ini mendapat kritik-kritik dari berbagai pihak yang mengatakan bahwa sikapnya tidak fair karena terlalu condong ke Megawati.
32
(32)
Kemudian, untuk bersikap fair dia memberikan kesempatan yang sama terhadap Tutut untuk bertatap muka dengan warga NU, antara lain, dengan cara mengunjungi pesantren-pesantren NU. Di samping itu, Gus Dur berpendapat bahwa Tutut adalah merupakan tokoh masa depan yang harus dikenal oleh warga NU.33
Kemudian, pasca-Reformasi 1998 dengan ditandai runtuhnya kekuasaan Orde Baru, pada saat yang bersamaan, Gus Dur masih menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, mendapat masukan dan dorongan yang kuat dari warga NU untuk ikut serta ambil bagian dalam pemerintahan guna mengisi dan sekaligus mengawal agenda-agenda reformasi dengan membentuk sebuah Partai Politik. Atas dorongan dan keinginan yang kuat dari warga Nahdiyyin itulah kemudian ia merestui lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai resmi warga NU. Walaupun secara formal organisatoris, Matori Abdul Djalil adalah Ketua Umum PKB, namun begitu, tokoh utama yang memainkan peran sangat penting dan signifikan dalam seluruh proses gerak percaturan politik PKB di pentas nasional adalah Gus Dur.
Pemilu 1999, yang dipandang sebagai pemilu paling demokratis dibanding pemilu-pemilu sebelumnya, menghantarkan Gus Dur pada kursi kekuasaan melalui sidang MPR, walaupun kekuasaannya tidak sampai akhir masa jabatan sebagaimana semestinya. Pada Pemilu 2004, Gus Dur kembali dicalonkan sebagai Capres dari PKB, akan tetapi Gus Dur harus mengalami kegagalan mengikuti pencalonannya setelah ia ditolak oleh KPU karena alasan kesehatan.
33
Faisal Ismail, NU, Gus Durisme dan Politik Kiai (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), Cet. I, h. 51.
(33)
Dan terakhir, ia mendeklarasikan diri sebagai Capres 2009, namun lagi-lagi keinginan itu harus kembali surut dengan munculnya kasus dualisme kepengurusan di tubuh PKB. Walaupun belakangan prestasi politiknya tidak begitu memuaskan, paling tidak Gus Dur telah menunjukkan kepiawaianya dalam berpolitik.
Dengan segala sepak terjangnya sering dianggap “nyeleneh” dan kontroversial itu, Gus Dur benar-benar menjadi sosok kiai yang mewarnai panggung politik sekaligus langit intelektual bebas di tanah air. Selama ini, ia memang telah memerankan dirinya sebagai aktor kritis terhadap negara. Tidak heran jika kemudian ia dianggap sebagai satu-satunya kekuatan sosial-politik paling independen di Indonesia.
C. Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid, sejak 1980-an, merupakan tokoh yang paling populer di kalangan NU, Indonesia, bahkan dunia internasional karena pertumbuhan dan perkembangan pemikirannya yang unik dan sering kontroversial. Pemikiran politik Gus Dur mulai berkembang pada awal 1980-an yang bukan hanya disebabkan oleh faktor bacaan ilmu politiknya yang cukup luas, melainkan juga pergaulannya yang baik dan fleksibel dengan berbagai kalangan pejabat negara maupun para aktivis pergerakan.
Kedekatannya dengan pemerintah dan kelompok-kelompok agama minoritas semakin menguatkan citra Gus Dur sebagai tokoh Islam yang paling akomodatif terhadap negara disamping menguatnya citra pluralisme dan
(34)
humanisme yang menghantarkan Gus Dur mewacanakan akan pentingnya terselenggara kehidupan negara yang demokratis serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
Islam dan Wacana Negara
Salah satu persoalan krusial yang telah cukup lama memancing debat dan kontroversi baik di dalam literatur-literatur pemikiran keislaman sendiri maupun dalam kajian politik mengenai Islam dalam dinamika kekuasaan adalah yang berkaitan dengan hubungan antara agama dan politik. Paling tidak dalam isu politik Islam Indonesia terdapat dua kelompok, walaupun dalam kenyataannya nanti akan berkembang varian-varian yang beragam dan seringkali berlawanan. Dua kelompok itu adalah kelompok simbolik dan kelompok substantif. Kalangan Islam politik simbolik meyakini bahwa Islam harus diwujudkan secara simbolik dalam politik dengan melegalformalkan Islam sebagai sebuah negara. Golongan ini berpendapat bahwa Islam adalah agama yang integratif, Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara, antara dunia dan akhirat dan pemisahan dalam bentuk apa pun. Sedangkan kelompok substantif adalah golongan yang menolak seluruh bentuk perjuangan yang hendak melegalformalkan Islam dalam politik. Bagi kelompok ini, usaha simbolisasi syari'at akan mengancam integrasi dan sekaligus mencemarkan makna hakiki agama. Pencampuran antara agama dengan politik, tidak saja keliru dan salah tetapi juga agama hanya sekedar dijadikan alat untuk meraih kepentingan politik kaum elit.34
34
Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khalifah, Masyarakat Madani dan Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 199-200.
(35)
Peta persoalan semacam ini, oleh kalangan intelektual muslim, coba diamati, dikaji, dan disikapi sesuai dengan perspektif keislaman mereka masing-masing. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah salah satu intelektual muslim yang juga terus berupaya mencari pijakan-pijakan teologis; Bagaimana sesunguhnya Islam bisa “dibumikan” sebagai ajaran moral yang mampu memberikan makna di dalam proses perubahan sosial-politik yang tengah berlangsung dalam dinamika politik bangsa. Salah satu isu pokok yang menjadi wacana (discourse) yang menarik adalah, bagaimana kaitan Islam dengan negara; dan bagaimana konsep Islam tentang negara?
Dalam pandangan Gus Dur, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, mengatakan bahwa “Dalam Islam, Negara itu adalah hukum, al-hukmu, dan sama sekali tidak memiliki bentuk negara.” Bagi Gus Dur tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk mendirikan sebuah “Negara Islam.” Tetapi, ada perintah dalam Alquran untuk membentuk suatu masyarakat yang mengacu pada nilai-nilai keutamaan (viruies) yang menjalankan amar ma‘rūf (membangun kebaikan) dan
nahī munkar (mencegah keburukan), untuk menegakkan iman dan keadilan di
muka bumi. Karena itu, Islam tidak boleh direduksi menjadi negara Islam, melainkan dikembalikan sebagai agama. Yang penting bagi Islam adalah etika kemasyarakatan dan komunitas, alasannya, ialah karena Islam tidak mengenal konsep pemerintah yang difenitif. Dalam persoalan pokok, misalnya, suksesi kekuasaan, ternyata Islam tidak konsinten; terkadang memakai ikhtilaf, bai'at dan terkadang ahl halli wal ‘aqdi.35
35
(36)
“Kita tidak usah mencari-cari (negara yang ideal) karena memang tidak ada yang ideal. Islam tidak menyebutkan tentang soal negara ideal, dan juga tidak mengharuskan. Allah meridhai Islam sebagai agamamu, bukan sebagai sistem pemerintahan. Islam menjadi besar kalau ia tidak menampakkan wajah politik melainkan mengutamakan wajah moralnya. Atau dengan kata lain Islam mengutamakan politik sebagai institusi. Saya lebih melihat kepada pencapaian cita-cita Islam yang sebenarnya, yakni keadilan dan kemakmuran; kesamaan di antara semua umat manusia. Kalau kita masih berpikiran bahwa Islam harus lebih dari yang lain, itu tidaklah islami. Justru bertentangan dengan Islam.”36
Bahkan lebih jauh lagi Gus Dur menyatakan, para teoritas politik besar dalam Islam –dengan merujuk pada pandangan Munawir Syadzali– bukanlah mencari pola idealisasi bentuk kenegaraan yang “Islami,” melainkan justru menekankan penggunaan bentuk kenegaraan yang sudah ada. Selama kaum muslimin dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara penuh, maka konteks pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat pemikiran. Atas dasar kerangka berpikir inilah, dibawah aksi politik yang dimotori Gus Dur dengan mendapat “persetujuan” hierarkial keulamaan dalam organisasi yang dipimpinnya, tak heran NU secara sadar menerima Asas Tunggal Pancasila. Gus Dur sendiri berpendapat bahwa pemerintahan yang berideologi Pancasila termasuk “negara damai” (dār al-sulh) yang harus dipertahankan, karena umat Islam masih bisa melaksanakan syari'ah –dalam bentuk hukum agama/fiqih atau etika masyarakat– sekalipun hal itu tidak diikuti dengan upaya legislasi dalam bentuk undang-undang negara. Bila etika masyarakat Islam bisa dijalankan, di dalam pemerintahan yang beriedologi Pancasila, maka tidak ada alasan lain lagi bagi umat Islam selain mempertahankan sebagai kewajiban agama. Dari sanalah, Wahid dan 'Ali 'Abd ar-Raziq (Bantul: Pondok Edukasi, 2003), h. 113.
36
Abdurrahman Wahid, Tabayyun Gus Dur; Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural (Yogyakarta: LkiS, 1998), h. 235.
(37)
menurut Gus Dur, timbulnya keharusan untuk taat kepada pemerintah. Dan atas dasar itulah Gus Dur menerima sepenuhnya Pancasila sebagai dasar negara.37
“Negara kita mengakui legitimasi peranan agama dalam kehidupan masyarakat, kalau perlu melalui jalur pemerintahan. Secara eksplisit Pancasila tidak menyebutkan landasan keagamaan dalam kehidupan bernegara, tetapi secara implisit ia mendukung pemerintahan yang menunjang kehidupan beragama.”38
F. Demokrasi, Civil Society, dan Pluralisme
Dalam konteks kebangsaan, persoalan mendesak yang harus segera dijawab adalah bagaimana melakukan upaya untuk mencari bentuk kenegaraan yang lebih pasti akan memberikan tempat kepada agama tetapi tidak mematikan yang lain. Pada umumnya jawaban terhadap persoalan ini sangat vulgar. Namun dalam perjalanan terakhir telah tercapai bentuk yang sangat baik, yaitu proses demokratisasi. Isu demokratisasi inilah yang dapat mempersatukan baragam arah dan kecenderungan kekuatan-kekuatan bangsa. Ia dapat mengubah keterceraiberaian arah masing-masing kelompok menjadi sebuah kekuatan menuju arah kedewasaan, kemajuan, dan integrasi bangsa.39
Dalam pandangan Gus Dur, Demokrasi adalah keadaan tertentu yang memiliki beberapa ciri, antara lain harus bertumpu pada kedaulatan hukum dan memberikan perlakuan yang sama pada semua warga negara di hadapan undang-undang. Ini harus ditunjang oleh kemerdekaan berbicara, kebebasan berpikir dan
37
Lihat kata pengantar Abdurrahman Wahid dalam buku Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, (Jakarta: Sinar Harapan, 1989), h. 10.
38
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LkiS, 1999), h. 94.
39
Abdurrahman Wahid, “NU, Pluralisme dan Demokratisasi Jangka Panjang”, dalam M. Imam Aziz, dkk, ed., Agama, Demokrasi dan Keadilan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,1993), h. 224-225.
(38)
sikap menghormati pluralitas pandangan. Lebih jauh lagi, ia berarti keharusan memelihara dan melindungi hak-hak pihak minoritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, semua hal itu mengacu kepada kepentingan umum yaitu kepentingan bersama sebagai bangsa dan negara.40
Dengan demikian, menurut Gus Dur, demokrasi yang dimaksud bukan demokrasi proporsional yang melihat, misalnya, karena orang Islam mayoritas, maka kursi untuk orang Islam harus mayoritas. Tetapi betul-betul demokrasi yang berdasarkan pada prinsip kesamaan (egalitarianisme), rule of law (supremasi hukum), accountability (pertanggungjawaban), dan lain sebagainya.41
Dalam studi kontemporer tentang demokrasi, faktor penunjang akan tumbuh dan berkembangnya demokrasi adalah ada-tidaknya “civil society”. Civil society sendiri memiliki peristilahan yang beragam seperti masyarakat madani, masyarakat warga, masyarakat sipil dan masyarakat kewargaan. Secara umum,
civil society diartikan sebagai pengelompokan masyarakat yang mandiri,
mematuhi aturan dan memiliki daya tawar ketika berhadapan dengan negara. Menurut Gus Dur, Civil Society sebenarnya telah terbentuk di kalangan masyrakat Indonesia, yaitu dengan lahirnya paguyuban-paguyuban yang ada di tengah-tengah masyarakat. Khususnya di kalangan umat Islam, secara embrional kelahiran Muhammadiyah, Syarikat Islam, NU, dan berbagai pergerakan Islam di tingkat lokal itu adalah bentuk civil society yang cair, yakni memperkuat posisi rakyat terhadap negara. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara
40
Abdurrahman Wahid, “Demokrasi dan Demokratisasi Indonesia”, diakses 31 Oktober 2008 dari http://www.GusDur.Net.
41
Tim INCReS, Beyond The Symbol: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur
(39)
negara dan masyarakat (civil society). Karena dalam pandangan Gus Dur, posisi imbang itu yang dapat mencegah terjadinya korupsi, kolusi, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang. Dalam pengertian demikian, civil society mempunyai relasi yang saling melengkapi dengan demokrasi. Sebab, civil society hanya bisa berkembang dalam iklim negara yang demokratis.42
Di samping itu, dalam kehidupan yang demokratis perlu adanya kesadaran tentang pentingnya Pluralisme yang didasarkan pada pandangan dan kenyataan bahwa manusia lahir dan hadir dalam suatu tatanan dunia yang sebut dengan “Negara” dalam kondisi yang berbeda-beda, baik itu beda suku, budaya, agama, maupun warna kulit. Hanya saja dalam wacana pluralisme, perbedaan antar komunitas tersebut bukan untuk saling merugikan, melainkan agar perbedaan tersebut bisa menjadi potensi untuk merealisasikan kebajikan. Kenyataan akan akan adanya perbedaan suku, budaya, agama, ras, dan golongan tersebut justru harus dikemas dalam bingkai saling menghormati, menghargai, dan saling menolong guna terciptanya masyarakat yang aman dan sejahtera.
Islam sendiri memberikan jaminan dan toleransinya dalam memelihara hubungan bersama dengan meletakkan nilai-nilai universal, seperti prinsip-prinsip keadilan, kebersamaan, dan kejujuran dalam upaya mempertahankan kehidupan bersama dengan tidak mengingkari adanya perbedaan. Dalam wawasan demikian, tata hubungan dalam ikatan kebangsaan dan kenegaraan harus meliputi hal-hal yang bersifat kemasyarakatan, dimana sebagai sesama warga negara memiliki kesamaan derajat dan tanggung jawab untuk mengupayakan kesejahteraan dalam
42
Gus Dur, “NU tidak Menghendaki Status Quo,” dalam Kompas, Senin, 24 November 1997.
(40)
kehidupan bersama tanpa memandang asal-usul agama, ras, etnis, bahasa, dan jenis kelamin. Konsekuensinya, menurut Gus Dur, politik umat Islam di indonesia pun terikat dengan komitmen tersebut. Segala bentuk eksklusivisme, sektarianisme, dan privilege-privilege politik harus dijauhi. Termasuk ide pembentukan masyarakat dan negara Islam, karena tuntutan-tuntutan semacam ini jelas berlawanan dengan asas kesetaraan (egalitarianism) bagi warga negara.43
Menurut Gus Dur, umat Islam Indonesia, sebagai rakyat yang beragama Islam, sebetulnya sudah lama hidup dalam tradisi yang sejalan dengan nilai-nilai pluralisme. Tapi para pemimpinnya tidak bisa menangkap isyarat itu, sehingga yang dilakukan justru membuat isu yang sebetulnya berwawasan sempit, tidak melebarkan wawasan umat Islam. Karena itu wajar jika sementara orang menyatakan bahwa pertumbuhan Islam kini menuju kepada “kelompok” yang sektarian. Menjadi sesuatu yang membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Isu semacam pri-nonpri maupun kristenisasi, sebenarnya muncul dari semangat sektarianisme. Padahal mereka hidup dalam pluralisme. Pluralisme akan terjaga jika ada demokrasi. Bangsa ini kaya dan kuat karena menjaga jiwa pluralisme.44
Dengan demikian, bagi Gus Dur, bentuk negara Indonesia yang demokratis dengan berasaskan Pancasila adalah suatu bentuk negara yang final. Karena ideologi Pancasila sejalan dengan nilai-nilai universalisme Islam dengan memberikan lima jaminan dasar bagi semua masyarakat Indonesia, baik
43
Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Society (Jakarta: Erlangga, 2000), h. 164.
44
(41)
perorangan maupun kelompok. Kelima jaminan itu adalah; keselamatan fisik masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, keselamatan keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda dan milik pribadi diluar prosedur hukum, dan keselamatan profesi (Abdurrahman Wahid, 1998)
Tidak heran jika kemudian dalam aksi-aksi politiknya Gus Dur terkadang bersebrangan tidak hanya dengan para aktivis elit dan politisi Islam yang menginginkan agama dijadikan sebagai institusi formal kenegaraan, bahkan dengan tokoh-tokoh di kalangan NU sendiri pun terkadang ia dianggap sebagai musuh dan rival politik. Hal ini terbukti ketika Gus Dur mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang bersifat terbuka dengan berasaskan Pancasila, banyak kalangan tokoh NU yang menolak PKB dan mendirikan partai lain yang berasaskan Islam. Akan tetapi, terlepas dari itu, konsistensi pemikiran semacam inilah yang menempatkan Gus Dur sebagai tokoh Demokrasi dan Bapak Pluralisme di negeri ini.
(42)
BAB III
MENGENAL PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB)
Latar Belakang Lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Setelah lebih dari tiga dasawarsa lamanya, pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto, sebuah pemerintahan yang berjalan dengan melaksanakan tatanan kehidupan kenegaraan di mana negara memiliki dominasi peran yang sangat kuat dan mampu men-subordinatkan kekuatan rakyat dan berbagai macam elemen yang ada di dalamnya, begitu pula termasuk partai politik, akhirnya jatuh tepat pada tanggal 21 Mei 1998 atas desakan kuat arus Reformasi.45
Arus Reformasi yang bergerak kuat dan berhasil mendesak mundur Presiden Soeharto dari kekuasaannya adalah merupakan titik terang terciptanya negara Indonesia yang lebih demokratis. Terbukanya ‘kran’ demokrasi yang telah lama mampat, kebebasan masyarakat yang telah lama tertutup rapat dan pulihnya bangunan civil society yang telah luluh-lantak adalah merupakan harapan dan cita-cita segenap rakyat Indonesia yang telah lama terkubur. Dengan rubuhnya kekuasaan otoritarian Soeharto dan telah terbukanya ‘kran’ demokrasi dan kebebasan, termasuk kebebasan untuk membentuk partai politik, maka pada saat yang hampir bersamaan lahirlah puluhan partai politik baru dengan flatform yang
45
Mohammad Tohadi dan Zainal Abidin, Orientasi Pemenangan Pemilu Partai Kebangkitan Bangsa (Jakarta: LPP-DPP PKB, 2002), h. 48.
(43)
berbeda-beda, sebagai bentuk ekspresi politik rakyat Indonesia, yang muncul bagaikan jamur di musim hujan.
Salah satu organisasi Islam terbesar di negeri ini, Nahdlatul Ulama (NU), yang telah lama mengubur hasrat politiknya sejak NU menyatakan tidak lagi terikat secara organisatoris dengan organisasi politik manapun dalam Muktamar ke-27 di Situbondo dengan mendeklarasikan diri kembali ke Khittah 1926, kembali tergerak nafsu politiknya untuk ikut serta ambil bagian dalam memperbaiki bangsa yang telah lama terpuruk dalam kubangan politik Orde Baru selama hampir 32 tahun lamanya.
Munculnya kembali gairah euforia politik warga Nahdhiyyin ini tentu bukanlah sekedar ingin ikut-ikutan atau tanpa sadar. Secara internal organisasi, keinginan warga NU tersebut pada umumnya didasari oleh tiga hal. Pertama, bermotif berdakwah dalam rangka menjalankan amar ma'rūf nahī munkar yang sudah lama menjadi doktrin ajaran politik NU. Kedua, potensi sosiologis dan historis dimana solidaritas dan emosionalitas ke-NU-an yang sangat potensial untuk menjadi kekuatan politik. Dan ketiga, dalam sejarah, peran polik warga NU selama hampir tiga dasawarsa termarjinalisasi dalam politik dan seolah tidak habis-habisnya mendapat perlakuan yang tidak adil, baik dari negara maupun dari kelompok Islam lainnya.46
Hingga tahun 1997, pemilu terakhir sebelum Reformasi, berarti sudah tiga kali warga NU diberi kebebasan memilih, yaitu Pemilu 1987, 1992, dan 1997. Karena, pemilu sebelumnya yakni Pemilu 1955 dan 1971 NU tampil langsung
46
A. Efendi Choirie, PKB Politik Jalan Tengah NU (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 2002), h. 168.
(44)
menjadi salah satu peserta pemilu, dan pada Pemilu 1977 dan 1982, NU menitipkan aspirasi politiknya pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP).47 Kini setelah kekuasaan rezim Soeharto tumbang dan gerakan Reformasi diluncurkan, sehari setelah peristiwa bersejarah itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mulai dibanjiri usulan dari warga NU di seluruh pelosok tanah air. Usulan yang masuk ke PBNU sangat beragam, dan usulan yang paling santer terdengar adalah keinginan warga NU untuk segera mendirikan Partai Politik sendiri sebagai wadah aspirasi politik masyarakat Nahdhiyyin. Keseriusan masyarakat NU untuk terlibat secara politik praktis ini dibuktikan dengan banyaknya usulan yang masuk ke kantong PBNU, ada yang mengusulkan Visi dan Misi Parpol, AD/ART Parpol, nama Parpol bahkan sampai nama-nama pengurus Parpol.
Mulanya, Gus Dur merasa prihatin bahwa kelompok-kelompok NU ingin mendirikan Partai Politik NU, karena hal ini berarti akan menciderai komitmen kembali ke khitah 1926 yang ia perjuangkan di muktamar Situbondo tahun 1984 dengan mengaitkan kembali NU dengan dunia politik partai. Namun menjelang Juli, sikapnya mulai mengendur dan tampaknya hampir pasti akan ada semacam partai NU, dengan atau tanpa restunya. Jika NU ingin memberikan kontribusi yang serius pada perpolitikan negeri ini, maka hal itu harus disalurkan lewat satu partai yang berbasiskan keanggotaan NU yang luas.48
47
Achmad Mufid A.R., Ada Apa dengan Gus Dur (Yogyakarta: Kutub, 2005), Cet. I, h. 99.
48
(45)
Sepanjang bulan Juni, Gus Dur masih saja tidak yakin mengenai arah yang harus ditempuhnya. Akan tetapi, ia merasa sangat khawatir bahwa jika dalam kekosongan situasi setelah masa Soeharto, Golkar mempunyai posisi baik untuk melakukan konsolidasi dan melaksanakan kampanye pemilu secara profesional, tidak menutup kemungkinan Golkar akan keluar sebagai pemenang, apalagi jika PPP bersedia untuk membentuk koalisi dengan Golkar. Secara bersama-sama, kedua partai yang besar ini mungkin bisa mengumpulkan cukup suara yang diperlukan untuk membentuk pemerintahan, khususnya jika sebagian dari banyak partai-partai Islam baru juga bergabung.49
Dari rasa kekhawatiran Gus Dur itu, maka pada akhirnya PBNU mengadakan Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU pada tanggal 3 Juni 1998 yang menghasilkan keputusan untuk membentuk Tim Lima yang diberi tugas untuk memenuhi aspirasi warga NU. Tim Lima diketuai oleh K.H. Ma‘ruf Amin (Ra’is Suriyah/Koordinator Harian PBNU), dengan anggota, K.H. M. Dawam Anwar (Katib ‘Aam PBNU), Dr. K.H. Said Aqil Siradj, M.A. (Wakil
Katib ‘Aam PBNU), H.M. Rozy Munir, S.E., M.Sc. (Ketua PBNU), dan Ahmad
Bagja (Sekretaris Jenderal PBNU). Untuk mengatasi hambatan Organisatoris, Tim Lima itu dibekali Surat Keputusan.50
Selanjutnya, untuk memperkuat posisi dan kemampuan kerja Tim Lima dalam mewujudkan keinginan warga NU untuk membentuk partai politik sendiri, maka dibentuk Tim Asistensi yang diketuai oleh Arifin Djunaedi (Wakil Sekjen
49
Barton, Biografi Gus Dur, h. 312.
50
Ahmad Hakim Jaily dan Mohammad Tohadi, PKB dan Pemilu 2004 (Jakarta: Lembaga Pemenangan Pemilu PKB, 2003), h. 4.
(46)
PBNU) dengan anggota H. Muhyiddin Arubusman, H.M. Fachri Thaha Ma‘ruf, Lc., Drs. H. Abdul Aziz, M.A., Drs. H. Andi Muarli Sunrawa, H.M. Nasihin Hasan, H. Lukman Saifuddin, Drs. Amin Said Husni dan Muhaimin Iskandar. Tim Asistensi bertugas membantu Tim Lima dalam menginventarisasi dan merangkum usulan yang ingin membentuk partai baru, dan membantu warga NU dalam melahirkan parpol baru yang dapat mewadahi aspirasi politik warga NU.51
Setelah Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan rapat untuk mendefinisikan dan mengelaborasikan tugas-tugasnya pada tanggal 22 Juni 1998 yang kemudian disusul dengan mengadakan konsinyering di Cipanas untuk merancang pembentukan parpol dengan menghasilkan lima rancangan, yaitu: Pokok-pokok pikiran NU mengenai Reformasi Politik, Mabda’ Siyasiy, hubungan Partai Politik dengan NU, AD/ART, dan naskah Deklarasi. Maka, tepat pada tanggal 23 Juli 1998 dideklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di kediaman K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ciganjur, Jakarta Selatan, dengan terpilihnya Matori Abdul Djalil sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz.
Dengan demikian, maka lahirlah secara resmi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai wadah aspirasi politik warga NU pada khususnya dan seluruh rakyat Indonesia pada umumnya, dengan berasaskan ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.52 Hal ini kemudian dikokohkan
51
Jaily dan Tohadi, PKB dan Pemilu 2004, h. 4.
52
(47)
dalam prinsip perjuangan Partai Kebangkitan Bangsa yakni pengabdian kepada Allah SWT., menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran, menegakkan keadilan, menjaga persatuan, menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahlussunah Waljama‘ah.53
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang lahir dengan lambang “sembilan bintang melingkari bola peta Indonesia” adalah merupakan bentuk komitmen Partai dalam memperjuangkan idealismenya, yaitu menciptakan bangsa yang memiliki kemerdekaan, keadilan, kebenaran, kejujuran, kerakyatan, persamaan, kesederhanaan, keseimbangan, dan persaudaraan di atas tanah air Indonesia.
Tulisan Nama Partai, bermakna identitas diri Partai yang siap memperjuangkan aspirasi politik rakyat Indonesia yang memiliki kesamaan kehendak menciptakan tatanan kehidupan yang demokratis. Sedangkan Bingkai Segi Empat dengan garis ganda yang sejajar, melambangkan garis perjuangan Partai yang berorientasi terhadap kehidupan duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, lahir dan batin, secara seimbang dan sejajar. Arti Warna, melambangkan; Putih berarti kesucian, ketulusan, dan kebenaran yang menjadi etos perjuangan Partai; Hijau berarti melambangkan kemakmuran lahir dan batin seluruh rakyat Indonesia yang kemudian menjadi tujuan perjuangan Partai; Kuning bermakna kebangkitan bangsa yang menjadi nuansa pembaruan dan berpijak kepada kemaslahatan umat manusia.
Berikutnya, setelah terbentuknya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan segala atribut dan simbol serta susunan kepengurusan Partai yang telah
53
(48)
ditetapkan, bukan berarti warga NU sudah selesai dari persoalan. Kini, warga NU kembali dihadapkan dengan beberapa persoalan baru. Dari soal siapakah yang pantas untuk dicalonkan sebagai presiden dari Partai yang baru seumur jagung ini, sampai pada soal perebutan dukungan.
Di sisi ketegangan antara PKB dan berbagai partai yang memperebutkan dukungan anggota-anggota NU, misalnya Partai NU dan Partai Kebangkitan Umat, terdapat juga ketegangan besar antara anggota-anggota PKB dan penyokong-penyokong PPP. Banyak kiai NU tetap aktif di PPP lama setelah NU secara resmi menarik diri dari Partai itu pada tahun 1994. Kebijakan NU di bawah Gus Dur adalah membiarkan seseorang terlibat dalam parpol yang menjadi pilihannya, dengan syarat bahwa mereka yang memegang jabatan dalam kepengurusan NU tidak boleh secara bersamaan memegang jabatan dalam suatu parpol. PKB didirikan dengan harapan bahwa banyak dari mereka yang sebelumnya bergabung dengan PPP akan beralih ke Partai yang didirikan dengan persetujuan PBNU. Salah satu contoh, adalah pindahnya Khofifah Indar Parawangsa, seorang anggota DPR yang bersuara lantang dari fraksi PPP, ke PKB setelah jatuhnya Soeharto dan memainkan peran penting di Partai ini.54
B. Visi, Misi, dan Struktur Kepengurusan Partai Kebangkitan Bangsa
1) Visi dan Misi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai terbuka dan hadir dalam suatu bangsa yang pluralistik yang terdiri dari berbagai suku, agama,
54
(49)
dan ras, sangat menyadari bahwa tatanan kehidupan bangsa Indonesia harus senantiasa berpijak pada nilai-nilai: ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penerapan nilai-nilai Pancasila tersebut dimanifestasikan oleh Partai Kebangkitan Bangsa dalam bentuk visi, misi, dan garis perjuangan Partai dalam rangka menciptakan tatanan politik yang demokratis, bebas korupsi, berkeadilan, dan mensejahterakan kehidupan rakyat.
Dalam rangka mewujudkan apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Partai tersebut, Misi utama yang dijalankan Partai Kebangkitan Bangsa adalah upaya menciptakan tatanan masyarakat beradab yang sejahtera lahir dan batin, yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai kemanusiaannya, meliputi; terpeliharanya jiwa raga; terpenuhinya kemerdekaan; terpenuhinya hak-hak dasar manusia seperti sandang, pangan, dan papan; hak atas penghidupan atau perlindungan pekerjaan; hak mendapatkan keselamatan dan bebas dari penganiayaan (Hifdzu al-Nafs); terpeliharanya agama dan larangan adanya pemaksaan agama (Hifdzu al-Dīn); terpeliharanya akal dan jaminan atas kebebasan berekspresi serta berpendapat (Hifdzu al-‘Aql); terpeliharanya keturunan; jaminan atas perlindungan masa depan generasi penerus (Hifdzu al-Nasl); dan terpeliharanya harta benda (Hifdzu al-Māl). Misi ini ditempuh dengan pendekatan amar ma‘rūf Nahī Munkar, yakni menyerukan kebajikan serta mencegah segala kemungkinan dan kenyataan yang mengandung
(50)
kemungkaran.
Penjabaran dari misi yang diemban, guna mencapai terwujudnya masyarakat yang dicitakan tersebut, harus dicapai melalui keterlibatan penetapan kebijakan publik. Jalur kekuasan menjadi amat penting ditempuh dalam proses mempengaruhi pembuatan kebijakan publik melalui perjuangan pemberdayaan terhadap masyarakat lemah, terpinggirkan dan tertindas, memberikan rasa aman, tentram dan terlindungi terhadap kelompok masyarakat minoritas dan membongkar sistem politik, ekonomi, hukum, dan sosial budaya yang memasung kedaulatan rakyat. Bagi Partai Kebangkitan Bangsa, upaya mengartikulasikan garis perjuangan politiknya dalam jalur kekuasaan menjadi hal yang niscaya dan dapat dipertanggungjawabkan.55
2) Struktur Kepengurusan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Struktur kepengurusan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terdiri dari: (1) Dewan Syura, (2) Dewan Tanfidz (Pasal 16 AD PKB).
Dewan Syura adalah pimpinan tertinggi Partai PKB, yang menjadi rujukan utama kebijakan-kebijakan umum Partai. Sedangkan Dewan Tanfidz, yakni pimpinan eksekutif Partai yang menjalankan kebijakan-kebijakan strategis, mengelola organisasi dan program Partai (pasal 17 AD PKB).
Pasal di atas menunjukkan bahwa Dewan Syura adalah institusi tertinggi di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa. Hal ini sesuai dengan Anggaran Dasar PKB pasal 17 ayat 1 dan Anggaran Rumah Tangga pasal 20 ayat 1 yang
55
(51)
menyebutkan bahwa Dewan Syura adalah pimpinan tertinggi Partai.
Dengan demikian, seluruh pengurus dan anggota Partai harus patuh dan tunduk terhadap semua kebijakan dan keputusan Dewan Syura. Hal ini tercantum dalam Anggaran Rumah Tangga pasal 9 ayat (3) dijelaskan bahwa, “Anggota atau pengurus Partai harus tunduk kepada pimpinan struktur organisasi Partai yang lebih tinggi dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.”
Dewan Tanfidz, sebagai pimpinan eksekutif Partai adalah merupakan perpanjangan tangan Dewan Syura yang harus menjalankan dan melaksanakan AD dan ART, keputusan-keputusan Partai, dan kebijakan Dewan Syura. Hal ini dijelaskan dalam ART PKB pasal 21 yang berbunyi, “Ketua umum Dewan Tanfidz harus melaksanakan AD, ART, keputusan forum-forum musyawarah Partai, dan kebijakan Dewan Syura.”
G.Karakteristik dan Arah Perjuangan Politik PKB
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai wadah aspirasi dan perjuangan politik NU adalah merupakan keniscayaan bahwa karakter Partai didasari oleh karakter dan garis perjuangan tempat di mana Partai ini dilahirkan. Sebagai Jam‘iyyah Diniyyah yang berkewajiban amar ma’rūf nahī munkar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik secara pribadi maupun kelompok, NU tidak dapat mengelak tanggung jawab dalam berperan serta membangun kehidupan politik bangsa Indonesia yang adil, demokratis dan berakhlak mulia di atas landasan-landasan ketaqwaan kepada Allah SWT.
(52)
Bagi Partai kebangkitan Bangsa, wujud dari bangsa yang dicitakan itu adalah masyarakat yang terjamin hak asasi kemanusiaannya, mengejawantahkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kesungguhan, dan keterbukaan bersumber pada hati nurani (al-Sidqu), dapat dipercaya, setia dan tepat janji, mampu memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi (al-Amānah wa al-Wafā’u bi al-‘Ahdi), bersikap dan bertindak adil dalam segala situasi (al-‘Adalah), tolong menolong dalam kebajikan (al-Ta‘awwūn) dan konsisten menjalankan ketentuan yang telah disepakati bersama (al-Istiqāmah), musyawarah dalam menyelesaikan persoalan sosial (al-Syurā) yang menempatkan demokrasi sebagai pilar utamanya, dan persamaan kedudukan setiap warga negara di depan hukum (al-Musawwa’) adalah prinsip dasar yang harus selalu ditegakkan.56
Dalam mewujudkan tata kehidupan politik yang demikian, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) telah menetapkan pandangan dan sikap politik yang didasarkan pada prinsip dasar perjuangan.
Dasar perjuangan Partai Kebangkitan Bangsa bertumpu pada nilai-nilai kebangsaan yang dilandasi dan dipadukan oleh dan dengan nilai-nilai kebenaran, kebebasan, keterbukaan, kemerdekaan, kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan, kejujuran, persamaan, persaudaraan, nondiskriminasi, dan kesetaraan gender. Partai menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, memperjuangkan kedaulatan rakyat, demokrasi, keadilan sosial, kesejahteraan, dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Partai mencita-citakan terwujudnya suatu tatanan masyarakat yang bersatu, adil, demokratis, dan egaliter, dimana seluruh warga
56
(53)
negara memiliki peluang yang sama untuk mengembangkan kepribadiannya secara bebas.
(54)
BAB IV
ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR) DAN DINAMIKA POLITIK PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB)
H. Gus Dur dan PKB
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sepertinya sangat sulit dan mungkin tidak bisa dipisahkan dengan sosok Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Hal ini lebih disebabkan oleh peran dan pengaruh politik Gus Dur yang sangat luar biasa besar di PKB. Begitu besarnya peran dan pengaruh politik Gus Dur di PKB setidaknya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, menyangkut persoalan kekerabatan (geneologis). Sistem kekerabatan ini merupakan ciri-ciri pengorganisasian yang hadir dalam tubuh NU seperti pada kegiatan pendidikan pesantren dan lembaga sosial lainnya. Dalam dinamika politik NU, sistem kekerabatan atau geneologis ini dapat menjadi faktor yang turut menentukan signifikan-tidaknya perolehan suara sebuah partai politik yang berbasis massa NU.57
Kekerabatan (geneologis) di lingkungan NU perlu diperhatikan secara cermat dan akurat karena ia dapat mengungkap pola patronase58 antara elite partai politik di lingkungan NU, dan pola sentralisasi kekuasaannya pun terlihat sangat jelas. Otoritas dan kekuasaan elite di lingkungan NU dalam kehidupan masyarakat
57
Ali Anwar, Avonturisme NU: Menjejaki Akar Konflik Kepentingan Politik Kaum Nahdhiyyin (Bandung: Humaniora, 2004), Cet. I, h. 61.
58
Patronase dilihat sebagai sumber (tokoh) yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan material dan spiritual para pengikutnya dan pada gilirannya menuntut adanya penghormatan dari mereka.
(55)
memunculkan asumsi bahwa tidak hanya terbatas pada interaksi sosial, tetapi juga dapat diterapkan dalam bidang politik. Asumsi ini dibuktikan oleh fakta bahwa selama Pemilu 1999, misalnya, partai-partai NU peserta pemilu berupaya memanfaatkan kekuasaan ke-NU-annya untuk meningkatkan perolehan suara mereka.59
Gus Dur, yang secara geneologis, sebagai seorang cucu langsung dari kiai besar pendiri NU tentu merupakan satu kelebihan, sehingga di manapun ia berada dan dalam posisi apapun kharisma seorang cucu dan anak dari kiai besar selalu muncul dalam dirinya. Kharisma itu yang kemudian memposisikan Gus Dur sebagai seorang kiai yang juga sangat dihormati dan disegani tidak hanya oleh pengikut fanatiknya tetapi juga orang-orang yang pernah kenal dan dekat dengan dirinya. Pada gilirannya, ia memperoleh apa yang disebut oleh Jackson sebagai “otoritas tradisional.”60
Otoritas ini adalah otoritas61 patron yang mempengaruhi dan membangkitkan emosi para pengikutnya. Dalam situasi dan kondisi apapun para pengikutnya akan tetap mempertahankan patron mereka sekuat tenaga. Pola hubungan seperti ini sangat mengakar di kalangan warga tradisional Nahdhiyyin dan sering dimanfaatkan untuk melayani kepentingan-kepentingan politik elite karena massa pengikutnya dapat dengan mudah dimobilisasi melalui mobilisasi
59
Ali Anwar, Avonturisme NU, h. 62.
60
Ali Anwar, Avonturisme NU, h. 62.
61
Temuan Jackson berlaku juga untuk hubungan yang lebih umum antara dua orang yang berbeda. Ia tidak hanya terbatas pada tokoh-tokoh seperti kyai dan pengikutnya. Sifat ”otoritas tradisional” juga muncul pada seorang klien yang mungkin meminjam uang kepada seseorang yang kemudian menjadi patronnya. Klien itu secara moral akan merasa harus berbuat baik (lebih dari sekedar memberi uang) untuk menjaga integritas patronnya.
(1)
Rancangan materi Musyawarah Ranting disiapkan oleh Dewan Pengurus Ranting dan disampaikan kepada Dewan pengurus Anak Ranting dan/atau seluruh anggota Ranting selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum Musyawarah Ranting berlangsung;
Musyawarah Ranting dipimpin oleh Dewan Pengurus Ranting. Pasal 74
Musyawarah Ranting Luar Biasa Musyawarah Ranting luar Biasa dapat diselenggarakan:
a. Apabila terdapat keadaan yang dinilai dapat mengancam keberlangsungan hidup Dewan Pengurus Ranting (DPRt);
b. Untuk melakukan pemberhentian secara tetap atau permanen Ketua Dewan Syura dan/ atau Ketua Dewan Tanfidz DPRt;
c. Untuk melakukan pengisian lowongan antar waktu Ketua Dewan Syura dan/ atau Ketua Dewan Tanfidz DPRt;
Musyawarah Ranting Khusus dapat diadakan berdasarkan permintaan dari lebih dari setengah jumlah Dewan Pengurus Anak Ranting yang sah;
Ketentuan-ketentuan mengenai Musyawarah Ranting berlaku pada Musyawarah Ranting Khusus kecuali ketentuan tentang rancangan materi Musyawarah Ranting, yaitu harus disampaikan kepada seluruh Dewan Pengurus Anak Ranting selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Musyawarah Ranting luar Biasa berlangsung.
Pasal 75
Musyawarah Kerja Ranting
Musyawarah Kerja Ranting merupakan forum permusyawaratan pada tingkat Ranting untuk mengevaluasi serta membahas kinerja dan program-program Dewan Pengurus Ranting, membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan keputusan-keputusan Musyawarah Ranting, dan masalah-masalah lain yang dianggap penting;
Musyawarah Kerja Ranting diadakan oleh Dewan Pengurus Ranting sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam satu periode;
Peraturan Tata Tertib Musyawarah Kerja Ranting ditetapkan oleh Dewan Pengurus Ranting.
Pasal 76
Peserta Musyawarah Kerja Ranting adalah anggota Dewan Pengurus Ranting dan utusan dari Dewan Pengurus Anak Ranting dan/atau beberapa orang anggota yang
(2)
dipilih oleh Dewan Pengurus Ranting Partai;
Musyawarah Kerja Ranting adalah sah apabila dihadiri oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta musyawarah. Dalam pengambilan putusan setiap peserta mempunyai satu hak suara;
Musyawarah Kerja Ranting dipimpin oleh Dewan Pengurus Ranting. Pasal 77
Musyawarah Anak Ranting
Musyawarah Anak Ranting merupakan forum permusyawaratan tertinggi pada tingkat Anak Ranting yang diadakan oleh Dewan Pengurus Anak Ranting setiap 5 (lima) tahun sekali.
Musyawarah Anak Ranting memiliki wewenang :
a. Menilai Laporan pertanggungjawaban Dewan Pengurus Anak Ranting;
b. Menetapkan pokok-pokok program Dewan Pengurus Anak Ranting untuk 5 (lima) tahun ke depan;
c. Memilih dan menetapkan Ketua Dewan Syura;
d. Memilih dan menetapkan Ketua Dewan Tanfidz yang telah mendapatkan persetujuan Ketua Dewan Syura terpilih;
e. Memilih beberapa orang anggota formatur yang bersama dengan Ketua Dewan Syura dan Ketua Dewan Tanfidz terpilih bertugas untuk melengkapi susunan Dewan Pengurus Partai;
f. Menetapkan keputusan-keputusan lain yang dianggap perlu.
g. Peraturan Tata Tertib Musyawarah Anak Ranting ditetapkan oleh Musyawarah Anak Ranting.
Pasal 78
Peserta Musyawarah Anak Ranting adalah anggota Dewan Pengurus Anak Ranting, Ketua Badan Otonom tingkat Anak Ranting dan seluruh anggota yang sah.
Setiap peserta Musyawarah Anak Ranting mempunyai hak bicara; Setiap peserta Musyawarah Anak Ranting mempunyai satu hak suara.
Pasal 79
Musyawarah Anak Ranting adalah sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga (2/3) jumlah anggota yang sah;
Sidang-sidang Musyawarah Anak Ranting sah apabila dihadiri oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta yang hadir;
(3)
hadir;
Pemilihan mengenai orang dalam Musyawarah Anak Ranting dilakukan secara langsung, bebas, rahasia, jujur, adil, dan demokratis.
Pasal 80
Rancangan materi Musyawarah Anak Ranting disiapkan oleh Dewan Pengurus Anak Ranting dan disampaikan kepada seluruh anggota selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum Musyawarah Anak Ranting berlangsung;
Musyawarah Ranting dipimpin oleh Dewan Pengurus Ranting. Pasal 81
Musyawarah Anak Ranting Luar Biasa Musyawarah Anak Ranting Khusus dapat diselenggarakan:
a. Apabila terdapat keadaan yang dinilai dapat mengancam keberlangsungan hidup Dewan Pengurus Anak Ranting (DPARt);
b. Untuk melakukan pemberhentian secara tetap atau permanen Ketua Dewan Syura dan/ atau Ketua Dewan Tanfidz DPARt;
c. Untuk melakukan pengisian lowongan antar waktu Ketua Dewan Syura dan/ atau Ketua Dewan Tanfidz DPARt;
Musyawarah Anak Ranting luar Biasa dapat diadakan berdasarkan permintaan dari lebih dari setengah jumlah anggota Dewan Pengurus Anak Ranting yang sah; Ketentuan-ketentuan mengenai Musyawarah Anak Ranting berlaku pada Musyawarah Anak Ranting Khusus kecuali ketentuan tentang rancangan materi Musyawarah Anak Ranting, yaitu harus disampaikan kepada seluruh anggota Dewan Pengurus Anak Ranting selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Musyawarah Anak Ranting luar Biasa berlangsung.
Pasal 82
Musyawarah Kerja Anak Ranting
Musyawarah Kerja Anak Ranting merupakan forum permusyawaratan pada tingkat Anak Ranting untuk mengevaluasi serta membahas kinerja dan program-program Dewan Pengurus Anak Ranting, membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan keputusan-keputusan Musyawarah Anak Ranting, dan masalah-masalah lain yang dianggap penting;
Musyawarah Kerja Anak Ranting diadakan oleh Dewan Pengurus Ranting sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam satu periode;
Peraturan Tata Tertib Musyawarah Kerja Anak Ranting ditetapkan oleh Dewan Pengurus Anak Ranting.
(4)
Pasal 83
Peserta Musyawarah Kerja Ranting adalah anggota Dewan Pengurus Anak Ranting dan beberapa orang anggota yang dipilih oleh Dewan Pengurus Anak Ranting Partai;
Musyawarah Kerja Anak Ranting adalah sah apabila dihadiri oleh lebih dari seperdua (1/2) jumlah peserta musyawarah. Dalam pengambilan putusan setiap peserta mempunyai satu hak suara;
Musyawarah Kerja Anak Ranting dipimpin oleh Dewan Pengurus Anak Ranting. BAB X
RAPAT – RAPAT Pasal 83 Jenis-jenis Rapat Partai adalah sebagai berikut :
a. Rapat Pleno Dewan Pengurus Partai: yaitu rapat yang diadakan oleh Dewan Pengurus Partai sekurang-kurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu bila dipandang perlu dan dihadiri oleh unsur Ketua Umum/Ketua, unsur Sekretaris dan Anggota Dewan Syura; unsur Ketua Umum/Ketua, unsur Sekretaris, dan unsur Bendahara Dewan Tanfidz; Pengurus Departemen/ Biro/ Divisi/ Seksi, Pengurus Lembaga, dan Pengurus Badan Otonom;
b. Rapat Gabungan Dewan Pengurus Partai: yaitu rapat yang diadakan oleh Dewan Syura atau Dewan Tanfidz yang diselenggarakan sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan dan dihadiri oleh unsur Ketua Umum/ Ketua, unsur Sekretaris dan Anggota Dewan Syura; unsur Ketua Umum/ Ketua, unsur Sekretaris, dan unsur Bendahara Dewan Tanfidz; Pengurus Departemen/ Biro/ Divisi/ Seksi, Pengurus Lembaga, dan Pengurus Badan Otonom;
c. Rapat Dewan Syura: yaitu rapat yang diadakan oleh Dewan Syura dan dihadiri oleh unsur Ketua Umum/ Ketua, unsur Sekretaris dan Anggota Dewan Syura, yang diselenggarakan sekurang-kurangnya sekali dalam 3 (tiga) bulan, dan bila dipandang perlu dapat pula dihadiri oleh unsur Ketua Umum/ Ketua, unsur Sekretaris, dan unsur Bendahara Dewan Tanfidz; dan Pengurus Departemen/ Biro/ Divisi/ Seksi, Pengurus Lembaga, dan Pengurus Badan Otonom;
d. Rapat Dewan Tanfidz : yaitu rapat yang diadakan oleh Dewan Tanfidz dan dihadiri oleh unsur Ketua Umum/ Ketua, unsur Sekretaris, unsur Bendahara Dewan Tanfidz; Pengurus Departemen/ Biro/ Divisi/ Seksi, Pengurus Lembaga, dan Pengurus Badan Otonom; yang diselenggarakan sekurang-kurangnya sekali dalam 3 (tiga) bulan ;
e. Rapat Pengurus Harian: yaitu rapat yang diadakan oleh Dewan Tanfidz dan hanya dihadiri oleh Pengurus Harian Dewan Tanfidz;
(5)
f. Rapat-rapat lain bila dipandang perlu.
Pengambilan keputusan dalam rapat-rapat Partai ditempuh melalui musyawarah untuk mufakat, dan dalam hal tidak dapat dicapai kata mufakat, maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak;
Ketentuan mengenai mekanisme, quorum, pengambilan keputusan, dan hal lainnya berkaitan dengan jenis-jenis rapat Partai akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Partai;
BAB XI KEUANGAN
Pasal 84
Besar uang pangkal angggota ditetapkan oleh Dewan Pengurus Pusat; Besarnya uang iuran anggota ditetapkan oleh Dewan Pengurus Cabang;
Uang pangkal dan uang iuran anggota ditetapkan oleh Dewan Pengurus Cabang dan dialokasikan sebagai berikut :
a. Dewan Pengurus Pusat memperoleh 10 (sepuluh) persen; b. Dewan Pengurus Wilayah memperoleh 20 (dua puluh) persen; c. Dewan Pengurus Cabang memperoleh 70 (tujuh puluh) persen.
Hal-hal yang menyangkut keuangan Partai dilaporkan secara tertulis oleh Bendahara Partai kepada seluruh Dewan Pengurus Partai menurut tingkatannya sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam tahun buku yang bersangkutan.
Tahun buku Partai dimulai setelah terpilihnya Dewan Pengurus Partai yang baru pada setiap tingkatan dan berakhir pada tahun berikutnya.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP Pasal 85
Hal-hal yang belum diatur dalam Anggaran Rumah Tangga ini akan diatur lebih lanjut oleh Dewan Pengurus Pusat melalui Peraturan-peraturan Partai;
Anggaran Rumah Tangga ini hanya dapat dirubah oleh muktamar; Anggaran Rumah Tangga ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Semarang Pada tanggal : 18 April 2005
(6)
MUKTAMAR II
PARTAI KEBANGKITAN BANGSA PIMPINAN SIDANG PARIPURNA KE III
dr. H. Sugiat Ahmad Sumadi, SKM. Ketua
Hj. Zunatul Mafruchah Sekretaris